OLEH : FATHULLAH MARZUKI. S.Th.I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian tentang tradisi al-Qur’an dan
tafsir di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa Indonesianis seperti, R.
Israeli dan A.H. Johns (Islam in the Malay world: an Explotary survey with the
some refences to Quranic exegiesis, 1984), A.H. Johns (Quranic Exegiesis in the
Malay world: In search of profile, 1998). P. Riddel (Earlist Quranic Exegetical
activity in the malay speaking states, 1998).[1]
Secara singkat, aktivitas seputar
al-Qur’an di Indonesia dirintis oleh Abd Rauf Singkel, yang menyusun al-Qur’an
ke dalam bahasa Melayu, pada pertengahan abad XVII. Upaya rintisan ini kemudian
diikuti oleh Munawar Chalil (Tafsir al-Qur’an Hidayatur rahman), A.Hassan
Bandung (Al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Qur’an Indonesia, 1935), Halim
Hassan (Tafsir al-Qur’an al-Karim, 1955), Zainuddin Hamidi (Tafsir Al-Quran,
1959), Iskandar Idris (Hibarna), dan Kasim Bakry (Tafsir al-Qur’an al-Hakim,
1960), Hamka (Tafsir Al-Azhar, 1973) Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab.[2]
Dalam bahasa-bahasa daerah,
upaya-upaya ini dilakukan oleh Kemajuan Islam Yogyakarta (Qur’an kejawen dan
Qur’an Sandawiyah), Bisyri Mustafa Rembang (al-Ibriz, 1960), R.Muhammad Adnan
(al-Qur’an suci basa jawi, 1969) dan Bakry Syahid (Al-Huda, 1972). Sebelumnya pada
1310 H, Kiyai Mohammed Saleh Darat Semarang menulis sebuah tafsir dalam bahasa
jawa huruf Arab. AG. Daud Ismail menulis dalam bahasa bugis Tafsire al-Qur’an
bahasa Ugi. Bahkan pada 1924, perkumpulan Mardikintoko Kauman Sala menerbitkan
terjemah al-Qur’an 30 juz basa Jawi huruf Arab Pegon. Aktivitas lainnya juga
dilakukan secara persial, seperti penerbitan terjemah dan tafsir Muhammadiyah,
Persis Bandung dan al-Ittihadul Islamiyah [KH.Sanusi Sukabumi], beberapa
penerbitan terjemah di Medan, Minangkabau dan serta kawasan lainnya.
Upaya-upaya tersebut di atas, serta
tuntutan masyarakat pecinta al-Qur’an, mengundang para cendekia untuk menulis
dan menerjemahkan berbagai karya di seputar al-Qur’an. Kepustakaan-kepustakaan
tersebut telah terisi dengan karya-karya Hasbi Ash-Shiddieqi (Sejarah dan
pengantar ilmu al-Qur’an, 1980), beberapa textbook perguruan tinggi, terjemah
karya Manna al-Qattan, serta beberapa karya penulis sendiri. Khusus dalam
wacana sejarah al-Qur’an, beberapa karya dan terjemahan telah muncul, seperti
Adanan Lubis (Tarikh al-Qur’an, 1941), Abu Bakar Aceh (Sejarah Alquran, 1986),
Mustofa (Sejarah Alquran, 1994) dan sebagainya.
Salah satu karya tafsir di Indonesia
yang cukup ternama juga sebagai objek penelitian dalam makalah ini adalah
Tafsir al-Azhar Karya Prof. Dr. Hamka.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang,
pemakalah merumuskan permasalahan pokok : Manhaj Hamka dalam Tafsir al-Azhar
dengan sub permasalahan yang kemudian dikaji adalah:
1.
Bagaimana proses lahirnya tafsir
al-Azhar?
2.
Bagaimana Sistematika dan Pendekatan
yang digunakan Hamka?
3.
Apa Metode dan corak tafsir
al-Azhar?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Hamka
Ketika kaum muda Minang sedang
gencar-gencarnya melakukan gerakan pembaharuan di Minang Kabua maka ketika itu
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan Hamka yang
merupakan salah satu putra terbaik Minang Kabau, dilahirkan di Tanah Sirah desa
Sungai Batang di tepi Danau Maninjau (Sumatra Barat) tepatnya pada tanggal 17
Februari 1908 pada tahun Masehi atau 14 Muharam 1326 H.[3]
Ayahnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah
yang juga dikenal dengan sebutan Haji Rasul termasuk keturunan Abdul Arif gelar
Tuanku Pauh Pariaman Nan Tuo, salah seorang pahlawan paderi yang juga dikenal
Haji Abdul Ahmad. Dr. H. Abdul Karim Amrullah juga merupakan salah seorang
ulama terkemuka yang termasuk dalam tiga serangkai yaitu Syekh Muhammad Djamil
Djambek, Dr. H. Abdullah Ahmad dan Dr. H. Abdul Karim Amrullah sendiri , yang
menjadi pelopor gerakan “Kaum Muda” di Minang Kabau.[4]
Keulamaan, predikat yang telah
diwarisi oleh Hamka secara geneologis ikut ditanamkan oleh andung (nenek)
kepadanya, lewat cerita “sepuluh tahun” menjelang tidur. Cerita “sepuluh tahun”
itu serta aktivitas ayahnya sebagai seorang ulama besar di zamannya, telah memasuki
alam bawah sadar Hamka. Keulamaan ini pulalah yang dipilih oleh Hamka sebagai
kawasan dimana ia memanifestasikan dirinya dalam berbagai ragam aktifitas yakni
sebagai sastrawan, budayawan, ilmuwan Islam, Mubaligh, pendidik, bahkan menjadi
seorang politisi.
Abdul Malik panggilan Hamka di waktu
kecil, mengawali pendidikannya dengan belajar membaca al-Qurán di rumah orang
tuanya sampai khatam al-Qur’an, ketika mereka sekeluarga pindah dari Meninjau
ke Padang Panjang yang merupakan basis pergerakan kaum muda Minang Kabau pada
tahun 1914 M. Sama dengan anak-anak sebayanya, dalam usia tujuh tahun Hamka
dimasukkan ke sekolah desa.
Pada tahun 1916, ketika Zainuddin
Labai el-Yunusi mendirikan sekolah Diniyah (sore), di Pasar Usang Padang
panjang, Hamka dimasukkan oleh ayahnya ke sekolah ini. Pagi hari Hamka pergi
belajar ke sekolah desa, sore hari belajar ke sekolah Diniyah, yang baru
didirikan itu, dan malam hari belajar mengaji. Seperti itulah aktifitas
kesehari dari Hamka di masa kecilnya.
Pada tahun 1918, di saat Abdul
Malik, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Hamka baru berusia 10 tahun,
dan beliau pada waktu itu sudah dikhitan di kampung halamannya Maninjau dan
diwaktu yang sama ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah, kembali dari perlawatan
pertamanya ke tanah Jawa, surau Jembatan Besi tempat Syekh Abdul Karim Amrullah
memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, dirobah menjadi madrasah yang
kemudian dikenal dengan nama Thawalib School. Dengan harapan agar kelak anaknya
menjadi ulama seperti dia, Syekh Abdul Karim Amrullah memasukkan Hamka ke
Thawalib School dan berhenti dari sekolah desa.[5]
Meskipun sistem klasikal sudah di
berlakukan oleh Thawalib School namun kurikulum dan materi pembelajaran masih
menggunakan cara lama. Buku-buku lama dengan keharusan menghafal masih
merupakan ciri utama sekolah ini. Hal inilah yang membuat Hamka cepat bosan,
meskipun ia tetap naik kelas.
Setelah belajar selama empat tahun
sampai ia menduduki bangku kelas empat, mungkin karena sikap kritis dan jiwa
pemberontak yang dimilikinya, Hamka tidak lagi tertarik untuk menyelesaikan
pendidikan di sekolah yang didirikan oleh ayahnya itu, sementara program
pendidikan di sekolah ini dirancang untuk pendidikan selama tujuh tahun.
Keadaan belajar yang diterapkan
seperti di Thawalib School itu memang tidaklah menarik, karena keseriusan
belajar tidak tumbuh dari dalam, tetapi dipaksakan dari luar, hal ini yang
kemudian membuat Hamka melakukan pelarian sesuai dengan kejolak jiwanya yang
sedang mencari jatidirinya. Keadaan inilah yang kemudian membawa Hamka
menenggelamkan diri di sebuah perpustakaan yang didirikan oleh Zainuddin Labay
el-Yunusi dan Bagindo Sinaro, yang diberi nama Perpustakaan Zainaro. Pelarian
ini, walaupun kurang disukai oleh ayahnya, ternyata ini merupakan pelarian yang
positif . Karena setelah asyik menenggelamkan diri dengan membaca buku-buku
cerita dan sejarah di perpustakaan tersebut telah membentuk kegairahan tertentu
bagi Hamka dan banyak memberikan andil bagi perkembangan imajinasi dimasa
kanak-kanak serta kemampuan bercerita dan menulis di belakang hari.
Pada masa-masa pendidikannya Hamka
juga pernah dikirim untuk belajar di sekolah Syekh Ibrahim Mûsâ Parabek, di
Parabek Bukit Tinggi, namun ini juga tidak berlansung lama karena pada tahun
1924, Hamka meninggalkan Ranah Minang dan berangkat ke Yogyakarta.
Secara keseluruahan masa pendidikan
formal yang pernah di tempuh Hamka hanya sekitar tujuh tahun, yaitu antara
tahun 1916 sampai tahun 1924. dimana pada masa-masa itu beliau pernah masuk
sekolah desa, juga belajar pendidikan agama pada Diniyah School dan Sumatra
Thawalib Padang Panjang dan Surau Inyiak Parabek di Bukit Tinggi, disamping itu
Hamka juga sempat belajar dengan ulama-ulam besar seperti ayahnya sendiri,
kemudian dengan Engku Mudo Abdul Hamid, Zainuddin Labay el-Yunusi dan Syekh
Ibrahim Musa Parabek.[6]
Kunjungan Hamka ke tanah Jawa yang
relatif singkat itu, lebih kurang satu tahun, dalam pengakuan Hamka perjalanan
beliau itu mampu memberikan semangat baru baginya dalam mempelajari Islam.
Rantua (negeri kunjungan) pengembaraan pencarian ilmu ditanah jawa itu, yang
beliau mulai dari Yogyakarta dan Pekalongan. Lewat Ja’far Amrullah pamannya,
Hamka kemudian mendapat kesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan
oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam.
Dalam kesempatan itu pula Hamka
bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, dan darinya Hamka mendapatkan pelajaran
tafsir al-Qur’an. Ia juga bertemu dengan HOS Cokroaminoto dan mendengarkan
ceramahnya tentang islam dan Sosialisme. Di samping itu juga berkesempatan bertukar
pikiran dengan dengan beberapa tokoh penting lainnya seperti Haji Fakhruddin
dan Syamsul Ridjal.[7]
B.
Manhaj Tafsir al-Azhar
Pada sub bab ini, pemakalah akan
mengulas seputar kitab berikut manhaj Prof. Dr. Hamka dalam karyanya tafsir al-Azhar yang meliputi:
1.
Identifikasi Kitab
Kitab
yang dijadikan objek pembahasan dalam makalah ini adalah kitab Tafsir karya
Prof.Dr.Hamka yang lebih dikenal dengan nama tafsir al-Azhar cetakan PT.Pustaka
Panjimas Jakarta tahun 1982. Kitab ini sejumlah 15 jilid disetiap jilidnya
terdapat 2 Juz. Untuk lebih jelasnya pemakalah memberikan penjelasan dari Hamka
sendiri dalam pendahuluan tafsirnya tentang Petunjuk Untuk Pembaca.[8]
Tafsir
ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan pada kuliah subuh
oleh Hamka di masjid al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru sejak tahun 1959.
Nama
al-Azhar bagi masjid tersebut telah diberikan oleh Syeikh Mahmud Shaltut,
Rektor Universitas al-Azhar semasa kunjungan beliau ke Indonesia pada Desember
1960 dengan harapan supaya menjadi kampus al-Azhar di Jakarta. Penamaan tafsir
Hamka dengan nama Tafsir al-Azhar berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir
tersebut yaitu Masjid Agung al-Azhar.
Terdapat
beberapa faktor yang mendorong Hamka untuk menghasilkan karya tafsir tersebut.
Hal ini dinyatakan sendiri oleh Hamka dalam mukadimah kitab tafsirnya. Di
antaranya ialah keinginan beliau untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam
dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami al-Quran
tetapi terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai ilmu Bahasa Arab.
Kecenderungan beliau terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk
memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah serta meningkatkan
keberkesanan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil daripada sumber-sumber
Bahasa Arab Hamka memulai Tafsir Al-Azharnya dari surah al-Mukminun karena
beranggapan kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap
terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya.
Mulai
tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di masjid al-Azhar ini, dimuat di
majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai terjadi
kekacauan politik di mana masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang “Neo
Masyumi” dan “Hamkaisme”. Pada tanggal 12 Rabi’ al-awwal 1383H/27 Januari 1964,
Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada negara.
Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa berkah bagi Hamka karena ia
dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya.[9]
2.
Sistematika Penyusunan
Prof.Dr.
Hamka dalam menyusun Tafsir al-Azhar beliau menggunakan tarti>b us\ma>ni>
yaitu menafsirkan ayat secara runtut berdasarkan penyusunan mus}haf us\ma>ni>.
Keistimewaan yang didapatkan dari tafsir ini karena mengawali dengan
pendahuluan yang berbicara banyak tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, seperti definisi
al-Qur’an, Makkiyah dan Madaniyah, Nuzu>l al-Qur’an, Pembukuan Mus\haf,
I’jaz dan banyak lagi.
Sebuah
kemudahan yang didapatkan sebab Hamka menyusun tafsiran ayat demi ayat dengan
cara pengelompokan pokok bahasan sebagaimana tafsir Sayyid Qut\b dan atau
al-Mara>g\i>. bahkan terkadang beliau memberikan judul terhadap pokok
bahasan yang hendak ditafsirkan dalam kelompok ayat tersebut. Misalnya dalam
menafsirkan ayat-ayat awal dari surah al-Baqarah. Beliau mengelompokkan ayat
1-5dan memberikan judul “Takwa dan Iman” sebelum member penafsirannya terhadap
ayat-ayat tersebut.[10]
Adapun
ayat 8-13 serta ayat 14-30 dari surah yang sama, diberi judul “Nifaq I” dan
“Nifaq II”.[11]
Tafsir
ini juga member perhatian terhadap Muna>sabah (korelasi) antar ayat yang
hampir mencakup seluruh ayat yang ditafsirkan. Misalnya pada hal 25, jilid 1,
juz2:
“(Yaitu) orang-orang yang apabila menimpa kepada mereka
suatu musibah, mereka berkata; Sesungguhnya kita ini dari Allah, dan
sesungguhnya kepadaNyalah kita semua akan kembali.” (ayat 156).
Ucapan yang begini mendalam, tidaklah akan keluar dari
dalam lubuk hati kalau tidak menempuh latihan.
Khabar kesukaan apakah yang dijanjikan buat mereka?
“Mereka itu, akan
dikaruniakan atas mereka anugerah-anugerah dari Tuhan Mereka, dan rahmat.”
(pangkal ayat 157). Inilah khabar kesukaan untuk mereka. Pertama mereka akan
diberi karunia anugerah; dalam bahasa aslinya shalawat. Dari kata shalat. Kalau
kita makhluk ini yang mengerjakan shalat terhadap Allah, artinya kita telah berdoa
dan shalat. Kalau kita mengucapkan shalawat kepada rasul, ialah memohon kepada
Allah agar nabi kita Muhammad s.a.w diberi karunia dan kemuliaan. Tetapi kalau
Tuhan Allah yang memberikan shalawatNya kepada kita, artinya ialah anugerah
perlindunganNya kemudian itu menyusul Rahmat, yaitu kasih saying.”Dan mereka
itulah orang-orang yang akan mendapat petunjuk.” (ujung ayat 157).[12]
Muna>sabah
antar surah juga dapat terlihat dalam contoh berikut:
Maka apabila kita perhatikan kedua surah ini, ali Imran
dan al-Baqarah, nampaklah oleh kita bahwasanya keadaannya sambung-bersambung,
lengkap-melengkapi. Misalnya di permulaan surah al-Baqarah bahwa tiang yang
penting di dalam menegakkan takwa ialah “percaya kepada apa yang diturunkan
kepada engkau dan kepada yang diturunkan sebelum engkau.” (al-Baqarah ayat 3),
kelak pada ali Imran ditegaskan bahwa Tuhan menurunkan kepada engkau sebuah
Kitab dengan kebenaran yang membenarkan isi kitab yang ada di hadapannya dan
Tuhan yang menurunkan Taurat dan Injil.[13]
Dalam hal
asba>b al-Nuzu>l, Kitab Tafsir al-Azhar ini secara skala besar menampung
banyak riwayat-riwayat tentang asba>b al-Nuzu>l, diantaranya:
Al-Wahidi menulis di dalam kitabnya Asbabun-Nuzul dan
as-Tsa’labi di dalam tafsirnya riwayat dari Ali bin Abu Thalib, dia berkata
bahwa kitab ini diturunkan di Makkah, dari dalam suatu perbendaharaan di bawah
‘Arsy.[14]
Itulah
secara umum sistematika penyusunan yang diterapkan Hamka dalam tafsir al-Azhar.
3.
Pendekatan Tafsir
Pendekatan
tafsir yang kami maksud disini juga seringkali menggunakan istilah Sumber
Penafsiran, dalam hal ini Prof.Dr.Hamka dalam tafsirnya menggunakan pendekatan tafsir
bi al-Ma’s\u>r sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dalam
pendahuluan tafsirnya bahwa al-Qur’an terbagi kedalam tiga bagian besar (fiqhi,
Aqidah dan Kisah) yang menjadi keharusan (bahkan wajib dalam hal fiqhi dan
akidah) untuk disoroti oleh sunnah tiap-tiap ayat yang ditafsirkan tersebut.[15]
Beliau
juga berpandangan bahwa ayat yang sudah jelas, terang dan nyata maka merupakan
pengecualian ketika sunnah bertentangan dengannya.[16]
Meskipun
didominasi oleh riwayat, beliau juga memberikan penjelasan secara ilmiah
(ra’yu) apatahlagi terkait masalah ayat-ayat kauniyah.[17]
4.
Metode Penafsiran
Berdasarkan
penelusuran pemakalah, tafsir al-Azhar karya Prof.Dr.Hamka menggunakan metode Tahli>li
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Disamping sistematikanya yang runtut
berdasarkan urutan mus\haf sebagaimana yang dijelaskan diatas, juga bisa
dilihat dalam contoh tafsiran beliau:
Penafsiran
beliau tentang surat al-T{a>riq ayat 11 sebagai berikut:
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الرَّجْعِ
Terjemahnya:
Demi
langit yang mengandung hujan
Hamka
menafsirkan dengan:
“sekali lagi Allah bersumpah dengan langit sebagai
makhluk-Nya: Demi langit yang mengandung hujan. Langit yang dimaksud di sini
tentulah yang di atas kita. Sedangkan di dalam mulut kita yang sebelah atas
kita namai “langit-langit”, dan tabir sutera warna-warni yang dipasang di
sebelah atas singgasana raja atau di atas pelaminan tempat mempelai dua sejoli
bersanding dinamai langit-langit jua sebagai alamat bahwa kata-kata langit itu
pun dipakai untuk yang di atas. Kadang-kadang diperlambangkan sebagai ketinggian
dan kemuliaan Tuhan, lalu kita tadahkan tangan ke langit ketika berdoa. Maka
dari langit itulah turunnya hujan. Langitlah yang menyimpan air dan
menyediakannya lalu menurunkannya menurut jangka tertentu. Kalau dia tidak
turun kekeringanlah kita di bumi ini dan matilah kita. Mengapa raj’i artinya
disini jadi “hujan”? sebab hujan itu memang air dari bumi juga, mulanya menguap
naik ke langit, jadi awan berkumpul dan turun kembali ke bumi, setelah menguap
lagi naik kembali ke langit dan turun kembali ke bumi. Demikian terus-menerus.
Naik kembali turun kembali.[18]
5.
Corak Penafsiran
Menurut
pemakalah, corak yang mendominasi penafsiran Hamka adalah al-adab
al-ijtima’I yang nampak terlihat dari latar belakang Hamka sebagai seorang
sastrawan dengan lahirnya novel-novel karya beliau sehingga beliau berupaya
agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang dipahami semua golongan dan bukan Cuma
ditingkat akademisi atau ulama, disamping itu beliau memberikan penjelasan
berdasarkan kondisi social yang sedang berlangsung (pemerintahan orde lama) dan
situasi politik kala itu. Misalnya:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا
كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ
يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (٢٨٣)
Terjemahnya:
jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam
tafsiran ayat di atas, Hamka menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan
antara agama dan negara. dan Hamka juga menegaskan bahwasannya agama Islam
bukanlah semata-mata mengurus soal ibadah dan puasa saja. Bahkan urusan
mu’amalah, atau kegiatan hubungan diantara manusia dengan manusia yang juga
dinamai “hukum perdata” sampai begitu jelas disebut dalam ayat al-Qur’an, maka
dapatlah kita mengatakan dengan pasti bahwa soal-soal beginipun termasuk agama
juga. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Islam
menghendaki hubungan yang harmonis antara keduanya, tidak adanya sutu kerusakan
antara satu sama lain. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw:
Artinya:
“tidak merusak dan tidak kerusakan (diantara manusia dengan manusia).[19]
Aspek
yang lain juga membuktikan bahwa dalam perkembangannya, Hamka sendiri banyak
merujuk pada tafsir al-Mana>r karya Muhammad Abduh, juga mengakui dirinya
bahwa Sayyid Qut\b dalam tafsirnya Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n sangat
banyak mempengaruhi Hamka dalam menulis Tafsir yang notabene bercorak al-adab
al-ijtima>’i> dan Haraki>.[20]
Terkait
kisah Isra>’iliyat, maka Hamka memberikan penjelasannya bahwa disamping
pemahaman umumnya ulama tentang tiga bentuk kisah isra’iliyat, beliau
menekankan bahwa isra’iliyat itu adalah sebagai dinding yang menghambat orang
dari kebenaran al-Qur’an. Kalau didalam tafsir ini (lanjut Hamka) ada kita
bawakan riwayat-riwayat isra’iliyat itu, lain tidak ialahbuat peringatan saja.[21]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian singkat diatas,
penulis dapat menarik benang merah sebagai kesimpulan :
1.
Tafsir al-Azhar karya Prof.Dr. Hamka
merupakan hasil dari pengajian subuh yang dilakukan di mesjid Agung al-Azhar
yang kemudian dirampungkan di dalam tahanan selama 2 tahun 4 bulan ketika
beliau difitnah oleh pemerintah pada masanya melakukan makar terhadap
pemerintahan indonesia.
2.
Pendekatan yang digunakan dalam
tafsir al-Azhar adalah tafsir bi al-Ma’s\u>r dengan metode Tahli>li.
3.
Corak yang mendominasi tafsir
al-Azhar adalah al-adab al-ijtima>’i> dengan keindahan bahasa Melayu yang
disajikan berdasarkan konteks social kemasyarakatan dimasanya.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Tafsir al-Qur’an di Indonesia, Republika
online, 21 Desember 2006 dan dimuat di internet pada tanggal 22 Desember 2006.
dikutip tanggal 30 November 2011
Hamka, Tafsir al-Azha>r,
Jilid I-XV Juz I-XXX (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982
Karim, Rasul, Hamka dan Tafsir
al-Azhar . www.katakarim.blogspot.com, disadur pada
tanggal 30 november 2011
Saenong, Farid. F. Arkeologi Pemikiran Tafsir di Indonesia Upaya
Perintis, Artikel tertanggal 20 Juli 2006, dikutip dari internet
dikutip tanggal 30 November 2011
[1] Farid. F. Saenong, Arkeologi Pemikiran Tafsir di Indonesia Upaya
Perintis, (Artikel tertanggal 20 Juli 2006, dikutip dari internet)
dikutip tanggal 30 November 2011
[2] Azyumardi Azra, Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Republika
online, 21 Desember 2006 dan dimuat di internet pada tanggal 22 Desember 2006).
dikutip tanggal 30 November 2011
[3] Rasul Karim, Hamka dan
Tafsir al-Azhar (www.katakarim.blogspot.com, disadur pada tanggal 30
november 2011)
[4] Hamka, Tafsir al-Azha>r,
Jilid I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 1-2
[5] Rasul Karim, Loc.Cit
[6] Ibid
[7] Ibid.
[8] Hamka, Op.cit. h.59-65
[9] Hamka, Op.cit. h. 48-58
[10] Hamka, Op.cit. h.
116-121
[11] Ibid. h. 134-143
[12] Ibid. h. 25
[13] Ibid. Jilid III, h.98
[14] Op.Cit, h. 68
[15] Dalam pandangan Hamka, betapapun keahlian kita
memahamkan arti dari tiap-tiap kalimat al-Qur’an, kalau kita hendak jujur
beragama, tidak dapat tidak, kita mesti memperhatikan bagaimana pendapat
Ulama-ulama yang terdahulu, terutama Sunnah rasul, pendapat sahabat sahabat
Rasul dan tabi’in dan ulama ikutan kita. Itulah yang dinamai riwayah terutama
mengenai ayat-ayat hokum. Ibid. h.25 dan 38
[16] Ibid, h. 26
[17] Ibid. h. 27-28
[18] Hamka, Jilid 15. Juz XXX, h.
116-117
[19] Hamka, Jilid 2. Juz 1, 36
[20] Hamka, Jilid I. h. 41
[21] Ibid, h. 34
1 komentar:
tafsir al azhar salah satu buku referensi di bidang tafsir alquran..
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....