Sabtu, 30 April 2011

AL KINDI dalam Filsafatnya

oleh : muhammad Agus. S.Th.I


BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang Masalah
Perkenalan peradaban islam dengan non islam berlangsung melalui migrasi dan penerjemahan peradaban Yunani, India dan Persia yang disebut falsafah klasik (peradaban klasik, (‘ulum al- awail). Al-Kindi menyebutnya dengan al-ulum insaniyyah. Dari Asia Minor Barat, falsafah menyeberang ke Yunani, dan selama ribuan tahun Athena menjadi pusat falsafah. Ketika Alexsandria ditaklukkan oleh Alexander the Great, falsafah kemudian diperkenalkan di sana. Ketika Kaisar Byzantium, Junstinianius menutup pusat-pusat falsafah di Athena, para filosof Yunani kemudian bermigrasi ke Persia dan ke kota-kota lain yang kemudian menjadi negeri islam. Selain melalui migrasi para filosof ke negeri-negeri lain memperkenalkan dunia islam  dengan falsafah juga diperoleh melalui penerjemahan, dan para penerjemah generasi pertama pada umumnya adalah non muslim. Misalnya ibnu al-Muqaffa yang pada mulanya merupakan tokoh pemeluk Zoroaster. Ia hidup pada masa Khalifah al-Manshur. Pada saat itu sebenarnya juga telah muncul beberapa karya terjemahan dari Aristoteles al- Majasta, karya ptolemi dan karya-karya cendikiawan yang lainnya.[1]                                                           
Al-Kindi selaku orang yang dilahirkan di kalangan para intelektual, maka pendidikan yang pertama-tama diberikan kepadanya adalah membaca al quran, menulis dan berhitung. Di samping itu Al-Kindi juga banyak mempelajari sastra dan agama dan menerjemahkan buku Yunani di dalam bahasa syiria Kuno ke dalam bahasa Arab. Kemasyhuran dapat diketahui melalui tulisan Ibnu Abi Usaibiah, yang mengatakan bahwa Muhammad dan Ahmad, putra dari Musa Ibnu Syakir, telah menyatakan permusuhan bagi siapa saja yang terkemuka dalam ilmu pengetahuan. Mereka ini telah mengutus seorang yang benama Sanad Ibnu Ali ke kota Baghdad, dengan suatu perintah, agar ia berusaha agar Al-Kindi dapat dihalau dari istana, atau dijauhkan dari mutawakkili. Komplotan ini berhasil baik, sehingga Al-Kindi kemudian diperintahkan agar dijatuhi hukuman dera. Segala perpustakaannya dikosongkan dan diletakkan pada suatu tempat dengan dibubuhi  “Pustaka Al-Kindi” akan tetapi tidak lama kemudian, perpustakaan itu dikembalikan kepada Al-Kindi.[2]
Masa dan juga intelektual yang sangat mendukung , di topeng dengan kemampuan intern keluarganya, semua itu menjadi penentu kesuksesan al-Kindi. Dengan ekonomi keluarga Al-Kindi yang mapan ia sanggup mendatangkan sumber-sumber asli dari Yunani. Kepakaran dalam falsafah yang membawanya ke pusat kekuasaan . Akan tetapi, kedatangannya di lingkungan istana ditentang oleh orang yang merasa terancam posisinya, misalnya Abu Ma’syar yang mengobarkan perlawanan terhadap falsafah. Untungnya Al-Kindi dapat mengatasi sikap perlawanan Abu Ma’syar menjadi persahabatan.[3]
Al- Kindi merupakan salah satu tokoh yang hidup dan berperanng pada masa                    keemasan islam, dimana kemerdekaan berfikir dapat dirasakan oleh seluruh ummat islam dan kemajuan ilmu pengetahuan mulai mekar besamaan dengan meluasnya dakwah islam serta daerah ummatnya.[4]  Dengan kata lain bahwa pada masa keemasan itu suatu masa di mana islam mengalami perkembangan secara terus menerus, dan pada masa itu disebut juga masa ma’mun yakni salah satu zaman yang harus tercatat dalam sejarah islam, karena ia merupakan zaman terpenting dalam masa pemerintahan umayyah, di mana diletakkan dasar hidup beragama, hidup berfikir dan hidup berkebudayaan. Keistimewaan zaman inilah membina dan membangun ilmu kalam, ilmu tasauf, menciptakan dasar-dasar ilmu filsafat islam yang mempelajari ilmu tabib, ilmu falak, ilmu al jabar, ilmu kimia dan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain dalam bentuk baharu. Ada dua faktor yang mendukung sehingga masa ini sangat maju, yaitu pertama kerja sama antar bangsa-bangsa, kemerdekaan beragama dan toleransi antar kelas dan tingkat, semua ini diikat dan dipersatukan oleh bahasa arab sebagai alat berfikir dan mengeluarka perasaan. Yang ke dua kemerdekaan yang luas diberikan oleh khalifah-khalifah pada masa itu, terutama ma’mun bagi mereka untuk berfikir, berbicara dan menulis.
Menyadari akan sangat luasnya urain tentang Al-Kindi dan kaitannya uraian-uraian di atas, maka masalah pokok yang dikaji dalam makalah ini adalah riwayat hidup Al-Kindi, keserasian filsafat dan agama, filsafat ketuhanan, dan filsafat jiwa / Al-Nafs.
B.   Rumusan Masalah Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.     Bagaimana riwayat hidup Al- Kindi dan karya-karyanya?
2.     Bagaimana keserasian antara filsafat dan agama menurut Al-Kindi?
3.     Bagaimana filsafat ketuhanan menurut Al-Kindi?
4.     Bagaimana filsafat jiwa / Al-Nafs menurut Al-kindi?

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Riwayat Hidup Dan Karya-Karyanya
1.     Riwayat Hidup
Al-Kindi nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’cub ibn Ishaq ibn Al-Shababbah ibn Muhammad Al-Asy’as ibn Qais Al-Kindi. Kindah, pada siapa nama Al-kindi dinisbatkan , adalah suatu Kabilah terkemuka pra islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusatraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan  tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.[5]  
Al- Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H. (801 M. ) dari keluarga yang kaya dan terhormat . Kakeknya bernama, Al- ASy’as ibn Qais adalah seoang sahabat Nabi Muhammad SAW. Yang gugur sebagai syuhada’ bersama sa’ad ibn Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di Irak, sementara itu ayahnya Ishaq ibn Al Sabah , adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al Mahdi (775-785 M) dan Al Rasyid  (786-809 M.), ayahnya meninggal ketika ia masih usia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan menuntut ilmu dengan baik.[6]  Sekalipun Ayahnya Al- Kindi seorang gubernur yang sibuk dengan kegiatan- kegiatan politiknya, tetapi tetap memberi perhatian terhadap putra kesayangannya, dengan harta kekayaan yang dimilikinya ia memberikan fasilitas dan sekolah yang terbaik bagi putranya. Sementara itu,                         
AL- Kindi sendiri hidup pada masa pemerintahan  khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin (809-813 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tasim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M) dan Al- Mutawaqqil (847-861 M). Jadi Al- Kindi hidup di masa pemerintah lima Khalifah.
Al- Kindi memulai perjalanan intelektualnya dari tanah kelahirannya sendiri, yaitu Kufah kemudian melanjutkan pendidikannya ke Bashrah, yang pada saat itu merupakan pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan tempat utama gerakan pemikiran dan filsafat. Di Bashrah ia mempelajari ilmu-ilmu keagamaan, matamatika dan filsafat. Tetapi tampaknya ia begitu tertarik kepada filsafat dan ilmu pengetahuan, sehingga setelah ia pindah ke Baghdad ia mengabdikan dirinya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Di Baghdad pusat pemerintahan Daulah Abbasiyah inilah ketajaman intelektualnya semakin ter asah dan karier intelektualnya pun berkembang pesat. Hal ini bermula dari perkenalannya Al- Ma’mun, khalifah pada masa itu yang sedang menggalakkan kegiatan-kegiatan ilmiah di beberapa pengkajian ilmu pengetahuan, dan yang paling monumental adalah proyek penerjemahan secara besar-besaran di bawah naungan sebuah lembaga yang disebut dengan “Baitul Hikmah” (pustaka kebijksanaan).
Khalifah meminta kepada Al-Kindi untuk terlibat aktif dalaam lembaga tersebut, baik sebagai tenaga edukatif, maupun sebagai peneliti dan penerjemah. Bahkan ia diminta untuk menjadi guru pribadi Ahmad, putra al- Mu’ tashim. Tampaknya Al-Kindi sangat menikmati suasana intelektual pada saat itu. Ia menterjemahkan beberapa karya dan merefisi terjemahan orang lain, seperti teologi Aristoteles. Hal ini memungkinkan karena Al-Kindi menguasai ajaran-ajaran Persia, Yunani dan India serta ia juga fasih berbahasa Ibrani, Yunani dan Arab.
Untuk mengalih bahasakan istilah-istilah filosofis dan ilmiah tertentu yang ia temukan dalam karya-karya Asing, ia menciptakan beberapa kata baru dalam bahasa Arab, seperti jirm untuk tubuh, Thinah untuk materi, al- Tawahum untuk imajinasi dan lain-lain. Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya  telah menempatkan ia menjadi orang islam yang pertama berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka.[7] Karena  wawasannya yang luas tentang berbagai jenis ilmu pengetahuan dan juga ia seorang Arab yang beragama Islam maka  ia layak disebut sebagai “filosof Arab”  atau  “ filosof  muslim”  pertama .
Corak filsafat Al-Kindi tidak banyak diketahui, karena  buku-bukunya tentang filsafat banyak yang hilang baru zaman  belakangan baru ditemukan kurang lebih dua puluh risalah Al-Kindi dalam tulisan tangan, mereka yang berminat menelaah filsafat islam baik kaum orientalis maupun orang-orang Arab sendiri, telah menerbitkan risalah-risalah tersebut. Dengan demikian orang mudah menemukan kejelasan mengenai posisi Al-Kindi dan paham filsafatnya.  Menurut Mustafa Abd al Rasiq, sebagaimana dalam bukunya Mustafa Syahim yang berjudul Tarikh al fikr al falsafi al islam, mengatakan bahwa Al-Kindi wafat pada tahun 252 H (866 M).[8]
Dari uraian diatas tampak jelas bahwa Al-Kindi sangat berperang dalam dunia filsafat, bahkan dikenal sebagai seorang filosof islam yang pertama.     
2.     Karya-karyanya
Al-Kindi adalah salah seorang filosof muslim yang produktif dalam menghasilkan berbagai macam karya ilmiah. Tulisannya cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu. Menurut George Atiyeh mengatakan bahwa karya-karya tulisnya  dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan mencapai sebanyak 270 risalah. Risalah-risalah itu baik oleh ibnu Nadim maupun Qifthi  dikelompokkan dalam 17 kelompok, yaitu: 1. Filsafat, 2. Logika, 3. Ilmu hitung, 4. Globular, 5. Musik, 6. Astronomi, 7.Geometri, 8. Sperikal, 9. Medis, 10. Astrologi, 11.Dialektika, 12. Psikologi, 13. Politik, 14. Meteorologi, 15. Dimensi, 16. Benda-benda pertama, dan 17. Spesies tertentu dan kimia.
Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan beberpa karya tulis Al-Kindi, yaitu: Fi’al-falsafah al- Ula, Kitab al- Hassi’ ala ta’allum al- Falsafat, Risalat ilaal-Ma’mun fil al-illat wa Ma’lul, Risalat fi Ta’lif al- A’dad, Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa-Al Masail al-Manthiqiyyat wal al- Mu’Tashah wa ma Fauqa al-Thabiyyat, Kammiyyat Kutub Aristoteles dan Fi al- Nafs.[9]
Dari uraian karya tulis tersebut dapat dijadikan bukti tentang luasnya wawasan keilmuan Al-Kindi, dengan kata lain bahwa Al-Kindi adalah seorang pemikir.
B.     Keserasian Filsafat Dan Agama
Salah satu usaha Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia islam dengan cara mengetok pintu hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya  kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya. Al- Kindi ialah orang islam yang pertama meretas jalan mengupayakan keserasian antara filsafat dengan agama atau antara akal dengan wahyu. Menurutnyaantara keduanya tidaklah bertentangan, karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu satu. Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, ke Esaan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu selain yang mengajarkan bagaimana jalan untuk memperoleh apa-apa yang bermamfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawah oleh Rasul Allah, dan juga mereka menetapkan ke Esaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.[10]
Al-Kindi memperkenalkan agama dengan filsafat atas dasar pertimbangan bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran dan agama juga adalah ilmu tentang kebenaran pula, oleh karena itu tidak ada perbedaan diantara keduanya. Pengaruh golongan mu’tazilah nampak jelas pada jalan pikirannya, ketika ia menetapkan kesanggupan akal manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia yang dibawah oleh nabi Muhammad saw. Menurut Al-Kindi kita tidak boleh malu untuk mengakui kebenaran dan mengambilnya dari mana pun datangnya, meskipun dari bangsa-bangsa lain yang jauh letaknya dari kita.[11]
Dengan demikian, menurut Al-Kindi orang yang menolak filsafat berarti mengingkari kebenaran. Ia mengibaratkan orang mengingkari kebenaran sama halnya dengan orang yang memperdagangkan agama, dan orang itu pada hakikatnya orang yang tidak beragama karena ia telah menjual agamanya . siapa yang memperdagangkan agama berarti ia bukan orang yang beragama. Orang yang mengingkari usaha untuk mengetahui hakikat sesuatu berhak untuk membebaskan diri dari agama, sehingga ia disebut orang kafir. Meskipun Al-Kindi berusaha memadukan antara filsafat dengan Agama, bukan berarti ia menafikkan adanya perbedan diantara keduanya. Dalam tulisannya  Kammiyat Kutub Aristoteles yang kami kutip dari tulisan Prof. Dr. H. sirajuddin Zar, M.A, Al-Kindi mengemukakan beberapa perbedaan yang mendasar antara filsafat dan agama, sebagai berikut:
1.      Filsafat trmasuk ilmu kemanusiaan (humaniora) yang dicapai filosof dengan berfikir, belajar dan usaha- usaha manusiawi. Sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tempat tertinggi karena diperoleh tamapa melalui proses beajar, berfikir dan usaha manusiawi dilainkan hanya dikhususkan bagi para Rasul yang dipilih oleh Allah dengan mensucikan jiwa mereka dan memberinya wahyu.
2.      Jawaban filsafat menunjukkan ketidak pastian (semu) dan memerlukan berfikir atau renungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa alquran memberi jawaban secara pasti  dan meyakinkan dengan mutlak.
3.      Filsafat menggunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan (pendekatan imani).[12]
Jadi Al-Kindi adalah filosof pertama yang menyelaraskan antara agama dan filsafat dengan pandangan mengikuti jalur logika dan memilsafatkan agama dan memandang agama sebagai sebuah ilmu ilahi. Dan ilmu ilahi ditempatkan di atas filsafat, ilmu ilahi ini lewat jalur para nabi dan dengan melalui penafsian filosofis agama menjadi selaras dengan filsafat.
Menurut Al- Kindi, agama dan filsafat tidak munkin bertentangan, Agama di samping sebagai wahyu juga menggunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. Dalam firman Allah SWT. Sebagaimana yang terdapat  dalam alquran surah Al Imran (3) ayat 190, yang terjemahnya; “Sesungguhnya dalam  penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.[13]
Yang benar pertama (Alhaqq al awwal) adalah Tuhan. Dalam hal ini, filsafat juga membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan. Menurut Al-Kindi, orang yang menolak filsafat dianggap kafir, karena dia telah jatuh jauh dari kebenaran, meskipun dirinya menganggap paling benar. Jika terjadi pertentangan tentan nalar logika dengan dalil-dalil agama dalam al quran, mestinya ditempuh dengan jalan ta’wil ( interpretasi, kontekstualisasi, atau rasionalisasi atas teks-teks keagamaan). Hal ini karena dalam bahasa ( termasuk bahasa arab), terdapat dua makna: makna hakiki(hakikat, esensi) dan makna majasi (figuratif, metafora). Namun demikian, menurut Al-Kindi memang terdapat perbedaan dari segi sumber data (informasi) antara agama dan filsafat.
Agama diperoleh melalui wahyu tampa proses belajar sedangkan filsafat didapat melalui proses belajar (berfikir dan berkontemplasi). Sedangkan dari segi pendekatan dan metode, agama dilakukan dengan pendekatan keimanan, sedangkan filsafat dilakukan dengan pendekatan logika.
Agaknya untuk memuaskan semua pihak, terutama pihak yang tdak senang dengan filsafat, Al-Kindi juga membawakan ayat-ayat al quran. Menurutnya menerima dan mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran al quran yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahass segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya  yaitu Q.S. An Nasyr ayat 2, surah Al A’raf ayat 185, Q.S. Al Ghasyiyat ayat 17-20 dan Q.S Al Baqarah ayat 164.[14]
Menurut Al-Kindi terkadang dalam Al quran terdapat perlawanan dalam lahirnya  antara hasil- hasil pemikiran filsafat dengan ayat-ayat al quran, hal ini yang menyebabkan sehingga ada orang menentang filsafat. Pemecahan Al-Kindi terhadap persoalan ini adalah bahwa kata-kata dalam bahasa arab bisa mempunyai arti yang sebenarnya (hakiki) dan arti majazi (arti kiasan, atau bukan arti yang sebenarnya). Dengan syarat harus ditafsirkan oleh orang-orang ahli agama dan ahli fikir.[15]
Dengan demikian , Al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap al quran, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal dan antara filsafat dengan agama. Lebih lanjut Al-Kindi menegaskan bahwa falsafah harus diterima , karena kebenaran falsafah dengan kebenaran agama tidak ada pertentangan, karaena ke duanya datang dari sumber yang sama yakni dari Tuhan.[16] Oleh karene itu , ia selalu berupaya memadukan keduanya dan harmonisasi ini menjadi ciri tersendiri dari falsafah islam.
Adapun tujuan Al- Kindi menyelaraskan antara ilsaat dengan agama menurut tinjauan penulis adalah agar akal manusia dapat dipergunakan berikir  untuk mencari kebenaran. Karena antara kebenaran agama tidak ada pertentangan kebenaran ilsaat . Selin tujuan tersebut, Karena Al- Kindi adalah seorang iloso muslim pertama maka tujuannya adalah untuk membukakan jalan para iloso muslim berikutnya, yakni melicinkan jalan bagi Al- arabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusy.
Kesimpulannya, Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting dalam filsafat islam
C.     Filsafat Ketuhanan
Tulisan Al-Kindi yang mebicarakan ketuhanan antara lain Fi Al falsafa al Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tandhi Jirm al- Alam. Dan tulisan-tulisan tersebut dapat dilihat bahwa pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran islam, menurutnya Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia mustahil tidak ada dan selalu ada akan selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain, wujud-Nya tidak berakhir sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek . Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Benda-benda yang ada di alam ini menurut Al-Kindi mempunyai dua hakikat, yakni hakikat sebagai juz’I (al haqiqatu juzi’at) yang disebut ani’ah dan hakikat sebagai kulli (al- haqiqatulkulliyyat), dan ini disebut mahiah,  yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus (jins) dan spesies (nau’).[17]
Dari uraian di atas dapat dipahami Al- Kindi mengkaji persoalan ketuhanan, yakni hakikat Tuhan, wujud Tuhan dan sifat-sifat Tuhan . Hakikat Tuhan menurut Al-Kindi Tuhan adalah wujud dan  wujud adalah wujud yang sempurna , wujud yang haq (benar) dan tidak didahului oleh wujud lain. Wujud Tuhan tidak berakhir  sedangkan wujud lain disebabkan oleh wujud-Nya. Dan sifat Tuhan adalah Esa dalam artian bahwa Tuhan itu hanya satu.
Al-Kindi membuktikan wujud Tuhan dengan menggunakan tiga jalan, yaitu: 1.Baharunya alam, oleh karena itu, Al-Kindi menanyakan apakah munkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya, ataukah tidak munkin. Dijawabnya bahwa hal itu tidaklah mungkin. Yang jelasnya bahwa alam ini baru dan ada permulaan waktunya, karena alam ini terbatas. Oleh karena itu pasti ada yang menyebabkan ini terjadi atau ada yang menciptakan. Tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya, dan dengan demikian maka diciptakan oleh penciptanya dari tiada.  2. Keaneka ragaman dalam wujud, Al-Kindi mengatakan bahwa dalam alam ini baik alam indrawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada keseragaman tampa keaneka ragaman. Kalau alam indrawi tergabung dalam keaneka ragaman dan keseragaman bersama-sama, maka hal ini bukan karena kebetulan melainkan karena sesuatu sebab, akan tetapi sebab ini bukanlah alam itu sendiri, sebab kalau alam itu sendiri menjadi sebabnya, maka tidak ada habis-habisnya. Dan demikian seterusnya, sedang sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi, Oleh karena itu, maka “sebab”  tersebut haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya, karena sebab harus ada sebelum ma’lulnya (efek akibat).  Dan 3. Kerapian alam, jalan kerapian alam dan pemeliharaan Tuhan terhadapnya, maka Al-kindi mengatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya Zat yang tidak Nampak. Zat yang tidak nampak tersebut, hanya dapat diketahui  dengan melalui bekas-bekas-Nya  dan kerapian yang ada pada alam ini. Jalan ini terkenal dengan nama “illat tujuan” yang telah ditentukan oleh Aristoteles sebelumnya.[18]
Lebih lanjut Al-Kindi membuktikan sifat ke esaan Tuhan dengan mengatakan bahwa Dia  bukan benda, bukan form tidak mempunyai kuantitas dan kualitas, tidak berhubungan dengan yang lain, sebagaimana hubungan antara ayah dengan anak, tidak bisa disifati dengan dengan apa yang ada dalam pikiran, bukan genus, tidak bertubuh, maka Tuhan adalah keesaan belaka.[19]
Dari berbagai jalan yang ditempuh oleh Al-Kindi tentang Tuhan khususnya untuk meyakinkan keberadaan-Nya, saya ingin mengatakan bahwa untuk lebih mengetahui ke Maha Esaan Allah maka kita dapat melihat pergantian siang dan malam, seandainya tidak ada yang mengatur kesemuanya itu atau lebih dari satu Tuhan maka sangat boleh jadi terjadi perselisihan diantara keduanya dalam arti kata Tuhan yang satu maunya malam sementara Tuhan yang satu maunya siang. Maka terjadilah kehancuran dalam duna ini. Di samping itu ketika kita memperhatikan berbagai macam bencana yang terjadi di dunia ini, seandainya ada yang mengetahui akan terjadinya peristiwa itu,maka tidak ada orang yang terkena bencana. Kesimpulannya ialah bahwa Tuhan adalah sebab pertama di mana wujud-Nya karena bukan karena sebab yang lain. Ia adalah zat yang menciptakan segala sesuatu yang dari tiada. Ia adalah zat yang menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan.     
Tujuan akhir dalam filsafat islam adalah  untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang Allah. Allah dalam filsafat Al-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘aniah dan mahiah. Tidak aniah karena  Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk  dalam benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari materi dan bentuk.
Dalam bukunya Sayyid Muhammad Aqiel Ibnu Almahdani, menjelaskan teori- teori Al- Kindi tentang ketuhanan, adapun teori-teorinya, yaitu:
1.      Disandarkan pada premis bahwa alam semesta itu terbatas pada sudut jasad (jism) waktu (zaman) dan gerak (harakah). Lantaran keterbatasan itu, maka alam semesta haruslah diciptakan. Karena amenurut hukum kausalitas, segala sesuatu haruslah memiliki suatu sebab. Karena alam semesta merupakan akibat, maka siapakah yang menjadi sebab bagi alam semesta? Tuhan adalah sebab pertama bagi alam semesta. Oleh karena itu, Ia Adalah penyebab dan pencipta alam semesta ini.
2.      Alam semesta ini adalah murakkab yakni tersusun  dan katsrah  yakni beragam. Hal yang tersusun dan beragam itu sesungguhnya tergantung secara mutlak pada satu sebab yang ada di luar alam, satu sebab itu adalah tidak lain adalah dzat Tuhan yang Esa (Adz-dzat al-Ilahiyyah al- Wahid).
3.      Bersandar pada ide yang menyatakan bahwa sesuatu secara logis tidak bisa menjadi penyebab bagi dirinya sendiri.
4.      Disandarkan pada perumpamaan antara jiwa yangterdapat di dalam jasad manusia dengan Tuhan yang merupakan sandaran bagi alam. Dengan kata lain, jika mekanisme jasad manusia yang teratur menunjukkan adanya kekuatan yang non kasar mata, yang disebut sebagai jiwa, maka mekanisme alam yang berjalan secara teratur, mengibaratkan adanya seorang manajer. Manajer itulah yang disebut oleh Al-Kindi sebagai Tuhan.
5.      Menyandarkan pada rancangan, keteraturan dan tujuan dari alam semesta. Hal demikian dapat kita lihat ketika Ia berkata bahwa susunan yang antara sempurna sehingga yang terbaik selalu terpeliharan dan yang terburuk selalu terbinasakan. Semua ini adalah petujuk yang paling baik tenang adanya suatu pengatur yang paling cerdas.[20]
D.    Filsafat Jiwa / Al- Nafs
Jiwa adalah roh manusia yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan hidup; nyawa.[21] Dalam kamus filsafat Islam  yang berbunyi an- nafsul amarah adalah “Nafsu atau jiwa yang memberi perintah, yaitu jiwa yang cenderung menyuruh kepada kejahatan.[22]
Al-Kindi juga  membicarakan  soal jiwa (Al-Nafs, soul ) dan akal ia mengatakan bahwa manusia mempunyai tiga daya, yaitu daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada dan daya berfikir berpusat si kepala.[23]
Tidak mengherangkan bahwa pembahasan tentang jiwa menjadi agenda yang penting dalam filsafat Islam, hal ini disebabkan, karena jiwa termasuk  unsur utama bagi manusia, bahka menjadi intisari dari manusia. Kaum filosof muslim memakai kata jiwa ( al-nafs) sesuai apa yang diistilahkan dalam al quran dengan al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk nafsu atau nafas dan roh. Akan tetapi kata nafsu dalam pemakaian sehari-hari berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang kurang baik, sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata hawa, yakni hawa nafsu.
Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan al quran sebagai sumber ajaran islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.[24] Justru itu kaum filosof muslim membahas jiwa berdasarka pada filsafat jiwa yang dikemukakan oleh para filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan dengan ajaran islam.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basits (tunggal, tidak  tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting dan sempurna, dan mulia. Subtansi  jauhar-nya berasal dari subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungannya cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan llahy, sementara itu  jisim mempunyai hawa nafsu dan amarah. Argumen Al-Kindi tentang bedanya jiwa dengan badan, menurutnya jiwa menentang keiinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini  dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.[25]
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat dengan pemikiran Plato dari pada Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bias tinggal tampa materi, keduanya membentuk  satu kesatuan esensial dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun demikian, Al-Kindi tidak setuju dengan pendapat Plato bahwa jiwa berasal dari alam idea. Jiwa atau ruh selama berada dalam badan tidak akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Nanti setelah berpisah dengan jasad, ruh akan mendapatkan kesenangan yang hakiki dan pengetahuan dengan sempurna. Setelah berpisah dengan badan, ruh pergi ke alam kebenaran atau alam akal di atas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, di sinilah letak kesenangan abadi dari ruh.[26]
Jadi hanya jiwa yang sucilah yang dapat sampai kepada alam kebenaran itu. Jiwa yang masih kotor dan belum bersih harus mengalami penyucian lebih dahulu.
Ketika kita cermati secara seksama dari berbagai pandangan Al-Kindi baik dalam keserasian antara filsafat dengan agama, tentang ketuhanan maupun pandangan tentang jiwa dapat dikatakan bahwa Al-Kindi belum mempunyai filsafat yang lengkap, namun harus diakui bahwa Al-Kindi selalu berusaha mempertemukan filsafat dengan agama, atau akal dan wahyu, serta lebih jauh lagi mengislamkan ide-ide yang terdapat dalam filsafat Yunani. Pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan pemikiran awal yang merintis jalan bagi filosof muslim sesudahnya.  


BAB III
KESIMPULAN
Bearjak dari pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Filosof besar pertama yang dikenal adalah Abu Yusuuf Ya’qub ibnu Ishaq ibn Al-Sabbah ibnu Imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy’as ibnu Qais Al-Kindi, atau yang dikenal dengan Al-Kindi. Beliau lahir pada tahu 185 H. (801 M.) dan wafat pada tahun 252 H. (866 M.). Beliau adalah filosof muslim pertama.
2.      Keserasian antara filsafat dengan agama menurut Al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa antara filsafat dengan agama tidak ada pertentangan. Filsafat diartikan sebagai pembahasan tentang yang benar dan agama juga diartikan menjelaskan yang benar. Maka keduanya membahas yang benar. Selanjtnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan agama . Dan dalam pembahasan tentang yang benar juga memakai argumen-argumen yang rasional.
3.      Filsafat Ketuhanan, Menurut Al-Kindi, Tuhan adalah wujud yang sempurna, wujud yang haq (benar) dan tidak didahului oleh wujud yang lain. Wujud Tuhan tidak berakhir, sedangkan wujud yang lain disebabkan oleh wujudnya. Menurutnya Al-Kindi Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak berbentuk, Allah tidak terbilang, Allah tidak berhubungan, Allah tidak berbagi  Ia adalah Maha Esa.
4.      Filsafat jiwa, menurut Al-kindi jiwa yang bersih nanti setelah berpisah dengan badan pergi kealam kebenaran atau alam akal, diatas bintang-bintang di alam lingkungan cahaya Allah, dekat dengan Allah dan dapat melihatnya. Di sinilah letak kebahagiaan abadi dari jiwa, jadi hanya jiwa yang sucilah yang bisa sampai kealam kebenaran itu.



DAFTAR PUSTAKA
Aceh Abubakar H, Sejarah Filsafat Islam, Cet. II; Jakarta: Ramadhani, 1992.
Al-Ahwani Ahmad Fuad, al-Falsafah al-Islamiyya, Kairo Darul Qalam, 1963.
Departemen Agama RI, Muzhab Al-Qur’an Terjemah, Jakarta Al-Hud, 2002.
Departemen Pendidikan Dan kebuayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.
Drajat Amroeni, Suhawardi Kritik Falsafah, Cet. I; Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara,  2005.
Fahri Majid, Sejarah Filsafat Islam, Cet. 1; Jakarta: Pustaka Jaya, 1992.
Hanafi Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Kartanegara Mulyadi, Mozaik Khasanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, Cet. I; Jakarta: Pramadina, 2000.
Nasution Harun, Falsafah dan Misticne Dalam Isalam, Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Sudarsono, Filsafat Islam, Cet. I; Jakarta; Aneka Cipta, 1997.
Syadali Ahmad dan Muzakkir, Filsafat Umum Untuk IAIN, STAIS, PTAIS, Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Syahim Mustafa, Tarkh al-Fikr al-Falsafi al-Islam, Kairo; Darul al-Alastaqafah li-Nasyri’ watauzi, 1991.
Syaikh Sa’id, Kamus Filsafat Islam, Cet. I; Jakarta: Rajawali, 1991
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof Dan Filsafatnya, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.


[1]Amroeni Drajat, Suhrawardi Kritik Falsafah Peripatetik, (cet. I; Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara, 2005), h. 108.

[2]Sudarsono, Filsafat Islam, (Cet. I; Jakarta: PT. Aneka Cipta, 1997), h.23.
[3]Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai  dari Chicago, (cet. I; Jakarta: Paramadina, 2000), h. 9.
[4]H. Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Cet. II; Jakarta: PT. Ramadhhani, 1982), h.37.
[5]Majid Fahri, Sejarah Filsafat Islam (cet. I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1992), h.109.
[6]Ahhmad Fu’ad Al- Ahwani, al-Falsafaht al-Isllamiyya (Kairo: Dar al Qalam, 1963), h. 3.
                [7]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof Dan filsafatnya, (cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 38.
[8]Mustafa Syahin, Tarikh al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Daru al-Atsaqafah li-Nasyri wa-Tauzi’), h. 76.
[9]Sirajuddin Zar, op. cit. h.42-43.
[10]Ibid., h. 44.
[11]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Cet. V; Jakarta: PT. Bulan binang, 1991), h.60.
[12]Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 48.
[13]Departemen Agama RI., Muzhab Al- Qur’an Terjemah, (T.c. Jakarta: Al hud, 2002), h. 76.
[14]Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 45-46.
[15]Ahmad Hanafi,  Op. Cit., h. 61.
[16]Amroeni Darajat, Op. Cit., h. 113.
[17]Harun Nasution, Falsafah Dan Misticme Dalam Islam, (t.c. ; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1973), h. 16.
[18]Ahmad Hanafi, Op. Cit., h. 78.
[19]Ibid. h. 78.
              [20]Sayyid Muhammad Aqiel Ibnu Ali Mahdali, op. Cit., h. 37-40.
[21]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahas Indonesia, (Ed. II; Balai Pustaka), h. 364.
[22]Sa’id Syaikh, Kamus Filsafat Islam, (Cet. I; Jakarta: CV. Rajawali, 1991), h.175.
[23]Ahmad Syadali dan Muzakkir, Filsafat Umum Untuk IAN., STAIS., PTAIS, (Cet. II; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), h. 167. 
[24]Lihat: QS. Al-Isra’ [17]: 85.
[25]Sirajuddin Zar, op. cit., h.59.
[26]Ibid., h. 63.


0 komentar:

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates