Rabu, 31 Oktober 2012

DUA MAZHAB BESAR TEOLOGI KLASIK: KEJABARIYAHAN DAN KEQADARIYAHAN DALAM DUNIA ISLAM MASA KINI


indahnya perbedaan


oleh : Muhammad Ali Rusdi, S.Th. I, M. Th.I





BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Salah satu pembicaraan penting dalam teologi Islam adalah masalah perbuatan manusia (af‘a>l al-‘iba>d). Dalam kajian ini dibicarakan tentang kehendak (masyi>‘ah) dan daya (istit}a>‘ah) manusia. Hal ini karena setiap perbuatan berhajat kepada daya dan kehendak. Persoalannya, apakah manusia bebas menentukan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan dayanya sendiri, ataukah semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh qad}a’ dan qadar Tuhan? dalam sejarah pemikiran Islam, persoalan inilah yang kemudian melahirkan paham Jabariyah dan Qadariyah.[1]
Pola-pola berpikir teologis tersebut, tanpa disadari kini telah melengkapi khazanah pemikiran Islam yang sangat progresif. Bahkan lebih dari itu, kehadiran produk berpikir tersebut, telah pula membentuk semacam mazhab teologi yang secara dikotomik terbelah pada kekuatan Qadariyah dan Jabariyah. Seperti apa yang telah diterangkan pada posisi atau kondisi kejadian Qadariyah, kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak manusia. Pada posisi atau kondisi kejadian Jabariyah, kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak kompleks yaitu kehendak alam lingkungan yang unsurnya komplek, dimana manusia juga menjadi salah satu unsurnya.
Ada dua ajaran dalam agama yang erat kaitannya dengan produktivitas : Pertama; agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat material ini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Kedua; agama mempunyai ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, maka produktivitas masyarakat yang menganut paham keagamaan demikian, akan rendah sekali. Tetapi, dalam masyarakat, yang menganut paham manusialah yang menentukan nasibnya dan manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme atau Jabariyah. Paham kedua disebut Qadariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.[2]
Sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan antara aliran liberal dan tradisional. Kondisi demikian membawa hikmah bagi umat Islam. Oleh karena itu, bagi mereka yang berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau antara liberal dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.[3]
Konsepi tentang perbuatan manusia pun sering dijadikan kambing hitam dalam menentukan maju dan mundurnya, berkembang dan terbelakangnya keadaan umat Islam sekarang. Bagi kalangan liberalis, paham Jabariyah yang menurut mereka kemudian diformulasikan oleh Asy’ari dan dianut oleh Sunni, merupakan faktor utama mundurnya umat Islam sekarang ini. Bagi mereka, jika umat Islam ingin maju, Qadariyahlah  yang harus dianut atau dijadikan worldview untuk mengembalikan kemajuan peradaban Islam.
Pada perkembagan selanjutnya, nampaknya kedua paham ini sama-sama memilih gerbongnya sendiri. Baik Jabariyah maupun Qadariyah berkembang sesuai lajur rel yang terlanjur dikokohkan sejak masa awal Islam. Umat Islampun terpecah dalam dua pilihan teologis tersebut dan keduanya melaju pada gerbong yang berbeda di atas rel yang berbeda pula. Hingga di masa kini dua paham teologis ini tak jauh beranjak dari situasi yang sebelumnya telah terlanjur mapan. Terhadap realitas kehidupan ummat Islam di masa kini yang terkait dengan idealisasi dua paham teologi tersebut, nampaknya susah dibaca, kecuali jika kedua pemahaman ini dikaitkan dengan fase perkembang paham sejarah umat manusia secara global.
Sebab pendekatan teologi saja, dalam menilai umat masa kini tidak mudah diberlakukan hanya dengan melihat korelasi kemajuan social budaya dan ekonomi ummat Islam dengan pemahaman teologinya, tanpa membaca kemungkinan lain, semisal kemajuan teknologi informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan lainnya. Kendala lainnya adalah sifat dari pembahasan teologi bersifat melangit, dalam artian wacana-wacana teologi biasanya hanya dibincang terbatas di ruang-ruang sempit formal ilmiah. Hingga dengan demikian studi tentang dua mazhab teologi Islam klasik yaitu Jabariyah dan Qadariyahpun terbatas hanya pada kalangan elit ilmuan Islam dan kejadian serupa ini terjadi hingga sekarang.
Membaca khazanah dua mazhab besar teologi klasik (Jabariyah dan Qadariyah) dalam masa kini atau kejabariyahan dan keqadariyahan dalam dunia Islam masa kini memerlukan kaitan-kaitan realitas yang kaya dari hanya sekedar mendekatan skripturalis yang biasanya dominan dalam pendekatan wacana teologi Islam.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarakan pada rumusan masalah tersebut, maka dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep pemikiran Jabariyah dan Qadariyah?
2.      Sejauhmanakah peran Jabariyah dan Qadariyah dalam dunia Islam masa kini?



LEADERSHIP DALAM PERSPEKTIF HADIS








 Oleh :  Muhammad Agus, S.Th.I, M. Th. I

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Secara universal, manusia adalah makhluk Allah yang memiliki potensi kemakhlukan yang paling bagus, mulia, pandai, dan cerdas. Mereka mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan dan mengembankan titah-titah amanat-Nya serta memperoleh kasih sayang-Nya yang sempurna.[1]
Sebagai wujud kesempurnaannya, manusia diciptakan oleh Allah setidaknya memiliki dua tugas dan tanggung jawab besar. Pertama, sebagai seorang hamba ('abdulla>h)[2] yang berkewajiban untuk memperbanyak ibadah kepada-Nya sebagai bentuk tanggung jawab 'ubudiyyah terhadap Tuhan yang telah menciptakannya.[3] Kedua, sebagai khali>fatulla>h yang memiliki jabatan ilahiyah sebagai pengganti Allah dalam mengurus seluruh alam.[4] Dengan kata lain, manusia sebagai khali>fah berkewajiban untuk menciptakan kedamaian, melakukan perbaikan, dan tidak membuat kerusakan, baik untuk dirinya maupun untuk makhluk yang lain.[5]
Tugas dan tanggung jawab itu merupakan amanat ketuhanan yang sungguh besar dan berat. Oleh karena itu, semua yang ada di langit dan di bumi menolak amanat yang sebelumnya telah Allah tawarkan kepada mereka. Akan tetapi, manusia berani menerima amanat tersebut, padahal ia memiliki potensi untuk mengingkarinya.
Terjemahnya:
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh" [6]
 
Ibn 'Abba>s sebagaimana dikutip oleh Ibn Kas\i>r dalam tafsirnya "Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m" menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan amanat pada ayat di atas adalah ketaatan dan penghambaan atau ketekunan beribadah.[7] Ada juga yang memaknai kata amanah sebagai al-takli>f atau pembebanan, karena orang yang tidak sanggup memenuhinya berarti membuat utang atas dirinya. Adapun orang yang melaksanakannya akan memperoleh kemuliaan.[8]
Dari sekian banyak penafsiran ulama tentang amanah, dapat ditarik sebuah "benang merah" yang dapat menghubungkan antara satu dengan yang lain, yaitu al-mas'u>liyyah (tanggung jawab) atas anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia, baik berupa jabatan (hamba sekaligus khalifah) maupun nikmat yang sedemikian banyak. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk menyampaikan "laporan pertanggungjawaban" di hadapan Allah atas limpahan karunia Ilahi yang diberikan kepadanya. Hal ini juga berarti bahwa pemimpin bukan hanya orang yang memiliki jabatan organisasi/instansi dan atau lembaga tertentu tetapi setiap manusia adalah pemimpin skala paling kecil.
Hanya saja, sejak dahulu banyak orang yang berpendirian bahwa kepemimpinan itu tidak dapat dipelajari. Sebab kepemimpinan adalah suatu bakat yang diperoleh sebagai kemampuan istimewa yang dibawa sejak lahir. Jadi, sebagian orang mengatakan bahwa memang tidak ada dan tidak diperlukan teori kepemimpinan. Suksesnya kepemimpinan itu disebabkan oleh keberuntungan seorang pemimpin yang memiliki bakat alami yang luar biasa, sehingga ia memiliki kharisma dan kewibawaan untuk memimpin massa yang ada di sekitarnya.
Dalam perkembangannya, pemikiran tersebut secara lambat laun tergeser dengan pemikiran bahwa kepemimpinan itu terjadi secara ilmiah bersamaan dengan pertumbuhan/managemen ilmiah yang dipelopori oleh seorang ilmuan Frederick W. Taylor pada awal abad ke-20 yang kemudian hari berkembang menjadi satu disiplin ilmu.[9]
Sebagai umat yang beragama Islam, kepemimpinan yang diidamkan adalah kepemimpinan yang sesuai dengan arahan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai sumber utama hukum Islam. Salah satu hadis yang populer tentang kepemimpinan adalah:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالإِِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.[10]
Artinya:
“Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Setiap kepala negara adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinan (rakyatnya), setiap perempuan/ ibu adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya dan anak- anaknya, ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin bagi harta tuannya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan masing- masing bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
Kutipan hadis di atas memberikan sebuah gambaran jelas bahwa pada dasarnya pemimpin dan kepemimpinan merupakan sebuah sunnatulla>h yang telah melekat pada setiap pribadi. Ia adalah sesuatu yang mutlak ada dalam setiap lini kehidupan, baik individual maupun dalam kaitannya dengan orang lain. Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, meskipun kedua istilah ini berbeda defenisi. Namun, seorang pemimpin pasti memiliki kepemimpinan dan setiap kepemimpinan pasti memiliki seorang pemimpin.
Hadis-hadis yang senada dengan hal tersebut banyak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, hanya saja hadis Nabi saw. yang sampai kepada kaum muslimin saat ini dengan berbagai bentuk dan coraknya,[11] kadang-kadang bertentangan atau tidak sesuai dengan konteks zaman dan pemikiran modern.[12] Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mendudukan hadis Nabi saw. tersebut pada porsi yang semestinya, dengan jalan mengkaji secara kritis dan akurat.
            Dalam kaitannya dengan upaya pemahaman hadis ini, diperlukan pengetahuan yang mendalam segala segi yang berkaitan dengan pribadi Nabi saw. dan suasana yang melatari terjadinya hadis. Mungkin saja, suatu hadis lebih tepat dipahami secara tekstual, sedang hadis lainnya lebih tepat dipahami secara kontekstual. Pemahaman dan penerapan secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan telah dihubungkan dengan segala segi yang berhubungan dengannya. Sebaliknya, pemahaman hadis secara kontekstual dilakukan bila dibalik teks suatu hadis itu ada petunjuk yang kuat mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaiman makna tekstualnya.[13]
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengatahui apa sebenarnya hakikat kepemimpinan, kriteria, urgensi dan semua hal yang terkait dengannya. Salah satu cara untuk mengetahui hal tersebut adalah kembali mengkaji istilah-istilah yang muncul dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun dalam makalah ini, penulis mencoba membahas kepemimpinan dari perspektif hadis-hadis Nabi saja. 
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat pokok masalah bagaimana pandangan hadis Rasulullah saw. terhadap kepemimpinan dengan sub masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan/leadership? 
2.      Apa saja kriteria kepemimpinan dalam hadis?
3.      Bagaimana bentuk tanggung jawab pemimpin dalam pandangan hadis?

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates