Senin, 21 Mei 2012

KISAH ASHAB AL-KAHFI DALAM AL-QUR’AN

Oleh : Muhammad Shadiq Shabry


I. PENDAHULUAN
            Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw yang berhubungan dengan kisah umat-umat terdahulu. Penceritaan kisah-kisah tersebut bukan tanpa maksud sama sekali. Allah sebetulnya ingin membuktikan kepada manusia bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah benar merupakan wahyu dari-Nya dan bukan berdasarkan hawa nafsunya. Allah juga untuk konteks ini ingin memberikan pelajaran kepada manusia untuk mengikuti segala kebaikan yang terdapat dalam kisah-kisah itu dan menjauhi segala keburukannya. Dengan penuturan gaya bahasa yang indah dan memukau diharapkan mampu menyentuh perasaan orang-orang yang membacanya maupun yang mendengarkannya.
 Di dalam al-Qur’an peristiwa-peristiwa historis memang banyak dibincangkan. Peristiwa-peristiwa historis ada yang kejadiannya jauh sebelum lahirnya agama Islam. Peristiwa-peristiwa tersebut jelas tidak pernah dialami oleh Nabi Muhammad saw, tetapi beliau mengetahuinya dari wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Sebagian ayat-ayat al-Qur’an tersebut merekam peristiwa kehidupan masyarakat pada waktu sebelum dan ketika al-Qur’an diturunkan. Al-Qur’an telah memberi ruang bagi penceritaan peristiwa tersebut dan menjadikan karakter ayat-ayat yang bersinggungan dengan itu pada posisi sebagai dokumen historis yang eternal.
            Pemaparan al-Qur’an tentang peristiwa-peristiwa historis tidak sama dengan penulisan sejarah yang berlaku di dunia akademik yang tersusun secara runtut dengan pencantuman nama pelaku secara jelas, tempat, waktu, obyek, dan latar belakang dari peristiwa tersebut. Al-Qur’an mencantumkan kisah-kisahnya tidak selalu mencantumkan tempat dari orang-orang secara lengkap, tidak pula urutan-urutan peristiwanya, sebab seperti diketahui al-Qur’an bukan kitab sejarah, melainkan kitab petunjuk (hidayah) yang terkadang menceritakan kisah. Sebagian peristiwa yang temanya sama dimuatnya dalam satu tempat dan sebagian yang lainnya dimuat di tempat yang lain, disesuaikan menurut kesempatan dan ajaran yang diserukan oleh porsi yang dibicarakannya. Bahkan karakteristik seperti itu terkadang diungkapkan secara panjang lebar, namun terkadang hanya garis besarnya saja.
Kisah-kisah al-Qur’an sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari proses pewarisan nilai yang terkandung didalamnya. Karena pada fokus itulah esensinya yang sarat menyajikan pesan kemanusiaan pada masa silam yang berguna bagi kehidupan kini maupun di masa mendatang dapat secara transparan menemukan bukan saja eksistensinya melainkan juga relevansinya untuk kehidupan manusia. Dengan begitu kisah yang ingin mengemban misi mentransformasikan nilai-nilai yang terus berkontinuitas dapat menemukan jati dirinya.
           Kisah-kisah  seperti yang ada dalam pengertian di atas telah banyak diungkapkan oleh al-Qur’an. Tidak tanggung-tanggung, jumlah ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan itu, menurut penelitian A.Hanafi,  jumlahnya tidak kurang dari 1600 ayat. Penelitian itu pun hanya ditujukan kepada kisah para Nabi dan Rasul.[1] Kalau jumlah standar ayat yang dipakai adalah kesepakatan ulama yaitu 6236,  maka setidaknya 25,6 % dari kisah para Nabi dan Rasul itu yang menempati al-Qur’an. Belum lagi kisah-kisah yang lain. Dengan demikian nampak bahwa jumlah tersebut memperlihatkan betapa besar perhatian al-Qur’an kepada kisah-kisah itu.

Minggu, 20 Mei 2012

Al-Iraqi dan Pemikirannya


 Al-Iraqi dan pemikirannya dalam kitab
al-Tabshirah wa al-Tadzkirah
  
OLEH : AMRULLAH HARUN
   
     A.    Nama dan Kuniyahnya 
Beliau adalah ‘Abdurrahim bin al-Husain bin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr bin Ibrahim al-Kurdi ar-Raziyani keturunan bangsa ‘Iraq, kelahiran kota Mahran, Mesir dan bermadzahab Syafi’i. 
Kuniyahnya adalah Abu al-Fadhl, dan digelari Zainuddin. Dilahirkan pada hari ke dua puluh satu dari bulan Jumada al-Ula tahun 725 H.
Dari sumber-sumber sejarah menerangkan bahwa pada hari Rabu tanggal 9 Sya’ban tahun 806 H ruh al-Hafizh al-‘Iraqi meninggalkan jasadnya (beliau wafat), setelah beliau keluar dari kamar mandi. Beliau wafat pada umur 81 tahun, jenazah beliau masyhur dan beliau dishalati oleh Syaikh Syihabuddin adz-Dzahabi, dan beliau dimakamkan di luar kota Kairo.[1]

B.     Perjalanan Hidup al-Iraqi dalam Menuntut Ilmu 
Zainuddin (al-‘Iraqi) telah hafal al-Qur’an, kitab at-Tanbih dan al-Hawi (kitab fiqh madzhab Syafi’i karangan Imam al-Mawardi) ketika umur beliau depan tahun. Lalu beliau menyibukkan diri memulai menuntut ilmu dalam ilmu qira’at (ilmu tentang riwayat-riwayat bacaan al-Qur’an). 
Al-Hafiz al-Iraqi pada awal menuntut ilmu, memulainya dengan mendalami ilmu bahasanya khusunya pada struktur (nahwu sharaf) bahasa Arab, kemudian beliau melanjutkan dengan mendengarkan riwayat hadits dari ‘Abdurrahim bin Syahid al-Jaisy dan Ibnu ‘Abdil Hadi. Beliau membaca hadits di hadapan Syaikh Syihabudiin bin al-Baba. Kemudian mengalihkan semangatnya untuk belajar ilmu takhrij, dan beliau sangat tekun dalam mempelajari tentang takhrij al ahadits. Saat umur beliau dua puluh tahun, beliau melakukan rihlah (pengembaraan) untuk menuntut ilmu ke sebagian besar kota di negeri Syam. 
Beliau mengajar di banyak Madrasah (sekolah) di negeri Mesir dan Kairo, seperti: Darul Hadits, al-Kamilah, azh-Zhairiyyah al-Qadimah, al-Qaransiqriyah, Jami’ Ibnu Thulun, dan al-Fadhilah. Beliau juga pernah tinggal di dekat al-Haramain dalam beberapa waktu, sebagaimana beliau pernah menjabat sebagai hakim di Madinah an-Nabawiyah, berkhutbah dan menjadi Imam di sana.[2] 

METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN




 Oleh : Muhammad Shadiq Shabry

 I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah.

Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diyakini sebagai petunjuk bagi manusia. Keyakinan tersebut menempatkan kitab suci ini sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam. Kedudukannya sebagai kitab suci dan sumber dari agama yang telah dinyatakan sempurna mengandung pengertian bahwa ia mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan hidup di sepanjang masa.
Dalam usaha menemukan petunjuk-petunjuk Allah dalam al-Qur'an tersebut diperlukan usaha penafsiran. Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci al-Qur'an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam penafsiran adalah hal yang tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu, misalnya perbedaaan kecenderungan,  motivasi mufassir, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari.
            Usaha penafsiran sesungguhnya telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah saw. Al-Qur'an juga memang telah mendorong ke arah tersebut, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Secara eksplisit al-Qur'an telah memerintahkan untuk menyimak dan memahami ayat-ayatnya. Hal tersebut dapat dijumpai misalnya dalam Q.S. al-Nisa (4) : 82, Q.S.Muhammad (47) : 24. Dan secara implisit, upaya mencari penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dimungkinkan oleh pernyataan  al-Qur'an itu sendiri bahwa ia diturunkan oleh Allah untuk menjadi petunjuk (QS.al-Baqarah (2) : 2, 97, 185), dan rahmat (QS. al-A’rāf (7) : 51, 203) bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Agar tujuan itu terwujud dengan baik, maka ayat-ayat al-Qur'an, yang umumnya berisi konsep-konsep, prinsip-prinsip pokok yang belum terjabar, aturan-aturan yang masih bersifat umum, dan sebagainya, perlu dijelaskan, agar dapat dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan manusia.
Kegiatan tersebut kemudian berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adanya kesenjangan waktu yang semakin jauh dari masa al-Qur’an diturunkan merupakan sebuah problem tafsir yang coba hendak diatasi oleh para mufassir, sehingga mereka dapat menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur’an. Sejalan dengan itu,  perkembangan ilmu-ilmu keislaman dan peradaban yang mengitarinya ternyata ikut mempengaruhi produk penafsiran mereka. Dan seperti yang terlihat bahwa produk penafsiran mereka itu tetap saja tidak berwajah tunggal, melainkan sangat beragam seiring dengan keragaman kecenderungan,  motivasi, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari mereka.
Berbagai metode dan corak tafsir pun bermunculan. Para pengamat tafsir lalu berusaha mengelompokkan metode dan corak tafsir yang beragam itu berdasarkan sudut tinjauan tertentu. Lahirlah kemudian metode tafsir, seperti metode tahlīliy, ijmāliy, muqāran dan mawdhū'iy[1]. Demikian pula dengan corak tafsir seperti corak  bahasa, filsafat, kalam, ilmiah, fiqhi , teologis, tasawuf dan sosial kemasyarakatan.
            Untuk kawasan Indonesia sejak masuknya Islam pergumulan umat Islam Indonesia dengan al-Qur’an menjadi demikian intens.  Alasannya adalah karena para pemeluk agama Nabi Muhammad itu amat meyakini bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci mereka.  Awalnya kaum muslimin belajar membaca al-Qur’an dan praktek-praktek ibadah, lalu diikuti oleh pelajaran mengenai konsep-konsep tertentu dari al-Qur’an. Selanjutnya al-Qur’an sebagai rujukan dalam berislam diurai maknanya lalu disebarluaskan kepada masyarakat.
            Perkembangan tafsir di nusantara pasca penyusunan tafsir secara lengkap oleh Abd al-Rauf al-Sinkili lewat Tarjumān al-Mustafidnya terus bergeliat. Geliat tersebut dapat dilihat tidak saja dalam konteks kuantitas literatur tafsir yang ditulis oleh mufassir Indonesia tetapi juga dalam konteks kualitas mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Secara umum semua yang mereka lakukan itu bertujuan memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk memahami ajaran al-Qur’an.
            Salah satu tafsir yang lahir di Indonesia dengan tujuan seperti di atas adalah Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan yang rampung di tulis pada tahun 1956.[2] Bila kehadiran tafsir ini dirunut maka Tafsir al-Furqan adalah tafsir kedua yang muncul dalam rentangan masa abad ke 20 setelah lahirnya Tafsir Qur’an Karimnya Mahmud Yunus.
            Walaupun kesan penafsirannya secara sederhana dan global masih kuat terlihat, tetapi tafsir ini telah menunjukkan daya tahannya yang luar biasa. Tafsir ini sampai sekarang masih tetap digunakan sejak peluncurannya pada tahun 1956.


B. Rumusan Masalah.

            Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka masalah pokok yang akan dikaji dalam makalah ini adalah bagaimana metode penafsiran yang dikembangkan oleh Ahmad Hassan dalam Tafsir Al-Furqannya. Masalah pokok tersebut akan dibatasi dalam sub-sub masalah sebagai berikut agar kajian dapat terarah dan sistematis, yaitu :

1. Bagaimana latar belakang penyusunan tafsir Al-Furqan?
2. Bagaimana sistimatika penyusunan tafsir Al-Furqan?
3. Bagaimana metode dan corak tafsir Al-Furqan?

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates