Selasa, 02 April 2013


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
        Setelah Khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun kemalangan tidak berhenti disitu, Timur Lenk pun menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.[1]        
            Dalam suasana infreoritas seperti itu, muncul kesadaran politik umat Islam secara kolektif, kesadaran kolektif ini mengalami kemajuan dengan ditandai oleh berdirinya tiga kerajaan besar, Usmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia. Kerajaan Utsmani inilah yang paling pertama berdiri dan paling lama bertahan dibandingkan dua lainnya.[2]
            Dalam perjalannya, Turki Utsmani dijalankan oleh tidak kurang dari 38 sultan dengan berbagai macam corak kepamimpinnya masing-masing. Salah satu serangan dan penaklukan terpenting yang dilakukannya adalah penaklukan Konstantinopel. Walau demikian, hukum sejarah sebagai sunnatulla>h juga belaku, bahwa masa pertumbuhan yang diiringi dengan kejayaan-kejayaan pun akan habis dengan datang masa kemunduran dan kehancuran.
            Sehubungan dengan hal diatas, sejarah yang ditulis didalam buku-buku sejarah Islam tentang kerajaan Turki Utsmani di Indonesia memang sering tidak mendapatkan porsi sebanyak yang diperoleh diperoleh Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Bila dilihat dari budaya yang telah dipersembahkan dipermukaan, kerajaan Turki Utsmani memang tidak bisa disamakan dengan kedua dinasti diatas, akan tetapi melihat perannya dalam menangkal ekspansi dan serangan bangsa Eropa ke Timur, maka apa yang dilakukan oleh Turki Utsmani tidaklah bisa ditinggalkan begitu saja dalam kajian sejarah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis akan mengangkat tema pokok dalam pembahasan makalah ini sebagai berikut :
1.    Bagaimana asal-usul terbentuknya Kerajaan Turki Usmani?
2.    Bagaimana kemajuan dan kemunduran Kerajaan Turki Usmani?






BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembentukan Kerajaan Utsmani
1.    Asal-usul Terbentuknya
Kerajaan Turki Utsmani berdiri pada tahun 1281 di Asia Kecil. Pendirinya adalah Ustman bin Ertoghril. Wilayah kekuasaannya meliputi Asia Kecil dan daerah Trace (1354), kemudian menguasai selat Dardaneles (1361), Casablanca (1389), lalu kemudian menaklukkan kerajaan Romawi (1453).[3]
Kata Utsmani diambil dari nama kekek mereka yang pertama dan pendiri kerajaan ini, yaitu Utsman bin Ertoghril bin Sulaiman Syah dari suku Qayigh, salah satu cabang dari keturunan Oghus Turki. Sulaiman Syah dengan 1000 pengikutnya mengembara ke Anatolia dan singgah di Azerbaijan, namun sebelum sampai ke tujuan, dia meninggal dunia. Kedudukannya digantikan oleh puteranya yaitu Ertoghril untuk melanjutkan perjalanan sesuai tujuan semula. Sesampai di Anatolia, mereka diterima oleh penguasa Seljuk, Sultan Alauddin yang sedang berperang melawan kerajaan Bizantium.[4] Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapatkan kemenangan. Atas jasa baiknya itu, Sultan Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak saat itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota.[5] Selain itu, Sultan Alauddin pun memberikan wewenang kepada mereka untuk memperluas wilayahnya dengan mengadakan ekspansi.[6]
Ertoghril meninggal dunia pada tahun 1289 M. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh puteranya, Utsman. Putera Ertoghril inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Utsmani. Utsman memerintah berkisar antara tahun 1290 – 1326 M. Sebagaimana ayahnya, dia banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya mendududki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Utsman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah  yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Utsmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Utsman atau yang sering disebut dengan Utsman I.[7]
2.    Kesultanan Turki Utsmani
Raja-raja Turki Utsmani mendapatkan kekuasaan secara turun temurun, walau demikian, tak ada aturan bahwa putra pertamalah yang harus menjadi pewaris dari kekuasaan sultan terdahulu. Ada kalanya putra kedua, ketiga yang menggantikan sultan, bahkan dalam perkembangannya, pergantian itu juga diserahkan kepada saudara sultan dan bukan kepada anaknya.[8] Dalam sejararahnya, selama kerajaan Turki Utsmani bendiri yang hampir tujuh abad lamanya (1299/1300 – 1924 M), tidak kurang dari 38 sultan yang telah memimipin kerajaan ini.[9] Berikut adalah daftar lengkap para sultan yang telah memimpin kerajaan Utsmani yang oleh Syafiq A. Mughni, dibagi me  njadi lima periode:[10]
                    I.            Priode pertama, sultan-sultannya ialah
a.       Utsman I (1299-1326 M.)
b.      Orkhan / putera Ustman I (1326-1359 M.)
c.       Murad I / putera Orkhan  (1359- 1389 M.)
d.      Bayazid I Yildirim / putera  Murad I (1389-1402 M.)
                 II.             Priode ke dua, sultan-sultannya ialah
a.       Muhammad I / putera Bayazid I (14033-1421 M.),
b.      Murad II / putera Muhammad I (1421-1451 M.),
c.       Muhammad II fatih / putera Murad II (1451-1481 M.),
d.      Bayazid II / putera  Muhammad II(1481-1512 M.),
e.       Salim I / putera  Bayazid II (1512-1520 M.)
f.        Sulaeman I Qanuni / putera  Salim I (1520-1566 M.)
               III.            Priode ke tiga, sultan-sultannya ialah
a.       Salim I / putera Sulaeman I (1566-1673 M.)
b.      Murad III / putera  Salim II (1573-1596 M.)
c.       Muhammad III / putera  Murad III (1596-1603 M.)
d.      Ahmad I / putera Muhammad III (1603-1617 M.)
e.       Mustafa I / putera Ahmad I (1617-1618 M.)
f.        Usman II / putera Ahmad I (1618-1622M.)
g.      Mustafa I yang kedua kalinya (1622-1623 M.),
h.      Murad IV / putera Ahmad I (1623-1640 M.),
i.        Ibrahim I / putera Ahmad I (1640-1648 M.),
j.        Muhammad IV / putera  Ibrahim I (1648-1687 M.),
k.      Sulaeman III / putera Ibrahim I (1687-1691 M.),
l.        Ahmad II / putera Ibrahim I (1691- 1695 M.)
m.    Mustafa II / putera Muhammad IV (1695-1703 M.).
              IV.            Priode ke empat, sultan-sultannya ialah
a.       Ahmad III / putera Muhammad IV (1703-1730 M.),
b.      Mahmud I / putera  Mustafa II (1730-1754 M.),
c.       Usman III / putera  Mustafa II (1754-1757 M.)
d.      Mustafa III / putera  Ahmad III (1757-1774 M.),
e.       Abdul Hamid I / putera  Ahmad III (1774-1788 M.),
f.        Salim III / putera Mustafa III (1789-1807 M.)
g.      Mustafa IV / putera Abdul Hamid I (1807-1808 M.)
h.      Mahmud II / putera Abdul Hamid I (1808-1839 M.).
                V.            Priode ke lima, sultan-sultannya ialah
a.               Abdul Majid I / putera  Mahmud II (1839-1861 M.),
b.              Abdul Azis / Mahmud II (1861-1876 M.)
c.               Murad V / putera  Abdul Majid I (1876 M.)
d.              Abdul Hamid II / putera  Abdul Majid I (1876- 1909 M.)
e.               Muhammad V / putera  Abdul Majid I (1909- 1918 M.),
f.                Muhammad VI / putera  Abdul Majid I (1918- 1922 M.)
g.              Abdul Majid II (1922- 1924 M).[11]
B. Ekspansi dan Perluasan Wilayah Turki Utsmani
Untuk sekitar dua pertiga abad setelah didirikan di Anatolia (Asia Kecil) pada 1300 M dengan mengorbankan kekaisaran Bizantium, dan didirikan di atas reruntuhan kerajaan Seljuk, kerajaan Turki Utsmani hanyalah sebuah emirat di daerah perbatasan.[12]
Negara ini selalu diliputi suasana peperangan dan pada saat itu senantiasa dalam kedaan genting.[13] Setelah Utsman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al-Utsman (raja besar keluarga Utsman) tahun 1300 M setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya. Dia menyerang daerah perbatasan Bizantium dan menaklukkan kota Broessa tahun 1317 M, kemudian pada tahun 1326 M dijadikan sebagai ibu kota kerajaan.[14]
Pada masa pemerintahan Orkhan, putra Utsman pada tahun 1326-1360 M.[15] Ia membentuk pasukan yang tangguh kemudian dikenal dengan Inkisyariyah (Jannisary)[16] untuk membentengi kekuasaanya. Basis kesatuan ini berasal dari pemuda-pemuda tawanan perang. Kebijakan kemiliteran ini lebih dikembangkan oleh pengganti Orkhan yaitu Murad I dengan membentuk sejumlah korps atau cabang-cabang yennisary. Pembaharuan secara besar-besaran dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan dan Murad I tidak hanya bentuk perombakan personil pemimpinnya, tetapi juga dalam keanggotaanya. Seluruh pasukan militer dididik dan dilatih dalam asrama militer dengan pembekalan semangat perjuangan Islam. Kekuatan militer Yennisary berhasil mengubah Negara Usmani yang baru lahir ini menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang besar sekali bagi penaklukan negeri-negeri non Muslim.[17]
 Pada masa Orkhan inilah dimulai usaha perluasan wilayah yang lebih agresif dibanding pada masa Usman. Dengan mengandalkan jennisary, Orkhan dapat menaklukan Azmir (Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanly (1330 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354 M) dan Gallipoli (1356 M). Daerah-daerah ini merupakan bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki oleh kerajaan Usmani,[18]
Ekspansi yang lebih besar lagi masih terjadi pada masa ini meliputi daerah Balkan, Andrinopel, Macedonia, Sofia (Bulgaria), dan seluruh wilayah yunani. Andrinopel kemudian dijadikan sebagai ibu kota kerajaan yang baru karena letaknya yang strategis.[19]
Setelah Murad I tewas dalam pertempuran melawan pasukan Kristen, ekspansi berikutnya dilanjutkan oleh putranya Bayazid I[20]. Sultan Bayazid I yang naik tahta pada tahun 1389 M. medapatkan gelar Yaldirin atau Yaldirun yang berarti kilat karena terkenal dengan serangan-serangannya yang cepat terhadap lawan-lawannya. Dia menaklukkan wilayah-wilayah yang belum pernah ditundukkan oleh para pendahulunya. Dimasanya pula terjadi perang besar antara pasukan Utsmani dengan tentara sekutu Eropa yang dimenangkan oleh pasukan Utsmani. Bayazid I tidak gentar menghadapi pasukan sekutu dibawah anjuran Paus itu dan bahkan menghancurkan pasukan Salib. Perang itu terjadi pada tahun 1396 M.[21] Suatu hal yang sangat disayangkan bahwa Bayazid I kalah dalam pertempuran melawan Timur Lenk yang terjadi di Ankara. Bayazid I bersama putranya, Musa dan Ertoghrol ditawan oleh Timur Lenk, dan akhirnya Bayazid I wafat dalam tawanan pada tahun 1402 M.[22] pedapat lain mengatakan 1403 M.[23]
Kerajaan Utsmani bangkit kembali dan mencapai kegemilangannya pada masa pemerintahan Muhammad II. Ia digelari Al-Fatih (Sang Penakluk) karena pada masanya, ekspansi Islam berlangsung secara besar-besaran. Kota penting yang berhasil ditaklukkan adalah Konstantinopel pada tahun 1453. Dengan demikian usaha menaklukkan Islam atas kerajaan Romawi Timur yang telah berulang kali dilakukan oleh pasukan muslim sejak masa Umayyah telah tercapai.[24] Konstantinopel dijadikan ibu kota kerajaan dan gereja Aya Sophia yang terkenal itu dijadikan masjid. Sekalipun Konstatinopel telah jatuh di tangan Utsmani dibawa kekuasaan Muhammad Al-Fatih, namun olerh sultan tetap diberikan kebebasan beragama.[25]
Dengan terbukanya kota Konstantinopel sebagai benteng pertahanan terkuat kerajaan Bizantium, lebih memudahkan arus ekspansi Turki Utsmani ke benua Eropa. Dan Eropa bagian Timur semakin terancam oleh Turki Utsmani karena ekspansi Turki Utsmani juga dilakuakn ke wilayah ini, dan bahkan sampai ke pintu gerbang Wina, Austria.[26]
Setelah Muhammad Al-Fatih meninggal, Ia digantikan Bayazid II. Dia lebih mementingkan kehidupan tasawuf daripada berperang. Kelemahannya di bidang pemerintahan yang cenderung berdamai dengan musuh mengakibatkan dia tidak ditaati oleh rakyatnya, termasuk putra-putranya. Karena seringnya terjadi perselisihan yang panjang antara dia dan putra-putranya, akhirnya Ia mengundurkan diri dan diganti putranya, Salim I pada tahun 1512 M. Pada masa Sultan Salim I pada tahun 1517 M. Gelar Khalifah yang disandang oleh Al-Mutawakki  ‘alaa llah, salah seorang keturunan Bani Abbas yang selamat dari Bangsa mongol tahun 1235 M. dan saat itu berada dalam proteksi makhluk diambil alih oleh Sultan. Dengan demikian pada masa Sultan Salim ini para Sultan Usmani menyandang dua gelar, yaitu gelar Sultan dan gelar Khalifah.[27] Sehingga nama Sultan Salim pun mulai disebutkan dalam khutbah-khubah. Selain itu ia pun dalam masa pemerintahannya selama 8 tahun menjadi penguasa dan pelindung 2 buah kota suci yaitu Mekkah dan Madinah.
Puncak kerajaan Turki Usmani dicapai pada masa pemerintahan Sulaeman I. Ia digelari Al-Qanuniy, karena ia berhasil membuat undang-undang yang mengatur masyarakat. Orang Barat menyebunya sebagai Sulaeman yang agung, the magnificien.. Pada masanya, wilayahnya meliputi dataran Eropa hingga Austria, Mesir dan Afrika Utara hingga ke Aljazair dan Asia hingga Persia, serta meliputi lautan Hindia, Laut Arabia, Laut merah, Laut tengah,dan Laut Hitam, sabagaimana pengakuannya yang terdapat dalam suratnya untuk Francis I, Raja Prancis.[28]
C. Kemajuan Turki Utsmani
1.      Bidang Pemerintahan dan militer.
Para pemimpin kerajaan Utsmani pada masa-masa pertama adalah orang-orang yang kuat, sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Meskipun demikian, kemajuan kerajaan Utsmani sehingga mencapai masa keemasannya bukan hanya karena keunggulan politik para pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang mendukung keberhasilan ekspansi itu. Yang terpenting diantaranya adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan dan dimana saja.[29]
Untuk pertama kali, kekuatan militer kerajaan ini mulai diorganisasi dengan baik dan teratur ketika terjadi kontak senjata dengan Eropa. Ketika itu, pasukan tempur yang besar sudah terorganisasi. Pengorganisasian yang baik, taktik dan strategi tempur militer Utsmani berlangsung tanpa halangan berarti. Namun tak lama setelah kemenangan tercapai, kekuatan militer yang ini dilanda kekisruhan. Kesadaran prajuritnya menurun. Mereka merasa dirinya sebagai pemimpin-pemimpin yang berhak menerima gaji. Akan tetapi keadaan tersebut segera dapat diatasi oleh Orkhan dengan jalan mengadakan perombakan besar-besaran dalam kemiliteran.[30]
Pembaharuan dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan, tidak hanya dalam bentuk mutasi personil-personil pimpinan, tetapi juga diadakan perombakan dalam keanggotaan. Bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen yang maasih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Jenissery atau Inkisariyah. Pasukan inilah yang dapat mengubah  Dinasti Utsmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukan negeri-negeri non-muslim.[31]
            Disamping Jenissery, ada lagi prajurit dari tentara feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat. Pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah. Angkatan laut pun dibenahi, karena ia memiliki peranan yang besar dalam perjalanan ekspansi Turki Utsmani. Pada abad ke-16, angkatan laut Turki Utsmani yang tangguh mencapai puncak kejayaannya. Kekuatan militer Utmani yang tangguh itu dengan cepat dapat menguasai wilayah yang sangat luas, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Faktor utama yang mendorong kemajuan dilapangan militer ini adalah tabiat bangsa Turki itu sendiri yang bersifat militer, disiplin dan patuh pada peraturan. Tabiat ini merupakan tabiat alami yang mereka warisi dari nenek moyang merka di Asia Tengah.[32]
            Keberhasilan ekspansi tersebut dibarengi pula dengan terciptanya jaringan pemerintahan yang teratur. Dalam mengelola pemerintahan yang luas, sultan-sultan Turki Utsmani senantiasa bertindak tegas. Dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh Shadr al-A‘zham (perdana menteri) yang membawahi Pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkat I. Dibawahnya terdapat beberapa orang ­al-Zanaziq atau al-Alawiyah (bupati).[33]
            Untuk mengatur urusan pemerintahan negara, di masa sultan Sulaiman I disusun sebuah kitab undang-undang (qanun). Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Utsmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena jasa sultan Sulaiman I yang amat berharga ini, di ujung namanya ditambah dengan gelar sultan Sulaiman al-Qanuniy.[34]
2.      Bidang Intelektual atau Ilmu Pengetahuan
            Kemajuan bidang intelektual diabad ke-19 pada masa pemerintahan Turki Utsmani tampaknya tidak lebih menonjol dibandingakan bidang politik dan kemiliteran. Dari aspek-aspek intelektual yang dicapai pada periode ini adalah sebagai berikut :
a.       Terdapat tiga buah surat kabar yang muncul pada masa ini, yaitu:
1)   Berita harian Takvini Veka (1831),
2)   Jurnal Tasviri Efkyar (1862),
3)   Jurnal Terjumani Ahval (1860).
b.      Terjadinya tansformasi pendidikan, dengan mendirikan sekolah-sekolah dasar dan menengah (1861) dan perguran tinggi (1869), dan juga mendirikan fakultas kedokteran dan fakultas hukum. Disamping itu juga mengirimkan paa pelajar yang berprestasi ke Prancis intuk melanjutkan studinya, diamana hal ini sebelumnya hal ini belum pernah terjadi.[35]
c.       Selain hal diatas, muncul juga satrawan-sastrawan dengan dengan hasil karya-karyanya setelah menyelesaikan studi di luar negerti. Diantaranya adalah Ibrahim Shinasi, pendiri surat kabat Tasviri Ekfyar. Diantara karya yang dihasilkannya adalah The Poets Wedding (komedi). Salah seorang pengikutnya adalah Namik Kemal dengan karyanya Fatherland atau Silistria. Disamping itu, ada juga Ahmad Midhat dengan Entertaining Tales dan Mehmed Taufiq dengan Year in Istambul.[36]
3.      Bidang Kebudayaan
            Dinasti Utsmani di Turki telah membawa peradaban Islam menjadi peradaban yang cukup maju pada zaman kemajuannya. Dalam bidang kebudayaan Turki Utsmani banyak muncul tokoh-tokoh penting seperti yang terlihat pada abad ke-16, 17 dan 18.[37]
            Antara lain pada abad ke-17, muncul penyair yang terkenal yaitu Nafi’ (1582-1636 M.). Nafi’ juga bekerja untuk Murad Pasya dengan menghasilkan karya-karya sastra Kaside yang mendapat tempat di hati para Sultan.[38]
            Diantara penulis yang membawa pengaruh Persi ke dalam istana adalah Yusuf Nabi (1642-1712 M.), dia muncul sebagai juru tulis bagi Mushahif Mustafa, salah seorang menteri Persia dan ilmu agama. Yusuf Nabi menunjukkan pengetahuannya yang luar biasa dalam puisinya. Menyentuh hampir semua persoalan (agama, filsafat, roman, cinta, anggur dan mistisme), dia juga membahas biografi, sejarah, bentuk prosa, geografi dan rekaman perjalanan.[39]
            Dalam bidang sastra prosa kerajaan Utsmani melahirkan dua tokoh terkemuka, yaitu Katip Celebi dan Evliya Celebi. Yang terbesar daari semua penulis adalah Mustafa bin Abdullah yang dikenal dengan Katip Celebi atau Haji Halife (1609 – 1657 M.). dia menulis buku bergambar dalam karya terbesarnya Kasyf az-Zunun fi Asmai al-Kutub wa al-Funun, sebuah presentasi biografi penulis-penulis penting di dunia Timur bersama daftar dan deskripsi lebih dari 1.500 buku yang berbahasa Turki, Persia dan Arab, dia pun menulis buku-buku yang lain.[40]
            Selain itu, dianasti Turki Utsmani juga banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan masjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammadi atau masjid Jami’ Sultan Muhammad al-Fatih, Masjid Agung Sulaiman dan Masjid Abu Ayyub al-Anshariy. Masjid-masjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya dalah masjid yang asalnya gereja Aya Sopia. Hiasan kaligrafi tiu dijadikan penutup gambar-gambar Kristiani yang ada sebelumnya.[41]
            Pada masa Sulaiman al-Qanuniy, dikota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa dan permandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan itu dibangun di bawah korditor Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.[42]
4.      Bidang Keagamaan
            Kehidupan keagamaan merupakan bagian dari sistem sosial dan politik Turki Utsmani. Ulama mempunyai kedudukan tinggi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Mufti sebagai pejabat tinggi agama, tanpa legitimasi Mufti, keputusan hukum kerajaan tidak dapat berjalan. Pada masa ini, kehidupan tarekat berkembang pesat. Al-Bektasiy dan Al-Maulawiy merupakan dua ajaran tarekat yang paling besar. Al-Bektasiy merupakan tarekat yang sangat berpengaruh terhadap tentara Jenissari, sedangakan Al-Maulawiy berpengauh  besar dikalangan penguasa sebagai imbangan dari kelompok Jenissariy Bekktasiy.[43]
            Sementara itu, ilmu pengetahuan seperti fikhi, tafsir, kalam dan lain-lain, tidak mengalami perkembangan. Kebanyakan penguasa Usmani cenderung bersikap taklid dan fanatik terhadap suatu mazhab dan menentang mazhab-mazhab lainnya.[44]
Pada dasarnya, terdapat beberapa faktor yang mendorong kemajuan yang terjadi di masa dinasti Turki Utsmani, diantaranya adalah:
a.       Adanya sistem pemberian hadiah berupa tanah kepada tentara yang berjasa.
b.      Tidak adanya diskriminasi dari pihak penguasa.
c.       Kepengurusan organisasi yang cakap.
d.      Pihak Turki memberikan perlakuan baik terhadap saudara-saudara baru dan memberikan kepada mereka hak rakyat secara penuh.
e.       Turki Ustmani telah menggunakan tenaga-tenaga profesional dan terampil.
f.        Kedudukan sosial orang-orang Turki telah menarik minat penduduk negeri-negeri Balkan untuk memeluk agama Islam.
g.      Rakyat memeluk agama Kristen hanya dibebani biaya perlindungan (jizyah) yang relatife murah dibandingkan pada masa Bizantium.
h.      Semua penduduk memperoleh kebebasan untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing.
i.        Karena Turki tidak fanatik agama, wilayah-wilayah Turki menjadi tempat perlindungan orang-orang Yahudi dari serangan kerajaan Kristen di Spanyol dan Portugal pada abad ke-16.[45]  
D. Kemunduran Turki Utsmani
Untuk menentukan penyebab utama kehancuran kerajaan Turki Utsmani merupakan persoalan yang tidak mudah. Akan tetapi ketergantungan sistem birokrasi Turki Utsmani kepada kemampuan seotrang Sultan dalam mengendalikan pemerintahan menjadi intitusi politik ini menjadi rentan bagi kejatuhan kerajaan. Seorang sultan yang lemah cukup membuka peluang bagi degradasi politik di kerajan Turki Utsmani, akan tetapi seorang sultan yang cakap juga mampu memperlambat proses korosi pada badan politik kerajaan.[46]
Setelah Sultan Sulaima>n al-Qanu>niy wafat, (1566 M.), kerajaan Turki Utsmani mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapai, sebagai sebuah kerajaan besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman al-Qanu>niy diganti poleh Salim II.[47]kenaikan Sultan Salim II (1566 – 1574 M.) telah dianggap oleh ahli sejarah sebagai titik permulaan keruntuhan Turki Utsmani dan berakhirnya zaman keemasannya.[48]
Hal ini ditandai dengan melemahnya semangat perjuangan prajurit Utsmani yang menyebabkan sejumlah kekalahan dalam pertempuran menghadapi musuh-musuhnya. Pada tahun 1633 M., tentara Utsmani menderita kekalahan dalam penyerbuan Hongaria. Demikian juga pada tahun 1676 M., Turki Utsmani kalah dalam pertempuran di Mohakez, Hongaria dan dipaksa menanda tangani perjanjian Karlowitz pada tahun 1699 yang berisi  pernyataan seluruh wilayah Hungaria, sebagan besar Slovenia dan Croasia diberikan kepada penguasa Venetia.[49]
Pada tahun 1774 M., penguasa Utsmani, Sultan Abdul Hamid, terpaksa menendatangani perjanjian dengan Rusia yang berisi pengakuan kemerdekaan Crimenia dan penyerahan benteng-benteng pertahanan di Laut Hitam serta memberikan izin kepada Rusia untuk melintasi selat antara Laut Hitam dan Laut Putih.[50]
Setelah menyadari menurunnya kekuasaan Turki Utsmani, sebagian wilayah kekuasaannya melancarkan pemberontakan untuk melepaskan diri. Di Mesir Jenisseri bersekutu dengan tentara Mamalik melancarkan pemberontakan, dan sejak 1772 M., Mamalik berhasil menguasai Mesir kembali. Di Syria dan Lebanon juga terjadi pemberontakan yang dipelopori oleh Druz dan Fahruddin. Sementara itu di Arabia timbul gerakan pemurnian oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan gerakan ini bergabung dengan kekuatan Ibnu Saud yang akhirnya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya di sekitar Jazirah Arab.[51]
Gerakan-gerakan sparatisme terus berlanjut hingga pada abad ke-19 dan ke- 20, ditambah dengan munculnya gerakan modernisasi politik di pusar pemerintahan, kerjaan Turki Utsmani akhirnya berakhir dengan bedirinnya Republik Turki pada tahun 1924 M., dan mengangkat Mustafa Kemal Attaturk sebagai presiden pertama di Republik Turki. Dalam percaturan politik politik selanjutnya, Turki tidak begitu memiliki pengaruh yang dominan bahkan orang Eropa menyebutnya The Sick Man of The Europa (si sakit yang ada di Eropa).[52]
Lebih lanjut,  dalam bukunya, Syafiq A. Mughni melihat ada tiga hal yang menjadi faktor kehancuran Turki Usmani, yaitu sebagai berikut:
1.    Kelemahan para Sultan dan sistem birokrasi
Ketergantungan sistem birokrasi kerajaan Turki Utsmani kepada kemampuan seorang sultan dalam mengendalikan pemerintahan menjadikan institusi politik ini menjadi rentang terhadap kejatuhan kerajaan. Seorang sultan yang cukup lemah cukup membuat peluang bagi degradasi politik di kerajaan Turki Usmani. Ketika terjadi benturan kepentingan di kalangan elit politik maka dengan mudah mereka berkotak-kotak dan terjebak dalam sebuah perjuangan politik yang tidak berarti. Masing-masing kelompok membuat kualisi dengan janji kemakmuran, Sultan dikondisikan dengan lebih suka menghabiskan waktunya di istana dibanding urusan pemerintahan agar tidak terlibat langsung dalam intrik-intrik politik yang mereka rancang. Pelimpahan wewenang kekuasaan pada perdan menteri untuk mengendalikan roda pemerintahan. Praktik money politik di kalangan elit, pertukaran penjagaan wilayah perbatasan dari pasukan kefelerike tangan pasukan inpantri serta meluasnya beberapa pemberontakan oleh korp Jenisseri untuk menggulingkan kekuasaan merupakan ketidak berdayaan sultan dan kelemahan sistem birokrasi yang mewarnai perjalanan kerajaan Turki Utsmani.
2.    Kemerosotan kondisi sosial ekonomi
Perubahan mendasar terjadi terjadi pada jumlah penduduk kerajaan sebagaimana terjadi pada struktur ekonomi dan keuangan. Kerajaan akhirnya menghadapi problem internal sebagai dampak pertumbuhan perdagangan di ekonomi internasional. Kemampuan kerajaan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mulai melemah, pada saat bangsa Eropa telah mengembangkan struktur kekuatan ekonomi dan keuangan bagi kepentingan mereka sendiri.[53] Perubahan politik dan kependudukan saling bersinggungan dengan perubahan penting di bidang ekonomi. Esentralisasi kekuasaan dan munculnya pengaruh pejabat daerah memberikan konstribusi bagi runtuhnya ekonomi tradisional kerajaan  Turki Usmani.
3.    Munculnya kekuatan Eropa
Munculnya politik baru di daratan Eropa dapat dianaggap secara umum faktor yang mempercepat proses keruntuhan kerajaan Turki Usmani.[54] Konfrontasi langsung pada dengan kekuatan Eropa berawal pada abad ke-16, ketika masing-masing kekuatan ekonomi berusaha mengatur tata ekonomi dunia. Ketika kerajaan Usmani sibuk membenahi Negara dan masyarakat, bangsa Eropa malah menggalang militer, Ekonomi dan tekhnologi dan mengambil mamfaat dari kelemahan kerajaan Turki Usmani.[55]
Sehubungan dengan hal diatas, lebih eksplisit, Badri Yatim memaparkan tujuh faktor yang menjadi penyebab mundurnya kerajaan Turki Utsmani, yaitu: 
4.  Wilayah kekuasaan yang sangat luas.
            Adminstrasi pemerintahan bagi suatu negara yang sangat luas wilayahnya sangat rumit dan kompleks. Sementara administrasi pemerintahan kerajaan Turki Utsmani tidak beres. Di pihak lain, para penguasa sangat berambisi menguasai wilayah yang sanagt luas, sehingga mereka terlibat perang terus menerus dengan berbagai bangsa. Hal ini tentu menyedot banyak potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun negara.
1.    Heterogonitas penduduk.
            Sebagai kerjaan besar, Turki Utsmani menguasai wilayah yang sanagt luas, mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak , Syiria, Hijaz dan Yman di Asia; Mesir, Libia, Tunis dan Aljazair di Afrika dan Rumania di Eropa. Wilayah yang luas itu didiami oleh penduduk yang beragam, baik dari segi agama, ras, etnis maupun adat istiadat. Untuk mengatur penduduk yang beragam dan tersebar di wilayah yang luas itu, diperlukan organisasi oemerintahan yang teratur.
2.    Kelemahan para penguasa.
            Sepeninggal Sulaiman al-Qanu>niy, kerajaan Utsmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian maupun dalam kepemimpinannya. Akibatnya, pemerintahan menjadi kacau. Kekacauan itu tidak pernah dapat diatasi secar sempurna, bahkan semakin semakin parah.
3.    Budaya pungli/korupsi.
            Korupsi merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dlam kerajaan Turki Utsmani. Setiap jabatan yang hendak diarih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada orang yang berhak memberikan jabatan tersebut. Budaya korupsi ini mengakibatkan dekadensi moral kian merajlela yang membuat pemerintahan semakin rapuh.
4.    Pemberontakan tentara Jenisseri.
            Kemajuan ekspansi kerajaan Turki Utsmani ditentukan oleh kuatna tentara Jenisseriy. Denagn demikian, dapat dibayangkan bagaimana kalau tentara ini memberontak. Pemberontakan tentara Jenisseriy terjadi sebanyak empat kali, yaitu pda tahun 1525, 1632, 1727 dan 1826 M.
5.    Merosotnya perekonomian.
            Akibat perang yang tidak pernah berhenti, perekonomian negara merosot. Pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar, termasuk untuk biaya perang.
6.    Terjadinya stagnasi dalam bidang keilmuan dan tekhnologi.
            Kerajaan Turki Utsmani kurang berhasil pengembangan ilmu dan teknologi, karena hanya mengutamakan pengembangan kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini ini tidak sanggup mengadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju.[56]
Demikianlah proses kemunduran Turki Utsmani. Pada masa selanjutnya, di periode modern, kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatan Eropa tanpa segan-segan menjajah dan mendudki daerah-daerah muslim yang dulunya berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Pada mulanya, kerjaan Turki Utmani hanyalah sebuah kerajaan kecil yang bernaung di bawah kerajan Turki Seljuk. Setelah Kerajaan Turki Seljuk Hancur oleh serang Mongol, kerajaan Turki Utsmani kemudian secara resmi berdiri pada tahun 1300 M. di Asia Kecil,  pendirinya adalah Ustman bin Ertoghril.
2.      Kemajuan Turki Usmani dapat dilihat dari bidang kemiliteran dan pemerintahan, terbukti bahwa kekuatan militer Usmani adalah salah satu faktor sangat yang menentukan  keberhasilan ekspansi Turki Usmani, kemajuan lain yang dapat dilihat yaitu: kemajuan dalam bidang budaya khususnya bangunan fisik. Di bidang Ilmu pengetahuan kemajuan Turki Usmani tidak begitu menonjol dibandingkan kemajuan di bidang lainnya.
3.        Kemunduran dan kehancuran Turki Usmani disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kelemahan para sultan dan sistem birokrasi, kemerosotan ekonomi dan munculnya kekuata Eropa. Peran Turki tidak dapat dikesampingkan, karena dengan luasnya daerah kekuasaan yang membentang dari Asia hingga  Eropa dalam rentang waktu yang relatif  lama, lebih dari enam abad, maka terjadilah intraksi peradabandengan berbagai wilayah yang berada di bawah kekuasaan Turki dan saling mempengaruhi, sehingga peradaban yang lebih kuat banyak memberikan pengaruh terhadap peradaban yang lebih lemah.              
    
DAFTAR PUSTAKA\
Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam, (Cet. 15; Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003)
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Cet. I; Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2004)
Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam DI Turki, (Cet. 1; Jakarta; Logos, 1997)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. 2; Jakarta; Amzah, 2010)
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, diterjemahkan oleh Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Cet. 1; Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2008)
Hassan Ibrahim Hassan, Islamic History And Culture, Diterjemahkan oleh Djahdan Human, Sejarah Dan Kebudayaan   Islam, ( Cet. I; Yogyakarta: 1989)
Mahmudunnasir, Islam Konsepsi Dan Sejarahnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994)




[1] Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam, (Cet. 15; Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 129.
[2] Ibid, h. 129.
[3] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Cet. I; Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 181.
[4] Ibid, h. 182.
[5] Badri Yatim, op. cit., h. 130.
[6] Op. cit., h. 182.
[7] Op. cit., h. 130.
[8] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam DI Turki, (Cet. 1; Jakarta; Logos, 1997), h. 53.
[9] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. 2; Jakarta; Amzah, 2010), h. 197.
[10] Op. cit., h. 54.
[11] Ibid, h. 54-66.
[12] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, diterjemahkan oleh Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Cet. 1; Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 905.
[13] Ibid, h. 905.
[14] Badri Yatim, op. cit., h. 131.
[15] Hassan Ibrahim Hassan, Islamic History And Culture, Diterjemahkan oleh Djahdan Human, Sejarah Dan Kebudayaan   Islam, ( Cet. I; Yogyakarta: 1989), h. 327.
[16] Jannisary artinya organisasi militer baru, yaitu pengawal elite dari pasukan turki yang kemudian dihapuskan pada tahun 1826.
[17] Mahmudunnasir, Islam Konsepsi Dan Sejarahnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 376.
[18] Badri Yatim, op. cit., h. 130-131.
[19] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 55.
[20] Ibid, h. 55.
[21] Ibid, h. 55.
[22] Ibid, h. 56.
[23] Badri Yatim, op. cit., h.131.
[24] Samsul Munir Amin, op. cit., h. 196.
[25] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 59.
[26] Op. cit., h. 196.
[27] Op. cit., h. 59.
[28] Lihat, Philip K. Hitti, op. cit., h. 910-911.
[29] Badri Yatim, op. cit., h. 133-134.
[30] Ibid, h.134.
[31] Ibid, h. 134,
[32] Samsul Munir Amin, op. cit., h. 201.
[33] Ibid, h. 201.
[34] Ibid, h. 201-202. Lihat juga Badri Yatim, op. cit., h. 135.
[35] Ajid Thohir, op. cit., h.187-188.
[36] Ibid, h. 188.
[37] Samsul Munir Amin, op. cit., h. 202.
[38] Ibid, h. 202.
[39] Ibid, h. 203.
[40] Ibid, h.203
[41] Badri Yatim, op.cit., h. 136.
[42] Ibid, h. 136.
[43] Ajid Thohir, op. cit., h. 187.
[44] Badri Yatim, op. cit., h. 137.
[45] Ajid Thahir, op. cit. h. 189-190.
[46] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 92-93.
[47] Badri Yatim, op. cit., h. 163.
[48] Ajid Thohir. op. cit., h.190.
[49] Ibid, h. 190.
[50] Ibid, h. 190.
[51] Ibid. h. 191.
[52] Samsul Munir Amin, op. cit., h. 207.
[53] Ibid., h. 104.
[54] Ibid., h. 112.
[55] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 92-119.
[56] Lihat, Badri Yatim, op. cit.,  h. 167-168. Lihat juga, Samsul Munir amin, op. cit., h. 208-209.

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates