Sabtu, 28 Januari 2012

KAEDAH TIKRAR FI AL-QUR'AN



Oleh : KM. Abdul Gaffar, S.Th.I, M.Th.I

BAB I
A.   Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an tidak hanya sebuah sumber ilmu, petunjuk dan isnpirasi kebenaran yang tak pernah kering dan habis, tapi juga disaat yang sama, al-Qur’an adalah sumber segala kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, semua apa yang terdapat dalam al-Qur’an selalu menyimpan makna dan hikmah meski kadang pikiran manusia belum sampai pada hal-hal tersebut.
Sebagian orang, khususnya Orientalis mengklaim bahwa sistematika al-Qur’an sangat kacau[1], banyak hal yang tak perlu dan sia-sia didalamnya, mereka memberi contoh, ziya>dah, naqs dan tikra>r atau pengulangan ayat-ayat dalam al-Qur’an.
Akan tetapi hal ini telah dibantah oleh banyak ulama islam. tidak sedikit jawaban yang dilontarkan mengenai masalah ini, disertai dengan bukti-bukti yang valid berangkat dari dasar bahwa tak ada hal yang sia-sia dalam al-Qur’an.
Begitu juga dengan persoalan tikrar atau pengulangan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Diperoleh banyak fungsi dan hikmah dari bentuk ini, salah satunya adalah ta’ki>d dan tajdi>d bagi sebelumnya. Sebagai contoh, pengulangan kisah-kisah dalam al-Qur’an mengenai nabi-nabi dan umat terdahulu.
Imam Qutaibah menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam kurun waktu yang tidak singkat, tentunya keberagaman kabilah yang ada dikomunitas arab waktu itu cukuplah banyak, sehingga jika tidak ada pengulangan ayat, maka bisa jadi hikmah dan ibrah dari berbagai kisah tersebut hanya terbatas pada kaum tertentu saja.[2] Dengan kata lain, tanpa tikrar dalam al-Qur’an, kisah-kisah yang sarat hikmah tersebut hanya akan menjadi sekedar kisah basi yang hanya bisa dikenang.
Oleh karena itu, sangat penting kiranya membahas lebih jauh mengenai tikra>r fi> al-Qur’a>n berikut dengan kaidah-kaidah yang berkaitan dengannya. Maka dalam makalah kali ini, akan coba dijelaskan lebih jauh mengenai hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa poin permasalahan, sebagai berikut :
1.     Bagaimana defenisi al-tikra>r fi> al-Qur’a>n ?
2.     Apa saja kaidah-kaidah al-tikra>r dalam al-Qur’an dan bagaimana pengaplikasiannya?
3.     Bagaimana urgensi bentuk al-tikra>r  dalam al-Qur’an?




BAB II
PEMBAHASAN
A.   Defenisi al-Tikrar fi al-Qur’an
Kata al-tikra>r (التكرار  ) adalah masdar dari kata kerja "كرر" yang merupakan rangkaian kata dari huruf ك-ر-ر. Secara etimologi berarti mengulang atau mengembalikan sesuatu berulangkali.[3]
Adapun menurut istilah al-tikra>r berarti "اعادة اللفظ او مرادفه لتقرير المعنى" mengulangi lafal atau yang sinonimnya untuk menetapkan (taqrir) makna. selain itu, ada juga yang memaknai al-tikra>r dengan "ذكر الشيء مرتين فصاعدا" menyebutkan sesuatu dua kali berturut-turut atau penunjukan lafal terhadap sebuah makna secara berulang.[4]
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-tikra>r fi> al-Qur’an adalah pengulangan redaksi kalimat atau ayat  dalam al-Qur’an dua kali atau lebih, baik itu terjadi pada lafalnya ataupun maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu.
Al-Tikra>r  (pengulangan) dibagi menjadi dua macam :
1.     Tikra>r  al-lafdzi>, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam al-Qur’an baik berupa huruf-hurufnya, kata ataupun redaksi kalimatnya dan ayatnya.
a.      Contoh pengulangan huruf.
Pengulangan huruf  ة pada akhir beberapa Q.S. Al-Na>zi‘a>t (79): 6-14:[5]
يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ (6) تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ (7) قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ (8) أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ (9) يَقُولُونَ أَئِنَّا لَمَرْدُودُونَ فِي الْحَافِرَةِ (10) أَئِذَا كُنَّا عِظَامًا نَخِرَةً (11) قَالُوا تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ (12) فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ (13) فَإِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ (14). 
b.     Contoh pengulangan kata, dapat dilihat pada Q.S. al-Fajr (89): 21-22:
كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا (21) وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (22)
c.      Contoh pengulangan ayat terdapat pada Q.S. Al-Rahma>n:
فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ.
   Ayat tersebut berulang kurang lebih 30 kali dalam surah tersebut.
2.     Tikra>r al-ma’nawi>, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam al-Qur’an yang pengulangannya lebih di titik beratkan kepada makna atau maksud dan tujuan pengulangan tersebut.[6] Sebagai contoh Q.S. al-Baqarah (2): 238:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238)
Al-S}ala>t al-wust}a> yang disebut dalam ayat diatas adalah pengulangan makna dari kata al-s}alawa>t sebelumnya, karena masih merupakan bagian darinya. Adapun penyebutannya sebagai penekanan atas perintah memeliharanya.[7]
Selain seperti contoh diatas, bentuk tikra>r seperti ini biasanya dapat dilihat ketika al-Qur’an bercerita tentang kisah-kisah umat terdahulu, menggambarkan azab dan nikmat, janji dan ancaman dan lain sebagainya.



B.   Kaidah-Kaidah  al-Tikra>r Fi> al-Qur’a>n.
Ada beberapa kaidah yang berkaitan dengan al-tikra>r fi> al-Qur’a>n,  sebagai berikut:
1.     Kaidah Pertama:
قَدْ يَرِدُ التِّكْرَار لِتَعَدُّدِ المْتَعَلِّقِ.[8]
Artinya:
Terkadang Adanya pengulangan karena banyaknya hal yang berkaitan dengannya (maksud yang ingin disampaikan).
Adanya pengulangan beberapa ayat al-Qur’an disurah dan tempat yang berbeda menyisakan pertanyaan dibenak para ilmuan sekaligus bahan perdebatan dikalangan mereka. Hal ini bertolak belakang dari realitas metode al-Qur’an sendiri yang dalam penjelasannya terkesan singkat padat dalam mendeskripsikan sesuatu. Olehnya itu, al-Qur’an oleh sementara orang dinilai kacau dalam sistematikanya.[9]
Namun pertanyaan ini telah dijawab oleh para ilmuan Islam,  bahwa bentuk pengulangan dalam al-Qur’an adalah bukan hal yang sia-sia dan tidak memiliki arti. Bahkan menurut mereka setiap lafal yang berulang tadi memiliki kaitan erat dengan lafal sebelumnya. Sebagai contoh ayat-ayat dalam Q.S. al-Rahma>n (55): 22-27:
يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ (22) فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (23) وَلَهُ الْجَوَارِ الْمُنْشَآَتُ فِي الْبَحْرِ كَالْأَعْلَامِ (24) فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (25) كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27) فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (28).
Terjemahnya:
Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dan kepunyaanNya lah bahtera-bahtera yang Tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?. Semua yang ada di bumi itu akan binasa. dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.  Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?.[10]
Dalam surah di atas terdapat ayat yang berulang lebih dari 30 kali yang kesemuanya menuntut adanya ikrar dan pernyataan rasa syukur manusia atas berbagai nikmat Allah. Jika dilihat, tiap pengulangan ayat ini didahului dengan penjelasan berbagai jenis nikmat yang Allah berikan kepada hambanya . jenis nikmat inipun berbeda-beda, maka setiap pengulangan ayat yang dimaksud, berkaitan erat dengan satu jenis  nikmat. Dan ketika ayat tersebut berulang kembali, maka kembalinya kepada nikmat lain yang disebut sebelumnya.[11] Inilah yang dimaksud oleh kaidah, bahwa terkadang pengulangan lafal karena banyaknya hal yang berkaitan dengannya.
Contoh lain bisa dilihat dalam Q.S. al-Mursala>t (77): 19, 24:
وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ (19).
Dalam Surah di atas lafal ويل يومئذ للمكذبين berulang sampai sepuluh kali.  Hal itu dikarenakan Allah swt. menyebutkan kisah yang berbeda pula. Setiap kisah diikuti oleh lafal tersebut yang menunjukkan bahwa celaan itu dimaksudkan kepada orang-orang yang berkaitan dengan kisah sebelumnya.[12]
2.     Kaidah Kedua:
لم يقع في كتاب الله تكراربين متجورين.[13]
Artinya:
Tidak terjadi pengulangan antara dua hal yang berdekatan dalam kitabullah.
Maksud dari kata “mutaja>wirain” dalam kaidah ini adalah pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama tanpa fa>shil diantara keduanya[14]. Sebagai contoh lafal “basmallah” dengan QS. Al-Fatihah/1 : 3 :
Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÌÈ
 Ibn Jari>r mengatakan bahwa kaidah ini justru nerupakan hujjah terhadap orang-orang yang berpendapat bahwa basmallah merupakan bagian dari surah al-Fatihah, karena jika demikian, maka dalam Al-Qur’an terjadi pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama tanpa adanya pemisah yang maknanya dengan makna kedua ayat yang berulang tersebut.
Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa ayat 2 dari surah Al-Fatihah :
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
Adalah fashl (pemisah) diantara kedua ayat tersebut, maka hal ini dibantah oleh para ahli ta’wil dengan alasan bahwa ayat “arrahma>nirrahi>m” adalah ayat yang diakhirkan lafalnya tapi ditaqdimkan maknanya. Makna secara utuhnya adalah :
الحمد الله  الرحمن الرحيم رب العا لمين ملك يوم الدين.[15]
Dari contoh diatas, maka benarlah kaidah ini, bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat pengulangan yang saling berdekatan.
3.     Kaidah Ketiga :
لاَيُخَالِفُ بَيْنَ الْأَلْفَاظِ إِلَّا لِإِخْتِلَافِ المَْعَانِي [16]
Artinya:  “Tidak ada perbedaan lafal kecuali adanya perbedaan makna”.
Contoh aplikasinya Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Ka>firu>n/109: 2-4,
Iw ßç6ôãr& $tB tbrßç7÷ès? ÇËÈ   Iwur óOçFRr& tbrßÎ7»tã !$tB ßç7ôãr& ÇÌÈ   Iwur O$tRr& ÓÎ/%tæ $¨B ÷Lnt6tã ÇÍÈ  
Terjemahnya:
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.[17]
Lafal لآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ sepintas tidak berdeda dengan وَلآ أَناَ عَابِدُ مَا عَبَدْتُمْ , tapi pada hakikatnya memiliki perbedaan makna yang mendalam. Lafal                     لآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  yang menggunakan betuk mud}a>ri‘  mengandung arti bahwa Nabi Muhammad saw. tidak menyembah berhala pada waktu tersebut dan akan datang.
Adapun lafal وَلآ أَناَ عَابِدُ مَا عَبَدْتُمْ  dengan s}i>gah ma>d}i> mengandung penegasian fi’il pada waktu lampau. Seperti telah diketahui, bahwa sebelum kedatangan islam kaum musyrikin menganut paham politheisme atau menyembah banyak tuhan. Oleh karena itu lafal ini menegasikan Nabi Muhammad menyembah berhala-berhala yang telah lebih dulu mereka sembah.[18]
Itulah yang dimaksud oleh kaidah ini, tidak ada perbedaan lafal kecuali terdapat perbedaan makna didalamnya. Kedua lafal ini mempertegas unsur kemustahilan – dulu, selalu dan selamanya – Muhammad tidak akan menyembah tuhan kaum Quraiys (berhala).[19] Penyebutan salah satu lafal saja tidak bisa mencakup semua makna tersebut.
Disisi lain, ungkapan dengan bentuk ما هوبفاعل هذا lebih tinggi maknanya jika dibandingkan dengan ungkapan مايفعله, Karena ungkapan yang pertama betul-betul menegasikan adanya kemungkinan terjadinya fi’il atau perbuatan, berbeda dengan ungkapan yang kedua.[20]
4.     Kaidah Keempat:
العَرَبُ تَكَرَّرَ الشَّيءُ في الِإسْتِفْهَامِ إِسْتِبْعَاداً لَهُ[21]
Artinya:
Kaum Arab senantiasa mengulangi sesuatu dalam bentuk pertanyaan untuk menunjukan mustahil terjadinya hal tersebut.
            Sudah menjadi kebiasaan dikalangan bangsa arab dalam menyampaikan suatu hal yang mustahil atau kemungkinan kecil akan terjadi pada diri seseorang. Maka bangsa arab mempergunakan bentuk (إستفهام) pertanyaan tanpa menyebutkan maksudnya secara langsung. Maka dipergunakanlah pengulangan guna menolak dan menjauhkan terjadinya hal itu. Contohnya jika  si-A kecil kemungkinan atau mustahil untuk pergi berperang, maka dikatakan kepadanya (أنت تجاهد؟ أأنت تجاهد؟). Pengulangan kalimat dalam bentuk istifham pada contoh tersebut untuk menunjukkan mustahil terjadinya fi’il dari fa’il[22]
Hal ini  seperti apa yang telah dicontohkan dalam Q.S. al-Mu’minu>n (23): 35:
أَيَعِدُكُمْ أَنَّكُمْ إِذَا مِتُّمْ وَكُنْتُمْ تُرَابًا وَعِظَامًا أَنَّكُمْ مُخْرَجُونَ (35)
Terjemahnya:
Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu Sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)?.[23]
Kalimat "ايعدكم انكم" kemudian diikuti oleh kalimat `"انكم مخرجون" mengandung arti mustahilnya kebangkitan setelah kematian. Ayat ini merupakan jawaban dari pengingkaran orang-orang kafir terhadap adanya hari akhir.
5.     Kaidah Kelima.
التِكْرَارُ يَدُلُّ عَلَي الِإعْتِنَاء[24]
Artinya: “ Pengulangan menunjukkan perhatian atas hal tersebut”.
Sudah menjadi hal yang maklum, bahwa sesuatu yang penting sering disebut-sebut bahkan ditegaskan berulangkali. Ini berarti setiap hal yang mengalami pengulangan berarti memiliki nilai tambah  hingga membuatnya diperhatikan dan terus disebut-sebut.
Sebagai illustrasi, buku yang bermutu dari segi penyampaian isi akan digemari dan diperhatikan para pembaca hingga berpengaruh pada jumlah pengulangan dalam pencetakannya guna memenuhi kebutuhan dan tuntutan pembaca.
Sifat-sifat Allah swt. yang kerap berulang kali dalam al-Qur’an pada setiap surah menegaskan pentingnya untuk mengetahui dan kewajiban mengimaninya. Begitu juga dengan berbagai kisah umat terdahulu sebagai contoh yang sarat pesan dan hikmah.      
Sebagai contoh dari aplikasi kaedah ini Q.S. Al-Naba’  (78):1-5:
عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (5)
Terjemahnya:
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?. Tentang berita yang besar. yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidak kelak mereka akan mengetahui,. Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka mengetahui.”[25]
Surah diatas bercerita tentang hari kiamat yang waktu terjadinya diperdebatkan banyak orang. Dalam surah tersebut lafal كلا سيعلمون diulang dua kali menunjukkan bahwa hal yang diperdebatkan tersebut benar-benar tidak akan  pernah bisa diketahui tepatnya.
6.     Kaedah Keenam:
النَّكِرَةُ إِذَا تَكَرَّرَتْ دَلَّتْ عَلَي التَّعَدُّدُ, بِخِلَافِ الْمَعْرِفَةِ[26]
Artinya:
Jika hal yang berbentuk nakirah (umum/tidak diketahui) mengalami pengulangan maka ia menunjukkan berbilang, berbeda dengan hal yang bentuknya ma‘rifah (khusus/diketahui).
Dalam kaedah bahasa arab apabila isim (kata benda) disebut dua kali atau berulang , maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yaitu: (1) keduanya adalah isim al-nakirah, (2) keduanya ism al-ma’rifah, (3) pertama ism al-nakirah dan kedua ism al-ma‘rifah, serta (4) pertama ism al-ma‘rifah  dan kedua ism al-nakirah.[27]
Untuk jenis yang disebut pertama (kedua-duanya isim nakirah) maka ism kedua bukanlah yang pertama, dengan kata lain maksudnya menunjukkan pada hal yang berbeda.
Aplikasi jenis ini bisa dilihat dalam Q.S. al-Ru>m/30: 54,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ (54). 
Terjemahnya:
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.[28]
            Lafal ضعفا pada ayat diatas terulang tiga kali dalam bentuk nakirah yang menurut kaedah bila terdapat dua ism al-nakirah yang terulang dua kali maka yang kedua pada hakekatnya  bukanlah yang pertama. Dengan demikian, ketiga lafal d}a‘i>f  memiliki makna yang berbeda-beda.
            Menurut al-Qurt}ubi> dalam tafsirnya al-Ja>mi‘ li al-Ah}ka>m al-Qur’a>n, arti ضعفا pertama adalah terbentuknya manusia dari نطفة ضعيفة sperma yang lemah dan hina, kemudian beranjak ke fase kedua yaitu حالة الضعيفة في الطفولة والصغر. (keadaan manusia yang lemah pada masa awal kelahiran), kemudian ditutup dengan fase ketiga yaitu (حالة الضعيفة في الهرم والشيخوخة) “keadaan lemah saat usia senja dan jompo”.[29]
Untuk jenis yang disebutkan kedua, (kedua-duanya isim ma’rifah) sebaliknya, bahwa yang kedua pada hakekatnya adalah yang pertama kecuali terdapat qari>nah yang menghendaki makna selainnya,
Seperti firman Allah dalam Q.S. al-Fa>tih}ah (1): 6-7:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7).
Terjemahnya:
Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[30]
Lafal s}ira>t} yang terdapat pada ayat di atas terulang dua kali, pertama dalam bentuk ism al-ma’rifah yang ditandai dengan memberi kata sandang alif la>m الصراط dan kedua dalam bentuk ma’rifah juga, yang ditandai dengan susunan id}a>fah صراط الذين. maka ism yang disebut kedua sama dengan yang pertama.
Jenis pertama dan kedua inilah yang dimaksud oleh kaidah diatas. Adapun jenis ketiga (ism al-nakirah pertama dan al-ma’rifah kedua) dalam hal ini keduanya memiliki arti yang sama, sebagai contoh firman Allah dalam Q.S. al-Muzammil (73): 15-16 :
إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا (15) فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا (16).
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir'aun.  Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat.[31]
            Menurut M. Quraish Shihab, dalam ayat ini Allah memberitahukan kepada kaum Quraish bahwa ia telah mengutus Muhammad untuk menjadi saksi atas mereka sebagaimana Allah mengutus kepada Fir’aun seorang rasul yaitu nabi Musa as. Kemudian mereka ingkar dan mendurhakai nabi Musa as. dan menjadikan patung sapi menjadi sembahannya. Berdasarkan kaedah yang ketiga ini, maka yang dimaksud dengan rasul pada penyebutan kedua adalah sama dengan yang pertama, yaitu nabi musa. Jadi makna nabi pada ayat 15 yang diutus kepada Fir’aun adalah juga nabi yang diingkarinya pada ayat setelahnya[32]
            Sementara itu untuk jenis yang disebutkan terakhir (pertama isim ma’rifah dan kedua isim nakirah) maka kaidah yang berlaku tergantung kepada indikatornya (qari>nah). Olehnya itu ia terbagi ke dalam dua:
a.      Adakalanya indikator menunjukkan bahwa keduanya memiliki makna yang berbeda. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh firman Allah dalam Q.S. al-Ru>m (30): 55:
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ (55).  
Terjemahnya:
Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)". seperti Demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).[33]
            Lafal (الساعة) pada ayat diatas terulang sebanyak dua kali, yang pertama menunjukkan isim ma‘rifah sedang kedua menunjukkan isim al-nakirah.
            Dalam kasus ini lafal yang disebutkan kedua pada hakikatnya bukanlah yang pertama. Pengertian ini dapat diketahui dari siya>q al-kala>m dimana yang pertama berarti يوم الحساب (hari kiamat) sedangkan yang kedua lebih terkait dengan waktu.
b.     Di sisi lain ada indikator yang menyatakan bahwa keduanya adalah sama, contohnya firman Allah dalam Q.S. al-Zumar (39): 27-28:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآَنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (27) قُرْآَنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (28).
Terjemahnya:
Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.[34]
            Lafalh (القرآن) pada ayat di atas juga terulang sebanyak dua kali, yaitu pertama dalam bentuk ism al-ma`rifah dan yang kedua dalam bentuk isim al-nakirah.
            Dalam kasus ini yang dimaksud dengan al-Qur’an yang disebut kedua, hakikatnya sama dengan  “al-Qur’an” yang disebutkan pertama[35].
7.     Kaedah Ketujuh:
اذا اتحد الشرط والجزاء لفظا دل على الفخامة.[36]
Artinya:
Jika ketetapan dan jawaban (keterangan) bergabung dalam satu lafal maka hal itu menunjukkan keagungan (besarnya) hal tersebut.
Menurut penulis, maksud dari kaidah diatas kembali kepada lafal yang dimaksud, jika terjadi pengulangan dengan lafal yang sama - penyebutan yang pertama sebagai satu ketetapan sedang penyebutan yang kedua sebagai jawaban (keterangan) dari ketetapan tersebut, maka itu menunjukkan besarnya hal yang dimaksud.
Sebagai contoh  QS. al-Ha>qqah (69) :1-2:
الْحَاقَّةُ (1) مَا الْحَاقَّةُ (2)
Terjemahnya :
“Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu ?.”[37]
atau Q.S. al-Wa>qi’ah (56) : 27:
وَأَصْحَابُ الْيَمِينِ مَا أَصْحَابُ الْيَمِينِ (27)
Terjemahnya :
Dan golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu.[38]
Dalam dua contoh diatas, lafal yang menjadi ketetapan (mubtada’) dan keterangan  (khabar) adalah lafal yang sama. Kata “ الحاقة ” diulang dan bukan menggunakan lafal “  ماهي ؟”, pengulangan lafal mubtada’ sebagai jawaban atau keterangan seperti ini, menurut Ibn al-Dausy bermaksud sebagai pengagungan dan menggambarkan besarnya hal tersebut.[39]
            C. Fungsi Tikra>r
          Dalam bukunya al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, imam al-Suyuthi menjelaskan fungsi dari penggunaan tikra>r dalam al-Qur’an. Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sebagai taqri>r (penetapan)
Dikatakan, ucapan jika terulang berfungsi menetapkan (الكَلَامُ إِذَا تَكَرَّرَ تَقَرَّرَ ). Diketahui bahwa Allah swt. telah memperingatkan manusia dengan mengulang-ulang kisah nabi dan umat terdahulu, nikmat dan azab, begitu juga  janji dan ancaman. Maka pengulangan ini menjadi satu ketetapan yang berlaku.
Ini sejalan dengan fungsi dasar dari kaedah tikra>r bahwa setiap perkataan yang terulang merupakan tiqra>r (ketetapan) atas hal tersebut. sebagai contoh Allah berfirman Q.S. al-An‘a>m (7) : 19:
أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آَلِهَةً أُخْرَى قُلْ لَا أَشْهَدُ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (19) 
Terjemahnya:
Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).[40]
Pengulangan jawaban dalam ayat tersebut merupakan penetapan kebenaran tidak adanya Tuhan(sekutu) selain Allah.
2.     Sebagai Ta’ki>d (penegasan) dan menuntut perhatian lebih ( تأْكِيْدٌ وَزِيَادَةُ التّنْبِيْهِ)
            Pembicaraan yang diulang mengandung unsur penegasan atau penekanan, bahkan menurut imam al-Suyu>thi penekanan dengan menggunakan pola tikra>r setingkat lebih kuat dibanding dengan bentuk ta’kid.[41] Hal ini karena tikra>r terkadang mengulang lafal yang sama, sehingga makna yang dimaksud lebih mengena.
Selain itu, Agar  pembicaraan seseorang dapat diperhatikan secara maksimal maka dipakailah pengulangan tikra>r agar si obyek yang ditemani berbicara memberikan perhatian lebih atas pembicaraan tadi[42].   
Contohnya, Allah berfirman dalam Q.S. al-Mu’min (40 ): 38-39:
وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)
Terjemahnya:
Orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah Aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang kekal.[43]
Pengulangan kata “ya> qaumi>” pada kedua ayat diatas yang maknanya saling berkaitan, berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat peringatan yang terkandung dalam ayat tersebut.
3.     Pembaruan terhadap penyampaian yang telah lalu (الَتجْدِيدُ لِعَهْدِهِ) [44]
            Jika ditakutkan  poin-poin yang ingin disampaikan hilang atau dilupakan akibat terlalu panjang dan lebarnya pembicaraan yang berlalu maka, diulangilah untuk kedua kalinya  guna menyegarkan kembali ingatan para pendengar.
Sebagai contoh, dalam al-Qur’an Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah (2): 89:
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ (89)
Terjemahnya:
Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.[45]
Pengulangan kata فلما جاءهم pada ayat diatas untuk mengingatkan  atau mengembalikan bahasan pada inti pembicaraan yang sebelumnya terpisah oleh penjelasan lain.
4.     Sebagai ta‘z}i>m (menggambarkan agung dan besarnya satu perkara).
Mengenai hal ini, telah dipaparkan dalam kaidah bahwa salah satu fungsi dari tikra>r atau pengulangan adalah untuk menggambarkan besarnya hal yang dimaksud, sebagaimana pemberitaan tentang hari kiamat dalam QS. al-Qa>ri’ah (101) : 1-3:
الْقَارِعَةُ (1) مَا الْقَارِعَةُ (2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ (3)



BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
1.     Yang dimaksud dengan al-tikra>r fi> al-Qur’an adalah pengulangan redaksi kalimat atau ayat  dalam al-Qur’an dua kali atau lebih, baik itu terjadi pada lafalnya ataupun maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu.
2.     Al-Tikra>r Fi al-Qur’a>n terbagi menjadi dua macam yaitu tikra>r al-lafdz dan tikra>r al-ma’nawi>. Adapun kaidah yang menyangkut al-tikra>r dalam  sebanyak  7 kaidah, masing-masing dengan aplikasi yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an.
3.     Fungsi al-tikra>r dalam al-Qur’an diantaranya sebagai taqri>r (penetapan), ta’zhi>m (pengagungan), ta’kid  (penegasan) dan tajdi>d  terhadap sebelumnya.
B.   Implikasi
Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena itu penguasaan terhadap segala aspek yang dapat mengantarkan pada penafsiran yang baik sangat diperlukan, termasuk di antaranya adalah faktor kebahasaan, diantaranya kaiadah-kaidah yang menyangkut bentuk al-tikra>r  dalam al-Qur’an
Sebagai implikasi dari kemestian tersebut di antaranya adalah seseorang yang ingin menafsirkan dan menjelaskan kandungan al-Qur’an perlu menyadari ketentuan-ketentuan yang terkait dengan penafsiran tersebut –misalnya kaidah al-tikra>r - sehingga penjelasan dan penafsiran tidak mengurangi nilai apatah lagi merusak subtansi ajaran al-Qur’an sebagai wahyu ilahi.



DAFTAR PUSTAKA
­­Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.           
Chirzin, Muhammad. al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
Dahlan, Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Cet. II ; Bandung : Mizan, 1998.
Al-Dausy>, Muhammad. I’ra>b al-Qur’a>n wa Baya>nihi. Juz. IX, Suriah: Da>r al-Irsya>d, t. th.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : CV. Kathoda, 2005.
Fa>ris, Abu> al-Husain Ahmad Ibn. Mu’jam Maqa>yis al-Lugah. Juz III. Beirut: Da>r al-Fikr,t. th.
http://mrhasanbisri.blogspot.com/2009/11/makalah-balaghah-asrar-al-tikrar-fi-al.html
Ichsan, Nor. Memahami Bahasa al-Qur’an. Cet I, Semarang; Pustaka Pelajar, 2002.
Al-Jurja>ni>, Ali ibn Muhammad ibn Ali. al-Ta’ri>fa>t. Cet. I; Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1405 H.
Al-Kirmani, Mahmud bin Hamzah, Asra>r al-Tikra>r fi> al-Qur’an. Kairo: Dar al-Fadilah, t.th.
Majma’ al-Lugah al-‘Arabiah, al-Mu’jam al-Wasi>t}, Cet. IV ; Kairo : Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, .
Al-Qursyi>, Abu> al-Fida>’ ‘isma>‘i>l ibn ‘Umar ibn Kathir>. Tafsi>r ibn Katsi>r. juz III. Cet. II, t.t.: Da>r al-T{oyyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi>‘, 1990. Dalam al-Maktabat al-Sya>milah ver. 2 [software].
Al-Qurt}ubi>, Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Ja>mi’ Ah}ka>m al-Qur’an. Kairo: Dar al-Hadits, 2002.
Qutaibah, Abi> Muhammad ‘Abdullah Ibn Muslim. Kairo: Maktabah Dar el-Turats, 2006.
Al-Sa’di>, Abd Rahman ibn Na>s}ir. al-Qawa>’id al-Hisa>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n. (CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah).
Al-Sabt, Kha>lid ibn ‘Uthma>n. Mukhtas}ar fi> Qawa>‘id al-tafsi>r. Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Sa‘u>diyyah: Da>r ibn ‘Affa>n, 1417 H-1997 M.
----------,. Qawa>’id al-Tafsi<r Jam‘an wa Dira>satan. jilid II. Cet. I; t.t.: Da>r ibn ‘Affa>n, 1421 H.
Shihab, M. Quraisy, Tafsi>r al-Misba>h ; Pesan, Kesan , dan Keserasian Al-Qur’an , Jil. I, ed.Baru, Cet.I ; Jakarta : Lentera Hati, 2002.
------------, Mukjizat al-Qur’an. Cet IX. Bandung: PT Mizan, 2004.
Al-Suyu>thiy, Jala>l ad-Di>n ‘Abd ar-Rahman. Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo : Dar el-Hadits, 2004.
Syarf, Hafni Muhammad, Syarh badi` al-Qur’an li`Ibn Abi al-Isba` al-Anshari. Cet II. Kairo; Dar Nahdah al-Misr: t.th.
Al-T{abari>, Abu> Ja‘far Muh}ammad ibn Jari>r. Tafsi>r al-T{abari>: Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta‘wi>l A<y al-Qur’a>n, juz XVI. Cet. I; Cairo: Markaz al-Buh>uth wa al-Dira>sa>t al-‘Arabiyyat al-Isla>miyyah, 2001.
Ya’ku>b, Ami>l Badi>’. Mausu>’ah al-Nahw Wa al-Sarfh Wa al-I’ra>b. Cet. I; Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1988.
Al-Zarkasy>, Bada>r ad-di>n Muhammad ibn ‘Abdullah,  Al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz. III. Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1376 H.
Al-Zarqa>ny>, Muhammad ‘Abdul ‘Adzhim. Mana>hil al-‘Irfa>n Fi> al-‘Ulu>m al-Qur’a>n. Juz. II ; Misr: Maktabah al-Taufi>qiyyah, t.th.


[1]M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an  (Cet. II; Bandung: Mizan, 2007), h. 243.
[2]Abu> Muhammad ‘Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaibah, Ta’wi>l Musyki>l al-Qur’a>n ( Kairo: Maktabah Dar el-Tura>ts, 2006), h. 250.
[3]Abu> al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Maqa>yi>s al-Lughah, Juz. V (Beirut: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arabi>, 1423 H./2002 M.), h. 126. Lihat juga Muhammad Ibn Manzhu>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz. V ( Beirut: Da>r al-Sha>dir, t.th), h. 135.
[4]Khalid ibn Us|man al-Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r, Jam’an wa Dira>sah, Juz. I (Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa’u>diyah, Da>r ibn ‘Affa>n, 1417 H./1997 M.), h. 701.
[5]Pengulangan huruf akhir seperti contoh ini merupakan salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an dari sisi susunan kata dan kalimatnya. Hal ini disebabkan karena pengulangan huruf  huruf tersebut, melahirkan keserasian bunyi dan irama dalam ayat-ayatnya yang memiliki dampak pada psikologis bagi pendengarnya. Lihat M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Cet. II; Bandung: Mizan, 2007), h. 123-124.
[6]http://mrhasanbisri.blogspot.com/2009/11/makalah-balaghah-asrar-al-tikrar-fi-al.html.
[7]M. Quraish Shihab, Tafsi>r al-Misba>h : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,  Jil. I, (Cet. II; Jakarta : Lentera Hati, 2009), h. 626-627.
[8]Khalid ibn Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar fi> Qawa>‘id al-tafsi>r, (Cet. I; Saudi Arabia: Dar ibn Affan: 1996M/1417H), h. 22.
[9]M. Quraish Shihab, Mukjizat op. cit, h. 239.
[10]Departemen Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahannya  (Jakarta; CV. Kathoda, 2005) h. 774.
[11]Al-Sabt, Qawa>id, op.cit., h. 702.
[12]Ibid.
[13]Al-Sabt, Mukhtashar , loc. cit.
[14]Al-Sabt, Qawa>id, op. cit., h. 703.
[15]Ibid, h.704.
[16]Al-Sabt, Mukhtas}ar, loc. cit.
[17]Departemen Agama R.I,               op. cit., h. 919.
[18]Al-Sabt, Qawa>id, op., cit. h. 705-706.
[19]Abu> Ja‘far Muh}ammad ibn Jari>r Al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>: Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta‘wi>l A<y al-Qur’a>n, juz XVI. (Cet. I; Cairo: Markaz al-Buh>uts wa al-Dira>sa>t al-‘Arabiyyat al-Isla>miyyah, 2001), dalam al-Maktabat al-Sya>milah, ver. 2 [software], h. 661.
[20]Al-Sabt, Qawa>id, op., cit. h.  707.
[21]Al-Sabt, Mukhtas}ar, loc. cit.
[22]Hafni Muhammad Syarf, Syarh badi>` al-Qur`a>n li`Ibn Abi> al-Isba` al-Anshari, (Cet. II; Kairo: Da>r Nahdah al-Misr: t.th) h. 151.
[23]Departemen Agama R.I op cit ., h. 478.
[24]Al-Sabt, Mukhtas}ar, op. cit., h. 23.
[25]Departemen Agama R.I op cit., h. 864.
[26]Khalid ibn Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar, loc. cit.
[27]Nor Ichsan, Memahami Bahasa al-Qur`an, (Cet. I; Semarang; Pustaka Pelajar, 2002), h.19.
[28]Ibid., h. 578.
[29]Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurt}ubi>, Ja>mi‘ li Ahka>m al-Qur`an, Juz XI, (Kairo; Dar al-Hadits, 2002), h. 369.
[30]Departemen Agama R.I., op cit., h. 1.
[31]Ibid., h. 847.
[32]M. Quraish Shihab, Tafsi>r al-Misba>h (pesan, kesan dan keserasian al-Qur`an), Juz XIV, (Cet. VII; Tangerang: Lentera Hati, 2007), h. 529.
[33]Departemen Agama R.I., op. cit., h. 578.
[34]Ibid, h. 663.
[35]Al-Sabt, Qawa`id, op. cit., h. 714.
[36]Al-Sabt, Mukhtashar, loc. cit.
[37]Departemen Agama, op. cit., h. 831.
[38]Ibid. h. 780.
[39]Muhammad ibn Al-Dausy>, I’ra>b al-Qur’a>n wa Baya>nihi, Juz. IX ( Suriah: Da>r al-Irsya>d, t. th), h. 426.
[40]Departemen Agama R.I., op. cit., h.174. 
[41]Jala>l ad-Di>n ‘Abd ar-Rahman al-Shuyu>thy>, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz. III (Kairo: Da>r el-Hadi>ts, 2004), h. 170.
[42]Ibid., h.154.
[43]Departemen Agama R.I., op cit ., h. 677.
[44]Al-Suyu>thi, op. cit., h. 153.
[45]Ibid.,  h.17.

2 komentar:

Dee ann mengatakan...

Assalamualaikum..terima kasih atas fakta tentang tikrar yang sangat berguna..semoga Allah merahmati tuan.

Unknown mengatakan...

Terima kasih atas artikel yang dishare. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates