Jumat, 29 April 2011

NEPOTISME dalam Perspektif Hadis Nabi Saw.

Oleh : Abdul Gaffar, S.Th.I

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Islam diturunkan Allah swt. adalah untuk dijadikan pedoman dalam menata kehidupan umat manusia, baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Aturan atau konsep itu bersifat “mengikat” bagi setiap orang yang mengaku “muslim”.[1] Konsep Islam juga bersifat totalitas dan komprihensif, tak boleh dipilah-pilah seperti yang dilakukan kebanyakan rezim sekarang ini. Mengambil sebagian dan membuang bagian lainnya, adalah sikap yang tercela dalam pandangan Islam.[2] Salah satu aturan Islam yang bersifat individual, adalah mencari kehidupan dari sumber-sumber yang halal. Islam mengajarkan kepada ummatnya agar dalam mencari nafkah kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji dalam pandangan syara`.[3]

Salah satu jalan pintu menuju arah rizki yang haram adalah melakukan nepotisme. Istilah “nepotisme” yang dalam bahasa arabnya biasa disebut “al-Muhabah” dipakai untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam pandangan hadis, suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang berkompeten, ahli pada bidang yang ditawarkan, bahkan penyerahan jabatan kepada yang bukan ahlinya merupakan salah satu tanda akhir zaman (Asyrat al-Sa`ah) [4]

Mayarakat masih dilema menyikapi nepotisme, sebagian mereka menganggap bahwa penunjukkan keluarga meskipun kompoten di bidangnya tetap dikatakan nepotisme. Sedangkan sebagian yang lain berfikiran bahwa bukan sebuah nepotisme jika mengangkat kerabat dekat yang memenuhi kompetensi. Namun bagaimana dengan Islam, khususnya hadis Nabi yang menjadi salah satu sumber utama ajaran Islam.[5] Prinsip apa yang ditanamkan dalam hadis, apakah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan ataukah ada tidaknya hubungan kekerabatan?. Padahal jika prinsip “kekerabatan” sebagai landasan, secara rasional barangkali sikap ini kurang obyektif. Hanya gara-gara hubungan kerabat, seseorang tidak berhak mendapatkan haknya, padahal ia berkompeten dalam urusan itu.
Rumusan Masalah

Sebagaimana pemaparan-pemaparan yang tertuang dalam latar belakang masalah, dapat dibuat beberapa poin untuk dijadikan sebagai rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
Apa hakikat dari nepotisme menurut Hadis Nabi?
Apa saja kategori dan ciri-ciri nepotisme menurut Hadis Nabi?
Bagaimana dampak nepotisme dan apa saja sanksi-sanksinya?


 BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Nepotisme dan bentuk-bentuknya menurut Hadis

Nepotisme berasal dari bahasa latin yaitu nepos atau nepotis yang berarti cucu (arti kiasan) keturunan dan atau keponakan.[6] Baik kerabat langsung maupun hanya hubungan perkawinan dan bahkan bisa meningkat pada relasi atau teman (konco-konco).[7] Jadi nepotisme dapat diartikan sebagai sebuah kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri terutama dalam masalah jabatan, pangkat di lingkungan pemerintahan[8] di luar ukuran mereka.  Dalam pandangan Prof. Dr.  Kamaruddin Hidayat, nepotisme adalah menejemen kepegawaian yang menggambarkan sistim pengangkatan, penempatan, penunjukan dan kenaikan pangkat  atas dasar pertalian darah, keluarga atau kawan.[9] Maksudnya adalah nepotisme berarti lebih memilih saudara, keluarga atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Mau tidak mau, suka tidak suka, maka nepotisme ini identik dengan sesuatu yang negatif.

Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.[10]

Namun pertanyaan berikutnya adalah bagaimana pandangan Islam khususnya Hadis Nabi tentang nepotisme terlebih apa yang terjadi pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Ada beberapa hadis yang dapat mengungkap subtansi sebuah nepotisme.

Istilah “nepotisme” biasa dipakai untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam bahasa arabnya biasa dipakai istilah “al-Muhabah” yang berasal dari akar kata habba yang menunjukkan beberapa makna antara lain: mantap dan kokoh, biji-bijian dan sifat pendek.[11] Makna yang sepadan dengan nepotisme adalah makna yang ketiga yakni sifat pendek karena hanya membatasi sesuatu hanya kepada keluarga atau rekan-rekannya semata.

Menurut Prof Dr. Amien Rais, nepotisme adalah bagian dari korupsi dimana salah satu bagiannya adalah korupsi dalam tiga Jenis: Pertama, ekstrortif korupsi, yaitu merujuk pada situasi di mana seseoarang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi/perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya. Kedua, korupsi manipulatif, yaitu merujuk pada usaha kotor yang dilakukan seseorang untuk mempengaruhi kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Ketiga, korupsi nepotistik, yaitu merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan pada anak-anak, kemenakan, saudara dari pejabat. Diharapkan perlakuan istimewa tersebut dapat membagi rejeki antar mereka saja.[12]

Dalam pandangan Islam, khususnya Hadis Nabi adalah suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang berkompeten, ahli untuk bidang yang ditawarkan, dan tidak memperebutkan atau memintanya. Sebagaimana sabdanya:

حدثنا محمد بن بشار حدثنا غندر حدثنا شعبة قال سمعت قتادة عن أنس بن مالك عن أسيد بن حضير رضي اللهم عنهمم أن رجلا من الأنصار قال يا رسول الله ألا تستعملني كما استعملت فلانا قال ستلقون بعدي أثرة فاصبروا حتى تلقوني على الحوض[13]

…Dari Usaid bin Hudhair, seoang laki-laki Anshar berkata kepada Nabi “Wahai Rasulullah, tidakkah kau mengangkatku jadi pegawai sebagaimana engkau telah mengangkat sifulan”. Rasulullah menjawab “Engkau akan menemukan sepeninggalku orang-orang yang mendahulukan diri sendiri, maka bersabarlah hingga engkau bertemu denganku di telaga (surga)”.

Dalam hadis ini, terdapat term أثرة yang berasal dari akar kata أثر yang berarti إختار لنفسه دونهم[14] (mengutamakan dirinya atas orang lain). Makna ini, walau dalam redaksi yang berbeda, dikemukakan pula dalam salah satu syarah Sunan al-Turmudziy. Dalam syarah al-Turmudziy itu disebutkan bahwa makna dari term أثرة  adalah يفضل نفسه .[15]

Dari makna akar katanya tersebut, maka kata أثرة dapat diartikan dengan mengutamakan kepentingan diri sendiri (individualistis) dan bila dikaji lebih jauh maka kata itu pun dapat dimaknai dengan “menganut sistem famili (nepotis).” Menurut Hassan Sadiliy, praktek dari sikap nepotis merupakan kecenderungan untuk memberikan prioritas kepada sanak famili dalam hal pekerjaan, jabatan, dan pangkat di lingkungan kekuasaan.[16]

Kalau melihat syarh hadis tersebut, diketahui bahwa nama orang Anshar yang bertanya  kepada Nabi tersebut adalah Usayd ibn ‘Umayr.[17] Sedangkan si-fulan yang disebutkan dalam materi hadis adalah ‘Amr ibn al-’Ash yang pernah ditunjuk oleh Nabi untuk menjadi gubernur di Yaman[18]. Pada masa Rasul jabatan gubernur meliputi segala bidang termasuk mengurusi persoalan zakat. Pengangkatan Nabi terhadap ‘Amr ibn al-’Ash memang terkesan nepotis. Akan tetapi, hal tersebut didasarkan atas kapabilitas dan loyalitas yang dimiliki oleh ‘Amr.

