Selasa, 10 Mei 2011

ABU BAKAR DAN UMAR BIN KHATTAB


oleh : Muhammad Irham. S. Th. I
BAB I
PENDAHULUA
  1. Latar Belakang
Setelah Nabi Muhammad saw., di Madinah pada tahun 11 H atau 632 M, tugas-tugas keagamaan dan pemerintahan diteruskan para penggantinya (khulafa>). Diantara empat khalifah itu, dua diantaranya merupakan mertua Nabi Muhammad saw., dan dua lainnya merupakan menantu Nabi Muhammad saw. Keempat khali>fah tersebut dalam sejarah Islam lebih dikenal dengan sebutan al-Khulafa> al-Ra>syidu>n, yang berarti para khali>fah yang terpercaya atau yang mendapat petunjuk, sesuatu gelar yang berkaitan dengan kepemimpinan dan kapasitas mereka sebagai kepala pemerintahan dan kepala agama dalam mempertahankan kemurnian agama Islam dalam berbagai aspek kehidupan sebagaimana telah dicontohkan Nabi Muhammad saw. dalam mewujudkan kemashlahatan umat.
Keempat khali>fah tersebut memerintah selama kurang lebih tiga puluh tahun, mulai dari 11-40 H (632-661 M). Khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq memerintah dari tahun 11-13 H, khali>fah  'Umar Ibn Khaţţa>b dari tahun 13-23 H, khali>fah  'Usma>n dari tahun 23-35 H dan khali>fah  'Ali> dari tahun 35 sampai 40 H.
Dalam makalah ini, penulis akan membatasi pokok pembahasan seputar dua dari empat khali>fah tersebut, yaitu khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq dan 'Umar Ibn Khaţţa>b, yang menjadi tugas dari pemakalah ini.
Pembahasan mengenai kedua tokoh ini berkisar seputar biografi; yang mencakup nama lengkap, nasab, sifat, sikap dan kedudukannya, dan peranan kedua tokoh tersebut sebagai khali>fah; mengungkapkan seputar masa suksesi, pidato perdana, terobosan khalifah baik internal maupun eksternal.
  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pembahasan ini akan menyingkap dua hal:
1.      Bagaimana biografi  Abū Bakar al-Şiddīq dan 'Umar Ibn Khaţţa>b?
2.      Bagaimana  peranan  Abū Bakar al-Şiddīq dan 'Umar Ibn Khaţţa>b sebagai
      khali>fah?

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Biografi Abū Bakar al-Şiddīq
1. Nama Lengkap Abū Bakar al-Şiddīq dan Nasabnya
Nama Lengkapnya Abdulla>h Ibn Quhafa at-Taimi> dilahirkan pada tahun 573 M (dua tahun setelah kelahiran Rasulullah). Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka'bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah.[1] Ia termasuk salah satu sahabat yang utama. Julukannya adalah Abū Bakar (Bapak pemagi) karena dari pagi-pagi betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. Gelarnya al-Şiddi>q diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan Nabi Muhammad saw. dalam berbagai peristiwa terutama Isra>' dan Mi'ra>j.[2]
2.   Sikap, Sifat Abū Bakar al-Şiddīq dan kedudukannya
Sebelum masuk Islam, Abū Bakar al-Şiddīq memulai karirnya sebagai pedagang. Setelah masuk Islam, Abū Bakar al-Şiddīq begitu cepat menjadi anggota yang paling menonjol dalam jamaah Islam setelah Nabi Muhammad saw. Abū Bakar aş-Şiddiq terkenal karena keteguhan pendirian, kekuatan iman, kesetiaan, dan kebijakan pendapatnya. Kalaupun Abū Bakar al-Şiddīq hanya satu atau dua kali diangkat sebagai panglima perang oleh Nabi – tidak seperti Ali yang sangat lincah dalam memimpin peperangan- hal itu karena setiap sahabat Nabi memiliki karakter yang menonjol khusus yang berbeda dengan lainnya dan (barangkali) disebabkan Nabi Muhammad saw., menghendaki agar Abū Bakar al-Şiddīq mendampinginya untuk bertukar pendapat atau berunding.[3]
Diantara bentuk penghargaan Nabi kepada Abū Bakar al-Şiddīq adalah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ رواه البخاري[4]

Artinya:
"Dari Ibn Abbas ra. Bahwa Nabi Muhammad saw., bersabda sekiranya saya akan mengangkat (menjadikan) sahabat karib seseorang dari umatku maka saya akan menjadikan Abū Bakar (al-Şiddīq) sebagai sahabat karibku".[5]

Hadis diatas dapat menunjukkan betapa senangnya Nabi Muhammad saw., kepada Abū Bakar al-Şiddīq dan betapa besarnya kedudukan Abū Bakar al-Şiddīq di sisi Rasul maupun Islam.
Nabi Muhammad saw., seringkali menunjuknya untuk mendampinginya di saat-saat penting atau jika berhalangan, Nabi Muhammad saw., mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusui persoalan-persoalan aktual di Madinah.[6] Diantaranya, Nabi Muhammad saw., pernah mengutus Abū Bakar al-Şiddīq memimpin muslimin melakukan haji sebagai penggantinya pada tahun 9 H. Selain itu, Abū Bakar al-Şiddīq juga pernah mengganti kedudukan Nabi menjadi Imam Shalat ketika Nabi sakit.[7] Sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibn Hisya>m dalam kitabnya Sirah Ibn Hisya>m sebagai berikut:
قَالَ الزّهْرِيّ : وَحَدّثَنِي حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ ، أَنّ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمّا اُسْتُعِزّ بِرَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلّ بِالنّاسِ . قَالَتْ قُلْت : يَا نَبِيّ اللّهِ إنّ أَبَا بَكْر ٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ ضَعِيفُ الصّوْتِ كَثِيرُ الْبُكَاءِ إذَا قَرَأَ الْقُرْآنَ . قَالَ مُرُوهُ فَلْيُصَلّ بِالنّاسِ . قَالَتْ فَعُدْت بِمِثْلِ قَوْلِي ، فَقَالَ إنّكُنّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ ، فَمُرُوهُ فَلْيُصَلّ بِالنّاسِ قَالَتْ فَوَاَللّهِ مَا أَقُولُ ذَلِكَ إلّا أَنّي كُنْت أُحِبّ أَنْ يُصْرَفَ ذَلِكَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعَرَفْت أَنّ النّاسَ لَا يُحِبّونَ رَجُلًا قَامَ مَقَامَهُ أَبَدًا ، وَأَنّ النّاسَ سَيَتَشَاءَمُونَ بِهِ[8]

Artinya:
"Imam az-Zuhri berkata bahwa Hamzah Ibn Abdillah Ibn Umar memberitahukanku bahwa 'Aisyah ra. berkata ketika Nabi sedang sakit berat Rasul bersabda bahwa Perintahkanlah Abū Bakar (al-Şiddīq) untuk memimpin shalat jamaah, maka saya ('Aisyah) berkata wahai Nabi Allah! Sesungguhnya Abū Bakar al-Şiddiq itu seorang pria yang perangai lembut, suaranya kecil, dan senantiasa menangis ketika membaca al-Qur'an, maka Rasul tetap bertitah : Perintahkanlah Abū Bakar al-Şiddiq untuk mengimami shalat manusia (muslimin). Saya ('Aisyah) kembali berkata sembari mengulang perkataan saya sebagaimana sebelumnya, maka Nabi Muhammad saw., berkata sesungguhnya kalian (seakan-akan seperti) para saudara nabi Yusuf a.s. –yang tidak suka kepada nabi Yusuf a.s. dan mendengki kepadanya- dan Nabi Muhammad saw., kembali mengakatan Perintahkanlah Abū Bakar al-Şiddiq untuk mengimami shalat manusia (muslimin). Demi Allah saya ('Aisyah) tidak mengatakan yang demikian kecuali saya (lebih) suka untuk mengganti Abu>  Bakar (sebagai Imam shalat)  dan saya tahu bahwa kaum muslimin tidak menyukai seseorang (selain nabi) yang berdiri di depannya dalam kurun waktu yang lama. Dan mereka meramalkan akan terjadi sesuatu yang (kurang) baik. [9]

            Kemudian, untuk lebih menegaskan pernyataan di atas, Ibn Ish}aq dan Ibn Hisya>m sepakat dalam meriwayatkan sebagai berikut:
قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : وَقَالَ ابْنُ شِهَابٍ : حَدّثَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ زَمَعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ بْنِ الْمُطّلِبِ بْنِ أَسَدٍ ، قَالَ لَمّا اُسْتُعِزّ بِرَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَأَنَا عِنْدَهُ فِي نَفَرٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ دَعَاهُ بَلَالٌ إلَى الصّلَاةِ فَقَالَ مُرُوا مَنْ يُصَلّي بِالنّاسِ . قَالَ فَخَرَجْت فَإِذَا عُمَرُ فِي النّاسِ . وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ غَائِبًا ؛ فَقُلْت : قُمْ يَا عُمَرُ فَصَلّ بِالنّاسِ قَالَ فَقَامَ فَلَمّا كَبّرَ سَمِعَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ صَوْتَهُ وَكَانَ عُمَرُ رَجُلًا مِجْهَرًا ، قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَأَيْنَ أَبُو بَكْرٍ ؟ يَأْبَى اللّهُ ذَلِكَ وَالْمُسْلِمُونَ يَأْبَى اللّهُ ذَلِكَ وَالْمُسْلِمُونَ . قَالَ فَبُعِثَ إلَى أَبِي بَكْرٍ ، فَجَاءَ بَعْدَ أَنْ صَلّى عُمَرُ تِلْكَ الصّلَاةَ فَصَلّى بِالنّاس.         [10]

Artinya:

"Ibn Ish}aq berkata, Ibn Hisya>m berkata bahwa 'Abd al-Malik berkata kepadaku dari bapaknya 'Abdullah Ibn Za'amah berkata ketika Nabi sedang sakit berat Rasul saya berada disisinya bersama sekelompok manusia (sahabat lainnya) maka Nabi Muhammad saw., meminta air untuk shalat seraya bersabda perintahkanlah seseorang untuk memimpin shalat, saya ('Abdullah Ibn Za'amah) berkata bahwa saya pun keluar dan menjumpai 'Umar bersama sahabat blainnya dan Abu> Bakar tidak hadir, maka saya pun ('Abdullah Ibn Za'amah) berkata berdirilah 'Umar (untuk menjadi Imam shalat) dan 'Umar pun berdir, dan ketika 'Umar bertakbir Nabi Muhammad saw., mendengarnya karena –sebagaimana yang diketahui- 'Umar adalah sesosok pria bersuara nyaring/keras. Kemudian Nabi Muhammad saw., bertanya dimana Abu> Bakar. Allah dan Umat Islam pun menolaknya, diutuslah seseorang untuk mencari Abu> Bakar maka Abu> Bakar pun datang setelah 'Umar selesai shalat dan Abu> Bakar pun shalat".[11]     

Hemat penulis, kedua pernyataan di atas belum menegaskan secara ilmiah karena kedua pernyataan tersebut belum memiliki standar ilmiah. Yang dimaksud dengan belum berstandar ilmiah adalah sanad hadis/sunnah di atas belum ditakhrij dan sanad dan matannya belum dikritik sesuai kriteria hadis s}ah}ih} yaitu tersanbungnya sanad, perawinya adil dan d}abit}, tidak sya>z\ dan tidak 'illah.
            Mengambil data dari riwayat yang ternukil dari kitab hadis yang standar sangatlah valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hal ini penulis menulusuri sembilan kitab hadis al-Mu'tabarah, dan mendapat bahwa semuanya meriwayatkan hadis di atas –baik secara lafal maupun makna- kecuali kitab al-Muwat}t}a' dan Sunan al-Da>rimi>. Ini adalah makalah tentang sejarah peradaban islam bukan makalah tentang ilmu hadis sehingga cukuplah riwayat al-Bukha>ri> yang mewakili sebagai bukti ilmiah kebenaran kedua pernyataan tersebut. Adapun riwayat al-Bukhari dalam kitab s}ah}ih nya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ.[12]  

Artinya:
"Umar Ibn Hafs} Ibn Giya>s\ menceritakan kepada kami, lalu ia berkata diceritakan kepadaku ayahku, lalu ia berkata al-A'masy menceritakan kepada kami, dari Ibra>hi>m, dari al-Aswad berkata dulu kami bersama 'A<isyah r.a. yang berkata bahwa ketika nabi Muhammad saw., sakit dengan sakitnya yang membuatnya wafat, Nabi Muhammad saw. Bersabda perintahkanlah Abu> Bakar untuk memimpin shalat (dihadapan Umat Islam) manusia. Maka dikatakan kepadanya bahwa sesungguhnya Abu> Bakar  adalah seorang pria yang muda menangis/bersedih jikalau ia berdiri di tempatmu berdiri (sebagai imam) dia di tidak mampu (layak) mengimami kami maka Nabi Muhammad saw., mengulangi perkataannya dan mereka pun mengulangi perkataannya sampia tiga kali lalu Nabi Muhammad saw., kembali bersabda sesungguhnya kalian (seakan-akan seperti) para saudara nabi Yusuf a.s. –yang tidak suka kepada nabi Yusuf a.s. dan mendengki kepadanya- dan Nabi Muhammad saw., kembali mengakatan Perintahkanlah Abū Bakar al-Şiddiq untuk mengimami shalat manusia (muslimin)."[13]

Jadi, pernyataan tentang مروه فليصل بالناس   yang berada dalam kitab Sirah Ibn Hisya>m dapat dibenarkan karena dikuatkan oleh kitab-kitab hadis yang standar –termasuk kitab s}ah}ih al-Bukha>ri>-, Sehingga dalil ini cukup kuat sebagai alasan penunjukan Abū Bakar al-Şiddiq sebagai khali>fah pertama terlepas dari hadis nabi tentang 'Ali> pada haji wada' nya dan keutamaan lain Abū Bakar al-Şiddiq sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.   

B.   Abū Bakar al-Şiddīq  Sebagai Khalifah
1.      Masa Genting Sepeninggalan Rasul
a)      Keraguan umat Islam akan kewafatan Nabi Muhammad saw.
Ketika sebagian muslimin  –antara lain 'Umar Ibn Khaţţa>b-  tidak percaya atau  ragu bahwa  Nabi  telah wafat.[14]  Untuk lebih komperensifnya kita merujuk ke sumber primer yang cenderung lebih valid karena telah disusun dengan jarak yang agak dekat dengan tahun wafatnya Nabi Muhammad saw., yaitu kitab Sirah Ibn Hisy>am sebagai berikut:
قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : قَالَ الزّهْرِيّ ، وَحَدّثَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيّبِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمّا تُوُفّيَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَامَ عُمْرُ بْنُ الْخَطّابِ ، فَقَالَ إنّ رِجَالًا مِنْ الْمُنَافِقِينَ يَزْعُمُونَ أَنّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَدْ تُوُفّيَ وَإِنّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَا مَاتَ وَلَكِنّهُ ذَهَبَ إلَى رَبّهِ كَمَا ذَهَبَ مُوسَى بْنُ عِمْرَانَ فَقَدْ غَابَ عَنْ قَوْمِهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمّ رَجَعَ إلَيْهِمْ بَعْدَ أَنْ قِيلَ قَدْ  مَاتَ وَوَاللّهِ لَيَرْجِعَنّ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كَمَا رَجَعَ مُوسَى ، فَلَيَقْطَعَنّ أَيْدِي رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ زَعَمُوا أَنّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَاتَ      [15]
Artinya:
"Ibn Ish}aq berkata: Zuhri> berkata bahwa diceritakan kepadaku oleh Sa'i>d Ibn al-Musayyab, Abu Hurairah berkata bahwa ketika Nabi Muhammad saw., wafat, berdirilah 'Umar Ibn Khaţţa>b seraya berkata bahwa sesungguhnya orang-orang munafik lah yang mengira bahwa Nabi Muhammad saw., telah meninggal padahal Nabi Muhammad saw., belum meninggal akan tetapi pergi Tuhannya sebagaimana Nabi Musa a.s. pergi ketuhannya empat puluh hari dan kembali lagi ke kaumnya kemudian 'Umar Ibn Khaţţa>b menambahkan bahwa sunggah Nabi Muhammad saw., akan kembali sebagaimana nabi Musa a.s. telah kembali (dulu), dan saya akan memotong tangan orang yang mengira Nabi Muhammad saw., telah wafat." [16]

Maka Abū Bakar al-Şiddīq langsung membenarkan kewafatan Nabi Muhammad saw., seraya meyampaikan khotbahnya:
أَيّهَا النّاسُ إنّهُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمّدًا فَإِنّ مُحَمّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللّهَ فَإِنّ اللّهَ حَيّ لَا يَمُوتُ. قَالَ ثُمّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ– سورة آل عمران الآية 144- " وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ  الشَّاكِرِينَ".        [17]

Artinya:
"Wahai sekalian manusia, siapa yang menyembah Muhammad, maka (menyesallah ia) karena Muhammad telah meninggal, dan barang siapa yang menyembah Allah (bahagialah ia) karena Allah lah Yang Maha Hidup Tiada Kematian baginya. Kemudian Abū Bakar al-Şiddīq membacanya sebuah ayat: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.[18]

قَالَ –أبو هريرة- فَوَاَللّهِ لَكَأَنّ النّاسُ لَمْ يَعْلَمُوا أَنّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ حَتّى تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ يَوْمئِذٍ.    [19]
Artinya:
"Abu Hurairah (melanjutkan) bahwa demi Allah, sungguh seakan-akan manusia (para sahabat) tidak mengetahui ayat ini telah turun (sebelumnya) sampai Abu> baker membacakannya ketika itu".[20]

Dan 'Umar Ibn Khaţţa>b pun mengakui dan membenarkan perkataan Abu> Bakar sembari berkata:
وَاَللّهِ مَا هُوَ إلّا أَنْ سَمِعْت أَبَا بَكْرٍ تَلَاهَا.     [21]
Artinya:
"Demi Allah, tidaklah (saya mengetahui ayat itu) kecuali setelah mendengar Abu> Bakar membacakannya. [22]

           
b)      Saqīfah Banī Sā'adah
Sejumlah  tokoh  Muhajirin dan  Anshar berkumpul di Saqīfah (balai kota) Banī Sā'adah tidak  lama  setelah  wafatnya Nabi Muhammad saw., [23] kecuali 'Ali> Ibn Abi> T{a>lib, al-Zubair Ibn al-'Awwa>m dan T{alh}ah Ibn 'Ubaidillah.[24] Mereka  memusyawarahkan siapa yang akan  dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup  alot karena  masing-masing  pihak,  baik  Muhajirin  dan Anshar,  sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam,[25] kaum anshar mencalonkan Sa'ad Ibn 'Uba>dah dan dari pihak Muhajirin menawarkan nama Abū Bakar al-Şiddiq.[26] Namun dengan semangat ukhuwah yang tinggi, akhirnya, Abū Bakar al-Şiddīq terpilih.[27] Rupanya, semangat keagamaan Abū Bakar al-Şiddīq  mendapat  penghargaan  yang   tinggi dari umat Islam.[28] Sehingga masing-masing  pihak menerima dan  membaiatnya  mungkin mempertimbangkan  sikap, sifat dan  kedudukannya  sebagaimana  yang dijelaskan sebelumnya.
Setelah moment tersebut perlu juga dicermati dan diketahui tentang bai'at umum yang terjadi setelah Saqīfah Banī Sā'adah. Hal ini dapat dijumpai pada perkata 'Umar Ibn Khaţţa>b sebagai berikut:
وَإِنّ اللّهَ قَدْ جَمَعَ أَمْرَكُمْ عَلَى خَيْرِكُمْ صَاحِبِ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ ثَانِي اثْنَيْنِ إذْ هُمَا فِي الْغَارِ فَقُومُوا فَبَايِعُوهُ.    [29]

Artinya:
"sesungguhnya Allah telah menghimpun urusan kalian kepada yang terbaik di antara kalian, sesorang sahabat Nabi Muhammad saw., yang menemani Nabi Muhammad saw., di gua hira (mereka berdua saja di dalamnya), maka kalian baiatlah Abū Bakar al-Şiddiq". [30]

2.      Pidato Perdana Abū Bakar al-Şiddīq  Sebagai Khali>fah
Pidato Inaugurasi yang diucapkan sehari setelah pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abū Bakar al-Şiddīq terhadap nilai-nilai Islam dan strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat sepeninggal Nabi. Inilah sebagaian kutipan khutbah Abū Bakar al-Şiddīq yang terkenal itu:
أَيّهَا النّاسُ فَإِنّي قَدْ وُلّيت عَلَيْكُمْ وَلَسْت بِخَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْت فَأَعِينُونِي ؛ وَإِنْ أَسَأْت فَقَوّمُونِي ؛ الصّدْقُ أَمَانَةٌ وَالْكَذِبُ خِيَانَةٌ وَالضّعِيفُ فِيكُمْ قَوِيّ عِنْدِي حَتّى أُرِيحَ عَلَيْهِ حَقّهُ إنْ شَاءَ اللّهُ وَالْقَوِيّ فِيكُمْ ضَعِيفٌ عِنْدِي حَتّى آخُذَ الْحَقّ مِنْهُ إنْ شَاءَ اللّهُ لَا يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللّهِ إلّا ضَرَبَهُمْ اللّهُ بِالذّلّ وَلَا تَشِيعُ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطّ إلّا عَمّهُمْ اللّهُ بِالْبَلَاءِ أَطِيعُونِي مَا أَطَعْت اللّهَ وَرَسُولَهُ فَإِذَا عَصَيْتُ اللّهَ وَرَسُولَهُ فَلَا طَاعَةَ لِي عَلَيْكُمْ . قُومُوا إلَى صَلَاتِكُمْ يَرْحَمُكُمْ[31]

Artinya:
"Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku, tapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Kejujuran itu amanah dan kebohongan itu Khianat. Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak darinya. Sedangkan orang yang kamu anggap lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya.(maksudnya: walaupun orang itu kuat tapi Abū Bakar al-Şiddīq menganggapnya enteng sampai orang itu mengembalikan hak orang yang tertindas-<penulis>-) Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat pada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tidak mematuhi keduanya, kalian tidak perlu mantaatinya. Dirikanlah shalat niscaya Allah Akan merahmati kalian">. [32]
3.                              Terobasan Abū Bakar al-Şiddīq
Abū Bakar al-Şiddīq memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah internal yang muncul akibat wafatnya Nabi. Terpilihnya Abū Bakar al-Şiddīq telah membangun kembali kesadaran dan tekad umat untuk bersatu melanjutkan tugas mulia Nabi Muhammad saw.. Menyadari bahwa kekuatan kepemimpinannya bertumpu pada komunitas yang bersatu ini, yang pertama kali menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan keinginan Nabi Muhammad saw., yang hampir tidak terlaksana yaitu mengirimkan ekspansi ke perbatasan Suriah di bawah pimpinan Usamah untuk menindak lanjuti terzhaliminya Zaid Abu Usamah dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mut'ah. Sebagian sahabat menentang keras rencana ini, tapi khalifah tak peduli. Nyatanya ekspansi itu sukses dan membawa pengaruh positif bagi umat Islam, khususnya dalam membangkitkan kepercayaan dirir mereka yang nyaris pudar[33] akibat telah ditinggal Nabi Muhammad saw., suri tauladan mereka.
a)      Internal
1)      Perang Riddah
Akibat lain wafatnya Nabi Muhammad saw., ialah hengkangnya beberapa orang Arab dari ikatan/jamaah Islam. Mereka melepaskan kesetian dengan menolak memberikan baiat kepada khali>fah yang baru bahkan menentang agama Islam, karena mereka menganggap bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat bersama Muhammad dengan sendirinya batal (kadaluarsa) disebabkan kematian Nabi Muhammad saw.[34]
Sesungguhnya  tidaklah mengherankan dengan bayaknya suku Arab yang melepaskan diri dari ikatan agama Islam. Mereka adalah orang-oarang yang baru memasuki Islam. Belum cukup waktu bagi Nabi Muhammad saw., dan para sahabatnya untuk mengajari mereka prinsip-prinsip keimanan dan ajaran Islam. Memang, suku-suku Arab dari padang pasir yang jauh itu telah datang kepada Nabi Muhammad saw., dan mendapat kesan mendalam  tentang Islam., tapi mereka hanyalah setitik air di samudera. Di dalam waktu beberapa bulan tidaklah mungkin bagi Nabi dapat mengatur pendidikan  atau latihan yang efektif untuk masyarakat yang terpencar di wilayah-wilayah yang amat luas dengan sarana komunikasi yang sangat minim saat itu.[35]
Gerakan melepas kesetiaan itu disebut "Riddah". Riddah bermakna pemurtadan, beralih agama dari Islam ke agama semula, secara politis merupakan pembangkangan terhadap lembaga khalifah.[36] Sikap mereka adalah perbuatan makar (menipudaya) yang melawan agama dan pemerintahan sekaligus.
Oleh karena itu, Khalifah Abū Bakar al-Şiddīq dengan tegas melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal itu dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, lalu berkembang menjadi perang merebut kemenangan. Perang itu dipimpin oleh Jenderal Khālid Ibn Wālid.[37] Tindakan pembersihan itu juga dilakukan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan orang yang enggan menunaikan zakat.[38]
Bukan rahasia lagi selama tahun-tahun terakhir kehidupan Nabi Muhammad saw., telah muncul nabi-nabi palsu di kawasan Arab bagian selatan dan tengah. Yang pertama muncul sebagai nabi palsu di Yaman, yang bernama Aswad Ansi, kemudian Musailamah Si Tukang Dusta (al-Kaz\z\a>b), Tulaihah dan Sajjah Ibn Haris dari Arab bagian tengah.[39]
Adapun orang-orang yang enggan membayar zakat, di antarnya karena mereka mengira bahwa zakat adalah serupa pajak yang dipaksakan dan penyerahannya ke perbendaharaan pusat di Madinah sama artinya dengan 'penurunan kekuasaan'; suatu sikap yang tidak disukai oleh suku-suku Arab karena bertentangan dengan karakter mereka yang independent.[40] 
Alasan lainnya ialah –mungkin inilah menjadi faktor utamanya- disebabkan kekeliruan memahami ayat al-Qur`an yang menerangkan mekanisme pemungutan zakat,[41] sebagaimana yang ternukil di dalam Q.S. al-Taubah/9 : 103.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ )103(
Terjemahnya:
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".[42]

Mereka menduga bahwa hanya Nabi saja yang berhak memungut zakat.[43] Padahal dalam islam dikenal amilin, amilin ini anggotanya bukan hanya hanya satu orang atau hanya satu saja. Kata  'a>mili>n  mengandung makna kelompok atau jamak.
Penumpasan terhadap oaring-orang murtad dan para pembangkang tersebut terutama setelah mendapat dukungan dari suku Gatafan yang kuat ternyata banyak menyita konsentrasi khali>fah, baik secara moral maupun poliitik. Situasi keamanan Madinah menjadi kacau, sehingga  banyak sahabat tidak terkecuali 'Umar Ibn Khaţţa>b yang dikenal keras menganjurkan bahwa dalam keadaan yang begitu kritis lebih baik kalau mengikuti kebijakan yang lunak. Terhadap ini khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq menjawab dengan marah:
"Kalian begitu keras di masa Jahiliyah, tapi sekarang setelah Islam, kamu menjadi lemah. Walau wahyu Allah telah berhenti dan agama kita telah sempurna. Kimi haruskah Islam dibiarkan rusak dalam masa hidupku? Demi Allah, seandainya mereka menahan sehelai benang pun (dari zakat) – karena mereka misahkan antara shalat dan zakat -, saya akan memerintahkan untuk memerangi mereka.".[44]

2)      Pengumpulan Muşhaf
Selama peperangan riddah, banyak qa>ri' (penghafal al-Qur`an) yang tewas. Karena orang-orang ini merupakan penghafal bagian-bagian al-Qur`an, 'Umar Ibn Khaţţa>b cemas jika bertambah lagi angka kematian itu, yang berarti beberapa bagian lagi dari al-Qur`an akan musnah. Karena itu ia menasehati Abū Bakar al-Şiddīq untuk membuat suatu "kumpulan" al-Qur`an. Mulanya khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq agak ragu untuk melakukan tugas itu karena tidak menerima otoritas dari Nabi, tapi kemudian ia memberikan persetujuan dan menugaskan Zaid Ibn S|a>bit. Para pencatat sejarah menyebutkan hal itu sebagai salah satu jasa besar dari Abū Bakar al-Şiddīq.[45]
Peperangan melawan para pengacau tersebut meneguhkan kembali khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq sebagai "Penyelamat Islam", yang berhasil menyelamatkan Islam dari kekacauan dan kehancuran dan membuat agama itu memperoleh lagi kesetian dari seluruh Jazirah Arab.[46]
b)      Eksternal
Sesudah memulihkan ketertiban di dalam negeri, Abū Bakar al-Şiddīq lalu mengalihkan perhatiannya  untuk memperkuat perbatasan dengan Persia dan Byzantium, yang akhirnya menjurus kepada serangkaian  peperangan melawan kedua kekaisaran tersebut.
Tentara Islam di bawah pimpinan Muşanna dan Khālid Ibn Wālid dikirim ke Irak dan menaklukan Hirah; sebuah kerajaan setengah Arab yang menyatakan kesiataannya kepada Kisrah Persia, yang secara strategis sangat penting bagi umat Islam dalam meneruskan penyebaran agama ke wilayah-wilayah di belahan utara dan timur. Sedangkan ke Suriah, suatu Negara di utara Arab yang dikuasai Romawi Timur (Byzantium), Abū Bakar al-Şiddīq mengutus empat panglima, yaitu Abū Ubaidah, Yazīd Ibn Abī Sufyanbm 'Amr Ibn 'As} dsan Syurahbil.[47] Ekspansi ke Suriah ini memang sangat besar artinya dalam konstalasi politik umat Islam, karena daerah protetorat itu merupakan front terdepan wilayah kekuasaan Islam dengan Romawi Timur. Dengan bergolaknya tanah Arab pada saat menjelang dan sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw., impian bangsa Romawi untuk menghancurkan dan menguasai agama Islam hidup kembali. Mereka menyokong sepenuhnya pergolakan itu serta melindungi orang-orang yang berani berbuat maker terhadap pemerintahan Madinah.[48]
Dalam peristiwa Mut'ah, bangsa Romawi bersekongkol dengan suku-suku Arab pedalaman  (Badui) dan orang Persia memberikan dukungan yang aktif kepada mereka untuk melawan kaum muslimin.[49]
Faktor penting lainnya dari panglima pasukan besar-besaran ke Suriah ini sehingga dipimpin oleh empat panglima sekaligus adalah karena umat Islam Arab memandang Suriah sebagai bagian integral dari semenjaung Arab. Negeri itu didiami oleh suku bangsa Arab yang berbicara menggunakan bahasa Arab. Dengan demikian, baik untuk keamanan umat Islam (Arab) maupun untuk pertalian rasional dengan orang-orang Suriah adalah sangat penting bagi kaum Muslimin (Arab).[50]

4.                              Selamat Jalan Sang Khali>fah
Ketika pasukan Islam sedang mengancam Palestina dan Irak, dan telah meraih beberapa kemenangan yang dapat memberikan kepada mereka kemungkinan-kemungkinan besar bagi keberhasilan selanjutnya, khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq meninggal dunia, Senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang selama 15 hari di tempat tidur. Beliau berusia 63 tahun dan kekhalifaannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari.[51]

C. Biografi 'Umar Ibn Khaţţa>b
1. Nama lengkap 'Umar Ibn Khaţţa>b dan Nasabnya
Beliau bernama lengkap 'Umar Ibn Khaţţa>b Ibn Nufail keturunan Abdul 'Uzza> Ibn Riya Ibn Abdullah Ibn Qarth Ibn Razah Ibn ‘Adiy Ibn Ka’ab Ibn Lu’ay Ibn Ghalib al-‘Adawi al-Quraisyi. Nasab Umar bertemu dengan nasab Nabi Muhammad saw. pada Ka’ab. Sementara itu, ibunda 'Umar Ibn Khaţţa>b adalah Hantamah binti Hasyim Ibn al-Mugirah al-Makhzumiyah.[52] 'Umar Ibn Khaţţa>b dari suku 'Adi; salah satu suku terpandang mulia. Ia dilahirkan di Mekkah empat tahun sebelum kelahiran  Nabi Muhammad saw. Dia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Ia ikut memelihara ternak ayahnya, dan berdagang hingga Ke Syiria. Beliau juga dipercaya oleh suku bangsanya, Quraisy, untuk berunding dan mewakilinya bila ada persoalan dengan suku-suku yang lain. 'Umar Ibn Khaţţa>b masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad saw. Beliau berkorban untuk melindungi Nabi Muhammad saw., dan agama Islam, dan ikut berperang dalam peperangan yang besar di masa Nabi Muhammad saw., serta dijadikan sebagai tempat rujukan oleh Nabi Muhammad saw., mengenai hal-hal yang penting. Ia dapat memecahkan masalah yang rumit tentang siapa yang berhak mengganti Nabi Muhammad saw., dalam memimpin umat setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., dengan memilih dan membaiat Abu Bakar sebagai khali>fah (pengganti) Nabi Muhammad saw., sehingga beliau mendapat kehormatan yang tinggi dan dimintai nasehatnya serta menjadi tangan kanan khali>fah yang baru itu.[53]
2. Sikap, Sifat 'Umar Ibn Khaţţa>b dan kedudukannya
Masuk islamnya 'Umar Ibn Khaţţa>b mendapat sambutan dari Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya[54] karena mereka mengetahui kapasitasnya. 'Umar Ibn Khaţţa>b kuat,  mempunyai keahlian dalam menentukan hukum sangat jenius dalam menata lembaga pemerintahan, cendikia dalam mengatur wilayah yang sedemikian luas lihai dalam menghadapi masalah baru yang belum terjadi sebelumnya.[55]
Nabi Muhammad saw., pun mengakui "kreatifisan baik" 'Umar Ibn Khaţţa>b dalam beragama:
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ.   [56]

Artinya:

"Dari Aisyah, dari Nabi saw., bersabda sungguh pada bangsa-bangsa terdahulu terdapat pembaharu-pembaharu, jika sekiranya terdapat pembaharu di Umatku maka dialah 'Umar Ibn Khaţţa>b".[57]

Dan di sisi lain, 'Umar Ibn Khaţţa>b juga merupakan Khalifah yang Adil[58] dan tergolong dalam sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga bahkan Nabi Muhammad saw., telah bermimpi dengan mimpi yang benar dari Allah swt., tentang sebuah istana di surga yang disedikan untuknya, sebagaimana ternukil dalam kitab s}ah}ih} zal-Bukha>ri> sebagai berikut:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَالَ بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِي فِي الْجَنَّةِ فَإِذَا امْرَأَةٌ تَتَوَضَّأُ إِلَى جَانِبِ قَصْرٍ فَقُلْتُ لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ قَالُوا لِعُمَرَ.  [59]

Artinya:
"Sa'i>d Ibn Abi> Maryam menceritakan kepada kami, al-Lais\ mengabari kami, lalu berkata 'Uqail menceritakan aku dari Ibn Syiha>b, lalu berkata Sa'i>d Ibn al-Musayyab mengabariku bahwasanya Abu> Hurairah r.a. berkata diantara kami duduk Nabi Muhammad saw. Yang bersabda saya bermimpi melihat diriku di surga dan seorang wanita berwudhu' disamping sebuah istana kemudian saya bertanya untuk siapa istana ini maka penghuni surga menjawab (istana ini) untuk 'Umar (Ibn al-Khat}t}a>b).[60]

            Secara tekstual, hadis tersebut menerangkan istana milik 'Umar Ibn Khaţţa>b di surga tetapi jika penulis melihat hadis tersebut dari aspek teknik interpretasi kontekstual maka penulis berpandangan bahwa tindakan, sikap dan karakter 'Umar Ibn Khaţţa>b dapat menjadi contoh dan panutun –setelah Nabi Muhammad saw.- yang patut diikuti jejak-jejaknya oleh umat Islam dikarenakan ketakwaan, kepekaan sosial yang tinggi, kreatifitas dan perhatiaannya kepada maslahat umat manusia secara umum dan umat Islam secara spesifik.

D. Umar Ibn Khaţţab Sebagai Khalifah
1.Proses Suksesi
Sebelum meninggal dunia, Abū Bakar al-Şiddīq telah menunjuk 'Umar Ibn Khaţţa>b menjadi penerusnya. Rupanya masa dua tahun bagi Khalifah Abū Bakar al-Şiddīq belumlah cukup menjamin stabilitas keamanan terkendali, maka penunjukkan ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam.
Meskipun peristiwa diangkatnya 'Umar Ibn Khaţţa>b sebagai khali>fah itu merupakan fenomena yang baru, tapi haruslah dicatat bahwa proses peralihan kepemimpinan tetap dalam bentuk musyarawah, yaitu berupa usulan atau rekomendasi dari Abū Bakar al-Şiddīq yang diserahkan kepada persetujuan umat Islam. Untuk menjajagi pendapat umum, Khalifah Abū Bakar al-Şiddīq melakukan serangkaian konsultasi terlebih dahulu dengan beberapa orang sahabat, antara lain ialah Abd al-Rahmān Ibn 'Auf dan 'Utsmān Ibn 'Affān.[61]
Pada awalnya terdapat berbagai keberatan mengenai rencana pengangkatan 'Umar Ibn Khaţţa>b ini, sahabat T{alh}ah misalnya segera menemui Abū Bakar al-Şiddīq untuk menyampaikan rasa kecewanya. [62]
Namun oleh karena 'Umar Ibn Khaţţa>b adalah orang yang paling tepat untuk menduduki kursi kekhalifan, maka pengangkatan 'Umar Ibn Khaţţa>b mendapat persetujuan dan baiat dari semua anggota masyarakat Islam.[63]
2. Pidato Perdana 'Umar Ibn Khaţţa>b Sebagai khalifah
Adapun Pidato perdana 'Umar Ibn Khaţţa>b sebagai Khalifah ialah:
"Orang-orang Arab sepeti halnya seekor unta yang keras kepala dan ini akan bertalian dengan pengendara di mana jalan yang akan dilalui, dengan nama Allah, begitulah aku akan menunjukkan kepada kamu ke jalan yang harus engkau lalui."[64]

3.   Terobosan 'Umar Ibn Khaţţa>b Sebagai Khali>fah
'Umar Ibn Khaţţa>b menyebut dirinya "khali>fati khali>fati Rasulillah" (Pengganti dari Pengganti Rasul). Beliau juga mendapat gelar "Amīr al-Mu'mīnin" (Komandan orang-orang beriman) sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa pemerintahannya.[65] Hemat penulis, 'Umar Ibn Khaţţa>b berpikiran kedepan dalam menggunakan istilah khali>fah, dalam artian khalifah-khalifah setelah jika menggunakan kata khalifah maka kata khali>fahnya banyak berulang, misalkan Ali dengan khali>fati khali>fati khali>fati khali>fati al-Rasu>l.
a)    Eksternal
Ketika para pembangkang di dalam negeri telah dikikis (hampir) habis oleh khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq, dan era penaklukan militer telah dimulai, maka khali>fah menganggap bahwa tugasnya yang pertama ialah mensukseskan ekpansi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun memerintah. 'Umar Ibn Khaţţa>b telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasan ini. Pada tahun 635 M, Damaskus, Ibu kota Suriah ditundukkan, setahun kemudian seluruh wilayah Suriah jatuh ke tangan Kaum Muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania, pasukan Romawi yang terkenal kuat itu runtuh.[66]
Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan atas Suriah di masa Khalifah 'Umar Ibn Khaţţa>b itu tidak lepas dari rentetan penaklukan pada masa sebelumya. Khalifah Abū Bakar al-Şiddīq telah mengirim pasukan besar di bawah Abū 'Ubaidah Ibn al-Jarrah ke front Suriah. Ketika pasukan  itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khālid Ibn Wālid yang sedang dikirim untuk memimpin pasukan ke front Irak, untuk membantu pasukan di Suriah.
Dengan gerakan secepat kilat Khālid menyeberangi gurun pasir luas kearah Suriah. Ia bersama Abu 'Ubaidah mendesak pasukan Romawi. Dalam keadaan genting itu wafatlah Khalifah Abū Bakar al-Şiddīq , dan diganti dengan Abū Bakar al-Şiddīq. Khalifah yang baru itu  mempunyai kebijaksanaan yang lain. Khālid yang dipercaya untuk memimpin pasukan di masa Abū Bakar al-Şiddīq diberhentikan  oleh 'Umar Ibn Khaţţa>b dan diganti oleh Abu 'Ubaidah. Hal itu tidak diberitahukankepada pasukan hingga selesai perang, dengan maksud agar tidak merusak konsentrasi dalam menghadapi musuh. Damaskus jatuh ke tangan  Kaum Muslimin setelah dikepung selama tujuh hari. Pasukan Muslim yang dipimpin oleh Abu 'Ubaidah itu melanjutkan penaklukan ke Hamah, Qinnisrin, Laziqiyah dan Aleppo. Surahbil dan 'Amr bersama pasukannya meneruskan penaklukan atas Baysan dan Jerussalaem di Palestina. Kota suci ketiga itu dan kiblat pertama bagi Umat Islam itu dikepung oleh pasukan muslimin selama empat bulan. Akhirnya kota suci itu dapat ditaklukkan dengan syarat harus khali>fah  'Umar Ibn Khaţţa>b sendiri yang menerima 'kunci' kota itu. Karena kekhawatiran mereka terhadap pasukan Muslim yang akan menghancurkan gereja-gereja.[67]
Dari Suriah, laskar Muslimin melanjutkan langkah ke bumi Mesir dan membuat kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika bagian utara. Bangsa Romawi telah menguasai Mesir sejak tahun 30 sebelum Masehi, dan menjadikan wilayah subur itu sebagai sumber pemasok gandum terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik sehingga menimbulkan kekacauan di negeri yang pernah diperintah oleh Raja Fir'aun itu. 'Amr Ibn 'Aş meminta izin khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b untuk menyerang wilayah itu, tapi Khalifah Umar Ibn Khaţţab masih ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar di beberapa front pertempuran. Akhirnya permintaan itu dikabulkan juga oleh khali>fah dengan pasukan 400 tentara ke Mesir untuk membantu ekspansi tersebut. Tahun 18 H, pasukan muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan. Kemudian menundukkan Pelusium (al-Farama),  pelabuhan di pantai Laut Tengah yang merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu bulan kota itu dikepung oleh pasukan muslimin dan dapat ditaklukkan tahun 19 H. satu demi satu kota-kota di Mesir ditaklukkan oleh pasukan muslimin. Kota Babylon juga dapat ditundukkan pada tahun 20 H setelah 7 bulan terkepung. Cyrus, pemimpin Romawi di Mesir mengajak damai dengan pasukan muslimin pimpinan 'Amr setelah melihat kebesaran dan kesungguhan pasukan muslimin untuk menguasai Mesir.[68] (akhlaqul karimahnya –penulis-).
Iskandariah sebagai ibu kota Mesir ketika itu dikepung selama empat bulan sebelum ditaklukkan oleh pasukan Islam  di bawah pimpinan Ubadah Ibn as-Samit yang dikirimnya oleh khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b sebagai bantuan pasukan yang sudah ada berada di front peperangan Mesir. Cyrus menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin yang berisi:[69]
1). Setiap warga negara diminta untuk membayar pajak perorangan  sebanyak 2 dinar setiap tahun.
2).  Gencatan senjata akan berlangsug selama 7 bulan.
3). Bangsa Arab akan tinggal di markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani tidak akan menyerang Iskandariah dan harus menjauhkan diri dari permusuhan.
4.) Umat Islam tidak akan menhancurkan gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri urusan umat Kristen.
5). Pasukan tetap Yunani harus meninggalkan Iskandariah dengan membawa harta benda dan uang, mereka akan membayar pajak perseorangan selama satu tahun.
6).  Umat Yahudi harus tetap tinggal di Iskandariah.
7). Umat Islam harusn menjaga 150 tentara Yunani dan 50 orang sebagai sandera sampai batas waktu dari perjanjian ini dilaksanakan.
Dengan jatuhnya Iskandariah maka sempurnalah penaklukan atas Mesir. Ibu kota itu dipindahkan ke kota baru yang bernama Fusţaţ  yang dibangun oleh 'Amr Ibn Aş tahun 20 H. Masjid 'Amr masih berdiri tegak di pinggiran kota Kairo hingga kini sebagai saksi sejarah yang tidak dapat dihilangkan.[70]
Dengan Suriah sebagai basis, gerak maju pasukan ke Armenia, Mesopotamia Utara. Geogria dan Azerbaijan menjadi terbuka. Demikian juga serangan-serangan kilat terhadap Asia kecil dilakukan selama bertahun-tahun setelah itu. Seperti halnya Yarmuk yang menentukan nasib Suriah, perang Qadisiah tahun 637 M menentukan masa depan Persia. Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b mengirim pasukan di bawah Sa'ad Ibn Abā Waqqaş untuk mendudukkan kota itu. Kemenangan  yang diraih di  daerah itu membuka jalan lempang bagi gerak maju tentara Muslim ke daratan Euphrat dan Tigris. Ibu kota Persia, Ctesiphon (Madain) yang letaknya di tepi sungai Tigris  pada tahun itu juga direbut. Setelah dikepung 2 bulan, Yazdagrid III, Raja Persia itu melarikan diri. Pasukan Islam kemudian mengepung Nahawan dan menundukkan Ahwaz tahun 22 H. Tahun 641 M/22 H seluruh wilayah Persia sempurna bertekuk di bawah Islam, sesudah pertempuran sengit di Nahawan. Isphahan juga ditaklukkan, demikian pula Jurjan/Geogria dan Tabristan. Azarbaijan tidak luput dari kepungan pasukan muslimin. Orang-orang Persia yang jumlahnya jauh lebih besar pada tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1 dikalahkan dengan menderita kerugian besar.[71] Kaum Muslimin menyebut sukses itu dengan "kemenangan dari segala kemenangan" (Fath al-Futūh).
Begitu cepatnya perebutan atas kekuatan yang strategies tersebut memberi prestise di mata dunia. Suatu tenaga yang tidak diperkirakan seakan-akan digerakkan oleh kekuatan gaib telah meluluh-lantakkan Kerajaan Persia dan Romawi. Tindakan-tindakan militer yang dilakukan Khālid, 'Amr dan lainnya di Irak., Suriah dan Mesir termasuk yang paling gilang gemilang dalam sejarah ilmu siasat perang dan tidak kalah jika dibandingkan dengan Napoleon, Hanibal atau Iskandar Zulkarnain.[72]
b)    Internal
Bersamaan dengan keberhasilan ekspansi di atas, pusat kekuasan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang amat pesat. Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani tuntutan masyarakat baru yang terus berkembang. 'Umar Ibn Khaţţa>b mendirikan dewan-dewan (jawatan), bait al-Māl, mencetak uang, membentuk kesatuan tentara untuk melindungi daerah tapal,  batas, mengatur ngaji, mengangkat hakim,hakim dan menyelanggarakan 'hisbah' (pengawasan pasar, mengontrol timbangan dan takaran, menjaga tata tertib dan kesusilaan dan sebagainya).[73]
Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b meletakkan prinsip-prinsip musyawarah dalam pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang paripurna.[74] Kekuatan 'Umar Ibn Khaţţa>b menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara. Kekhalifaan bagi 'Umar Ibn Khaţţa>b tidak memberikan hak istimewa. Tiada istana atau pakaian kebesaran, baik untuk 'Umar Ibn Khaţţa>b maupun apalagi untuk bawahannya, sehingga tidak ada perbedaann antara penguasa dan rakyat, dan mereka setiap waktu dapat dihubungi oleh rakyat. Kehidupan khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b memang merupakan penjelmaan yang hidup dari prinsip-prinsip  musyawarah yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara.[75]
            1). Menetapkan hukum tentang masalah yang baru
'Umar Ibn Khaţţa>b dikenal bukan saja pandai menciptakan peraturan-peraturan baru, dia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada, jika itu diperlukan oleh panggilan zaman demi tercapainya kemashlahatan uamat Islam. Misalnya mengenai kepemilikian tanah-tanah yang diperoleh dari  peperangan (ganimah). Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b membiarkan tanah digarap oleh pemiliknya sendiri di negeri taklukan dan melarang kaum muslimin memilikinya karena mereka menerima uang tunjangan dari bait al-Māl  dan sebagai gantinya tanah itu dikenakan pajak (al-Kharaj)[76]  Begitu pula khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b meninjau kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada muallaf .[77]




            2). Memperbaharui organisasi Negara[78]
                 a)) Organisasi politik terdiri:
1)) al-Khilafat, Kepala Negara. Dalam memilih kepala Negara berlaku sistem baiat dan musyawarah. Allah berfirman dalam Q.S. 'Ali> 'Imra>n/3 : 159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
 إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Terjemahnya:
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya"..

2)) Al-Wizarat, sama dengan kementerian. Umar menunjuk Usman sebagai pembantunya mengurus pemerintahan umum dan kesejahteraan rakyat, sedangkan Ali untuk mengurus  kehakiman, surat-menyurat dan tawanan perang.
3)) Al-Kitabat, Sekretaris Negara. Umar menunjuk Zaid Ibn Tsabit dan Abdullah Ibn Arqam.
                 b))   Administrasi  Negara
                        1)) Departemen-Departemen
a))) Diwan al-Jundiy, Badan pertahanan. Pada masa Rasul dan Abu Bakar, muslimin semuanya prajurit. Ketika rasul atau Abu Bakar menyeru untuk berperang siaplah semua mengikuti perintah Nabi. Kemudian ketika perang telah selesai kembalilah mereka menjadi penduduk sipil setelah menerima ghanimah. Masa Umar keadaan telah berubah, disusunlah satu badan yang mengurusi kemiliteran. Disusunlah angkatan bersenjata khusus, asrama, latihan, militer, kepangkatan, gaji, persenjataan ,dll. Mulai juga angkatan laut oleh Muawiyah, Gubernur Syam dan oleh Ala Ibn Hadharami, Gubernur Bahrain.
b))) Diwan al-Kharaj, Departemen Keuangan. Yang mengurusi pemasukan dan pengeluaran anggaran belanja Negara. Sumber keuangan Negara antara lain; al-Kharaj, al-Usyur, Zakat,dll.
c))) Diwan al-Qadha, Departemen Kehakiman. Umar mengangkat Hakim di setiap wilayahnya.
                        2)) Al-Imarah 'ala al-Buldan, Administrasi pemerintahan dalam negeri.
a))) Negara bagian menjadi propinsi dipimpin oleh gubernur, Yaitu: Ahwaz dan Bahrain, Sijistan, Makran dan Karman, Iraq, Syam Paletina, Mesir, Padang Sahara Libya.
b))) Al-Barid, Pos. perhubungan kuda pos memakai kuda pos.
c))) Al-Syurthah, Polisi dalam negeri.[79]
                        3)) Mengembangkan Ilmu
Kota-kota ekspansi kaum muslimin diantara merupakan wilayah peradaban seperti Iskandariah, dll, yang merupakan produk peradaban Yunani sehingga kaum muslimin juga mengambil ilmu dari wilayah tersebut. Dan sebagai umpan balik ilmu tentang kesusasteraan bahasa Arab dikembangkan karena wilayah-wilayah tersebut bukan negeri Arab sehingga pengembangan ilmu bahasa Arab sebagai media mempelajari kitab Suci sekaligus sebagai bahasa nasionalis.
4.  Selamat Jalan Ami>rul Mu'mini>n
Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari. Kematiannya sangat tragis, seorang budak bangsa Persia, Feroz atau Abu>  Lu'luah secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pedang ke arah khali>fah yang akan mendirikan shalat subuh yang telah ditunggu jamaahnya di masjid an-Nabawi.  Khalifah yang terluka parah itu, dari pembaringannya mengangkat "syura" (komisi pemilih) yang akan memilih penerus tongkat kekhalifaannya. Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b wafat tiga hari setelah peristiwa penikaman atas dirinya, yakni pada 1 Muharram 23 H/644 M.[80]

















BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
    1. Abū Bakar al-Şiddīq bernama lengkap Abdullah Ibn Quhafa at-Taimi> dilahirkan pada tahun 573 M. (dua tahun setelah kelahiran Rasulullah)  meninggal dunia, Senin, 23 Agustus 624 M/3 H. Beliau berusia 63 tahun dan kekhalifaannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari. Sedangkan 'Umar Ibn Khaţţa>b Ibn Nufail keturunan Abdul 'Uzza al-Quraisy dari suku 'Adi Ia dilahirkan di Mekkah empat tahun sebelum kelahiran  Nabi Muhammad saw. (567 M) dan wafat  1 Muharram 23 H/644 M memerintah sebagai khalifah 10 tahun.
    2. Peranan Abū Bakar al-Şiddīq sebagai khali>fah diantaranya memerangi murtaddi>n, yang tidak bayar zakat, pengumpulan al-Qur`an melanjutkan dakwah ekpansi Rasul ke negeri-negeri lainnya. Sementara peranan 'Umar Ibn Khaţţa>b sebagai khalifah diantaranya pembentukan kemiliteran, bait al-Ma>l, dewan kehakiman dan luasnya ekpansi hingga ke Mesir.
  2. Implikasi
Kedua tokoh dari kalangan sahabat ini memiliki karakter yang berbeda tapi saling melengkapi ibarat dua sisi koin yang berbeda. Namun, perbedaan di antara mereka berdua dilengkapi sikap toleransi, musyrawah dan saling menghargai sehingga keharmonisan kedua mereka berdua semasa hidupnya dapat kita nikmati. Kedua tokoh itu pun merupakan diantara sepuluh sahabat yang dijamin Nabi Muhammad saw., masuk surga tapi keduanya tidak hanya mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya hanya ke masjid melainkan untuk kemashlahan umat dan agama. Maka, penulis dapat mengambil pelajaran bahwa kedua tokoh tersebut memiliki pola pikir keislaman yang luas dan luwes, dalam artian agama tidak diartikan hanya sekedar ibadah di masjid melainkan ada unsur muamalah dan interaksi social didalamnya.












DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Husain  Amin.  Al-Mi'ah  al-'Azham  fi  Tārikh  al-Islām  diterj.  Bahruddin  
            Fannani dengan judul Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja
            Rosdakarya, 1999)

Al-Akkad,  Abbas  Mahmud,  Kecemerlangan Umar Ibn Khaţţab,  (Jakarta:     Bulan
            Bintang, 1978)
Al-Bukha>ri>, Abu> 'Abdillah Abu> Husain. al-Ja>mi' al-S{ah}ih}, juz 1 (Kairo: al-Maktabah
            al-Salafiyah, 1980)

As-Suyuti, Jalaluddin, Tarikh al-Khulafah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979)
Al-Tabariy, Tārikh at-Tabariy (Kairo: Dār al-Ma'ārif, 1962)
Husain, Muhammad Haekal, Abu BAkar As-Shiddiq, (Kairo: Dar al-Ma'arif, t.th)
Ibrahim, Hassan. Tārǐkh al-Islam as-Siyasiy wa al-Dǐn wa Śaqafi wa al-Ijma'I (Kairo:    
            Maktabah an-Nahdah al-Mishriyah, 1979)
Ibn Hisyam,   Al-Sirat al-Nabawiyah    li  Ibn Hisyam,   (Kairo: Syirkah Maktabat 
            wamathba'ah Mushtafa, 1955)
Lewis Bernard,    Bangsa Arab   Dalam Lintasan  Sejarah,    (Jakarta: Pedoman Ilmu,
            1988)
Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya  (Bandung: Roasda Karya, 1991)
Majīd, Mun'im, Tārikh al-Hadārat al-Islamiyat (Kairo: Angelo, 1965)
Mufrodi, Ali, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997)
Muhammad, Khalid Khalid, Khulafa' ar-Rasul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988)
Murad, Musthafa, Umar ibn al-Khattab,   terj.    Ahmad Ginanjar    Sya’ban dan Lulu
            M.Sunman, Kisah Hidup Umar Bin Khattab (Jakarta: Zaman, 2009)
Said, Amin, Nasy'at al-Daulat al-Islamiyah, (Kairo: Isa al-Halabi, t.th)
Suranto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003)
Syalabi, Ahmad,  Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Jayamurni, t.th).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo, 1994).


[1]Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar As-Shiddiq (Kairo: Dar al-Ma'arif, t.th), h. 27.
[2]Hassan Ibra>hi>m, Tārǐkh al-Isla>m as-Siya>si> wa al-Dǐ>n wa Śaqafi> wa al-Ijma>'I (Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Mis}riyah, 1979), h. 205.
[3]Husain Ahmad Ami>n, Al-Mi'ah al-'Az}am fi Tāri>kh al-Islām diterj. Bahruddin Fannani dengan judul Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 7.
[4]Abu> 'Abdillah Abu> Husain al-Bukha>ri>, al-Ja>mi' al-S{ah}ih}, juz 1 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1980), h. 167.
[5]Terjemah oleh penulis.
[6]Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), h. 47.
[7]Husain Ahmad Amin, op.cit.,  h. 7.
[8]Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hisyam (Kairo: Syirkah Maktabat wa Mathba'ah Mushtafa, 1955), h. 652.
[9]Terjemah oleh penulis.
[10]Ibn Hisya>m, op.cit., h. 653.
[11]Terjemah oleh penulis.
[12]Al-Bukha>ri>, op.cit., juz 1, h. 221.
[13]Terjemah oleh penulis.
[14]Husain Ahmad Amin, op.cit.,  h. 8.
[15]Ibn Hisya>m, op.cit., h. 655.
[16]Terjemah oleh penulis.
[17]Ibn Hisyam, op.cit., h. 656.
[18]Terjemah oleh penulis.
[19]Ibn Hisyam, op.cit., h. 656.
[20]Terjemah oleh penulis.
[21]Ibn Hisyam, op.cit., h. 657.
[22]Terjemah oleh penulis.
[23]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Grafindo, 1994), h. 35.
[24]Ibn Hisyam, op.cit., h. 658.
[25]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Grafindo, 1994), h. 35.
[26]Ibn Hisyam, op.cit., h. 658.
[27]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Grafindo, 1994), h. 35.
[28]Hassan, op.cit., h. 134.
[29] Ibn Hisyam, op.cit., h. 659.
[30]Terjemah oleh penulis.
[31]Ibn Hisya>m, op.cit., h. 660.
[32]Ibn Hisyam, op.cit., h. 661.
[33]Ali Mufrodi, op.cit., h. 48.
[34]Badri Yatim, op.cit., h. 36.
[35]Ali Mufrodi, op.cit., h. 48.
[36]Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: Pedoman Ilmu, 1988), h. 39.
[37]Badri Yatim, loc.cit.,.
[38]Ali Mufrodi, op.cit., h. 49.
[39]Amin Said, Nasy'at al-Daulat al-Islamiyah (Kairo: Isa al-Halabi, t.th), h. 210-211.
[40]Syed Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya  (Bandung: Roasda Karya, 1991), h. 163.
[41]Ali Mufrodi, op.cit., h. 49.
[42]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya  (Mekkah: Mujamma' al-Malik Fahd li Tiba'āt al-Mus}h}af al-Syarīf, t.th), h. 297-298.
[43]Ahmad Syalabi,  Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Jayamurni, t.th), h. 232.
[44]Ibn Atsir,  sebagaiman dalalm Ali Mufrodi, h. 49.
[45]Jalaluddin As-Suyuti, Tarikh al-Khulafah (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 67.
[46]Ali Mufrodi, op.cit., h. 50.
[47]Badri Yatim, loc.cit.,.
[48]Ahmad Syalabi, op. cit., h. 234.
[49]Ali Mufrodi, op.cit., h. 5.
[50]Syed Mahmudunnasir, op.cit., h. 168.
[51]Ali Mufrodi, op.cit., h. 52.
[52]Mustafa Murad, 'Umar Ibn al-Khattab, terj.  Ahmad Ginanjar Syaban dan Lulu M.Sunman, Kisah Hidup Umar Bin Khattab Jakarta: Zaman, 2009), h.15
[53]Ali Mufrodi, op.cit., h. 52.
[54]Khalid Muhammad Khalid, Khulafa' ar-Rasul (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 136.
[55]Musyrifah Suranto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Media 2003), h. 21.
[56] Al-Bukha>ri>, op.cit., juz 2, h. 497.
[57]Terjemah oleh penulis.
[58]Asma Abu Bakar Muhammad, Syakhsyiyyah Umar Ibn Khaththab (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1992), h.41
[59]Al-Bukha>ri>, op.cit., juz 3, h. 15.
[60]Terjemah oleh penulis.
[61]Ali Mufrodi, op.cit., h. 53.
[62]Al-T{abariy, Tārikh at-Tabariy (Kairo: Dār al-Ma'ārif, 1962), h. 429.
[63]Ali Mufrodi, op.cit., h. 53.
[64]Hassan, op.cit., h. 37-38.
[65]Mun'im Majīd, Tārikh al-Hadārat al-Islamiyat (Kairo: Angelo, 1965), h. 28.
[66]Ali Mufrodi, op.cit., h. 54.
[67]Ali Mufrodi, op.cit., h. 54.
[68]Ibid,, h. 55.
[69]Ali Mufrodi, op.cit., h. 55.
[70]Ibid, h. 56.
[71]Hassan, op.cit., h. 45-53
[72]Hitti, Dunia Arab, Usuluddin Hutangaldi  (pentj.) (Bandung: Media Press, t.th), h. 59.
[73]Syalabi, op.cit., h. 263.
[74]Syed Mahmudunnasir, op.cit., h. 184.
[75]Ali Mufrodi, op.cit., h. 57.
[76]Abbas Mahmud al-Akkad, Kecemerlangan Umar Ibn Khaţţab (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),h. 169
[77]Mas'udi, h. 154-155
[78]Musyrifah Susanto, op.cit., h. 26-30.
[79]Hassan, op.cit., h. 33.
[80]  Syed Mahmudunnasir, op.cit., h. 185.

0 komentar:

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates