Oleh : KM. Abdul
Gaffar, S.Th.I, M.Th.I
BAB I
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an tidak hanya sebuah sumber
ilmu, petunjuk dan isnpirasi kebenaran yang tak pernah kering dan habis, tapi
juga disaat yang sama, al-Qur’an adalah sumber segala kebahagiaan sejati. Oleh
karena itu, semua apa yang terdapat dalam al-Qur’an selalu menyimpan makna dan
hikmah meski kadang pikiran manusia belum sampai pada hal-hal tersebut.
Sebagian orang, khususnya Orientalis
mengklaim bahwa sistematika al-Qur’an sangat kacau[1],
banyak hal yang tak perlu dan sia-sia didalamnya, mereka memberi contoh, ziya>dah,
naqs dan tikra>r atau pengulangan ayat-ayat dalam al-Qur’an.
Akan tetapi hal ini telah dibantah
oleh banyak ulama islam. tidak sedikit jawaban yang dilontarkan mengenai
masalah ini, disertai dengan bukti-bukti yang valid berangkat dari dasar bahwa
tak ada hal yang sia-sia dalam al-Qur’an.
Begitu juga dengan persoalan tikrar
atau pengulangan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Diperoleh banyak fungsi dan hikmah
dari bentuk ini, salah satunya adalah ta’ki>d dan tajdi>d
bagi sebelumnya. Sebagai contoh, pengulangan kisah-kisah dalam al-Qur’an
mengenai nabi-nabi dan umat terdahulu.
Imam Qutaibah menjelaskan bahwa al-Qur’an
diturunkan dalam kurun waktu yang tidak singkat, tentunya keberagaman kabilah
yang ada dikomunitas arab waktu itu cukuplah banyak, sehingga jika tidak ada
pengulangan ayat, maka bisa jadi hikmah dan ibrah dari berbagai kisah tersebut
hanya terbatas pada kaum tertentu saja.[2]
Dengan kata lain, tanpa tikrar dalam al-Qur’an, kisah-kisah yang sarat hikmah
tersebut hanya akan menjadi sekedar kisah basi yang hanya bisa dikenang.
Oleh karena itu, sangat penting
kiranya membahas lebih jauh mengenai tikra>r fi> al-Qur’a>n
berikut dengan kaidah-kaidah yang berkaitan dengannya. Maka dalam makalah kali
ini, akan coba dijelaskan lebih jauh mengenai hal tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Dengan
latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa poin permasalahan, sebagai
berikut :
1.
Bagaimana defenisi al-tikra>r
fi> al-Qur’a>n ?
2.
Apa saja kaidah-kaidah al-tikra>r
dalam al-Qur’an dan bagaimana pengaplikasiannya?
3.
Bagaimana urgensi bentuk al-tikra>r
dalam al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi al-Tikrar fi al-Qur’an
Kata
al-tikra>r (التكرار ) adalah masdar dari kata
kerja "كرر" yang merupakan rangkaian kata dari huruf ك-ر-ر. Secara
etimologi berarti mengulang atau mengembalikan sesuatu berulangkali.[3]
Adapun
menurut istilah al-tikra>r berarti "اعادة
اللفظ او مرادفه لتقرير المعنى" mengulangi lafal
atau yang sinonimnya untuk menetapkan (taqrir) makna. selain itu, ada juga yang
memaknai al-tikra>r dengan "ذكر الشيء
مرتين فصاعدا" menyebutkan sesuatu dua kali
berturut-turut atau penunjukan lafal terhadap sebuah makna secara berulang.[4]
Dari
keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-tikra>r
fi> al-Qur’an adalah pengulangan redaksi kalimat atau ayat dalam al-Qur’an dua kali atau lebih, baik itu
terjadi pada lafalnya ataupun maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu.
Al-Tikra>r
(pengulangan) dibagi menjadi dua macam :
1.
Tikra>r al-lafdzi>, yaitu pengulangan
redaksi ayat di dalam al-Qur’an baik berupa huruf-hurufnya, kata ataupun
redaksi kalimatnya dan ayatnya.
a.
Contoh pengulangan huruf.
يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ (6) تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ
(7) قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ (8) أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ (9) يَقُولُونَ أَئِنَّا
لَمَرْدُودُونَ فِي الْحَافِرَةِ (10) أَئِذَا كُنَّا عِظَامًا نَخِرَةً (11) قَالُوا
تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ (12) فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ (13) فَإِذَا
هُمْ بِالسَّاهِرَةِ (14).
b.
Contoh pengulangan kata, dapat
dilihat pada Q.S. al-Fajr (89): 21-22:
كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا (21) وَجَاءَ
رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (22)
c.
Contoh pengulangan ayat terdapat
pada Q.S. Al-Rahma>n:
فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ.
Ayat tersebut berulang kurang lebih
30 kali dalam surah tersebut.
2.
Tikra>r al-ma’nawi>, yaitu pengulangan
redaksi ayat di dalam al-Qur’an yang pengulangannya lebih di titik beratkan
kepada makna atau maksud dan tujuan pengulangan tersebut.[6] Sebagai contoh Q.S. al-Baqarah (2): 238:
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238)
Al-S}ala>t al-wust}a> yang
disebut dalam ayat diatas adalah pengulangan makna dari kata al-s}alawa>t
sebelumnya, karena masih merupakan bagian darinya. Adapun penyebutannya sebagai
penekanan atas perintah memeliharanya.[7]
Selain seperti contoh diatas, bentuk tikra>r
seperti ini biasanya dapat dilihat ketika al-Qur’an bercerita tentang
kisah-kisah umat terdahulu, menggambarkan azab dan nikmat, janji dan ancaman
dan lain sebagainya.
B.
Kaidah-Kaidah al-Tikra>r Fi> al-Qur’a>n.
Ada
beberapa kaidah yang berkaitan dengan al-tikra>r fi> al-Qur’a>n,
sebagai berikut:
1.
Kaidah Pertama:
قَدْ
يَرِدُ التِّكْرَار لِتَعَدُّدِ المْتَعَلِّقِ.[8]
Artinya:
Terkadang
Adanya pengulangan karena banyaknya hal yang berkaitan dengannya (maksud yang
ingin disampaikan).
Adanya
pengulangan beberapa ayat al-Qur’an disurah dan tempat yang berbeda menyisakan
pertanyaan dibenak para ilmuan sekaligus bahan perdebatan dikalangan mereka.
Hal ini bertolak belakang dari realitas metode al-Qur’an sendiri yang dalam penjelasannya
terkesan singkat padat dalam mendeskripsikan sesuatu. Olehnya itu, al-Qur’an
oleh sementara orang dinilai kacau dalam sistematikanya.[9]
Namun
pertanyaan ini telah dijawab oleh para ilmuan Islam, bahwa bentuk pengulangan dalam al-Qur’an
adalah bukan hal yang sia-sia dan tidak memiliki arti. Bahkan menurut mereka
setiap lafal yang berulang tadi memiliki kaitan erat dengan lafal sebelumnya. Sebagai
contoh ayat-ayat dalam Q.S. al-Rahma>n (55): 22-27:
يَخْرُجُ
مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ (22) فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
(23) وَلَهُ الْجَوَارِ الْمُنْشَآَتُ فِي الْبَحْرِ كَالْأَعْلَامِ (24) فَبِأَيِّ
آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (25) كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ
رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27) فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
(28).
Terjemahnya:
Dari
keduanya keluar mutiara dan marjan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan? Dan kepunyaanNya lah bahtera-bahtera yang Tinggi layarnya di lautan
laksana gunung-gunung. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?.
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan?.[10]
Dalam
surah di atas terdapat ayat yang berulang lebih dari 30 kali yang kesemuanya
menuntut adanya ikrar dan pernyataan rasa syukur manusia atas berbagai nikmat Allah.
Jika dilihat, tiap pengulangan ayat ini didahului dengan penjelasan berbagai
jenis nikmat yang Allah berikan kepada hambanya . jenis nikmat inipun
berbeda-beda, maka setiap pengulangan ayat yang dimaksud, berkaitan erat dengan
satu jenis nikmat. Dan ketika ayat
tersebut berulang kembali, maka kembalinya kepada nikmat lain yang disebut
sebelumnya.[11]
Inilah yang dimaksud oleh kaidah, bahwa terkadang pengulangan lafal karena
banyaknya hal yang berkaitan dengannya.
Contoh
lain bisa dilihat dalam Q.S. al-Mursala>t (77): 19, 24:
وَيْلٌ
يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ (19).
Dalam
Surah di atas lafal ويل يومئذ للمكذبين berulang
sampai sepuluh kali. Hal itu dikarenakan
Allah swt. menyebutkan kisah yang berbeda pula. Setiap kisah diikuti oleh lafal
tersebut yang menunjukkan bahwa celaan itu dimaksudkan kepada orang-orang yang
berkaitan dengan kisah sebelumnya.[12]
2.
Kaidah Kedua:
لم يقع في كتاب الله تكراربين متجورين.[13]
Artinya:
Tidak terjadi pengulangan antara dua
hal yang berdekatan dalam kitabullah.
Maksud dari kata “mutaja>wirain”
dalam kaidah ini adalah pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama tanpa
fa>shil diantara keduanya[14].
Sebagai contoh lafal “basmallah” dengan QS. Al-Fatihah/1 : 3 :
Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÌÈ
Ibn Jari>r mengatakan bahwa kaidah ini justru
nerupakan hujjah terhadap orang-orang yang berpendapat bahwa basmallah
merupakan bagian dari surah al-Fatihah, karena jika demikian, maka dalam
Al-Qur’an terjadi pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama tanpa adanya
pemisah yang maknanya dengan makna kedua ayat yang berulang tersebut.
Oleh karena itu, jika dikatakan
bahwa ayat 2 dari surah Al-Fatihah :
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
Adalah
fashl (pemisah) diantara kedua ayat tersebut, maka hal ini dibantah oleh
para ahli ta’wil dengan alasan bahwa ayat “arrahma>nirrahi>m”
adalah ayat yang diakhirkan lafalnya tapi ditaqdimkan maknanya. Makna secara
utuhnya adalah :
الحمد الله الرحمن الرحيم رب العا لمين ملك يوم الدين.[15]
Dari contoh diatas, maka benarlah
kaidah ini, bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat pengulangan yang saling
berdekatan.
3.
Kaidah Ketiga :
Artinya:
“Tidak ada perbedaan lafal kecuali
adanya perbedaan makna”.
Contoh
aplikasinya Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Ka>firu>n/109: 2-4,
Iw ßç6ôãr& $tB tbrßç7÷ès? ÇËÈ Iwur óOçFRr& tbrßÎ7»tã !$tB ßç7ôãr& ÇÌÈ Iwur O$tRr& ÓÎ/%tæ $¨B ÷Lnt6tã ÇÍÈ
Terjemahnya:
Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, Dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.[17]
Lafal
لآ
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ sepintas tidak berdeda dengan وَلآ
أَناَ عَابِدُ مَا عَبَدْتُمْ , tapi pada
hakikatnya memiliki perbedaan makna yang mendalam. Lafal لآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ yang menggunakan betuk mud}a>ri‘ mengandung arti bahwa Nabi Muhammad saw. tidak
menyembah berhala pada waktu tersebut dan akan datang.
Adapun
lafal وَلآ
أَناَ عَابِدُ مَا عَبَدْتُمْ dengan s}i>gah ma>d}i> mengandung
penegasian fi’il pada waktu lampau. Seperti telah diketahui, bahwa
sebelum kedatangan islam kaum musyrikin menganut paham politheisme atau
menyembah banyak tuhan. Oleh karena itu lafal ini menegasikan Nabi Muhammad
menyembah berhala-berhala yang telah lebih dulu mereka sembah.[18]
Itulah
yang dimaksud oleh kaidah ini, tidak ada perbedaan lafal kecuali terdapat
perbedaan makna didalamnya. Kedua lafal ini mempertegas unsur kemustahilan –
dulu, selalu dan selamanya – Muhammad tidak akan menyembah tuhan kaum Quraiys
(berhala).[19]
Penyebutan salah satu lafal saja tidak bisa mencakup semua makna tersebut.
Disisi
lain, ungkapan dengan bentuk ما هوبفاعل هذا lebih tinggi maknanya jika dibandingkan dengan ungkapan مايفعله, Karena
ungkapan yang pertama betul-betul menegasikan adanya kemungkinan terjadinya fi’il
atau perbuatan, berbeda dengan ungkapan yang kedua.[20]
4.
Kaidah Keempat:
العَرَبُ تَكَرَّرَ
الشَّيءُ في الِإسْتِفْهَامِ إِسْتِبْعَاداً لَهُ[21]
Artinya:
Kaum
Arab senantiasa mengulangi sesuatu dalam bentuk pertanyaan untuk menunjukan mustahil
terjadinya hal tersebut.
Sudah menjadi kebiasaan dikalangan
bangsa arab dalam menyampaikan suatu hal yang mustahil atau kemungkinan kecil
akan terjadi pada diri seseorang. Maka bangsa arab mempergunakan bentuk (إستفهام) pertanyaan tanpa menyebutkan maksudnya secara langsung. Maka
dipergunakanlah pengulangan guna menolak dan menjauhkan terjadinya hal itu.
Contohnya jika si-A kecil kemungkinan
atau mustahil untuk pergi berperang, maka dikatakan kepadanya (أنت تجاهد؟ أأنت تجاهد؟). Pengulangan kalimat
dalam bentuk istifham pada contoh tersebut untuk menunjukkan mustahil
terjadinya fi’il dari fa’il[22]
Hal
ini seperti apa yang telah dicontohkan
dalam Q.S. al-Mu’minu>n (23): 35:
أَيَعِدُكُمْ
أَنَّكُمْ إِذَا مِتُّمْ وَكُنْتُمْ تُرَابًا وَعِظَامًا أَنَّكُمْ مُخْرَجُونَ
(35)
Terjemahnya:
Apakah
ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah
menjadi tanah dan tulang belulang, kamu Sesungguhnya akan dikeluarkan (dari
kuburmu)?.[23]
Kalimat "ايعدكم
انكم" kemudian diikuti oleh kalimat `"انكم
مخرجون" mengandung arti mustahilnya
kebangkitan setelah kematian. Ayat ini merupakan jawaban dari pengingkaran orang-orang
kafir terhadap adanya hari akhir.
5.
Kaidah Kelima.
التِكْرَارُ يَدُلُّ
عَلَي الِإعْتِنَاء[24]
Artinya:
“ Pengulangan menunjukkan perhatian atas hal tersebut”.
Sudah menjadi hal yang maklum, bahwa
sesuatu yang penting sering disebut-sebut bahkan ditegaskan berulangkali. Ini
berarti setiap hal yang mengalami pengulangan berarti memiliki nilai tambah hingga membuatnya diperhatikan dan terus
disebut-sebut.
Sebagai illustrasi, buku yang
bermutu dari segi penyampaian isi akan digemari dan diperhatikan para pembaca
hingga berpengaruh pada jumlah pengulangan dalam pencetakannya guna memenuhi
kebutuhan dan tuntutan pembaca.
Sifat-sifat Allah swt. yang kerap
berulang kali dalam al-Qur’an pada setiap surah menegaskan pentingnya untuk
mengetahui dan kewajiban mengimaninya. Begitu juga dengan berbagai kisah umat terdahulu
sebagai contoh yang sarat pesan dan hikmah.
Sebagai
contoh dari aplikasi kaedah ini Q.S. Al-Naba’ (78):1-5:
عَمَّ
يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ
(3) كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (5)
Terjemahnya:
Tentang
apakah mereka saling bertanya-tanya?. Tentang berita yang besar. yang mereka
perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidak kelak mereka akan mengetahui,.
Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka mengetahui.”[25]
Surah
diatas bercerita tentang hari kiamat yang waktu terjadinya diperdebatkan banyak
orang. Dalam surah tersebut lafal كلا
سيعلمون diulang dua kali menunjukkan bahwa hal yang diperdebatkan
tersebut benar-benar tidak akan pernah
bisa diketahui tepatnya.
6.
Kaedah Keenam:
النَّكِرَةُ إِذَا
تَكَرَّرَتْ دَلَّتْ عَلَي التَّعَدُّدُ, بِخِلَافِ الْمَعْرِفَةِ[26]
Artinya:
Jika
hal yang berbentuk nakirah (umum/tidak diketahui) mengalami pengulangan
maka ia menunjukkan berbilang, berbeda dengan hal yang bentuknya ma‘rifah (khusus/diketahui).
Dalam
kaedah bahasa arab apabila isim (kata benda) disebut dua kali atau
berulang , maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yaitu: (1) keduanya adalah
isim al-nakirah, (2) keduanya ism al-ma’rifah, (3) pertama
ism al-nakirah dan kedua ism al-ma‘rifah, serta (4) pertama ism
al-ma‘rifah dan kedua ism
al-nakirah.[27]
Untuk
jenis yang disebut pertama (kedua-duanya isim nakirah) maka ism
kedua bukanlah yang pertama, dengan kata lain maksudnya menunjukkan pada hal
yang berbeda.
Aplikasi
jenis ini bisa dilihat dalam Q.S. al-Ru>m/30: 54,
اللَّهُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ
مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
(54).
Terjemahnya:
Allah,
Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.[28]
Lafal ضعفا pada ayat diatas terulang tiga kali
dalam bentuk nakirah yang menurut kaedah bila terdapat dua ism al-nakirah
yang terulang dua kali maka yang kedua pada hakekatnya bukanlah yang pertama. Dengan demikian,
ketiga lafal d}a‘i>f memiliki
makna yang berbeda-beda.
Menurut al-Qurt}ubi> dalam
tafsirnya al-Ja>mi‘ li al-Ah}ka>m al-Qur’a>n, arti ضعفا pertama
adalah terbentuknya manusia dari نطفة ضعيفة sperma yang lemah dan hina, kemudian beranjak ke fase
kedua yaitu حالة
الضعيفة في الطفولة والصغر. (keadaan
manusia yang lemah pada masa awal kelahiran), kemudian ditutup dengan fase
ketiga yaitu (حالة الضعيفة في الهرم والشيخوخة) “keadaan
lemah saat usia senja dan jompo”.[29]
Untuk
jenis yang disebutkan kedua, (kedua-duanya isim ma’rifah)
sebaliknya, bahwa yang kedua pada hakekatnya adalah yang pertama kecuali
terdapat qari>nah yang menghendaki makna selainnya,
Seperti
firman Allah dalam Q.S. al-Fa>tih}ah (1): 6-7:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
(6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ (7).
Terjemahnya:
Tunjukilah Kami jalan yang lurus,
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[30]
Lafal
s}ira>t} yang terdapat pada ayat di atas terulang dua kali, pertama
dalam bentuk ism al-ma’rifah yang ditandai dengan memberi kata sandang
alif la>m الصراط dan kedua dalam bentuk ma’rifah
juga, yang ditandai dengan susunan id}a>fah صراط الذين. maka ism yang
disebut kedua sama dengan yang pertama.
Jenis
pertama dan kedua inilah yang dimaksud oleh kaidah diatas. Adapun jenis ketiga
(ism al-nakirah pertama dan al-ma’rifah kedua) dalam hal ini
keduanya memiliki arti yang sama, sebagai contoh firman Allah dalam Q.S. al-Muzammil
(73): 15-16 :
إِنَّا
أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ
رَسُولًا (15) فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا (16).
Terjemahnya:
Sesungguhnya
Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang
menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang
Rasul kepada Fir'aun. Maka Fir'aun
mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat.[31]
Menurut M. Quraish Shihab, dalam
ayat ini Allah memberitahukan kepada kaum Quraish bahwa ia telah mengutus
Muhammad untuk menjadi saksi atas mereka sebagaimana Allah mengutus kepada
Fir’aun seorang rasul yaitu nabi Musa as. Kemudian mereka ingkar dan
mendurhakai nabi Musa as. dan menjadikan patung sapi menjadi sembahannya.
Berdasarkan kaedah yang ketiga ini, maka yang dimaksud dengan rasul pada
penyebutan kedua adalah sama dengan yang pertama, yaitu nabi musa. Jadi makna
nabi pada ayat 15 yang diutus kepada Fir’aun adalah juga nabi yang diingkarinya
pada ayat setelahnya[32]
Sementara itu untuk jenis yang
disebutkan terakhir (pertama isim ma’rifah dan kedua isim nakirah)
maka kaidah yang berlaku tergantung kepada indikatornya (qari>nah).
Olehnya itu ia terbagi ke dalam dua:
a.
Adakalanya indikator menunjukkan
bahwa keduanya memiliki makna yang berbeda. Hal ini seperti yang ditunjukkan
oleh firman Allah dalam Q.S. al-Ru>m (30): 55:
وَيَوْمَ
تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ
كَانُوا يُؤْفَكُونَ (55).
Terjemahnya:
Dan
pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; Mereka
tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)". seperti Demikianlah
mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).[33]
Lafal (الساعة) pada ayat
diatas terulang sebanyak dua kali, yang pertama menunjukkan isim ma‘rifah sedang
kedua menunjukkan isim al-nakirah.
Dalam kasus ini lafal yang
disebutkan kedua pada hakikatnya bukanlah yang pertama. Pengertian ini dapat
diketahui dari siya>q al-kala>m dimana yang pertama berarti يوم
الحساب (hari kiamat) sedangkan yang kedua lebih terkait dengan waktu.
b.
Di sisi lain ada indikator yang
menyatakan bahwa keduanya adalah sama, contohnya firman Allah dalam Q.S. al-Zumar
(39): 27-28:
وَلَقَدْ
ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآَنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
(27) قُرْآَنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (28).
Terjemahnya:
Sesungguhnya
telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan
supaya mereka dapat pelajaran. (ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak
ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.[34]
Lafalh (القرآن) pada ayat di
atas juga terulang sebanyak dua kali, yaitu pertama dalam bentuk ism
al-ma`rifah dan yang kedua dalam bentuk isim al-nakirah.
Dalam kasus ini yang dimaksud dengan
al-Qur’an yang disebut kedua, hakikatnya sama dengan “al-Qur’an” yang disebutkan pertama[35].
7.
Kaedah Ketujuh:
اذا اتحد الشرط والجزاء لفظا دل على
الفخامة.[36]
Artinya:
Jika ketetapan dan jawaban
(keterangan) bergabung dalam satu lafal maka hal itu menunjukkan keagungan
(besarnya) hal tersebut.
Menurut penulis, maksud dari kaidah
diatas kembali kepada lafal yang dimaksud, jika terjadi pengulangan dengan lafal
yang sama - penyebutan yang pertama sebagai satu ketetapan sedang penyebutan
yang kedua sebagai jawaban (keterangan) dari ketetapan tersebut, maka itu
menunjukkan besarnya hal yang dimaksud.
Sebagai contoh QS. al-Ha>qqah (69) :1-2:
الْحَاقَّةُ
(1) مَا الْحَاقَّةُ (2)
Terjemahnya
:
“Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu
?.”[37]
atau Q.S. al-Wa>qi’ah (56)
: 27:
وَأَصْحَابُ الْيَمِينِ مَا أَصْحَابُ
الْيَمِينِ (27)
Terjemahnya
:
Dan golongan kanan, alangkah
mulianya golongan kanan itu.[38]
Dalam dua contoh diatas, lafal yang
menjadi ketetapan (mubtada’) dan keterangan (khabar) adalah lafal yang sama. Kata “ الحاقة ” diulang dan bukan menggunakan lafal “ ماهي ؟”, pengulangan lafal
mubtada’ sebagai jawaban atau keterangan seperti ini, menurut Ibn
al-Dausy bermaksud sebagai pengagungan dan menggambarkan besarnya hal tersebut.[39]
C.
Fungsi Tikra>r
Dalam bukunya al-Itqa>n Fi>
‘Ulu>m al-Qur’a>n, imam al-Suyuthi menjelaskan fungsi dari
penggunaan tikra>r dalam al-Qur’an. Diantara fungsi-fungsi tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Sebagai taqri>r (penetapan)
Dikatakan,
ucapan jika terulang berfungsi menetapkan (الكَلَامُ إِذَا تَكَرَّرَ تَقَرَّرَ ). Diketahui bahwa Allah swt. telah
memperingatkan manusia dengan mengulang-ulang kisah nabi dan umat terdahulu,
nikmat dan azab, begitu juga janji dan
ancaman. Maka pengulangan ini menjadi satu ketetapan yang berlaku.
Ini
sejalan dengan fungsi dasar dari kaedah tikra>r bahwa setiap perkataan
yang terulang merupakan tiqra>r (ketetapan) atas hal tersebut. sebagai
contoh Allah berfirman Q.S. al-An‘a>m (7) : 19:
أَئِنَّكُمْ
لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آَلِهَةً أُخْرَى قُلْ لَا أَشْهَدُ قُلْ إِنَّمَا
هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (19)
Terjemahnya:
Apakah
Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?"
Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia
adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang
kamu persekutukan (dengan Allah).[40]
Pengulangan
jawaban dalam ayat tersebut merupakan penetapan kebenaran tidak adanya
Tuhan(sekutu) selain Allah.
2.
Sebagai Ta’ki>d
(penegasan) dan menuntut perhatian lebih ( تأْكِيْدٌ وَزِيَادَةُ التّنْبِيْهِ)
Pembicaraan yang diulang mengandung
unsur penegasan atau penekanan, bahkan menurut imam al-Suyu>thi penekanan
dengan menggunakan pola tikra>r setingkat lebih kuat dibanding dengan
bentuk ta’kid.[41]
Hal ini karena tikra>r terkadang mengulang lafal yang sama, sehingga
makna yang dimaksud lebih mengena.
Selain
itu, Agar pembicaraan seseorang dapat
diperhatikan secara maksimal maka dipakailah pengulangan tikra>r agar
si obyek yang ditemani berbicara memberikan perhatian lebih atas pembicaraan
tadi[42].
Contohnya,
Allah berfirman dalam Q.S. al-Mu’min (40 ): 38-39:
وَقَالَ
الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ
إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
(39)
Terjemahnya:
Orang
yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah Aku, aku akan menunjukkan
kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, Sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang
kekal.[43]
Pengulangan
kata “ya> qaumi>” pada kedua ayat diatas yang maknanya saling
berkaitan, berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat peringatan yang
terkandung dalam ayat tersebut.
Jika ditakutkan poin-poin yang ingin disampaikan hilang atau
dilupakan akibat terlalu panjang dan lebarnya pembicaraan yang berlalu maka,
diulangilah untuk kedua kalinya guna
menyegarkan kembali ingatan para pendengar.
Sebagai contoh, dalam al-Qur’an Allah berfirman dalam
Q.S. al-Baqarah (2): 89:
وَلَمَّا
جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ
يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا
بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ (89)
Terjemahnya:
Dan
setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada
pada mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk
mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka
apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.[45]
Pengulangan
kata فلما
جاءهم pada ayat diatas untuk mengingatkan atau mengembalikan bahasan pada inti
pembicaraan yang sebelumnya terpisah oleh penjelasan lain.
4.
Sebagai ta‘z}i>m (menggambarkan
agung dan besarnya satu perkara).
Mengenai hal ini, telah dipaparkan
dalam kaidah bahwa salah satu fungsi dari tikra>r atau pengulangan adalah
untuk menggambarkan besarnya hal yang dimaksud, sebagaimana pemberitaan tentang
hari kiamat dalam QS. al-Qa>ri’ah (101) : 1-3:
الْقَارِعَةُ (1) مَا الْقَارِعَةُ (2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا
الْقَارِعَةُ (3)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Yang dimaksud dengan al-tikra>r
fi> al-Qur’an adalah pengulangan redaksi kalimat atau ayat dalam al-Qur’an dua kali atau lebih, baik itu
terjadi pada lafalnya ataupun maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu.
2.
Al-Tikra>r Fi al-Qur’a>n terbagi menjadi dua macam yaitu tikra>r
al-lafdz dan tikra>r al-ma’nawi>. Adapun kaidah yang
menyangkut al-tikra>r dalam
sebanyak 7 kaidah, masing-masing
dengan aplikasi yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an.
3.
Fungsi al-tikra>r dalam al-Qur’an
diantaranya sebagai taqri>r (penetapan), ta’zhi>m (pengagungan),
ta’kid (penegasan) dan tajdi>d
terhadap sebelumnya.
B.
Implikasi
Kaidah tafsir dapat diartikan
sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman
atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena itu penguasaan terhadap segala
aspek yang dapat mengantarkan pada penafsiran yang baik sangat diperlukan,
termasuk di antaranya adalah faktor kebahasaan, diantaranya kaiadah-kaidah yang
menyangkut bentuk al-tikra>r dalam al-Qur’an
Sebagai implikasi dari kemestian
tersebut di antaranya adalah seseorang yang ingin menafsirkan dan menjelaskan
kandungan al-Qur’an perlu menyadari ketentuan-ketentuan yang terkait dengan
penafsiran tersebut –misalnya kaidah al-tikra>r -
sehingga
penjelasan dan penafsiran tidak mengurangi nilai apatah lagi merusak subtansi
ajaran al-Qur’an sebagai wahyu ilahi.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan,
Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Chirzin,
Muhammad. al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
Dahlan,
Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Cet. II ; Bandung : Mizan,
1998.
Al-Dausy>,
Muhammad. I’ra>b al-Qur’a>n wa Baya>nihi. Juz. IX, Suriah:
Da>r al-Irsya>d, t. th.
Departemen
Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahannya.
Jakarta : CV. Kathoda, 2005.
Fa>ris,
Abu> al-Husain Ahmad Ibn. Mu’jam Maqa>yis al-Lugah. Juz III.
Beirut: Da>r al-Fikr,t. th.
http://mrhasanbisri.blogspot.com/2009/11/makalah-balaghah-asrar-al-tikrar-fi-al.html
Ichsan,
Nor. Memahami Bahasa al-Qur’an. Cet I, Semarang; Pustaka Pelajar, 2002.
Al-Jurja>ni>,
Ali ibn Muhammad ibn Ali. al-Ta’ri>fa>t. Cet. I; Bairut: Da>r
al-Kita>b al-‘Arabi>, 1405 H.
Al-Kirmani,
Mahmud bin Hamzah, Asra>r al-Tikra>r fi> al-Qur’an. Kairo: Dar
al-Fadilah, t.th.
Majma’
al-Lugah al-‘Arabiah, al-Mu’jam al-Wasi>t}, Cet. IV ; Kairo :
Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, .
Al-Qursyi>,
Abu> al-Fida>’ ‘isma>‘i>l ibn ‘Umar ibn Kathir>. Tafsi>r
ibn Katsi>r. juz III. Cet. II, t.t.: Da>r al-T{oyyibah li al-Nasyr wa
al-Tauzi>‘, 1990. Dalam al-Maktabat al-Sya>milah ver. 2 [software].
Al-Qurt}ubi>,
Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Ja>mi’ Ah}ka>m al-Qur’an. Kairo:
Dar al-Hadits, 2002.
Qutaibah,
Abi> Muhammad ‘Abdullah Ibn Muslim. Kairo: Maktabah Dar el-Turats, 2006.
Al-Sa’di>,
Abd Rahman ibn Na>s}ir. al-Qawa>’id al-Hisa>n fi> Tafsi>r
al-Qur’a>n. (CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah).
Al-Sabt,
Kha>lid ibn ‘Uthma>n. Mukhtas}ar fi> Qawa>‘id al-tafsi>r. Cet.
I; al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Sa‘u>diyyah: Da>r ibn ‘Affa>n, 1417
H-1997 M.
----------,.
Qawa>’id al-Tafsi<r Jam‘an wa Dira>satan. jilid II. Cet. I;
t.t.: Da>r ibn ‘Affa>n, 1421 H.
Shihab,
M. Quraisy, Tafsi>r al-Misba>h ; Pesan, Kesan , dan Keserasian
Al-Qur’an , Jil. I, ed.Baru, Cet.I ; Jakarta : Lentera Hati, 2002.
------------,
Mukjizat al-Qur’an. Cet IX. Bandung: PT Mizan, 2004.
Al-Suyu>thiy,
Jala>l ad-Di>n ‘Abd ar-Rahman. Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n.
Kairo : Dar el-Hadits, 2004.
Syarf,
Hafni Muhammad, Syarh badi` al-Qur’an li`Ibn Abi al-Isba` al-Anshari.
Cet II. Kairo; Dar Nahdah al-Misr: t.th.
Al-T{abari>,
Abu> Ja‘far Muh}ammad ibn Jari>r. Tafsi>r al-T{abari>: Ja>mi‘
al-Baya>n ‘an Ta‘wi>l A<y al-Qur’a>n, juz XVI. Cet. I; Cairo:
Markaz al-Buh>uth wa al-Dira>sa>t al-‘Arabiyyat al-Isla>miyyah,
2001.
Ya’ku>b,
Ami>l Badi>’. Mausu>’ah al-Nahw Wa al-Sarfh Wa al-I’ra>b.
Cet. I; Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1988.
Al-Zarkasy>,
Bada>r ad-di>n Muhammad ibn ‘Abdullah,
Al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz. III. Beirut:
Da>r al-Ma’rifah, 1376 H.
Al-Zarqa>ny>,
Muhammad ‘Abdul ‘Adzhim. Mana>hil al-‘Irfa>n Fi> al-‘Ulu>m
al-Qur’a>n. Juz. II ; Misr: Maktabah al-Taufi>qiyyah, t.th.
[1]M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an
(Cet. II; Bandung: Mizan, 2007), h. 243.
[2]Abu> Muhammad ‘Abdullah Ibn
Muslim Ibn Qutaibah, Ta’wi>l Musyki>l al-Qur’a>n ( Kairo:
Maktabah Dar el-Tura>ts, 2006), h. 250.
[3]Abu> al-H{usain Ah}mad ibn
Fa>ris ibn Zakariya>, Maqa>yi>s al-Lughah, Juz. V (Beirut:
Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arabi>, 1423 H./2002 M.), h. 126. Lihat juga
Muhammad Ibn Manzhu>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz. V ( Beirut: Da>r
al-Sha>dir, t.th), h. 135.
[4]Khalid ibn Us|man al-Sabt, Qawa>’id
al-Tafsi>r, Jam’an wa Dira>sah, Juz. I (Cet. I; al-Mamlakah
al-‘Arabiyah al-Sa’u>diyah, Da>r ibn ‘Affa>n, 1417 H./1997 M.), h.
701.
[5]Pengulangan
huruf akhir seperti contoh ini merupakan salah satu bentuk kemukjizatan
al-Qur’an dari sisi susunan kata dan kalimatnya. Hal ini disebabkan karena
pengulangan huruf huruf tersebut,
melahirkan keserasian bunyi dan irama dalam ayat-ayatnya yang memiliki dampak
pada psikologis bagi pendengarnya. Lihat M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an
(Cet. II; Bandung: Mizan, 2007), h. 123-124.
[6]http://mrhasanbisri.blogspot.com/2009/11/makalah-balaghah-asrar-al-tikrar-fi-al.html.
[7]M.
Quraish Shihab,
Tafsi>r al-Misba>h : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jil.
I, (Cet. II; Jakarta : Lentera Hati, 2009), h. 626-627.
[8]Khalid ibn Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar
fi> Qawa>‘id al-tafsi>r, (Cet. I; Saudi Arabia: Dar ibn Affan:
1996M/1417H), h. 22.
[9]M. Quraish Shihab, Mukjizat
op. cit, h. 239.
[11]Al-Sabt, Qawa>id, op.cit.,
h. 702.
[13]Al-Sabt, Mukhtashar , loc.
cit.
[14]Al-Sabt, Qawa>id, op.
cit., h. 703.
[15]Ibid,
h.704.
[16]Al-Sabt, Mukhtas}ar, loc.
cit.
[18]Al-Sabt, Qawa>id, op., cit.
h. 705-706.
[19]Abu> Ja‘far Muh}ammad ibn
Jari>r Al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>: Ja>mi‘ al-Baya>n
‘an Ta‘wi>l A<y al-Qur’a>n, juz XVI. (Cet. I; Cairo: Markaz
al-Buh>uts wa al-Dira>sa>t al-‘Arabiyyat al-Isla>miyyah, 2001),
dalam al-Maktabat al-Sya>milah, ver. 2 [software], h. 661.
[20]Al-Sabt, Qawa>id, op.,
cit. h. 707.
[21]Al-Sabt, Mukhtas}ar, loc.
cit.
[22]Hafni Muhammad Syarf, Syarh
badi>` al-Qur`a>n li`Ibn Abi> al-Isba` al-Anshari, (Cet.
II; Kairo: Da>r Nahdah al-Misr: t.th) h. 151.
[23]Departemen Agama R.I op cit
., h. 478.
[24]Al-Sabt, Mukhtas}ar, op.
cit., h. 23.
[25]Departemen
Agama R.I op cit., h. 864.
[26]Khalid ibn Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar,
loc. cit.
[27]Nor Ichsan, Memahami Bahasa
al-Qur`an, (Cet. I; Semarang;
Pustaka Pelajar, 2002), h.19.
[29]Muhammad bin Ahmad al-Anshari
al-Qurt}ubi>, Ja>mi‘ li Ahka>m al-Qur`an, Juz XI, (Kairo; Dar
al-Hadits, 2002), h. 369.
[30]Departemen Agama R.I., op cit.,
h. 1.
[32]M. Quraish Shihab, Tafsi>r
al-Misba>h (pesan, kesan dan keserasian al-Qur`an), Juz XIV,
(Cet. VII; Tangerang: Lentera Hati, 2007), h. 529.
[33]Departemen Agama R.I., op.
cit., h. 578.
[35]Al-Sabt, Qawa`id, op. cit.,
h. 714.
[36]Al-Sabt, Mukhtashar, loc.
cit.
[37]Departemen Agama, op. cit.,
h. 831.
[39]Muhammad ibn Al-Dausy>,
I’ra>b al-Qur’a>n wa Baya>nihi, Juz. IX ( Suriah: Da>r
al-Irsya>d, t. th), h. 426.
[40]Departemen Agama R.I., op.
cit., h.174.
[41]Jala>l ad-Di>n ‘Abd ar-Rahman
al-Shuyu>thy>, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz. III
(Kairo: Da>r el-Hadi>ts, 2004),
h. 170.
[43]Departemen Agama R.I., op cit
., h. 677.
[44]Al-Suyu>thi, op. cit.,
h. 153.
2 komentar:
Assalamualaikum..terima kasih atas fakta tentang tikrar yang sangat berguna..semoga Allah merahmati tuan.
Terima kasih atas artikel yang dishare. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....