Minggu, 26 Juni 2011

ISTIFHAM dalam AL QURAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kebesaran Allah swt dapat dilihat melalui tanda-tanda yang diperlihatkan kepada manusia, ini yang sering disebut dengan istilah aya>tullah, terkadang tanda-tanda tersebut dapat dilihat pada alam raya ini, tanda-tanda seperti ini sering disebut dengan ayat al-kauniyah, terkadang juga tanda-tanda kebesaran Allah swt dapat diketahui dengan cara mendalami isi kandungan al-Qur’an, yang sering diistilahkan dengan aya>t al-Qur’a>niyah.
Satu diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang kebesaran Allah adalah bahwa ia menciptakan perbedaan bahasa dan kulit, (واختلاف السنتكم والوانكم ( dari perbedaan bahasa dan kulit diharapkan akan menjadi pelajaran kepada manusia terutama orang-orang terpelajar.
Di dunia ini lebih dari ratusan ribu bahasa logat, diantara ratusan ribu bahasa yang ada hanya bahasa arab yang mendapatkan keistimewaan, karena  dipakai oleh Allah swt sebagai bahasa perantara untuk menyampaikan firmannya kepada manusia dengan al-Qur’an, hal ini sudah pasti bukan faktor kebetulan saja, bahasa arab dipakai sebagai bahasa al-Qur’an karena mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lain, karena untuk memahami bahasa arab maka diperlukan ilmu bantu lain diantaranya ilmu shorof yang berhubungan perubahan kata, ilmu nahwu yang berhubungan perubahan harakat pada akhir kata, Ilmu balagah, al-baya>n dan al-ma’a>ni} yang berkaitan segi keindahannya dan lain sebagainya.
Seseorang yang ingin memahami Al-Qur’an dan menafsirkannya secara utuh maka syarat utama yang harus dimiliki adalah kemampuan dalam menguasai dan memahami kaidah-kaidah bahasa arab, dan salah satu diantara kaidah-kaidah bahasa arab  tersebut adalah qaidah istifha>m dalam al-Qur’an.

B.    Rumusan Masalah
Dari pembahasan ,diatas maka pembahasan utama dalam makalah ini akan dibatasi pada rumusan masalah berikut:
1.      Apa  pengertian dari Qawa>id al-istifha>m fi> al-Qur’an
2.      Apa saja adawa>t  (alat bantu yang dipakai dalam istifha<m)
3.      Ada berapa Pembagian istifham
4.      Bagaimana kaidah-kaidah istifham dalam al-Qur’an serta aplikasinya

Kamis, 23 Juni 2011

TOLAK UKUR PENYUSUAN YANG BERDAMPAK MAHRAM


 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah swt menjadikan perkawinan diantara makhluknya untuk memperbanyak dan meneruskan kehidupan di dunia ini, Ia memuliakan manusia serta membuatkan aturan kepada mereka supaya menjadi rambu rambu dalam kehidupannya, aturan  semacam ini tidak diberikan kepada makhluk lain, Allah memuliakan manusia dengan akal serta membuatkan ikatan  perkawinan serta aturannya supaya berbeda dengan makhluk lainnya yang hanya sekedar pelepas nafsu biologis.
Islam memberikan batasan kepada manusia dalam urusan perkawinan yang tidak boleh dilanggar, sebab tidak semua manusia dibolehkan untuk dinikahi, secara garis  besar ada dua jenis keharaman yang berkaitan dengan perkawinan yaitu tah}rim al-muaqqatah yaitu keharaman bersifat sementara,  keharaman disebabkan ada qarina (sebab penghalangnya), sehingga bila qarinah tersebut sudah tidak ada,  maka larangan itu berubah menjadi boleh, yang kedua tah}ri>m al-muabbad yaitu keharaman yang bersifat selamanya (seumur hidup)  yang tidak terikat dengan waktu’,
Ada tiga penyebab tahrim muabbad yaitu nasab (karena hubungan kekeluargaan), musharaharah (hubungan kekeluargaan sebab perkawinan), dan al-rada>’ah (sesususan) , kedua jenis keharaman ini telah dijelaskan oleh al-Quran pada surah al-nisa’ ayat 23.
Berkaitan dengan al-rada>’ah ini,  maka ajaran islam ada aturan yang mengikat antara yang menyusui (al-Murd}iah) dan yang disusui (al-radi>’), sebab dengan penyususan itu, wanita tersebut berkedudukan sebagai ibu yang susunya telah turut andil menumbuhkan daging dan membentuk tulang tulang, serta akbat dari penyusuan ini akan timbul rasa keanakan dan keibuan diantara mereka secara fisiologis dan biologis, serta akan berpengaruh terhadap keluarga dari ibu terebut kepada  anak yang disusuinya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian diatas maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa Dasar hukum persusuan yang berdampak mahram
2.      Bagaimana hukum yang terkai dengan hadis ini
3.      Apa Syarat persusuan yang berdampak pada kemahraman


Senin, 20 Juni 2011

TIPOLOGI MAJAAMI’ DALAM KODIFIKASI HADITH

Kajian Terhadap Manhaj Ibn al-Athi>r al-Jazary (544-606 H) dalam Karyanya“Ja>mi’ al-Us}u>l Fi> Ah}adi>th al-Rasu>l”
Oleh:
Muhammad Zulkarnain Mubhar

Pendahuluan; Sebuah Refleksi Histories
Keberadaan al-H{adi>th dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Qur-a>n yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah Saw., maupun para sahabat beliau Saw. berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur-a>n telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu> Bakar al-S}iddi>q yang disempurnakan kemudian oleh khalifah Uthma>n bin ‘Affa>n yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah Saw.
Sementara itu, perhatian terhadap al-H{adi>th tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-H{adi>th secara resmi[1] baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-‘Azi>z khalifah Bani Umayyah yang memerintah antara tahun 99-101 Hijriyah,[2] karena beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara sunnah-sunnah Rasulullah Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, maupun taqri>r beliau Saw., termasuk didalamnya sunnah para sahabat. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal H{adi>th menuliskan dan membukukannya supaya H{adi>th tidak hilang pada masa sesudahnya.[3] waktu pengkodifikasian secara resmi ini relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-H}adi>th.
Tadwi>n al-H{adi>th atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-H{adi>th sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi.

Rabu, 15 Juni 2011

TEORI PENELITIAN TAFSIR






BAB I
PENDAHULUAN
1.  Latar Belakang
Al-Qur’an memotifasi manusia untuk mempergunakan akal, seraya berfikir dan meneliti alam semesta ini yang merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaaNya.
Al-Qur’an selain sebagai petunjuk bagi umat manusia  , ia juga merupakan salah satu bahan pustaka yang memberikan informasi yang sangat luas terhadap alam semesta ini, bagi setiap orang yang mengkaji secara mendalam kandungan ayat-ayatnya secara obyektif, maka mereka pasti akan tekjub dengan informasi yang digambarkan oleh al-Qur’an, bagaiman tidak, ia adalah kitab yang diturunkan oleh Rabb al-‘a>lami>n (Pengatur, pendidik alam semesta)
Dalam sejarah peradaban dan intlektual manusia al-Qur’an merupakan kitab yang dikaji secara antusius, baik pendukung atau penentangnya, Ia merupakan referensi bagi manusia yang sangat lengkap dan sudah banyak melahirkan karya-karya.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dari masa kemasa sudah banyak teori yang dihasilkan oleh manusia untuk menyingkap rahasia-rahasia dibalik tabir ayat-ayat al-Qur’an, setiap metode yang dipakai untuk menafsirkan al-Qur’an akan mempunyai penafsiran tersendiri dan berbeda dengan penafsiran periode sebelumnya tanpa mengurangi atau menambah ayat ayat al-Qur’an, namun demikian belum pernah ditemukan ayat-ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan kondisi zaman, hal semakin memperjelas bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang sa>lih li kulli zama>n wa maka>n mampu untuk menjawab tantangan setiap zaman yang dilaluinya .