Dari pemaparan di atas, penekanan hadis ini adalah bagaimana memberikan tugas kepada orang yang kompoten dan tidak memberikannya kepada orang yang meminta jabatan tersebut.[19] sekaligus informasi dari Nabi bahwa suatu saat nanti, akan muncul kelompok yang suka melakukan nepotisme, maka pada saat itulah, setiap orang membutuhkan kesabaran agar tetap selamat dunia dan akhirat.

حدثنا محمد بن سنان قال حدثنا فليح ح و حدثني إبراهيم بن المنذر قال حدثنا محمد بن فليح قال حدثني أبي قال حدثني هلال بن علي عن عطاء بن يسار عن أبي هريرة قال بينما النبي صلى الله عليه وسلم في مجلس يحدث القوم جاءه أعرابي فقال متى الساعة فمضى رسول الله صلى الله عليه وسلم يحدث فقال بعض القوم سمع ما قال فكره ما قال وقال بعضهم بل لم يسمع حتى إذا قضى حديثه قال أين أراه السائل عن الساعة قال ها أنا يا رسول الله قال فإذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها قال إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة[20]

“…Dari Abu Hurairah, ketika Rasulullah sedang memberikan pengajian dalam suatu majlis, datanglah seorang pedalaman seraya bertanya “Kapan hari kiamat?” akan tetapi Rasulullah tetap melanjutkan pengajiannya, sebagian hadirin berkata bahwa Rasulullah mendengar pertanyaannya akan tetapi tidak suka. Sebagian yang lain berkata bahwa Rasulullah tidak mendengarnya. Setelah Rasulullah selesai pengajian, beliau bertanya “Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Saya wahai Rasulullah, lalu beliau menjawab “Jika amanah sudah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”, orang tersebut bertanya lagi “Bagaimana menyia-nyiakan amanah” Rasulullah menjawab “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat.”

Untuk mengungkap kandungan hadis tersebut, maka perlu mengkaji apa yang dimaksud dengan الأمر, غير أهله dan الساعة. Abd Rauf dalam kitab syarhnya menjelaslan bahwa yang dimaksud dengan الأمر adalah segala sesuatu yang terkait dengan agama seperti pemerintahan, kehakiman, fatwa dan pengajaran serta yang lain-lain.[21] Sementara yang dimaksud dengan غير أهله adalah orang-orang yang fasik, penyeleweng dan bukan keturunan baik-baik (tidak punya pengaruh dalam masyarakat).[22] Sedangkan الساعة bukannya diartikan sebagai hari kiamat, akan tetapi itu bisa jadi merupakan perumpamaan tentang sebuah kehancuran, kecarut-marutan, kebodohan yang merajalela, kelamahan Islam,  ketidakmampuan orang-orang yang professional dan kompoten untuk menegakkan kebenaran dan merealisasikannnya dalam kehidupan dunia, laksana hari kiamat yang dahsyat.[23]

Berangkat dari penjelasan teks tersebut dapat ditarik sebuah pemahaman dalam hadis ini bahwa kehancuran, kekacauan dan ketikadilan akan terjadi jika suatu pekerjaan atau jabatan apapun, terlebih lagi urusan agama jika diberikan kepada orang yang tidak amanah dan tidak bertanggung jawab.

Oleh karena itu, bukan hanya pemimpin atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya berupa kekacauan karena tidak menunaikan amanah akan tetapi umat atau masyarakat juga dianggap menyia-nyiakan amanah karena memilih dan mengangkat orang-orang yang tidak amanah pada suatu jabatan,[24]

Dan dalam hadis tersebut tidak ada penjelasan tentang siapa yang berhak diangkat menjadi pejabat, apakah harus orang lain ataukah boleh keluarga, sebab penekanan hadis itu hanya pada profesionalitas semata yang ditunjukkan oleh kata غير أهله (tidak kompoten). Sehingga  jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan, yang penting orang tersebut memenuhi persyaratan. Jadi prinsip yang ditanamkan dalam hadis ini adalah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan.

حدثنا عبد الملك بن شعيب بن الليث حدثني أبي شعيب بن الليث حدثني الليث بن سعد حدثني يزيد بن أبي حبيب عن بكر بن عمرو عن الحارث ابن يزيد الحضرمي عن ابن حجيرة الأكبر عن أبي ذر قال قلت يا رسول الله ألا تستعملني قال فضرب بيده على منكبي ثم قال يا أبا ذر إنك ضعيف وإنها أمانة وإنها يوم القيامة خزي وندامة إلا من أخذها بحقها وأدى الذي عليه فيها[25]

…Dari Abi Zarr, “Saya berkata kepada Rasulullah, wahai Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku menjadi pejabat, lalu Rasulullah menepuk pundaknya seraya berkata “wahai Abu Zarr, sesungguhnya engkau lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah dan merupakan kehinaan serta penyelasan pada hari kiamat nanti kecuali bagi orang yang mendapatkannya dengan hak serta melaksanakannya dengan baik dan benar”

Jika melihat hadis ini, kemudian mengkaji syarh hadis tersebut, dapat dipahami bahwa hadis ini menginformasikan beberapa hal yang sangat urgen dalam bidang jabatan. Pertama; hadis itu memberitahukan bahwa Rasulullah tidak memberikan jabatan kepada siapapun yang tidak kompoten (ضعيف) meskipun itu seorang sahabatnya.[26] Kedua; jabatan adalah sebuah amanah yang amat berat dan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat. Ketiga; untuk mendapatkan sebuah jabatan harus sesuai prosedur dan dengan cara yang benar pula. Keempat; pejabat harus melaksanakan dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang pejabat.[27]

Hadis ini pula menunjukkan bahwa pejabat yang mendapatkan jabatan dengan cara yang benar kemudian mampu melaksanakan amanah tersebut dengan penuh tanggung jawab, maka balasannya tentu kemulyaan yang tidak tara seperti yang digambarkan dalam sebuah hadis Nabi saw.

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله الإمام العادل وشاب نشأ في عبادة ربه ورجل قلبه معلق في المساجد …. [28]

Hadis berikut ini akan menambah pemahaman terhadap hakikat nepotisme dalam pandangan hadis Rasulullah saw.:

وأمر النبي صلى الله عليه و سلم مرة عمرو بن العاص في غزوة ذات السلاسل استعطافا لأقاربه الذين بعثه إليهم على من هم أفضل منه وأمر أسامة بن زيد لأجل ثأر أبيه ولذلك كان يستعمل الرجل لمصلحة مع أنه قد كان يكون مع الأمير من هو أفضل منه في العلم والإيمان[29]

“Pernah suatu ketika Rasulullah saw. mengangkat Amr bin ‘Ash jadi panglima dalam perang Dzat al-Salasil karena penghormatan atau kasih sayang terhadap keluarganya yang menjadi tempat tujuan, padahal masih ada orang yang lebih layak darinya, Rasulullah juga mengangkat Usamah bin Zaid atas dasar pertimbangan orang tua Usamah (Zaid bin Harisah yang wafat dalam medan perang). Jadi Rasulullah mengangkat seseorang karena dorongan kemaslatan, padahal masih ada orang yang lebih baik dalam segi keilmuan dan keimanan.”

Dari penjelasan hadis fi’li (perlakuan Nabi) itu dapat dipahami bahwa mengangkat seseorang yang notabene masih ada yang lebih baik dari pada dirinya akan tetapi ada tujuan atau kemaslahatan yang tidak dimiliki orang lain, maka hal itu tidak dikategorikan nepotisme menurut Hadis Nabi meskipun dianggap nepotisme menurut hukum positif atau pandangan luar.

Pengangkatan Amr bin ‘Ash misalnya tidak termasuk nepotisme meskipun pada saat itu masih banyak yang lebih layak darinya. Hal itu terjadi karena beberapa pertimbangan semisal orang yang diangkat memiliki massa yang banyak atau punya pengaruh seperti pengangkatan ‘Amar bin ‘Ash dimana medan yang dituju merupakan basis keluarga dan kerabatnya, sehingga diharapkan pengaruh ‘Amr bin ‘Ash dari sudut kekeluargaan dan kekebaratan akan membawa manfaat atau kemaslahatan yang sulit atau bisa jadi tidak mungkin dicapai dengan mengangkat orang lain.

Pengangkatan Usamah bin Zaid menjadi panglima perang yang pada saat itu masih sangat muda, konon baru berumur 18 tahun.[30] dianggap belum layak oleh sebahagian besar sahabat Nabi, apatahlagi masih banyak sahabat-sahabat senior yang masuk di bawah kendali Usamah termasuk Umar bin Khattab, akan tetapi Rasulullah mengangkatnya karena pertimbangan ayahnya (Zaid bin Harisah) di mana Zaid wafat dalam perang Tabuk sehingga diharapkan Usamah memiliki motivasi ganda dalam memimpin perang sebagaimana yang telah dilakukan oleh ayahnya. Semangat dan keberanian itulah yang paling dibutuhkan dalam situasi seperti itu.

Berdasarkan teks-teks hadis di atas, dapat dipahami bahwa nepotisme dalam pandangan hadis adalah memberikan jabatan atau tugas apapun kepada orang lain (baik keluarga atau konco-konconya) bukan atas dasar kredibilitas dan kapabilitas serta kemaslahatan dalam mengemban tugas atau jabatannya sehingga dapat menimbulkan kekacauan dan kehancuran. Oleh karena itu, menurut hadis Nabi, nepotisme bisa terjadi jika ketiga hal (kredibilitas, kapabilitas dan kemaslahatan) tidak terwujud dalam rekrutmen.
Karakteristik dan ciri-ciri nepotisme menurut Hadis

Dengan melihat penjelasan dalam pengertian nepotisme menurut hadis Nabi, maka perlu juga memberikan dan memaparkan cir-ciri dan karakteristik orang-orang yang melakukan nepotisme berdasarkan hadis-hadis Nabi:
Tidak beriman

Nepotisme adalah sebuah kejahatan karena merampas hak orang lain dan memberikannya kepada kerabat atau sanak famili yang tidak layak mendapatkannya. Salah satu pendorong seseorang untuk melakukan kejahatan adalah karena tidak memiliki iman pada saat melakukan hal tersebut. Karena dengan iman, setiap orang meyakini bahwa ia selalu diawasi oleh Yang Mahakuasa, sehingga tidak akan melakukan hal-hal yang negatif apalagi dosa besar. Hal itu sesuai dengan Sabda Rasulullah saw.

حدثنا سعيد بن عفير قال حدثني الليث حدثنا عقيل عن ابن شهاب عن أبي بكر بن عبدالرحمن عن أبي هريرة رضي اللهم عنهم قال قال النبي صلى اللهم عليه وسلم لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن ولا يشرب الخمر حين يشرب وهو مؤمن ولا يسرق حين يسرق وهو مؤمن ولا ينتهب نهبة يرفع الناس إليه فيها أبصارهم حين ينتهبها وهو مؤمن وعن سعيد وأبي سلمة عن أبي هريرة عن النبي صلى اللهم عليه وسلم مثله إلا النهبة[31]

Meskipun ulama beragam pendapat dalam menanggapi hadis ini, akan tetapi paling tidak ada sebuah indikasi kuat bahwa para pelaku kejahatan, khususnya kejahatab yang berdampak besar dan luas tidak memiliki iman atau paling tidak keimanannya dipertanyakan pada saat dia melakukan kejahatan tersebut.[32]

Senada dengan penjelasan di atas, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof Dr. Said Aqil Siradj mengatakan, perbuatan zina merupakan dosa besar. Namun, melakukan KKN dosanya jauh lebih besar, karena dampak dari perbuatan itu lebih besar dan menyangkut masyarakat luas, yakni bangsa Indonesia. “Ya, zina itu dosa besar, tapi dosa korupsi itu lebih besar lagi karena berkaitan dengan hak anak Adam dan dampaknya yang sangat besar.” [33]
Tidak amanah (jujur) dan tidak bertanggung jawab (kompoten)

Nepotisme berkaitan dengan rekrutmen.  Dalam rekrutmen, ada dua syarat menurut ajaran Islam yaitu kemampuan dan kejujuran.[34] Uji kelayakan dan kepantasan (fit and proper test) yang sekarang dilakukan bagi calon pejabat tertentu sejalan dengan semangat yang diajarkan al-Qur’an itu.

Berbagai jenis pekerjaan atau jabatan jelas menuntut kemampuan yang berbeda, akan tetapi apapun pekerjaan atau jabatan seseorang, dia harus memiliki kejujuran dan tanggung jawab, yaitu sikap yang menghormati norma dan hukum yang berlaku. Negara akan aman dari segala jenis kejahatan, termasuk nepotisme, jika pejabat-pejabatnya berlaku jujur.

… قال فإذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها قال إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة[35]

Rekrutmen yang tidak sehat banyak terjadi karena pejabat yang bersangkutan tidak memiliki amanah dan tanggung jawab. Padahal selayaknya sebuah amanah kekuasaan wajib dijalankan dengan sangat hati-hati dan bertanggung jawab. Karena hal itu menyangkut pemberian kepercayaan bukan hanya dari rakyat, melainkan juga dari Allah swt. sebagai pemberi amanah.

وحدثني مالك عن ابن شهاب عن سليمان بن يسار أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يبعث عبد الله بن رواحة إلى خيبر فيخرص بينه وبين يهود خيبر قال فجمعوا له حليا من حلي نسائهم فقالوا له هذا لك وخفف عنا وتجاوز في القسم فقال عبد الله بن رواحة يا معشر اليهود والله إنكم لمن أبغض خلق الله إلي وما ذاك بحاملي على أن أحيف عليكم فأما ما عرضتم من الرشوة فإنها سحت وإنا لا نأكلها فقالوا بهذا قامت السموات والأرض[36]

Hadis ini menjadi uswah hasanah (suritauladan yang baik) dimana seorang sahabat Nabi yang diberi jabatan untuk menarik pajak kepada Yahudi Khaibar tidak mau menerima sogokan  sebagai bentuk tanggung jawab, bahkan tawaran perhiasan itu justru membuat Abdullah jengkel seraya berkata “Hai kaum Yahudi! Demi Allah kalian memang manusia-manusia hamba Allah yang paling kubenci. Sikap kalian justru menyebabkan saya merendahkan kalian. Suap yang kalian tawarkan itu adalah haram, dan kami kaum muslimin tidak melakukannya. Abdullah bin Rawahah paham bahwa kekuasaan atau jabatan adalah tugas kekhalifahan yang diemban manusia dimana laporan pertanggung jawabannya tidak terhenti dihadapan DPR atau DPRD, akan tetapi ada pertanggungjawaban yang lebih luas lagi, di mana seorang pejabat tidak mampu untuk berkilah dan bersilat lidah.

حدثنا مسدد حدثنا يحيى عن عبيدالله قال حدثني نافع عن عبدالله رضي اللهم عنهم أن رسول الله صلى اللهم عليه وسلم قال كلكم راع فمسئول عن رعيته فالأمير الذي على الناس راع وهو مسئول عنهم والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسئولة عنهم والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته[37]
Melakukan kezhaliman

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa rekrutmen jabatan itu melalui ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Oleh karena itu, menyalahi kesepakatan itu dengan menunjuk keluarga yang tidak lolos fit and proper test merupakan sebuah kezhaliman karena merampas hak orang lain.

…عن أبي ذر قال قلت يا رسول الله ألا تستعملني قال فضرب بيده على منكبي ثم قال يا أبا ذر إنك ضعيف وإنها أمانة وإنها يوم القيامة خزي وندامة إلا من أخذها بحقها وأدى الذي عليه فيها[38]

Keengganan Rasulullah memberikan jabatan atau tugas kepada Abu Zarr karena faktor kekurangkompotenan dalam bidangnya menjadi indikikasi bahwa Nabi tidak menghendaki kezaliman terjadi dengan memberikan jabatan bukan pada ahlinya.

Sebenarnya dalam hadis ini, Rekrutmen pejabat tidak berdasarkan sikap pilih kasih, hubungan kekerabatan atau statusnya di tengah-tengah masyarakat. Hal ini seperti nasehat yang terkandung dalam surat yang Khalifah Ali bin Abi Talib ra kirimkan kepada Asytar bin Nakhai ketika dilantik menjadi Gubernur Wilayah Mesir sebagai berikut: “…dalam melantik pegawai-pegawai baru hendaklah kamu melantik mereka secara pilihan, bukan pilih kasih dan kedudukan dan hindarilah melantik orang yang dikasihi karena mereka bisa membawa kezaliman dan pengkhianatan. Utamakanlah orang yang suka memperbaiki tingkat kemahiran dan pelayanan mereka kepada masyarakat. Pilihlah daripada golongan pemalu dan warak serta mulia akhlaknya dan tidak tamak kepada pangkat dan kemuliaan serta lebih teliti dalam setiap tindak tanduknya”.[39]

Melakukan kebohongan publik

Termasuk krakter nepotisme itu adalah suka melakukan kebohongan publik, dimana pelakunya menutup-nutupi atau membatasi hak-hak orang lain dengan tidak mengakses atau mengumumkan secara terbuka sehingga orang lain tidak dapat mengetahui hal itu. Semisal ada sebuah lowongan kerja atau kekosongan jabatan atau beasiswa kemudian hanya diumumkan kepada keluarga atau kepada sejawatnya.

حدثنا يحيى بن يحيى أخبرنا يزيد بن زريع عن يونس عن الحسن قال دخل عبيد الله بن زياد على معقل بن يسار وهو وجع فسأله فقال إني محدثك حديثا لم أكن حدثتكه إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا يسترعي الله عبدا رعية يموت حين يموت وهو غاش لها إلا حرم الله عليه الجنة قال ألا كنت حدثتني هذا قبل اليوم قال ما حدثتك أو لم أكن لأحدثك و حدثني القاسم بن زكرياء حدثنا حسين يعني الجعفي عن زائدة عن هشام قال قال الحسن كنا عند معقل بن يسار نعوده فجاء عبيد الله بن زياد فقال له معقل إني سأحدثك حديثا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم ذكر بمعنى حديثهما[40]

Hadis di atas tidak secara eksplisit menyebutkan kebohongan public akan tetapi makna atau kandungannya mengarah kepada hal itu karena makna dari غاش adalah penipuan. Termasuk penipuan adalah kebohongan publik, sehingga pejabat semacam ini termasuk orang-orang yang melakukan nepotisme.
Tidak memiliki akhlak

Kejahatan yang terjadi di seluruh pelosok dunia tidak lepas dari kemorosotan atau ketidakadaan akhlak. Indonesia misalnya terjadi peningkatan kejahatan itu karena akhlak sudah amat langka ditemukan pada penduduk atau warga Negara. Oleh karena itu, keberhasilan dakwah Rasulullah karena menggunakan pendekatan akhlak sehingga Nabi mengatakan “Aku diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak”[41]. Di samping itu, pejabat yang tidak punya malu akan melakukan apapun sesuka hatinya. Hal itu sesuai dengan pesan Nabi “Jika kamu tidak malu, lakukan apa saja sesukamu”.

حدثنا آدم حدثنا شعبة عن منصور قال سمعت ربعي بن حراش يحدث عن أبي مسعود قال النبي صلى اللهم عليه وسلم إن مما أدرك الناس من كلام النبوة إذا لم تستحي فاصنع ما شئت[42]

Di antara akhlak yang tidak terpuji adalah tidak malu meminta jabatan padahal dia tidak layak untuk mendudukinya. Sebab orang yang meminta atau menginginkan jabatan tentu memiliki motivasi atau tujuan-tujuan tertentu yang dapat merusak tujuan utama dari sebuah jabatan yaitu kemaslahatan kepada seluruh umat yang dipimpin, bukan terbatas kepada keluarga semata.

حدثنا محمد بن العلاء حدثنا أبو أسامة عن بريد عن أبي بردة عن أبي موسى رضي الله عنه قال دخلت على النبي صلى الله عليه وسلم أنا ورجلان من قومي فقال أحد الرجلين أمرنا يا رسول الله وقال الآخر مثله فقال إنا لا نولي هذا من سأله ولا من حرص عليه[43]

حدثنا حيوة بن شريح حدثنا بقية عن أبي بكر بن أبي مريم عن خالد بن محمد الثقفي عن بلال بن أبي الدرداء عن أبي الدرداء عن النبي صلى الله عليه وسلم قال حبك الشيء يعمي ويصم[44]
Dampak Nepotisme dan Sanksi-sanksinya

Pemerintahan yang baik dan amanah dalam pandangan Hadis sesuai dengan harapan al-Qur’an dan Hadis Nabi adalah pemerintahan yang mampu memenuhi hak-hak segenap warga dan menegakkan keadilan di antara mereka.[45] Oleh karena itu, pemerintahan yang menjalankan penyelewengan akan  mengalami beberapa sanksi, yang berdampak dalam kehidupan dunia ini, baik sanksi di dunia, terlebih sanksi di akhirat kelak.

Salah satu penyelewengan yang dapat dilakukan oleh para pejabat adalah melakukan nepotisme. Di antara sanksi yang akan dirasakan oleh orang yang melakukan nepotisme berdasarkan hadis-hadis Nabi sebagai berikut:
Laknat dari Allah swt.

Salah satu sanksi yang diperoleh oleh pelaku nepotesme adalah laknat Allah swt. karena telah memberikan sesuatu bukan pada orang yang berhak sehingga dianggap sebagai sebuah kejahatan yang menyengsarakan khalayak, merugikan rakyat, merugikan perekonomian dan manajemen Negara, merendahkan martabat manusia dan bangsa di mata Allah maupun bangsa-bangsa lain di dunia ini. Karena sangat membahayakan, maka Hadis melarangnya dan mengancam pelakunya dengan tegas untuk tidak mendekatinya apatahlagi melakukannya dengan ancaman tidak diterima segala amal baiknya dan pada akhirnya dimasukkan ke dalam api neraka, sebagaimana tindakan preventif ketika Allah melarang mendekati perbuatan zina.

حدثنا يزيد بن عبد ربه قال حدثنا بقية بن الوليد قال حدثني شيخ من قريش عن رجاء بن حيوة عن جنادة بن أبي أمية عن يزيد بن أبي سفيان قال قال أبو بكر رضي اللهم عنهم حين بعثني إلى الشام يا يزيد إن لك قرابة عسيت أن تؤثرهم بالإمارة وذلك أكبر ما أخاف عليك فإن رسول الله صلى اللهم عليه وسلم قال من ولي من أمر المسلمين شيئا فأمر عليهم أحدا محاباة فعليه لعنة الله لا يقبل الله منه صرفا ولا عدلا حتى يدخله جهنم ومن أعطى أحدا حمى الله فقد انتهك في حمى الله شيئا بغير حقه فعليه لعنة الله أو قال تبرأت منه ذمة الله عز وجل[46]
Haram masuk surga

Pejabat yang melakukan penipuan seperti nepotisme akan dimasukkan ke dalam neraka sebagai konsekwensi dari kutukan Allah swt. Hat itu terjadi, karena mereka tidak mengindahkan perintah-perintah Allah dengan melakukan kezaliman terhadap orang lain.

….لا يسترعي الله عبدا رعية يموت حين يموت وهو غاش لها إلا حرم الله عليه الجنة….[47]

وحدثنا أبو غسان المسمعي ومحمد بن المثنى وإسحق بن إبراهيم قال إسحق أخبرنا وقال الآخران حدثنا معاذ بن هشام قال حدثني أبي عن قتادة عن أبي المليح أن عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار في مرضه فقال له معقل إني محدثك بحديث لولا أني في الموت لم أحدثك به سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ما من أمير يلي أمر المسلمين ثم لا يجهد لهم وينصح إلا لم يدخل معهم الجنة[48]

Bahkan dalam konteks yang lebih besar lagi, yang dimaksud dengan tidak masuk surga di sini, bukan hanya dapat diaplikasikan di akhirat semata akan tetapi juga dapat direalisasikan di dunia dengan tidak merasakan kebahagiaan, kenikmatan, keadilan, ketentraman dan kedamaian di muka bumi sebagaimana yang bisa dirasakan oleh penduduk surga nanti.
Bertanggung jawab atas kejahatan di akhirat

Sebagaimana kejahatan-kejahatan yang lain, nepotisme juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Yang Maha Kuasa atas kejahatan yang telah dilakukannya. Pertanggungjawaban itu akan disesuaikan dengan kejahatan yang telah dilakukan seperti ungkapan hadis Nabi berikut:

حدثنا عبيد بن إسماعيل حدثنا أبو أسامة عن هشام عن أبيه عن أبي حميد الساعدي قال استعمل رسول الله صلى اللهم عليه وسلم رجلا على صدقات بني سليم يدعى ابن اللتبية فلما جاء حاسبه قال هذا مالكم وهذا هدية فقال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم فهلا جلست في بيت أبيك وأمك حتى تأتيك هديتك إن كنت صادقا ثم خطبنا فحمد الله وأثنى عليه ثم قال أما بعد فإني أستعمل الرجل منكم على العمل مما ولاني الله فيأتي فيقول هذا مالكم وهذا هدية أهديت لي أفلا جلس في بيت أبيه وأمه حتى تأتيه هديته والله لا يأخذ أحد منكم شيئا بغير حقه إلا لقي الله يحمله يوم القيامة فلأعرفن أحدا منكم لقي الله يحمل بعيرا له رغاء أو بقرة لها خوار أو شاة تيعر ثم رفع يده حتى رئي بياض إبطه يقول اللهم هل بلغت بصر عيني وسمع أذني[49]

Meskipun hadis ini menunjuk pelaku korupsi bukan pelaku nepotisme akan tetapi ada kesamaan di antara keduanya yakni sama-sama menyalahgunakan jabatan untuk melakukan kejahatan. Dengan menelaah hadis di atas, maka sanksi yang akan dirasakan nanti oleh pelaku nepotisme adalah dikalungi kejahatan apa saja yang telah dilakukannya. Semisal pernah memberikan jabatan kepada sanak keluarga, maka jabatan dan isinya akan dikalungkan di lehernya kelak.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan pemarapan-pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Nepotisme secara etimologi adalah kemanakan, sanak keluarga dan orang terdekat sedangkan menurut hadis, nepotisme adalah memberikan jabatan atau tugas apapun kepada orang lain (baik keluarga atau konco-konconya) bukan atas dasar kredibilitas dan kapabilitas serta kemaslahatan dalam mengemban tugas atau jabatannya sehingga dapat menimbulkan kekacauan dan kehancuran. Oleh karena itu, menurut hadis Nabi, nepotisme bisa terjadi jika ketiga hal (kredibilitas, kapabilitas dan kemaslahatan) tidak terwujud dalam rekrutmen.
Ciri-ciri dan karakteristik orang-orang yang melakukan nepotisme berdasarkan hadis-hadis Nabi antara lain, tidak memiliki iman atau paling tidak keimanannya dipertanyakan pada saat dia melakukan kejahatan tersebut, tidak amanah (jujur) dan tidak bertanggung jawab (kompoten), melakukan kezhaliman terhadap orang lain, melakukan kebohongan publik dimana pelakunya menutup-nutupi atau membatasi hak-hak orang lain dengan tidak mengakses atau mengumumkan secara terbuka dan paling penting tidak memiliki akhlak.
Di antara sanksi yang akan dirasakan oleh orang yang melakukan nepotisme berdasarkan hadis-hadis Nabi di antaranya, laknat Allah swt. karena telah memberikan sesuatu bukan pada orang yang berhak sehingga dianggap sebagai sebuah kejahatan yang menyengsarakan khalayak dan merugikan rakyat serta merugikan perekonomian dan manajemen Negara, haram masuk surge atau lebih tepatnya masuk neraka, dan bertanggung jawab atas kejahatannya di akhirat nanti.
Implikasi

Dengan mengkaji hadis-hadis tentang nepotisme dan melihat definisi nepotisme, mengetahui karakteristik dan sanksi-sanksinya, maka selayaknya setiap orang paling tidak mampu mengaplikasikan hadis-hadis tersebut dengan cara tidak melakukan nepotisme karena dapat merugikan diri sendiri terlebih lagi orang lain. Dan lebih baiknya lagi jika hadis itu mampu kita tularkan kepada anggota keluarga, khususnya keluarga yang kebetulan menjadi pejabat atau menduduki jabatan atau pengaruh di sebuah lembaga.

Jika apa yang dianjurkan atau yang dilarang oleh Rasulullah melalui hadis-hadisnya mampu direalisasikan minimal oleh setiap individu, maka kebahagiaan, ketentraman, kesejahteraan dan kenyamanan layaknya kehidupan surga akan dirasakan di dunia ini meskipun tidak seindah dan semudah di surga kelak.

Akhirnya, makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan, olehnya itu, siapapun yang menemukan kesalahan penulisan atau kesalahan interpretasi, baik disengaja atau tidak, seyogyanya untuk memperbaiki langsung maupun melalui saran dan kritikan kepada penulis. Semoga makalah bisa berguna, minimal bagi penulis sendiri dan menjadi sebuah amal jariyah yang dicacat di sisi Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pemaaf. Amin!!!.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani. Sunan Abi Daud. Bairut: Dar al-Fikr, t.thn.

Abu Muhammad Badruddin al-Hanafi, ‘Umdat al-Qari’ Syarh Shahih al-Bukhari. Dikutip dari Maktabah Syamilah.

Ahmad: Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal al-Syaibani. Musnad Ahmad. Bairut: Alam al-Kutub, Cet. I, 1419 H./1998 M.

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. al-Silsilah al-Dhaifah. Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t. thn.

Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari. Bairut: Dar Ibnu Katsir, Cet. III, 1407 H./1987 M.

Al-Darimi, Abu Muhammad Abdullah bin Abd Rahman. Sunan al-Darimi. Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cet. I, 1407 H.

Al-Khatib, Muhammad bin Abdullah al-Tabrizi. Misykat al-Mashabih. Bairut: al-Maktab al-Islami, Cet. III, 1405 H./ 1985 M.

Al-Mala’ali al-Qary, Nuruddin Ali bin Sultan al-Harawy. Mirqat al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih. Bairut: Dar al-Fikr, 1992.

Al-Manawi, Muhammad Abd Rauf. al-Taisir bi Syarh al-Jami’ al-Shagir. Riyad: Dar al-Nasyr, Cet. III, 1408 H./1988 M.

__________. Faidh al-Qadir. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. I, 1415 H./1994 M.

Al-Mubarakfuriy, Abu ‘Aliy Muhammad ‘Abd al-Rahman. Tuhfat al-Ahwadziy liy Syarh al-Turmudziy. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Al-Nasa’i, Abu Abd Rahman Ahmad bin Syu’aib. Sunan al-Nasa’i. Bairut: Dar al-Ma’rifah, Cet. V, 1420 H.

Al-Nawawi, Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf. Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim. Bairut: Dar alk-Kutub al-Ilmiyah, Cet. I. 1421 H./2000 M.

Al-Turmudzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. Sunan al-Turmudzi. Bairut: Dar Ihya’ al-Turatz al-‘Arabi, t. thn.

Hassan Shadily, dkk, Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1983.

Ibnu Faris: Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah. Bairut Lebanon: Dar al-Fikr.

Ibnu Hajar: Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajr al-’Asqalaniy. Fath al-Bariy bi Syarh Shahih al-Bukhariy. Beirut: Dar al-Ma’rifah, t. th.

Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah. Bairut; Dar al-Fikr, t. thn

Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abd Halim. al-Siyasah al-Syar’iyah. al-Mamlakah al-Sa’udiyah al-‘Arabiyah: Wizarah al-Syu’un al-Islamiyah, Cet. I, 1918 H.

Ismail, M. Syuhudi. Kaedah Keshahihan Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. II. 1995.

Louis Ma’louf. Al-Munjid fi al-Lughah. Bairut: Dar al-Masyriq. Cet. XII. 1977.

Malik bin Anas, Abu Abdillah. Muwattha’ Malik. Mesir: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t. thn.

Muslim:  Abu al-Husain, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim. Bairut: Dar al-Jail, t. thn

Shafiyurrahman, al-Mubarakfuri. al-Rahiq al-Makhtum. Riyad: Makhtabah Dar al-Salam, 1414 H./1994 M.

The Liang Gie, dkk, Ensiklopedi Administrasi. Jakarta: CV. Haji Masabung, Cet. VI, 1989.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

www.daudrasyid.com. Rasyid, Daud. Hukum Tentang Korupsi. Rabu, 09 Agustus 2008.

www.hannanan@yahoo.com. M. Shabri Abd Majid. Pemimpin Masa Depan Aceh Yang Lebih Ideal.

www.JustAnother.Blogdetik.com. Nepotisme, Bagaimana Sebaiknya Disikapi. Disadur dari Ensiklopedi Menejemen.

www.KotaSantri.com. Asa, Noor Fajar. Ahlul Korup wal Jama’ah. Tanggal 27-11-2008.

www.wikipedia.com. Wikipedia Ensiklopedi Bebas. Nepotisme. Tanggal 22 Nopember 2008.
[1] Daud Rasyid, Hukum Tentang Korupsi (dikutip dari internet yang dimuat pada hari Rabu, 09 Agustus 2008, akan tetapi diakses pada tanggal 26 Desember 2008).


[2] Lihat Surah al-Baqarah ayat 85.

[3] Abu al-Husain, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, kitab al-Zakah bab Qabul al-Shadaqah Min al-Kasb al-Thayyib… (Bairut: Dar al-Jail, t. thn),. Op.Cit. Jilid 3 hal. 85

[4] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari kitab al-‘Ilmi bab Man Suila ‘Ilman wahuwa Musytagi… (Bairut: Dar Ibnu Katsir, Cet. III, 1407 H./1987 M.) dan Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal al-Syaibani, Musnad Ahmad, Musnad Aisyah bin Abi Bakar (Bairut: Alam al-Kutub, Cet. I, 1419 H./1998 M.), Jilid 2 hal. 361

[5] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 3.

[6] Hassan Shadily, dkk, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1983) Jilid 4 hal. 2361

[7] The Liang Gie, dkk, Ensiklopedi Administrasi, (Jakarta: CV. Haji Masabung, Cet. VI, 1989) hal. 292

[8] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) hal. 613

[9] Dikutip dari internet dengan judul Nepotisme, Bagaimana Sebaiknya Disikapi, www. Just Another Blogdetik.com weblog. Yang disadur dari Ensiklopedi Menejemen.

[10] Wikipedia Ensiklopedi Bebas, Nepotisme, (dikutip dati Internet yang dimuat pada tanggal 22 Nopember 2008, 18: 52.

[11]Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah (Bairut Lebanon: Dar al-Fikr) Jilid 2 hal. 20

[12] Noor Fajar Asa, Ahlul Korup wal Jama’ah, (dikutip dari internet. www. KotaSantri.com yang dimuat pada tanggal 27-11-2008, 09:09).

[13] Shahih al-Bukhari, kitab al-Manaqib bab Qaul al-Nabi li al-Anshar Ishbiru. Op.Cit. Jilid 3 hal. 1381. Begitu juga dalam Shahih Muslim Kitab al-Imarah bab al-Amr bi al-Shabri ‘inda al-Zhulm…Op.Cit. Jilid 6 hal. 19, Abu Isa Muhammad bin Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Kitab al-Futan ‘an Rasulillah bab fi al-Itsrah (Bairut: Dar Ihya’ al-Turatz al-‘Arabi, t. thn), Jilid 4 hal. 482, Abu Abd Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, kitab Adab al-Qudhah bab Tark Isti’mal Man Yahrish ‘ala al-Qadha’ (Bairut: Dar al-Ma’rifah, Cet. V, 1420 H.), dan Musnad Ahmad, Musnad Aisyah bin Abi Bakar. Op.Cit. Jilid 4 hal. 351. Sedangkan status hadis tersebut shahih sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Isa al-Turmudzi dalam Sunan al-Turmudzi, Jilid 4 hal. 482,

[14] Louis Ma’louf, Al-Munjid fi al-Lughah (Cet. XII; Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 3.

[15] Abu ‘Aliy Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Mubarakfuriy (al-Mubarakfuriy), Tuhfat al-Ahwadziy liy Syarh al-Turmudziy (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz.VI, h. 359.

[16] Hasan Sadiliy, Ensiklopedia Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1983), h. 2361.

[17] Lihat al-Hafidz Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajr al-’Asqalaniy, Fath al-Bariy bi Syarh Shahih al-Bukhariy (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t. th.), juz V, h. 117-118.

[18] Al-’Asqalaniy, Fath al-Bariy. Op.Cit. Juz V, h. 117-118.

[19] Oleh karena itu, Imam al-Nasa’i mengkhususkan hadis tersebut dalam satu bab yang berjudul tidak memberikan jabatan kepada orang yang menginginkan karena salah satu indikasi seseorang itu tidak kompoten dan tidak bertanggung jawab terhadap jabatannya adalah meminta atau memaksakan kehendak untuk menjadi pejabat. Baca: Sunan al-Nasa’i, kitab Adab al-Qudhah bab Tark Isti’mal Man Yahrish ‘ala al-Qadha’. Op.Cit. Jilid 1 hal. 16.

[20] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ilmi bab Man Suila Ilman wahuwa musytagil fi Haditsih. Op.Cit. Jilid 1 hal. 33,  Musnad Ahmad, Musnad Abi HUrairah, Op.Cit. Jilid 2 hal. 361. Menurut Muhammad al-Khatib, hadis tersebut shahih. Lihat Muhammad bin Abdullah al-Khatib al-Tabrizi Misykat al-Mashabih, (Bairut: al-Maktab al-Islami, Cet. III, 1405 H./ 1985 M.) Jilid 3 hal. 181.

[21] Muhammad Abd Rauf al-Manawi, Faidh al-Qadir, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. I, 1415 H./1994 M.) Jilid. 1 hal. 578

[22] Zainuddin Abd Rauf al-Manawi, al-Taisir bi Syarh al-Jami’ al-Shagir, (Riyad: Dar al-Nasyr, Cet. III, 1408 H./1988 M.) Jilid 1 hal. 264.

[23] Faidh al-Qadir. Op.Cit. Jilid 1 hal. 578.

[24] Abu Muhammad Badruddin al-Hanafi, ‘Umdat al-Qari’ Syarh Shahih al-BUkhari, (dikutip dari Maktabah Syamilah) Jilid 2 hal. 378

[25] Shahih Muslim, Op.Cit. Jilid 6 hal. 6. Hadis dengan teks semacam ini hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim akan tetapi riwayat yang semakna dengan teks tersebut juga terdapat dalam Shahih Muslim, kitab al-Imarah bab Karahiyat al-Imarah bi Ghair Darurah. Jilid. 6 hal. 7, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Daud kitab al-Washaya bab Ma Ja’a fi al-Dukhul fi al-Washaya, (Bairut: Dar al-Fikr, t.thn.) Jilid 2 hal. 127 dan Sunan al-Nasa’i kitab al-Washaya bab al-Nahy ‘an al-Wilayah ‘ala Mal al-Yatim, Op.Cit. Jilid6 hal. 566.

[26] Sahabat sekaliber Abu Zarr al-Gifary yang begitu saleh dan dipercaya tidak diperkenankan Nabi untuk menduduki jabatan karena alasan profesionalitas. Abu Zarr dianggap tidak kompoten di bidang tersebut meskipun dia jujur, adil dan berakhlak mulia. Lihat; Nuruddin Ali bin Sultan al-Harawy al-Mala’ali al-Qary, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, (Bairut: Dar al-Fikr, 1992) Jilid 10 hal.

[27] Bahkan imam al-Nawawi memberikan komentar bahwa hadis inilah yang menjadi dasar kuat untuk menjauhi pemerintahan, khususnya bagi orang-orang yang tidak kompoten atau kompoten tapi tidak mampu berbuat adil. Baca: Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, (Jilid 12 hal. 210

[28] Teks lengkap hadis beserta sanadnya dapat dilihat di Shahih al-Bukhari, kitab al-Adzan bab Man Jalasa fi al-Masjid, Op.Cit. Jilid. 1 hal. 234. Shahih Muslim, Kitab al-Zakah bab Fadhl Ikhfa’ al-Shadaqah, Op.Cit. Jilid 3 hal. 93, Sunan al-Turmudzi, Kitab al-Zuhd ‘an Rasulillah bab Ma Ja’a fi al-Hubb fi Allah. Jilid 4 hal. 598, Sunan al-Nasa’i, kitab Adab al-Qudhat bab al-Imam al-‘Adil, Op.Cit. 8 hal. 613 dan Musnad Ahmad, Musnad Abi HUrairah, Op.Cit. 2 hal. 439 dan Abu Abdillah Malik bin Anas, Muwattha’ Malik. (Mesir: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t. thn.) Jilid 2 hal. 952. Menurut Abu Isa al-Turmudzi, Hadis ini Hasan Shahih. Jilid. 4 hal. 598.   

[29] Taqiyuddin Ahmad bin Abd Halim Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah, (al-Mamlakah al-Sa’udiyah al-‘Arabiyah: Wizarah al-Syu’un al-Islamiyah, Cet. I, 1918 H.) hal. 10

[30] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum, (Riyad: Makhtabah Dar al-Salam, 1414 H./1994 m.) hal. 463.

[31] Teks aslinya diambil dari Shahih BUkhari, kitab al-Mazhalim wa al-Gashab bab al-nahby bi Ghair Idzni Shahibih, Op.Cit. Jilid 2 hal. 875 hadis ini juga diriwayatkan oleh Shahih Muslim, kitab al-Iman bab Bayan Nuqshan al-Iman…,Op.Cit. Jilid 1 hal. 54-55, Sunan al-Turmudzi, kitab al-Iman ‘an Rasulillah bab Ma Jaa La Yazni al-Zani wahuwa Mu’min,Op.Cit. Jilid 5 hal. 15, Sunan al-Nasa’i, kitab Qath’u al-Sariq bab Ta’zhim al-Sariqah,Op.Cit. Jilid 8 hal. 435, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Maja, kitab al-Fitan bab al-Nahyu ‘an al-Nuhbah, (Bairut; Dar al-Fikr, t. thn), Jilid 2 hal. 1298 dan Musnad Ahmad Musnad Abi Hurairah, Op.Cit. Jilid 2 hal. 243, serta Abu Muhammad Abdullah bin Abd Rahman, Sunan al-Darimi, kitab al-Asyribah bab Fi al-Taglizh liman Yasyrab al-Khamr, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cet. I, 1407 H.) Jilid 2 hal. 156. Bahkan menurut salah satu hadis bahwa kejahatan atau kedengkian seseorang diakibatkan karena tidak beriman yaitu: وفي رواية ولا يغل أحدكم حين يغل وهو مؤمن Baca: Syaraf al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Op.Cit. 2 hal. 41.

[32] Mengenai perdebatan ulama tentang hadis tersebut dapat dilihat dalam kitab Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Op.Cit. Jilid 1 hal. 148, dan Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Op.Cit. Jilid 2 hal. 32

[33] Noor Fajar Asa, Op.Cit. dari internet.

[34] Baca Surah al-Qashash ayat 26 yaitu  قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

[35] Teks Hadis secara lengkap telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. (Lihat hal. 7-8, Shahih al-Bukhari).

[36] Muwattha’ Malik, kitab al-Musaqah bab Ma ja’a fi al-Musaqah, Op.Cit. 2 hal. 703

[37] Shahih al-Bukhari, kitab al-‘itqi bab al-‘Abd Ra’in fi Mali Sayyidih, Op.Cit. Jilid 2 hal. 848.

[38] Untuk teks lengkapnya, lihat hal. 10, riwayat Shahih Muslim.

[39] M. Shabri Abd Majid, Pemimpin Masa Depan Aceh Yang Lebih Ideal, (dikutip dari internet www.hannanan@yahoo.com).  

[40] Shahih Muslim, Kitab al-Iman, bab Istihqaq al-Wali al-Gasyi Lira’iyyah….Op.Cit. Jilid I hal. 88.  Jika melihat perawi yang ada di dalamnya, penulis menetapkan bahwa hadis tersebut shahih. 

[41] Teksnya terdapat dalam kitab Muwattha’ Malik kitab al-Jami’ bab Annahu Qad Balagah. Op.Cit. Jilid 2 hal. 904 dan Musnad Ahmad kitab Musnad Abi Hurairah, Op.Cit. Jilid 2 hal. 381

[42] Shahih al-Bukhari, Kitab Ahadis al-Anbiya’ bab Hadits al-Ghar, Op.Cit. Jilid 3 hal. 1284, Sunan Ibnu Majah kitab al-Zuhd bab al-Haya’. Op.Cit. Jilid 2 hal. 1400, Musnad Ahmad, Hadsi Abi Mas’ud al-Badri, Op.Cit. Jilid 4 hal. 121 dan 122.

[43] Shahih al-Bukhari kitab al-Ahkam bab Ma Yukrah Min al-Hirsh ‘ala al-Imarah, Op.Cit. Jilid 6 hal. 2614.

[44] Sunan Abi Daud, Kitab al-Adab, bab Fi al-Hawa. Op. Cit. Jilid 2 hal. 755, dan Musnad Ahmad, Musnad Abi al-Darda’, Op.Cit. Jilid 5 hal. 194. Hadis ini menurut al-Iraqi sanadnya dhaif, Baca Muhammad Abd Rauf al-Manawi, Faidh al-Qadir, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H./1994 m.) Jilid 3 hal. 492. Dan Syekh al-Albani juga men-dhaif-kan Lihat: Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Silsilah al-Dhaifah, (Riyad: Maktabah al-Ma’ari, t. thn), Jilid 7 hal. 76

[45] Lihat Surah al-Nisa’ ayat 8

[46] Musnad Ahmad, Musnad Abi Bakar al-Shiddiq, Op.Cit. Jilid 1 hal. 6. Setelah melakukan pengkajian, maka Hadis ini dhaif karena salah satu sanadnya mubham (tidak dikenal) sehingga bisa disebut hadis munqathi’.

[47] Untuk kelengkapan sanadnya, lihat hal. 18 Shahih Muslim.

[48] Ibid. , Kitab al-Iman, bab Istihqaq al-Wali al-Gasyi Lira’iyyah…Op.Cit. Jilid 1 hal. 88

[49] Shahih al-Bukhari kitab al-Hiyal bab Ihtiyal al-‘Amil Liyuhda lahu, Op.Cit. Jilid 6 hal. 2559. Dan Shahih Muslim, kitab al-Imarah bab Tahrim Hadaya al-‘Ummal, Op.Cit. Jilid 6 hal. 11

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalo udah kerabat, saudara, keluarga yg dimasukkin pasti udah buta lah sama kompeten enggaknya.

Anonim mengatakan...

Kalo udah kerabat, saudara, keluarga yg dimasukkin pasti udah buta lah sama kompeten enggaknya.

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates