Kamis, 14 Juli 2011

METODE PENDEKATAN



BAB I
PENDAHULUAN
            Ilmu Tafsir berkembang seiring perkembangan dinamika kehidupan umat Islam. Sebuah keniscayaan bagi sebuah teks suci petunjuk Ilahiah, mencakupi perkembangan dinamika realitas yang ada di lapangan. Pada satu sisi pandangan, hal ini seakan menjadi tantangan bagi teks Alquran, namun di sisi lain menjadi wahana pembuktian betapa kompleksitas dan akurasi firman-firman Allah swt. yang berbicara tentang kehidupan makhluk ciptaan.
            Secara mendasar, Ilmu Penafsiran Alquran hanyalah satu bagian dari sekian banyak cabang ilmu dalam lingkup genre keislaman. Namun, tidak serta-merta mengindikasikan sempitnya cakupan bahasan ilmu Tafsir. Bahkan, ketika berkenalan dengan dasar-dasarnya, bukan rasa puas yang kita rasakan melainkan menambah kehausan untuk lebih menelisik lebih dalam. Lebih dari itu, ketika telah menceburkan diri untuk menyelaminya, baru disadari kemudian bahwa wadah tersebut bukanlah kolam dangkal dan sempit, melainkan lautan luas dan dalam yang seakan tidak bertepi.
            Varian penafsiran tersebut, merupakan hal yang wajar. Analogi sederhana yang dapat diserupakan, misalnya interpretasi tentang gajah. Orang yang memandangnya dengan memperhatikan bobot beratnya akan memberikan interpretasi detail tentang beratnya gajah, orang yang memandangnya dengan memperhatikan ketahanan tubuhnya akan menginterpretasikan kadar kekuatan tubuh gajah dibandingkan yang lainnya, orang yang menitik beratkan sisi eksotis tubuh, menginterpretasikan nilai-nilai eksotis dari tubuh seekor gajah, dan seterusnya. Dari sini dipahami bahwa, gajah bisa saja memiliki interpretasi bermacam-macam tergantung karakteristik pendekatan yang digunakan dalam melihatnya. Begitupula teks-teks Alquran, sangat mungkin untuk dipandang dari sudut mana-pun dan dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Hasil dari perbedaan sisi pandang tersebut akan melahirkan ragam bentuk penafsiran serta corak warna yang bermacam-macam.
           
Melalui makalah singkat ini, yang akan diangkat menjadi bahasan utama adalah metode pendekatan dalam ilmu Tafsir. Adapun rumusan bahasannya antara lain sebagai berikut.
1.      Jelaskan Tipologi Pendekatan.
2.      Apa saja jenis-jenis Corak Penafsiran.
3.      Pendekatan apa sajakah yang digunakan dalam ilmu Tafsir.

Rabu, 13 Juli 2011

HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN


 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Ilmu pengetahuan merupakan produk kegiatan berfikir manusia untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dengan jalan menerapkan ilmu pengetahuan yang dipperoleh. Karena itulah ilmu pengetahuan akan melahirkan pendekatan baru dalam berbagai penyelidikan. Hal ini menunjukkan studi tentang keilmuan tidak akan berhenti untuk dikaji bahkan berkembang sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus pula diakui bahwa sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka meyakini adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu.
            Filsafat ilmu yang dimaksud disini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir radikal, sistematis dan universal. Oleh karena itu, filsafat ilmu hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi ilmu pengetahua dan teknologi sesuai dengan tujuannya, yakni mengfokuskan diri terhadap kebahagiaan umat manusia. Dengan demikian kemajuan ilmu pengetahuan selama satu setengah abad terakhir ini, lebih banyak dari pada selama berabad-abad sebelumnya. Hal ini dikarenakan semakin berkembanya zaman, semakin berkembang pula sains dan teknologi.[1]. Fenomena ini merupakan kebangkitan kesadaran manusia untuk mengkaji ilmu pengetahuan.
            Dengan demikian, pada hakikatnya upaya manusia dengan memperoleh pengetahuan hanya didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni : apa yang ingin diketahui? Bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan itu dan apakah nilai atau manfaat pengetahuan itu?.[2] Ketiga persoalan ini akan menjadi kajian dalam proses mengetahui ilmu pengetgahuan. Karena ketiga ilmu pengetahuan diperoleh tanpa memperhatikan apa sebenarya apa yang akan diketahui, Bagaimana barusaha untuk mengetahuinya dan bagaimana ilmu pengetahuan itu bermanfaat baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain.
            Menyadari akan sangat luasnya uraian tentang ilmu pengetahuan dan kaitannya uraian-uraian di atas maka masalah pokok yang dikaji dalam makalah ini adalah: apa ontologi ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu? Bagaimana epistimologi ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu? Dan apa aksiologi ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu?
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
  1. Apa ontologi ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu?
  2. Bagaimana epistimologi ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu?
  3. Apa aksiologi ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu?

METODOLOGI TAFSIR KONTEKSTUAL



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Shalihun li kulli zaman wa makan, kalimat inilah “mungkin” yang paling tepat dijadikan sebagai kesimpulan ajaran Islam. Sebab sesuai dengan misinya “rahmatan lil ‘alamin” maka hendaknya –sudah pasti- ia mampu menjawab segala bentuk permasalahan seiring perkembangan dan perubahan zaman.
Demikian pula dengan sumber hukumnya, dalam hal ini al Qur’an –bukan berarti mengabaikan as Sunnah- seharusnya ditempatkan pada posisi yang paling tinggi sebagai pedoman hidup atau “AD-ART” kehidupan. Artinya segala bentuk permasalahan dan fenomena yang dihadapi dalam hidup ini, hendaknya dikembalikan kepada “AD-ART” tersebut. Karena itu, masuk akal jika para mufassir sepakat bahwa prosesi penurunan al Qur’an ke muka bumi, mustahil dilakukan oleh Allah secara sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kapasitas intelektual dan konteks masalah yang dihadapi umat manusia.
Hal ini menunjukkan betapa besar kearifan dan keagungan Allah serta membuktikan misi suci al Qur’an sebagai respons intelektual atas prinsip universalismenya itu, agar segala hal tidak jatuh menjadi serba kemutlak-mutlakan (absolutisme). Karena sekalipun al Qur’an diterima oleh Rasulullah di tanah Arab dan berbahasa Arab, tapi tidak berarti bahwa ia hanya diperuntukkan bagi orang-orang Arab semata melainkan untuk seluruh umat manusia di muka bumi.[1]
Apatah lagi kehadiran al Qur’an diibaratkan sebagai Ma’dubatullah (hidangan Allah) yang berarti ia senatiasa terbuka untuk dianalisir dan diinterpretasikan dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Ia bagaikan hidangan yang siap disantap oleh siapa saja sesuai dengan selera yang mereka inginkan. Tetapi bukan berarti kebebasan menyantap hidangan al Qur’an sehingga seseorang boleh mengutak-atik atau mencampur-baurkan kandungannya tanpa mengikuti aturan dan persyaratan yang telah disepakati sebagaimana makanan yang dicampur-baurkan dengan makanan yang lain dengan tidak mengikuti petunjuk dan resep dari koki yang profesional terkadang makanan tersebut akan menjadi tidak lezat atau bahkan cepat basi dan terkadang pula menimbulkan penyakit jika dikonsumsi.  
Banyak metode dan cara yang ditawarkan para ulama untuk menyantap hidangan al Qur’an dalam bentuk penyajian, pembahasan, pendekatan dan interpretasi yang berbeda-beda. Di antara metode tersebut adalah pendekatan tafsir[2], baik yang berorientasi pada teks dalam dirinya yang kemudian disebut pendekatan tekstual, maupun yang berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) yang kemudian disebut pendekatan kontekstual[3].
Kaitannya dengan pendekatan kontekstual, ini adalah sebuah metode yang sangat menarik dan mesti dilakukan. Sebab dari hari ke hari problematika dan permasalahan hidup selalu berubah. Situasi masa lalu berbeda dengan situasi sekarang. Sehingga untuk mengaktualisasikan nila-nilai al Qur’an, umat Islam tidak perlu terpaku (bertaklid) pada penafsiran ulama-ulama terdahulu[4], namun perlu mengkaji lebih dalam dan menghidupkan nilai al Qur’an sesuai dengan konteks sosial di mana ia berada. Bahkan semangat keuniversalan al Qur’an terasa “ternodai” jika ia hanya dipahami dari segi tekstualnya semata[5].
Dari kemutlakan adanya metode pendekatan tafsir kontekstual serta misi al Qur’an shalihun li kulli zaman wa makan maka penulis menyusun sebuah makalah terkait dengan problematika metode pendekatan di atas yang diharapkan dari kehadirannya mampu menjadi dorongan dan motivasi bagi para pembaca khususnya penulis untuk terus mengkaji dan menyelami samudera al Qur’an mengambil ribuan mutiara yang menjadi bekal kemuliaan dunia akhirat.

B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini, yaitu upaya memahami problematika metode pendekatan tafsir kontekstual kaitannya dengan misi suci al Qur’an, maka  permasalahan pokok yang akan diangkat sebagai kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan berikut ini :
1.      Bagaimana pengertian, eksistensi dan perkembangan tafsir kontekstual?
2.      Bagaimana bentuk/jenis-jenis tafsir dengan pendekatan kontekstual?
3.      Apa saja yang menjadi kelebihan dan keterbatasan metode pendekatan tafsir kontekstual?


Senin, 11 Juli 2011

Menghidupkan Sunnah Rasul



(sebuah kajian Living Sunnah tentang siwak) 

BAB I

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
"Saya tinggalkan kepada kalian dua hal, jika kalian berpegang teguh pada kedua hal tersebut maka pasti kalian tidak akan tersesat selamanya. Hal itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya". Demikian salah satu arti dan makna dari hadis Rasulullah SAW yang memberikan informasi kemutlakan keduanya sebagai pedoman hidup.
Sekalipun al-Qur'an dan al-sunnah memiliki fungsi dan tujuan yang sama –sebagai pedoman hidup- namun keduanya memiliki perbedaan eksistensi. Sebab al-Qur'an dikenal sebagai wahyu qath'iul wurud (telah dipastikan kebenarannya), sedangkan al-sunnah dikenal dengan istilah dzanniul wurud (masih diragukan kebenarannya)[1]. Dengan kata lain al-Qur'an sudah sahih berasal dari Allah, dan al-sunnah belum dipastikan kesahihan sumbernya.
Berdasarkan hal tersebut, maka ulama hadis menetapkan perlunya pengkajian hadis secara mendalam –baik dari aspek sanad maupun matan- untuk menentukan keabsahan suatu hadis. Sehingga hadis Rasulullah yang "benar-benar" sahih dapat dibedakan dengan hadis yang kualitasnya lebih rendah, atau kesucian hadis Nabi dapat terpelihara.
Di antara metode yang dipergunakan ulama untuk mencapai tujuan tersebut adalah adanya kajian yang disebut naqd al-sanad wa al-matn (kritik sanad dan matan)[2]. Kajian tersebut meliputi kualitas perawi, ketersambungan sanad, bentuk lafadz yang digunakan, kesesuaian matan hadis dengan riwayat yang –lebih- sahih, dan beberapa bentuk yang lain. Kesemuanya mengindikasikan ketelitian dan kesungguhan ulama untuk memelihara salah satu sumber ajaran Islam.
Penelitian ini perlu dilakukan, di samping untuk menjaga kesucian hadis itu sendiri juga untuk memurnikan ajaran Islam. Karena betapa banyak syari'at Islam –termasuk pada persoalan ibadah misalnya bersuci- yang hendaknya dilakukan penuh kekhusyu'an, mudah dan tidak memberatkan untuk dilaksanakan. Namun karena adanya "campuran" dari hal-hal yang semestinya tidak disebutkan menyebabkan ibadah terasa sulit dan memberatkan.
Sebagai contoh, pensyari'atan siwak yang terkadang memunculkan tanda tanya di tengah masyarakat, karena sebagian yang lain –misalnya- seakan memaksakan untuk melaksanakannya, sementara yang lain merasa bahwa bersiwak bukanlah sesuatu yang harus dilakukan, apatah lagi ajaran Islam penuh dengan kasih sayang sehingga nilai tersebut akan "tercoreng" bila siwak dipaksakan sementara di daerah kita tidak ditemukan siwak. Atau beberapa masalah yang lain yang timbul karena perbedaan pemahaman tentang sumber ajaran tersebut, termasuk sunnah Nabi.
Atas dasar itu, sehingga penulis mencoba mengemukakan contoh menghidupkan sunnah yang terkait dengan siwak. Di samping untuk mengetahui hal-hal yang sehubungan dengan siwak itu, juga yang tak kalah pentingnya adalah meneliti dan melihat pandangan hadis Rasululah mengenai hal tersebut. Baik dari segi kualitasnya maupun kandungannya. Akan  tetapi hadis yang dimaksud, penulis batasi pada kitab al-Muwattha' sebagai kajian utama, sekalipun nantinya disebutkan beberapa hadis yang semakna atau yang terkait dengan pembahasan ini sebagai tambahan dan pendukung terhadap hadis yang dikaji.
Hanya saja dalam kajian ini, penulis ingin mempertegas bahwa, masih banyak kekeliruan dan kekurangan termasuk kurang lengkapnya futnoote dan keterangan-keterangan yang lain –misalnya penjelasan-penjelasan tentang makna hadis tersebut- yang sekiranya dimasukkan akan menambah wawasan keilmuan dalam makalah ini. Hanya do'a, dan dukungan dari semua pihak dalam bentuk kritik yang membangun, saran, dan respon yang baik, yang penulis harapkan dalam kelanjutan dan kesempurnaan makalah ini.
B.   Metode Penelitian
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian hadis memeiliki beberapa metode di antaranya melalui lafal pertama hadis, melalui lafal-lafal yang terdapat dalam hadis, melalui perawi terakhir, melalui tema hadis, dan melalui klasifikasi jenis hadis[3]. Hanya saja untuk makalah ini, penulis dalam mencari hadis hanya menggunakan dua metode dari beberapa metode tersebut, yaitu melalui lafal-lafal yang terdapat dalam matan dan melalui tema-tema hadis.
Pada awal penelitian hadis-hadis tersebut, penulis merujuk kepada buku-buku yang memiliki pembahasan tentang siwak, termasuk di dalamnya buku-buku tentang fiqih. Adapun penelitian lebih lanjutnya penulis menggunakan kitab-kitab takhrijul hadis, misalnya al mu’jam al mufahras dan miftah kunuz al sunnah yang masing ditulis oleh Arnold John Wensick (1939). Penulis pun tidak lupa menggunakan CD al maktabah al syamilah  dan alfiyah al sunnah. Dari sanalah, penulis menemukan beberapa hadis yang kemudian untuk memperjelasnya maka penulis mencari hadis tersebut dengan kedua metode di atas.
Adapun penelitian hadis melalui lafal-lafal hadis, penulis temukan beberapa hadis yang terdapat dalam kitab-kitab matan hadis, hanya saja penulis –sebagaimana disebutkan pada latar belakang di atas- mengambil satu hadis yang dianggap sahih yang terdapat dalam kitab al-Muwattha' sebagai hadis utama, sekalipun dalam kajian ini terkadang menyebutkan beberapa hadis yang terdapat dalam kitab lain –kutb al-tis'ah- sebagai pendukung.


C.   Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini, yaitu upaya memahami pensyari'atan dan urgensi siwak dalam perspektif hadis Nabi, maka  permasalahan pokok yang akan diangkat sebagai kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan berikut ini :

1.      Bagaimana memahami hadis secara tekstual dan kontekstual.
2.      Menghidupkan sunnah.
a.       Perintah menghidupkan sunnah
b.      Larangan meninggalkan sunnah
c.       Pahala bagi orang yang menghidupkan sunnah.
3.      Siwak sebagai cara menghidupkan sunnah dikalangan masyarakat.
a.       Bagaimana takhrij dan i'tibar hadis tersebut?
b.      Bagaimana kualitas hadis tersebut, baik dari aspek sanad maupun matannya?
c.       Bagaimana fiqih hadis dari hadis tersebut dan hadis-hadis yang semakna?

Kamis, 07 Juli 2011

NIAT DALAM HADITS NABI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al A’malu shuwarun qaimatun wa arwahuhah wujudu sirri al ikhlash fiha “amal perbuatan merupakan kerangka yang tegak sedangkan ruhnya adalah adanya rahasia ikhlas dalam perbuatan tersebut”[1]. Demikian tulis Syekh Ahmad bin ‘Athaillah dalam kitabnya al Hikam. Dari ungkapan di atas seakan menjelaskan bahwa untuk mencapai sebuah amal yang bernilai tinggi maka perlu memperbaiki jiwa atau ruhnya yaitu ketulusan dan keikhlasan. Hal ini pun menunjukkan bahwa keikhlasan merupakan barometer untuk mengukur kualitas sebuah perbuatan.
Dan memang setiap perbuatan manusia pasti dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada faktor dari dalam, ada pula yang dari luar. Faktor dari dalam bisa berupa motivasi yang lahir dalam diri seseorang yang dapat menggerakkannya melakukan sesuatu. Sedangkan faktor dari luar bisa berupa dorongan dari orang-orang yang ada disekitarnya atau bisa juga berupa sasaran atau tujuan yang hendak dicapai. Namun dari kedua hal tersebut tampaknya faktor dari luar merupakan “panglima perang” atau penentu awal suatu kegiatan. Sebab motivasi dan semangat kerja seseorang terkadang membara jika ada dorongan dari luar, khususnya yang terkait dengan tujuan yang diinginkan. Sehingga dari tujuan itulah maka perbuatan seseorang akan berbeda dengan perbuatan orang lain. Ada orang yang melakukan suatu pekerjaan hanya berorientasi jangka pendek –mengejar kenikmatan sementara- dan ada pula yang pekerjaannya diprioritaskan pada kenikmatan abadi. Akan tetapi diakui atau tidak, tampaknya seluruh umat manusia sepakat bahwa tujuan dari segala kegiatan dan perbuatan adalah mencapai kebahagiaan, atau dalam bahasa Ibnu Khazm, seorang pemikir, psikolog dan sosiolog Islam bahwa tujuan yang dikejar-kejar manusia adalah lepas dari penderitaan.[2] Dan tentunya kebahagiaan abadi hanya milik Allah semata[3]. Sehingga setiap pekerjaan manusia hendaknya ditujukan kepada Allah semata. Apatah lagi orientasi kegiatannya –khususnya seorang muslim- adalah ibadah. Sementara syarat diterimanya ibadah adalah keikhlasan semata-mata kepada-Nya[4]. Dan keikhlasan itu sendiri sangat terkait dengan niat seseorang.
Akan tetapi, ibadah atau pekerjaan yang murni tertuju kepada Allah tampaknya sangat sulit untuk diwujudkan sebab dalam diri manusia terdapat dorongan naluri untuk mencari kenikmatan yang terkadang mengarah kepada kenikmatan sementara. Dengan kata lain, tujuan atau unsur selain Allah masih sering –jika tidak berani mengatakan selalu- menghiasi benak manusia itu sendiri. Dari kenyataan seperti ini, maka terkadang muncul ungkapan yang mengatakan bahwa betapa sulitnya masuk ke dalam surga, karena persyaratannya sangat sulit dipenuhi. Atau pertanyaan yang berbunyi bagaimana posisi amal seseorang yang dilakukan karena ingin membahagiakan orang tuanya, atau ingin menghidupi keluarganya atau karena perbuatan tersebut memberi kontribusi yang berarti bagi kehidupan masyarakat luas?. Atau bahkan ada yang mengatakan bahwa jika seseorang tidak mampu memurnikan niatnya kepada Allah lebih baik ia tinggalkan amal tersebut karena akhirnya akan tetap sia-sia.
Berdasarkan fenomena di atas maka penulis menyusun sebuah makalah yang diharapkan dapat menyingkap makna, hakikat, bentuk, serta urgensi niat, yang pada akhirnya “kegoncangan” pemahaman akan topik ini dapat teratasi sehingga kita –umat beriman- dapat beramal dan berbuat dengan penuh semangat karena kita yakin pada janji-Nya[5].
Hanya saja kajian ini, penulis batasi hanya dalam tinjauan hadis Nabi khususnya pada sabda Beliau yang mengatakan innama al-a'malu bi al-niyat (sesungguhnya amal itu karena niatnya). Apatah lagi memang –sepanjang ingatan penulis- di dalam al-Qur'an tidak pernah disebutkan kata niat secara langsung[6]. Tetapi hanya menyebutkan pentingnya amal salih dalam kehidupan[7].
Penulis pun berharap semoga makalah ini lahir karena ketulusan, tumbuh karena kecintaan, dan mekar karena kebenaran. Akhirnya hanya sebuah doa yang dapat mengawalinya, اللهم اجعل عملنا هذا خالصا لوجهك و ابتغاء مرضاتك “Ya Allah, jadikanlah pekerjaan kami ini murni ikhlas pada-Mu dan mengharapkan ridha-Mu”.
B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini, yaitu upaya memahami  kedudukan dan urgensi niat dalam ibadah sesuai dengan hadis Nabi khususnya hadis innama al-a'malu bi al-niyat, maka  permasalahan pokok yang akan diangkat sebagai kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan berikut ini :
1.      Bagaimana takhrij dan i'tibar hadis tersebut?
2.      Bagaimana kualitas hadis tersebut, baik dari aspek sanad maupun matannya?
3.      Bagaimana kedudukan dan urgensi niat dalam ibadah?

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates