Dr. Abdul Gaffar, S. Th.I, M. Th.I |
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu dibangun di atas tiga landasan; ontologis, epistemologis dan aksiologis. Secara
ontologis ilmu dibangun berdasarkan konstruksi ilmu pengetahuan keyakinan
filosofis tentang (hakikat ) realitas. Secara epistemologis ilmu dibangun atas
dasar metodologi yang diturunkan dari hakikat realitas yang diyakini
kebenarannya, sedangkan secara aksiologis ilmu dikembangkan untuk memenuhi tujuan
etis sesuai dengan hakikat kebenarannya yang diyakininya.[1]
Konsep realitas sangat
mempengaruhi epistemologi. Bagi Mayoritas ilmuwan dan pemikir dalam peradaban
Barat modern, yang diakui sebagai realitas adalah terbatas kepada apa yang
dapat disaksikan oleh panca indera atau yang dapat disahkan oleh metode empiris
sehingga terjadi terjadi penyempitan realitas objek yang dapat diketahui oleh
manusia dan wilayah realitas subyek yang mengetahui.[2]
Keraguan menyangkut panca indra
memang wajar tetapi ia tidak harus selalu diragukan. Dia memang tidak jarang
keliru apalagi tidak semua objek dapat menjadi sasarannya. Kebenaran yang
diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika
ilmiah terhadap realitas objek dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan
pragmatis, koresponden, koheren dan wahyu.
Sementara untuk membahas hubungan antara al-Qur’an dan ilmu
pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau
bahasan tentang angkasa luar, ilmu komputer tercantum dalam al-Qur’an, akan
tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi
kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Qur’an
yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?.[3]
Di sisi lain, dalam al-Qur’an
tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam
mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya
menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua
atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah.[4]
Demikianlah al-Qur’an telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan
akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi
kemajuannya.[5]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,
dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian epistemologi dan
kebenaran ilmiah?
2.
Bagaimana epistemologi kebenaran
pengetahuan dalam al-Qur’an?
3.
Bagaimana hubungan antara al-Qur’an
dan kebenaran ilmiah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Epistemologi dan Kebenaran Ilmiah
1.
Epistemologi
Epistemologi
berasal dari bahasa
Yunani,
yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori/pembicaraan/ilmu.[6] Epistemology
merupakan cabang filsafat yang berkaitan
dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini
termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang
filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya,
macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.[7]
Dengan pengertian ini, epistemologi tentu saja
menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran macam apa yang
dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Bila kumpulan pengetahuan
yang benar diklasifikasi, atau disusun secara sitematis dengan metode yang
benar, maka ia dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran
fakta/kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang
dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.[8]
Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera
dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode
positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.[9]
Meskipun
demikian, perbedaan suatu epistemologi dengan epistemologi yang lain adalah
tanggapan terhadap ruang lingkup realitas objek dan ruang lingkup realitas
subjek yang dapat diterima sebagai sebuah keyakinan. Aliran utama epistemologi
modern -ciptaan pemikiran Barat- berbeda dengan epistemologi Islam pada umumnya
dari segi tanggapan terhadap kedua dua ruang lingkup tersebut.
Mayoritas
ilmuwan dan pemikir dalam peradaban Barat modern, yang diakui sebagai realitas
adalah terbatas kepada apa yang dapat disaksikan oleh panca indera atau yang
dapat disahkan oleh metode empiris, sedangkan yang tidak dapat dibuktikan
dengan menggunakan metode ini disangsikan eksistensinya atau pun ditolak sarna
sekali. Metode ilmiah dijadikan penentu tunggal eksistensi sesuatu. Tegasnya,
ruang lingkup realitas objek menurut aliran pemikiran ini adalah terbatas
kepada alam fisik.[10]
Konsep realitas
dalam pemikiran Islam berdasarkan al-Qur'an adalah realitas objek yang dapat
diketahui mencakup seluruh alam semesta dan penciptanya yakni Allah swt.. Alam
semesta yang wujud di luar diri manusia bersifat hirarkis yakni memiliki
berbagai tingkat wujud atau eksistensi. Alam semesta atau kosmos yang
diperlihatkan oleh al-Qur'an terbahagi secara umum kepada tiga tingkat wujud
dengan sifat realitas masing-masing. Realitas tingkat terendah adalah realitas
fisik atau dunia materi. Realitas tingkat teratas adalah realitas spiritual.
Dalam al-Qur'an realitas ini merujuk kepada dunia malaikat yang menurut hadis
adalah diciptakan dari cahaya. Realitas tingkat tengah adalah realitas psikis
atau animistik yang juga disebut sebagai dunia halus. Dari segi peristilahan
keagamaan di dalam al-Qur'an realitas ini merujuk kepada dunia jin yang diciptakan
dari api yang bukan fisik.[11]
Menurut
al-Qur'an, realitas subyek yang dapat diketahui mencakup seluruh apa yang
disebut sebagai miniatur alam (al- 'alam al-saghir).[12]
Di Barat ia dikenal dengan istilah microcosm. Alam ini merujuk kepada
alam diri manusia yang juga terbagi kepada beberapa tingkat wujud dengan sifat
realitas masing-masing. al-Qur'an menegaskan:
الذي أحسن كل شيء خلقه وبدأ خلق الإنسان من طين. ثم جعل نسله
من سلالة من ماء مهين. ثم
سواه ونفخ فيه من روحه وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة قليلا ما تشكرون.
“Dia memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menyempurnakannya
dan meniupkan ruh-Nya ke dalam (tubuh manusia) dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, pengelihatan dan hati tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”.[13]
Dengan demikian, Fasilitas
pengetahuan manusia meliputi panca indera yang dapat mengamati objek-objek
fisik, akal/rasionalitas yang mampu mengenal objek fisik dan nonfisik dengan
menyimpulkan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui dan hati (qalb)
yang menangkap nonfisik atau metafisika melalui kontak langsung dengan objek
yang hadir dalam jiwa.[14]
Fasilitas-fasilitas tersebut yang yang memungkinkan manusia mengetahui realitas
alam semesta yang bertingkat-tingkat wujudnya dalam suatu hirarkis. Oleh karena
itu, dalam epistemologi Islam, dikenal realitas fisik dan non-fisik, baik
berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika.[15]
Epistemologi
Islam menegaskan bahawa setiap disiplin ilmu atau sains dicirikan oleh empat
perkara sebagai berikut: 1) maudu’ (subject matter), 2) ada
premis-premis (muqaddamat) yang perlu dibuktikan dalam displin ilmu yang
lebih tinggi, 3) ada metode (tariqah) dan 4) ada tujuan/objektif (ahdaf).
2.
Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah
muncul dari hasil penelitian ilmiah dengan melalui prosedur baku berupa
tahap-tahapan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang berupa metodologi ilmiah
yang sesuai dengan sifat dasar ilmu.[16]\
Sejarah filsafat
Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama,
idealism atau rasionalism (Plato), yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan
pentingnya peran akal, idea, category, form, sebagai sumber ilmu
pengetahuan, dan mengesampingkan peran indera. Kedua, adalah realism atau
empiricism (Aristoteles), yaitu aliran pemikiran yang lebih menekankan
peran indera sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan, serta
menomorduakan akal. Kedua aliran tersebut lahir pada zaman Yunani antara tahun
423 sampai dengan tahun 322 sebelum Masehi. [17]
Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain diantaranya,
kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan lain
sebagainya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissans di Barat. [18]
Sedangkan menurut
Prof. Syed Naquib Al-Atas, mengatakan sumber dan kriteria kebenaran dalam
pandangan Islam terbagi atas dua bagian besar, yakni yang bersifat relative dan
yang bersifat absolut. Yang termasuk sumber pengetahuan relatif adalah indra
dan persepsi. Sumber yang absolut, tiada lain al-Quran dan Sunnah.
Sebagaimana telah
dipaparkan pada makalah-makalah sebelumnya, terdapat berbagai teori tentang
rumusan kebenaran. Secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu
koherensi, korespondensi dan pragmatik.[19]
Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu :
kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran
pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu
teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik.[20]
Namun dalam Islam ada kebenaran yang disebut kebenaran agama (ilahiyah).
Meskipun demikian, penulis menjelaskan empat teori kebenaran sebagai berikut:
a.
Kebenaran
Pragmatis: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki
kegunaan/manfaat praktis dan bersifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari.[21]
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa contoh, antara lain: Khamar itu ada
manfaatnya meskipun lebih banyak mudarratnya sebagaimana firman Allah:
يسألونك عن الخمر
والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما
“Mereka bertanya
kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya”.[22]
b.
Kebenaran
Koresponden: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan
yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek
yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kebenaran korespondensi adalah
kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan.[23]
Salah
satu contoh kebenaran korespondensi dalam al-Qur’an adalah pernyataan tentang
pertemuan antara air asin dan air tawar tanpa bercampur baur.
وهو الذي مرج البحرين هذا
عذب فرات وهذا ملح أجاج وجعل بينهما برزخا وحجرا محجورا
Artinya: “Dan dialah yang membiarkan dua laut yang
mengalir (berdampingan); yang Ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi
pahit; dan dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi”.[24]
c.
Kebenaran
Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki
koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar tanpa melihat kepada
fakta atau realita.[25]
Teori koheren menggunakan logika deduktif.
Salah
satu contoh dalam al-Qur’an adalah pernyataan tentang zina:
ولا
تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا...
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.[26]
Pernyataan
al-Qur’an tersebut ternyata telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah yang
terdapat di wilayah perairan Inggris. [27]
Pernyataan
tersebut sejalan dengan pernyataan-pernyataan al-Qur’an yang lain seperti:
والذين لا يدعون مع الله
إلهاً آخر، ولا يقتلون النفس التي حرم الله إلا بالحق ولا يزنون ومن يفعل ذلك يلق أثاما.
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang
lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang
melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)”.[28]
Dan
pernyataan yang melarang kepada fawahisy (perbuatan buruk):
ولا تقربوا الفواحش ما
ظهر منها وما بطن
Artinya: “….Dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi….[29]
Ketiga
teori ini mempunyai perbedaan paradigma. Teori koherensi mendasarkan diri pada kebenaran
rasio, teori korespondensi pada kebenaran factual dan teori fragmatis mefungsional
pada fungsi dan kegunaan kebenaran itu sendiri. Tetapi ketiganya memiliki
persamaan, yaitu pertama, seluruh teori melibatkan logika, baik logika formal
maupun material (deduktif dan induktif), kedua melibatkan bahasa untuk menguji kebenaran
itu, dan ketiga menggunakan pengalaman untuk mengetahui kebenaran itu.
d.
Kebenaran
wahyu adalah pengetahuan yang bersumber dari
Tuhan melalui hambanya yang terpilih untuk menyampaikannya (Nabi dan Rasul).
Melalui wahyu atau agama, manusia diajarkan tentang sejumlah pengetahuan baik yang
terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh manusia.
Dalam
teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk
pencari kebenaran, manusia dapat mencari dan menemukan kebenaran melalui agama.
Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama
atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan haditsnya
dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
Salah
satu contoh kebenaran wahyu adalah tentang berlipat ganda balasan bagi orang
yang membelanjakan hartanya di jalan Allah swt.
مثل الذين ينفقون أموالهم
في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مائة حبة والله يضاعف لمن يشاء
والله واسع عليم
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha
luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.[30]
B.
Al-Qur’an
Sebagai Sumber Epistemologi
Filsafat adalah
dasar semua pengetahuan yang mempersoalkan cara-cara meraih pengetahuan,
pengembangan pemikiran, batas pengetahuan dan bagaimana memanfaatkan
pengetahuan, ternyata sebagian dari persoalan diatas dapat ditemukan jawabannya
pada wahyu pertama yang diterima oleh nabi Muhammad saw yang terdapat dalam
surah al-Alaq: 1-5 di antaranya pengetahuan dengan pena dan pengetahuan
ilahiyah.
Beragam uraian
para pakar tentang persoalan yang dibahas oleh epistemologi namun agaknya dapat
disebutkan beberapa hal yang menjadi pembahasannya, antara lain: apakah sumber
pengetahuan?, bagaimana manusia mengetahui?, apa watak pengetahuan?, apakah
yang diketahui itu ada wujudnya diluar benak siapa yang mengetahuinya. Kalau
ada, apakah manusia dapat menjangkaunya?, apakah pengetahuan -yang ada dalam
benak itu- benar adanya? Dan bagaimana membedakan antara yang benar dan yang
salah?. Untuk mengetahui al-Qur’an menjadi sumber epistemologi atau tidak,
pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban dari al-Qur’an.
Sebagaiman telah
dijelaskan sebelumnya bahwa ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara
lain:
1.
Emperisme yang beranggapan
bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman (empereikos/pengalaman).
Dalam hal ini harus ada tiga hal, yaitu yang mengetahui (subjek), yang
diketahui (objek) dan cara mengetahui (pengalaman). Tokoh yang terkenal: John
Locke (1632 –1704), George Barkeley(1685 -1753) dan David Hume. [31]
Dalam
Al-Qur'an, banyak ayat yang menganjurkan untuk melakukan perjalanan dan
menjadikan pengalaman sebagai pelajaran yang harus dimanfaatkan.[32]
Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur'an, wujud yang yang diinformasikan oleh
panca indra -selama dalam wilayah kerjanya- dapat diandalkan dan bahwa apa yang
dijangkaunya adalah satu kenyataan dan pengetahuan.[33]
Bahkan
al-Qur'an secara tegas menyatakan bahwa: “Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibu-ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, aneka penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.[34]
2.
Rasionalisme, aliran ini menyatakan
bahwa akal (reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun
belum didukung oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596–1650,
Baruch Spinoza (1632 –1677) dan Gottried Leibniz (1646 –1716). [35]
Al-Qur'an memerintahkan
manusia untuk menggunakan nalarnya dalam menimbang ide yang masuk ke dalam
benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hat ini dan dengan berbagai
redaksi seperti ta'qilu>n, tatafakkaru>n, tadabbaru>n.[36]
dan lain-lain. lni membuktikan bahwa
akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah
kerjanya.
3.
Intuisi. Dengan intuisi,
manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Ciri khas intuisi antara lain; z|auqi> (rasa) yaitu melalui
pengalaman langsung, ilmu hud}u>ri> yaitu kehadiran objek dalam
diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan tetapi
mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari
evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.[37]
Dalam
surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dijelaskan bahwa ada dua
cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena" (tulisan) yang
harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung
tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm Ladunny
seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir:
فوجدا
عبدا من عبادنا آتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علما
Artinya: “Lalu mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami”.[38]
Pengetahuan
intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu,
ada yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A,
ada juga ide cemerlang secara tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642-1727 M)
menemukan gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh
dari tempat ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan
Nabi Ibrahim as.[39]
4.
Wahyu adalah pengetahuan yang
bersumber dari Tuhan melalui hamba-Nya yang terpilih untuk menyampaikannya (Nabi
dan Rasul). Melalui wahyu atau agama. Manusia diajarkan tentang sejumlah pengetahuan
baik yang terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh manusia.[40]
Disamping
itu, masih ada sumber
pengetahuan seperti kritisisme atau rasionalisme kritis adalah pandangan yang
mendasari kebenaran pada dua aspek yaitu rasio dan pengalaman.[41]
Sedangkan positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan
berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit
perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan
kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.[42]
C.
Hubungan
al-Qur’an dan Kebenaran Ilmiah
Untuk lebih
menekankan kepentingan ilmu pengetahuan, al-Qur’an memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang merupakan ujian kepada mereka: “Tanyakanlah hai Muhammad!
Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui?”.[43] Pada
ayat yang lain, Allah menjelaskan: “Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini
membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula
dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui?”.[44]
Ayat ini
merupakan kritik pedas terhadap mereka yang berbicara atau membantah suatu
persoalan tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan
persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru
dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu
pengetahuan. Namun pada sisi lain, al-Qur’an sudah menyampaikan bahwa manusia
hanya diberikan sedikit saja tentang ilmu pengetahuan.[45]
Untuk menguji
suatu kebenaran, dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan
mengikuti aliran rasionalisme, empirisme dan positivisme.
Al-Qur’an
sebagai kitab petunjuk dan pedoman hidup manusia, tentu mencakup berbagai
informasi yang bersifat keilmuan. Oleh karena itu, al-Qur’an memiliki hubungan yang
erat dengan ilmu pengetahuan.
Imam Gazali
dalam kitabnya jawahir al-Qur’an berpendapat bahwa seluruh cabang ilmu
pengetahuan, baik yang terdahulu maupun yang akan datang bersumber dari
al-Qur’an.[46]
berbeda dengan al-Gazali, Imam al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat
sebagaimana dikutip Quraish Shihab berpendapat bahwa sahabat tentu lebih
mengetahui al-Qur’an dan apa yang tercantum di dalamnya, akan tetapi tak
seorangpun di antara mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh
ilmu pengetahuan.[47]
Dari dua
pendapat di atas, penulis tidak bisa mengatakan bahwa salah satu atau keduanya
salah atau benar. Namun penulis berpendapat bahwa al-Qur’an memberikan
dasar-dasar tentang ilmu pengetahuan atau al-Qur’an meletakkan keuniversalan
ilmu pengetahuan, sedangkan pengembangan dan pendalaman ilmu pengatahuan
dilakukan oleh manusia.
Oleh karena
itu, pembicaraan tentang hubungan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan tidak hanya
sekedar dilihat dari banyak tidaknya cabang ilmu pengetahuan yang termaktub
dalam al-Qur’an dan tidak sekedar menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah,
akan tetapi pembicaraan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat,
yaitu lebih diarahkan kepada jiwa-jiwa ayat-ayat al-Qur’an yang mendorong dan
memotivasi manusia menggunakan akal untuk berfikir, melakukan observasi dan
penelitian demi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya
dapat menambah keimanan.
Namun untuk
membuktikan hubungan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan serta
kebenaran-kebenarannya sebagai salah satu bukti kemukjizatan al-Qur’an, perlu
didukung oleh beberapa fakta dan diuji oleh dengan beberapa pendekatan sebagai
berikut:
1.
Sperma
Al-Qur’an 15
abad yang lalu telah mengungkapkan tentang isyarat reproduksi manusia yang
diungkapkan dalam surah al-Qiyamah: 36-39, al-Najm: 45-46 dan al-Waqi’ah: 58-59
bahwa manusia tercipta dari sperma yang dipancarkan secara berpasang-pasangan.
Hal itu sejalan dengan penemuan ilmiah pada abad ke-20 bahwa sperma itu
mengandung sekitar 200 juta benih jiwa manusia dan sperma tersebut mengandung
dua kromosom yang dilambangkan dengan Y dan X.[48]
2.
Geografi
Al-Qur’an dalam
surah Yunus: 6, telah menginformasikan bahwa siang dan malam silih berganti dan
berbeda panjang waktunya sebagai tanda dan bukti bagi kaum yang bertaqwa.
إن
في اختلاف الليل والنهار وما خلق الله في السماوات والأرض لآيات لقوم يتقون
Artinya: “Sesungguhnya pada pertukaran
malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi,
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang
bertakwa”.[49]
Keilmuan masa
kini membuktikan bahwa lama waktu siang dan malam akan selalu berbeda sepanjang
tahun disebabkan perputaran bumi terhadap matahari sekitar 23,5o sesuai
dengan posisi matahari dari bumi.[50]
3.
Numerik
Al-Qur’an dalam surah al-Kahfi: 25 menyatakan
bahwa as}ha>b al-kahfi menetap dalam goa selama 300 tahun ditambah 9
tahun.
ولبثوا في كهفهم ثلاث مئة
سنين وازدادوا تسعا
Artinya: “Dan mereka tinggal dalam gua
mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)”.[51]
Sekilas, ayat ini sangat
boros menggunakan kosa kata, kenapa kemudian tidak menggunakan 309 tahun
langsung. Akan tetapi al-Qur’an kemudian membuktikan bahwa 300 tahun awal
adalah hitungan yang menggunakan kalender masehi, sedangkan 300+9 tahun adalah
hitungan yang menggunakan kalender hijriyah. Dan hal itu baru dapat dibuktikan
jauh setelah ayat tersebut turun.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, dapat
ditarik beberapa kesimpulan berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan
dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan.
Perbedaan epistemologi Islam dan Barat terletak pada tanggapan terhadap ruang lingkup
realitas objek dan ruang lingkup realitas subjek yang dapat diterima sebagai
sebuah keyakinan. Konsep realitas dalam pemikiran Islam berdasarkan al-Qur'an
adalah realitas objek yang dapat diketahui mencakup seluruh alam semesta dan
penciptanya yakni Allah swt.. Alam semesta yang wujud di luar diri manusia
bersifat hirarkis yakni memiliki berbagai tingkat wujud atau eksistensi.
Sedangkan Pemikir Barat modern, yang diakui sebagai realitas adalah terbatas
kepada apa yang dapat disaksikan oleh panca indera atau yang dapat disahkan
oleh metode empiris.
Kebenaran ilmiah muncul
dari hasil penelitian ilmiah dengan melalui prosedur baku berupa tahap-tahapan
untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang berupa metodologi ilmiah yang sesuai
dengan sifat dasar ilmu yang dapat diuji dengan empat teori kebenaran, yaitu
korespondensi, koherensi, paragmatis dan wahyu.
2.
Al-Qur’an sebagai sumber
pengetahuan membenarkan sumber pengetahuan yang telah dibahas oleh para filosof
seperti emperisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu dengan catatan bahwa semua
sumber pengetahuan tersebut bekerja pada wilayahnya masing-masing.
3.
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dan
pedoman hidup manusia, tentu mencakup berbagai informasi yang bersifat
keilmuan. Oleh karena itu, al-Qur’an memiliki hubungan yang erat dengan ilmu
pengetahuan. Dimana al-Qur’an memberikan dasar-dasar tentang ilmu pengetahuan
atau al-Qur’an meletakkan keuniversalan ilmu pengetahuan, sedangkan
pengembangan dan pendalaman ilmu pengatahuan dilakukan oleh manusia. Dan
kebenaran-kebenaran ilmiah al-Qur’an telah banyak disaksikan dan dibuktikan
oleh para ilmuan.
B.
Implimentasi
Al-Qur’an dan kebenaran ilmiah memiliki hubungan yang erat, bahkan
al-Qur’an terkadang memberikan informasi yang tidak dapat dibuktikan dengan
teori kebenaran di luar Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa al-Qur’an lebih
luas cakupannya dibandingkan dengan pengetahuan Barat yang telah diuji
kebenarannya.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa manusia dan seluruh sarana yang
diberikan kepadanya memiliki keterbatasan-keterbatasan yang tidak dapat
ditutupi dan hal itu menjadi bukti bahwa di atas manusia masih ada yang lebih
kuasa dan maha tahu yaitu Tuhan yang berhak disembah dan diagungkan dengan
al-Qur’an sebagai buktinya.
Akhirnya, manusia sudah pasti membutuhkan Tuhan sebagai sandaran
dan pengaduan di saat akal dan panca indera tidak mampu lagi untuk
berbuat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Hakim
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad
al-Gazali, Jawahir al-Qur’an, Cet. I; Bairut: Dar Ihya’ al-‘Ulum, 1985.
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan
Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1989.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet.
I; Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
C.A. Van Puersen, Opbow Van De
Wetenschap Eren Inleiding Inde Wetenschaper, terj. J. Drost, Susunan
Ilmu Pengantar (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu) Jakarta: Gramedia, 1989.
H. G. Sarwar, Filsafat al-Qur’an, Cet.
III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
Ismaun, Filsafat Ilmu, Diklat
Kuliah, Bandung: UPI Bandung, 2001.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafah Ilmu : Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
L.O \. Kattsoft, Unsur-unsur
Filsafat, Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.
__________, Element of Philosophy, terj.
Sujono Sumarno, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
M. Quraish Shihab, Kebenaran Ilmiah
al-Qur’an, Bukti Kebenaran Al-Quran, Pemahaman dan Tafsir Al-Quran, www.al-quran.bahagia.us.com, (Dikutip, 05-12-2009).
____________, Membumikan al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1994.
____________, Mukjizat al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 1998.
Mahmud Kamil Abd Shamad, I’jaz
al-Ilmi fi al-Qur’an.
Muhammad Fua>d Abdul Ba>qi>, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m, al-Qa>hirah:
Da>r al-Hadi>s|, t.th.
Muhammad Ismail
Ibrahim, al-Qur’an wa I’jazuh al-Ilmi, t.tp. Dar al_Fikr al-Arabi, t.th.
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Cet.II;
Yogyakarta: Belikar, 2005.
Muhammad Sayyid T}ant{a>wi>, al-Tafsi>r
al-Wasi>t}. CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, www.altafsir.com.
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak
Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam, Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
_________, Menembus Batas Waktu
Panorama Filsafat Islam, Cet. II; Bandung: Mizan Pustaka, 2005.
__________, Panorama Filsafat Islam,
Cet: I; Bandung: Mizan, 2002.
Oesman Bakar, Epistemologi menurut
Perspektif Islam: Beberapa Isu Pilihan Untuk Diskusi, www.i-epistemology.net (05-12-2009).
Penulis Indonesia, Reorientasi
Epistemologi Islam (Sebuah Kajian Filsafat Ilmu), www.penulisindonesia.com, (05-12-2009).
Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, Cet:
VIII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Sarjuni, Rekonstruksi Ilmu
Pengetahuan Kontemporer, Dikutip dari Internet dalam bentuk power point.
(05-12-2009).
Slamet Ibrahim S. DEA. Apt., Filsafat
Ilmu Pengetahuan, Materi perkuliahan di sekolah Faramasi ITB, 2008.
Wahbah ibn Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir
al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Cet. II; Damsiq: Dar
al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H.
[1] Sarjuni,
Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, Dikutip dari Internet dalam
bentuk power point. (05-12-2009).
[2] Oesman
Bakar, Epistemologi menurut Perspektif Islam: Beberapa Isu Pilihan Untuk
Diskusi, www.i-epistemology.net
(05-12-2009).
[3] M.
Quraish Shihab, Kebenaran Ilmiah al-Qur’an, Bukti Kebenaran Al-Quran,
Pemahaman dan Tafsir Al-Quran, www.al-quran.bahagia.us.com,
(Dikutip, 05-12-2009).
[4] QS:
Saba’: 36.
[6] Muhammad
Muslih, Filsafat Ilmu, (Cet.II; Yogyakarta: Belikar, 2005), h. 20.
[7] Rizal
Mustansyir, Filsafat Ilmu (Cet: VIII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 16.
[8] H. G.
Sarwar, Filsafat al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1994), h. 22.
[11] Oesman
Bakar, Epitemologi Menurut Perspektif Islam: Beberapa Isu Pilihan untuk
Diskusi, www.i-epistemology.net,
(5-12-2009).
[12] Wahbah
ibn Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa
al-Manhaj, (Cet. II; Damsiq: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H.) Jilid 27 h.
203.
[13] QS: al-Sajadah:
7-9.
[14] Mulyadi
Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Cet. II;
Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 66.
[15] Mulyadi
Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Cet: I; Bandung: Mizan, 2002) h.
58.
[17] Penulis
Indonesia, Reorientasi Epistemologi Islam (Sebuah Kajian Filsafat Ilmu),
www.penulisindonesia.com,
(05-12-2009/.
[19] Jujun
S. Suriasumantri, Filsafah Ilmu :
Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1982),
[20] Ismaun,
Filsafat Ilmu (Diklat Kuliah, Bandung: UPI Bandung, 2001),
[21] Jujun
S. Suriasumantri, Op.Cit., h. 56.
[22] QS: Al-Baqarah:
219.
[23] L.O \.
Kattsoft, Unsur-unsur Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
M.), h. 243-244.
[24] QS:
al-Furqa>n: 53.
[25] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 116.
[26] QS:
Al-Isra>’: 32.
[27]
Muhammad Sayyid T}ant{a>wi>, al-Tafsi>r al-Wasi>t}. CD ROM
al-Maktabah al-Sya>milah, www.altafsir.com,
vol. 1 h. 4046.
[28] QS:
Al-Furqa>n: 68.
[29] QS:
Al-An’a>m: 151.
[30] QS:
Al-Baqarah: 261.
[31]
Louis O. Kattof, Element of Philosophy, terj. Sujono Sumarno, Pengantar
Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 136.
[32]
Ayat yang menggunakan kata naz}ara dan segala bentuknya (yang
menunjukkan arti pengalaman/perhatian) berulang dalam al-Qur’an 131 kali.
Lihat: Muhammad Fua>d Abdul Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m (al-Qa>hirah: Da>r
al-Hadi>s|, t.th.), h. 705.
[33] M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Epistemologi, www.i.epistemology.net,
(5-12-2009).
[34] QS:
al-Nahl: 78.
[35] Ali
Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional,
1989), h. 136.
[36] kata
‘aqala dan segala bentuknya berulang sebanyak 49 kali, tafakkur dan segela
bentuknya berulang sebanyak 17 kali, kata tadabbur berulang sebanyak 4 kali.
Lihat: Muhammad Fua>d Abdul Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m, op.cit, h. 468, 525 dan 252.
[37]
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam
(Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 60-61.
[38] QS: Al-Kahfi:
65.
[39] M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Epistemologi, www.i.epistemology.net,
(5-12-2009).
[40] Slamet
Ibrahim S. DEA. Apt., Filsafat Ilmu Pengetahuan, Materi perkuliahan di sekolah
Faramasi ITB, 2008.
[41] C.A.
Van Puersen, Opbow Van De Wetenschap Eren Inleiding Inde Wetenschaper, terj.
J. Drost, Susunan Ilmu Pengantar (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu)
(Jakarta: Gramedia, 1989), h. 84.
[43] QS: Al-Zumar:
9.
[44] QS: Ali
Imran: 66.
[45] Lihat: QS:
al-Isra’: 85.
[46] Abu
Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Gazali, Jawahir al-Qur’an (Cet. I;
Bairut: Dar Ihya’ al-‘Ulum, 1985), h. 21.
[47] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), h. 41.
[48] M.
Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), h. 196.
Bandingkan dengan Mahmud Kamil Abd Shamad, I’jaz al-Ilmi fi al-Qur’an, h.
201.
[49] QS:
Yu>nus: 6.
[50]
Muhammad Ismail Ibrahim, al-Qur’an wa I’jazuh al-Ilmi (t.tp. Dar al_Fikr
al-Arabi, t.t.), 79-80.
[51] QS:
al-Kahfi: 25.
8 komentar:
baca juga tafsir surah alfatihah ayat ke 4
kajian bagus
urutan surat dalam alquran
Anapoker Bagi - bagi Chips FREE setiap Hari Jumat lho, Cara dapet lebih banyak chips? Kumpulkan TurnOver nya Setiap kali bermain ^^
Gabung sekarang yuk, Tunggu apalagi? Anapoker Situs Poker online Terpopuler di Indonesia..
Contact Untuk Info Lebih lanjut
Whatsapp : 0852 2255 5128
Line ID : agenS1288
Telegram : agenS128
Promo Bonus Untuk Member Baru AgenS128, Casino IDNLive :
Freebet Casino Online
sbobet alternatif
Freebet Casino Online Terbaru IDN Live
link sbobet
sabung ayam online
adu ayam
casino online
sabung ayam bangkok
ayam laga birma
poker deposit pulsa
deposit pulsa poker
deposit pulsa
deposit pulsa
deposit pulsa
start to let completely go the second you start. Typically, the individuals who eat for enthusiastic reasons additionally will generally foster medical conditions. Type 2 diabetes and stoutness Wellness Pitch are two normal outcomes of passionate eating since it regularly prompts weight gain and high glucose readings.
An exploration has observed that young ladies who play sports have positive actual picture and high confidence. As Insimwetrust by a report, active work can assist with forestalling hip breaks among females and decrease the impacts of osteoporosis.
Indoor regulator is its core. Indoor regulators can distinguish the temperatures and help in giving the expected cooling to your home. It is the principal part in a forced air system which will consequently turn on and off the her latest blog when the necessary temperature settings are reached.
Let`s seat up, to get energize with latest news at Effess Empire. Interested to read Technology, political, health news. Let`s get inside.
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....