Kamis, 11 Agustus 2011

HISAB DAN RU’YAH (Pendekatan Metode Ilmiah)



1.    Pendahuluan
Hisab dan ru’yah adalah dua metode yang digunakan dalam menentukan awal Ramadan. Namun kedua metode tersebut terkadang digunakan tidak bersamaan dan tidak saling melengkapi. Kalaupun keduanya digunakan, terkadang dalam penggunaannya ada yang didahulukan. Semisal organisasi Muhammadiyah lebih mengunggulkan penggunaan hisab tanpa menafikan ru’yah, sementara NU (Nahdatul Ulama) lebih mengedapankan ru’yah sedangkan hisab hanya sebagai alat petunjuk dan pembantu menemukan bulan. Hal itu terjadi, karena perbedaan dalil al-Qur’an dan hadis yang digunakan oleh masing-masing organisasi, terlebih lagi porsi keterlibatan ijtihad (rasio) dalam penentuan awal Ramadan. 
Sebagian orang memahaminya bahwa rukyah yang dimaksud adalah tampaknya hilal yang dilihat oleh mata telanjang di lapangan pada hari ke 29 bulan Sya’ban atau bulan Ramadlan. Oleh sebab itu, manakala sesaat matahari terbenam hilal dapat dilihat maka malam dan keesokan harinya merupakan bulan baru, tetapi manakala pada saat itu hilal tidak tampak maka malam dan keesokan harinya merupakan hari terakhir bulan yang sedang berlangsung, sehingga umur bulan yang sedang berlangsung itu 30 hari (istikmal). Rupanya cara seperti itulah yang berlaku pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Cara semacam inilah yang kemudian dikenal dengan Rukyah bil fi’li; yang dalam kaitannya dengan penetapan awal bulan, cara seperti ini dikenal dengan penetapan awal bulan berdasarkan rukyah.
Sementara, sebagian lain memahami bahwa adanya hilal itu dapat dirukyat karena antara Matahari dan Bulan telah terjadi konjungsi (ijtima’) serta hilal pada posisi sedemikian rupa di atas ufuk. Lebih dari itu, adanya perintah istikmal hanya 30 hari, karena pada saat Matahari terbenam hari ke 30 itu pasti sudah terjadi ijtima’ serta posisi hilal pasti sudah di atas ufuk, sekalipun tidak dapat dilihat mata, maka rukyah bil fi’li seperti yang berlaku di masa Rasulullah itu dipahami sebagai salah satu media observasi Bulan untuk membuktikan keberadaan hilal.
Padahal ilmu hisab dapat memperhitungkan keberadaan hilal, yakni kapan terjadi ijtima’ dan bagaimana posisi hilal dari ufuk. Sehingga, kelompok ini berpandangan bahwa hisab tidak jauh berbeda dengan rukyah, yaitu berfungsi sebagai media observasi bulan. Oleh karena rukyah dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan, maka hisab pun tentunya dapat pula dijadikan dasar penetapan awal bulan, Penetapan awal bulan dengan melihat hilal dengan ilmu pengetahuan (hisab) seperti ini dikenal dengan Rukyah bil ‘ilmi atau Rukyah bil ‘aqli. Bahkan lebih lanjut cara seperti ini dikatakan sebagai penetapan awal bulan berdasarkan hisab.
Dalam catatan ini, penulis berusaha melepaskan diri dari berbagai argumen al-Qur’an dan Hadis dan lebih menfokuskan kepada metode ilmiah sebagai acuan berfikir.
2.    Latar Belakang munculnya Hisab dan Ru’yah
Menurut hemat penulis, kita sangat perlu memperhatikan dan mempertimbangkan  keterangan dari Syekh Muhammad Syakir yang ringkasannya sebagai berikut : Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang Arab sebelum dan ketika di utusnya Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui ilmu falak ( Qath’i ), mereka merupakan orang-orang yang ummi ( tidak bisa baca dan tulis ). Oleh karena itu, Rasulullah menjadikan tanda masuknya awal bulan yang berkaitan dengan ibadah mereka pada perkara yang pasti dan terlihat, di mana setiap orang atau sebagian besar dari mereka mampu melakukannya yaitu ru’yatul hilal, artinya tidak menyulitkan mereka.
Setelah Islam berkembang dan banyak sekali umat islam yang pandai membaca dan berhitung termasuk ilmu falak sehingga mereka bisa menentukan kapan jatuhnya awal bulan dengan ilmu hisabnya. Dan kebanyakan fuqoha’ dan para ahli Hadis menganggap perbuatan tersebut merupakan bid’ah dan sesuatu yang diharamkan oleh  agama, karena menyangka bahwa ilmu ini termasuk ilmu nujum (ilmu gaib).
Jika umat Islam sudah keluar dari sifat ke-ummi-an dan sekarang menjadi umat yang bisa menulis dan menghitung, tidak lagi memerlukan bantuan non- muslim dalam menentukan hilal, mereka bisa berpegang kepada hasil hisab sebagai ganti dari ru’yah. Sebab hisab lebih jeli, lebih teliti, dan lebih mudah mempersatukan pendapat kaum muslimin dalam mengawali masuknya bulan baru. Kaum muslimin tidak perlu lagi melakukan ru’yah kecuali kalau memang tidak bisa ilmu hisab.
Dan ketika umat Islam wajib menetapkan awal bulan dengan hisab saja karena tidak ada illat yang mencegahnya, maka wajib pula menetapkan awal bulan dengan hisab qath’i dan tidak usah memperdulikan imka>n al-ru’yah (mungkin dilihat) dan ‘adamu imkan al-rru’yah (tidak mungkin dilihat) sehingga masuknya awal bulan hijriyyah ialah pada malam ketika terbenamnya hilal setelah terbenamnya matahari walaupun hanya beberapa detik saja (pasca konjungsi).
3.    Theologi hisab dan ru’yah
Allah mencipta macrocosm (alam semesta) dan microcosm (manusia) dengan diatur sunnatullah dan dinullah (agama). Sunnatullah bersifat objektif, pasti dan tetap, tidak diwahyukan akan tetapi terbentang dalam hamparan alam semesta dan alam manusia, kajian terhadap sunnatullah melahirkan ilmu-ilmu dunia (hisab, dll.), sedangkan kebenaran ilmu dunia diukur dengan seberapa akurat ia didukung oleh realitas empirikal-objektif. Dinullah bersifat subjektif, tidak pasti dan tidak tetap, diwahyukan berupa al-Qur’an dan Hadis, kajian terhadapnya melahirkan ilmu agama, kebenaran ilmu agama diukur dengan sebarapa akurat ia didukung oleh realitas legal-formal (dalil-dalil naqli).
Kemunculan hilal (bulan) adalah fenomena natural yang tunduk sepenuhnya kepada sunnatullah tentang perjalanan bumi, bulan dan matahari. Disamping itu, dalam menetapkan hisab dibutuhkan kerja proses empat tahap yaitu 1) ru’yah/observasi, pengukuran/kuantifikasi, analisis dan penyimpulan. 
4.    Kelebihan dan kekurangan Ru’yah dan Hisab
Kedua metode ini merupakan metode yang sama-sama digunakan oleh umat Islam, akan tetapi untuk menentukan maka yang paling urgen dan paling menyelesaikan masalah, berikut akan dijelaskan kelebihan dan kekurangannya:
a.    Kelebihan ru’yah dan Kekurangannya
1)   Kelebihan ru’yah
a)      Lebih kuat kebenarannya karena dilihat langsung oleh mata kepala (metode emperis).  
b)      Dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. 
c)      Simpel dan tidak membutuhkan analisa yang mendalam.
2)   Keterbatasan ru’yah dan dan kekurangannya
a)      Sulit melakukannya pada saat mendung atau hujan.
b)      Tidak ada kepastian jangka panjang bagi masyarakat karena ru’yah harus dilakukan setiap bulan.
c)      Menimbulkan spekulasi dan perpecahan ditengah-tengah masyarakat.
d)       Tidak memiliki metode sistematis yang akurat dan teruji.


b.    Kelebihan Hisab dan Kekurangannya
1)   Kelebihan hisab
a)      Membutuhkan kerja proses  empat tahap dalam penentuan hisab secara sistematis sehingga akurasi lebih kuat.  
b)      Dapat menyatukan persepsi di tengah-tengah masyarakat.
c)      Berlaku secara nasional, bahkan internasional.
d)      Kepastian kalender Hijriyah dalam jangka panjang dapat dilakukan sebagaimana kalender Masehi.
e)      Mempermudah setiap insan untuk mempersiapkan dan menentukan kegiatan yang akan dilakukan. 
f)       Dapat dikritisi dan diuji kebenarannya.
g)      Dapat memberikan kepastian awal Ramadhan lebih awal atau dari awal.     
2)   Keterbatasan Hisab dan kekurangannya
a)      Belum dibuktikan dengan mata kepala.
b)      Perbedaan pandangan para ulama tentang pedoman yang digunakan.
c)      Tertentu dilakukan oleh sekelompok orang Islam yang memiliki kapasitasas intelektual yang memadai.    
5.    Kesimpulan
berdasarkan argumentasi-argumentasi di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hisab dan rukyah dapat digunakan dalam menentukan awal Ramadhan, meskipun hisab lebih unggul dalam segi metodologi, analisis dan akurasi kebenarannya, akan tetapi menurut penulis, kedua metode penentuan awal bulan ini, khusus bulan Ramadhan bisa saling melengkapi dan saling menyempurnakan satu sama lain sehingga disamping rasional juga bersifat empirik, bukan digunakan  secara terpisah-pisah, karena sesuatu yang bersifat rasionalitas terkadang tidak selamanya dapat dibuktikan (empirik) begitu juga sesuatu yang bersifat empirik terkadang tidak rasional sehingga dibutuhkan penggabungan keduanya.
Kesempurnaan dan kebenaran hanya milik Allah semata, manusia hanya berusaha mencari kebenaran yang nisbi (relative) akan tetapi hanya Allah-lah yang memiliki kebenaran absolut. 
Sekian & Terima Kasih!

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates