Abdul Gaffar, M.Th.I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling
mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu
saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan itulah lazim dikenal dengan istilah epistemologis.[1]
Secara etimologis, Epistemologi
merupakan bentukan dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu Episteme yang
berarti pengetahuan dan Logos yang juga berarti pengetahuan atau informasi.[2] Dari
pengertian secara etimologis tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa
Epistemologi merupakan pengetahuan tentang pengetahuan.
Pengertian dari segi terminologi, The
Liang Gie dalam bukunya Pengantar Filsagfat Ilmu mendefenisikan bahwa:
“Epistemologi adalah teori pengetahuan
yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula sifat
alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas
sampai soal kebenaran”.[3]
Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan
bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh ilmu pengetahuan.[4]
Oleh
karena itu, epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia
membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui
cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil
yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian
dalam menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis
ilmu pengetahuan yang dihasilkan.[5]
Sejarah
telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan
dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu mulai
melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini.[6]
Hal
itu terjadi, karena Islam dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa
aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi).
Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan
burhani yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan.
Ketiga sistem atau pendekatan tersebut dikenal juga tiga aliran pemikiran epistemologi
Barat dengan bahasa yang berbeda, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme.
Semen tara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa
didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi.[7]
Selain
sebagai instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistemologi tersebut juga
bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang. Pemahaman
paling sederhana pada ketiga epistemologi ini adalah jawaban dari pertanyaan,
“Dengan apakah manusia mendapatkan kebenaran?”.[8]
Seorang
filosof dengan corak berfikir burhani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu
dari akal atau panca indera. Dengan kedua sarana ini manusia memunculkan dua
dikotomi antara apa yang disebut rasional dan irrasional. Rasional adalah
sebuah kebenaran, sebaliknya irrasional adalah sebuah kesalahan.[9]
Selanjutnya
orang yang memiliki corak berfikir bayani akan menjawab bahwa sumber kebenaran
itu dari teks. Rasio tidak memiliki tempat dalam pembacaan mereka terhadap
kebenaran. Ketercukupan golongan ini terhadap teks memasukkan mereka pada
golongan fundamental literalis. Sedangkan orang yang memiliki corak berfikir
irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari wahyu, ilham, wangsit dan
sejenisnya. Pola berfikir demikian akan membangun sebuah struktur masyarakat
yang memiliki hirarki atas bawah.[10]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apa sebenarnya yang
dimaksud dengan epistemologi bayani, burhani dan irfani?
2.
Bagaimana sejarah
kemunculan dan perkembangan epistemologi bayani, burhani dan irfani?
3.
Apa saja keunggulan dan
keterbatasan epistemologi bayani, burhani dan irfani?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bayani, Burhani dan Irfani
Fasilitas
pengetahuan manusia meliputi panca indera yang dapat mengamati objek-objek
fisik, akal/rasionalitas yang mampu mengenal objek fisik dan nonfisik dengan
menyimpulkan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui dan hati (qalb)
yang menangkap nonfisik atau metafisika melalui kontak langsung dengan objek
yang hadir dalam jiwa.[11]
Fasilitas-fasilitas tersebut yang yang memungkinkan manusia mengetahui realitas
alam semesta yang bertingkat-tingkat wujudnya dalam suatu hirarkis. Oleh karena
itu, dalam epistemologi Islam, dikenal realitas fisik dan non-fisik, baik
berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika.[12]
Hal
tersebut ditegaskan dalam al-Qur’an QS. Al-Sajadah: 7-9:
الذي أحسن كل شيء خلقه وبدأ خلق الإنسان
من طين. ثم جعل نسله من سلالة من ماء مهين. ثم سواه ونفخ فيه من روحه وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة
قليلا ما تشكرون.
Artinya: “Dia memulai penciptaan manusia dari tanah.
Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh-Nya ke dalam (tubuh manusia)
dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati tetapi kamu
sedikit sekali bersyukur”.[13]
Ketiga
organ tubuh disebutkan secara khusus karena itulah yang akan berguna kepada
manusia dalam kehidupan duniawi dan agama, sekaligus alat atau media dalam
memperoleh ilmu pengetahuan.[14]
Dengan demikian, Sebuah pengetahuan akan diperoleh melalui pendengaran atau bisa disebut baya>ni yakni mengandalkan
pendengaran akan teks-teks yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, atau melalui
penglihatan dengan menganalisa apa yang dilihat dan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah, sahabat dan para pengikutnya, sedangkan hati dapat mengantarkan
seseorang untuk menimbang mana yang terbaik untuk diterapkan.
1.
Bayani
Kata
bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al-baya>ni> yang secara harfiyah
bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka.[15] Namun
secara termenologi, ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
al-baya>ni>, ulama ilmu al-bala>gah misalnya, mendefinisikan al-baya>n
sebagai sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa
cara atau metode seperti tasybi>h (penyerupaan), maja>z dan
kina>yah.[16]
Ulama kalam (theology) mengatakan bahwa al-baya>n adalah dalil yang
dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-baya>n
adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat
mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.[17]
Namun
dalam epistemologi Islam, bayani
adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas teks (nas}),
secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan
yang digali lewat inferensi (istidla>l).[18]
Oleh
karena itu, secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan
jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak
langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu
tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio
bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada
teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan
kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode
bayani adalah aspek eksoterik (syariat).[19]
Dengan
demikian, epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan oleh para fuqaha>'
(pakar fiqhi), mutakallimu>n (Theolog) dan us}ulliyu>n (Pakar
us{ul al-fiqhi). Di mana mereka menggunkan bayani untuk:
a. Memahami
atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung atau
dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk
mengeluarkan makna zahir dari lafaz yang zahir pula.
Dalam
bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model
metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang
memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran. Fungsi akal hanya sebagai
pengawal makna yang terkandung di dalamnya yang dapat diketehui melalui pencermatan
hubungan antara makna dan lafaz.
Hubungan
antara makna dan lafaz dapat dilihat dari segi:
a. Makna wad}'i>,
untuk apa makna teks itu dirumuskan yang meliputi makna kha>s}, 'a>m
dan musytarak.
b. Makna isti'ma>li<,
yaitu makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna h}aqi>qah
dan makna maja>z.
c. Darajat
al-wud}u>h{,
yaitu sifat dan kualitas lafaz, meliputi muh{kam, mufassar, z}a>hir,
khafi, musykil, mujmal, dan mutasya>bih.
d. T{uruq
al-dila>lah,
yaitu penunjukan lafaz terhadap makna, meliputi dila>lah al-manz{u>m
dan dila>lah al-mafhu>m.[21]
2.
Burhani
Burhani
merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan.[22] Menurut
ulama ushul, al-burha>n adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari
kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.[23]
Al-Ja>biri>
mendekatinya melalui sistem epistemologi yang ia bangun dengan metodologi
berpikir yang khas, bukan menurut terminologi mantiqi> dan juga tidak dalam
pengertian umum, dan berbeda dari yang lain. Epistemologi tersebut pada
abad-abad pertengahan menempati wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam yang
mendampingi epistemologi baya>ni>
dan `irfa>ni>.[24]
Epistemologi
burhani
menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi,
eksperimentasi, dan konseptualisasi (al-h}iss,
al tajribah wa muh}a>kamah 'aqli>yah).
Jadi
epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber
ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan
untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal
mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tansi>n
dan tawbi>h). Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan
banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah dan
ulama-ulama moderat.[25]
Dalam
filsafat,baik filsafat Islam maupun filsafat Barat istilah yang seringkali
digunakan adalah rasionalisme yaitu aliran ini menyatakan bahwa akal (reason)
merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung
oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596–1650, Baruch Spinoza
(1632 –1677) dan Gottried Leibniz (1646 –1716). [26] Sementara dalam ilmu tafsir istilah
yang sering digunakan pada makna burhani adalah tafsi>r bi al-ra’yi.[27]
Jika
melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan dijumpai
sekian banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya
dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara
tentang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilu>n, tatafakkaru>n,
tadabbaru>n.[28] dan lain-lain. lni membuktikan bahwa
akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam
wilayah kerjanya.
3.
Irfani
Irfani merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ع-
ر-ف memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu
yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang.[29]
Namun secara harfiyah al-‘irfa>n adalah mengetahui sesuatu dengan
berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfa>n lebih
khusus dari pada al-‘ilm.[30]
Secara termenologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf)
setelah melalui riya>d}ah.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah isyra>qi>
yang memandang pengetahuan diskursif (al-h}ikmah al-ba>t}iniyyah)
harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-h}ikmah
al-z\awqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi
pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-h}ikmah al-h}aqi>qiyyah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan
contoh konkrit dari pengetahuan irfani.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun
semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan
dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya
bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman,
adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi
spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya
pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan
ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama.
Dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi,
manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Ciri khas intuisi antara lain; z|auqi> (rasa) yaitu melalui
pengalaman langsung, ilmu hud}u>ri> yaitu kehadiran objek dalam
diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan tetapi
mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari
evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.[31]
Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dijelaskan
bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena"
(tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran
secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm
Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir:
فوجدا عبدا من عبادنا آتيناه
رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علما
Artinya: “Lalu mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami”.[32]
Pengetahuan intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma
atau warna sesuatu, ada yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma
seperti A adalah A, ada juga ide cemerlang secara tiba-tiba seperti halnya
Newton ( 1642-1727 M) menemukan gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel yang
terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi
Nabi Yusuf as. dan Nabi Ibrahim as.[33]
Mengenai
taksonomi epistemologi pengetahuan irfani adalah dari segi sumber pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman wujud sang ‘a>rif itu sendiri; dari segi media/alat pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman-kesejatian wujud sang ‘a>rif; dari segi objek pengetahuan, ia menjadikan wujud sebagai objek kajiannya; dari segi cara
memperoleh pengetahuan, ia diperoleh dengan cara menyelami wujud kedirian melalui
metode riya>d}ah.
B.
Asal Usul Epistemologi
Bayani, Burhani dan Irafani
Di penghujung abad
pertama Hijriyah, telah terjadi pemindahan ilmu-ilmu kuno dari Iskandaria,
pusat perkembangan filsafat Hermes ke dalam kebudayaan Islam Arab. Kehadiran
ilmu-ilmu nonArab Islam ini mengundang sikap anti pati ulama ahl al-sunnah awal
karena dianggap bertentangan dengan aqidah Islam. Ilmu-ilmu tersebut memasuki
wilayah kebudayaan Islam melalui penerjemahan.
Kemapanan
Pemerintahan Islam, terutama pada masa pemerintahan Abbasiyah, memberi peluang
yang luas bagi komunitas Muslim untuk berkenalan dengan kebudayaan luar. Hal
ini atas dukungan Khalifah al-Mansur yang sangat respek terhadap ilmu
pengetahuan. Sejak itu, Baghdad telah banyak bersinggungan dengan filsafat
Yunani. Ibnu Nadim dalam al-Fihrisat (pada masa kekuasaan al-Makmun;
811-833.M) banyak sekali mengalihbahasakan tulisan Aristoteles. Ini merupakan
awal gerakan keilmuan yang menduduki posisi puncak dalam pengalihbahasaan
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab (al-ta'rib), bahkan di dalam
kebudayaan Arab Islam tulisan Aristoteles dianggap sebagai kitab induk sehingga
dalam Da>r al-H{ikmah banyak sekali terkumpul manuskrip (makht}u>t}a>t)
di dalamnya.[34]
Kronologi Bayani paling tidak telah
dimulai
dari masa Rasulullah saw, dimana beliau menjelaskan ayat-ayat
yang sulit dipahami oleh sahabat. Kemudian para sahabat menafsirkan al-Qur’an
dari ketetapan yang telah diberikan Rasulullah saw melalui
teks.
Selanjutnya tabi’in mengumpulkan teks-teks dari Rasulullah dan sahabat,
kemudian mereka menambahkan penafsirannya dengan kemampuan nalar dan ijtihadnya
dengan teks sebagai pedoman utama. Akhirnya datang kemudian generasi
setelah tabi’in yang melakukan penafsiran sebagaimana pendahulunya sampai
berkelanjutan kepada generasi yang lain.
Sedangkan Aristoteles merupakan orang yang
pertama membangun epistemologi burhani yang populer dengan logika mantiq yang
meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika
itu dengan metode analitik. Analisis ilmu atas prinsip dasarnya baik proporsi h}amli>yah
(Categorical Proposition) maupun shart}i>yah
(Hypothetical Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan
berupa aturan-aturan untuk menjaga kesalahan berpikir.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa logika
Aristoteles lebih memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika formal.
Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat
persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi
metafisika karena epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan
pengetahuan yang valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan tentang
persoalan duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini bisa
memilah-milah masing-masing pendekatan epistemologik: bayani
dan irfani karena masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan
epistemologi burhani bisa menjadi
pemoles keserasian hubungan antara kedua epistemologi di atas.
Para pakar berbeda pendapat tentang asal mula
sumber irfani. Pendapat tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa poin
sebagai berikut:
1. Sebagian
golongan menganggap bahwa irfani berasal dari Persia dan Majusi seperti yang
disampaikan oleh Dozy dan Thoulk. Alasannya bahwa sejumlah orang-orang besar
sufi berasal dari Khurasan dan kelompok Majusi.
2. Sebagian
yang lain mengatakan bahwa irfani bersumber dari Kristen sebagaimana yang
diungkapkan oleh Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson dan yang lain. Alasan
mereka paling tidak dapat dikelompokkan dalam dua poin, yaitu:
a. Interaksi
yang terjadi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah dan Islam.
b. Kesamaan
kehidupan antara sufi dan Yesus dan Rahib dalam masalah ajaran, tata cara riya>d{ah,
ibadah dan tata cara berpakaian.
3. Sebagian
yang lain berpendapat bahwa irfani bersumber dari India seperti pendapat Horten
dan Hartman. Alasan yang diajukan adalah:
a. Kemunculan
dan penyebaran irfani pertama dari Khurasan.
b. Kebanyakan
para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab.
c. Turkistan
adalah pusat agama dan kebudayaan timur dan barat sebelum Islam yang sedikit
banyak memberi pengaruh mistisisme.
d. Konsep dan
metode irfani seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih merupakan
praktik-praktik dari India.
4. Sebagian
yang lain berpendapat bahwa irfan berasal dari Yunani, khususnya neo-platonisme
dan Hermes. Alasannya sederhana bahwa theologi Aristoteles merupakan paduan
antara sistem porphiry dan proclus yang sudah dikenal dalam
Islam.[35]
Namun
demikian, penulis cenderung berpendapat bahwa irfani tidak berasal dari luar
Islam sebab kehidupan Rasulullah saw. para sahabat dan tabiin menunjukkan bahwa
mereka dalam suatu waktu akan menggunakan irfani bahkan mempraktikkan irfani,
meskipun penamaannya belum ada.
Salah
satu bukti bahwa Rasulullah saw. membenarkan bahkan mengakui akan keberadaan
makna irfani adalah hadisnya yang berbunyi:
إن الله قال من عادى لي وليا فقد
آذنته بالحرب وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه وما يزال عبدي يتقرب
إلي بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به وبصره الذي يبصر به ويده
التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها وإن سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه.[36]
Artinya:
Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang menyakiti seorang wali maka aku
mengumandangkan perang dengannya, hambaku tidaklah mendekatkan diri kepadaku
dengan sesuatu yang paling aku cintai melainkan apa yang aku wajibkan padanya
dan hambaku senantiasa mendekatkan diri kepadaku dengan hal-hal yang sunnah
hingga aku mencintainya. Jika aku sudah mencintainya maka akulah pendengaran
yang digunakan mendengar, penglihatan yang digunakan melihat, tangan yang
digunakan memukul dan kaki yang digunakan berjalan, Jika dia meminta padaku aku
akan memberikannya dan jika dia berlindung kepadaku maka aku akan
melindunginya”.
Sedangkan
riya>d{ah dalam irfani sering kali dilakukan oleh Rasulullah saw. dan
sahabat-sahabatnya seperti khulwah (penyepian), tinggal di mesjid Nabawi
dan prilaku individu sahabat.
Pada
perkembangan berikutnya istilah yang dapat mewakili makna irfani mulai beragam.
Dalam filsafat misalnya dikenal istilah intuisi sedangkan dalam tafsir dikenal
istilah isya>ri>.
C.
Keunggulan dan
Keterbatasan Bayani, Burhani dan Irafani
Pada prinsipnya,
Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis
yang ada (bayani, burhani dan irfani), dalam perkembangannya lebih didominasi
oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf)
yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada
penggunaan rasio secara optimal.[37]
Keunggulan bayani terletak pada kepada
kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang
bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan.[38]
Dalam epistemologi
bayani sebenarnya ada penggunaan rasio, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang
ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan
stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon
perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan
akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah
bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan
melengkapi dengan teks.[39]
Sistem berpikir
yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika
dengan beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi burhani.
Namun Kendala yang sering
dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan
realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau
konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun
yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
Di
antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari
intuisi-intuisi, musya>hadah, dan muka>syafah
lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari
argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan
bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah
alam dan manifestasi-manifestasinya, namun manusia dapat berhubungan secara
langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan
hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan
hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari
segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.[40]
Namun kendala atau keterbatasan irfani antara
lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai
pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif
menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia.
Metode kasyf
dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal,
seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran
yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyun masuk
ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang
dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism. Apa yang mereka alami “ mungkin
benar “ atau barangkali “kebenaran karena kebetulan “, akan tetapi tidak akan
dapat menyelesaikan masalah.[41]
Pendekatannya yang
supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika
paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan
sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan
dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada
kemunduran pola pikir manusia.[42]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bertolak
dari pemaparan dan penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik
beberpa poin sebagai kesimpulan pembahasan sebagai berikut:
1.
Epistemologi
bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu
pengetahuan adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks, seperti ilmu hadis,
fikih, ushul fikih, dan lainnya. Epistemologis bayani merupakan suatu
cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap
teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan
penalaran yang berpijak pada teks ini.
Sedangkan epistemologi irfani adalah epistemologi
yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak (ira>dah).
Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu
kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan
dan diperdebatkan. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya
teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tams\i>l,
bukan dengan mekanisme bahasa yang definite (nyata).
Sementara epistemologi burhani adalah
epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal
menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai
pengetahuan. Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak
dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah. Ibnu khaldun
menyebut epistemologi ini dengan ‘ulu>m al-aqliyyah. Tokoh pendiri
epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena epistemologi ini lebih berpijak
pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara
maksimal.
2. Kronologi Bayani paling tidak telah dimulai dari masa Rasulullah
saw, dimana beliau menjelaskan ayat-ayat yang sulit dipahami oleh sahabat.
Kemudian para sahabat menafsirkan al-Qur’an dari ketetapan yang telah diberikan
Rasulullah saw melalui teks. Selanjutnya tabi’in mengumpulkan teks-teks dari
Rasulullah dan sahabat, kemudian mereka menambahkan penafsirannya dengan
kemampuan nalar dan ijtihadnya dengan teks sebagai pedoman utama. irfani tidak berasal dari luar
Islam sebab kehidupan Rasulullah saw. para sahabat dan tabiin menunjukkan bahwa
mereka dalam suatu waktu akan menggunakan irfani bahkan mempraktikkan irfani,
meskipun penamaannya belum ada.
3.
Keunggulan bayani terletak pada
kepada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam
yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Keunggulan irfani adalah bahwa segala
pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musya>hadah,
dan muka>syafah lebih dekat dengan kebenaran
dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal.
B.
Implikasi
Untuk
memahami sebuah kebenaran tidak cukup hanya dengan memiliki satu corak berfikir
saja. Dalam memahami Islam, Imam Ghazali menjadikan fikih sebagai ilmu yang
mengantarkannya untuk memahami nash-nash agama. Dikemudian hari, beliau merasa
bahwa tanpa rasionalitas akal, pemahaman terhadap nash agama tersebut terasa
kurang. Maka beliau mempelajari mantiq. Sehingga agama dalam corak berfikir
beliau menjadi agama yang rasional. Radionalitas dalam agama ini pada akhirnya
menjadikan agama terasa hambar tanpa spirit di dalamnya. Dari sinilah corak
berfikir irfani dibutuhkan. Maka beliau mempelajari tashawwuf.
Dibutuhkan
sinergi antara tiga corak berfikir diatas. Akan tetapi harus diakui bahwa antara
ketiga corak berfikir ini memiliki kontradiksi yang saling menjatuhkan. Oleh
karenanya, sinergi yang diharapkan adalah sebuah sinergi yang moderat. Ada pada
tiap corak berfikir diatas yang diambil dan ditolak. Maka keadilan menjadi
sikap yang harus dimiliki seserorang dalam memilah dan memilih
postulat-postulat tersebut. Allah berfirman: “Dan demikian Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu.” (al-Baqarah: 143).
Perpaduan
antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan
menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan
dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari
lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena
Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan
menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas
segalanya, sedang potensi rasa/jiwa mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada
sesuatu yang hilang dalam diri mereka.
Keseimbangan
antara pikiran (fikr)_ dan rasa (z\ikr) ini menjadi penting
karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya
adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya adalah perwujudan
iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar ini disebut al
Qur’an sebagai ‘ulu al- alba>b. Di samping mampu menintegrasikan
kekuatan fikr dan z\ikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan
yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan kas\iran.
Perpaduan
antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun
peradaban Islam dan dunia yang cemerlang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’il
al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Cet. III; Bairut:
Da>r Ibnu Kas\i>r, 1407 H./1987 M.
Abu> al-H{usain Ah{mad ibn Fa>ris ibn
Zakariya>, Maqa>yi>s al-Lugah, Bairu>t: Ittih{a>d
al-Kita>b al-‘Arabi>, 1423 H./2002 M.
Abu> Hila>l al-‘Askari>, al-Furu>q
al-Lugawiyah, CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan ,
Surabaya: Usaha Nasional, 1989.
Al-Kassya>f, Juz. IV, h. 360.
Amad Tafsir, Filsafat Umum Akal
dan Hati Sejak Thales Hingga Capra,
Cet.
VIII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Harry
Hamerma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat , Yogyakarta: Karisusu, 1992.
Ibra>hi<m Mus}t}afa>, dkk., al-Mu’jam
al-Wasi>t}, CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Muhammad ‘Abd Rauf al-Mana>wi>, al-Tauqi>f
‘ala> Muhimma>t al-Ta’a>ri>f , Cet. I; Bairu>t: Da>r
al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1410 H.
Muhammad Fua>d Abdul Ba>qi>, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m, al-Qa>hirah:
Da>r al-Hadi>s|, t.th.
Muhammad Husain
Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, t.p., Maktab Mush’ab bin Umair
al-Islamiyah, 1424 H/2004 M.
Muhammad ibn Mukrim ibn Manz{u>r al-Afri>qi>,
Lisa>n al-‘Arab, Cet. I; Bairu>t: Da>r S{a>dir, t.th.
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan,
Pengantar Epistemologi Islam , Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama
Filsafat Islam , Cet. II; Bandung: Mizan Pustaka, 2005.
Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam ,
Cet: I; Bandung: Mizan, 2002.
Rodric
Firth, Encyclopedia International, Philippenes : Gloria Incorperation,
1972.
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
The
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu , Bandung : The Science and Tecnolody
Stues Foundation, 1987.
Muhammad Kurdi, Pendekatan Bayani, Burhani dan
Irfani dalam Ranah Ijtihadi Muhammadiyah, www.muhammad-kurdi.blogspot.com (Oktober 2008).
Muslimindonesia, Pemahaman Sederhana terhadap Tiga
Epistemologi, www.muslimindonesia.wordpress.com, (13 Maret 2009).
Sejarah Tafsir dan Perkembangannya, www.abusalma.wordpress.com (04/06-2009).
Wahib Wahab, Rekonstruksi Epistemologi Burhani Penyelarasan Metodologi Dalam Perspektif Al-Jabiri. www.bahrudinonline.netne.net, (23 April 2009).
[1]Hujair AH
Sanaky, Dinamika Pemikiran dalam Islam, www.sanaky.staff.uii.ac.id, (05
Pebruari 2009).
[2]Harry Hamerma, Pintu Masuk ke Dunia
Filsafat (Yogyakarta:
Karisusu, 1992), h. 15.
Bandingkan dengan Rodric Firth, Encyclopedia International (Philippenes
: Gloria Incorperation, 1972). h. 105.
[3]The Liang Gie, Pengantar Filsafat
Ilmu (Bandung : The Science and Tecnolody Stues Foundation, 1987), h. 83.
[4]Amad
Tafsir, Filsafat Umum Akal dan
Hati Sejak Thales Hingga Capra (Cet. VIII; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 23.
[5]Hujair AH
Sanaky, op.cit.
[6]Syamsul
Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007),
h. 18.
[7]A.
Khudori Soleh, Model-model Epistemologi Islam , www.lowcostprepaid.com, (20 September
2009).
[8]Muslimindonesia,
Pemahaman Sederhana terhadap Tiga Epistemologi, www.muslimindonesia.wordpress.com,
(13 Maret 2009).
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11] Mulyadi
Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Cet. II; Bandung:
Mizan Pustaka, 2005), h. 66.
[12] Mulyadi
Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Cet: I; Bandung: Mizan, 2002) h.
58.
[13]Al-Qur’an
dan Terjemah.
[14]Al-Kassya>f,
Juz. IV, h. 360.
[15]Abu>
al-H{usain Ah{mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Maqa>yi>s al-Lugah, Juz.
I (Bairu>t: Ittih{a>d al-Kita>b al-‘Arabi>, 1423 H./2002 M.), h.
303.
[16]Ibra>hi<m
Mus}t}afa>, dkk., al-Mu’jam al-Wasi>t}, Juz. I (CD-ROM al-Maktabah
al-Sya>milah), h. 167.
[17]Abu>
Hila>l al-‘Askari>, al-Furu>q al-Lugawiyah, (CD-ROM al-Maktabah
al-Sya>milah), h. 360.
[18]A.
Khudori Soleh, Epistemologi Bayani, www.id.shvoong.com/tags/episemologi-bayani,
07 Maret 2010.
[19]Ibid.
[20]Muhammad
Kurdi, Pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani dalam Ranah Ijtihadi
Muhammadiyah, www.muhammad-kurdi.blogspot.com
(Oktober 2008).
[21]Ibid.
[22]Muhammad
ibn Mukrim ibn Manz{u>r al-Afri>qi>, Lisa>n al-‘Arab, Juz.
XIII (Cet. I; Bairu>t: Da>r S{a>dir, t.th.), h. 51.
[23]Muhammad
‘Abd Rauf al-Mana>wi>, al-Tauqi>f ‘ala> Muhimma>t
al-Ta’a>ri>f (Cet. I; Bairu>t: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir,
1410 H.), h. 123.
[24]Wahib Wahab, Rekonstruksi Epistemologi Burhani Penyelarasan Metodologi Dalam Perspektif Al-Jabiri. www.bahrudinonline.netne.net, (23 April 2009).
[25]Hujair
AH Sanaky, op.cit.
[26] Ali
Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional,
1989), h. 136.
[27]Tafsir bi al-Ra’yi yaitu cara menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang di dasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir
terhadap tuntutan kaidah bahasa Arab dan kesusastraannya, teori ilmu
pengetahuan setelah dia menguasai sumber-sumber tadi. Mengenai boleh tidaknya
tafsir bi al-ra’yi, ulama berpeda pendapat. Namun demikian tafsir bi al-ra’yi
dibagi dalam dua bagian yaitu Al-Ra’yu al Mahmudah yaitu penafsiran
dengan akal yang diperbolehkan dengan beberapa syarat seperti ijtihad
berdasarkan nilai-nilai al-Qur’an dan as-Sunnah, Tidak berseberangan dengan
penafsiran bi al-ma’s\u>r dan al-Ra’yu al-maz\mu>mah yaitu penafsiran dengan akal yang
dicela/dilarang, karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya
sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika
semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Muhammad Husain Al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, Juz. I (t.p., Maktab Mush’ab bin Umair al-Islamiyah, 1424
H/2004 M), h. 183-188, 205-258. Lihat juga di Abu Salma, Sejarah Tafsir dan
Perkembangannya, www.abusalma.wordpress.com (04/06-2009).
[28]Kata
‘aqala dan segala bentuknya berulang sebanyak 49 kali, tafakkur dan segela
bentuknya berulang sebanyak 17 kali, kata tadabbur berulang sebanyak 4 kali.
Lihat: Muhammad Fua>d Abdul Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m (al-Qa>hirah:
Da>r al-Hadi>s|, t.th.), h. 468, 525 dan 252.
[29]Abu>
al-H{usain Ah{mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, op.cit., Juz. IV, h.
229.
[30]Muhammad
‘Abd Rauf al-Mana>wi>, op.cit., h. 511.
[31]Mulyadhi
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam (Cet.
I; Bandung: Mizan, 2003), h. 60-61.
[32] QS:
Al-Kahfi: 65.
[33] M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Epistemologi, www.i.epistemology.net,
(5-12-2009).
[34]Wahib
Wahab, op.cit.
[35]A.
Khudori Soleh, Epistemologi Irfani, www.khudorisoleh.blogspot.com.,
(Pebruari 2010).
[36]Abu>
‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’il al-Bukha>ri>, S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>, Juz. V (Cet. III; Bairut: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1407
H./1987 M.), h. 2384.
[37]Hujair
AH Sanaky, op.cit.
[38]Ibid.
[39]Ibid.
[40]Mohammad
Adlany, Esensi Pengetahuan dalam Irfan, www.teosophy.wordpress.com (19
Agustus 2009).
[41]Hujair
AH Sanaky, op.cit.
[42]Ibid.
4 komentar:
Terima Kasih...
Sangat bermanfaat bagi saya
Artikel yang sangat bagus , sangat amat sistematis memberikan definisi yang singkat dan berbobot , mengenalkan konsep2 yang dianggap sangat baru oleh orang tertentu mudah dicerna , dapat dijadikan dasar pembelajaran yang bisa didalami lebih jauh lagi di setiap konsep pembahasan di atas, terima kasih atas artikelnya
Alhamdulillah. Terimakasih. Sangat membantu memahami sekilas tentang point yg d maksud
Jika sobat membutuhkan materi tambahan silahkan kunjungi www.pejuangspd.com karena di website tersebut tersedia lengkap materi seputar dunia pendidikan di indonesia
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....