Selasa, 31 Mei 2011

NIKAH SIRI DALAM PANDANGAN HADIS

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Itu berarti, muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik.[1]
Keluarga merupakan sebuah unit sosial terkecil dalam masyarakat dan nikah adalah institusi dasarnya. Nikah merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga dan satu-satunya ritual pemersatu diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan maupun hukum agama. Nikah adalah akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong-menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.[2] Sedangkan dalam undang-undang R. I No. 1 tahun 1974 tentang nikah disebutkan bahwa:
“Nikah adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa),”[3]

Dari kedua pengertian di atas dapat dipahami bahwa nikah berakibat adanya hak dan kewajiban antara suami isteri serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong, di samping itu juga bertujuan sebagai sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di permukaan bumi.[4] Lebih dari itu, ajaran Islam dengan seperangkat aturannya, nikah bertujuan untuk meraih keteraturan dalam berketurunan dalam rangka menjaga harkat dan martabat kemuliaan manusia dan hal ini merupakan salah satu dari tujuan islam diturunkan.[5]
Begitu mulianya lembaga nikah sehingga diatur sedemikian rupa oleh agama maupun oleh negara, walau sampai hari ini masih dijumpai pelanggaran-pelanggaran yang secara sadar atau tidak dilakukan oleh sebagian orang, khususnya umat Islam mengenai nikah siri dan berbagai bentuk penyimpangan dan pelanggaran lainnya terhadap sistem nikah khususnya di Indonesia seperti nikah usia dini dan nikah kontrak.
Nikah siri dalam konteks masyarakat sering dimaksudkan dalam dua pengertian. Pertama, nikah yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga nikah mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perkawinan. Kedua, nikah yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.[6]
Pada prinsipnya, selama nikah siri itu memenuhi rukun dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka dapat dipastikan hukum nikah itu pada dasarnya sudah sah. Hanya saja bertentangan dengan perintah Nabi saw, yang menganjurkan agar nikah itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka fokus pembahasan dalam makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana Takhri>j Hadis tentang Nikah Siri?
2.      Bagaimana Pandangan Ulama tentang Nikah Siri?
3.      Apa Rukun dan Syarat Nikah Siri?
4.      Bagaimana Syarah Hadis tentang Nikah Siri?

Sabtu, 28 Mei 2011

ILMU DAN PERTIMBANGAN NILAI

BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang  Masalah
Manusia merupakan makhluk yang berpikir yang selalu memiliki dorongan keingin tahuan, apakah masalah-masalah realitas alam, masalah teologi, dan bahkan manusia memikirkan potensi dirinya.[1] Dari dorongan rasa ingin tahu manusia, maka pada perkembangan terkemudian ia dikenal dengan Filsafat.[2]
Para ahli logika mengatakan bahwa ketika seseorang menanyakan pengertian (hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia telah bertanya tentang bermacam-macam perkara. Kadang-kadang seseorang mempertanyakan konseptual sepatah kata. Maksudnya ketika ia bertanya apakah sesuatu itu, ia sebenarnya sedang menanyakan pengertian kata itu sendiri.[3] Dari sinilah manusia mulai merumuskan berbagai teori tentang kebenaran ilmiah terhadap suatu ilmu atau pengetahuan.
Perkembangan filsafat sejak zaman Yunani kuno  sampai sekarang, telah banyak aliran filsafat yang memiliki  ciri khas masing-masing, sesuai dengan metode yang dipergunakan dalam rangka memperoleh kebenaran. kecenderungan aliran filsafat dalam menerapakan metodenya masing dan menganggap bahwa satu-satunya cara yang paling tepat untuk berfilsafat sehingga terkadang menimbulkan pertentangan sengit diantara para penganut  aliran filsafat tersebut. Dalam satu aliran terdapat kelemahan-kelemahan dan ketika muncul aliran sebelumnya dan, bahkan  mengoreksi aliran filsafat tersebut.[4]
Perdebatan filosofis diantara filosof terjadi sekitar pengetahaun manusia yang menduduki pusat permasalahan didalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia adalah titik tolak  kemajuan filsafat,, untuk membina filsafat yang kukuh tentang alam semesta (universe) dan dunia. Jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah  mungkin melakukan studi apa pun, bagaimana pun bentuknya.
Salah satu perdebatan besar itu ialah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal usul ilmu pengetahuan. Hal ini didasari oleh pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana ilmu pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaiman kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk konsep-konsep (nations) yang muncul sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan manusia arus pemikiran dan pengetahuan?
Setiap manusia  tentu mengetahui berbagai hal dalam kehidupan, dan dalam dirinya terdapat bermacam-macam pemikiran dan pengetahuan. Permasalahannya adalah bagaimana kita “meletakkan tangan kita diatas garis primer” pemikiran dan atas sumber umum pengetahuan pada umumnya.[5]
Dari perkembangan selanjutnya, pengetahuan manusia kemudian dirumuskan menjadi sebuah istilah yang disebut “ilmu”. Istilah ini dalam filsafat menjadi perdebatan panjang antara istilah pengetahuan yang disebut “ilmu” dan “sains”.
Menurut Muliadi Kartanegara, pembahasan tentang epistemology[6] (teori pengetahuan) dimulai dengan penjelasan tentang  definisi “sains” yang biasanya dibedakan dengan pengetahuan (knowledge). Namun, itu dianggap tidak pernah jelas, misalnya, apakah sains (scince) itu sama atau berbeda dengan ilmu (‘ilm). Istilah ini dipandang sama dengan sains , tetapi kadang justru disamakan dengan knowledge atau pengetahuan. Istilah ilmu pengetahuan terkadang dipakai untuk merujuk sains yang dibedakan dengan pengetahuan (knowledge).[7]
Pada awalnya ilmu dan sains mempunyai pengertian yang sama, bahkan juga lingkup yang sama. Namun, kemudian sains membatasi dirinya  pada dunia fisik (dengan segala kompleksitasnya), sedangkan ilmu masih tetap meliputi tidak hanya bidang fisik, tetapi juga bidang matematika dan metafisika.[8]
Dari sekian abad perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan Ilmu semua kebutuhan atau keperluan manusia bisa tecapai lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu pengetahuan. Ilmu telah banyak merubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan iImu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebaginya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.[9]
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti dengan kemajuan Ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagi macam bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif. Di sinilah ilmu diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan . Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.[10] Di pihak lain perkembangan ilmu pengetahuan seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya manusialah yang akhirnya menyesuaikan diri dengan teknologi.[11]
B.                 Rumusan Masalah    
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, sebagai berikut :
1.      Pengertian Ilmu?
2.      Sumber dan cara memperoleh ilmu pengetahuan
3.      Ilmu dan perimbangan nilai (aksiologi)?

Selasa, 24 Mei 2011

KEPEMIMPINAN WANITA DALAM RUMAH TANGGA


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Suatu ungkapan sering kita dengar المرأة عماد البلاد إذا صلحت صلحت البلاد وإذا فسدت فسدت البلاد"[1], yakni jika seorang wanita baik maka akan berimplikasi pada tatanan kehidupan yang baik, sebaliknya jika wanita rusak tentu akan berimplikasi pada tatanan kehidupan yang buruk pula. Kata wanita jika dikaitkan dengan kata ibu akan melahirkan suatu interpretasi lain, yang bisa berimplikasi pada pemaknaan pengagungan terhadap wanita. Maka tidak heran jika dalam tatanan kehidupan social wanitapun diapreseasi dengan cukup beragam. Contohnya adalah adanya “peringatan Hari Ibu” dengan maksud untuk menghormati ibu, sebagai apreseasi kecintaan terhadap bangsa diasosiasikan dengan kata ibu, maka muncullah slogan ”ibu pertiwi”, ada “gedung wanita” dan sebagainya. Rasulullah saw. sendiri telah mengangkat posisi wanita (baca:ibu) pada tingkatan yang sangat mulia melalui sabdanya “الجنة تحت أقدام الأمهات , surga berada dibawah telapak kaki ibu”[2] begitu terhormat dan agungnya sosok seorang ibu dimata Rasulullah saw., sehingga ibu bisa dianggap sebagai kunci pembuka pintu surga – seorang anak tidak akan mencium bau surga bila durhaka pada ibunya - bagi setiap manusia yang pernah lahir dari rahim seorang ibu. Secara inplisit dapat pula dimaknai bahwa kunci pintu surga adalah terletak pada seorang ibu, dan bahkan – lebih jauh penulis mencoba menginterpretasikan tanpa bermaksud narsis -  kunci keselamatan baik dunia maupun diakhirat terletak pada seorang ibu. Ketika seorang wanita menjadi istri yang s}alihah dan menjadi ibu yang baik terhadap anak-anaknya, maka keteraturan dalam kehidupan berumah tangga maupun bermasyarakat akan tercipta dan kemaksiatan akan menjauh.
Kalau posisi wanita sedemikian terhormatnya dimata Rasulullah maka bagaimana mungkin seorang wanita akan lalai dari tanggungjawabnya selaku pemimpin dirumah suaminya sekaligus sebagai ibu bagi anak-anaknya?  Pertanyaan ini, kelihatannya sangat enteng, tapi kenyataannya banyak rumah tangga yang gagal –tidak sedikit bahkan sepertinya telah menjadi trend dimasyarakat terjadinya percekcokan dalam rumah tangga yang ujung-ujungnya adalah perceraian -, yang dapat dikatakan sebagai  akibat dari kepemimpinan yang tidak benar. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi, jika dalam satu rumah tangga tercipta keteraturan– kedisiplinan akan tanggung jawab masing-masing selalu dijaga - baik suami maupun istri saling memposisikan diri sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing. Sehingga dalam rumah tangga tersebut akan tercipta keharmonisan, menjadi rumah tangga yang utuh dan tentu akan berimplikasi pada terbentuknya generasi yang baik. Suami bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya, demikian pula istri bertanggungjawab pada rumah tangga suami dan anak-anaknya, akan menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
                Berbicara mengenai tugas dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, hususnya dalam sebuah lembaga pernikahan (baca: rumah tangga), Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada kita, sebagaimana hadist yang diriwayatkan ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasullah saw bersabda :
…”وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ (متفقٌ عَلَيْهِ).
seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua,…(Muttafaq Alaih)”[3]
               Dalam hadist di atas menggambarkan kepada umat islam betapa keteraturan dalam segala urusan kehidupan menjadi sesuatu yang sangat urgen, menyajikan pengajaran manajemen kehidupan yang telah dicontohkan oleh Raulullah saw., yang di dalamnya sudah diatur bagaimana tugas dan fungsi seorang suami maupun seorang istri dalam sebuah rumah tangga. Ketika keteraturan ini dilanggar maka, bisa jadi akan timbul kekacauan. Subtansi hadist di atas mendeskripsikan kepada kita bahwa tipa-tiap manusia adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya.
B.   umusan Masaalah
Mengacu pada uraian dan judul yang telah ditetapkan diatas maka penulis akan membatasi pembahasan dalam makalah ini dengan rumusan masaalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Takhrij Hadist tersebut?
2.      Bagaimana Biografi Rawi a’la> pada hadist tersebut?
3.      Bagaimana bentuk kepemimpinan seorang wanita dalam rumah tangganya berdasarkan pemahaman dari syarah hadist tersebut? 

HADIS SHAHIH, HASAN dan DHA’IF DAN MAUDHU



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.
B.     Rumusan Masalah
      Dengan uraian latar belakang diatas penulis hendak menyajikan makalah yang
berkisar pada permasalahan hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ yang bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
  1. Pengertian, syarat-syarat, pembagian, kehujjahan dan kitab-kitab hadis shahih;
  2. Pengertian, Pembagian, Kehujjahan, Kitab-kitab Hadis Hasan;
  3. Pengertian, pembagian, pengamalan dan kitab-kitab hadis dhaif;
  4. Pengertian, sejarah munculnya, motivator, kaidah-kaidah untuk mengetahui, kitab-kitab dan hukum meriwayatkan hadis maudhu’;

Minggu, 22 Mei 2011

DINASTI MAMLUK


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mesir dun Syiria tergolong protinsi Timur Tengah yang pertama tereakup dalam wilayah kekhalifahan muslim Arab Kedua wilayah di ditaklukkan pada tahun 641 M. penduduknya dengan cepat mengadopsi bahasa Arab, meskipun meraka cukup lambang menerima Islam. Pada periode khalifah Umayyah dan awal Abbasiyah, Mesir merupakan sebuah profinsi yang kurang penting dalam imperium muslim, tetapi sejak pertengahan abad IX Mesir menunjukkan tanda-tanda awal untuk menjadi sebuah wilayah yang independent. ‘lentara-tentara budak yang diangkat oleh khalifah Abbasiyah mendirikan beberapa dinasti yang berusia pendek. Dinasti Tuluniyah menguasai Mesir pada tahun 868-905 dan dinasti lkhsyidiyah meriguasai Mesir dun tahun 935-969. Pada tahun 969, Fatimiyah menaklukkan negeri mi dan mendirikan sebuab khàlifah baru yang berlangsung hingga tahun 1171 M.[1] Kernudian, sebagai pengganti Fatimiyah muncul dinasti Ayyubiyah dan dinasti mi kemudian ditaklukkan oleh dinasti Mamluk pada tahun 1250-151 7.[2]
Mamluk adalab adalah sebuab dinasti para budak yang berasal dan berbagai ras kemudian membentuk suatu pemerintahan oligarki militeristik di tanah perantauan.[3] Orang-orang dan dinasti mamluk di pada awalnya tidak terdidik, tetapi penghargaan terhadap seni dan arsitektur pada masanya merupakan modal bagi dinasti yang menggantikannya, dan mampu menciptakan Kairo sebagai salah satu kota yang terindah dalam dunia Islam. Sistem pergantian sultan tidak berdasarkan keturunan dengan pengangkatan seorang putra mahkota sebelumnya. Siapapun yang sanggup merebut kekuasan atau mampu mempengaruhi para arnir untuk memilihnya, maka dialafi yang menjadi sultan. Para budak yang kemudian muncul sebagai penguasa kesultanan Mamluk terdiri dan dua golongan besar, yaitu: kelompok Mamluk Hahn dan kelompok Mamluk Burji.
Periode kerajuan mamluk dianggap sebagai zarnan paling cemerlang dan paling makmur dalam sejarah Islam.[4] Dengan berbagai kemajuan dan perkembangan, hal tersebut dapat tercapai berkat kepribadian dan wibawa sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat dan stabilitas negara yang aman dan gangguan. Akan tetapi ketika faktor-faktor tersebut menghilang, dinasti Mamluk sedikit demi sedikit mengalami kemunduran, terutama setelah kelompok Burji berkuasa. Pada kerajaan iniiah Mesir dapat selamat dan kehancuran akibat serangan-serangan dan bangsa Mongol, baik serangan Kulagu Khan maupun Timunlenk.



B.     Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah yang akan inenjadi pembahasan dalam makalah mi, yaitu:
1.      Bagaimana sejarah terbentuknya dinasti Mamluk?
2.      Bagaimana kemajuan yang dicapai oleh dinasti Mamluk?
3.      Apa penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti Mamluk?

AL GHAZALI


BABI
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam khasanah pemikiran Islam, al-Ghazali terkenal sebagai seorang Teolog, Filosof, Sifi dan ulama besar yang dipandang sanggup menyelesaikan berbagai persoalan besar dihadapi oleh umat Islam pada zamannya, dan sanggup melakukan kompromi antara syari’at dan hakekat atau tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan, baik dikalangan ulama fiqhi, terlebih-lebih dikalangan para sufi.
Diantara persoalan-persoalan yang besar yang dihadapi oleh al-Ghazali, adalah goncangan kepercayaan umat Islam terhadap paham filsafat yang cenderung memandang dalil akli, sebagai dalil yang penting pasti dilalahnya dan paham idiologi kaum Syi’ah Bathiniyah yang mengharuskan percaya kepada imam-imam yang dipandang ma’sum, dan juga dalam paham sufisme yang menyimpang dari kaedah-kaedah agama dengan paham ittihat, hulul,dan wushul, disamping itu masalah yang amat pelik yang diakibatkan oleh pemahaman dan pengalaman agama yang terlalu rasionalis dan hukmiah, sehingga terasa kering dari citra spritualitas keagamaan.[1]
Kehadiran filsafat Islam dikalangan Umat Islam, merupakan karya para filosof muslim yang berhasil mempertemukan antara filsafat Yunani dengan semangat pada ajaran Islam. Meskipun para filosof muslim banyak mengutip pemikiran filosof Yunani. Namun mereka tetap mempunyai corak pemikiran para filosof menggunakan akalnya semata.
Imam al-Ghazali adalah ulama besar yang sanggup mengkombinasikan antara syari’at dan hakikat atau tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’i ataupun lebih-lebih kalangan para sufi. Al-Ghazali sanggup menggiat tasawuf dengan dalil-dalil wahyu baik ayat al-Quran  atau pun hadis. Dari judul karyanya yang paling monumental adalah Ihya’ulum al-din (menghidupkan ilmu-ilmu agama), nampak betapa besar jasa al-Ghazali, yakni maupun menyusun bangunan yang dapat membangunkan kegairahan dan motivasi umat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama, dan mengamalkan dengan penuh ketekunan, dengan demikian apa yang dicita-citakan al-Ghazali dapat tercapai, yakni menghidupkan dan mendalamkan kualitas keimanan umat Islam dan memantapkannya, sehingga terpancar dalam kegairahan dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran agama mereka.
Kedalaman spritual yang ditimbulkan tasawuf bisa didayagunakan untuk mendukung kegairahan dalam mempelajari ilmu-ilmu agama beserta pengalamannya. Sebaliknya dengan keterikatan yang ketat dan berbagai pengalaman tasawufnya mulai mendapatkan hati dari pihak ulama ahli syari’at, dan diterimanya sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang paling kaya raya kerohanian dan tuntunan moral. Dengan demikian tasawuf berfungsi sebagai obat yang paling mujarab untuk membebaskan umat Islam dari kekuatan dan kekeringan rasionalisme fiqhiyah dari penyakit spekulatipisme ilmu kalam. Itulah diantara unsur-unsur positif pengembangan tasawuf dalam mendukung menghidupkan dan memantapkan keyakinan agama, serta menyuburkan kegairahan dalam ketekunan pengalaman agama.
Dalam dunia tasawuf, al-Ghazali sangat terkenal dan populer dengan konsep al-ma’rifah, walau diakui bahwa faham al-ma’rifah pertama kalinya dibawa oleh Zunnun al-Misri. Tetapi dalam pandangan umat Islam secara umum, nampaknya telah terbentuk suatu opini bahwa tasawuf dalam bentuk al-ma’rifah yang dikembangkan al-Ghazali dapat diterima dan diakui oleh ahlu sunnah wal jama’ah. Dapat dikatakan bahwa konsep al-ma’rifah amat berpengaruh pada dunia tasawuf terutama umat Islam yang menganut faham ahlu sunnah wal Jama’a.[2]
Relevansinya dari beberapa pemaparan di atas, maka makalah ini mencoba mengemukakan pokok-pokok bahasan antara lain sekilas riwayat al-Ghazali, corak pemikiran filsafat dan kritiknya terhadap filsafat termasuk corak pemikiran ajaran tasawufnya serta pengarunhnya dalam dunia Islam. Disamping makalah ini mempunyai muatan akademis, juga diharapkan dapat mendatangkan suatu manfaat bagi mereka yang ingin mendalami dunia tasawuf.
B.     Rumusan dan Batasan Masalah
Bertolak dari beberapa uraian di atas, maka penulis dapat mengemukakan masalah pokok yaitu:”Bagaimanakah pemikiran filsafat al-Ghazali termasuk kritik al-Ghazali terhadap filsafat serta konsep tasawuf yang diinginkannya dan pengaruhnya terhadap perkembangan dunia Islam”. Untuk mempermudah pembahasan di atas dijabarkan dalam dua sub pokok masalah yaitu:
1.      Bagaimana pemikiran filsafat al-Ghazali dan sejauhmana kritik al-Ghazali terhadap filsafat?
2.      Bagaimana corak tasawuf al-Ghazali dan pengaruhnya terhadap perkembangan dunia Islam?

TOLERANSI DALAM PERSPEKTIF HADIS NABI Saw

Oleh: Muhammad Zulkarnain Mubhar
Pendahuluan
Agama yang dengannya Allah Swt mengutus Muhammad Saw merupakan agama penutup dan penyempurna dari agama-agama terdahulu, dia merupakan risalah terakhir yang dittujukan kepada jin dan manusia hingga akhir zaman, maka wajar jika risalah ini memiliki karakteristik yang unik yang menjadikannya senantiasa relevan pada setiap tempat dan zaman kepada seluruh umat manusia di atas bumi, diantara karakteristik utama agama ini adalah toleransi dan kemudahan baik antar muslim maupun kepada non muslim dalam setiap sendi-sendi kehidupan mulai dari ibadah, interaksi sosial, akhlak dan adab.
Toleransi terhadap non muslim merupakan pembahasan ilmiyah yang telah menyita perhatian para ilmuan Islam sejak dahulu. Diantara contoh-contoh kajian para ulama tentang hal ini adalah karya al-Khilal yang berjudul "Hukum toleransi antar agama" dan karya Ibnul Qayyim yang berjudul "Hukum Ahli Zimmah", jika kita merujuk kepada kedua karya ini, maka kita akan menemukan pembahasan yang sangat terperinci dan ilmiyah tentang toleransi antar umat beragama.
Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis berusaha untuk mengkaji tentang toleransi ditinjau dari hadis Nabi Saw berdasarkan masalah berikut: Apa itu toleransi ? dan Bagaimana toleransi dalam Islam berdasarkan Hadis Nabi Saw?

ASPEK PENGENALAN DIRI DALAM TASAWUF

oleh : Imam Zarkasyi Mubhar. S. Th. I
Aspek Akal dan Kedudukannya
Kemajuan peradaban manusia pada starata materi telah mencapai puncaknya. Terbentang dari masa lampau akan sederhananya perangkat pergerakan  manusia sampai mata dapat melihat gemerlapnya dunia di atas kecanggihan teknologi saat ini. Kesemuanya itu terjadi diakibatkan oleh bingkai ekspresi dan imajinasi akal yang dimiliki oleh manusia.
Sebagaimana yang disepakati bahwa fungsi akal adalah mendefenisikan segenap materi yang ditangkap melalui penginderaan manusia di alam nyata. Dengan sebab itulah pada saat bersamaan akal pun memiliki desakan untuk mengeksplorasi secara progresif dan kritis terhadap bentuk dan pola hidupnya.
Walaupun dalam kemajuan materi yang sangat tinggi dan kehidupan  dengan finansial berada dalam taraf yang mapan, manusia pada akhirnya tetap lebih banyak yang menemukan kebahagiaan dan ketenangan hidup, padahal mereka sangat membutuhkan hal tersebut. Kenyataan ini telah menjadi telah menjadi pemandangan yang sangat nyata bagi sebuah peradaban moderen yang di ciptakan oleh manusia. Padahal dalam falsafah hidup manusia moderen tingkat kemajuan materi dalam sebuah garus seiring dan sejalan dengan semakin sempurnanya kebahagiaan yang  mereka peroleh, akan tetapi kenyataannya tidak demikian.[1]

Sabtu, 21 Mei 2011

ISLAM DAN DINAMIKA

oleh : Amrullah, S.Th.I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Dinamika[1] adalah suatu proseses terjadinya perubahan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang meliputi perubahan sikap,  pola pikir, dan tingkah laku[2]. Dengan dinamika tersebut cenderung berakeses pada terjadinya pergeseran-pergeseran nilai dalam tatanan kehidupan masyarakat, yang berimplikasi pada tercipatanya sebuah tatanan baru dalam kehidupan. Dinamika tersebut merupakan suatu konsekuensi yang dialami dan mesti terjadi dalam suatu kelompok masyarakat bahkan kepada seluruh manusia.
            Masyarakat[3] memiliki kecenderungan selalu berubah dan berkembang, dan perubahan tersebut akan selalu berlaku pada semua masyarakat manusia, setiap saat di manapun mereka hidup dan berada. Kadangkala perubahan itu berlangsung secara tiba-tiba dan serentak, misalnya suatu sistem pemerintahan dihancurkan oleh revolusi dan kemudian digantikan oleh pemerintahan yang berbeda dengan tatanan atau orde sebelumnya. Kadangkala secara lambat gradual yang sukar diterima masyarakat, malahan anggota masyarakat tersebut tak sadar atau tak memperhatikan akan berlakunya perubahan yang telah melanda kehidupan mereka.
            Manusia yang hidup bermasyarkat ialah subyek serta obyek perubahan. Proses perubahan mungkin berlangsung  dalam berbagai jenis kemajuan, yang lambat-sedang dan yang cepat, atau secara evolusi dan revolusi.
            Perubahan dapat menyangkut tentang berbagai hal, perubahan fisikal oleh proses alami dan perubahan kehidupan manusia oleh dinamika kehidupan itu sendiri.[4]
            Apabila ditinjau dalam perspektif Islam, Muhammad sebagai pembawa risalah dengan melakukan berbagai perubahan-perubahan dalam masyarakat Jahiliyah, dari masyarakat yang polities (sebagai penyembah berhala)[5] ke monoteis (menyembah hanya kepada Allah), dan selanjutnya berlanjut dari masa ke masa hingga sekarang. Perjalanan dari waktu ke waktu tersebut dengan proses terjadainya perubahan adalah merupakan sebuah dinamika.
            Perjalanan waktu dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya adalah merupakan dinamika yang secara mutlak akan terjadi dan mengisi kehidupan umat manusia itu sendiri.
            Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis akan mencoba mengkaji suatu pokok masalah yaitu Dinamika Masyarakat Modern dalam Perspektif Islam, dengan sub hahasan; (1) dinamika dalam masyarakat Islam, (2) dinamikan dalam masyarakat modern, dan (3) implikasi kemajuan modern terhadap masyarakat Islam

TEORI-TEORI EPISTEMOLOGI


(Fenomenologi dan Intuisionisme)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Secara umum epistemologi dapat dijelaskan sebagai cabang dari filsafat yang membahas ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Studi ini mencari jalan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang meliputi pengkajian sumber-sumber watak dan kebenaran pengetahuan, yaitu apakah yang diketahui oleh akal manusia? Darimanakah kita memperoleh pengetahuan yang diandalkan atau kita harus puas dengan pendapat-pendapat dan sangkaan? Apakah kemampuan kita terbatas dalam mengetahui fakta pengalaman indera, atau kita dapat mengetahui lebih jauh daripada apa yang diungkapkan oleh indera?
            Sebelum sampai pada pembahasan teori epistemologi fenomenologi dan intuisionalisme, kita klasifikasikan terlebih dahulu persoalan-persoalan dalam bidang epistemologi. Menurut Prof. Dr. Juhaya S.Praja, terdapat tiga persoalan dalam bidang epistemologi, yaitu :
  1. Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Darimana pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Ini semua adalah problem asal (origin)
  2. apakah watak dari pengetahuan? Apakah dunia yang riil diluar akal itu ada, kalau ada, dapatkah kita mengetahuinya?
  3. apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah problema mencoba kebenaran(verification).[1] 
                  Dalam perkembangan pemikiran tentang persoalan-persoalan epistemologi diatas, telah muncul berbagai teori, dari yang menggunakan rasio, kemampuan inderawi manusia, sampai dengan kekuatan dibalik kemampuan indera manusia.
                  Diantara teori-teori yang telah membuka wawasan kita tentang persoalan epistemologi adalah teori Fenomenologi dan intuisionalisme. Teori ini telah membuka tabir kebenaran pengetahuan dalam filsafat.
B. Rumusan Masalah
Untuk mengenal lebih jauh epistemologi  Fenomenologi dan intuisionalisme, penulis akan membahasnya dalam 2 pokok permasalahan:
1.      Apa pengertian fenomenologi dan bagaimana pandangan tokohnya dalam memperoleh pengetahuan?.
2.      bagaimanakah pandangan intuisionalisme  tentang cara memperoleh pengetahuan?

Jumat, 20 Mei 2011

PERTIMBANGAN ETIKA AGAMA DALAM APLIKASI ILMU


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dewasa ini ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang amat pesat. Perkembangan tersebut melahirkan kemajuan teknologi yang sangat maju sehingga manusia dapat merasakan berbagai kemudahan dan kenikmatan hidup. Hanya saja kemajuan yang dimaksud tidak merata di berbagai belahan bumi sehingga kualitas hidup manusia pun tidak merata. Di satu sisi ada negara yang sangat maju, sedang di sisi lain ada negara yang sangat terbelakang. Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, negara maju kurang memperlihatkan kesungguhan untuk membantu negara terbelakang. Bahkan beberapa negara berkembang merasakan pahit getir penderitaan berkepanjangan dalam mengangkat harkat dan martabat rakyatnya dari berbagai aspek kehidupan yang ditimbulkan oleh negara-negara maju terlebih dahulu meraih kemajuan melalui jalur imperialism dalam beragam bentuknya.
Kemajuan ilmu agaknya tidak selalu diiringi dengan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Masyarakat di negara maju pun tidak luput dari persoalan yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Masyarakatnya cenderung bersifat materialistis, individualism, dan lebih longgar di dalam menerapkan nilai-nilai moral keagamaan. Ada benarnya ungkapan yang menyatakan bahwa “kendati pun ilmu dan teknologi mungkin menyumbang pada usaha perbaikan kualitas kehidupan manusia namun bukan pula sumber yang mewakili kemampuan apalagi kemutlakan berlakunya-sesuatu nilai’. Dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang berlangsung terus hingga sekarang.
Meskipun disadari bahwa tidak semua yang datang dari barat itu baik, namun pengaruh budaya dari negara maju semakin sulit dielakkan. Dikatakan bahwa arus pengaruh globalisasi yang sedang melanda kemanusiaan di seantero jagad memancar terutama dari pusat yang kuat terhadap lingkaran yang lemah. Ilmu berkembang pesat di negara maju. Namun seperti dikatakan Kuntowijoyo, hampir semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di barat muncul dari pendekatan non agama, jika bukan anti agama. Hanya dirasakan oleh  masyarakat di Barat saja, namun menjalar ke berbagai belahan bumi.[1]
Pertimbangan “etika agama dalam aplikasi limu” perlu dipikirkan dan diusahakan untuk menata kehidupan lebih baik. Ilmu-ilmu yang mampu mengangkat kualitas hidup manusia secara lahiriah perlu diintegrasikan dengan ilmu-ilmu yang membawa kepada kesejahteraan batin, melainkan akan membahas secara ringkas landasan untuk melakukan hal tersebut, terutama dari sudut pandang kitab suci sebagai pedoman hidup umat Islam, yaitu al-Qur’an.
B.  Rumusan Masalah
Berbagai latar belakang di atas, maka dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas makalah ini, sebagai berikut:
1.    Bagaimana definisi etika, agama, dan ilmu?
2.    Bagaimana pertimbangan etika agama dalam aplikasi ilmu?

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates