Rabu, 31 Oktober 2012

DUA MAZHAB BESAR TEOLOGI KLASIK: KEJABARIYAHAN DAN KEQADARIYAHAN DALAM DUNIA ISLAM MASA KINI


indahnya perbedaan


oleh : Muhammad Ali Rusdi, S.Th. I, M. Th.I





BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Salah satu pembicaraan penting dalam teologi Islam adalah masalah perbuatan manusia (af‘a>l al-‘iba>d). Dalam kajian ini dibicarakan tentang kehendak (masyi>‘ah) dan daya (istit}a>‘ah) manusia. Hal ini karena setiap perbuatan berhajat kepada daya dan kehendak. Persoalannya, apakah manusia bebas menentukan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan dayanya sendiri, ataukah semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh qad}a’ dan qadar Tuhan? dalam sejarah pemikiran Islam, persoalan inilah yang kemudian melahirkan paham Jabariyah dan Qadariyah.[1]
Pola-pola berpikir teologis tersebut, tanpa disadari kini telah melengkapi khazanah pemikiran Islam yang sangat progresif. Bahkan lebih dari itu, kehadiran produk berpikir tersebut, telah pula membentuk semacam mazhab teologi yang secara dikotomik terbelah pada kekuatan Qadariyah dan Jabariyah. Seperti apa yang telah diterangkan pada posisi atau kondisi kejadian Qadariyah, kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak manusia. Pada posisi atau kondisi kejadian Jabariyah, kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak kompleks yaitu kehendak alam lingkungan yang unsurnya komplek, dimana manusia juga menjadi salah satu unsurnya.
Ada dua ajaran dalam agama yang erat kaitannya dengan produktivitas : Pertama; agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat material ini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Kedua; agama mempunyai ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, maka produktivitas masyarakat yang menganut paham keagamaan demikian, akan rendah sekali. Tetapi, dalam masyarakat, yang menganut paham manusialah yang menentukan nasibnya dan manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme atau Jabariyah. Paham kedua disebut Qadariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.[2]
Sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan antara aliran liberal dan tradisional. Kondisi demikian membawa hikmah bagi umat Islam. Oleh karena itu, bagi mereka yang berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau antara liberal dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.[3]
Konsepi tentang perbuatan manusia pun sering dijadikan kambing hitam dalam menentukan maju dan mundurnya, berkembang dan terbelakangnya keadaan umat Islam sekarang. Bagi kalangan liberalis, paham Jabariyah yang menurut mereka kemudian diformulasikan oleh Asy’ari dan dianut oleh Sunni, merupakan faktor utama mundurnya umat Islam sekarang ini. Bagi mereka, jika umat Islam ingin maju, Qadariyahlah  yang harus dianut atau dijadikan worldview untuk mengembalikan kemajuan peradaban Islam.
Pada perkembagan selanjutnya, nampaknya kedua paham ini sama-sama memilih gerbongnya sendiri. Baik Jabariyah maupun Qadariyah berkembang sesuai lajur rel yang terlanjur dikokohkan sejak masa awal Islam. Umat Islampun terpecah dalam dua pilihan teologis tersebut dan keduanya melaju pada gerbong yang berbeda di atas rel yang berbeda pula. Hingga di masa kini dua paham teologis ini tak jauh beranjak dari situasi yang sebelumnya telah terlanjur mapan. Terhadap realitas kehidupan ummat Islam di masa kini yang terkait dengan idealisasi dua paham teologi tersebut, nampaknya susah dibaca, kecuali jika kedua pemahaman ini dikaitkan dengan fase perkembang paham sejarah umat manusia secara global.
Sebab pendekatan teologi saja, dalam menilai umat masa kini tidak mudah diberlakukan hanya dengan melihat korelasi kemajuan social budaya dan ekonomi ummat Islam dengan pemahaman teologinya, tanpa membaca kemungkinan lain, semisal kemajuan teknologi informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan lainnya. Kendala lainnya adalah sifat dari pembahasan teologi bersifat melangit, dalam artian wacana-wacana teologi biasanya hanya dibincang terbatas di ruang-ruang sempit formal ilmiah. Hingga dengan demikian studi tentang dua mazhab teologi Islam klasik yaitu Jabariyah dan Qadariyahpun terbatas hanya pada kalangan elit ilmuan Islam dan kejadian serupa ini terjadi hingga sekarang.
Membaca khazanah dua mazhab besar teologi klasik (Jabariyah dan Qadariyah) dalam masa kini atau kejabariyahan dan keqadariyahan dalam dunia Islam masa kini memerlukan kaitan-kaitan realitas yang kaya dari hanya sekedar mendekatan skripturalis yang biasanya dominan dalam pendekatan wacana teologi Islam.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarakan pada rumusan masalah tersebut, maka dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep pemikiran Jabariyah dan Qadariyah?
2.      Sejauhmanakah peran Jabariyah dan Qadariyah dalam dunia Islam masa kini?



LEADERSHIP DALAM PERSPEKTIF HADIS








 Oleh :  Muhammad Agus, S.Th.I, M. Th. I

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Secara universal, manusia adalah makhluk Allah yang memiliki potensi kemakhlukan yang paling bagus, mulia, pandai, dan cerdas. Mereka mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan dan mengembankan titah-titah amanat-Nya serta memperoleh kasih sayang-Nya yang sempurna.[1]
Sebagai wujud kesempurnaannya, manusia diciptakan oleh Allah setidaknya memiliki dua tugas dan tanggung jawab besar. Pertama, sebagai seorang hamba ('abdulla>h)[2] yang berkewajiban untuk memperbanyak ibadah kepada-Nya sebagai bentuk tanggung jawab 'ubudiyyah terhadap Tuhan yang telah menciptakannya.[3] Kedua, sebagai khali>fatulla>h yang memiliki jabatan ilahiyah sebagai pengganti Allah dalam mengurus seluruh alam.[4] Dengan kata lain, manusia sebagai khali>fah berkewajiban untuk menciptakan kedamaian, melakukan perbaikan, dan tidak membuat kerusakan, baik untuk dirinya maupun untuk makhluk yang lain.[5]
Tugas dan tanggung jawab itu merupakan amanat ketuhanan yang sungguh besar dan berat. Oleh karena itu, semua yang ada di langit dan di bumi menolak amanat yang sebelumnya telah Allah tawarkan kepada mereka. Akan tetapi, manusia berani menerima amanat tersebut, padahal ia memiliki potensi untuk mengingkarinya.
Terjemahnya:
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh" [6]
 
Ibn 'Abba>s sebagaimana dikutip oleh Ibn Kas\i>r dalam tafsirnya "Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m" menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan amanat pada ayat di atas adalah ketaatan dan penghambaan atau ketekunan beribadah.[7] Ada juga yang memaknai kata amanah sebagai al-takli>f atau pembebanan, karena orang yang tidak sanggup memenuhinya berarti membuat utang atas dirinya. Adapun orang yang melaksanakannya akan memperoleh kemuliaan.[8]
Dari sekian banyak penafsiran ulama tentang amanah, dapat ditarik sebuah "benang merah" yang dapat menghubungkan antara satu dengan yang lain, yaitu al-mas'u>liyyah (tanggung jawab) atas anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia, baik berupa jabatan (hamba sekaligus khalifah) maupun nikmat yang sedemikian banyak. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk menyampaikan "laporan pertanggungjawaban" di hadapan Allah atas limpahan karunia Ilahi yang diberikan kepadanya. Hal ini juga berarti bahwa pemimpin bukan hanya orang yang memiliki jabatan organisasi/instansi dan atau lembaga tertentu tetapi setiap manusia adalah pemimpin skala paling kecil.
Hanya saja, sejak dahulu banyak orang yang berpendirian bahwa kepemimpinan itu tidak dapat dipelajari. Sebab kepemimpinan adalah suatu bakat yang diperoleh sebagai kemampuan istimewa yang dibawa sejak lahir. Jadi, sebagian orang mengatakan bahwa memang tidak ada dan tidak diperlukan teori kepemimpinan. Suksesnya kepemimpinan itu disebabkan oleh keberuntungan seorang pemimpin yang memiliki bakat alami yang luar biasa, sehingga ia memiliki kharisma dan kewibawaan untuk memimpin massa yang ada di sekitarnya.
Dalam perkembangannya, pemikiran tersebut secara lambat laun tergeser dengan pemikiran bahwa kepemimpinan itu terjadi secara ilmiah bersamaan dengan pertumbuhan/managemen ilmiah yang dipelopori oleh seorang ilmuan Frederick W. Taylor pada awal abad ke-20 yang kemudian hari berkembang menjadi satu disiplin ilmu.[9]
Sebagai umat yang beragama Islam, kepemimpinan yang diidamkan adalah kepemimpinan yang sesuai dengan arahan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai sumber utama hukum Islam. Salah satu hadis yang populer tentang kepemimpinan adalah:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالإِِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.[10]
Artinya:
“Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Setiap kepala negara adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinan (rakyatnya), setiap perempuan/ ibu adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya dan anak- anaknya, ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin bagi harta tuannya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan masing- masing bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
Kutipan hadis di atas memberikan sebuah gambaran jelas bahwa pada dasarnya pemimpin dan kepemimpinan merupakan sebuah sunnatulla>h yang telah melekat pada setiap pribadi. Ia adalah sesuatu yang mutlak ada dalam setiap lini kehidupan, baik individual maupun dalam kaitannya dengan orang lain. Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, meskipun kedua istilah ini berbeda defenisi. Namun, seorang pemimpin pasti memiliki kepemimpinan dan setiap kepemimpinan pasti memiliki seorang pemimpin.
Hadis-hadis yang senada dengan hal tersebut banyak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, hanya saja hadis Nabi saw. yang sampai kepada kaum muslimin saat ini dengan berbagai bentuk dan coraknya,[11] kadang-kadang bertentangan atau tidak sesuai dengan konteks zaman dan pemikiran modern.[12] Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mendudukan hadis Nabi saw. tersebut pada porsi yang semestinya, dengan jalan mengkaji secara kritis dan akurat.
            Dalam kaitannya dengan upaya pemahaman hadis ini, diperlukan pengetahuan yang mendalam segala segi yang berkaitan dengan pribadi Nabi saw. dan suasana yang melatari terjadinya hadis. Mungkin saja, suatu hadis lebih tepat dipahami secara tekstual, sedang hadis lainnya lebih tepat dipahami secara kontekstual. Pemahaman dan penerapan secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan telah dihubungkan dengan segala segi yang berhubungan dengannya. Sebaliknya, pemahaman hadis secara kontekstual dilakukan bila dibalik teks suatu hadis itu ada petunjuk yang kuat mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaiman makna tekstualnya.[13]
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengatahui apa sebenarnya hakikat kepemimpinan, kriteria, urgensi dan semua hal yang terkait dengannya. Salah satu cara untuk mengetahui hal tersebut adalah kembali mengkaji istilah-istilah yang muncul dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun dalam makalah ini, penulis mencoba membahas kepemimpinan dari perspektif hadis-hadis Nabi saja. 
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat pokok masalah bagaimana pandangan hadis Rasulullah saw. terhadap kepemimpinan dengan sub masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan/leadership? 
2.      Apa saja kriteria kepemimpinan dalam hadis?
3.      Bagaimana bentuk tanggung jawab pemimpin dalam pandangan hadis?

Senin, 04 Juni 2012

KEPEMIMPINAN WANITA SECARA UMUM



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belang Masalah
Kehidupan manusia sudah sedemikian kompleks. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memicu manusia untuk selalu mengembangkan dirinya. Potensi-potensi yang ada dalam diri seseorang menjadi modal besar dalam pembentukan sumber daya manusia yang produktif. Tidak hanya semua ini dilakukan oleh para kaum pria tapi juga kaum wanita mulai berkiprah dalam mencapai tujuannya, khususnya dalam lingkungan publik. Kini, ambisi untuk menjadi sang pemimpin juga mulai gencar dilakukan oleh sebagian wanita. Namun, adanya teks-teks normatif memberikan beberapa interpretasi tentang boleh tidaknya seorang wanita berkiprah dalam urusan publik. Beberapa nas| al-Qur’an dan hadis mengemukakan kedudukan perempuan dan dinyatakan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Tidak ada diskriminasi antara pria dan wanita dalam nilai kemanusiaannya sebagai sesama manusia dan sebagai hamba Allah Swt.[1] 
Salah satu hadis yang membutuhkan pemahaman secara komprehensif adalah hadis yang terkait dengan kepemimpinan seorang wanita, karena al-sunnah merupakan sumber kedua dalam menetapkan syariat hukum Islam maka masalah yang terkait ini sangat perlu mendapat perhatian dengan metode tahlili. Salah satu alasannya karena al-hadis tidak semuanya qath’i al-wuru>d (valid dari Rasulullah).[2] Oleh karena itu, dibutuhkan takhrij al-Hadis (pembuktian kevalidan) dan pemahaman yamg mendalam dengan menggunakan berbagai pendekatan, baik secara tekstual, interteks maupun kontekstual. Pascapenetapan status hadis, bukan berarti masalah hadis telah selesai, akan tetapi pendalaman dan pengkajian tentang maksud dan kandungan hadis juga tidak kalah pentingnya, sebab matan hadis terkadang diriwayatkan secara makna. Adapun hadis yang dikaji dalam makalah ini penulis membatasinya hanya pada riwayat Bukhari saja, hadis yang dimaksud adalah:
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه و سلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال ( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )
Untuk itulah, makalah ini membahas tentang sebuah hadis riwayat Abu> Bakrah mengenai kepemimpinan wanita yang terdapat dalam kitab-kitab hadis untuk dieksplorasi kandungan dan pesan ilahiyah yang terdapat dalam hadis Rasulullah saw. agar didapatkan pemahaman yang utuh dan komprehensif sehingga nilai-nilai yang dikandung dapat memberikan wawasan dan terus menjadikan hadis Rasulullah saw sebagai rahmatan li al-‘a>lami>n.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana takhrij hadis mengenai kepemimpinan wanita?
2.      Bagaimana syarah hadis hadis tentang kepemimpinan wanita?
3.      Apa pesan dan petunjuk hadis tentang kepemimpinan wanita?

Senin, 21 Mei 2012

KISAH ASHAB AL-KAHFI DALAM AL-QUR’AN

Oleh : Muhammad Shadiq Shabry


I. PENDAHULUAN
            Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw yang berhubungan dengan kisah umat-umat terdahulu. Penceritaan kisah-kisah tersebut bukan tanpa maksud sama sekali. Allah sebetulnya ingin membuktikan kepada manusia bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah benar merupakan wahyu dari-Nya dan bukan berdasarkan hawa nafsunya. Allah juga untuk konteks ini ingin memberikan pelajaran kepada manusia untuk mengikuti segala kebaikan yang terdapat dalam kisah-kisah itu dan menjauhi segala keburukannya. Dengan penuturan gaya bahasa yang indah dan memukau diharapkan mampu menyentuh perasaan orang-orang yang membacanya maupun yang mendengarkannya.
 Di dalam al-Qur’an peristiwa-peristiwa historis memang banyak dibincangkan. Peristiwa-peristiwa historis ada yang kejadiannya jauh sebelum lahirnya agama Islam. Peristiwa-peristiwa tersebut jelas tidak pernah dialami oleh Nabi Muhammad saw, tetapi beliau mengetahuinya dari wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Sebagian ayat-ayat al-Qur’an tersebut merekam peristiwa kehidupan masyarakat pada waktu sebelum dan ketika al-Qur’an diturunkan. Al-Qur’an telah memberi ruang bagi penceritaan peristiwa tersebut dan menjadikan karakter ayat-ayat yang bersinggungan dengan itu pada posisi sebagai dokumen historis yang eternal.
            Pemaparan al-Qur’an tentang peristiwa-peristiwa historis tidak sama dengan penulisan sejarah yang berlaku di dunia akademik yang tersusun secara runtut dengan pencantuman nama pelaku secara jelas, tempat, waktu, obyek, dan latar belakang dari peristiwa tersebut. Al-Qur’an mencantumkan kisah-kisahnya tidak selalu mencantumkan tempat dari orang-orang secara lengkap, tidak pula urutan-urutan peristiwanya, sebab seperti diketahui al-Qur’an bukan kitab sejarah, melainkan kitab petunjuk (hidayah) yang terkadang menceritakan kisah. Sebagian peristiwa yang temanya sama dimuatnya dalam satu tempat dan sebagian yang lainnya dimuat di tempat yang lain, disesuaikan menurut kesempatan dan ajaran yang diserukan oleh porsi yang dibicarakannya. Bahkan karakteristik seperti itu terkadang diungkapkan secara panjang lebar, namun terkadang hanya garis besarnya saja.
Kisah-kisah al-Qur’an sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari proses pewarisan nilai yang terkandung didalamnya. Karena pada fokus itulah esensinya yang sarat menyajikan pesan kemanusiaan pada masa silam yang berguna bagi kehidupan kini maupun di masa mendatang dapat secara transparan menemukan bukan saja eksistensinya melainkan juga relevansinya untuk kehidupan manusia. Dengan begitu kisah yang ingin mengemban misi mentransformasikan nilai-nilai yang terus berkontinuitas dapat menemukan jati dirinya.
           Kisah-kisah  seperti yang ada dalam pengertian di atas telah banyak diungkapkan oleh al-Qur’an. Tidak tanggung-tanggung, jumlah ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan itu, menurut penelitian A.Hanafi,  jumlahnya tidak kurang dari 1600 ayat. Penelitian itu pun hanya ditujukan kepada kisah para Nabi dan Rasul.[1] Kalau jumlah standar ayat yang dipakai adalah kesepakatan ulama yaitu 6236,  maka setidaknya 25,6 % dari kisah para Nabi dan Rasul itu yang menempati al-Qur’an. Belum lagi kisah-kisah yang lain. Dengan demikian nampak bahwa jumlah tersebut memperlihatkan betapa besar perhatian al-Qur’an kepada kisah-kisah itu.

Minggu, 20 Mei 2012

Al-Iraqi dan Pemikirannya


 Al-Iraqi dan pemikirannya dalam kitab
al-Tabshirah wa al-Tadzkirah
  
OLEH : AMRULLAH HARUN
   
     A.    Nama dan Kuniyahnya 
Beliau adalah ‘Abdurrahim bin al-Husain bin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr bin Ibrahim al-Kurdi ar-Raziyani keturunan bangsa ‘Iraq, kelahiran kota Mahran, Mesir dan bermadzahab Syafi’i. 
Kuniyahnya adalah Abu al-Fadhl, dan digelari Zainuddin. Dilahirkan pada hari ke dua puluh satu dari bulan Jumada al-Ula tahun 725 H.
Dari sumber-sumber sejarah menerangkan bahwa pada hari Rabu tanggal 9 Sya’ban tahun 806 H ruh al-Hafizh al-‘Iraqi meninggalkan jasadnya (beliau wafat), setelah beliau keluar dari kamar mandi. Beliau wafat pada umur 81 tahun, jenazah beliau masyhur dan beliau dishalati oleh Syaikh Syihabuddin adz-Dzahabi, dan beliau dimakamkan di luar kota Kairo.[1]

B.     Perjalanan Hidup al-Iraqi dalam Menuntut Ilmu 
Zainuddin (al-‘Iraqi) telah hafal al-Qur’an, kitab at-Tanbih dan al-Hawi (kitab fiqh madzhab Syafi’i karangan Imam al-Mawardi) ketika umur beliau depan tahun. Lalu beliau menyibukkan diri memulai menuntut ilmu dalam ilmu qira’at (ilmu tentang riwayat-riwayat bacaan al-Qur’an). 
Al-Hafiz al-Iraqi pada awal menuntut ilmu, memulainya dengan mendalami ilmu bahasanya khusunya pada struktur (nahwu sharaf) bahasa Arab, kemudian beliau melanjutkan dengan mendengarkan riwayat hadits dari ‘Abdurrahim bin Syahid al-Jaisy dan Ibnu ‘Abdil Hadi. Beliau membaca hadits di hadapan Syaikh Syihabudiin bin al-Baba. Kemudian mengalihkan semangatnya untuk belajar ilmu takhrij, dan beliau sangat tekun dalam mempelajari tentang takhrij al ahadits. Saat umur beliau dua puluh tahun, beliau melakukan rihlah (pengembaraan) untuk menuntut ilmu ke sebagian besar kota di negeri Syam. 
Beliau mengajar di banyak Madrasah (sekolah) di negeri Mesir dan Kairo, seperti: Darul Hadits, al-Kamilah, azh-Zhairiyyah al-Qadimah, al-Qaransiqriyah, Jami’ Ibnu Thulun, dan al-Fadhilah. Beliau juga pernah tinggal di dekat al-Haramain dalam beberapa waktu, sebagaimana beliau pernah menjabat sebagai hakim di Madinah an-Nabawiyah, berkhutbah dan menjadi Imam di sana.[2] 

METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN




 Oleh : Muhammad Shadiq Shabry

 I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah.

Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diyakini sebagai petunjuk bagi manusia. Keyakinan tersebut menempatkan kitab suci ini sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam. Kedudukannya sebagai kitab suci dan sumber dari agama yang telah dinyatakan sempurna mengandung pengertian bahwa ia mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan hidup di sepanjang masa.
Dalam usaha menemukan petunjuk-petunjuk Allah dalam al-Qur'an tersebut diperlukan usaha penafsiran. Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci al-Qur'an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam penafsiran adalah hal yang tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu, misalnya perbedaaan kecenderungan,  motivasi mufassir, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari.
            Usaha penafsiran sesungguhnya telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah saw. Al-Qur'an juga memang telah mendorong ke arah tersebut, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Secara eksplisit al-Qur'an telah memerintahkan untuk menyimak dan memahami ayat-ayatnya. Hal tersebut dapat dijumpai misalnya dalam Q.S. al-Nisa (4) : 82, Q.S.Muhammad (47) : 24. Dan secara implisit, upaya mencari penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dimungkinkan oleh pernyataan  al-Qur'an itu sendiri bahwa ia diturunkan oleh Allah untuk menjadi petunjuk (QS.al-Baqarah (2) : 2, 97, 185), dan rahmat (QS. al-A’rāf (7) : 51, 203) bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Agar tujuan itu terwujud dengan baik, maka ayat-ayat al-Qur'an, yang umumnya berisi konsep-konsep, prinsip-prinsip pokok yang belum terjabar, aturan-aturan yang masih bersifat umum, dan sebagainya, perlu dijelaskan, agar dapat dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan manusia.
Kegiatan tersebut kemudian berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adanya kesenjangan waktu yang semakin jauh dari masa al-Qur’an diturunkan merupakan sebuah problem tafsir yang coba hendak diatasi oleh para mufassir, sehingga mereka dapat menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur’an. Sejalan dengan itu,  perkembangan ilmu-ilmu keislaman dan peradaban yang mengitarinya ternyata ikut mempengaruhi produk penafsiran mereka. Dan seperti yang terlihat bahwa produk penafsiran mereka itu tetap saja tidak berwajah tunggal, melainkan sangat beragam seiring dengan keragaman kecenderungan,  motivasi, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari mereka.
Berbagai metode dan corak tafsir pun bermunculan. Para pengamat tafsir lalu berusaha mengelompokkan metode dan corak tafsir yang beragam itu berdasarkan sudut tinjauan tertentu. Lahirlah kemudian metode tafsir, seperti metode tahlīliy, ijmāliy, muqāran dan mawdhū'iy[1]. Demikian pula dengan corak tafsir seperti corak  bahasa, filsafat, kalam, ilmiah, fiqhi , teologis, tasawuf dan sosial kemasyarakatan.
            Untuk kawasan Indonesia sejak masuknya Islam pergumulan umat Islam Indonesia dengan al-Qur’an menjadi demikian intens.  Alasannya adalah karena para pemeluk agama Nabi Muhammad itu amat meyakini bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci mereka.  Awalnya kaum muslimin belajar membaca al-Qur’an dan praktek-praktek ibadah, lalu diikuti oleh pelajaran mengenai konsep-konsep tertentu dari al-Qur’an. Selanjutnya al-Qur’an sebagai rujukan dalam berislam diurai maknanya lalu disebarluaskan kepada masyarakat.
            Perkembangan tafsir di nusantara pasca penyusunan tafsir secara lengkap oleh Abd al-Rauf al-Sinkili lewat Tarjumān al-Mustafidnya terus bergeliat. Geliat tersebut dapat dilihat tidak saja dalam konteks kuantitas literatur tafsir yang ditulis oleh mufassir Indonesia tetapi juga dalam konteks kualitas mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Secara umum semua yang mereka lakukan itu bertujuan memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk memahami ajaran al-Qur’an.
            Salah satu tafsir yang lahir di Indonesia dengan tujuan seperti di atas adalah Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan yang rampung di tulis pada tahun 1956.[2] Bila kehadiran tafsir ini dirunut maka Tafsir al-Furqan adalah tafsir kedua yang muncul dalam rentangan masa abad ke 20 setelah lahirnya Tafsir Qur’an Karimnya Mahmud Yunus.
            Walaupun kesan penafsirannya secara sederhana dan global masih kuat terlihat, tetapi tafsir ini telah menunjukkan daya tahannya yang luar biasa. Tafsir ini sampai sekarang masih tetap digunakan sejak peluncurannya pada tahun 1956.


B. Rumusan Masalah.

            Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka masalah pokok yang akan dikaji dalam makalah ini adalah bagaimana metode penafsiran yang dikembangkan oleh Ahmad Hassan dalam Tafsir Al-Furqannya. Masalah pokok tersebut akan dibatasi dalam sub-sub masalah sebagai berikut agar kajian dapat terarah dan sistematis, yaitu :

1. Bagaimana latar belakang penyusunan tafsir Al-Furqan?
2. Bagaimana sistimatika penyusunan tafsir Al-Furqan?
3. Bagaimana metode dan corak tafsir Al-Furqan?

Jumat, 24 Februari 2012

LOGO BARU SANAD TH KHUSUS MAKASSAR


ASRAMA SANAD TH KHUSUS MAKASSAR

ASRAMA SANAD TH KHUSUS KAMPUS II UIN ALAUDDIN SAMATA GOWA SULAWESI SELATAN

Rabu, 01 Februari 2012

IMAN DALAM PERSPEKTIF HADIS NABI MUHAMMAD SAW


 Oleh : Muhammad Salahuddin Al- Mauludy
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada pengikutnya untuk  meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah swt. Dalam bahasa agama Islam keyakinan  di sini dinamakan al-Iman (iman). Dalam Islam, iman yang dimaksud disini adalah iman kepada Allah swt. karena pengertian iman secara umum mempunyai makna yang luas. Orang yang mengaku sebagai muslim berarti dia memiliki konsekuensi untuk mempertanggungjawabkan pengakuannya  itu, yaitu kewajiban untuk beriman kepada Allah swt. Iman kepada Allah swt. merupakan pondasi yang paling penting, pertama, utama dan mendasar dalam Islam. Karena seseorang yang mengaku sebagai seorang muslim tapi tidak beriman kepada Allah maka pengakuannya itu sia-sia saja. Orang yang tidak beriman kepada Allah swt. Sekalipun melakukan amal kebajikan yang sangat banyak, maka amalnya itu sia-sia di sisi Allah swt.
Dalam hadis-hadis nabi, sangat banyak disebutkan tentang masalah keimanan. Tetapi sebagian besar kaum muslim tidak memahami bahkan salah memahami bagaimana keimanan itu. Sehingga banyak kaum muslim yang mengaku beriman tetapi mereka tidak sama sekali mengaplikasikan substansi keimanan tersebut. Ada orang yang rajin salat, tetapi korupsinya juga rajin. Ada yang giat bersedekah, tetapi masih suka mengambil uang negara. Hal ini mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam pengamalan ajaran-ajaran Islam.
Makalah ini dipaparkan untuk membantu memberikan pemahaman yang benar  bagaimana keimanan itu sendiri dan bagaimana pandangan hadis nabi tentang hal itu. Disamping juga dapat dipergunakan sebagai bahan bacaan bagi orang yang ingin mempelajari masalah iman. Kemudian pembahasan  ini lebih difokuskan kepada hadis-hadis Nabi saw. Dalam artian hadis-hadis yang membahas  masalah iman juga dipaparkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, masalah pokok dalam makalah ini adalah bagaimana perspektif hadis Nabi saw. tentang iman. Adapun rumusan masalah tersebut dapat dibagi dalam beberapa sub masalah sebagai berikut:
1.   Bagaimana pengertian iman dalam hadis Nabi saw.?
2.   Bagaimana kandungan hadis Nabi saw. tentang iman?
3.   Bagaimana iman menjadi hal yang paling urgen dalam melakukan segala amal perbuatan?



Selasa, 31 Januari 2012

FOTO-FOTO KEGIATAN MAHASISWA SANAD TH KHUSUS MAKASSAR

 Angkatan 1 dan ke 2 bersama pimpinan fakultas ushuluddin dan filsafat
serah terima hasil muktamar dari kordinator stering comite kepada ketua dimisioner

Sabtu, 28 Januari 2012

KAEDAH TIKRAR FI AL-QUR'AN



Oleh : KM. Abdul Gaffar, S.Th.I, M.Th.I

BAB I
A.   Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an tidak hanya sebuah sumber ilmu, petunjuk dan isnpirasi kebenaran yang tak pernah kering dan habis, tapi juga disaat yang sama, al-Qur’an adalah sumber segala kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, semua apa yang terdapat dalam al-Qur’an selalu menyimpan makna dan hikmah meski kadang pikiran manusia belum sampai pada hal-hal tersebut.
Sebagian orang, khususnya Orientalis mengklaim bahwa sistematika al-Qur’an sangat kacau[1], banyak hal yang tak perlu dan sia-sia didalamnya, mereka memberi contoh, ziya>dah, naqs dan tikra>r atau pengulangan ayat-ayat dalam al-Qur’an.
Akan tetapi hal ini telah dibantah oleh banyak ulama islam. tidak sedikit jawaban yang dilontarkan mengenai masalah ini, disertai dengan bukti-bukti yang valid berangkat dari dasar bahwa tak ada hal yang sia-sia dalam al-Qur’an.
Begitu juga dengan persoalan tikrar atau pengulangan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Diperoleh banyak fungsi dan hikmah dari bentuk ini, salah satunya adalah ta’ki>d dan tajdi>d bagi sebelumnya. Sebagai contoh, pengulangan kisah-kisah dalam al-Qur’an mengenai nabi-nabi dan umat terdahulu.
Imam Qutaibah menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam kurun waktu yang tidak singkat, tentunya keberagaman kabilah yang ada dikomunitas arab waktu itu cukuplah banyak, sehingga jika tidak ada pengulangan ayat, maka bisa jadi hikmah dan ibrah dari berbagai kisah tersebut hanya terbatas pada kaum tertentu saja.[2] Dengan kata lain, tanpa tikrar dalam al-Qur’an, kisah-kisah yang sarat hikmah tersebut hanya akan menjadi sekedar kisah basi yang hanya bisa dikenang.
Oleh karena itu, sangat penting kiranya membahas lebih jauh mengenai tikra>r fi> al-Qur’a>n berikut dengan kaidah-kaidah yang berkaitan dengannya. Maka dalam makalah kali ini, akan coba dijelaskan lebih jauh mengenai hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa poin permasalahan, sebagai berikut :
1.     Bagaimana defenisi al-tikra>r fi> al-Qur’a>n ?
2.     Apa saja kaidah-kaidah al-tikra>r dalam al-Qur’an dan bagaimana pengaplikasiannya?
3.     Bagaimana urgensi bentuk al-tikra>r  dalam al-Qur’an?

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates