Sabtu, 29 Oktober 2011

Manhaj Al- Ramahurmuzy



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Pendahuluan
Ilmu hadis adalah sebuah ilmu pengetahuan yang independen/otonom dan eksplisit jauh setelah hadisnya bertebaran kenegara- negara islam , padahal ilmu hadis senantiasa mengiringi hadis sejak kemunculannya pada masa Rasulullah saw. Hal itu dapat dibuktikan dengan munculnya beberapa perintah Rausulullah yang mendorong untuk melakukan penulisan dan klarifikasi berita dan pesan Nabi saw. untuk tidak melakukan pemalsuan hadis “من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار”.[1]    
Perkembangan ilmu hadis dari masa ke masa mencapai puncaknya sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad keempat hijriyah dengan munculnya al-Ra>makhurmuz\i (w. 360 H.) dengan judul bukunya al-Muhaddis\ al-Fa>s}il bain al-Ra>wi wa al-Wa>’i akan tetapi tidak mencakup keseluruhan ilmu hadis..[2]
Sebagai ulama pertama yang menyusun tentang ilmu hadis, al-Ra>makhurmuz\i mendapat perhatian tersendiri dari kalangan ulama dan akademisi, sehingga layak untuk dikaji Manhajnya dalam kitab tersebut.
Walau demikian, sebagai karya , al-Ra>makhurmuz\i dan kitabnya tidak akan lepas dari penilaian-penilaian ulama setelahnya, akan tetapi penilaian tersebut tidak serta merta membawa seseorang untuk tidak mempelajari dan mengkajinya, karena dibalik setiap keterbatasan akan muncul beberapa keistimewaan dan keunggulan yang terkadang tidak dimiliki oleh yang lain.
Dengan demikian, al-Ra>makhurmuz\i dan kitabnya layak untuk dikaji dan dijadikan pedoman bagi ulama hadis  sehingga ditemukan  informasi yang penting dari kitab tersebut .
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan  latar belakang masalah di atas, maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana Manhaj al-Ra>makhurmuz\i dalam kitabnya al-Muhaddis\ al-Fa>s}il , Permasalahan pokok tersebut dibatasi pada beberapa sub masalah, yaitu:
1.      Bagaimana biografi al-Ra>makhurmuz\i ?
2.      Bagaimana sistematika dan metode  pembahasan dalam  kitab al-Muhaddis\ al-Fa>s}il?
3.      Bagaimana penilaian ulama terhadap  kitab al-Muhaddis\ al-Fa>s}il?     

AL MUSTADRAK 'ALAA SHAHIANI



OLEH :
Mukarramah Achmad. S.Th.I


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kodifikasi hadis telah dimulai pada akhir abad pertama hijrah terutama oleh Ibnu Syiha>b al-Zuhri> (w. 124 H/742 M). Namun usaha kodifikasi hadis baru sangat gencar dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-2 dan ke-3 Hijrah. Pada abad ke dua kitab hadis paling populer adalah kitab al-Muwat}t}a’ yang disusun oleh Imam Ma>lik ibn Anas (w. 179 H/795 M). Kemudian pada abad ke-3 H, kodifikasi hadis mengalami masa puncaknya. Pada masa ini bermunculan sejumlah ulama hadis terkenal sebagai penyusun kitab hadis seperti Ah}mad ibn Hanbal (w. 241 H/855 M), al-Bukha>ri> (w. 256 H/870 M), Muslim (w. 261 H/875 M), Abu> Da>ud (w. 316 H/888 M), al-Tirmiz\i> (w. 279 H/892 M), al-Nasa>i (w. 302 H/916 M), Ibnu Ma>jah (w. 273/886 M), al-Da>rim> (w. 280 H/869 M), Ibnu Khuzaymah (w. 311 H/883 M) dan lain-lain. Pada masa inilah kutub al-sittah menjadi kitab hadis yang paling populer.
Walaupun abad ke-3 ini merupakan puncak penyusunan kitab hadis, namun ternyata kitab-kitab hadis itu terutama kutub al-sittah belum dapat menampung, merangkum dan menampilkan semua hadis Nabi baik kuantitas maupun kualitasnya. Karena itu pada abad ke-4 gerakan penyusunan kitab hadis terus berlanjut. Pada masa ini muncul sejumlah ulama hadis seperti al-Da>ruqut}ni> (w. 385 H/995 M), al-H{a>kim (w. 405 H/1014 M), al-Bayhaqi> (w. 458 H/1066 M), al-Kha>t}i>b al-Baghdadi> (w. 463 H/1071 M), Abu> Nu’aym al-Is}faha>ni> (w. 430 H/1039 M) dan lain-lain.
Salah seorang pakar hadis yang menarik pada abad ke-4 H ini adalah al-H{a>kim al-Naisabu>ri> dengan karya monumentalnya al-Mustadra>k ‘ala> al-S}ah}i>h}ain karena kontroversi sekitar dirinya baik pada sosok pribadinya, metodenya maupun pada kitab hadis yang disusunnya, al-Mustadra>k. Kontroversi pada pribadinya terkait dengan misteri apakah ia seorang sunni atau syiah, pada metodenya apakah ia menerapkan standar ganda dalam menilai hadis; dan pada status hadis dalam al-Mustadra>k-nya, yang ia klaim menggunakan syarat Bukha>ri> dan Muslim yang menurut ulama lainnya tidak sepenuhnya ia aplikasikan dengan tepat, bahkan ia dinilai banyak melakukan kekeliruan.

B.    Rumusan Masalah
1.      Siapakah sosok al-H{a>kim al-Naisabu>ri>?
2.      Bagaimana profil kitab al-Mustadra>k ‘ala> al-S{ah}i>h}ain?
3.      Bagaimana keunggulan dan keterbatasan kitab al-Mustadra>k ‘ala> al-S{ah}i>h}ain?



Selasa, 11 Oktober 2011

JAM’UL QUR’AN


 
 BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan sumber rujukan utama yang menempati posisi sentral bagi seluruh disiplin ilmu ke Islaman. Kitab suci ini, di samping menjadi al-huda (petunjuk), juga sebagai al-bayyinat (penjelas) serta menjadi al-furqan (pemisah antara yang benar dan yang salah) yang diturunkan dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun lamanya.
Pengumpulan dan penyusunan al-Qur’an dalam bentuk seperti saat ini, tidak terjadi dalam satu masa, tapi berlangsung beberapa tahun atas upaya beberapa orang dan berbagai kelompok.[1]
Cara paling lazim dalam menjaga al-Qur’an pada masa Nabi dan Sahabat adalah dengan hafalan ( al-jan’ fi shudur). Hal ini selain karena masih banyak Sahabat yang buta huruf, juga karena hafalan orang Arab ketika itu terkenal kuat. Bisa dimaklumi jika pencatatan al-Qur’an belum merupakan alat pemeliharaan yang handal, karena dari segi teknis, alat-alat tulis ketika itu masih sangat sederhana dan rawan terhadap kerusakan. Bahan tempat menulis berasal dari pelepah-pelepah kurma dan tulang-belulang yang gampang lapuk dan patah, tinta yang mudah luntur, dan alat tulis yang sangat sederhana.[2]
Seiring perjalanan waktu dalam sejarah, mulai diturunkannya al-Qur’an hingga wafatnya Rasulullah saw sampai kepada periode Khulafa al-Rasyidin, masing-masing periode memiliki cara dan metode dalam memelihara dan mengumpulkan al-Qur’an.
Dari hal tersebut di atas, maka menarik untuk dikaji, khususnya aspek sejarah dari proses pengumpulan al-Qur’an pada masa Rasulullah saw sampai pada masa sahabat.  
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis mencoba mengemukakan beberapa permasalahan pokok berkaitan dengan  materi makalah ini, yaitu;
1.        Apa pengertian Jam’ul Qur’an?
2.        Bagaimana pengumpulan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad saw, Abu Bakar dan Usman bin Affan?


Senin, 03 Oktober 2011

METODOLOGI PENYUSUAN KITAB HADIS



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Dalam rentan waktu yang cukup panjang telah banyak terjadi pemalsuan hadis yang dilakukan oleh orang-orang dan golongan tertentu dengan berbagai tujuan.[1]
            Maka tidaklah mengherankan jika umat Islam sangat memberikan perhatian yang khusus terhadap hadis terutama dalam usaha pemeliharaan jangan sampai punah atau hilang bersama dengan hilangnya generasi sahabat, mengingat pada sejarah awal Islam, hadis dilarang ditulis dengan pertimbangan kekhawatiran percampuran antara al-Quran dan hadis sehingga yang datang kemudian sulit untuk membedakan antara hadis dan al-Quran.[2]
            Dalam berbagai riwayat menyebutkan bahwa kalangan sahabat pada masa itu cukup banyak yang menulis hadis secara pribadi, tetapi kegiatan penulisan tersebut selain dimaksudkan untuk kepentingan pribadi juga belum bersifat massal.[3]
            Atas kenyataan inilah maka ulama hadis berusaha membukukan hadis Nabi. Dalam proses pembukuan selain harus melakukan perjalanan untuk menghubungi para periwayat yang terbesar diberbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyelesaian terhadap suatu  hadis yang akan mereka bukukan. Karena itu proses pembukuan hadis secara menyeluruh  mengalami waktu yang sangat panjang.
            Adapun sejarah penulisan hadis secara resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah barulah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz tahun 100 hijriyah, dengan alasan beliau khawatir terhadap hilangnya hadis nabi bersamaan dengan meninggalnya para ulama dimedan perang dan juga  khawatir akan bercampurnya hadis-hadis sahih dengan hadis-hadis palsu.
            Dipihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan antara tabi’in yang satu dengan lainnya tidak sama, maka dengan jelas memerlukan adanya kodofikasi atau pembukaan hadis.[4]
            Sepanjang sejarah, hadis-hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis, telah melalui proses penelitian yang sangat rumit, baru menghasilkan hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Sebagai implikasi dari penyeleksian dan pembukuan hadis-hadis tersebut maka muncullah berbagai kitab hadis  dengan berbagai macam corak dan metode seperti kitab Al Muwatta (al- musannaf), kitab shahih, kitab sunan, kitab musnad, kitab jami’, dan kitab ajza’.
            Kitab-kitab inipun merupakan implikasi dari nuansa dan perbedaan penyusunan dalam menggunakan pendekatan metode, kriteria dan teknik penulisan. Dalam usaha pembukuan hadis tentunya para ulama berbeda dalam  memilih metode yang digunakan sesuai dengan argumen dan latar belakangnya yang  berbeda-beda.
B.                 Rumusan Masalah
Berdasarkan berbagai pemaparan dalam latar belakang di atas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah yaitu:
1.      Hal-hal apa saja yang melatar  belakangi pembukuan hadis?
2.      Apa yang dimaksud dengan metode Musannaf/Muatta’, Musnad, Sunan, Jami’, Shahih, Atraf, Mustakhraj, dan Mustadrak?


konsep Amanah dalam Al-Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui nabi Muhammad saw. untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan ini. al-Qur’an berisi ayat-ayat yang arti etimologisnya “tanda-tanda” dalam bentuk bahasa Arab[1] mengandung berbagai aspek kehidupan manusia dan tidak hanya terbatas pada aspek keagamaan semata. 
Sebagai intelektual muslim dan pewaris para nabi,[2] ulama berkewajiban memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan yang tersimpan di balik setiap untaian mutiara kata dan menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk menyampaikan nilai-nilai tersebut, ulama menempuh beberapa metode, baik metode penulisan maupun metode pembahasan. Salah satu metode pembahasan yang paling populer digunakan ulama atau cendekiawan saat ini adalah metode maudhu’i (tematik) yaitu upaya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan satu topik dan menyusunnya sebagai sebuah kajian yang lengkap dari berbagai sisi permasalahannya.[3]
Kendatipun al-Qur’an mengandung berbagai macam masalah, ternyata pembicaraannya tentang suatu masalah tidak selalu tersusun secara sistematis sehingga perlu menggunakan metode tematik tersebut. Salah satu topik yang paling sering menjadi bahan pembicaraan dan termasuk permasalahan yang sentral dalam al-Qur’an adalah amanah. Amanah merupakan aspek muamalah yang sangat penting karena terkait dengan kewajiban. Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa beratnya sebuah amanah. Allah berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Allah memberikan amanah kepada langit tapi langit tidak mampu mengembannya kemudian diberikan kepada bumi dan gunung ternyata semuanya tidak mampu memikul amanah tersebut. Namun, hanya manusia yang berani menerima amanah itu.  Amanah pada kenyataannya tidak semudah yang dipikirkan karena dengan adanya amanah berarti ada pembebanan atau tuntutan bagi yang bersangkutan untuk merealisasikan. Kajian dalam makalah ini berusaha mengungkapkan makna amanah dan hal-hal yang terkait dengan amanah meliputi objek amanah, bentuk-bentuk serta pandangan atau sikap al-Qur’an terhadap amanah.
Berbagai metode digunakan dalam mengungkap makna dan maksud dari term-term amanah baik dalam bentuk fi’il atau isim . Dari situlah akan muncul sebuah pemahaman yang komprehensif tentang amanah ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan menghargai semua amanah, karena dalam hadis disebutkan bahwa  لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَه.[4] Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melaksanakan amanah”. Oleh karena itu, mengkaji makna amanah dan aspeknya dalam al-Qur’an sangatlah penting. Selain sebagai wawasan keagamaan juga sebagai bentuk pengembangan kajian akademis.  
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa sebenarnya pengertian amanah dalam al-Qur’an?
2.      Apa saja yang menjadi objek amanah dalam al-Qur’an?
3.      Dalam masalah apa saja amanah disebutkan dalam al-Qur’an?
4.      Bagaimana sikap al-Qur’an terhadap amanah?

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates