BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalihun li kulli zaman wa makan, kalimat inilah “mungkin” yang
paling tepat dijadikan sebagai kesimpulan ajaran Islam. Sebab sesuai dengan
misinya “rahmatan lil ‘alamin” maka hendaknya –sudah pasti- ia mampu
menjawab segala bentuk permasalahan seiring perkembangan dan perubahan zaman.
Demikian pula dengan sumber hukumnya, dalam hal ini al Qur’an –bukan
berarti mengabaikan as Sunnah- seharusnya ditempatkan pada posisi yang paling
tinggi sebagai pedoman hidup atau “AD-ART” kehidupan. Artinya segala bentuk
permasalahan dan fenomena yang dihadapi dalam hidup ini, hendaknya dikembalikan
kepada “AD-ART” tersebut. Karena itu, masuk akal jika para mufassir sepakat
bahwa prosesi penurunan al Qur’an ke muka bumi, mustahil dilakukan oleh Allah
secara sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kapasitas
intelektual dan konteks masalah yang dihadapi umat manusia.
Hal ini menunjukkan betapa besar kearifan dan keagungan Allah serta
membuktikan misi suci al Qur’an sebagai respons intelektual atas prinsip
universalismenya itu, agar segala hal tidak jatuh menjadi serba
kemutlak-mutlakan (absolutisme). Karena sekalipun al Qur’an diterima oleh
Rasulullah di tanah Arab dan berbahasa Arab, tapi tidak berarti bahwa ia hanya
diperuntukkan bagi orang-orang Arab semata melainkan untuk seluruh umat manusia
di muka bumi.[1]
Apatah lagi kehadiran al Qur’an diibaratkan sebagai Ma’dubatullah (hidangan
Allah) yang berarti ia senatiasa terbuka untuk dianalisir dan diinterpretasikan
dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Ia bagaikan
hidangan yang siap disantap oleh siapa saja sesuai dengan selera yang mereka
inginkan. Tetapi bukan berarti kebebasan menyantap hidangan al Qur’an sehingga
seseorang boleh mengutak-atik atau mencampur-baurkan kandungannya tanpa
mengikuti aturan dan persyaratan yang telah disepakati sebagaimana makanan yang
dicampur-baurkan dengan makanan yang lain dengan tidak mengikuti petunjuk dan
resep dari koki yang profesional terkadang makanan tersebut akan menjadi tidak
lezat atau bahkan cepat basi dan terkadang pula menimbulkan penyakit jika
dikonsumsi.
Banyak metode dan cara yang ditawarkan para ulama untuk menyantap
hidangan al Qur’an dalam bentuk penyajian, pembahasan, pendekatan dan interpretasi
yang berbeda-beda. Di antara metode tersebut adalah pendekatan tafsir[2],
baik yang berorientasi pada teks dalam dirinya yang kemudian disebut pendekatan
tekstual, maupun yang berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) yang
kemudian disebut pendekatan kontekstual[3].
Kaitannya dengan pendekatan kontekstual, ini adalah sebuah metode yang
sangat menarik dan mesti dilakukan. Sebab dari hari ke hari problematika dan
permasalahan hidup selalu berubah. Situasi masa lalu berbeda dengan situasi
sekarang. Sehingga untuk mengaktualisasikan nila-nilai al Qur’an, umat Islam
tidak perlu terpaku (bertaklid) pada penafsiran ulama-ulama terdahulu[4],
namun perlu mengkaji lebih dalam dan menghidupkan nilai al Qur’an sesuai dengan
konteks sosial di mana ia berada. Bahkan semangat keuniversalan al Qur’an
terasa “ternodai” jika ia hanya dipahami dari segi tekstualnya semata[5].
Dari kemutlakan adanya metode pendekatan tafsir kontekstual serta misi al
Qur’an shalihun li kulli zaman wa makan maka penulis menyusun sebuah
makalah terkait dengan problematika metode pendekatan di atas yang diharapkan
dari kehadirannya mampu menjadi dorongan dan motivasi bagi para pembaca
khususnya penulis untuk terus mengkaji dan menyelami samudera al Qur’an
mengambil ribuan mutiara yang menjadi bekal kemuliaan dunia akhirat.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini, yaitu upaya memahami problematika metode
pendekatan tafsir kontekstual kaitannya dengan misi suci al Qur’an, maka permasalahan pokok yang akan diangkat sebagai
kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan berikut ini :
1.
Bagaimana pengertian, eksistensi dan perkembangan
tafsir kontekstual?
2.
Bagaimana bentuk/jenis-jenis tafsir dengan
pendekatan kontekstual?
3.
Apa saja yang menjadi kelebihan dan keterbatasan
metode pendekatan tafsir kontekstual?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir Kontekstual, Eksistensi dan
Perkembangannya
Al Qur’an
sebagai pedoman hidup yang memiliki kekayaan petunjuk yang melimpah perlu untuk
terus digali dan dikaji. Tanpa usaha ke arah tersebut maka kerahmatan Islam
–sedikit atau banyak- akan pudar seiring perkembangan dan kemajuan zaman.
Olehnya itu, interpretasi terhadap al Qur’an secara kontekstual perlu
digalakkan sehingga cahaya-cahaya petunjuk al Qur’an tetap bersinar menerangi
kehidupan manusia. Namun sebelum lebih jauh membicarakan tentang metode tafsir
kontekstual, ada baiknya dijelaskan terlebih dadulu mengenai apa dan bagaimana sejarah
perkembangan metode tafsir tersebut.
- Pengertian Tafsir Kontekstual dan Eksistensinya
Secara
etimologi, kata kontekstual berasal dari kata benda bahasa Inggris yaitu context
yang diindonesiakan dengan kata ”konteks”. Kata ini setidaknya memiliki dua
arti, 1) Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah
kejelasan makna, 2) Situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian[6].
Sehingga dapat dipahami bahwa kontekstual adalah menarik suatu bagian atau
situasi yang ada kaitannya dengan suatu kata/kalimat sehingga dapat menambah
dan mendukung makna kata/kalimat tersebut.
Adapun secara
terminologi, Noeng Muhadjir menegaskan bahwa kata kontekstual setidaknya
memiliki tiga pengertian : 1) Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi
persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga arti kontekstual identik
dengan situasional, 2) Pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, masa kini,
dan masa mendatang atau memaknai kata dari segi historis, fungsional, serta
prediksinya yang dianggap relevan, 3) mendudukkan keterkaitan antara teks al Qur’an
dan terapannya[7].
Lain lagi
dengan defenisi yang ditawarkan oleh DR. H. Ahmad Syukri Saleh, MA. (lahir
1965) beliau berpandangan bahwa tafsir kontekstual adalah menafsirkan al Qur’an
berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang sejarah, sosiologi,
dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Arab
pra-Islam dan selama proses wahyu al Qur’an berlangsung. Kemudian dilakukan
penggalian prinsip-prinsip moral (spirit) yang terkandung dalam berbagai
pendekatan tersebut[8].
Akan tetapi
dari kedua defenisi secara istilah di atas dan defenisi-defenisi yang lain
paling tidak dapat disimpulkan bahwa tafsir kontekstual adalah sebuah upaya
untuk menghidupkan al Qur’an yang diturunkan sekitar 1429 tahun yang lalu namun
tetap sesuai dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masa kini.
Setelah melihat
kedua jenis defenisi di atas, baik etimilogi maupun epistimologi, maka penulis
lebih condong mengistilahkan tafsir kontekstual sebagai al tafsir al siyaqy (التفسير السياقي
). Sebab kata konteks dalam bahasa arab berarti سياق dan [9]علاقة.
Sedangkan kata سياق
merupakan pecahan dari akar kata ساق
– يسوق – سوقا yang berarti حدو الشئ menghalau atau menggiring[10]. Dari
kata inilah muncul kata سوق (pasar) karena segala sesuatu di datangkan ke tempat tersebut[11]. Sehingga
dapat dipahami bahwa metode tafsir kontekstual atau al tafsir al siyaqy adalah
penafsiran al Qur’an dengan berusaha menarik, menggiring segala sesuatu yang
terkait dengan ayat yang ditafsirkan termasuk asbab al nuzul, kondisi sosial
masyarakat, bahasa Arab, dll. sekaligus menghalau segala kemungkinan yang
menyebabkan rusaknya pemahaman yang benar terhadap ayat tersebut termasuk di
dalamnya adalah ketergesah-gesahan serta sikap subjektivitas dalam penafsiran.
Hanya saja
bagi penulis sendiri, makna tafsir kontekstual tidak jauh beda dengan tafsir
bil ra’yi yang penekanannya terdapat pada ijtihad seorang mufassir dalam
memahami makna ayat disertai pengetahuan mendalam tentang bahasa Arab dan
segala persyaratan yang telah ditetapkan ulama dalam menafsirkan al Qur’an[12].
Dari pemahaman ini pula sehingga tafsir kontekstual pun terbagi menjadi dua bentuk,
mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela).
Keterpujian
dan ketercelaan tafsir kontekstual sangat terkait dengan kapabilitas mufassir
itu sendiri. Sebab menafsirkan al Qur’an merupakan salah satu aktivitas
intelektual yang membutuhkan seperangkat disiplin keilmuan khusus. Tanpa
keilmuan tersebut dikhawatirkan –jika tidak ingin mengatakan pasti- akan
terjerumus ke dalam jurang kesalahpahaman yang pada akhirnya merusak
nilai-nilai al Qur’an. Memang patut disadari, bahwa setiap umat Islam memang
berhak memahami al Qur’an. Namun hal itu bukan berarti bahwa umat Islam atau
siapa saja berhak menafsirkannya. Kita tahu bahwa segala sesuatu ada caranya,
demikian juga dengan menafsirkan al Qur’an. Karenanya, penafsiran ini sangat
terkait dengan pelbagai disiplin ilmu terutama bahasa Arab, sejarah dan ilmu
kemanusiaan. Ini bukan diskriminasi, tetapi suatu jalan untuk menemukan tujuan
secara memadai.[13]
Persamaan
antara tafsir bil ra’yi dan kontekstual yang menyebabkan penulis menganggap
keduanya sama atau paling tidak memiliki kemiripan adalah disamping defenisi
dan syarat-syarat yang dibutuhkan[14],
juga karena aplikasi keduanya yang menyebabkan terjadinya kontradiksi di antara
ulama mengenai eksistensi kedua metode tafsir tersebut. Sebagian ulama
menganggap bahwa tafsir bil ra’yi dan atau tafsir kontekstual merupakan bentuk
penafsiran yang tidak boleh dan identik dengan penafsiran mengada-ada. Sebagian
yang lain berpendapat bahwa selama seorang mufassir mempunyai kapabilitas untuk
menafsirkan al Qur’an dengan akal dan kedalaman pemahamannya, kenapa mesti
dilarang? Bukankah Islam datang dengan memberikan perhatian besar pada akal?[15]
Penulis
melihat makalah ini bukanlah tempat yang paling tepat untuk membahas mengenai
keragaman pendapat tersebut. Namun dari kedua pendapat di atas terdapat sebuah
kesepakatan bahwa selama langkah-langkah penafsiran tidak menyalahi aturan dan
persyaratan maka keduanya adalah boleh bahkan terkadang harus dilakukan[16].
Khusus untuk
tafsir kontekstual, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan –di samping
syarat-syarat seorang mufassir- sebagaimana Fazlur Rahman (w. 1408 H/1988 M)
menjelaskannya. Pertama, pendekatan historis yang seksama dan serius
untuk menemukan makna teks al Qur’an. Kedua, membedakan antara
ketetapan-ketetapan legal al Qur’an dengan sasaran dan tujuan utamanya. Ketiga,
memahami dan memastikan sasaran/tujuan al Qur’an dengan tetap memperhatikan
latar sosiologis pewahyuan al Qur’an[17].
Dari analisis
di atas maka tafsir kontekstual (al tafsir al siyaqy) –yang esensinya
tidak jauh berbeda atau sama dengan tafsir bil ra’yi- merupakan sebuah
penafsiran yang tidak lepas dari tafsir bil ma’tsur. Bahkan untuk menghidupkan
nilai-nilai al Qur’an, keduanya harus jalan bersama. Sebab tafsir bil ma’tsur
merupakan pondasi, sedang tafsir bil ra’yi atau kontekstual seperti bangunannya.
Sebab ilmu-ilmu rasional telah menjadi produk yang populer dan barang yang
terus berkembang dan umat manusia memerlukan penjelasan, uraian dan takwil
ayat-ayat yang belum dijelaskan.[18]
Akan tetapi bagaimana keserasian kedua metode di atas, namun tetap memiliki
perbedaan. Untuk membedakan keduanya, perlu dilihat lawan kata dari keduanya.
Tafsir bil ra’yi antonim dengan tafsir bil ma’tsur, sementara tafsir
kontekstual antonim dengan tafsir tekstual. Sehingga dari sinilah nampak jelas
bahwa tafsir bil ra’yi dan bil ma’tsur merupakan sumber penafsiran. Sedangkan
tafsir kontekstual dan tekstual adalah pendekatan yang digunakan mufassir dalam
memahami nas(al Qur’an).
- Sejarah Perkembangan Tafsir Kontekstual
Tafsir kontekstual yang tujuan
utamanya adalah membumikan nilai-nilai al Qur’an sehingga semangat keislaman
tetap selaras dengan perkembangan zaman, memberikan sebuah pemahaman bahwa keberadaan
tafsir kontekstual mulai terasa dan berkembang sejak al Qur’an diturunkan.
Sekalipun di antara argumen-argumen
dan data yang diberikan para cendekiawan untuk menyatakan kebenaran eksistensi
tafsir kontekstual yaitu kebijakan Umar bin Khattab yang tidak lagi membagikan
harta ghanimah (rampasan perang) kepada para prajurit yang telah
bertumpah darah di medan perang melainkan memasukkanya ke kas negara (baitul
mal) karena ia berargumen secara kontekstual dengan alasan bahwa al Qur’an
–surat al Anfal : 41 & 69- memang mengizinkan untuk membagi harta rampasan
tersebut kepada para prajurit yang ikut perang dan itu adalah benar. Sebab pada
saat itu semua prajurit berperang dengan membawa modal sendiri, baik bekal,
pakaian maupun peralatan perang. Maka, masuk akal jika mereka diberi harta ghanimah
itu, bahkan justru terasa tidak adil jika hal ini tidak ditempuh. Tetapi pada
masa Umar, kondisi tersebut sudah berubah, karena semua bekal ditanggung oleh
negara. Sehingga Umar memandang bahwa pembagian harta rampasan sudah tidak
relevan lagi.
Demikian pula dengan keputusan
Umar bin Khattab yang dianggap telah melanggar dalil qath’iy dengan
tidak melaksanakan hukum potong tangan pada saat musim paceklik, atau
peristiwa-peristiwa lain yang dijadikan oleh ulama sebagai dasar eksistensi
tafsir kontekstual atau bahkan menjadi awal munculnya tafsir ini. Lebih jauh
lagi, sebagian cendekiawan mengkategorikan Prof. DR. Fazlur Rahman sebagai
perintis pertama metode tafsir kontekstual, hanya dengan alasan bahwa Fazlur
Rahman memandang bahwa tafsir yang ada sekarang belum berhasil memberi jawaban
terhadap perkembangan yang bersifat alami yang dapat menyentuh seluruh
perkembangan ilmu dan teknologi. Untuk memahami al Qur’an sebagai suatu
kesatuan maka perlu mempelajarinya dengan sebuah latar belakang[19].
Argumen seperti ini tidak
sepenuhnya penulis terima, karena pertama, memahami al Qur’an bukan
hanya dari aspek teksnya semata tetapi aspek konteksnya pun diperhatikan, itu
telah ada sejak masa Rasulullah. Sebagai contoh riwayat yang disampaikan oleh
al Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa ketika QS. Al Nashr diturunkan, Umar
bin Khattab bertanya kepada
sahabat-sahabat senior yang ikut dalam perang Badar mengenai pemahaman mereka
tentang ayat ini. Para sahabat tersebut menjawab bahwa surat ini berbicara
mengenai perintah untuk memuji dan beristigfar kepada Allah karena adanya
pertolongan dan kemenangan dari-Nya. Tetapi ketika Umar bertanya kepada Abdullah
bin Abbas, ia memahaminya bahwa surat tersebut adalah sebuah indikasi atau
peringatan bahwa ajal Rasulullah sudah tidak lama lagi. Hal ini dipahami oleh
Ibnu Abbas dari konteks ayatnya, ketika pertolongan dan kemenangan telah diraih
berarti tugas Rasulullah telah selesai sehingga keberadaanya pun di dunia akan
segera berakhir.[20]
Bahkan ada di antara
penafsiran Rasulullah yang dianggap sebagai tafsir bil ma’tsur, namun
sebenarnya Rasulullah SAW menjelaskanya sesuai dengan konteks masyarakat saat
itu. Karenanya Rasulullah terkadang hanya memberi contoh-contoh konkret yang
beliau angkat dari masyarakatnya, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan
oleh generasi-generasi berikutnya. Misalnya saja ketika beliau menafsirkan kalimat
al Maghdhub ’alayhim (QS. Al Fatihah :7) sebagai ”orang-orang Yahudi”
atau quwwah dalam QS. Al Anfal : 60) yang memerintahkan mempersiapkan
keuatan untuk menghadapi musuh, sebagai ”panah”[21].
Dari contoh-contoh itulah
sehingga penulis berkesimpulan bahwa tafsir kontekstual sudah dimulai oleh
Rasullah sebagai perintis pertama metode ini, sekalipun –mungkin- istilah atau
namanya belum ditemukan.
Kedua, sikap dan kebijakan Umar sebagimana
disebutkan di atas bukanlah sebuah bentuk penafsiran al Qur’an. Memang diakui bahwa kebijakan Umar
tersebut sangat kontekstual serta sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat
itu, dan demikianlah gambaran ajaran Islam. Akan tetapi kebijakan Umar tidak
berarti bahwa seperti itulah yang ia pahami. Sebab kalimat faqta’u
aidiyahuma (potonglah tangan keduanya) –misalnya- tidak bisa diartikan
apatah lagi ditafsirkan selain ”memotong”. Jadi kebijakan Umar tersebut
bukanlah sebuah penafsiran tetapi sebuah bentuk penerapan hukum atau dalam
bahasa fiqhinya adalah ijtihad tathbiq al ahkam. Dan hal ini sangat
berbeda dengan tafsir, sebab tujuan tafsir adalah mengetahui kandungan al
Qur’an, baik penjelasan tentang maknanya, pengambilan hukum-hukumnya, maupun
pengambilan hikmah-hikmahnya.
Ketiga, terkait dengan argumen bahwa perintis
pertama metode tafsir kontekstual adalah Fazlur Rahman, penulis melihatnya
sebagai sesuatu yang berlebihan atau bahkan mengada-ada. Sebab jauh sebelum
adanya Fazlur Rahman, pemahaman secara kontekstual sudah dilakukan oleh para
ulama bahkan pemahaman seperti itu
adalah sebuah kemestian[22]. Adapun anggapan Fazlur Rahman bahwa tafsir
yang ada sekarang atau yang pernah ada belum berhasil memberi jawaban terhadap
perkembangan yang bersifat alami yang dapat menyentuh seluruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi maka penulis berani membenarkankan. Akan tetapi
kenapa anggapan tersebut benar? Karena kelihatannya Fazlur Rahman melihat
metode penafsiran masa lalu dengan kacamata kondisi saat ini. Sehingga wajar
bila metode tafsir yang ada sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman sekarang.
Dari sini dapat dipahami bahwa teori penafsiran Fazlur Rahman yang menekankan pada
kritik sejarah dan perkembangan kronologis al Qur’an yang luas bukanlah sebuah
formulasi baru tetapi ia hanya meramunya sedemikian rupa sehingga rasional bagi
tuntunan modern[23].
Dan juga bisa saja anggapan bahwa Fazlur Rahman adalah perintis pertama metode
tafsir kontekstual hanyalah terkait dengan penamaan metode ini, karena mungkin
–penulis tidak terlalu yakin- istilah tersebut berawal dari metode yang
ditawarkan olehnya.
Dari
beberapa penjelasan yang disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa perkembangan
tafsir kontekstual tidak terlepas dari perkembangan dan kemajuan masyarakat
yang dihadapi al Qur’an. Tafsir kontekstual masa lalu tentu sangat berbeda
dengan tafsir kontekstual masa kini, sebab metode ini tidak hanya dilihat dari
aspek sosial ketika al Qur’an diturunkan namun sangat erat dengan perubahan
sosial yang dihadapinya tapi dengan syarat bahwa tujuan moral dan prinsip al
Qur’an tidak boleh diubah atau dimodifikasi. Karena hal itulah yang akan mejadi
pengontrol dan pengarah terhadap perubahan sosial dewasa ini.
B.
Bentuk-bentuk Tafsir Kontekstual
Untuk menentukan bentuk atau
jenis tafsir kontekstual, terlebih dahulu kita harus membedakan antara bentuk
yang berdasarkan sumbernya dengan bentuk yang berdasarkan penyajian atau
pembahasannya. Sebab sumber penafsiran mengarah kepada tafsir bil ma’tsur
dan bil ra’yi. Artinya sumber penafsiran ada dua yaitu riwayat dan akal.
Demikian pula dengan bentuk penyajian atau pembahasan sebab hal ini terkait
dengan metode yang digunakan penafsir dalam menafsirkan al Qur’an baik
penulisannya maupun penjelasannya.
Mengenai bentuk-bentuk tafsir
kontekstual (tafsir siyaqy) dilihat dari sumber penafsirannya –sebagaimana
telah disebutkan pada point A di atas- ada dua macam, yaitu:
1.
Tafsir mahmudy (tafsir yang terpuji)
Tafsir kontekstual jenis ini
adalah sebuah interpretasi al Qur’an berdasarkan ijtihad yang benar dengan
kaidah yang tepat serta tidak keluar dari prinsip-prinsip syari’ah dan jauh
dari kesesatan. Termasuk sesuatu yang sangat diperhatikan dalam metode ini
adalah aspek sosio-historis suatu ayat. Misalnya saja, penafsiran ayat tentang
poligami dalam surat al Nisa’ ayat 3. sebagian besar ulama sepakat bahwa ayat
tersebut merupakan dasar hukum berpoligami, padahal jika kita merujuk kepada
kondisi sosial masyarakat ketika ayat tersebut turun maka jelas bahwa ayat tersebut
tidak menganjurkan –sekalipun tetap ada indikasi mengizinkan- poligami,
melainkan hanya meringankan atau mengurangi kebiasaan orang Arab dari kegemaran
berpoligami[24].
2.
Tafsir madzmumy (tafsir yang tercela)
Tafsir kontekstual jenis ini
adalah kebalikan dari jenis yang pertama sebab ia merupakan interpretasi al
Qur’an yang tidak sesuai dengan syari’at, bertentangan dengan kaidah bahasa
Arab. Atau dengan kata lain, tafsir madzmumy adalah menginterpretasikan
noktah-noktah al Qur’an berdasarkan pendapat dan pandangan yang bersifat
subjektif (pribadi), tanpa pertimbangan lain yang lebih objektif. Misalnya
Firman Allah QS. Al Qiyamah : 23 yang merupakan alasan utama bahwa orang mukmin
akan melihat Allah di akhirat. Oleh sekelompok aliran Muktazilah, mereka pahami
kata ila pada kalimat الى ربها ناظرة sebagai bentuk mufrad dari kata al alaa’u yang
berarti karunia. Sehingga ayat tersebut mereka artikan ”wajah-wajah pada hari
itu berseri-seri, menunggu karunia dari Tuhannya untuk didahulukan atau
ditangguhkan masuk ke dalan syurga”. Penafsiran seperti ini dilakukan karena
motif interest pribadi yang mengindikasikan tidak bisanya seorang mukmin
bertemu dengan Allah di akhirat kelak[25].
Adapun bentuk penafsiran al
Qur’an ditinjau dari aspek penyajian dan pembahasannya tidak jauh beda dengan
bentuk penafsiran metode-metode yang lain. Hanya saja perlu diingat bahwa
pengkategorian sebuah metodologi biasanya merujuk kepada aspek pandangan
seorang mufassir, termasuk di dalamnya metodologi yang ditawarkan oleh Abdul
Hayyi al Farmawi sebagai metodologi tafsir kontemporer, yaitu : metode global
(ijmali), analitis (tahlili), perbandingan (muqarin), dan tematik (maudhu’i)[26].
Demikian pula dengan metode
tafsir kontekstual (التفسير السياقي
) ada diantara cendekiawan
yang mengkategorikannya sebagai metode yang berdiri sendiri yang menjadi salah
satu metode tafsir kontemporer selain dari metode yang empat sebagaimana
disebutkan di atas[27]. Akan
tetapi penulis sangat sulit memisahkan metode kontekstual ini dengan metode
tafsir yang lain atau dengan kata lain menjadikan metode tafsir ini berdiri
sendiri. Sebab penekanan tafsir kontekstual adalah cara pandang penafsir
terhadap sebuah teks atau cara memahami nas, apakah ia akan pahami secara
literatur (tekstual) atau ia akan mengkaji lebih dalam dengan melihat aspek bahasa,
latar belakang, asbab nuzul, pranata-pranata sosial, dan lain-lain. Berbeda dengan keempat metode di atas, sebab
penekanannya terletak pada cara penulisan dan pembahasannya. Bahkan penulis
sendiri melihat bahwa hampir semua kitab tafsir –karena tidak berani mengatakan
semua- menggunakan metode tafsir kontekstual.
Oleh karena itu, bentuk-bentuk
tafsir kontekstual dari segi penulisan atau penyajiannya, yaitu :
1.
Tafsir kontekstual tahlily, artinya seorang
mufassir dalam menyajikan penafsirannya adalah mengurai ayat-ayat al Qur’an
dari awal sampai terakhir sesuai susunannya dalam mushaf. Jenis penafsiran
seperti dapat terlihat pada karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha; Tafsir
al Manar, Sayyid Tabathaba’i; tafsir al Mizan, dll.
2.
Tafsir kontekstual Muqarin, artinya mufassir dalam
menyajikan tulisannya, ia menyebutkan perbedaan pemahaman kemudian
membandingkan di antara tafsir-tafsir yang penafsir inginkan, sehingga
kekurangan sebuh penafsiran dapat tertutupi oleh penafsiran yang
dibandingkannya. Jenis ini dapat dilihat pada karya Imam al Qurthuby: al
jami’ li ahkam al Qur’an al Karim atau karya Quraish Shihab: tafsir al
Misbah.
3.
Tafsir kontekstual Maudhu’i, artinya seorang
mufassir dalam menyajikan tafsirannya ia hanya mengoleksi sejumlah ayat dari
beberapa surat yang membahas satu persoalan tertentu yang sama, lalu ayat-ayat
itu ditata sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu topik bahasan kemudian
selanjutnya ditafsirkan secara tematik metode ini dapat dilihat pada karya al
Raghib al Asfahany; Mufaradat al Qur’an, Fazlur Rahman; Major Themes
of The Qur’an, dll.
Bentuk-bentuk tafsir
kontekstual dari segi pembahasanya, yaitu:
1.
Tafsir kontekstual tahlily, artinya seorang
mufassir dalam menafsirkan al Qur’an ia jelaskan secara rinci dari berbagai
aspek tinjauan termasuk munasabah, asbab nuzul, kebahasaan, ilmu pengetahuan,
dan sebagainya. Caontoh metode seperti ini dapat dilihat pada Ali bin Muhammad
Bin Ibrahim al Baghdady; tafsir al Khazin, Fakhruddin al Razy; al
Tafsir al Kabir (Mafatih al Ghaib), dll.
2.
Tafsir kontekstual ijmali, yaitu menafsirkan al
Qur’an secara global, ringkas, tidak memerlukan penjelasan yang rinci bahkan
terkadang cukup dengan isyarat dan uraian sederhana. Metode seperti ini dapat
dilihat pada karya al Fairuzzabady; al
Miqbas fi tafsir Ibn ’Abbas, Muhammad Farid Wajdi; Tafsir al Qur’an al
Karim, dll.
3.
Tafsir kontekstual maudhui, artinya menafsirkan al
Qur’an secara tematik namun sejalan dengan konteks ayat yang ditafsirkan, hal
ini dapat dilihat pada karya abu A’la al Maududy; al Riba fi al Qur’an,
Muhammad Abu Zahrah; al Aqidah fi al Islam, dll.
4.
Tafsir kontekstual muqarin, artinya menafsirkan al
Qur’an dengan membandingkan beberapa kitab tafsir yang dijelaskan secara
timbal-balik[28]
tanpa meninggalkan konteks ayat tersebut. Hal seperti ini dapat dilihat pada
karya al Qurthuby; al Jami’ li Ahkam al Qur’an al Karim, Muhammad Farid
Wajdi; Tafsir al Qur’an al Karim, dll.
C.
Kelebihan dan Keterbatasan Tafsir Kontekstual
Sebagaimana disebutkan di atas
bahwa kehadiran al Qur’an adalah sebagai jawaban atas berbagai permasalahan
yang dihadapi manusia sekaligus menjadi pendoman hidup mendapatkan kebahagiaan
dunia akhirat. Salah satu cara untuk melestarikan fungsi al Qur’an tersebut
adalah dengan memahami al Qur’an secara kontekstual. Oleh karena urgensi
tersebut sehingga metode tafsir kontekstual memiliki beberapa kelebihan dan
keistimewaan sekalipun di dalamnya tetap memiliki keterbatasan.
Adapun kelebihan-kelebihan
tafsir kontekstual, diantaranya:
1.
Mempertahankan semangat keuniversalan al Qur’an,
sebab dengan penafsiran kontekstual maka nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman.
2.
Metode tafsir kontekstual merupakan sintesa dari
metode analitis, tematik, dan hermeneutika. Sebab metode analitis diperkaya
dengan sumber tradisional yang memuat substansi yang diperlukan bagi proses
penafsiran, metode tematik diunggulkan dengan kemampuannya meramu ayat-ayat al
Qur’an dalam satu tema dan mengaktualisasikannya, tafsir hermeneutika titik
penekanannya adalah kajian kata dan bahasa , sejarah, sosiologi, antropologi
dan sebagainya sebagai alat bantu yang penting dalam menafsirkan al Qur’an.
Sehingga wajar bila tafsir kontekstual dianggap sebagai gabungan dari
metode-metode tersebut.
3.
Metode tafsir kontekstual akan membuka wawasan
berpikir serta mudah dipahami sebab banyak data yang ditampilkan namun
penyampaiannya tetap sesuai dengan konteks pemahaman audiens.
Adapun kelemahan-kelemahan
tafsir kontekstual, itu sangat terkait dengan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh penafsir itu sendiri yang berdampak pada kualitas penafsirannya.
Diantara kelemahan tersebut adalah:
1.
Hasil penafsiran kontekstual terkadang didahului
oleh interest pribadi dan dorongan hawa nafsu karena adanya pintu penyesuaian
nilai-nilai al Qur’an dengan kondisi masyarakat. Tentu dengan keterbukaan
tersebut memancing seseorang untuk menafsirkan al Qur’an sesuai dengan
seleranya yang pada akhirnya penafsiran yang ia lahirkan sifatnya mengada-ada.
2.
Dengan semangat tafsir kontekstual terkadang
melahirkan ketergesa-gesahan menafsirkan ayat yang merupakan otoritas Allah
untuk mengetahui maknanya[29].
3.
Usaha tafsir kontekstual terkadang menitikberatkan
sebuah penafsiran pada satu aspek misalnya aspek kondisi sosial semata tanpa
melihat aspek-aspek yang lain termasuk bahasa, asbab nuzul, nasikh mansukh, dsb.
Sehingga penafsiran tersebut menyimpang dari maksud yang diinginkan[30].
4.
Tafsir kontekstual memotivasi seseorang untuk
cepat merasa mampu menafsirkan al Qur’an sekalipun syarat-syarat mufassir belum
terpenuhi. Sebab penguasaan terhadap satu cabang ilmu dan keberanian berkomentar
bukanlah dasar utama sebuah penafsiran.
5.
Berkembangnya tafsir kontekstual sebenarnya
menjadi awal kemunduran umat Islam[31].
Sebab terkadang tafsir kontekstual ini berdampak pada keengganan –kekurangan-
untuk merujuk pada riwayat-riwayat dan penjelasan para ulama terdahulu. Padahal
keiistimewaan dan ciri khas umat Islam adalah dalil-dalil naqlinya (نحن أمة الدليل ).
Semua kelebihan dan kelemahan
yang disebutkan di atas bukanlah final dari sebuah penilaian. Kemungkinan masih
ada kelebihan dan kelemahan yang belum disebutkan. Demikian pula dengan
kitab-kitab tafsir tersebut, penulis yakin masih banyak kitab tafsir lain yang
menggunakan metode tafsir kontekstual. Kitab-kitab tafsir yang disebutkan
hanyalah merupakan sampel yang menurut penulis dapat mewakili kitab-kitab yang
lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas yang
berbicara mengenai metode tafsir kontekstual, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan, sebagai berikut:
1.
Urgensi metode tafsir kontekstual sama urgensinya
dengan keberadaan ajaran Islam. Sebab tafsir kontekstual merupakan upaya untuk
membumikan nilai-nilai al Qur’an sehingga tetap sejalan dengan situasi dan
kondisi masyarakat atau tafsir kontekstual merupakan upaya untuk mempertahankan
semangat shalihun li kulli zaman wa makan.
2.
Tafsir kontekstual atau yang penulis istilahkan
sebagai al Tafsir al Siyaqy merupakan penafsiran al Qur’an yang berusaha
menarik dan menggiring segala aspek yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan
termasuk aspek bahasa, sosio-historis ayat, kondisi masyarakat, dll. Disertai
dengan upaya menghalau segala hal yang tidak terkait dengannya. Akan tetapi
untuk lebih simpelnya, dapat dikatakan bahwa tafsir kontekstual adalah sebuah
pendekatan dalam memahami sebuah ayat yang merupakan penafsiran bukan secara
tekstual. Metode ini sangat dibutuhkan untuk menghidupkan nilai keuniversalan
al Qur’an sehingga keberadaanya telah nampak sejak masa Rasulullah SAW. Akan
tetapi perkembangan tafsir kontekstual ini sangat terkait dengan perkembangan
zaman sehingga pola penafsiran di zaman Rasulullah berbeda dengan pola
penafsiran sahabat dan generasi-generasi berikutnya.
3.
Bentuk-bentuk tafsir kontekstual dapat dilihat
dari tiga sisi, pertama, berdasarkan sumber penafsirannya terbagi kepada dua
bentuk, yaitu: tafsir kontekstual terpuji dan tafsir kontekstual tercela. Adapun
berdasarkan penyajiannya, ia terbagi kepada tiga bentuk yaitu; tafsir
kontekstual tahlily, tafsir kontekstual muqarin dan tafsir kontekstual
maudhu’i. Sementara tafsir kontekstual ditinjau dari segi pembahasannya terbagi
kepada empat macam, yaitu; tafsir kontekstual tahlily, tafsir kontekstual
ijmaly, tafsir kontekstual maudhu’i, dan tafsir kontekstual muqarin.
Pembagian-pemabagian seperti ini, pada dasarnya merujuk kepada metode tafsir
yang ditawarkan oleh Abdul Hayyi al Farmawi, namun bentuk-bentuk tersebut
dirinci ke dalam dua segi, penyajian dan pembahasan.
4.
Tafsir kontekstual merupakan sebuah metode yang
dianggap paling penting dalam memahami teks al Qur’an. Sehingga metode ini
memiliki banyak kelebihan dibandingkan metode tafsir yang lain. Akan tetapi,
dengan adanya kelebihan tersebut tidak berarti ia bebas dari
keterbatasan-keterbatasan. Hanya saja keterbatasan tersebut sangat dipengaruhi
oleh kinerja dan kapabilitas penafsir. Oleh karena itu, titik utama yang
menjadi pondasi penilaian kualitas sebuah tafsir kontekstual adalah kesanggupan
mufassir memenuhi aturan-aturan penafsiran.
B.
Rekomendasi
Sebagai manusia biasa yang
tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya mengaharapkan
kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk dari pembaca
guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis. Apatah
lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih sangat jauh dari standar sebuah
karya ilmiah.
Menyikapi segala bentuk
masalah dan keragaman pendapat tentang aktualisasi dan kontekstualisasi al Qur’an
termasuk keragaman bentuk pemikiran dan pendapat hendaknya dijadikan sebuah
pegangan terhadap kerahmatan agama Islam.
Inilah hasil usaha dan kerja
keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana
metode tafsir kontekstual. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis
dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT.
Wallahu a’lam bi al sawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan terjemahannya
Abidu, Yunus Hasan
Tafsir al Qur’an; Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir. Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2007.
Al Alusi, Ruh al Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al
Adhim wa al Sab’ al matsani. Beirut:
Dar Ihya al Turats al ‘Arabi, tt.
Al Farmawi, Abdul Hayyi al Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’I
Dirasah Manhajiyah Maudhu’iyah, penerjemah: Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka Setia,
2002.
Al Munawar, Said Agil Husain Al Qur’an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki. Ciputat: Ciputat Press, 2005.
Al Zarqany, Muhammad Abdul Adhim Manahilul ‘Irfan. Kairo: al Maktabah al Taufiqiyah,tt.
Asy Syathibi, al Muwafaqat. Beirut: Dar al Ma’arif, 1975.
Asyur, Ibnu Tafsir
al Tahrir wa al Tanwir. Beirut:
Dar al Shadr, 1965.
Djuaeni, M. Napis Kamus Kontemporer; Istilah
Politik-Ekonomi. Jakarta:
Teraju, 2005.
Gusmian, Islah.
Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003.
Katsir, ‘Imaduddin Abu al Fidai Ismail bin Umar Ibnu Tafsir
al Qur’an al Karim. Beirut:
Dar al Maktabah al Ilmiyah, 1998.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif,
Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000
Rahman, Fazlur Major Themes of The Qur’an. Bandung:
Pustaka, 1983.
Saleh, H. Ahmad Syukri. Metodologi Tafsir
Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jakarta: Gaung Persada press, 2007.
Shihab, M. Quraish. Rasionalitas Al Qur’an; Study
Kritis atas Tafsir al Manar.Jakarta: Lentera Hati, 2006.
--------, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan. Bandung:
Mizan, 1999.
Syurbasyi, Ahmad. Study Tentang Sejarah
Perkembangan Tafsiral Qur’an al Karim (Qishshatut Tafsir). Terj. Zufran
Rahman. Jakarta:
Kalam Mulia, 1999.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung,
1989.
Zakaria, Abu Hasan Ahmad bin Faris bin Mu’jam Maqayis al Lugah. Kairo: Dar al
Fikr, 1972.
[1] Lihat al Alusi, Ruh al Ma’ani fi Tafsir al
Qur’an al Adhim wa al Sab’ al matsani (Beirut: Dar Ihya al Turats al ‘Arabi, tt),
jil. IV, hal. 145.
[2]
Pendekatan tafsir di sini dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari
proses tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja
melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda.
[3]
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia
dari Hermeneutika hinga Ideologi (Jakarta:
Teraju, 2003), hal. 248.
[4] Lihat misalnya M. Quraish Shihab,
Rasionalitas Al Qur’an; Study Kritis atas Tafsir al Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 51-55
ketika ia menampilkan corak pemikiran Muhammad Abduh yang sangat menentang
taklid
[5] Lihat QS. Al Isra’ : 106. dan Ibnu Asyur, Tafsir
al Tahrir wa al Tanwir (Beirut: Dar al Shadr, 1965), jil. VIII, hal. 319.
[6] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), Edisi II, hal. 458.
[7] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian
Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,
2000), Edisi IV, hal. 263-264
[8] H. Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir
Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta: Gaung Persada press, 2007), hal. 58.
pengertian yang sama dapat dilihat pada Ahmad Syurbasyi, Study Tentang
Sejarah Perkembangan Tafsiral Qur’an al Karim (Qishshatut Tafsir). Terj.
Zufran Rahman (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), hal. 233.
[9]
M. Napis Djuaeni, Kamus Kontemporer; Istilah Politik-Ekonomi (Jakarta: Teraju, 2005),
cet. I, hal. 253.
[10]
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989),
hal. 185
[11]
Abu Hasan Ahmad bin Faris nin Zakaria, Mu’jam Maqayis al Lugah (Kairo:
Dar al Fikr, 1972), jil. III, hal. 117.
[12]
Lihat pengertian tafsir bil ra’yi secara lengkap pada Muhammad Husain al
Dzahabi, al Tafsir wa al Mufassirun (
[13] Islah Gusmian, Op.Cit, hal. 285.
[14]
Mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, para ulama
berbeda pendapat. As Suyuti misalnya, menyebutkan lima belas macam ilmu yang harus dimiliki
oleh seorang mufassir. Namun secara umum dan pokok dapat disimpulkan senagai
berikut : a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; b)
pengetahuan tentang ilmu-ilmu al Qur’an, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi,
dan ushul fiqh; c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; d)
pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Lihat M.
Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
(Bandung: Mizan, 1999), cet. XIX, hal. 79.
[15]
Alasan-alasan dari kedua kelompok tersebut dapat dilihat pada Muhammad Abdul Adhim al Zarqany, Manahilul
‘Irfan (Kairo: al Maktabah al
Taufiqiyah,tt), jil. II, hal. 56.
[16]
Di sini juga perlu diperjelas perbedaan antara tafhim al Qur’an dan tafsir al
Qur’an, sebab tafhim al Qur’an atau memahaminya boleh dilakukan oleh siapa saja
selama ia dapat mempertanggungjawabkan dan sifatnya individual, sedangkan
tafsir al Qur’an merupakan sebuah upaya untuk menyingkap makna al Qur’an lebih
dalam. Oleh karenanya penafsiran ini membutuh kriteria dan persyaratan yang
harus terpenuhi agar sang penafsir tidak terjerumus masuk ke dalam
lembahkesalahpahaman.
[17]
Lihat selengkapnya pada H. Ahmad Syukri Saleh, Op.Cit. hal. 128. dan Ahmad
Syurbasyi, Op.Cit, hal. 254.
[18]
Yunus Hasan Abidu, Tafsir al Qur’an; Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir
(Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007), hal. 83
[19]
Ahmad Syurbasyi, Op.Cit, hal. 253
[20]
‘Imaduddin Abu al Fidai Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al
Karim Beirut:
Dar al Maktabah al Ilmiyah, 1998), jil. VIII, hal. 481. Penafsiran ala Ibnu
Abbas di atas dianggap oleh sebagian ulama tidak termasuk tafsir kontekstual
tetapi ia merupakan salah satu bentuk tafsir implikasi, artinya Ibnu Abbas
memahami ayat tersebut sebagai sebuah akibat dari perjuangan seseorang, jika
tugasnya telah selesai maka usianya tidak lama lagi, demikian pula dengan
Rasulullah. Akan tetapi penulis tetap mengkategorikan contoh tersebut sebagai
salah satu bentuk tafsir kontekstual karena sekalipun hal tersebut dianggap
sebagai pemahaman implikasi kasus tetapi pemahaman seperti itu terjadi jika di
dahului oleh pemahaman kontekstual.
[21]
M. Quraish Shihab, Op.Cit, hal. 76
[22]
Lihat pendapat asy Syathibi : “Tidak dibenarkan seseorang hanya memerhatikan
bagian dari suatu pembicaraan kecuali pada saat dia bermaksud memahami arti
lahiriah dan satu kesatuan kata menurut etimologi, bukannya menurut maksud
pembicaranya. Kalau arti tersebut tidak dipahami, maka dia harus segera kembali
memperhatikan seluruh pembicaraan.” Asy Syathibi, al Muwafaqat (Beirut:
Dar al Ma’arif, 1975), cet. II, hal 414. Lihat juga M. Quraish Shihab, Rasionalitas
al Qur’an; Study Kritis atas Tafsi al Manar (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 27
[23]
H. Ahmad Syukri Saleh, Op.Cit, hal. 128
[24]
Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an (Bandung: Pustaka,
1983), hal. 70
[25]
Said Agil Husain al Munawar, Al Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Ciputat:
Ciputat Press, 2005), hal. 93.
[26]
Abdul Hayyi al Farmawi, al Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’I Dirasah
Manhajiyah Maudhu’iyah, penerjemaha: Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hal. 23.
[27]
H. Ahmad Syukri Saleh, Op.Cit, hal, 45
[28]
Timbal-balik artinya melihat bagaimana pemahaman ayat dari seorang mufassir dengan
mufassir lain yang kemudian ditelusuru sisi persamaan dan perbedaannya.
[29]
Ilmu-ilmu al Qur’an terbagi tiga, pertama, ilmu yang tidak diajarkan
Allah pada seseorangpun dari makhluk-Nya, seperti pengetahuan tentang zat-Nya. Kedua,
ilmu yang hanya diajarkan pada Nabi dan orang-orang tertentu, seperti
tentang awal surat.
Ketiga, ilmu yang diajarkan kepada Nabi dan diperintahkan untuk
mempelajarinya. Lihat Muhammad Abdul
Adhim al Zarqany, Op.Cit, hal. 57. dan Said Agil Husain al Munawar, Al
Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Ciputat: Ciputat Press, 2005),
hal. 87
[30]
Misalnya kata عين yang dapat berarti mata sebagai alat
penglihatan, emas, mata-mata, dan mata air. Namun pada ayat 18 surat al Insan: عينا فيها تسمى
سلسبيلا “sebuah mata air yang
ada di syurga disebut salsabil”, jika lafadz ‘ain tidak diartikan dengan mata
air maka secara otomatis penafsiran tersebut akan jauh dari tujuannya, dan
untuk mengetahui hal tersebut harus juga dipertimbangkan aspek sosial dan tema
pembicaraan ayat
[31]
Ceramah H. Muin Salim pada perkuliahan tafsir hadis khusu fakultas Ushuluddin
UIN Alauddin Makassar simester V tgl; 23 Agustus 2007
1 komentar:
Dipasaran banyak jenis2 Tafsir AQ, tapi tidak jelas apakah itu Tarjamah, Tarjamah Tafsiriah, Tafsir Textual, Tafsir Contextual. Bisakah Penulis memuat Daftar Tafsir beserta metoda Tasfirnya ?
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....