Oleh : Muhammad Agus, S.Th.I, M. Th. I
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara universal, manusia adalah makhluk Allah yang memiliki
potensi kemakhlukan yang paling bagus, mulia, pandai, dan cerdas. Mereka
mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan dan mengembankan titah-titah
amanat-Nya serta memperoleh kasih sayang-Nya yang sempurna.[1]
Sebagai wujud kesempurnaannya, manusia diciptakan oleh Allah
setidaknya memiliki dua tugas dan tanggung jawab besar. Pertama, sebagai
seorang hamba ('abdulla>h)[2]
yang berkewajiban untuk memperbanyak ibadah kepada-Nya sebagai bentuk tanggung
jawab 'ubudiyyah terhadap Tuhan yang telah menciptakannya.[3]
Kedua, sebagai khali>fatulla>h yang memiliki jabatan ilahiyah
sebagai pengganti Allah dalam mengurus seluruh alam.[4]
Dengan kata lain, manusia sebagai khali>fah berkewajiban untuk
menciptakan kedamaian, melakukan perbaikan, dan tidak membuat kerusakan, baik
untuk dirinya maupun untuk makhluk yang lain.[5]
Tugas dan tanggung jawab itu merupakan amanat ketuhanan yang
sungguh besar dan berat. Oleh karena itu, semua yang ada di langit dan di bumi
menolak amanat yang sebelumnya telah Allah tawarkan kepada mereka. Akan tetapi,
manusia berani menerima amanat tersebut, padahal ia memiliki potensi untuk
mengingkarinya.
Terjemahnya:
"Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh" [6]
Ibn 'Abba>s sebagaimana dikutip oleh Ibn Kas\i>r dalam
tafsirnya "Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m" menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan amanat pada ayat di atas adalah ketaatan dan
penghambaan atau ketekunan beribadah.[7]
Ada juga yang memaknai kata amanah sebagai al-takli>f atau
pembebanan, karena orang yang tidak sanggup memenuhinya berarti membuat utang
atas dirinya. Adapun orang yang melaksanakannya akan memperoleh kemuliaan.[8]
Dari sekian banyak penafsiran ulama tentang amanah, dapat
ditarik sebuah "benang merah" yang dapat menghubungkan antara satu
dengan yang lain, yaitu al-mas'u>liyyah (tanggung jawab) atas
anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia, baik berupa jabatan (hamba
sekaligus khalifah) maupun nikmat yang sedemikian banyak. Dengan kata lain,
manusia berkewajiban untuk menyampaikan "laporan pertanggungjawaban"
di hadapan Allah atas limpahan karunia Ilahi yang diberikan kepadanya. Hal ini
juga berarti bahwa pemimpin bukan hanya orang yang memiliki jabatan
organisasi/instansi dan atau lembaga tertentu tetapi setiap manusia adalah
pemimpin skala paling kecil.
Hanya saja, sejak dahulu banyak
orang yang berpendirian bahwa kepemimpinan itu tidak dapat dipelajari. Sebab
kepemimpinan adalah suatu bakat yang diperoleh sebagai kemampuan istimewa yang
dibawa sejak lahir. Jadi, sebagian orang mengatakan bahwa memang tidak ada dan
tidak diperlukan teori kepemimpinan. Suksesnya kepemimpinan itu disebabkan oleh
keberuntungan seorang pemimpin yang memiliki bakat alami yang luar biasa,
sehingga ia memiliki kharisma dan kewibawaan untuk memimpin massa yang ada di
sekitarnya.
Dalam
perkembangannya, pemikiran tersebut secara lambat laun tergeser dengan
pemikiran bahwa kepemimpinan itu terjadi secara ilmiah bersamaan dengan
pertumbuhan/managemen ilmiah yang dipelopori oleh seorang ilmuan Frederick W.
Taylor pada awal abad ke-20 yang kemudian hari berkembang menjadi satu disiplin
ilmu.[9]
Sebagai umat
yang beragama Islam, kepemimpinan yang diidamkan adalah kepemimpinan yang
sesuai dengan arahan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai sumber utama hukum Islam.
Salah satu hadis yang populer tentang kepemimpinan adalah:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالإِِمَامُ رَاعٍ
وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ
عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ.[10]
Artinya:
“Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah
pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Setiap
kepala negara adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinan
(rakyatnya), setiap perempuan/ ibu adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya
dan anak- anaknya, ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang hamba
sahaya adalah pemimpin bagi harta tuannya dan bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan masing-
masing bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
Kutipan hadis di atas memberikan sebuah
gambaran jelas bahwa pada dasarnya pemimpin dan kepemimpinan merupakan sebuah sunnatulla>h yang telah melekat pada
setiap pribadi. Ia adalah sesuatu yang mutlak ada dalam setiap lini kehidupan,
baik individual maupun dalam kaitannya dengan orang lain. Pemimpin dan
kepemimpinan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, meskipun kedua istilah
ini berbeda defenisi. Namun, seorang pemimpin pasti memiliki kepemimpinan dan
setiap kepemimpinan pasti memiliki seorang pemimpin.
Hadis-hadis
yang senada dengan hal tersebut banyak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, hanya
saja hadis Nabi saw. yang sampai kepada kaum muslimin saat ini dengan berbagai
bentuk dan coraknya,[11]
kadang-kadang bertentangan atau tidak sesuai dengan konteks zaman dan pemikiran
modern.[12]
Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mendudukan hadis Nabi saw. tersebut pada
porsi yang semestinya, dengan jalan mengkaji secara kritis dan akurat.
Dalam
kaitannya dengan upaya pemahaman hadis ini, diperlukan pengetahuan yang
mendalam segala segi yang berkaitan dengan pribadi Nabi saw. dan suasana yang
melatari terjadinya hadis. Mungkin saja, suatu hadis lebih tepat dipahami
secara tekstual, sedang hadis lainnya lebih tepat dipahami secara kontekstual.
Pemahaman dan penerapan secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan
telah dihubungkan dengan segala segi yang berhubungan dengannya. Sebaliknya,
pemahaman hadis secara kontekstual dilakukan bila dibalik teks suatu hadis itu
ada petunjuk yang kuat mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan
diterapkan tidak sebagaiman makna tekstualnya.[13]
Oleh
karena itu, sangat penting untuk mengatahui apa sebenarnya hakikat
kepemimpinan, kriteria, urgensi dan semua hal yang terkait dengannya. Salah
satu cara untuk mengetahui hal tersebut adalah kembali mengkaji istilah-istilah
yang muncul dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun dalam makalah ini, penulis
mencoba membahas kepemimpinan dari perspektif hadis-hadis Nabi saja.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, dapat dibuat pokok masalah bagaimana pandangan hadis
Rasulullah saw. terhadap kepemimpinan dengan sub masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang
dimaksud dengan kepemimpinan/leadership?
2.
Apa saja
kriteria kepemimpinan dalam hadis?
3.
Bagaimana
bentuk tanggung jawab pemimpin dalam pandangan hadis?
C.
Takhri>j
al-H{adi>s\
1.
Pencarian hadis
kepemimpinan
Dalam
mencari dan menelusuri hadis-hadis yang terkait dengan kepemimpinan, penulis
menggunakan salah satu metode dari lima metode takhri>j al-H}adi>s\,[14]
yaitu melalui lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis dengan merujuk kepada
kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadi>s\ karya A.J.
Wensick yang dialihbahasakan oleh Muh{ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>.[15]
Berikut ini
disebutkan penjelasan A.J. Wensinck mengenai letak dari masing-masing hadis tersebut
dalam karyanya "al-Mu'jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s\
al-Nabawi>":
a.
Term رعية
كلكم راع وكلكم
مسؤول عن رعيته ........ خ جمعة 11، جنائز 32، استقراض 20، وصايا 9، عتق 17، 19،
نكاح 81، 90، أحكام 1،، م إمارة 20،، د إمارة 1، 13،، ت جهاد 27،، حم 2، 5، 54، 55108، 111، 121.
ما من عبد
استرعاه الله رعية فلم......خ أحكام8، م إيمان227، 228، إمارة21، دى رقاق77، حم2:
15، 5: 25، 27.
فإن الله سائلهم
عما استرعاه خ: أنبياء50، م: إمارة44، ت: جهاد27، حم: 3: 297.[16]
b.
Term إمارة
بعث رسول الله بعثا وأمر عليهم.... خ:
أحكام 33، شركة1، مغازي42، 87، فضائل الصاحة17، رقاق7، أيمان3، م: فضائل الصحابة3،
زهد6، د: طلاق39، جهاد93، 105، 112، أطعمة46، ت: جهاد26، جه: جهاد40، فتن18، ط:
صفة النبي24، حم: 2: 294، 310، 3: 67، 306، 311، 4: 137،
327، 437.
إن أمر عيكم عبد مجدع.... م: إمارة37،
حج311، ت: جهاد28، جه: جهاد39، حم: 4: 70، 5: 381، 6: 402،
403. إذا خرج ثلاثة فى سفر فليؤمروا أحدهم د: جهاد80. إذا وسد الأمر إلى غير
أهله خ: علم2.
لا تسأل الإمارة فإنك إن أعطيتها
عن.... خ: أحكام5، 6، أيمان1، كفارات10، م: إمارة13، إيمان19، د: إمارة92، ت:
نذور5، ن: قضاة5، دي: نذور9، حم: 5: 62، 63.[17]
c.
Term إمامة
الإمام
راع ومسؤول عن رعيته ........ خ 11، إستقراض 20، عتق 19، وصايا 9، نكاح 81، أحكام
1،، ت أحكام 6، حم 3، 191.
سبعة
يظلهم الله..عادل، خ: زكاة16، حدود19، م: زكاة91، ت: أحكام4، جنة2، زهد53، ن:
قضاة2، ج: صيام48، ط: شعر14، حم: 2: 305، 439، 444، 445.
الأئمة
من قريش إن لهم....حم: 3: 129، 183، 4: 421. خيار أئمتكم الذين
تحبون....وشرار أئمتكم....م: إمارة65، 66، دي: رقاق78، حم: 6: 24، 28.[18]
d.
Term خلافة
خلف رسول الله....علي بن أبى طالب....تخلفنى م: فضائل
الصحابة31، 32، حم: 3: 338، ت: مناقب30.[19]
2.
Klasifikasi
hadis kepemimpinan
Setelah
melakukan penelusuran hadis-hadis tentang amanah berdasarkan petunjuk dalam dua
kitab tersebut, penulis melakukan klasifikasi hadis dengan mengumpulkan
hadis-hadis sesuai dengan isi dan kandungannya dalam sub bab tertentu sebagai
berikut:
a. Pengertian Kepemimpinan
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ أَخْبَرَنَا
أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ، فَالأَمِيرُ
الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ
عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ
مَسْئُولٌ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ.[20]
Artinya:
Al-Bukha>ri> berkata, diriwayatkan
kepada kami oleh Isma>‘i>l, dikabarkan kepada kami oleh Ayyu>b dari
Na>fi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi saw. bersabda: Setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Kepala
negara adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya, Setiap suami
adalah pemimpin terhadap keluaganya dan bertanggung jawab terhadapnya, setiap
istri adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Seorang hamba/pelayan adalah pemimpin bagi harta tuannya dan
bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah
pemimpin dan masing-masing bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
b. Kriteria Kepemimpinan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَلِيٍّ أَبِي الأَسَدِ قَالَ: حَدَّثَنِي بُكَيْرُ بْنُ
وَهْبٍ الْجَزَرِيُّ قَالَ: قَالَ لِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا
مَا أُحَدِّثُهُ كُلَّ أَحَدٍ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَامَ عَلَى بَابِ الْبَيْتِ وَنَحْنُ فِيهِ فَقَالَ: الأَئِمَّةُ مِنْ
قُرَيْشٍ إِنَّ لَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا وَلَكُمْ عَلَيْهِمْ حَقًّا مِثْلَ
ذَلِكَ مَا إِنْ اسْتُرْحِمُوا فَرَحِمُوا وَإِنْ عَاهَدُوا وَفَوْا وَإِنْ
حَكَمُوا عَدَلُوا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ
اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.[21]
Artinya:
Ah}mad
berkata: diriwayatkan kepada kami oleh Muh}ammad ibn Ja‘far, diceritakan kepada
kami oleh Syu‘bah dari ‘Ali> Abi> al-Asad berkata: diceritakan kepadaku
oleh Bukair ibn Wahab al-Jazari>, Anas ibn Ma>lik berkata kepadaku: Aku
ceritakan kepadamu sebuah hadis di mana tidak semua orang saya ceritakan bahwa
Rasulullah saw. berdiri di hadapan baitullah bersama kami lalu beliau bersabda
:Para pemimpin itu adalah dari suku Quraisy. Sesungguhnya mereka mempunyai hak
atas kamu dan kamu juga mempunyai hak yang sama atas mereka, selagi mereka
diminta mengasihi, maka mereka akan mengasihi, jika berjanji mereka akan
menepati (janji itu) dan jika menghukum mereka berlaku adil. Maka barang siapa
di antara mereka yang tidak berbuat hal yang demikian, maka laknat Allah,
malaikat dan manusia seluruh atas mereka”.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ سِنَانٍ
قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ (ح) وَحَدَّثَنِي إِبْرَاهِيْمُ بْنُ الْمُنْذٍِرِ
قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ
حَدَّثَنِي هِلاَلٌ بْنُ عَلِيِّ عَنْ عَطَاءٍ بْنِ يَسَارٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فى
جَلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ حَدِيثًا ، جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: مَتَى
السَّاعَةُ؟ فَمَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ،
فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ، وَقَالَ
بَعْضُهُمْ: بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ، قَالَ: أَيْنَ
السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟ قَالَ: هَا أَنَا ذَا يَا رَسُولَ اللهِ ، قَالَ:
فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ
إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الأَمْرَ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ.[22]
Artinya:
“Al-Bukha>ri> berkata:
Diriwayatkan kepada kami oleh Muh{ammad ibn Sina>n, diceritakan kepada kami
oleh Fulaih{ dan diceritakan kepadaku oleh Ibra>hi>m ibn al-Munz\ir,
diceritakan kepada kami oleh Muh{ammad ibn Fulaih{, diceritakan kepadaku oleh
ayahku (yang keduanya) dicertikan kepadaku oleh Hila>l ibn ‘Ali> dari ‘At{a>’
ibn Yasa>r dari Abi> Hurairah berkata, ketika Rasulullah sedang memberikan pengajian dalam
suatu majlis, datanglah seorang pedalaman seraya bertanya “Kapan hari kiamat?”
akan tetapi Rasulullah tetap melanjutkan pengajiannya, sebagian hadirin berkata
bahwa Rasulullah mendengar pertanyaannya akan tetapi tidak suka. Sebagian
yang lain berkata bahwa Rasulullah tidak mendengarnya. Setelah Rasulullah
selesai pengajian, beliau bertanya “Mana orang yang bertanya tentang hari
kiamat?” Saya wahai Rasulullah, lalu beliau menjawab “Jika amanah sudah
disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”, orang tersebut bertanya lagi
“Bagaimana menyia-nyiakan amanah” Rasulullah menjawab “Apabila suatu urusan
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat."
حَدَّثَنَا عَبْدُالْمَلِكِ بْنُ
شُعَيْبٍ بْنِ الَّليْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبٍ ابْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي
اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيْدُ بْنُ أَبِي حُبَيْبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ
عَمْرٍو عَنِ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيْدِ الْحَضْرَمِي عَنِ ابْنِ حُجَيْرَةَ
الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا
رَسُوْلَ الله أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي
ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفُ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا
وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا.[23]
Artinya:
Muslim
berkata: Diceritakan kepada kami oleh ‘Abd al-Malik ibn Syu‘aib ibn al-Lais\,
diceritakan kepadaku oleh Ayahku Syu‘aib ibn al-Lais\, diceritakan kepadaku
oleh al-Lais\ ibn Sa‘ad, diceritakan kepadaku oleh Yazi>d ibn Abi>
H}ubaib dari Bakar ibn ‘Amar dari al-H{a>ris\ ibn Yazi>d al-H{ad}rami>
dari Ibn H{ujairah al-Akbar dari Abu> Z|ar, “Saya berkata kepada Rasulullah,
wahai Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku menjadi pejabat, lalu Rasulullah
menepuk pundaknya seraya berkata “wahai Abu> Z|arr, sesungguhnya engkau
lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah dan merupakan kehinaan serta
penyelasan pada hari kiamat nanti kecuali bagi orang yang mendapatkannya dengan
hak serta melaksanakannya dengan baik dan benar”.
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ الْحَنْظَلِي أَخْبَرَنَا عِيْسَى بْنُ يُوْنُسَ
حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِي عَنْ يَزِيْدِ بْنِ يَزِيْدِ بْنِ جَابِرٍ عَنْ رَزِيْقِ
بْنِ حَيَّانٍ عَنْ مُسْلِمٍ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ: عَنْ
رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ
الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ
وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ
وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتُلْعِنُوْنَهُمْ وَيُلْعِنُوْنَكُمْ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ
اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ
الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تُكْرِهُوْنَهُ
فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ.[24]
Artinya:
Muslim berkata: Diceritakan
kepada kami oleh Ish{a>q ibn Ibra>hi>m al-H{anz}ali>, diberitakan
kepada kami oleh “I<sa> ibn Yu>nus, diceritakan kepada kami oleh
al-Auza>‘i> dari Yazi>d ibn Yazi>d ibn Ja>bir dari Razi>q ibn
H{ayya>n dari Muslim ibn Qaraz{ah dari ‘Auf ibn Malik, dari Rasul saw.
Bersabda “sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang yang mencintai kalian begitu
pula sebaliknya dan mereka selalu mendoakan kalian dan kalian juga selalu
mendoakan mereka, dan sejela-jeleknya pemimpin kalian adalah yang kalian benci
dan mereka juga membernci kalian dan kalian melaknat mereka begitu pula
sebaliknya, Rasul ditanya: apakah mereka boleh diperengi? Rasul menjawab tidak
selama masih mengerjakan shalat dan jika kalian melihat pada diri mereka sesuatu
yang tidak disukai maka bencilah pekerjaannya dan jangan kalian membangkan”.
حَدَّثَنَا
خَالِدٌ بْنُ مُخْلِدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللهِ
ابْنُ دِينَارٍ عَنِ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:
بَعَثَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثًا وَأَمَّرَ
عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَطَعَنَ بَعْضُ النَّاسِ فِي إِمَارَتِهِ ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ تَطْعَنُوا فِي
إِمَارَتِهِ فَقَدْ تَطْعَنُونَ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ وَايْمُ اللهِ
إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلإِِمَارَةِ وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ
إِلَيَّ وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ.[25]
Artinya:
Al-Bukha>ri>
berkata: Diceritakan kepada kami oleh Kha>lid ibn Mukhlid, diceritakan
kepada kami oleh Sulaima>n, diceritakan kepadaku oleh ‘Abdullah ibn
Di>na>r dari ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: Nabi saw. mengutus utusan dan
Nabi mengangkat Usa>mah ibn Zaid sebagai panglimanya, sebagian sahabat
mencaci kepemimpinan atau tidak senang dengan kepemimpinannya, kemudian Nabi
bersabda: jika kalian mencaci dari segi kepemimpinannya maka sungguh kalian
mencaci kepemimpinan ayahnya dulu. Demi Allah Sungguh dia tercipta sebagai
pemimpin dan sungguh ayahnya termasuk orang yang paling aku cintai dan sungguh
anak ini adalah orang yang paling aku cintai setelahnya”.
c.
Tanggung jawab
pemimpin
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ أَخْبَرَنَا
أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ، فَالأَمِيرُ
الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ
رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى
بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ
مَسْئُولٌ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ.[26]
Artinya:
Al-Bukha>ri> berkata,
diriwayatkan kepada kami oleh Isma>‘i>l, dikabarkan kepada kami oleh
Ayyu>b dari Na>fi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi saw. bersabda: Setiap kalian
adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
Kepala negara adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya, Setiap
suami adalah pemimpin terhadap keluaganya dan bertanggung jawab terhadapnya,
setiap istri adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab
atas kepemimpinannya. Seorang hamba/pelayan adalah pemimpin bagi harta tuannya
dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Ketahuilah bahwa setiap kalian
adalah pemimpin dan masing-masing bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
3.
‘Itiba>r
hadis kepemimpinan
Sebagai
eksperimen tentang langkah-langkah kritik hadis dan hal-hal yang terkait
dengannya, maka pemakalah menentukan salah satu hadis sebagai objek kajian,
yaitu hadis tentang kullukum ra>‘in sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ،
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ
رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ.[27]
Dari hasil takhri>j
dan klasifikasi hadis tersebut di atas akan dilakukan i’tiba>r.[28]
Melalui i’tiba>r, akan terlihat dengan jelas seluruh sanad hadis, ada
atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus sya>hid atau muta>bi’.[29]
Demikian juga nama-nama periwayatnya dan metode periwayatan yang digunakan oleh
masing-masing periwayat yang bersangkutan. Namun makalah ini hanya mengkritik
hadis pertama tentang pemberian kepada tetangga sebagai sampel terhadap
hadis-hadis yang lain.
Jika ditelusuri
lebih jauh tentang hadis tersebut dalam al-kutub al-tis‘ah ditemukan
beberapa riwayat, antara lain 6 riwayat dalam S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>, 1 riwayat dalam S}ah}i>h} Muslim, 1 riwayat
dalam Sunan al-Turmuz\i>, 1 riwayat dalam Sunan Abu> Da>wud dan
4 dalam Musnad Ah}mad.[30]
Dengan
demikian, hadis yang menjadi objek kajian dalam makalah ini memiliki 13 sanad.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah skema sanad seluruh hadis tentang kullukum
ra>‘in:
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kritik Hadis
- Kritik Sanad Hadis
Berbicara mengenai penelitian dan
kritik hadis setidaknya obyek kajiannya dapat dibagi dua, yaitu: pertama,
rangkaian terhadap sejumlah periwayat yang menyampaikan riwayat hadis (sanad
al-h{adi>s\|). Kedua, materi hadis itu sendiri (matn al-hadi>s\).
Penelitian terhadap kedua obyek tersebut sangat berpengaruh kepada kualitas
suatu hadis. Apatah lagi memang, kesahihan hadis tidak hanya diukur dari
sanadnya atau matannya saja melainkan keduanya harus jalan bersamaan.
Kritik sanad dan kritik matan ibarat dua sisi mata uang,
sehingga tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan, sebab sesuatu disebut
hadis jika terdiri dari sanad dan matan. Karena itulah –sekali lagi- penelitian
terhadap hadis, tidak boleh hanya bertumpu pada sanadnya saja atau pada
matannya saja, akan tetapi keduanya harus jalan “berbarengan” sehingga
seseorang dapat bersikap proporsional dengan meletakkan hadis pada tempatnya
sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.[31]
Sistem
sanad merupakan keistimewaan tersendiri bagi umat Islam, sementara
umat-umat-umat sebelum Islam tidak memiiliki sistem ini. Karenanya otentisitas kitab-kitab samawi mereka tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Begitu pula ajaran-ajaran yang asli dari para Nabi
mereka juga tidak ditulis dalam kitab-kitab yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.[32]
Karena
demikian luhurnya nilai sanad, maka para ulama mengatakan bahwa pemakaian sanad
itu merupakan symbol umat Islam. Sufyan al-Sauri (w. 161 H) mengatakan bahwa
sistem sanad ini merupakan senjata bagi orang-orang mukmin.[33]
Sementara ‘Abdullah ibn Mubarak (w. 181 H) mengatakan bahwa sistem sanad itu
merupakan bagian dari agama Islam. Tanpa adanya sistem sanad, setiap orang
dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.[34]
Urgensi
sanad ini akan lebih tampak ketika meneliti para periwayat hadis dalam rentetan
suatu sanad. Karena dengan meneliti sanad dapat diketahui apakah silsilah para
periwayat itu bersambung sampai kepada Nabi saw atau tidak. Dapat diketahui
pula, apakah masing-masing periwayat itu dapat dipertanggungjawabkan
pemberitaannya atau tidak. Dan akhirnya dapat diketahui apakah hadis yang
diriwayatkan itu dapat dinilai sebagai hadis yang sahih (otentik), hasan
(baik), atau d}a’i>f (lemah) bahkan maud}u>’ (palsu).
Oleh
karena itu, untuk meneliti hadis termasuk meneliti sanadnya diperlukan sebuah
acuan. Acuan yang digunakan adalah kaidah kesahihan hadis bila ternyata hadis
yang diteliti bukanlah hadis mutawatir.[35]
Kaidah kesahihan hadis telah muncul benih-benihnya pada zaman Nabi saw dan
sahabatnya. Bahkan Ima>m al-Sya>fi’iy (w. 204 H) memperjelas benih-benih
kaidah itu dalam bentuk kaidah riwayat hadis ahad.
Menurutnya,
bahwa riwayat hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah (dalil), kecuali memenuhi
dua syarat; pertama, hadis tersebut diriwayatkan oleh orang s\iqah (‘a>dil
dan d}a>bit}), dan yang kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai
kepada Rasulullah saw.[36]
Kaidah
di atas disempurnakan oleh ulama hadis berikutnya (muta’akkhiri>n);
antara lain pernyataan Ibn al-S{ala>h} (w. 643 H) dalam rumusan kaidah
kesahihan hadis.[37]
Ia menyatakan bahwa hadis sahih adalah hadis yang musnad yang sanadnya
bersambung sampai akhir sanad, melalui periwayat yang ‘a>dil dan d}a>bit},
tidak mengandung sya>z\ (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).
Berdasarkan
pernyataan kedua tokoh hadis di atas, maka dapat dirumuskan bahwa unsur-unsur
kaidah kesahihan hadis ada tiga butir, yaitu; 1) sanad hadis yang bersangkutan
harus bersambung, mulai dari mukharrij-nya sampai kepada Nabi saw.; 2)
seluruh periwayat dalam hadis itu harus bersifat ‘a>dil dan d}a>bit};
3) hadis itu (sanad dan matannya) terhindar dari kejanggalan (sya>z\)
dan cacat (‘illat).
Oleh
karena itu, untuk memulai kritik sanad ini, maka terlebih dahulu diawali dengan penjelasan biografi
serta pendapat para kritikus hadis mengenai perawi-perawi hadis tersebut yang
dapat dilihat sebagai berikut:
a.
Ah{mad ibn H{anbal
bernama lengkap Ah{mad ibn Muh{ammad ibn
H{anbal ibn Hila>l ibn Asad ibn Idri>s ibn ‘Abdillah al-Syaiba>ni
al-Marwazi>. Dia lahir pada bulan Rabi>’ al-Awwal tahun 164 H. di
Bagda>d. Ada juga yang berpendapat di Marwin dan wafat pada hari Jum’at
bulan Rajab 241 H.[38]
Dia adalah seorang muh{addis\ sekaligus mujtahid. Dia menghafal kurang lebih 1
juta hadis dan pernah berguru kepada al-Sya>fi‘i>. Dialah penyusun kitab Musnad
Ah}mad.[39]
b.
Isma>‘i>l
ibn ‘Aliyah bernama lengkap Isma>‘i>l ibn
‘Aliyah ibn Ibra>hi>m ibn Saham ibn Muqsim Abu> Basyar al-Bas}ri>.
Dia wafat pada tanggal 13 Z|u> al-Qa‘dah 193 atau 194 H.[40]
Di antara gurunya adalah Ayyu>b ibn Mu>sa>, sedangkan muridnya
antara lain adalah Ah{mad ibn H{anbal.
c.
Ayyu>b ibn
Mu>sa>. Nama lengkapnya adalah Ayyu>b ibn Mu>sa> ibn ‘Amr
al-Qurasyi>. Ia wafat pada masa pemerintahan Khali>fah Abu> Ja’far
tahun 132 H. Guru-gurunya antara lain al-Aswad ibn al-‘Ala>’, Na>fi’
maula> ibn ‘Umar, Kha>lid ibn Kas\i>r. Murid-muridnya antara
lain Isma>‘i>l ibn ‘Aliyah, Ru>h} ibn al-Qa>sim,
al-D{aha>k ibn ‘Us\ma>n. ‘Abdullah ibn Ah}mad menilainya s\iqah,
demikian juga dengan pendapat Abu> Zur‘ah dan al-Nasa>’i.
d.
Na>fi‘. Ia
adalah salah seorang keluarga Ibn ‘Umar. Dikatakan bahwa ia berasal dari negara
Magrib (Maroko). Ia wafat tahun 119 H. Guru-gurunya antara lain Ibra>him ibn
‘Abdillah, Ibn ‘Umar, Mugi>rah ibn H{aki>m. Murid-muridnya antara
lain Ayyu>b ibn Mu>sa>, Isma>‘il ibn ‘Umayyah, H{assa>n
ibn ‘At}iyyah. Al-‘Ajali> Madani> mengatakan ia s\iqah, demikian
juga pendapat Ibn Kharra>sy dan al-Nasa>’i.
e.
Ibn ‘Umar. Nama
lengkapnya adalah ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khat}}t}a>b al-Qurasyi>. Ia
telah memeluk Islam pada saat kecilnya.Ia wafat tahun 74 H.Guru-gurunya antara
lain Nabi saw., Bila>l, Zaid ibn S|a>bit. Murid-muridnya antara
lain Na>fi’, Bisr ibn Sa‘i>d, al-H{asan ibn Suhail.
Setelah melihat biografi para perawi dalam semua rentetan
sanad yang ada maka penulis menyimpulkan bahwa jalur sanad tersebut termasuk
sahih karena telah memenuhi semua kriteria kesahihan sanad hadis sebagaimana
yang disebutkan di atas.
2.
Kritik Matan Hadis
Setelah penelitian sanad,
langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah kritik matan. Hal ini dilakukna
karena terkadang ada riwayat yang tidak bisa diterima bila dianggap berasal
dari Nabi SAW, sehingga para ulama menolaknya, tanpa menghiraukan kualitas
sanadnya. Bahkan ada riwayat yang ditolak, meskipun sanadnya shahih. Inilah
yang dikatakan dengan kritik matan (kritik intern)[41].
Penelitian atau kritik matan hadis sangatlah penting untuk
menjaga kepastian validitas dan kualitas sebuah hadis yang bersumber dari
Rasulullah. Hanya saja, ulama dalam menetapkan kriteria kesahihan sebuah matan
memiliki pandangan yang beragam. Perbedaan tersebut bisa disebabkan oleh
perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan serta masyarakat
yang mereka hadapi.[42]
Perbedaan kriteria tersebut memungkinkan lahirnya perbedaan dalam
memberikan vonis terhadap kualitas suatu
hadis. Hal ini –sekali lagi- menjadi bukti pertimbangan atau alasan mengapa
penelitian ulang terhadap hadis Nabi perlu dilakukan.
Al-Khatib al-Baghdadi misalnya, sebagaimana dikutip oleh
Salahuddin al-Adlabi, mensyaratkan kesahihan matan hadis dengan beberapa unsur,
yaitu :
- Tidak bertentangan dengan hukum akal.
- Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang muh}kam. Maksudnya tidak bertentangan dengan hukum yang diambil dari al-Qur’an yang sudah bersifat kukuh dan jelas. Adapun hadis yang menafikan ayat al-Qur’an yang z}anni dalalah-nya, bukan qath’i, maka hadis tersebut tidak mesti ditolak.
- Tidak bertentangan dengan sunnah yang sudah maklum, yakni sunnah yang sudah sampai pada tingkat yang yakin, bukan z}anni (hadis mutawatir).
- Tidak bertentangan dengan praktik yang berstatus sunnah, maksudnya praktik kaum salaf yang sudah disepakati dan shahih berdasarkan keyakinan.
- Tidak bertentangan dengan dalil apapun yang bersifat mutlak.
- Tidak bertentangan dengan hadis ahad lainnya yang kualitas kesahihannya lebih kuat.[43]
Al-Adlabi sendiri, setelah menyebutkan beberapa kriteria
yang diajukan ulama, maka ia meringkas kriteria tersebut ke dalam beberapa
sub-bab, yaitu :
- Tidak bertentangan dengan al-Qur’an al-Karim
- Tidak bertentangan dengan hadis dan sirah nabawiyah yang shahih
- Tidak bertentangan dengan akal, indera atau sejarah
- Tidak mirip dengan sabda kenabian.[44]
Melihat beberapa kriteria kesahihan matan hadis dari para
ulama, baik yang telah disebutkan maupun yang tidak, maka dapat dikatakan bahwa
tampaknya tidak ada perbedaan di antara mereka. Perbedaan itu muncul hanya
dalam wilayah pengistilahannya yang pada dasarnya maksud dan tujuannya sama.
Akan tetapi, sesuai dengan defenisi dan syarat-syarat hadis
shahih yang dikemukakan ulama, yaitu : sanadnya harus bersambung, para
perawinya mesti adil dan dhabit, serta tidak ada syadz dan illat di dalamnya.
Kelimanya termasuk dalam kategori kriteria pokok kesahihan sanad hadis,
sedangkan khusus dua yang terakhir (terbebas dari syadz dan illat) termasuk
dalam kategori syarat sahihnya matan sebuah hadis.
Hanya saja untuk mengetahui matan hadis yang mengandung
syadz dan illat membutuhkan kerja keras dan tolak ukur. Karena itulah, Syuhudi
Ismail datang dengan membawa istilah yang baru, yaitu kaidah mayor dan kaidah
minor. Kaidah mayor dipahami sebagai kaidah pokok kesahihan hadis dan itulah
yang disebutkan dalam defenisi hadis. Dengan kata lain, kaidah mayor matan
hadis adalah; a) tidak ada syadz di dalamnya, b) tidak ada illat di dalamnya.
Sedangkan tolak ukur untuk mengetahui syadz dan illatnya matan hadis, itulah
yang disebut sebagai kaidah minor. Khusus untuk syadz matan hadis, kaidah
minornya adalah : a) sanad hadis bersangkutan tidak menyendiri, b) matan hadis
bersangkutan tidak bertentangan dengan matan hadis yang sanadnya lebih kuat, c)
matan hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, dan d) matan
hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan akal dan fakta sejarah.[45]
Namun seorang peneliti, bila melihat matan hadis yang tampaknya ada
pertentangan antara satu dengan yang lain atau dengan riwayat lebih kuat,
hendaknya mempertimbangkan metodologi pemahaman hadis Nabi agar tidak terjadi
“kecerobohan” dalam menilai suatu hadis[46].
Di sinilah, peranannya fiqh al-hadis atau pemahaman hadis yang baik. Karena
bisa jadi pertentangan yang tampak itu hanya dalam batas lahiriyahnya tetapi
bila di dalami lebih jauh ternyata hanya berbeda latar belakang peristiwa dan
konteksnya.
Sedangkan kaidah minor bagi matan hadis
yang mengandung illat adalah: a) matan hadis tersebut tidak mengandung idra>j
(sisipan), b) matan hadis bersangkutan tidak mengandung ziya>dah
(tambahan), c) tidak terjadi maqlu>b (pergantian lafazh atau kalimat)
bagi matan hadis tersebut, d) tidak terjadi id}t}ira>b (pertentangan
yang tidak dapat dikompromikan) bagi matan hadis tersebut, e) tidak terjadi
kerancuan lafazh dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis tersebut.[47]
Untuk mencapai kualitas matan hadis, apakah shahih ataupun
dhaif,[48]
maka perlu diadakan penelitian dan kritik matan hadis. Hanya saja, sepanjang
pengetahuan penulis, dari sekian banyak kitab-kitab hadis atau yang terkait
dengannya bisa dikatakan –seperti itulah yang diakui oleh Syuhudi Ismail- bahwa
belum ada yang menjelaskan langkah-langkah metodologis yang harus ditempuh
dalam kegiatan penelitian matan hadis.[49]
Kitab-kitab hanya menerangkan tanda-tanda yang berfungsi sebagai tolak ukur
bagi matan hadis yang shahih, dan dhaif. Walaupun demikian, apa yang telah
diterangkan oleh berbagai kitab tersebut sangat besar manfaatnya untuk
dijadikan bahan dalam rangka merumuskan langkah-langkah metodologis penelitian
matan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat diklasifikasi
langkah-langkah metodologis dalam kritik atau matan hadis sebagai berikut :
·
Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
·
Meneliti susunan lafazh berbagai matan yang semakna.
·
Meneliti kandungan matan.
·
Natijah atau menyimpulkan hasil penelitian.[50]
Dengan menempuh ketiga langkah pertama tersebut diharapkan,
segi-segi penting yang harus diteliti pada matan dapat membuahkan hasil
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara
agama.
Kaitannya dengan matan hadis di atas, pertama, bila
ditinjau dari kualitas sanadnya maka penelitian tersebut bisa dilanjutkan ke
tahap selanjutnya karena kualitasnya sudah tidak diragukan kesahihannya.
Kedua, Penelitian
matan hadis dilakukan untuk melacak apakah terjadi riwa>yah bi
al-ma’na> sehingga lafal hadisnya berbeda dengan cara membandingkan
matan-matan hadis yang semakna.
Setelah
melakukan perbandingan antara matan satu dengan matan yang lain, disimpulkan
bahwa hadis tersebut diriwayatkan secara al-ma‘na> karena matan-matan
tersebut berbeda satu sama lain meskipun kandungannya sama. Terlebih lagi ra>wi>
a‘la> (sahabat) hanya satu yaitu ‘Abdullah ibn ‘Umar.
Ketiga,
Kandungan hadis di atas yang menekankan agar bahwa
setiap individu mempunyai tanggung jawab terhadap tugasnya tidak bertentangan
dengan ayat-ayat al-Qur’an, karena banyak ayat yang juga menjelaskan tentang
hal tersebut, di antaranya adalah QS. al-Baqarah (2): 134 yang berbunyi:
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ
وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
Terjemahnya:
“Itu
adalah umat yang lalu; baginya apa yang Telah diusahakannya dan bagimu apa yang
sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang
apa yang Telah mereka kerjakan”.
Sedangkan hadis-hadis Nabi yang terkait
dengan tanggung jawab kepemimpinan juga banyak, di antaranya Allah akan meminta
pertanggungjawabn terhadap pemimpin atas orang-orang yang dipimpinnya, seperti
ungkapan Nabi:
فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ
حَقَّهُمُ الَّذِي جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ.[51]
Artinya:
“Penuhilah
janji pertama lalu yang selanjutnya, dan berikanlah mereka hak-hak mereka yang
telah Allah berikan padanya karena sesungguhnya Allah akan meminta mereka
(pemimpin) atas apa yang dipimpinnya”.
Dengan demikian, baik al-Qur’an, hadis s}ah}i>h}
lainnya maupun rasionalitas tidak bertentangan dan berseberangan dengan hadis
yang menjadi objek kajian, bahkan ketiganya mendukung kandungan hadis tersebut.
Berdasarkan argumen-argumen
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadis yang menjadi objek kajian telah
memenuhi syarat kesahihan hadis, baik dari segi sanadnya karena telah terpenuhi
tiga unsur, yakni sanad bersambung, perawi yang adil dan kuat hafalannya,
maupun dari segi matannya karena terbebas dari sya>z\ dan ‘illah,
sehingga dapat disimpulkan bahwa hadisnya s}ah}i>h} li z\a>tih.
B.
Pengertian
Kepemimpinan
Secara
harfiyah, kepemimpinan adalah perihal pemimpin atau cara memimpin. Dari kata
tersebut, kemudian para pakar memberikan defenisi tentang kepemimpinan. Ordway
Tead sebagaimana yang dikutip Kartono
mengatakan kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain agar mereka mau
bekerja untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Senada dengan Ordway, George R,
Terry juga mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang
agar mereka suka bekerja mecapai tujuan- tujuan kelompok.[52]
Kepemimpinan
merupakan sumbangan dari seseorang di dalam situasi-situasi kerjasama.
Kepemimpinan dan kelompok adalah merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
antara yang satu dengan yang lain. Tak ada kelompok tanpa adanya kepemimpinan
dan sebaliknya kepemimpinan hanya ada dalam situasi interaksi kelompok.
Seseorang tidak dapat dikatakan pemimpin jika ia berada di luar kelompok, ia
harus berada di dalam suatu kelompok
dimana ia memainkan peranan-peranan dan kegiatan-kegiatan kepemimpinan.[53]
Secara
umum defenisi kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai sebuah kemampuan dan
kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong,
mengajak, menuntun, menggerakkan, mengarahkan dan kalau perlu memaksa orang
atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu
yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Di
samping memahami makna kepemimpinan, penting juga memahami makna pemimpin.
Persepsi selama ini tentang pemimpin memang terbatas hanya pada orang-orang
yang memiliki jabatan dalam organisasi/instansi atau lembaga tertentu. Padahal
yang disebut pemimpin bukan hanya mereka. Sesungguhnya semua orang adalah
pemimpin, sebagaimana ditegaskan dalam hadis tentang kepemimpinan. Mulai dari
tingkatan pemimpin rakyat (pemerintah) sampai pada tingkatan kepemimpinan di
rumah tangga. Bahkan dalam klausa hadis kullukum ra>'in tersirat
bahwa kepemimpinan itu berlaku pula dalam setiap individu untuk memimpin,
mengarahkan dan menuntun dirinya pada jalan kebaikan dan kebenaran. Setidaknya
setiap individu harus mengendalikan hawa nafsu dan mengontrol perilaku atau anggota
badannya yang kesemuanya itu kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Allah
swt.[54]
Dengan
demikian, pemimpin dapat dimaknai sebagai orang yang diberikan amanah dan
kepercayaan oleh Allah untuk melaksanakan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya
yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Dengan
demikian, setiap orang harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik
dalam segala tindakannya tanpa didasari kepentingan pribadi atau kepentingan
golongan tertentu sesuai dengan makna kata ra>'in dalam hadis
tersebut; memelihara, mengawasi dan atau melayani. Terlebih lagi bagi orang
yang sudah dipercayakan untuk menjadi pemimpin dalam sebuah kelompok,
organisasi, atau wilayah tertentu.
Hanya
saja, kata pemimpin dalam bahasa Arab sering digunakan dalam beberapa term,
yaitu:
1.
Term راع
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa
term al-ra>'in pada dasarnya berarti penggembala yang bertugas
memelihara ibnatang, baik yang terkait dengan pemberian makanan maupun dengan
perindungan dari bahaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut
juga dimaknai pemimpin, karena tugas pemimpin sebenarnya hampir sama dengan
tugas penggembala yaitu memelihara, mengawasi dan melindungi orang-orang yang
dipimpinnya.[55]
Hal
ini berarti bahwa ketika kata pemimpin disebut dengan term al-ra>'in maka itu lebih dikonotasikan pada makna
tugas dan tanggung jawab pemimpin tersebut. Lebih jauh lagi, term ri'a>yah
yang merupakan salah satu bentukan dari akar kata رعى hanya ditemukan satu kali dalam al-Qur'an, yakni pada QS.
Al-H{adi>d (57): 27. Di dalam ayat tersebut, kata ri'a>yah dihubungkan
dengan kata ganti/dhamir ها yang merujuk kepada kata رهبانية. Menurut al-As}faha>ni>, kata ini berarti takut yang
disertai dengan usaha memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti. Dengan
demikian, seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya harus memiliki kesadaran
akan tanggung jawab tersebut sehingga tugasnya dilaksanakan penuh hati-hati,
disertai upaya untuk memperbaiki diri sendiri dan orang yang dipimpinnya.
2.
Term خليفة
Kata khali>fah
berasal dari akar kata خلف yang berarti di belakang. Dari akar kata tersebut, lahir
beberapa kata yang lain, seperti خليفة (pengganti), khila>f (خلاف ) lupa atau keliru, dan khalafa (خلف).
Khusus untuk kata khali>fah,
secara harfiyah berarti pengganti. Makna ini mengacu kepada arti asal yaitu di
belakang. Disebut khali>fah karena yang menggantikan selalu berada di
belakang atau datang di belakang, sesudah yang digantikan.[56]
Di
dalam al-Qur'an sendiri, kata khali>fah disebut pada dua konteks.
Pertama, dalam konteks pembicaraan tentang Nabi Adam as.[57]
Konteks ayat ini menunjukkan bahwa manusia dijadikan khali>fah di
atas bumi ini bertugas memakmurkannya atau membangunnya sesuai dengan konsep
yang ditetapkan oleh Allah. Kedua, di dalam konteks pembicaraan tentang Nabi
Daud as.[58] Konteks
ayat ini menunjukkan bahwa Daud menjadi khali>fah yang diberi tugas
untuk mengelola wilayah yang terbatas.
Melihat
penggunaan kata khali>fah di dalam kedua ayat tersebut, dapat
dipahami bahwa kata ini lebih dikonotasikan pada pemimpin yang diberi kekuasaan
untuk mengelola suatu wilayah di bumi. Dalam mengelola wilayah kekuasaan itu,
seorang khalifah tidak boleh berbuat sewenang-wenang atau mengikuti hawa
nafsunya.[59]
3. Term
أمير
Kata ami>r
merupakan bentuk isim fa>'il dari akar kata amara yang
berarti memerintahkan atau menguasai.[60]
Namun pada dasarnya kata amara memiliki lima makna pokok, yaitu antonim
kata larangan, tumbuh atau berkembang, urusan, tanda, dan sesuatu yang menakjubkan.[61]
Hanya
saja, bila merujuk ke al-Qur'an, kata ami>r tidak pernah ditemukan di
sana, yang ada hanya kata ulil amri yang mengarah kepada makna pemimpin,
meskipun para ulama berbeda pendapat tentang arti ulil amri tersebut.
Ada yang menafsirkan dengan kepala Negara, pemerintah dan ulama. Bahkan
orang-orang Syi'ah mengartikan ulil amri dengan ima>m-ima>m
mereka yang ma‘s}u>m.[62]
Namun,
sekalipun di dalam al-Qur'an tidak pernah ditemukan, ternyata kata ami>r
itu sendiri sering digunakan dalam beberapa hadis. Misalnya saja, hadis riwayat
al-Bukhari dari Abu Hurairah ra.
مَنْ
أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ
أَطَاعَ أَمِيرٍي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرٍي فَقَدْ عَصَانِي.[63]
Artinya:
"Barangsiapa
yang mentaatiku maka sungguh ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang
durhaka kepadaku maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah. Dan barangsiapa
yang taat kepada amir-ku maka sungguh ia telah taat kepadaku, barangsiapa yang
durhaka kepada amir-ku maka sungguh ia telah durhaka kepadaku".
Berdasarkan hadis di atas, term umara>
atau ami>r dan ulil amri berkonotasi sama, yakni mereka
yang mempunyai urusan dalam kepemimpinan karena memegang kendali masyarakatnya.[64]
Karena itulah, H.A. Djazuli dalam bukunya Fiqh Siyasah menjelaskan bahwa
term ami>r atau ulil amri dari sisi fiqh dustu>ri>[65]
adalah ahl al-ha>l wa al-'aqd, yaitu orang yang memegang kekuasaan
tertinggi dalam pemerintahan dan atau mempunyai wewenang membuat undang-undang
yang mengikat kepada seluruh ummat di dalam hal-hal yang tidak diatur secara
tegas oleh al-Qur'an dan hadis.[66]
4.
Term إمام
Kata ima>m
merupakan salah bentukan kata dari akar kata أمّ
– يأمّ yang berarti "pergi menuju, bermaksud
kepada, dan menyengaja".[67]
Akan tetapi menurut Ibn Manz}u>r di dalam Lisa>n al-'Arab, kata ima>m
mempunyai beberapa arti. Di antaranya berarti setiap orang yang diikuti
oleh suatu kaum, baik untuk menuju jalan yang lurus maupun untuk menuju jalan
yang sesat. Sebagaimana firman Allah QS. Al-Isra' (17): 71: يوم ندعو كل إناس بإمامهم "ingatlah pada suatu hari Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya". Di samping itu, ima>m juga berarti mis\a>l (contoh,
teladan). Ima>m juga dapat berarti "benang yang dibentangkan di
atas bangunan untuk dibangun dan guna menyamakan bangunan tersebut.[68]
Sedangkan Ibn Fa>ris di dalam Maqa>yi>s
al-Lugah menyebutkan bahwa kata ima>m memiliki dua makna dasar,
yaitu "setiap orang yang diikuti jejaknya dan didahulukan urusannya",
karena itulah Rasulullah saw disebut sebagai ima>m al-aimmah dan khali>fah
sebagai pemimpin rakyat sering juga disebut ima>m al-ra'iyyah atau
dalam hadis digunakan kata al-ima>m al-a'zam. Di samping itu, menurut
Ibn Faris, ima>m juga berarti "benang untuk meluruskan
bangunan".[69]
Melihat
pengertian di atas, juga dengan penggunaan term ima>m yang dikaitkan
dengan ibadah shalat. Di mana, ibadah tersebut melahirkan beberapa makna
filosofi. Di antaranya kedekatan dengan Tuhan. Dengan kata lain memiliki aspek
spiritual. Ibadah tersebut juga mengarah kepada makna jama>'ah yang
berarti seorang ima>m haruslah diikuti. Sehingga term ima>m
lebih dikonotasikan sebagai orang yang menempati kedudukan/jabatan yang
diadakan untuk mengganti tugas kenabian di dalam memelihara agama dan
mengendalikan dunia.[70]
C.
Kriteria
Kepemimpinan
Dalam suatu kehidupan bermasyarakat yang mengenal
peradaban, membentuk suatu komunitas yang di dalamnya terdapat pemimpin dan
yang dipimpin merupakah keharusan. Namun kepemimpinan sering menimbulkan
permasalahan tersendiri terutama pada kriteria kepemimpinan. Permasalahan dalam
kepemimpinan antara lain bagaimana mendapatkan seorang calon pemimpin yang sadar
akan posisinya sebagai pemimpin yang memiliki makna bahwa pemimpin itu adalah
pelayan.
Hadis-hadis Nabi yang menjelaskan tentang seorang
pemimpin yang betul-betul berkualitas harus memenuhi syarat-syarat yang mutlak
dimilikinya. Gambaran hadis Nabi tentang kriteria kepemimpinan antara lain
sebagai berikut:
1.
Memiliki Jiwa
Kepemimpinan
Sebuah hadis dengan tegas menjelaskan
tentang jiwa kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin,
yaitu:
الأَئِمَّةُ مِنْ
قُرَيْشٍ وَلَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقٌّ وَلَكُمْ مِثْلُ ذَلِكَ مَا إِذَا
اسْتُرْحِمُوا رَحِمُوا، وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا، وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَّوْا،
فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.[71]
Artinya:
“Para
pemimpin itu adalah dari suku Quraisy. Sesungguhnya mereka mempunyai hak atas
kamu dan kamu juga mempunyai hak yang sama atas mereka, selagi mereka diminta
mengasihi, maka mereka akan mengasihi, jika berjanji mereka akan menepati
(janji itu) dan jika menghukum mereka berlaku adil. Maka barang siapa di antara
mereka yang tidak berbuat hal yang demikian, maka laknat Allah, malaikat dan
manusia seluruh atas mereka”.
Hadis di atas tentang kepemimpinan harus dari suku Quraysh terkesan
nepotisme dan rasialis bila dipandang secara sekilas tanpa mempertimbangkan
pada hal-hal yang lain.[72]
Secara lahiriah, kepemimpinan Islam harus dipegang orang-orang Quraisy,
bahkan jika ada orang yang meyakini kebolehan kepemimpinan di luar suku
Quraisy, ia termasuk orang yang sesat dan keluar dari kelompok yang selamat.[73]
Konsepsi ini didasarkan pada beberapa ayat yang memuji orang-orang Muhajirin,
hadis kepemimpinan Quraisy dan kesepakatan sahabat pada masa itu terhadap model
kepemimpinan Quraisy. Konsepsi kepemimpinan ini pada akhirnya dikritik habis
oleh Ibn Khaldun. Menurutnya, kepemimpinan Quraisy tidak berarti harus dari
suku Quraisy tetapi pada karakteristik kepemimpinan Quraisy yang kharismatik,
tegas, kuat dan tangguh. Pokok persoalan kepemimpinan bukan pada orang-orang
Quraisy, tetapi pada sifat dan karakter yang memungkinkan seseorang layak untuk
menjadi pemimpin sama seperti karakter yang dimiliki suku Quraisy pada saat
itu.[74]
Suku Quraysh sudah dikenal sejak dulu sebagai orang yang paling maju dan
sangat dermawan pada zamannya di dunia Arab. Hal itu disebabkan karena mereka
mempunyai koneksi sudah melakukan perjalanan yang jauh untuk berdagang[75]
sehingga mereka memiliki koneksi yang kuat, begitu pula dengan pengetahuan
tentang daerah-daerah sekitarnya, serta penguasaan terhadap administrasi
berokrasi pada saat itu karena pasti mereka akan berintraksi pula dengan raja
atau pemuka kerajaan.[76]
Selain karakter yang disebutkan dalam hadis di atas, sifat dasar seorang
Quraisy bila memerintah, mereka juga unggul dari suku-suku yang ada saat itu
seperti kecakapan berapiliasi, mobilisasi massa yang baik, ekonom handal, suku
mayoritas, birokrat serta santun.
2.
Profesional
Kepemimpinan dan jabatan pemimpin bukanlah keistimewaan, apalagi
anugerah, melainkan suatu tanggung jawab. Ia bukan fasilitas, tetapi kerja
keras, bukan kesewenang-wenangan bertindak melainkan kewenangan melayani.
Kepemimpinan adalah keteladan berbuat dan kepeloporan bertindak.
Mengingat berbagai persoalan bangsa yang kian rumit, bahkan kecenderungan
kehidupan sekarang ini mirip-mirip zaman jahiliyyah yang penuh prahara,
pertikaian, perbudakan, kehancuran tata nilai dan keteladanan, maka
kepemimpinan profetik[77]
menjadi sebuah harapan.
Kepemimpinan adalah amanah sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti
ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan
sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat.
Sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya.
Karena itulah Rasulullah saw. melarang orang yang tidak cakap untuk memangku
jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Sebagaimana
sabda beliau:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فى
جَلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ حَدِيثًا ، جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: مَتَى
السَّاعَةُ؟ فَمَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ،
فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ، وَقَالَ
بَعْضُهُمْ: بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ، قَالَ: أَيْنَ
السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟ قَالَ: هَا أَنَا ذَا يَا رَسُولَ اللهِ ، قَالَ:
فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ
إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الأَمْرَ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ.[78]
Artinya:
“Dari Abu> Hurairah berkata, ketika Rasulullah sedang memberikan pengajian dalam
suatu majlis, datanglah seorang pedalaman seraya bertanya “Kapan hari kiamat?”
akan tetapi Rasulullah tetap melanjutkan pengajiannya, sebagian hadirin berkata
bahwa Rasulullah mendengar pertanyaannya akan tetapi tidak suka. Sebagian
yang lain berkata bahwa Rasulullah tidak mendengarnya. Setelah Rasulullah
selesai pengajian, beliau bertanya “Mana orang yang bertanya tentang hari
kiamat?” Saya wahai Rasulullah, lalu beliau menjawab “Jika amanah sudah
disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”, orang tersebut bertanya lagi
“Bagaimana menyia-nyiakan amanah” Rasulullah menjawab “Apabila suatu urusan
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat."
Untuk
mengungkap kandungan hadis tersebut, maka perlu mengkaji apa yang dimaksud
dengan الأمر, غير أهله dan الساعة. Abd Rauf dalam kitab syarhnya menjelaslan bahwa
yang dimaksud dengan الأمر adalah segala sesuatu yang terkait dengan agama seperti
pemerintahan, kehakiman, fatwa dan pengajaran serta yang lain-lain.[79] Sementara
yang dimaksud dengan غير أهله adalah
orang-orang yang fasik, penyeleweng dan bukan keturunan baik-baik (tidak punya
pengaruh dalam masyarakat).[80] Sedangkan
الساعة bukannya
diartikan sebagai hari kiamat, akan tetapi itu bisa jadi merupakan perumpamaan
tentang sebuah kehancuran, kecarut-marutan, kebodohan yang merajalela,
kelamahan Islam, ketidakmampuan
orang-orang yang professional dan kompoten untuk menegakkan kebenaran dan
merealisasikannnya dalam kehidupan dunia, laksana hari kiamat yang dahsyat.[81] Sedangkan menurut Mushthafa al-Gulayaini bahwa
hadis di atas mengisyaratkan bahwa jika urusan diserahkan pada bukan ahlinya,
maka tunggulah saat kegagalan dan kerusakannya.[82]
Berangkat dari penjelasan teks tersebut
dapat ditarik sebuah pemahaman dalam hadis ini bahwa kehancuran, kekacauan dan
ketikadilan akan terjadi jika suatu pekerjaan atau jabatan apapun, terlebih
lagi urusan agama jika diberikan kepada orang yang tidak amanah dan tidak
bertanggung jawab.
Oleh karena
itu, bukan hanya pemimpin atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap apa yang
dilakukannya berupa kekacauan karena tidak menunaikan amanah akan tetapi umat
atau masyarakat juga dianggap menyia-nyiakan amanah karena memilih dan
mengangkat orang-orang yang tidak amanah pada suatu jabatan,[83]
Dengan demikian, hadis di atas menekankan profesionalisme yang ditunjukkan oleh
kata غير أهله
(tidak kompoten).
3.
Mampu
Melaksanakan Tugas
Seorang pemimpin mesti bersedia melaksanakan hukum yang
ditetapkan oleh undang-undang. Ia juga berani berperang, mengerti cara
berperang, sanggup memobilisasi rakyat untuk berperang. Ia sanggup menggalang
solidaritas sosial dan mampu
berdiplomasi
dan lain sebagainya. Kesanggupan itu diperlukan agar
fungsinya untuk melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum dan
mengatur kepentingan umum tercapai dengan baik.
Pemimpin
juga dituntut mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dikala terpilih
sehingga diharuskan sehat secara jasmani dan rohani, sebagaimana dalam kasus
hadis berikut:
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ الله أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي قَالَ فَضَرَبَ
بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفُ
وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا
مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا.[84]
Artinya:
Dari
Abu> Z|ar, “Saya berkata kepada Rasulullah, wahai Rasulullah tidakkah engkau
mengangkatku menjadi pejabat, lalu Rasulullah menepuk pundaknya seraya berkata
“wahai Abu> Z|arr, sesungguhnya engkau lemah, sedangkan jabatan itu adalah
amanah dan merupakan kehinaan serta penyelasan pada hari kiamat nanti kecuali
bagi orang yang mendapatkannya dengan hak serta melaksanakannya dengan baik dan
benar”.
Untuk
mendapatkan makna yang baik penulis menganggap perlu menjebarkan kosa kata ضعيف dalam hadis ini, kata tersebut yang dalam
kamus bahasa Indonesia yang berarti lemah, sedangkan dalam bahasa Arab
memberikan arti kata ini merupakan lawan dari kuat, sedangkan menurut ulama
Bashra bahwa arti dari lafazd tersebut bisa digunakan dalam arti lemah secara
fisik maupun lemah secara mental/kecerdasan.[85]
Al-Nawawi> berkata ketika
mengomentari hadis Abu> Z|arr: “Hadis ini merupakan pokok yang agung untuk
menjauhi kepemimpinan terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan
tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan
diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan
kedudukan tersebut atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam
menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka
kejelekannya dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya.[86]
Sedangkan
orang yang pantas menjadi pemimpin dan dapat berlaku adil, maka akan
mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadis-hadis yang s}ah}i>h{,
seperti hadis: “Ada
tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam
(pemimpin) yang adil”. Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang
orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di
atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadist lainnya. Kaum
muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena
banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut. Rasulullah memperingatkan
darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan
pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas
gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.”
Dari keterangan-keterangan hadits di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa mengajukan diri untuk diangkat menjadi pemimpin adalah
sesuatu yang tercela bila tidak
dibarengi dengan kelayakan diri menjadi pemimpin. Namun sebaliknya, apabila
seseorang diangkat menjadi pemimpin karena dukungan atau permintaan umat,
memenuhi syarat dan mampu menjalankan tugas dengan amanah maka yang seperti ini
tidaklah tercela.
Jika Islam memandang bahwa berharap atau meminta diangkat
menjadi pemimpin atau pejabat itu tercela, lalu bagaimana dengan apa yang
pernah dilakukan oleh Nabi Yusuf as yang meminta jabatan dan menonjolkan
dirinya agar diberikan jabatan itu? Sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran: Jidikanlah aku bendaharawan Negara
(Mesir). Sesungguhnya aku pandai menjaga lagi berpengetahuan. (Q.S. Yusuf: 55).
Nabi Yusuf as meminta dan menonjolkan dirinya untuk diangkat menjadi pemimpin
(sebagaimana disebutkan dalam Q.S Yusuf: 55) karena ia melihat tidak ada orang
yang teguh memperjuangkan kebenaran dan mengajak umat kepada kebenaran. Dan ia
merasa mampu untuk itu, namun ia belum dikenal. Oleh karena itu, ia perlu
meminta dan menonjolkan dirinya.
Apalagi dalam ayat tersebut Nabi Yusuf menawarkan dirinya
sebagai bendaharawan Negara dengan menyebutkan visi dan misinya terlebih dahulu
dan mengakui bahwa dia punya ilmunya dan mampu menjalankannya.[87]
4.
Sesuai dengan Aspirasi Rakyat
Kepemimpinan
negara dalam sistem Islam dengan sebutan apapun terlaksana dengan adanya ikatan
antara umat dan penguasa, dan yang mewakili umat adalah majlis Syura atau
majlis umat, ikatan ini bisa disebut baiat.[88]
Aspirasi dari rakyat sangat dibutuhakan karena dengan memudahkan rakyat
dilibatkan dalam setiap keputusan yang ada, sehingga terjalin hubungan yang
saling memahami kewajiban dan hak masing masing, seperti yang tergambar dalam
hadis Nabi sebagai berikut:
عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ: عَنْ
رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ
الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ
وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ
وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتُلْعِنُوْنَهُمْ وَيُلْعِنُوْنَكُمْ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ
اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ
الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تُكْرِهُوْنَهُ
فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ.[89]
Artinya:
“Dari ‘Auf ibn Malik, dari Rasul
saw. Bersabda “sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang yang mencintai kalian
begitu pula sebaliknya dan mereka selalu mendoakan kalian dan kalian juga
selalu mendoakan mereka, dan sejela-jeleknya pemimpin kalian adalah yang kalian
benci dan mereka juga membernci kalian dan kalian melaknat mereka begitu pula
sebaliknya, Rasul ditanya: apakah mereka boleh diperengi? Rasul menjawab tidak
selama masih mengerjakan shalat dan jika kalian melihat pada diri mereka
sesuatu yang tidak disukai maka bencilah pekerjaannya dan membangkang/tidak
patuh”.
Hadis
di atas menuntut adanya keserasian atau kerjasama yang baik antara pemimpin dan
yang dipimpin, semua itu dapat terwujud dengan diangkatnya pemimpin yang dapat
diterima oleh masyarakat karena pemimpin merupakan representase dari suara
rakyat sehingga tidak berlebihan bila sebuah kalimat yang sering digunakan
dalam menggambarkan keagungan aspirasi rakyat tersebut dengan ungkapan “suara
rakyat adalah suara Tuhan” walaupun ungkapan ini masih perlu direnungkan ulang
Dalam hadis ini pula terlihat Nabi
memposisikan pemimpin sebagai orang yang mulia sehingga dilarang untuk dicaci,
laknat dan membunuhnya, akan tetapi Rasul tidak melarang ummatnya agar ditetap
kritis.
5.
Musyawarah
Prinsip
musyawarah dalam pengangkatan pemimpin merupakan kesepakatan mayoritas
masyarakat, akan tetapi model musyawarah itu sendiri yang berbeda dalam
penyebutannya, apakah itu musyawarah disebut demokrasi yaitu melibatkan seluruh
masyarakat agar dapat berpertisipasi dalam mengangkat pemimpinnya. ataupun
dengan sistem perwakilan dan lain sebagainya, semua itu terlaksanan atas nama
musyawarah. Rasul tidak pernah menentukan bentuk mekanisme pengangkatan
pemimpin secara iksplisit, akan tetapi memberikan gambaran atau rumusannya
sudah ada dalam al-Qur’an dan hadis Nabi yaitu berupa musyawarah, sebagaiman
penjelasan dalam hadis berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: حَضَرْتُ
أَبِي حِيْنَ أُصِيْبَ فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ وَقَالُوْا جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا
فَقَالَ رَاغِبٌ وَرَاهِبٌ قَالُوْا إسْتَخْلِفْ فَقَالَ أَتَحَمَّلُ أَمْرَكُمْ
حَيًّا وَمَيِّتًا؟ لَوَدَدْتُ أَنْ حَظَّي مِنْهَا الْكَفَافُ لَا عَلَيَّ وَلَا
لِي فَإِنْ أَسْتَخْلِفُ فَقَدْ اسْتَخْلَفَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي يَعْنِي
أَبَا بَكْرٍ وَإِنْ أَتْرُكُكُمْ فَقَدْ تَرَكَكُمْ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي
(رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
قَالَ عَبْدُ الله: فَعَرَفْتُ أَنَّهُ حِيْنَ ذَكَرَ رَسُوْلُ الله صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مُسْتَخْلِفٍ.[90]
Artinya:
“Dari
Ibn ‘Umar berkata: saya berada bersama ayahku ketika dia terluka, kemudian
orang berdatangan seraya berkata semoga Allah membalas kebaikanmu, ‘Umar
berkata sama-sama, lalu orang yang hadir berkata angkatlah calon penggantimu
maka dia berkata apakah saya harus menanggung urusanmu dunia akhirat? Saya
tidak ingin keputusanku merugikan bagiku dan tidak pula menguntungkanku, maka
jika saya mengangkat pengganti maka orang yang lebih mulia dari saya telah
melakukannya (Abu> Bakar) dan jika saya tidak melakukannya atau
mendiamkannya maka sungguh itu telah dilakukan oleh orang yang lebih mulia
dariku yakni Rasulullah, Ibn ‘Umar berkata: maka sejak saat itu saya mengetahui
bahwa Rasulullah tidak akan menentukan penggantinya”.
Cerita
dalam hadis ini pada prinsipnya menggambarkan suasana pasca ditikamnya khalifah
‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, pada saat itu orang yang datang menjenguk meminta
‘Umar berwasiat untuk menunjuk penggantinya pasca kepergiannya nanti, akan
tetapi ‘Umar menolak karena menurutnya Rasululllah tidak melakukan penunjukan
secara langsung akan tetapi membiarkan masyarakat yang menentukannya. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa ‘Umar menginginkan khalifah dengan cara musyawarah
dengan mekanisme yang beraneka ragam.
Musyawarah
terkadang tidak dijalankan disebabkan adanya suatu kemaslahat yang ingin
dicapai atau adanya starategi yang ingin ditunjukkan oleh pemimpin tersebut
yang dianggap tidak perlu dimusyawarakan.hal inilah dilakukan dalam hadis
berikut:
عَنِ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَعَثَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَعْثًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَطَعَنَ بَعْضُ النَّاسِ فِي
إِمَارَتِهِ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ
تَطْعَنُوا فِي إِمَارَتِهِ فَقَدْ تَطْعَنُونَ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ
وَايْمُ اللهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلإِِمَارَةِ وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ
النَّاسِ إِلَيَّ وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ.[91]
Artinya:
“Dari
‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: Nabi saw. mengutus utusan dan Nabi mengangkat
Usa>mah ibn Zaid sebagai panglimanya, sebagian sahabat mencaci kepemimpinan
atau tidak senang dengan kepemimpinannya, kemudian Nabi bersabda: jika kalian
mencaci dari segi kepemimpinannya maka sungguh kalian mencaci kepemimpinan
ayahnya dulu. Demi Allah Sungguh dia tercipta sebagai pemimpin dan sungguh
ayahnya termasuk orang yang paling aku cintai dan sungguh anak ini adalah orang
yang paling aku cintai setelahnya”.
Hadis di atas berbicara tentang pengangkatan Usa>mah ibn
Zaid yang pada saat itu ditolak oleh sebagian sahabat, akan tetapi Nabi saw.
memberikan jawaban yang sangat memuaskan kepada mereka, bahwa tujuan mulia Nabi
ialah menginginkan tertajinya regenerasi ditubuh kepemimpinan saat itu. Selain
itu dalam hadis di atas pula dapat disimpulkan bahwa pemimpin bisa saja
dikritik karena ada keinginan mengetahui alasan pengambilan keputusannya.
Pengangkatan
Usa>mah ibn Zaid menjadi panglima perang yang pada saat itu masih sangat
muda, konon baru berumur 18 tahun.[92]
dianggap belum layak oleh sebahagian besar sahabat Nabi, apatahlagi masih
banyak sahabat-sahabat senior yang masuk di bawah kendali Usamah termasuk Umar
ibn Khattab, akan tetapi Rasulullah mengangkatnya karena pertimbangan ayahnya
(Zaid ibn H{aris\ah) di mana Zaid wafat dalam perang Tabuk sehingga diharapkan
Usamah memiliki motivasi ganda dalam memimpin perang sebagaimana yang telah
dilakukan oleh ayahnya.
D. Tanggung Jawab Pemimpin
Pemimpin dalam segala aspek, mulai dari yang paling bawah
sampai yang paling tinggi, di dalam hadis di atas dikenal dengan istilah الراعى atau penggembala.
Karena memang tugas dasar atau tanggung jawab seorang pemimpin tidak jauh
berbeda dengan tugas penggembala, yaitu memelihara, mengawasi, dan melindungi
gembalaannya.
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus betul-betul
memperhatikan dan berbuat sesuatu sesuai dengan aspirasi rakyatnya. Sebagaimana
diperintahkan oleh Allah swt.
*
¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
Terjemahnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."[93]
Ulama tafsir memiliki keragaman pendapat dalam memaknai kata
al-'adl dan al-ih}sa>n di dalam ayat tersebut. Di antara
pendapat tersebut adalah :
1.
Al-'adl bermakna tauhid (la> ila>h illalla>h),
sementara al-ih}sa>n adalah melaksanakan kewajiban (al-fara>id}).
2.
Al-'adl bermakna kewajiban, sementara al-ih}sa>n adalah
ibadah sunnah.
3.
Al-'adl bermakna keseimbangan antara yang tersembunyi dan yang
tampak, sementara al-ih}sa>n adalah yang tersembunyi jauh lebih baik
daripada yang tampak.[94]
Hanya saja, pemaknaan yang paling tepat
untuk kedua kata tersebut, hendaknya kembali ke makna bahasanya. Di mana kata al-'adl
berarti "perkara yang di tengah-tengah"[95]
sehingga ia lebih dikonotasikan pada makna kesimbangan di antara dua sisi.
Sedangkan al-ih}sa>n adalah memberikan kebaikan.
Dari pengertian bahasa tersebut, tampak jelas bahwa ayat di
atas memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan
dimana saja. Seorang raja misalnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya
dan sebijaksana mungkin sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam memimpin
rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera. Sebaliknya, apabila raja berlaku
semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan
yang ada, pastinya rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus
menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal
balik diantara keduanya.[96]
Begitu pula para suami, isteri, penggembala
dan siapa saja yang memiliki tanggung jawab dalam memimpin harus berusaha untuk
berlaku adil dalam kepemimpinannya sehingga ia mendapat kemuliaan sebagaimana
janji Allah swt yang diriwayatkan oleh al-Turmuz\i> dari Abu> Sa'i>d
ra.
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ قَالَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى
اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضُ
النَّاسِ إِلَى اللهِ وَأَبْعَدُهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ
[97]
Artinya:
“Dari
Abu Sa’id, ia berkata; Rasululullah saw bersabda; sesungguhnya orang yang
paling dicintai oleh Allah di hari kemudian dan paling dekat tempatnya
dengan-Nya adalah pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh
Allah dan paling jauh tempatnya adalah pemimpin yang aniaya.”
Hadis
di atas menjelaskan bahwa orang yang paling dicintai oleh Allah dan paling
dekat kedudukannya dengan-Nya adalah pemimpin yang adil. Akan tetapi orang yang
paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempatnya dari-Nya adalah pemimpin
yang berlaku aniaya.
Dengan demikian, tugas dan fungsi
pemimpin tidaklah mudah bahkan hal tersebut adalah sesuatu yang sangat berat.
Seorang pemimpin tidak hanya duduk di kursi empuk sambil memerintah pada
bawahannya, tanpa terlibat langsung dalam pekerjaan tersebut secara baik dan
efektif.
Di samping berlaku adil, pemimpin juga
harus menyadari amanah yang telah diberikan Allah kepadanya sehingga dengan
kesadaran tersebut, ia akan berusaha memberikan pelayanan yang baik dan
menaburkan kerahmatan.
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِى قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِى
ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى
عَلَيْهِ فِيهَا [98]
Artinya:
"Dari Abu> Z|ar, ia berkata;
saya pernah bertanya kepada nabi; ya... Rasulallah, tidakkah engkau
mempekerjakanku? Lalu nabi meletakkan tangannya di bahuku kemudia beliau mengatakan,
wahai Abu> Z}ar... sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, dan
sesungguhnya pada hari kiamat akan mendapatkan malu dan penyesalan, kecuali
orang yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas kewajibannya dengan
baik".
Karena itu, pemimpin harus selalu menyadari dan bersikap
mawas diri dalam menanggung beban amanah. Tidaklah wajar jika ada pemimpin yang
dipilih dan diangkat oleh rakyat untuk menerima beban amanah, tapi ia tidak
mengucapkan tasbih "subh}analla>h" atau kalimat h}auqa>lah
"la> h}aula wala> quwwata illa billa>h". Namun,
ia justru bersujud syukur dan mengadakan "tasyakkuran"
pengangkatannya. Padahal, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang patut disyukuri,
tetapi ia adalah hal yang wajib dijalankan sebaik-baiknya dengan bimbingan
Allah swt dan Rasul-Nya.[99]
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab kepemimpinannya,
seorang pemimpin harus dapat memahami, menghayati, dan menyelami kondisi jiwa
"gembalaannya" yang berbeda-beda. Rakyat/gembalaan memiliki kapasitas
dan kapabilitas tersendiri, sehingga pemimpin harus terus menggali dan
mengembangkan kualitas pemahaman terhadap rakyatnya yang beragam tersebut
dengan perspektif psikologi Islam atau psikologi kenabian.[100]
Suatu pelajaran yang berharga dari Rasulullah saw. Agar
pemimpin memperhatikan orang-orang yang dipimpinnya yang memiliki kondisi
berbeda-beda diisyaratkan pada sabda beliau:
أَخْبَرَنِى أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ
فَإِنَّ فِى النَّاسِ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَذَا الْحَاجَةِ
Artinya:
"Abu> salamah ibn ‘Abd
al-Rah}ma>n menyampaikan kepadaku bahwa ia pernah mendengar Abu> Hurairah
mengatakan; Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian
menjadi imam, hendaklah ia meringankan shalatnya. Karena di antara manusia itu
ada yang lemah, ada yang sakit, dan adapula orang yang punya hajat".[101]
Seorang pemimpin hendaknya mempelajari
banyak ilmu, selain ilmu psikologi, pemimpin juga hendaknya melengkapi diri
dengan pengetahuan sosiologi sebagai ilmu pelengkap untuk dapat menguasai tehnik
dan seni memimpin.
Pemimpin yang tidak paham dengan
kondisi dan eksistensi jiwa rakyatnya, kemungkinan dapat berbuat di luar
batas-batas kemanusiaan dengan bertindak sewenang-wenang di luar batas
kesanggupan manusia yang dipimpin itu.
Oleh karena itu, seorang pemimpin
hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat
dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi sebaliknya, ia harus
berusaha memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.
Bahkan pemimpin yang tidak mampu
memelihara, melindungi, dan mampu memberikan rasa aman terhadap rakyatnya,
bukanlah pemimpin sejati yang sejati menurut Islam. Pemimpin yang membuat susah
dan sengsara rakyatnya karena tindakan-tindakannya yang sewenang-wenang akan
dipersulit dan disengsarakan pula oleh Allah swt. 'Aisyah ra. memberitakan
bahwa Rasulullah saw pernah berdoa:
اللَّهُمَّ
مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ
وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
Artinya:
"Ya Allah, siapa yang menguasai
sesuatu dari urusan umatku lalu mempersulit mereka, maka persulitlah baginya.
Dan siapa yang mengurusi umatku dan berlemah lembut kepada mereka, maka
permudahlah baginya".[102]
Begitu berat dan
besar tanggung jawab seorang pemimpin, sehingga Rasulullah dalam sabdanya di
atas yang menjadi kajian utama makalah ini, kembali mengulangi kalimat kullukum
ra>'in yang diawali dengan huruf peringatan (tanbih) yaitu ألا sebagai bentuk
isyarat yang mengingatkan setiap manusia untuk lebih berhati-hati dalam
menjalankan kepemimpinannya karena semua itu akan dipertanggungjawabkan
dihadapan Allah swt.[103]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan sebelumnya dapat dibuat beberapa poin sebagai kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Pemimpin dalam perspektif hadis Nabi secara khusus, bukan
semata-mata orang yang memiliki jabatan atau kedudukan pada suatu lembaga,
instansi, dan atau organisasi tertentu. Akan tetapi pemimpin adalah setiap
individu yang sejak lahirnya memiliki wilayah kepemimpinan sekalipun hanya
dalam skala yang kecil.
2.
Kriteria kepemimpinan yang ideal berdasarkan hadis-hadis
Nabi saw. paling tidak memenuhi 5 unsur, yaitu seorang pemimpin memiliki jiwa
kepemimpinan yang seperti jiwa suku Quraisy, professional dalam artian
menempatkan pemimpin pada posisi yang dikuasainya. mampu melaksanakan tugas di
mana Nabi saw. tidak memberikan posisi kepada Abu> Z|arr yang terkenal
keadilan, tetapi dikhawatirkan tidak dapat mengimplementasikan tugas-tugasnya
di lapangan, kepemimpinan sesuai dengan aspirasi rakyat dan merupakan hasil
musyawarah, hanya saja terkadang musyawarah tidak dilakukan karena ada sesuatu
kemaslahatan besar yang ingin dicapai.
3.
Kepemimpinan
tersebut harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, sehingga seorang
pemimpin harus menyadari amanah yang telah dibebankan kepadanya. Dengan
kesadaran tersebut, ia akan bersikap adil dan selalu berupaya memelihara,
mengawasi, dan melindungi "gembalaannya" sebagaimana kandungan hadis
Nabi kullukum
ra>'in wa kullukum mas'u>lun 'an ra'iyyatihi.
B.
Implikasi
Kepemimpinan
sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat karena ialah penentu berhasil
tidaknya sebuah lembaga, organisasi bahkan Negara. Oleh karena itu, al-Qur’an
dan hadis Nabi saw. memberikan perhatian besar terhadap kepemimpinan dengan
memberikan beberapa gambaran tentang batasan, kriteria dan hal-hal yang terkait
dengannya.
DAFTAR PUSTAKA
A.J. Wensinck
Diterjemahkan oleh Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>. al-Mu‘jam al-Mufahras
li Alfa>z} al-H}adi>s\ al-Nabi>. Brill: Laeden, 1936 H.
A>ba>di>,
Muh}ammad Syams al-H{aq al-'Az}i>m. 'Aun al-Ma'bu>d Syarh} Sunan
Abi> Da>ud. Cet. II. Beirut. Da>r al-Kutub al-'Ilmiyah. 1415 H.
Ibn Zakariya, Abu> al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris. Mu'jam
Maqa>yi>s al-Lugah. Beirut. Da>r al-Fikr. 1979.
Ibn ‘Abd
al-Ha>di, Abu> Muh}ammad Mahdi> ‘Abd al-Qa>dir. T}uruq
Takhri>j H}adi>s\ Rasulillah saw. terj. Said Aqil Husain Munawwar dan
Ahmad Rifqi Mukhtar. Metode Takhrij Hadis. Cet. I. Semarang. Dina Utama.
1994.
Al-‘Asqala>ni>, Syiha>b
al-Di>n Abu> al-Fad}l Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H}ajar. Nuzhat al-Naz}r
Syarh} Nukhbah. Mesir. al-Munawwarah. t.th.
Al-Adlabi>, S{ala>h al-Di>n
ibn Ah}mad. Manhaj Naqd al-Matn 'Inda Ulama>' al-H{adi>s\
al-Nabawi>. terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Metodologi Kritik
Matan Hadis. Ciputat. Gaya Media Pratama. 2004.
Al-Banjari,
Rachmat Ramadhana. Prophetic Leadership. Yogyakarta. DIVA Press. 2008.
Al-Bukha>ri>,
Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l. S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>. Cet. III. Beirut. Da>r Ibn Kas\i>r. 1407 H./1987
M.
Al-Dahlawi>, ‘Abd al-H}aq ibn Saif
al-Di>n ibn Sa‘dulla>h. Muqaddimah fi> Us}u>l al-H{adi>s\. Cet.
II. Beirut. Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah. 1406 H./1986 M.
Al-Gala>yaini>,
Mus}t}afa>. ‘Iz}ah al-Na>syii>n: Kitab Akhlak, wa Adab wa ‘Ijtima’i>.
Bairut. Salim ibn Saud Nabhan. t.th.
Al-Gaza>li>,
Muh}ammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh} wa ahl al-H}adi>s|.
cet. XII. Kairo. Da>r
al-Syuru>q. 2001.
Al-H{anafi>,
Abu> Muh}ammad Badr al-Di>n. ‘Umdah al-Qa>ri’ Syarh} S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>. CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Al-Maha>mi>,
Ah}mad H{usain Ya‘qu>b. al-Niz}am Al-Siya>si> fi> al-Isla>m.
Qum. Ans}a>riyah. 1312 H.
Al-Mana>wi,
‘Abd al-Rau>f. Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi’ al-S}agi>r. Cet.
I. Mesir. al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>. 1356 H.
--------------,
‘Abd Rau>f. al-Taisi>r bi Syarh{ al-Ja>mi‘ al-S}agi>r. Cet.
III. Riyad. Da>r al-Nasyr. 1408 H./1988 M.
Al-Mawardi>,
Abu> H{asan. al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah wa al-Wila>yah
al-Di>niyyah. Cet. III. Mesir. Mus}t}afa al-Asabil H{alibi>. t.th.
Al-Mis}ri>, Muh}ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r. Lisa>n
al-'Arab. Beirut. Da>r S{a>dir. t.th.
Al-Muba>rakfu>ri>, S}afiy
al-Rah}ma>n. al-Rah}i>q al-Makhtu>m. Riya>d}. Makhtabah
Da>r al-Sala>m. 1414 H./1994 M.
Al-Naisabu>ri>,
Abu> al-H}usain Muslim ibn al-H{ajja>j. S{ah{i>h{ Muslim. Beirut.
Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>. t.th.
Al-Nasa>’i>,
Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Syu‘aib. Sunan al-Nasa>’i>.
Cet. II. H{alab. Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>miyah. 1406 H./1986
M.
Al-Nawawi>,
Abu> Zakariya> Yah{ya> ibn Syaraf. Syarh} S}ah}i>h} Muslim. Cet.
II. Beirut. Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>. 1392 H.
Al-Qarad}awiy, Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah
al-nabawiyyah. cet. I. Kairo. Da>r al-Syuru>q. 2000.
Al-Sijista>ni>,
Abu> Da>wud Sulaima>n ibn al-Asy‘as\. Sunan Abi> Da>ud. Beirut.
Da>r al-Fikr. t.th.
Al-Syaiba>ni>.
Abu> ‘Abdillah Ah}mad ibn Muh{ammad ibn H{ambal. Musnad Ah}mad. Cet.
I. Bairut. ‘A<lam al-Kutub. 1419 H./1998 M.
Al-Syaira>zi>, Abu> Ish{a>q.
T{abaqa>t al-Fuqaha>’. Beirut. Da>r al-Ra>id al-‘Arabi>.
1970 M.
Al-T{ah{h{a>n,
Mah{mu>d. Taisi>r Mus}t}alah} al-H}adi>s\. Beirut. Da>r
al-Qur’a>n al-Kari>m. 1972.
--------------.
Us{u>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d. Cet. II.
Riya>d{. Matba’ah al-Ma’a>rif. 1991.
Al-Tami>mi>,
Abu> H{a>tim Muh{ammad ibn H{ibba>n ibn Ah}mad. Masya>hi>r
‘Ulama>’ al-Ams}a>r. Juz. I. Beirut. Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah.
1959 M.
Al-Turmu>z\i>,
Abu> ‘I<sa> Muh{ammad ibn ‘I<sa>. Sunan al-Turmuz\i>. Beirut.
Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>. t.th.
Ambo Dalle, H. Abdurrahman. al-Qaul al-S{a>diq fi>
Ma'rifah al-Kha>liq. t.d.
Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode
Kritik Hadis. cet. I. Jakarta. Hikmah. 2009.
Djazuli, H. A. Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan
Ummat dalam Rambu-rambu Syariah. Bogor. Kencana. 2003.
Ibn Kas\i>r, 'Ima>d al-Di>n Abu> al-Fida>'
Isma>'il al-Dimasyqi>. Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m. jil.
XI. Kairo. Muassasah Qurt}ubah. 2000.
Ibn
Khaldu>n. Muqaddimah. Beirut, Da>r al-Fikr, t.th.
Ibn Khalka>n,
Abu> al-‘Abba>s Ah{mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar. Wafaya>t
al-A‘ya>n wa Anba>’ Abna>’ al-Zama>n. Juz. I. Beirut. Da>r
S{a>dir. 1900 M.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Yang
Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang
Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta. Bulan Bintang. 1994.
-----------------------,
Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Cet. I: Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Kartini, Kartono. Pemimpin
dan Kepemimpinan. Cet. VIII. Jakarta. PT Raja Grafindo. 1998.
Muhibin, Hadits-hadits
Politik. Cet. I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 1996.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia
Terlengkap. Cet. XIV. Surabaya. Pustaka Progressif. 1997.
Praja, Juhaya S. Tafsir Hikmah; Seputar Ibadah, Muamalah,
Jin, dan Manusia. Bandung. Remaja Rosdakarya. 2000.
Sahabuddin…[et.al.].
Ensklopedi al-Qur'an; Kajian Kosakata. jil. I. Jakarta. Lentera Hati.
2007.
Shihab, Quraish.
Tafsir Al-Mishbah. Jakarta. Lentera Hati. 2005.
Syahrasta>ni>,
al-Milal wa an-Nih}al. Bairut. Da>r al-Ma‘rifah. 1404 H.
[1]Rachmat
Ramadhana al-Banjari, Prophetic Leadership (Yogyakarta: DIVA Press,
2008), h. 21.
[3]Ibadah
yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya, bukanlah semata-mata sebagai
wujud penghambaan diri kepada-Nya, tetapi juga sebagai bentuk terima kasih dan
rasa syukur atas segala nikmat yang telah Tuhan berikan kepadanya. H.
Abdurrahman Ambo Dalle, al-Qaul al-S{a>diq fi> Ma'rifah al-Kha>liq (t.d.),
h. 1.
[7]'Ima>d
al-Di>n Abu> al-Fida>' Isma>'il ibn Kas\i>r al-Dimasyqi>, Tafsi>r
al-Qur'a>n al-Az}i>m, jil. XI (Kairo: Muassasah Qurt}ubah, 2000), h.
250.
[8]Kaitannya
dengan hal tersebut, Abdullah Yusuf Ali menyatakan bahwa kata-kata langit,
bumi, dan gunung-gunung pada ayat tersebut mengandung makna simbolik.
Maksudnya, untuk membayangkan bahwa amanah itu sedemikian berat sehingga
benda-benda yang sedemikian berat seperti langit, bumi, dan gunung yang cukup
kuat serta teguh sekalipun, tidak sanggup menanggung dan memikulnya. Lihat
Sahabuddin…[et.al.], Ensklopedi al-Qur'an; Kajian Kosakata, jil. I
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 83-84.
[10]Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn
Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz.
II (Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 848.
Selanjutnya disebut al-Bukha>ri>. Abu> al-H}usain Muslim ibn
al-H{ajja>j al-Naisabu>ri>, S{ah{i>h{ Muslim, Juz. III
(Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 1459.
[11]Lihat Mah{mu>d
al-T{ah{h{a>n, Taisi>r Mus}t}alah} al-H}adi>s\ (Beirut: Da>r
al-Qur’a>n al-Kari>m, 1972), h. 78, Lihat juga Syiha>b al-Di>n
Abu> al-Fad}l Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H}ajar al-‘Asqala>ni>, Nuzhat
al-Naz}r Syarh} Nukhbah (Mesir: al-Munawwarah, t.th.), h. 98.
[12]Lihat selengkapnya Muhibin, Hadits-hadits
Politik ( Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 63.
[13]Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadis
Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis Tentang
Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan Ibntang, 1994), h. 6.
[14]Secara
etimologi kata "takhri>j" berasal dari kata kharraja -
yakhariju – takhrij yang berarti menampakkan, mengeluarkan,
menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang
masih tersembunyi, tidak kelihatan, dan masih samar. Sedangkan secara
terminologi, kata ini memiliki banyak definisi, antara lain : 1. menjelaskan
hadis pada orang lain dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad hadis
dengan menggunakanperiwayatan yang mereka tempuh. 2. mengeluarkan dan
meriwayatkan hadis dari beberapa kitab. 3. menunjukkan asa-usul hadis dan
mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh
para mukharrij-nya dan menisbatkannya dengan cara menyebutkan metode
periwayatan dan sanadnya masing-masing. 4. menunjukkan tempat hadis pada
sumber-sumber aslinya kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan. Akan
tetapi pengertian takhri>j yang digunakan untuk maksud kegiatan
penelitian hadis adalah pengertian yang disebutkan terakhir. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka ada tiga hal yang mendasar dari pengertian tersebut,
yaitu : pertama, kegiatan penelusuran suatu hadis untuk mengetahui tempat atau
sumber-sumbersnya. Kedua, sumber-sumber pengambilan hadis itu merupakan
sumber-sumber asli. Ketiga, hadis yang termuat dalam sumber-sumber yang asli
itu dikemukakan secara lengkap sanad dan matannya. Lihat Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi
Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Jakarta; Renaisan' 2005),
cet. I, hal. 71, dan Abd
al-Rau>f al-Mana>wi, Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi’
al-S}agi>r, Juz. I (Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah
al-Kubra>, 1356 H.), h. 17. Sedangkan metodenya ada lima, yaitu: 1) Metode
dengan menggunakan lafal pertama matan hadis, 2) menggunakan salah satu lafal matan hadis, 3) menggunakan perawi
terakhir atau sanad pertama yaitu sahabat, 4) menggunakan topik tertentu dalam
kitab hadis dan 5) Menggunakan status hadis dan derajatnya. Lihat: Abu>
Muh}ammad Mahdi> ‘Abd al-Qa>dir ibn ‘Abd al-Ha>di. T}uruq
Takhri>j H}adi>s\ Rasulillah saw. diterjemahkan oleh Said Aqil Husain
Munawwar dan Ahmad Rifqi Mukhtar, Metode Takhrij Hadis (Cet. I;
Semarang: Dina Utama, 1994), h. 15.
[15]Sebenarnya
penyusun kitab al-Mu’jam ini adalah sebuah tim. Dan salah satu dari tim
tersebut yang sangat aktif, mulai dari proses penyusunan juz pertama sampai juz
terakhir adalah Arnold John Wensinck. Tim tersebut bekerja sama juga dengan
Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>. Pencarian hadis melalui kitab al-Mu’jam
tersebut berdasarkan petunjuk lafal matn hadis.
[16]A.J. Wensinck Diterjemahkan oleh
Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z}
al-H}adi>s\ al-Nabi>, Juz. II (Brill: Laeden, 1936 H.), h. 273-274.
[21]Abu> ‘Abdillah Ah}mad ibn
Muh{ammad ibn H{ambal al-Syaiba>ni>. Musnad Ah}mad, Juz. III (Cet.
I; Bairut: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M), h. 183.
[22]Al-Bukha>ri>, op.cit., Juz.
[23]Muslim, op.cit., Juz. VI,
h. 6.
[25]Al-Bukha>ri>, op.cit., Juz.
III, h. 1365.
[28]Dari aspek kebahasaan kata i’tibar
merupakan mashdar dari kata I’tabara yang berarti
menguji,memperhitungkan. Sedangkan dari aspek peristilahan I’tibar adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk
suatu hadis tertentu, agar dapat diketahui apakah da periwayatan lain, ataukah
tidak ada bagian sanad hadis dimaksud. Lihat Mahmu>d al-Tahha>n, Us{u>l
al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d (Cet. II; Riya>d{:
Matba’ah al-Ma’a>rif, 1991), h. 140. Lihat juga M. Syuhudi Ismail,
Metodologi Penelitian Hadis Nabi ( Cet. I: Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
h. 51-52.
[29]Al-Sya>hid adalah hadis yang diriwayatkan
oleh dua orang sahabat atau lebih, sedangkan al-muta>bi‘ adalah hadis
yang diriwayatkan dua orang setelah sahabat atau lebih, meskipun pada level
sahabat hanya satu orang saja. Lihat: ‘Abd al-H}aq ibn Saif al-Di>n ibn
Sa‘dulla>h al-Dahlawi>, Muqaddimah fi> Us}u>l al-H{adi>s\ (Cet.
II; Beirut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah, 1406 H./1986 M.), h.
56-57.
[30]Lihat: al-Bukha>ri>,
op.cit., Juz. II, h. 848, 901, Juz. III, 1010, Juz. V, 1988, 1996, dan Juz. VI, h. 2611. Muslim op.cit., Juz.
III, h. 1459. Abu> ‘I<sa> Muh{ammad ibn ‘I<sa>
al-Turmu>z\i>, Sunan al-Turmuz\i>, Juz IV (Beirut: Da>r
Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 208. Abu> Da>wud
Sulaima>n ibn al-Asy‘as\ al-Sijista>ni>, Sunan Abi> Da>ud, Juz.
II (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 145. Ah{mad, op.cit., Juz. II,
h. 5, 54, 111 dan 121.
[31]Sikap
ini harus dipertegas karena sebuah penelitian hadis yang hanya menekankan pada
aspek sanadnya semata maka akan berakhir pada kelompok ekstrim yang cenderung
bersikap sanad-oriented, yakni kualitas sebuah hadis (maqbu>l
dan mardu>d-nya) ditentukan oleh kualitas sanadnya. Jika berdasarkan
penelitian sanad, hadis itu dapat diterima, maka mereka akan menerimanya. Selanjutnya
jika mereka menemukan redaksi yang ganjil berdasarkan prinsip-prinsip pokok
Islam, maka mereka akan menggunakan takwil, meski terkadang takwil tersebut
terkesan dipaksakan. Sikap inilah yang dikritisi oleh Syeikh Muh}ammad al-Gaza>liy
dalam kitabnya al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl
al-H{adi>s{ karena dengan penelitian yang cermat dengan tidak hanya
bertumpu pada kritik sanad semata ternyata ditemukan ada beberapa hadis yang
dari segi sanadnya dinilai shahih tetapi dilihat dari segi matan tidak sejalan
dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Akibatnya, terkadang pemahaman-pemahaman
yang telah mapan harus runtuh berdasarkan kajian dengan dasar kritik matan itu. Sebaliknya, penelitian hadis yang hanya
bertumpu pada kritik matan saja juga akan berakhir pada sikap matan-oriented,
yakni diterima dan tidaknya suatu hadis hanya ditentukan oleh kualitas
matannya. Sehingga jika mereka menemukan matan yang menurut mereka tidak
sejalan dengan pemahaman keagamaan, mereka akan menolaknya. Akibatnya, tidak
sedikit hadis yang dari segi sanadnya bernilai shahih terpaksa ditolak. Padahal
dengan takwil yang wajar dan tidak dipaksakan, sebetulnya hadis itu bisa
diterima. Bahkan al-Gaza>liy
selalu menempatkan kepentingan al-Qur’an di atas segalanya, sebut saja ia
berpandangan bahwa sudah selayaknya al-Sunnah tidak menyimpang dari al-Qur’an
sebagai sumber primer. Untuk itu, perlu adanya kritisi terhadap hadis-hadis
yang bertentangan dengan pokok pikiran al-Qur’an, meski kemudian harus
“mengabaikan” susunan sanadnya. Kenapa disebut “mengabaikan”? Jawabannya tidak
lebih dari respon-respon yang ditunjukkan oleh al-Ghazali sendiri perihal
keputusannya untuk segera “menghakimi” hadis yang berlawanan dengan al-Qur’an
walaupun sanad hadis tersebut sahih. Padahal yang selama ini dipakai sebagai teori
untuk menentukan layak tidaknya hadis sebagi hujah adalah dari segi sanad, jika
sanad cacat maka tidak ada harapan bagi hadis tersebut untuk dijadikan sebagai
hujah. Memang, pada awal-awal tulisannya, al-Ghazali dengan sangat jelas
menempatkan kritik sanad di atas kritik matan. tetapi, pada tataran praktisnya
toh beliau tidak mempertimbangkan lebih jauh lagi masalah sanad ketika
didapati-menurut keilmuannya -bahwa hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an dan
akal. Dan dengan serta merta beliau menolak keabsahan hadis tersebut. Untuk lebih jelasnya, lihat Muh}ammad
al-Gaza>li>, al-Sunnah al-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh} wa ahl
al-H}adi>s| (cet. XII; Kairo:
Da>r al-Syuru>q, 2001), h. 17-42.
[32]Mah}mu>d al-T{ahha>n, Us}u>l
al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d (cet. III; Riyad: al-Ma’a>rif,
1996), h. 139.
[34]Muslim ibn al-H{ajja>j, Muqaddimah
S{ah}i>h} Muslim bi Syarh} al-Nawawi>, jil. I (cet. I; Kairo:
al-Maktabah al-S|aqafi>, 2001), h. 121.
[35]Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 63.
[36]Lihat Muh}ammad ibn Idris al-Sya>fi’i>,
al-Risa>lah, Juz II, naskah diteliti dan disyarah oleh Ahmad Muhammad
Syakir (Kairo: Da>r al-Tura>s\, 1979), h. 369.
[37]Lihat Us\ma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n,
Muqaddimah ibn al-S{ala>h fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (cet. I;
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), h. 18.
[38]Abu> Ish{a>q
al-Syaira>zi>, T{abaqa>t al-Fuqaha>’ (Beirut: Da>r
al-Ra>id al-‘Arabi>, 1970 M.), h. 91.
[39]Abu> al-‘Abba>s Ah{mad ibn
Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn Khalka>n, Wafaya>t al-A‘ya>n wa
Anba>’ Abna>’ al-Zama>n, Juz. I (Beirut: Da>r S{a>dir, 1900
M.), h. 63.
[40]Abu> H{a>tim Muh{ammad ibn
H{ibba>n ibn Ah}mad al-Tami>mi>, Masya>hi>r ‘Ulama>’
al-Ams}a>r, Juz. I (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1959 M.), h.
161.
[41]S{ala>h al-Di>n ibn Ah}mad
al-Adlabi>, Manhaj Naqd al-Matn 'Inda Ulama>' al-H{adi>s\ al-Nabawi>,
terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis (Ciputat;
Gaya Media Pratama, 2004), hal. 4.
[42]
Bustamin, op. cit., h. 62.
[43]Lihat
al-Adlabi>, op. cit., h. 207-208.
[44]Ibid,
h. 209. Dari kalangan ulama kontemporer semisal Yu>suf al-Qard}a>wi>
dan Muh}ammad al-Gaza>li> juga memiliki kriteria kesahihan matan hadis.
Al-Qard}a>wi> misalnya, menetapkan; a) Memahami al-sunnah sesuai dengan
petunjuk al-Qur’an, b) Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang
sama, c) Penggabungan antara hadis-hadis yang tampak bertentangan, d) Memahami
hadis Nabi dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisi ketika
diucapkan serta tujuannya, e) Membedakan antara saran yang berubah-ubah dan
sasaran yang tetap, f) Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan
yang bersifat majaz dalam memahami hadis, g) Mengklasifikasi hadis-hadis yang
berbicara alam ghaib dan alam nyata, h) Mempertegas pentunjuk-petunjuk lafazh
hadis. Lihat Yusuf
al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-nabawiyyah (cet. I; Kairo: Dar al-Syuruq, 2000),
h. 113-197.
[45]Arifuddin
Ahmad, op. cit., h. 117. Bandingkan dengan Kamaruddin Amin, Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (cet. I; Jakarta: Hikmah, 2009), h.
58.
[46]Arifuddin
Ahmad, lok. cit.
[47]Ibid,.
[48]Pembagian kualitas matan hadis
berbeda dengan kualitas sanad hadis. Karena sebagaimana diketahui bahwa
untuk hadis dan sanad hadis dikenal ada tiga istilah kualitas, yakni shahih,
hasan, dan dhaif. Akan tetapi, untuk matan hadis maka pembagian kualitasnya
hanya dua, yaitu shahih dan dhaif. Adapun kualitas hasan tidak termasuk di
dalamnya sebab ia hanya dalam kategori sanad. Hal ini dipahami dari penjelasan
ulama bahwa hadis hasan adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis
shahih, hanya saja kualitas kedhabitannya lebih rendah sedikit dengan
kedhabitan hadis shahih tetapi juga tidak sampai pada kategori dhaif. Untuk
lebih jelasnya, lihat buku-buku ushul al-Hadis yang berbicara mengenai hal itu.
[51]Al-Bukha>ri>, op.cit., Juz.
III, h. 1273. Muslim, op.cit., Juz. III, h. 1471 dan Ah}mad, op.cit.,
Juz. II, h. 297.
[52]Kartono,
op. cit., h. 49.
[53]Ibid.
[54]Ibid.,
Juz. XIII, h. 113. Lihat pula
Abu> al-T{ayyi>b Muh}ammad Syams al-H{aq al-'Az}i>m A>ba>di>,
'Aun al-Ma'bu>d Syarh} Sunan Abi> Da>ud, Juz. VIII (Cet. II; Beirut: Da>r al-Kutub
al-'Ilmiyah, 1415 H), h. 105.
[55]Sahabuddin…[et
al.], Ensklopedi al-Qur'an; Kajian Kosa Kata, Juz. III (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 829.
[60]Ahmad
Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia Terlengkap (Cet. XIV;
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.), h. 1466.
[61]Abu>
al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariya, Mu'jam Maqa>yi>s
al-Lugah, Juz. I (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1979), h. 141. Selanjutnya disebut Ibn Fa>ris.
[62]H.
A. Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu
Syariah (Bogor; Kencana, 2003), h. 91-92.
[63]Al-Bukha>ri>,
op. cit., Juz. IV, h. 327.
[64]Juhaya
S. Praja, Tafsir Hikmah; Seputar Ibadah, Muamalah, Jin, dan Manusia (Bandung;
Remaja Rosdakarya, 2000), h. 141.
[65]Fiqh
Dustu>ri> adalah salah satu bagian dari fiqh
siya>sah (fiqh dustu>ri>, fiqh ma>li, fiqh dauli>, dan
fiqh harbi>), yang mengatur hubungan antara warga Negara dengan lembaga
Negara yang satu dan warga Negara dengan lembaga Negara yang lain dalam
batas-batas administratif suatu Negara.
[68]Lihat
Muh}ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r al-Mis}ri>, Lisa>n al-'Arab, Juz. XII (Beirut; Da>r S{a>dir, t.th.), h.
22.
[70]Abu>
H{asan al-Mawardi>, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah wa al-Wila>yah
al-Di>niyyah (Cet. III; Mesir; Mus}t}afa al-Asabil H{alibi>, t.th.),
h. 5.
[71]Ah}mad, op.cit., Juz.
III, 183.
[72]Begitulah cara pandang Ibn
Khaldun bahwa ia tidak memahami teks al-aimmah min Quraisy secara
lahiriah belaka. Sesuai dengan teori ‘as}abiyah-nya. Ia memahami bahwa
yang ditekankan adalah sifat dan kemampuan suku Quraisy yang pada masa itu di
atas suku lain. suku Quraisy merupakan suku Arab paling terkemuka dengan
solidaritas yang kuat dan dominan serta berwibawa. Jadi teks itu haruslah
dibaca sebagai kepemimpinan itu berada pada mereka yang memiliki ciri-ciri suku
Quraisy dan tidak musti harus selalu orang Quraisy. Lihat Al-Mawardi>, al-Ah}ka>m
as-Sult}a>niyah (Mesir, Must}afa> al-Ba>bi> al-H{alabi> wa
Awla>duh, 1966), h. 6; lihat juga: Ibn Khaldu>n, Muqaddimah (Beirut,
Da>r al-Fikr, t.th.), h, 194.
[73]Lihat: Al-Syahrasta>ni>, al-Milal
wa an-Nih}al, Juz. I (Bairut: Da>r al-Ma‘rifah, 1404 H), h. 108.
[74]Lihat: Yu>suf
al-Qard}a>wi>, Kayfa Nata‘a>mal ma‘a al-Sunnah (Cairo: Da>r al-Syuru>q, 2000), h. 24.
[75]S}afiy al-Rah}ma>n
al-Muba>rakfu>ri>, al-Rah}i>q al-Makhtu>m (Riya>d}:
Makhtabah Da>r al-Sala>m, 1414 H./1994 M.), h. 60.
[76]Kepemimpinan Quraysh sama halnya
dengan pendapat mengenai relasi laki-laki dan perempuan, terutama konsepsi qiwa>mah
atau qawwa>m yang sering dijadikan dasar legitimasi kepemimpinan
laki-laki atas perempuan, dan pelarangan kepemimpinan perempuan atas laki-laki.
Pendapat ini harus diletakkan pada konteks di mana ayat itu dipahami oleh
masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai sosial yang berkembang pada saat
itu. Konsepsi qiwa>mah adalah persoalan pendapat, bukan persoalan
perintah ayat atau ketentuan Allah swt. Karena setelah Nabi Muhammad saw.
wafat, tidak seorangpun yang berhak mengklaim sebagai juru bicara Allah swt.,
atau orang yang paling mengerti terhadap maksud Allah swt. dalam al-Qur’an.
Dalam hal ini, semua konsepsi yang ditawarkan juga adalah tafsir atau ijtihad
yang tentu bersifat kontekstual, tidak mutlak dan dinamis. Dengan
mempertimbangkan pada perubahan sosial masyarakat yang terjadi sedemikian rupa,
konsepsi qiwa>mah perlu dirumuskan kembali, yaitu rumusan yang
mengakomodasi dua hal sekaligus; dasar-dasar tafsir yang dikembangkan ulama
salaf (al-‘ulu>m an-naqliyyah) dan pertimbangan rasional terhadap
realitas sosial (al-‘ulu>m al-‘aqliyyah).
[77]Kepemimpinan profetik yang
dimaksud adalah kepemimpinan yang berlandaskan pada nilai-nilai wahyu yang
dibawa oleh Rasulullah saw. Nilai-nilai wahyu itu telah dituangkan-Nya ke dalam
al-Qur’an, yang menjadi pedoman hidup bagi manusia agar mampu keluar dari
kondisi jahiliyyah menuju terciptanya kehidupan di dunia ini yang harmonis dan
seimbang sehingga kebahagiaan di dunia dan akhirat akan tercapai.
[78]Al-Bukha>ri>, op.cit., Juz.
[79]Muh}ammad ‘Abd Rau>f
al-Mana>wi>, Faid} al-Qadir>, Juz. I (Cet. I; Bairut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H./1994 M.), h. 578.
[80]Muh}ammad ‘Abd Rau>f
al-Mana>wi>, al-Taisi>r bi Syarh{ al-Ja>mi‘ al-S}agi>r,
Juz. I (Cet. III; Riyad: Dar al-Nasyr, 1408 H./1988 M.), h. 264.
[81]Muh}ammad ‘Abd Rau>f
al-Mana>wi>, Faid} al-Qadi>r. op.cit. Juz. I, h. 578.
[82]Mus}t}afa>
al-Gala>yaini>, ‘Iz}ah al-Na>syii>n: Kitab Akhlak, wa Adab wa
‘Ijtima’i (Bairut: Salim ibn Saud Nabhan, t.th.), h. 35.
[83]Abu> Muh}ammad Badr
al-Di>n al-H{anafi>, ‘Umdah al-Qa>ri’ Syarh} S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>, Juz. II (CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah), h. 378.
[84]Muslim, op.cit., Juz. VI,
h. 6.
[85]Muh}ammad ibn Mukarram ibn
Manz}u>r al-Afri>qi>, op.cit., Juz. IX, h. 203.
[86]Lihat: Abu> Zakariya>
Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawi>, Syarh} S}ah}i>h} Muslim, Juz.
XII (Cet. II; Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1392 H.),
h. 210.
[87]Quraysh Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, Juz. VI (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 484.
[88]Bai'at sesungguhnya dipergunakan
sejak masa nabi. Nabi seringkali melakukannya seperti tercatat dalam sejarah
Islam, yakni berlangsungnya Bai‘ah al-Rid}wa>n dan Bai‘ah
al-‘Aqabah. Al-Nasa>’i> dalam Sunan-nya mengelompokkan bai'at
ke dalam sepuluh macam. Lihat Al-Nasa>’i>, Sunan al-Nasa>’i>,
Juz. VI (Beirut: Da>r al-Jai>l,1989), h. 683-684. Intinya, bai'at itu
berisi janji untuk setia dan patuh kepada nabi serta akan mengamalkan dan
membela ajaran Islam. Penggunaan istilah bai'at ini diteruskan sepeninggal Nabi
saw. tetapi telah terjadi pergeseran makna. Pada masa kekhalifahan, bai'at
menjadi ikrar politik, yang tanpanya tak akan sempurna atau tidak diakui
seorang khalifah. Lebih lanjut tentang bai'at lihat: al Maha>mi> Ah}mad
H{usain Ya‘qu>b, al-Niz}am Al-Siya>si> fi> al-Isla>m
(Qum: Ans}a>riyah, 1312 H.), h. 69-75.
[89]Muslim, op.cit., Juz.
III, h. 1481.
[90]Muslim, op.cit., Juz.
III, h. 1454.
[91]Al-Bukha>ri>, op.cit., Juz.
III, h. 1365.
[92]S}afi al-Rah{ma>n
al-Muba>rakfu>ri>, op,cit., h. 463.
[94]Muh}ammad
ibn 'Ali ibn Muh}ammad al-Syauka>ni>, Fath} al-Qadi>r al-Ja>mi'
baina Fanni al-Riwa>yah wa al-Dira>yah min 'Ilm al-Tafsi>r, jil. IV (Beirut: Da>r
S{a>dir, t.th),
h. 255.
[95]A.W. Munawwir, op. cit., 906.
[100]Rachmat Ramadhana al-Banjari, op.
cit., h. 249.
1 komentar:
GOOD
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....