2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian diatas maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan Ilmu Pengetahuan
2.      Bagaimana Metode Pengetahuan
3.      Apa itu Metode Ilmu dan Teori Kebenaran
4.      Bagaimana Kedudukan al-Qur’an

TAFSIR AL BAQARAH AYAT 257



Tafsir Ayat 257 Surah Al-Baqarah
  1. Lafal Ayat
الله ولي الذين آمنوا يخرجهم من الظلمات الى النور والذين كفروا أولياؤهم الطاغوت
يخرجونهم من النور الى الظلمات أولئك أصحاب النار هم فيها خالدون (257)
B.     Terjemah
“Allah pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah syaitan yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran) mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”
C.    Asbab Nuzul
Ulama memberikan beberapa komentar mengenai asbab an-nuzul ayat ini, untuk lebih memudahkan, akan diurut sebagai berikut:
1.      Menurut Imam Mujahid, ayat ini turun kepada kaum (kelompok) yang beriman kepada Nabi Isa dan kaum yang tidak beriman, namun pada saat nabi Muhammad diutus oleh Allah, kelompok yang beriman tersebut mengingkari kenabian Muhammad sedangkan kaum yang kufur malah beriman kepada Nabi Muhammad.[1]
2.      Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun kepada kaum yang beriman kepada Nabi Isa AS dengan menganut agama nasrani (kristen) padahal Islam sudah ada dengan alasan bahwa semua agama itu sama, namun pada akhirnya mereka beriman kepada Nabi Muhammad SAW.   
3.      Kelompok lain berpendapat bahwa ayat ini turun kepada setiap orang kafir yang masuk Islam.[2]
4.      Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini turun kepada orang-orang yang murtad, atau turun kepada orang yang tetap bertahan dalam kekufuran[3]     
Semua asbab an-nuzul yang tertera diatas terkait dengan teks lafal itu sendiri yang pada intinya menceritakan bahwa ada orang yang dikeluarkan dari cahaya iman menuju kegelapan kekafiran dan ada pula yang diselamatkan dari kegelapan menuju cahaya yang terang berderang.       

Sabtu, 11 Juni 2011

ADIL DALAM HADIS NABI


 
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belang Masalah
Sebagai kitab petunjuk, pedoman dalam segala aktivitas umat manusia, khususnya umat Islam, al-Qur’an dan hadis Rasulullah telah mengatur segala aktivitas mereka, mulai dari masalah yang terkait dengan agama hingga masalah-masalah yang hanya terkait dengan dunia. Di antara masalah–masalah agama yang diatur oleh keduanya adalah masalah pembagian harta. Harta adalah salah satu masalah urgen yang telah diatur ketetapannya dalam Islam.
Selain diatur oleh al-Qur’an, masalah harta, penggunaan dan pembagiannya juga banyak diungkapkan dalam hadis Nabi saw. Salah satu masalah yang terkait adalah mengenai keadilan dalam al-‘at}iyah (pemberian).
Untuk mengetahui penjelasan mengenai keadilan tersebut, maka diperlukan sebuah kajian hadis yang komprehensif tentang al-‘at}iyah itu sendiri karena sebelum menerapkan hadis Nabi saw., terlebih dahulu harus dipahami bagaimana hadis tersebut dari segi sanad dan matannya.[1] Tanpa memahaminya dengan baik hal tersebut akan menimbulkan penerapan yang kurang tepat bahkan dapat terjadi kesalahan. Hal yang paling urgen yang harus diperhatikan adalah ketika melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi hadis serta sejalan dengan petunjuk al-Qur’an dan kondisi masyarakat  pada saat itu sehingga hadis tidak lepas peranannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Takhri>j al-h}adi>s\ sebagai metode pengujian hadis Nabi sangat membantu untuk memahami konsep al’at}iyah, karena pemahaman terhadap teks hadis Nabi tidak dapat dipisahkan dari fungsi Nabi sebagai Rasulullah.[2] Hal ini perlu untuk dilakukan mengingat hadis Nabi sebagai rah}matan li al-‘a>lami>n. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya kajian mengenai hal ini dapat menambah khazanah keilmuan terkait masalah pembagian harta agar aplikasinya dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Berangkat dari keadilan secara umum, salah satu fenomena saat ini adalah pembagian harta warisan. Dalam kenyataannya, tidak satupun orang tua yang tidak ingin menurunkan harta miliknya kepada anak-anaknya sebagai penerus keluarga. Bahkan karena rasa sayang yang besar, setiap anak mendapat pembagian harta yang sama jumlahnya yang terkadang jumlah pemberiannya tidak sesuai dengan aturan agama Islam. Padahal menurut hukum Islam, pembagian harta warisan telah diatur bahwa setiap anak laki-laki akan mendapatkan dua bagian dari apa yang akan didapatkan oleh anak perempuan.[3]
Pembagian harta warisan untuk anak dilakukan dengan rasa keadilan dan sesuai dengan aturan dalam hukum Islam. Akan tetapi jika setelah pembagian harta warisan, orang tua masih ingin menambahkan jumlah pemberiannya kepada anak, maka hal itu terkadang diperbolehkan dengan catatan penambahan itu bukan bagian dari warisan melainkan merupakan pemberian (al-‘at}iyah).[4] Namun pembagian secara warisan, ditentang sebagian orang, khususnya perempuan yang merasa bahwa  hal itu tidak adil karena memberikan harta kepada laki-laki dua kalipat dari bagian perempuan, padahal perempuan terkadang lebih berbakti dan lebih butuh dibanding anak laki-laki.
Akhirnya, sebagian orang menyiratkan bahwa makna adil bukanlah harus memberi dalam jumlah yang sama, namun tentunya berdasarkan kebutuhan dan tanggung jawab. Walaupun demikian, pada dasarnya anak laki-laki dan anak perempuan sama kedudukannya dalam keluarga.
Para ulama sepakat atas disyariatkannya berlaku adil terhadap anak-anak dalam pemberian dengan tidak mengistimewakan yang satu atas yang lain. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum mengistimewakan antara satu dengan lainnya. Masing-masing pendapat ini didukung oleh sejumlah dalil dan argumen.[5]
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana status hadis tentang adil terhadap anak dalam pemberian?
2.      Bagaimana memahami hadis tentang adil terhadap anak dalam pemberian?
3.      Pesan dan kesan apa saja yang tersurat dan tersirat dalam hadis tentang adil terhadap anak dalam pemberian?   

Jumat, 10 Juni 2011

ASBAB AL NUZUL


BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Agama Islam yang dianut oleh kaum muslim diseluruh dunia merupakan pedoman hidup yang menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia mempunyai satu dasar utama yang essensial yang berfungsi memberi petunjuk kejalan yang sebaik-baiknya, yakni Al-Qur’an. Kitab suci Al-Qur’an merupakan landasan hukum pertama dalam Islam, Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam persoalan hukum (Syari’at), aqidah (Keimanan) dan akhlak dengan jalan meletakkan dasar-dasar tentang persoalan-persoalan tersebut.
Al-Qur’an diturunkan untuk membimbing manusia kepada tujuan yang terang dan jalan yang lurus, menegakkan suatu kehidupan yang didasarkan kepada keimanan kepada Allah SWT dan risalahnya.
Dalam mengkaji Al-Qur’an banyak memerlukan ilmu bantu dan salah satu ilmu yang paling mendasar yang harus diketahui oleh orang yang bergelut dengan kajian Al-Qur’an adalah ilmu Asbabun Nuzul. Asbabun Nuzul adalah konsep, teori, atau berita tentang sebab turunnya wahyu kepada Nabi baik berupa satu ayat, rangkaian ayat, ataupun satu surah.
Asbabun Nuzul merupakan salah satu pokok bahasan yang sangat penting dalam ulum Al-Qur’an, karena dengan mengetahui asbabun nuzul dapat  membantu memahami dan menyingkap rahasia-rahasia yang ada dalam Al-Qur’an.
B.       RUMUSAN MASALAH
Terkait dengan luasnya pembahasan mengenai ilmu Asbabun Nuzul, maka dalam makalah ini penulis secara khusus akan membatasi pembahasan tentang masalah-masalah sekitar :
1.      Pengertian asbabun nuzul
2.      Ilmu asbabun nuzul
3.      Urgensi mempelajari asbabun nuzul
4.      Sumber dan cara mengetahui asbabun nuzul
5.      Hikmah mempelajari asbabun nuzul

Kamis, 09 Juni 2011

NABI MUHAMMAD SAW SEBAGAI PEMIMPIN AGAMA dan KEPALA NEGARA



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Menjelang pertengahan abad keenam sesudah Masehi, dunia berada dalam keadaan gelap dan parah dengan keadaan spiritual yang merusak kehidupan spiritual manusia. Keserakahan dan tirani telah menjarah kesejahteraan moralnya, dan penindasan telah melumpuhkan mayoritas penduduknya. Bangsa-bangsa yang dulunya pernah merdeka dan produktif , peradaban tertua di dunia , seperti Assyria, Phunisia dan Mesir, kini tidak berkutik dibawah ancaman dan cengkraman Serigala Romawi. Sementara peradaban Babilonia yang menderita akibat dominasi Persia yang sama-sama tiranisnya,hanya dibolehkan hidup Marginal (pas-pasan) sementara semua kekayaan negerinya, tanah subur antara dua sungai (Eufrat dan Tigris) disedot untuk memenuhi perbendaharaan para kaisar Persia dan kaki tangannya.
Bangsa Arab yang tanahnya terletak antar Imperium Persia dan Romawi, merupakan sebuah negeri yang menyedihkan. Agama mereka yang sebenarnya merupakan Monoteisme paling murni, yakni Agama Nabi Ibrahim telah diselewengkan oleh generasi demi generasi.
Ketika manusia melupakan sumber mulia kehidupan batinnya dan secara tamak sibuk dengan kehidupan dunia dan kemegahannya, seorang Rasul diutus Oleh Allah untuk menunjukkan kepada jalan yang telah dilupakannya, dan memperingatkan mereka akan ajaran yang telah dilalaikan atau diabaikannya. Tetapi selama jangka waktu yang lama tidak terlihat tanda-tanda dan terdengar firman Allah. Zaman itu menjadi titik nadir (terendah) dalam pemikiran manusia.[1]
Karena banyaknya ramalan tentang kedatangnnya, setiap orang menunggu kedatangan Nabi Muhammad SAW di era kegelapan sejarah manusia, manusia menunggu orang yang akan menghancurkan keingkaran dan akan meniupkan kehidupan baru kedunia ini. Yudaisme dan Kristen, yang aslinya adalah agama samawi (berasal dari Allah), tak bisa menyangkal. Orang-orang mempelajari kitab-kitab lama tanpa prasangka, khususnya Pendeta Bahira sedang menunggu kedatangannya.
Berkata Karlil Mengenai Muhammad : “Kelahiran Muhammad adalah merupakan sumber cahaya yang menerangi kegelapan”.[2]
 Dan berkata Sir Muyer : ”belum ada usaha perbaikan yang lebih sulit dan lebih jauh jangkaunnya dari pada saat munculnya Muhammad. Tapi kita belum melihat suatu keberhasilan dan perbaikan yang sempurna sebagaimana  yang telah ditinggalakan olehnya saat meninggal Dunia”.[3]
Dan berkata Leonardo : “kalau diatas bumi ini ada orang yang benar-benar mengerti tentang Allah, kalau di atas bumi ini ada orang yang berlaku ikhlas terhadapnya dan meninggal dalam berkhidmat  kepadanya dengan tujuan yang mulia, dan dengan dorongan yang besar, maka sesungguhnya orang itu adalah Muhammad. Tanpa ragu lagi , seorang Nabi dari bangsa Arab”. Tersebut dalam ensiklopedia Britania “Sesungguhnya Muhammad mempunyai keberhasilan yang belum pernah dicapai oleh seorang Nabi atau oleh pembangun agama diseluruh jaman”.
Dan berkata Buzurth : “bahwa sesungguhnya Muhammad adalah mutlak pembangun terbesar tanpa ada pertentangan pendapat”.[4]
Adapun  Muhammad dalam pandangan Umat Islam, adalah seorang pahlawan utama. Sedang menurut pandangan para pemikir dari agama-agama lain dia adalah pembangun umat terbesar, diakui mutlak. Oleh karena itu tidak patut kita berbicara tentang kepahlawanan  tanpa mendahulukan tentang kepahlawanan Muhammad Saw.
B.     permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas penulis dapat menfokuskan permasalahan sebagai berikut: 
1.      bagaimana kondisi masyarakat jahiliyah sebelum datangnya Islam (lahirnya Nabi Muhammad Saw)?
2.      Sejauh manakah rintangan dan penolakan masyarakat terhadap pelaksanaan dakwah Nabi Muhammad Saw?
3.      Bagaimana strategi dakwah Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin agama?
4.      Bagaimana kedudukan Nabi sebagai kepala Negara?

Selasa, 07 Juni 2011

KONSEP ULAMA DALAM AL QURAN


 
 BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Al-Qura’n al-karim adalah kitab samawi yang paling terakhir diturunkan dan berfungsi sebagai petunjuk bukan hanya terhadap anggota masyarakat Arab akan tetapi juga bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman nanti. Al-Qur’an memuat seluruh aspek kehidupan manusia, baik aspek vertikal maupun horizontal bahkan hubungan dengan alam semestapun tertera dalam al-Qur’an.[1]
Prinsip, doktrin dan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh al-Qur’an sangat global dan memungkinkan setiap generasi memberikan interpretasi yang berbeda dengan para cendikiawan sebelumnya karena al-Qur’an menggunakan bahasa yang sangat tinggi sastranya dan mengandung berbagai rahasia yang tidak mungkin ditangkap secara sama oleh semua kalangan.[2]
Sebagai pembawa kalam ilahi, Rasulullah adalah orang pertama yang menjadi tumpuan untuk menjelaskan dan menafsirkan kalimat atau ayat al-Qur’an yang kurang jelas atau masih berlaku umum, sebab Nabi adalah penerima dan penyampai wahyu sebagaimana dalam QS. al-Nah}l: 64.
وَمَا أَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya:“Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”[3]
Sahabat sebagai sasaran pertama al-Qur’an, jika tidak paham makna dan maksudnya akan segera bertanya kepada Rasulullah dan direspon langsung oleh Rasulullah saw., namun Rasulullah tidak menafsirkannya mengikuti alur fikirannya sendiri akan tetapi menurut wahyu ilahi. Penjelasan dan penafsiran Rasulullah hanyalah pelantara saja, sedang hakikatnya, Allahlah sebagai penafsir pertama.[4] Dalam QS. al-Najm ayat 2-3, Allah swt. berfirman:   
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya  itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[5]
Untuk mengetahui sejauh mana penafsiran Nabi dan sahabat, maka perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran dengan tujuan mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan.
Melihat dari sejarah diatas maka sepeninggal Rasulullah SAW dan para sahabatnya maka tugas itu dilanjutkan oleh Ulama-Ulama yang hidup setelahnya. Namun sebelum itu seperti apakah orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai ulama berdasarkan hadis nabi ulama adalah pewari para nabi.
B.   Rumusan masalah
Setelah melihat latar belakang diatas maka pebulis dapat mengambil beberapa rumusan masalah diantaranya :
a.       Apa pengertian ulama?
a.       Salaf
b.      khalaf
b.      Apa Ciri-ciri ulama?
c.       Bagaimana Kedudukan ulama?
 

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates