oleh : Muhammad Ali Rusdi, S.Th. I, M. Th.I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu pembicaraan penting dalam teologi
Islam adalah masalah perbuatan manusia (af‘a>l al-‘iba>d). Dalam
kajian ini dibicarakan tentang kehendak (masyi>‘ah) dan daya (istit}a>‘ah)
manusia. Hal ini karena setiap perbuatan berhajat kepada daya dan kehendak.
Persoalannya, apakah manusia bebas menentukan perbuatan-perbuatannya sesuai
dengan kehendak dan dayanya sendiri, ataukah semua perbuatan manusia sudah
ditentukan oleh qad}a’ dan qadar Tuhan? dalam sejarah pemikiran
Islam, persoalan inilah yang kemudian melahirkan paham Jabariyah dan Qadariyah.[1]
Pola-pola berpikir
teologis tersebut, tanpa disadari kini telah melengkapi khazanah pemikiran
Islam yang sangat progresif. Bahkan lebih dari itu, kehadiran produk berpikir
tersebut, telah pula membentuk semacam mazhab teologi yang secara dikotomik
terbelah pada kekuatan Qadariyah dan Jabariyah. Seperti apa yang telah
diterangkan pada posisi atau kondisi kejadian Qadariyah, kehendak Tuhan
terlaksana melewati kehendak manusia. Pada posisi atau kondisi kejadian Jabariyah,
kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak kompleks yaitu kehendak alam
lingkungan yang unsurnya komplek, dimana manusia juga menjadi salah satu
unsurnya.
Ada dua ajaran dalam agama yang erat
kaitannya dengan produktivitas : Pertama; agama mengajarkan bahwa sesudah hidup
pertama di dunia yang bersifat material ini, ada hidup kedua nanti di akhirat
yang bersifat spiritual. Kedua; agama mempunyai ajaran mengenai nasib dan
perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula,
maka produktivitas masyarakat yang menganut paham keagamaan demikian, akan
rendah sekali. Tetapi, dalam masyarakat, yang menganut paham manusialah yang
menentukan nasibnya dan manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas
akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme atau Jabariyah.
Paham kedua disebut Qadariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan.[2]
Sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih
dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang
bersifat liberal, tradisional dan antara aliran liberal dan tradisional.
Kondisi demikian membawa hikmah bagi umat Islam. Oleh karena itu, bagi mereka yang
berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal
tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau antara liberal
dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang
cocok dengan pikirannya.[3]
Konsepi tentang perbuatan manusia pun
sering dijadikan kambing hitam dalam menentukan maju dan mundurnya, berkembang
dan terbelakangnya keadaan umat Islam sekarang. Bagi kalangan liberalis, paham
Jabariyah yang menurut mereka kemudian diformulasikan oleh Asy’ari dan dianut
oleh Sunni, merupakan faktor utama mundurnya umat Islam sekarang ini. Bagi
mereka, jika umat Islam ingin maju, Qadariyahlah yang harus dianut atau dijadikan worldview
untuk mengembalikan kemajuan peradaban Islam.
Pada perkembagan selanjutnya, nampaknya
kedua paham ini sama-sama memilih gerbongnya sendiri. Baik Jabariyah maupun Qadariyah
berkembang sesuai lajur rel yang terlanjur dikokohkan sejak masa awal Islam. Umat
Islampun terpecah dalam dua pilihan teologis tersebut dan keduanya melaju pada
gerbong yang berbeda di atas rel yang berbeda pula. Hingga di masa kini dua
paham teologis ini tak jauh beranjak dari situasi yang sebelumnya telah
terlanjur mapan. Terhadap realitas kehidupan ummat Islam di masa kini yang
terkait dengan idealisasi dua paham teologi tersebut, nampaknya susah dibaca,
kecuali jika kedua pemahaman ini dikaitkan dengan fase perkembang paham sejarah
umat manusia secara global.
Sebab pendekatan teologi saja, dalam
menilai umat masa kini tidak mudah diberlakukan hanya dengan melihat korelasi
kemajuan social budaya dan ekonomi ummat Islam dengan pemahaman teologinya,
tanpa membaca kemungkinan lain, semisal kemajuan teknologi informasi dan
kemajuan ilmu pengetahuan lainnya. Kendala lainnya adalah sifat dari pembahasan
teologi bersifat melangit, dalam artian wacana-wacana teologi biasanya hanya
dibincang terbatas di ruang-ruang sempit formal ilmiah. Hingga dengan demikian
studi tentang dua mazhab teologi Islam klasik yaitu Jabariyah dan Qadariyahpun terbatas
hanya pada kalangan elit ilmuan Islam dan kejadian serupa ini terjadi hingga
sekarang.
Membaca khazanah dua mazhab besar
teologi klasik (Jabariyah dan Qadariyah) dalam masa kini atau kejabariyahan dan
keqadariyahan dalam dunia Islam masa kini memerlukan kaitan-kaitan realitas
yang kaya dari hanya sekedar mendekatan skripturalis yang biasanya dominan
dalam pendekatan wacana teologi Islam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarakan pada rumusan masalah
tersebut, maka dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
konsep pemikiran Jabariyah dan Qadariyah?
2.
Sejauhmanakah
peran Jabariyah dan Qadariyah dalam dunia Islam masa kini?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Jabariyah dan Qadariyah
1.
Paham Jabariyah
a. Latar Belakang Lahirnya Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata yabara,
berarti memaksa atau terpaksa. Di dalam al-Munjid,
dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung
arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah
mempunyai sifat al-Jabba>r (dalam bentuk muba>lagah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insa>n al-majbu>r (bentuk isim maf‘u>l) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.[4]
Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi
Jabariyah (dengan menambah ya’ nisbah), memiliki
arti suatu kelompok atau aliran (isme). Paham al-jabar
berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Menurut al-Syahrasta>ni>, al-jabr
berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyan-darkan perbuatan itu kepada Tuhan.[5]
Jabariyah adalah
nama bagi sekelompok aliran yang menganut paham atau mazhab jabar, yang
mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai andil dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya, akan tetapi Allah-lah yang menggerakkannya.
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah
dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan
lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat
melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka
lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap
pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah
itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar
Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat Islam
beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara
mendalam.[6]
Pada masa sahabat kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah.
Diceritakan bahwa Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika
diintrogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Umar
menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu
ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum potong tangan untuk kesalahannya
mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa
kepada Tuhan.[7]
Sebagian sahabat memandang iman kepada
takdir dapat meniadakan rasatakut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu
kota yang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata, “Apakah Anda mau
lari dari takdir Tuhan?” Umar menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir
Tuhan yang lain.” Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi
manusia dalam segala keadaan.[8]
Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu,
karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia.
Pada masa pemerintahan Bani Umayah,
pandangan tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas
dengan suratnya, memberi reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga
berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk
Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang
yang berpaham Jabariyah. Adapun
mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan
yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan
masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah qadar
dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[9]
Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi>
adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariyah.
Pendapat
yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun
pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah
bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang
panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[10]
Harun
Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat
jalan untuk mengubah keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang
diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Artinya mereka banyak tergantung dengan alam, sehingga menyebabkan mereka
kepada paham fatalisme.[11]
Terlepas
dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam al-Qur’an sendiri
banyak terdapat ayat-ayat yang mengilhami lahirnya paham Jabariyah,
diantaranya:
1)
Q.S. a-S}a>ffa>t/37: 96:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Terjemahnya:
Padahal Allah-lah
yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.[12]
2)
Q.S. al-Anfa>l/8: 17:
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
Terjemahnya:
Dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.[13]
3)
Q.S. al-Insan/76: 30:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا
حَكِيمًا
Terjemahnya:
Dan kamu tidak mampu
(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[14]
Selain ayat-ayat al-Qur’an
di atas benih-benih paham Jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa
sejarah:
1)
Suatu ketika Nabi saw. menjumpai
sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang
mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2)
Khalifah Umar bin al-Khattab pernah
menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah
menentukan aku mencuri” Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap
orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman
kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman
dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3)
Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib
ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua
itu bertanya,”apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qad}a’
dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali
menjelaskannya bahwa qad}a’ Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan
siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah
paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah,
dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat
dosa.
4)
Adanya paham Jabariyah telah mengemuka
kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[15]
Di samping adanya
bibit pengaruh paham Jabariyah yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran
Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabariyah
muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama
Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.
Dengan demikian,
latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua faktor,
yaitu faktor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber
dari al-Qur’an dan sunah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah.
Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam
melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi
dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama,
adanya paham Qadariyah, kedua; telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya
keberanian menakwilkan dan ketiga; adalah adanya aliran salaf yang ditokohi
Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan
sehingga membawa kepada tasybih.[16]
b.
Tokoh-tokoh Jabariyah
Sebagai telah
dijelaskan sebelumnya, di antara tokoh penting aliran Jabariyah adalah Ja‘ad bin
Dirha>m dan Jahm bin S}afwa>n. Keduanya termasuk pemuka Jabariyah
ekstrim. Tokoh lainnya adalah H{usain dan Dira>r. Kedua tokoh yang terakhir
ini termasuk pemuka Jabariyah moderat. Berikut ini akan dijelaskan tokoh-tokoh
tersebut serta ajaran masing-masing secara lebih terinci.
1)
Ja‘ad bin Dirha>m
Sebagai telah
disebutkan, Ja‘ad adalah orang pertama yang mengenalkan paham Jabariyah di
kalangan umat Islam, la seorang bekas budak
Bani Hakam. Ia tinggal di Damsyik sampai muncul pendapatnya tentang
al-Qur'an sebagai makhluk. Karena pendapatnya ini, ia dibenci oleh Bani Umayah.
Sejak itu, ia pergi ke Kufah. Di tempat ini ia bertemu dengan Jahm bin S}afwa>n
yang kemudian mengambil pendapat-pendapat-nya dan menjadi pengikutnya yang
setia.[17]
Sewaktu di Damsyik,
Ja‘ad menjadi guru Marwa>n bin Muh}ammad, salah seorang Khalifah Bani
Umayah, sehingga Marwa>n mendapat julukan “al-Ja‘dy”. Namun, pada akhir
hayatnya, Marwa>n tidak menyukai Ja‘ad. la bahkan menyuruh Kha>lid
al-Qasari> untuk membunuhnya. Kha>lid menghukum bunuh Ja‘a>d pada Hari
Raya ‘i>d al-Ad}h}a. Namun, kematian Ja‘a>d bukan semata-mata karena
pendapat-pendapatnya yang dianggap bid‘ah itu, melainkan karena persoalan
politik. la pernah memberontak kepada Hakam al-Amawi.[18]
Pendapat yang
dimajukan Ja‘ad meliputi masalah kalam Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan masalah
takdir. Menurut Ja‘ad, al-Qur’an adalah makhluk, la merupakan orang pertama
yang memajukan pendapat itu di Damsyik. la juga berpendapat bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat. Artinya, Tuhan tidak dapat diberikan sifat-sifat yang dapat
disandarkan kepada makhluk, seperti sifat kalam atau lawannya (bisu). Sebab,
kedua sifat ini dapat disandang oleh manusia. Dalam hal takdir atau perbuatan
manusia, Ja‘ad berpendapat bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh
Tuhan. Manusia terpaksa atas perbuatan-perbuatannya.[19]
Semua pendapat ini diambil oleh Jahm bin S}afwa>n. Jahm lah yang
mengembangkan lebih lanjut dan menyiarkannya secara lebih luas.
2)
Jahm bin S}afwa>n
Sebagai Ja‘ad, Jahm
termasuk muslim non Arab. la berasal dari Khurasan. Mula-mula ia tinggal di
Tirmiz\, lalu di Balkh. Namanya terkadang dinisbatkan ke Samarkand, terkadang
pula ke Tirmiz\. la dikenal ahli pidato dan pandai berdialog. la pernah
terlibat perbedaan dengan Muqa>til. Muqa>til termasuk orang yang mengakui
sifat-sifat Tuhan, sedang Jahm tidak. Keduanya terlibat perbedaan sengit. Hal
ini dapat dilihat dari komentar Abu Hanifah berikut ini:[20]
Jahm
sangat berlebihan dalam meniadakan tasybih sehingga ia menyatakan Tuhan
bukan apa-apa Sementara lawannya, Muqa>til, berlebih-lebihan pula dalam
menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga ia menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
Jahm juga menjabat
sebagai sekretaris Haris\ bin Syuraih di Khurasan, ia turut serta dalam
gerakan melawan Bani Umayah. Bahkan Jahm menjadi orang kepercayaan Haris\ dalam
melakukan propaganda baik dengan lisan maupun tulisan.[21]
Dalam pemberontakan ini, Jahm tertangkap dan kemudian dihukum bunuh oleh Salam
al-Mazani. Sebelum dibunuh, Jahm meminta maaf kepada Salam, tetapi yang
terakhir ini menolaknya seraya berkata, “Demi Tuhan sekiranya engkau ada dalam
perutku, niscaya aku membedahnya agar aku dapat membunuhmu. Demi Tuhan, tidak
ada pemberontak dari Yamamah yang lebih berbahaya dari dirimu.[22]
Dengan begitu, kematian Jahm berlatar belakang persoalan politik, bukan karena
ajaran yang dibawanya.[23]
Menurut Jahm, manusia
tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. la tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak, dan tidak mempunyai pilihan bebas. Manusia dalam
perbuatan-perbuatannya dipaksa dengan tidak ada kekuasaan dan kemauan baginya.
Pandangan ini termasuk dalam pola pikir Jabariyah ekstrim. Selain masalah
keterpaksaan manusia ini, Jahm juga memajukan pendapat-pendapatnya dalam
masalah konsep iman, sifat-sifat Tuhan, surga dan neraka, dan masalah melihat
Tuhan di akhirat.
Menurut Jahm, iman
adalah mengetahui Allah dan Rasul-Nya dan segala sesuatu yang diterimanya dari
Tuhan. Pengakuan dengan lisan, tunduk dengan hati, dan mengerjakan dengan
anggota badan bukan bagian dari iman. Sebaliknya, kufur adalah tidak mengetahui
Tuhan. Dalam pan-dangan Jahm, bila seseorang sudah mengenal Allah, lalu ingkar
dengan lidahnya, tidaklah menyebabkan ia menjadi kafir, Iman tidak berkurang
dan bertambah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara orang-orang yang
beriman. Iman dan kufur bertempat dalam hati bukan pada anggota badan lainnya.[24]
Jahm juga berpendapat
bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Sebagai mana Ja‘ad, Jahm juga berpendapat
bahwa Tuhan tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Sebab, hal ini
dapat menimbulkan keserupaan Tuhan dengan makhluk (tasybi>h). la
meniadakan sifat hayat dan ilmu Tuhan, tetapi ia mengakui bahwa Tuhan
Mahakuasa, Pelaku, dan Pencipta. Sifat-sifat yang terakhir ini diterima Jahm
karena menurut pendapatnya, tidak ada makhluk yang memiliki sifat-sifat seperti
itu.[25]
Selain sifat-sifat di atas, Jahm, menurut al-Bagdadi, juga mengakui bahwa Tuhan
adalah Pemberi wujud (al-Muji>d), Memberi hidup (al-muh}yi),
dan Mematikan (al-Mumi>t).[26]
Konsisten dengan pendapatnya tentang nafy al-s}ifat, Jahm berusaha
menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang memberi pengertian adanya sifat-sifat
Tuhan. Jahm cenderung pada penyucian Tuhan dari sifat-sifat makhluk.[27]
Jahm juga berpendapat
bahwa surga dan neraka tidak kekal. Bagi Jahm tidak ada sesuatu yang kekal
selain Allah. Kata khulu>d dalam al-Qur’an tidak berarti kekal abadi,
tetapi berarti lama sekali. Dengan demikian, penghuni surga dan penghuni neraka
tidak pula kekal. Keadaan mereka di surga maupun di neraka akan terputus karena
tidak ada gerak yang tidak berakhir. Jahm memperkuat pendapatnya dengan ayat
Q.S. Hu>d/11: 107:
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا
شَاءَ رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
Terjemahnya:
Mereka kekal di dalamnya selama ada
langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pelaksana terhadap apa yang ia kehendaki.[28]
Menuruf Jahm,
kekekalan yang tersebut dalam ayat ini mengandung persyaratan dan pengecualian.
Kekal dan keabadian yang sesungguhnya tidak boleh ada persyaratan dan
pengecualian di dalamnya.[29]
Sebagai terlihat di atas, pendapat Jahm tentang konsep iman serupa dengan paham
Murji‘ah. Memang Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm
yang mendirikan golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji'ah.[30]
Dalam masalah nafy al-s}ifah, al-Qur'an makhluk, dan Tuhan tidak dapat
dilihat di akhirat, pendapat Jahm sama dengan pendapat kaum Muktazilah. Atau
lebih tepatnya pendapat Muktazilah sama dengan pendapat Jahm.[31]
Karena itu, tidak heran bila golongan Muktazilah terkadang mendapat julukan
Jahmiyah (pengikut Jahm). Sebagai contoh, Imam Bukhari dan Ahmad ibn Hanbal
pernah menulis buku sebagai kritik terhadap kaum Jahmiyah, tetapi yang mereka
maksud dengan Jahmiyah di sini adalah golongan Muktazilah. Abu al-Hasan
al-Asy'ari sendiri dalam buku Al-Iba>nah an Us}u>l al-Diyanah,
mengkritik Muktazilah dengan nama al-Jahmiyah.[32]
Namun, kaum Muktazilah sendiri tidak menerirna sebutan itu. Bisyr bin Muktamir,
salah seorang pemuka Muktazilah menolak keras penamaan itu.[33]
Jahm sendiri dengan
berbagai pendapatnya menyandang serangan dari berbagai pihak. Kaum Muktazilah
mengafirkan Jahm karena ia meniadakan kemampuan (daya) manusia. Sedang Ahl
al-Sunnah, mengafirkan Jahm karena ia meniadakan sifat-sifat Tuhan,
menganggap al-Qur'an makhluk, dan menganggap Tuhan tidak dapat dilihat di
akhirat.[34]
Sungguhpun demikian,
sepeninggal Jahm, para pengikutnya tetap bertahan hingga abad ke11 H didaerah
Tirmiz\ dan sekitarnya. Selanjutnya mereka menganut paham Asy‘ariyah.[35]
3) Husain al-Najja>r
Husain al-Najja>r
merupakan salah seorang tokoh Jabariyah moderat. Pengikut-pengikutnya dikenal
dengan sebutan al-Najjariyah. Menurut Husain, Tuhan berkehendak dan mengetahui
karena diri-Nya sendiri. la menghendaki kebaikan dan keburukan, manfaat dan
madarat. Yang dimaksud berkehendak di sini ialah bahwa Tuhan tidak terpaksa
atau dipaksa.[36]
Husain juga berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia,
tetapi manusia mengambil bagian dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu, suatu
bagian yang efektif dan bukan bagian yang tidak efektif.. Inilah yang dinamakan
kasb dalam teori al-Asy'ari.[37]
Dari sini terlihat bahwa manusia dalam pandangan Husain tidak lagi seperti
wayang yang geraknya bergantung pada gerak dalang. Sebab, tenaga yang
diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
Dalam masalah rukyah,
Husain berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, Tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati pada mata sehingga dengannya manusia dapat
melihat Tuhan.[38]
4) Dira>r
bin ‘Amr
Dira>r juga salah
seorang pemuka Jabariyah moderat. Sebagaimana Husain, ia berpendapat bahwa
manusia punya andil dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam pandangan
Dira>r satu perbuatan dapat timbul dari dua pelaku, yaitu Tuhan dan manusia.
Tuhan menciptakan perbuatan, dan manusia memperolehnya. Tuhan adalah Pencipta
hakiki dari perbuatan manusia. Dalam pada itu, manusia juga pelaku hakiki dari
perbuatannya. Daya manusia menurut Dira>r diberikan Tuhan sebelum dan
bersamaan dengan perbuatan.[39]
Berbeda dengan
Husain, Dira>r berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi
bukan dengan mata kepala seperti dalam paham Asy'ariyah, melainkan dengan apa
yang ia sebut sebagai indera keenam. la juga berpendapat bahwa argumen yang
dapat diterima setelah wafat Nabi hanyalah konsensus. Hadis ahad tidak dapat
dijadikan sumber dalam menetapkan hukum-hukum agama.[40]
c.
Ajaran Jabariyah
Pemuka-pemuka Jabariyah dalam mengemukakan pandangan-pandangannya
terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat. Jabariyah yang ekstrim
ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, sehingga kelompok ini disebut dengan
Jahmiah. Menurutnya, segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul atas kemauannya sendiri, melainkan dipaksakan atas dirinya. Manusia
ibarat wayang yang digerakkan menurut kemauan dalang. Manusia dapat bergerak
dan berbuat karena digerakkan oleh Allah. Tanpa adanya gerak dari Allah,
manusia tidak dapat berbuat.[41]
Berbeda dengan aliran Jabariyah yang moderat, oleh H{usein
bin Muh}ammad al-Najja>r, berpendapat bahwa perbuatan manusia termasuk
perbuatan baik dan buruk, adalah ciptaan Allah. Manusia mempunyai bahagian
dalam mewujudkan perbuatan itu. Tenaga atau daya yang diciptakan Allah dalam
diri manusia, mempunyai efek dalam mewujudkan perbuatan perbuatannya. Tenaga
atau daya itu disebut dengan kasab atau usaha.[42]
Ajaran pokok paham Jabariyah adalah bahwa dalam hubungannya
dengan manusia, Tuhan itu Maha Kuasa. Karena itulah, Tuhan-lah yang menentukan
perjalanan hidup manusia dan yang mewujudkan perbuatannya. Menurut aliran ini,
manusia sama sekali tidak mempunyai kemerdekaan perbuatannya, mereka hidup
dalam keterpaksaan.[43]
Paham yang dibawa Jahm adalah
lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan. Manusia, menurut
Jahm, tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa; manusia tidak mempunyai
daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan; manusia
dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan
dan pilihan baginya.[44]
Manusia bukanlah pencipta
perbuatannya sendiri, dan perbuatan-perbuatnnya sama sekali tidak dapat
dinisbahkan (dihubungkan) kepadanya. Inti pendapat ini dalah menafikan adanya
perbuatan seorang hamba dan menyandarkan pebuatan itu kepada Allah. Karena
seorang hamba tidak memiliki sifat istit}a>‘iyyah (kemampuan,
kesanggupan dan daya). Sebaliknya, semua perbuatan adalah keterpaksaan belaka,
tidak ada kekuasaan, kehendak. Maupun usaha dari dirinya. Segala perbuatannya
merupakan ciptaan Allah, sebagaimana Allah menciptakan benda-benda mati
lainnya. Adapun terhadap suatu perbuatan manusia itu hanyalah majazi (kiasan),
sebagaimana hal itu dinisbahkan kepada benda-benda mati.[45]
Ayat-ayat yang dikemukakan
aliran Jabariyah adalah sebagai berikut Q.S. al-S}affa>t/37: 96:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Terjemahnya:
Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.[46]
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ
مِنْهُ بَلَاءً حَسَنًا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
Maka
(yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi
Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan
untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang
baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[47]
Adapun alasan yang mendasari
argumen mereka, sebagaimana Ibn Hazm pernah mempertanyakan kepada golongan
Jabariyah. Maka mereka menjawab “jika Allah Maha bersifat Maha pelaku yang
tidak ada sesuatu pun diantara makhluk-Nya, yang menyerupai sifatnya itu, maka
tidak ada sesuatu pun diantara makhluk-Nya yang berpredikat sebagai pelaku”.
Bahkan dalam memperkuat argumen mereka ini, secara praktis mereka katakan
“pengertian menisbahkan sesuatu perbuatan kepada manusia sama dengan ungkapan
bahwa “si Zaid mati” yang sebenarnya Allah-lah yang mematikan dan “bangun
sendiri” yang sebenarnya Allah-lah yang mendirikannya.[48]
Paham Jabariyah lebih
menekankan pada perbuatan manusia yang hanya sebatas sebagai titipan Tuhan.
Segala fasilitas yang digunakan, baik sesuatu yang melekat pada dirinya
demikian pula terhadap apa yang melingkupinya. Maka sangat jelas memberikan
indikasi teologis horizontal dan sangat minim memberikan indikasi pada teologis
vertical. Paling tidak, hanya sebatas menjalankan fungsi selaku hamba dengan
hamba dalam batas-batas tertentu.
Secara umum Jabariyah dapat
ketahui dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap
perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang
menentukannya.
2)
Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3)
Ilmu
Allah bersifat h}udus\ (baru).
4)
Iman
cukup dalam hati saja tanpa harus dilafalkan.
5)
Bahwa
Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6)
Bahwa
surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya,
karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7)
Bahwa
Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8)
Bahwa
Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
2.
Qadariyah
a.
Latar Belakang Lahirnya Qadariyah
Qadariyah dari bahasa arab, yaitu dari kata “qadara”
yang artinya kemampuan dan kekuatan.[49]
Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia
dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannnya atas kehendaknya.[50]
Term Qadariah mengandung dua
arti, pertama: orang-orang yang memandang manusia berkuasa atas dan bebas dalam
menentukan perbuatan-pebuatannya. Dalam arti itu Qadariyah berasal dari kata qadara,
yakni berkuasa. Kedua: orang-orang yang memandang nasib manusia telah
ditentukan dari azal. Dengan demikian qadar disini berarti menentukan, yakni
ketentuan Allah atau nasib.[51]
Kiranya timbul keraguan bagi
ahli sejarah, mengapa aliran ini disebut dengan aliran al-Qadariyah, padahal
mereka meniadakan (menafikan) qa-dar Tuhan? Sebagian ahli sejarah mengatakan,
penyebutan demikian tidaklah mengapa, sebab banyak juga terjadi menyebutkan
sesuatu justru dengan sebutan kebalikannya. Sebagian ahli yang lain mengatakan,
bahwa karena mereka meniadakan qadar Tuhan dan menetapkannya pada manusia
serta menjadikan segala perbuatan manusia tergantung pada kehendak dan
kekuasaan manusia sendiri, maka mereka disebut dengan kaum atau aliran
Qadariyah.[52]
Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan free will atau free
act.[53]
Sebagaimana
tidak jelasnya kapan paham Jabariyah itu mulai dibicarakan dalam teologi Islam,
paham Qadariyah pun mengalami hal seperti itu. Muh}ammad bin Syu‘aib yang
memperoleh informasi dari al-Auza‘i mengatakan, bahwa mula pertama orang yang
memperkenalkan paham Qadariyah dalam kalangan orang Islam adalah. Ma‘bad bin
Khalif al-Juhani al-Basri dan Ghailan al-Dimasyqi memperoleh paham tersebut.[54]
Lahirnya paham
Qadariyah dalam Islam dipengaruhi oleh paham bebas yang berkembang dikalangan
pemeluk agama Masehi (Nestoria). Dalam hal ini Max Hortan berpendapat, bahwa
teologi Masehi di dunia Timur pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan
pertanggungan jawabnya yang penuh dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil
mengenai pendapat ini memuaskan golongan bebas Islam (Qadariyah), maka mereka
merasa perlu mengambilnya.[55]
Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H
(689 M). Ajaran-ajaran mazhab ini banyak persamaannya dengan ajaran Muktazilah.
Mereka berpendapat sama tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan
atau perbuatannya, Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan
mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada‘ dan qadar
Allah swt.
Tokoh
utama Qadariyah ialah Ma’bad al-Juhani al-Bis}ri dan Gaila>n al-Dimasyqi,
pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M) kedua tokoh
inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa hidupnya,
Ma’bad al-Juhani berguru pada Hasan al-Bas}ri, sebagaimana Was}il bin At}a’;
tokoh pendiri Muktazilah, Jadi, Ma’bad termasuk tabiin atau generasi kedua
sesudah Nabi, sedangkan Gaila>n semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli
pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya
menjadi maula (pembantu) Usman bin Affan. kelihatannya paham ini diambil dari
seorang Kristen yang masuk islam di irak, dan ma’bad memasuki dunia
politik dan memihak Abd al-Asy’as gubernur Sajistan.[56]
Sejarah menunjukkan
dengan pasti bahwa bani Umayyah telah mangalihkan persoalan qad}a dan qadar
menjadi suatu pegangan yang amat kokoh setelah mendukungnya dengan segala daya
dan kekuatan, sambil menumpas habis-habisan semua pendukung aliran kebebasan
manusia, dengan dalih bahwa itu merupakan kepercayaan yang berlawanan
dengan akidah Islam. Sehingga disuatu saat tersiar secara luas pameo yang
menyatakan bahwa jabr dan tasybih adalah dua pikiran yang berasal
dari bani Umayyah, sedangkan ‘adl dan tauhid dua pikiran yang
berasal dari Alawiyin (pengikut Abi Thalib).[57]
Orang yang paling
dahulu melontarkan masalah ikhtiyar manusia ketengah-tengah masyarakat untuk
dibahas, seraya mempertahankan akidah tentang kebebasan ini di masa kekuasaan
bani Umayyah ialah seoarng dari Irak bernama Ma'bad al-Juhani dan seoarang lagi
dari Syam bernama Gailan Al-Damasyqi. Kedua orang ini dikenal dengan sifat
istikamah, ketulusan dan keimanan yang kuat. Ma'bad ikut dalam pemberontakan
bersama Ibn al-Asy'as\ dan kemudian dibunuh oleh al-Hajja>j (seorang pejabat
bani Umayyah) sedangkan Gaila>n setelah pahamnya itu sampai ke pendengaran
Hisyam bin Abdul Malik, segera dijatuhi hukuman kejam potong kedua tangan dan
kaki kemudian disalib.
Menurut al-Z|ahabi
dalam kitab Miza>n al-l'tida>l yang dikutip oleh Ahmad Amin, bahwa
Ma'bad al-Juhani adalah seorang tabiin yang dapat dipercaya (baik), tetapi dia
telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu mengatakan tentang
tidak adanya qadar bagi Tuhan.[58]
Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak. Suatu kali dia memasuki lapangan
politik untuk menentang kekuasaan Bani Umayah dengan cara memihak kepada
Abdurrahman ibn Asy'as, Gubernur Sajistan. Hal ini mengakibatkan peristiwa yang
tragis baginya, sebab ketika dia bertempur dengan al-Hajja>j dia terbunuh.
Hal ini terjadi pada tahun sekitar 80 H.[59]
Sebagian orang mengatakan kematiannya disebabkan oleh masalah politik, tetapi
banyak juga orang yang mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh
kezindikan-nya (paham Qadariyahnya).[60]
Adapun Gaila>n
al-Dimasyqi (Abu Marwa>n Gailan ibn Muslim) adalah penyebar paham Qadariyah
di Damaskus. Dia seorang orator, maka tidak heranlah jika banyak orang yang
tertarik untuk mengikuti pahamnya.[61]
Dalam menyebarkan pahamnya, dia mendapatkan tantangan dari Khalifah
al-Adil Umar ibn Abd al-Aziz, Setelah khalifah mangkat dia meneruskan
penyebaran pahamnya hingga pada akhirnya dia dihukum bunuh oleh Khalifah Hisyam
ibn Abd al-Malik ibn Marwan.[62]
Sebelum dilaksanakan hukum bunuh, sempat diadakan perdebatan antara Gaila>n
dengan al-Auza'i yang dihadiri dan disaksikan oleh Khalifah Hisyam.[63]
Motif timbulnya paham
Qadariyah ini, menurut hemat penulis disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, faktor
ekstrem yaitu agama Nasrani, di mana jauh sebelumnya mereka telah
memperbincangkan tentang qadar Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua,
faktor intern, yaitu merupakan reaksi terhadap paham Jabariyah dan merupakan
upaya protes terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah yang bertindak
atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan.
Paham Qadariyah yang
disebarluaskan oleh dua sekawan ini banyak mendapat tantangan. Selain penganut
paham Jabariyah, penguasa yang berwenang ketika itu, juga oleh generasi
terakhir dari para sahabat, seperti Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Abu
Hurairah, ibn Abbas, Anas ibn Malik dkk. Bahkan mereka menghimbau kepada
generasi penerusnya, agar tidak mengikuti paham Qadariyah, tidak usah
menyembahyangkan jenazah-jenazahnya dan tidak perlu membesuknya jika mereka
sakit.[64]
Hal demikian dapat dimaklumi, sebab menurut pendapat mereka, berdasarkan hadis
yang diterimanya, bahwa kaum Qadariyah merupakan majusi umat Islam, dalam art!
golongan yang tersesat.
Apakah dengan
kematian tokoh-tokohnya dan besarnya gelombang tantangan terhadapnya, kemudian
paham Qadariyah ini mati atau terhenti? Memang benar secara organisasi/aliran
mereka tidak berwujud lagi, tetapi eksistensi ajarannya masih tetap berkembang,
yaitu dianut oleh kaum Muktazilah.[65]
Ditinjau
dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik
Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu
mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah
dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam
perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.
b.
Tokoh-tokoh Qadariyah
dan Ajarannya
Gailan al-Dimasyqi
berpendapat, bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan balk atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.[66]
Al-Nazam salah
seorang pemuka Qadariyah mengatakan, bahwa manusia hidup itu mempunyai istit}a>‘ah.
Selagi manusia hidup, dia mempunyai istit}a>‘ah (daya), maka dia
berkuasa atas segala perbuatannya.[67]
Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak mendapatkan pahala
atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak
memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di sini nyatalah
bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan
sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paham Jabariyah.[68]
Pembahasan ajaran
ini, kiranya lebih luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah; sebab sebagaimana
diketahui paham Qadariyah ini juga dijadikan salah satu ajaran Mu'tazilah. Sehingga
ada yang menyebut Muktazilah itu dengan sebutan Qadariyah.
Al-Jubba>‘i
mengatakan, bahwa manusialah yang menetapkan perbuatan-perbuatannya, manusia
berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam
diri manusia, sebelum adanya perbuatan.[69]
Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jabba>r,
Untuk memperkuat
pendapatnya, Abd al-Jabba>r mengemukakan beberapa argumen, baik bersifat
rasional maupun nas, Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa
perbuatan manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin
berbuat sesuatu, perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin
berbuat sesuatu, maka tidaklah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan
tersebut perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi,
sungguhpun dia menginginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan
terjadi, sungguhpun dia sangat tidak menginginkannya.[70]
Di antara ayat yang
digunakan untuk memperkuat pendapatnya ada-lah ayat 17 surat al-Sajadah yang
berbunyi sebagai berikut:
Abd al-Jabba>r
menyatakan, sekiranya perbuatan manusia perbuatan Tuhan, maka ayat ini tidak
ada artinya, sebab ini berarti bahwa Tuhan memberi pahala atas dasar perbuatan
seseorang yang pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, agar
ayat ini tidak membawa kepada kebohongan, maka perbuatan tersebut harus
dipastikan sebagai perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam
arti majazi.
Selain ayat tersebut,
masih banyak ayat yang digunakan oleh kaum Qadariyah (Muktazilah) untuk
memperkuat argumennya. Sebagian ayat-ayat al-Qur'an tersebut adalah sebagai
berikut:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Terjemahnya:
Tiap-tiap jiwa
terikat dengan apa yang telah diperbuatnya. (Q.S. al-Mudas\s\ir/74: 8)[71]
Begitu juga ayat Q.S.
al-Muzammil/73: 19:
إِنَّ هَذِهِ تَذْكِرَةٌ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلًا
Terjemahnya:
Sesungguhnya ini
adalah peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada
Tuhannya.[72]
Dan juga dalam Q.S. al-Nisa’/4: 111:
وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ
عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Terjemahnya:
Dan
barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk
merugikan dirinya sendiri.[73]
Ajaran Qadariyah dan
berbagai argumen yang telah dipaparkan yang baru lalu memberi kesan, bahwa
manusia dalam mewujudkan segala perbuatannya bebas sebebas-bebasnya. Apakah
benar demikian? kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan
manusia itu dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri.
Sesungguhnya dalam
paham Qadariyah atau Muktazilah, manusia bebas dalam berkehendak dan berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan
kekuasaan manusia sendiri, umpama saja manusia datang ke dunia ini bukanlah
atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketahuinya
telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut, tiap
orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi
bagaimanapun, sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan dan
kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia
tersusun dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia sesuai
dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi oleh
hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat dirubah oleh
manusia. Manusia harus tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya adalah
membakar. Manusia tak dapat merubah naluri ini. Yang dapat dibuat manusia
adalah membuat atau menyusun sesuatu yang tak dapat dimakan api
Kebebasan dan kekuasaan
manusia, sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia
sebenarnya, hanyalah me-milih hukum alam mana yang akan ditempuh dan
diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham Qadariyah bisa disalah
artikan meng-andung paham, bahwa manusia bebas sebebas-bebasnya dan dapat
melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada haki-katnya merupakan
kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.[74]
B.
Kejabariyahan dan
Keqadariahan dalam Dunia Islam Masa Kini
Masalah teologi
dalam Islam telah melewati sekian banyak tahapan sejarah umat manusia. Dari
abad klasik hingga abad posmodernisme sekarang wacana teologi Islam nyatanya
tidak terlalu beranjak jauh dari bentuk lahirnya, baik tema maupun bentuk
metodologinya. Perdebatan transendental spekulatif mengenai sifat Tuhan,
kebebasan manusia, apakah al-Qur’an mahluk atau bukan tetap saja menjadi tema
pokok dalam wacana teologi Islam. Hal ini bisa dipahami karena tema-tema pokok
teologi berdasar pada masalah tersebut. Tetapi masalahnya adalah mengapa wacana
teologi dalam Islam tidak beranjak dari tema-tema tersebut menuju pada tema
yang lebih historis social, yang lebih dekat pada sisi praktis kehidupan
manusia sekarang, misalnya tentang HAM, kemiskinan, demokrasi, kapitalisme,
globalisasi ekonomi, pemanasan global, masalah perempuan dan lain sebagainya.
Idealnya,
seharusnya pengetahuan teologi dapat berdaya guna bagi kehidupan manusia sebab
fungsi utama dari keilmuaan teologi adalah mengarahkan manusia pada kehidupan
yang baik dan benar. Dalam merespon tujuan tersebut wacana teologi wajib
mengikuti dinamika zaman, sebab jika tidak demikian, maka teologi dikatakan
tidak fungsional terhadap daya hidup umat. Dengan demikian wacana teologi harus
berbanding lurus dengan sisi sejarah dan realitas umat.
Pengembangan
wacana teologi dari wacana dasarnya telah dilakukan oleh beberapa kalangan
terbatas, semisal apa yang dilakukan oleh Hasan Hanafi dengan transfomasi
teologi dari wacana transenden menuju wacana revolusi praktis untuk
menggerakkan masyarakat Islam untuk mendapatkan kembali kejayaan sosialnya
seperti yang pernah tecapai pada masa kejayaan Islam sebelumnya. Demikian juga
apa yang serukan oleh Fazlurrahman, seorang pemikir Islam yang terusir dari
Pakistan, kampung halamannya sendiri, menyatakan perlunya rekonstuksi
sistematis pada bangunan keilmuan teologi Islam yang ada sekarang.[75] Upaya-upaya perubahan,
baik metode maupun tema teologi Islam telah diusahakan oleh pemikir-pemikir
Islam neo modernism, sekalipun hanya dalam kalangan terbatas.
Di antara
usaha-usaha demikianlah, tema teologi Islam seharusnya menemukan kembali
relevansinya. Jika dinamika tersebut diamati dimanakah posisi paham-paham
teologi Islam di masa kini? Dan bagaimana seharusnya paham-paham tersebut berlaku?
Dan di mana relevansi paham-paham tersebut dalam era masa kini? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, sebaiknya dimulia dari tinjauan epistemologi paham atau
aliran dari teologi yang dimaksud. Dalam hal ini penulis telah menguraikan
dengan singkat masalah epistemologi dari paham Jabariyah maupun qadariyah. Dari
pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa baik Jabariyah maupun Qadariyah
mempunyai peristiwa epistemologi yang berbeda. Epistemologi yang berbeda akan
melahirkan cara pandang dan aksi yang berbeda pula. Salah satu contoh yang
dapat dikemukakan dalam pembahasan ini adalah pendekatan kronologis di masa
pemerintahan khalifah Alma’mun, di mana pada masa tersebut aliran teologi
muktazilah diadopsi sebagai paham resmi negara dan dapat dilihat beberapa
kemajuan yang terkait dengan dimensi pemahaman teologi liberal tersebut. Pada
masa itu perkembangan ilmu pengetahuan mengalami ekspansi hingga melewati
batas-batas normative tradisi Islam sebelumnya. Meskipun secara politis ada
beberapa masalah, dintaranya kasus mihna. Tetapi pengaruh aliran teologi
muktazilah yang berpaham qadariah jelas memiliki implikasi perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa tersebut.
Terlepas dari
perbedaan antara paham Jabariyah dan paham Qadariyah dalam memahami kewenangan
Tuhan, di mana tema semacam ini dianggap sebagai tema pokok teologi Islam
klasik, tetapi implikasi kedua paham ini akan ditinjau pada sisi realitas
empirik umat Islam. Tentu saja pendekatan ini telah dianggap cukup
transformatif meskipun tetap saja masi diaggap kurang maksimal, karena realitas
maju mundurnya umat Islam pada masa kini belum tentu digerakkan oleh pemahaman
apakah mereka berpaham Jabariyah ataukah berpaham Qadariyah. Atinya korelasi
paham teologi dengan gerak sejarah umat Islam abad post modern sekarang sangat
komplek untuk ditentukan. Hal itu terjadi karena abad ini adalah abad
social-ekonomi dan politik yang penuh dengan siliweran isme-isme.
Realitas ini
membuktikan bahwa daya fungsi teologi Islam di masa sekarang, baik Jabariyah
maupun Qadariyah dan paham lainnya, tidak maksimal khususnya dikalangan masa
Islam. Hal ini dikarenakan perkembangan wacana teologi Islam mengalami stagnasi
pemikiran. Amin Abdulah melihat masalah tersebut diakibatkan oleh beberapa
factor. Yang petama, adalah hilangnnya daya kritis umat terhadap
masalah-masalah keagamaan termasuk soal teologi. Kedua, akibat trauma
perseteruan pemikiran al-Gazali dan Ibnu Rusyd. Ketiga akibat dominasi
pemikiran syariah formalistik.[76] Dan tidak berkembangnya
pemikiran filosofis dikalangan ummat Islam yang menghilangkan daya nalar umat
dalam melahirkan ide-ide segar. Keadaan ini menjadikan pemikiran teologi ummat
Islam stagnan ditempat dan kehilangan tema di masa kini.
Dalam posisi
demikianlah persoalan paham teologi dipandang dan dicermati. Demikianpun
tentang teologi Jabariyah maupun Qadariyah, tidak dapat dilepaskan dari
persoalan tersebut. Peranan kedua model teologi ini akan dirasakan jika
tema-tema yang diangkat bersentuhan langsung dengan problem massa Islam modern.
Berbagai masalah sosial kemanusian yang mengemuka harus ditransformasikan lewat
isu-isu teologi masyarakat. Sebab bagaimanapun potensi menggerakkan massa Islam
harus lahir dari inti kepercayaan agamanya. Dan sebaliknya pula roh ajaran
agama ini harus dapat mengubah dan mengantar umatnya ke arah yang lebih baik.
Tawaran dari
persoalan ini adalah:
1.
Harus dilakukakan upaya kritis
terhadap teologi Islam
2.
Harus ada rekonstruksi pemahaman
teologi Islam
3.
Harus ada transfomasi teologi
dari transcendent spekulatif menuju teologi fungsional.
4.
Wacana teologi harus terus
berkembang baik tema maupun metodenya
5.
Umat Islam harus terus kritis
dan membuka wawasan berpikir dan berani menerima gagasan globalisasi pemikiran
dari kelompok manapun (pluralisme).
C. Analisis terhadap Paham Jabariyah dan Qadariyah
1.
Pasrah tanpa Usaha
Jabariyah mengganggap bahwa hidup ini mengalir seperti
air mengalir, pasrah tanpa ada usaha dan merasa tidak perlu ada usaha untuk
melakukan perubahan. Paham ini tumbuh berkembang saat keadaan arab mengalami
alam yang sangat ganas serta masih rendahnya teknologi sehingga paham ini
sangat diterima pada masyrakat arab pada saat itu, tetapi jika dilihat keadaan
arab bersahabat barangkali lain pula ceritanya mereka pasti terus
melakukan usaha agar keadaanya semakin baik,tetapi perlu diketahui juga dengan
adanya paham Jabariyah membuka peluang paham-paham lain berkembang pula
berdasarkan teologi masing-masing berusaha menjadi teologi yang moderet dan
tentu saja membawa pencerahan terhadap teologi yang dianggap terlalu ekstrim termasuk
Jabariyah.
Walaupun demikian ketika paham Jabariyah banyak
ditinggalkan oleh kaum muslim arab pada saat itu karena kekstrimannya, dan
beranjak kepahaman lain. Barangkali jika tidak ada paham Jabariyah yang
terkenal dengan Fatalismnya tentu saja tidak akan ada lahir aliran kebalikan
dari fatalism seperti Qadariyah walaupun diketahui kelahiran teologi ini hampir
bersamaan atau dengan paham teologi lain.
2. Perkembangan Jabariyah Abad Modern
Secara faktual Jabariyah, bila dilihat dari masyarakat
Islam sendiri pada zaman modern sekarang walau telah lahir paham-paham yang
diannggap moderet masih banyak yang mempraktekkan paham ini, yaitu sikap
pasrah terhadap ketentuan Allah, teteapi kami menganalisis hal tersebut
berebeda dengan Jabariyah tempo dulu. Adapun praktek yang menggunakan Paham ini
setelah dianalisis Paham kami menamainya Jabariyah Kontemporer, pasrah
tetap dalam usahanya.
3. Jabariyah yang Realistis menghadapi hidup
tetapi kurang usaha
Walaupun demikian paham Jabariyah tetap saja mempunyai
kekurangan dalam mengahadapi kehidupan ini yeng berasal dari teologi paham
jabariyah itu sendiri yang terlalu berlebih-lebihan dalam mengahdapi situasi
apapun sehingga kepasrahan tanpa adanya usaha tentulah akan berakibat buruk.
Padahal dalam al-Qur’an diterangkan Allah berkata dalam firmanNya yaitu Q.S.
al-Ra‘d/13: 11:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذا أَرادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوْءاً فَلا
مَرَدَّ لَهُ وَما لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ والٍ
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[77]
Tentu saja, ayat tersebut jelas memberi nuansa baru bagi paham
Jabariyah yang terlalu ekstrim terhadap Fatalismnya. Barangkali itu saja
analisis dan kritikan terhadap paham ini. sebab paham Jabariyah,
berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di
udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang
ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab,
bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah.
Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan
sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan
selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan
konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional
dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di
atas dalil-dalil naqli (agama) sesuai pemahaman masing-masing atas nas-nas
agama (al-qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad) dan aqli (argumen pikiran). Di
negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham
Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang
terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat
dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan
manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah
biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan
perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana
letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Tidak ada sesuatu
yang lebih mengganggu dan menyakitakan jiwa seseorang daripada perasaan bahwa
ia hidup di bawah bayang-bayang sebuah kekuasaan absolute yang amat kuat dan
mencekram segala sesuatu dalam kehidupannya serta mengarahkannya kemana saja
sesuai dengan kehendaknya, karena seperti dikatakan orang, kemerdekaan adalah
nikmat yang palng mahal harganya, sedangkan perasaan terjajah adalah rasa sakit
yang paling memedihkan. Dengan begitu manusia merasa dirinya terinjak-injak dan
kehendaknya tercabik-cabik oleh kekuatan absolute yang menjajahnya itu. Tak
ubahnya seperti seekor domba yang ditarik oleh sang pengembala yang menguasai
tidur, makan, hidup dan matinya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bagai bara
api yang menyala-nyala dalam lubuk hatinya serta rasa askit tak terhingga,
menyerupai penderitaan seorang yang menyerah pasrah dalam cengkraman seekor
singa yang garang dan buas, setelah menyadari bahwa tidak ada lagi jalan
keselamatan baginya dari cengkraman kuat yang sepenuhnya mengendalikan dirinya
itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paham Jabariyah
memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak
sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan
bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada
manusia. Paham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat.
Ja'ad ibn Dirha>m dan Jahm bin Safwa>n mewakili kelompok eksterim. Sedang
Husain al-Najja>r dan Dira>r bin ‘Amr mewakii kelompok moderat. Dalam
perkembangannya, paham Jabariyah dengan kedua cabangnya berintegrasi dengan
paham Asy'ariyah.
Qadariyah adalah
salah satu paham yang menyatakan bahwa manusia dalam menentukan perbuatannya,
memiliki kebebasan kekuasaan. Perbuatannya tersebut diwujudkan atas kehendak
dan dayanya sendiri. Oleh karena itu pantaslah kiranya, jika orang mendapat
pahala atau siksa. Namun demikian, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya dalam
menentukan perbuatan-per-buatannya, Sebab justru mereka dibatasi oleh adanya
hukum alam (sunatullah), dan tak dapat disangkal lagi bahwa hukum alam itu
adalah kehendak dan kekuasaan Tuhan,
Aliran baik Qadariyah
ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan
sekalipun mereka sama-sama berpegang pada al-Qur'an. Hal ini menunjukkan betapa
terbukanya kemungkinan pebedaan pendapat dalam Islam.
Jabariyah dan
Qadariyah pada masa kini tidak lagi berwujub sebagai aliran yang mempunyai
pengikut setia dan menyebut diri mereka sebagai pengikut aliran tersebut, akan
tetapi bila dilihat dari segi paham yang dianut oleh masyarakat Islam saat ini,
Jabariyah dan Qadariyah masih banyak di praktikkan.
B.
Implikasi
Paham Jabariayah dan Qadariyah dua aliran yang kelihatannya
sangat berlawanan, Jabariyah menghilangkan usaha manusia, sedangkan Qadariyah
menghilangkan campur tangan Tuhan dalam urusan manusia, akan tetapi pada
prinsipnya tidak seorangpun yang bisa mengamalkan seratus persen salah satu
aliran tersebut, sebab dalam sejarahnya orang yang paling Jabariah seperti
sahabat Rasul yang konsen hidup di masjidpun mengeluh tentang kehidupan mereka,
begitu pula orang yang sangat percaya akan kemampuannya sendiri seperti Firaun
juga harus bersikap pasrah ketika terdesak oleh keadaan pada saat itu berupa
ditenggelamkan dalam laut sehingga di meminta pertolongan Tuhan.
Sehingga sebagai manusia yang punya keterbatasan sebaiknya
mengakomodir kedua aliran tersebut dengan cara mengambil jalan tengah seperti
halnya aliran Maturidiyah, yaitu berusaha sambil berdoa.
Meskipun demikian apapun pilihan manusia terhadap kedua
aliran tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan bagi penganut Jabariah
mereka akan kenyang dengan kebahagian dan kesejehteraan rohani, sedangkan
Qadariyah akan sejahtera Jasmani.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodenisme. Jogyakarta;
Putaka Pelajar, 2009.
Amin, Ahmad. Fajr al-lsla>m. Bairut:
Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, 1969.
Anwar, Rosihan.
Ilmu Kalam. Bandung: Puskata Setia, 2006.
Al-Asy'ari,
Abu> al-H{asan. Maqa>la>t al-lsla>miyin wa Ikhtila>f
al-Mus}ali>n. Kairo: Maktabah Nahdiyah al-Mis}riyah, 1969.
Al-Azdi>,
Ali bin al-H}asan al-Hunai>. al-Munjid fi> al-Lugah. Kairo:
‘A<lim al-Kutub, 1988.
Al-Bagda>di>.
al-Farq bain al-Fira>q. Mesir: Muh}ammad Ali S}ubal wa Awla>dih,
t.th.
Al-Bukha>ri>,
Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l. S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>. Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H/1987 M.
Departemen
Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Al-Madi>nah al-Munawwarah:
Mujamma‘ al-Malik Fahd Li T{iba>‘ah al-Mus}h}af al-Syari>f, 1418 H.
Al-Ghurabi, Ali Mus}t}afa. Tarikh
al-Fira>q al-Isla>miyah. Mesir: Maktabah wa Mat}b’ah Muhammad Ali
S}abih wa Alaudin, t.th..
Al-Gurabi, Ali
Must}afa.> Ta>rikh al-Fira>q al-lslamiyah. Mesir: Muhammad
AliShubaih, t.th.
Hadariansyah Pemikiran-pemikiran
Teologi dalam Sejarah Islam. Banjarmasin: Antasari Press, 2008.
Hadi,
Muhammad A. Manhaj Dan Aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah Menurut Paham Salaf. Jakarta:Gema Insani Press, 1994.
Hakim, Atang Abd. dan Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Hanafi, A. Theologi
Islam (llmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
Majid, Nurkhalis. Khazanah
Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Mu>sa>,
Jala>l Muh}ammad. Nasy'a>t al-Asy'ariyah wa Tat}a>wuruha.
Bairut: Dar al-Kitab at-Lubnani, 1975.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan. Jakarta: Ul Press, 1987.
Al-Qasimi, Jama>l
al-Din. Ta>rikh al-Jahmiyah wa al-Mu'tazilah. Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 1979.
Rahman, Fazlur. Gelombang Perubahan
Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme Islam. Disunting Ebrahim Moosa.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Al-Syahrasta>ni>,
al-Mila>l wa al-Niha>l. Bairut: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Taftazani,
Abu> al-Wafa>. ‘llm al-Kala>m wa Ba'd} Musykila>tih. Kairo : Da>r al-S|aqa>fah, 1979.
Tim. Enseklopedi
Islam, "Jabariyah". Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997.
[1]Ahmad
Amin, Fajr al-lsla>m Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Araby, 1969),
h. 285.
[2]Lihat Nurkhalis Majid, Khazanah Intelektual
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 14. Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam
Islam; Studi Tentang Fundamentalisme Islam, disunting Ebrahim Moosa, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000), h. 62.
[3]Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Ul Press, 1987), h. 30.
[4]Ali bin al-H}asan al-Hunai>
al-Azdi>, al-Munjid fi> al-Ligah, Juz I (Kairo: ‘A<lim
al-Kutub, 1988), h. 162.
[5]Al-Syahrasta>ni>, al-Mila>l
wa al-Niha>l (Bairut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 115.
[6]Ali Mus}t}afa al-Ghurabi, Tarikh al-Fira>q
al-Isla>miyah (Mesir: Maktabah wa Mat}b’ah Muhammad Ali S}abih wa
Alaudin, t.th.), h. 13.
[8]Riwayat tersebut terdapat dalam
riwayat Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>, Juz. VII (Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r,
1407 H./1987 M.), h. 130. Satus hadisnya
sahih.
[9]Tim, Enseklopedi Islam,
"Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 239.
[10] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam,
(Bandung: Puskata Setia, 2006), h. 64.
[11]Harun Nasution, Teologi
Islam..... op.cit., h. 31.
[12]Departemen Agama RI, al-Qur’an
dan Terjemahnya (al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd Li
T{iba>‘ah al-Mus}h}af al-Syari>f, 1418 H), h. 724.
[13]Depertemen Agama RI, h. 263.
[15]Rosihan Anwar, op.cit.,
h. 64-65.
[16]Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran
Teologi dalam Sejarah Islam (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80.
[17]Jamal al-Din al-Qasimi, Ta>rikh
al-Jahmiyah wa al-Mu'tazilah (Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 1979), h.
38.
[18]Jala>l Muh}ammad
Mu>sa>, Nasy'a>t al-Asy'ariyah wa Tat}a>wuruha, Bairut: Dar
al-Kitab at-Lubnani, 1975), h. 100.
[19]Ali Must}afa> al-Gurabi, Ta>rikh
al-Fira>q al-lslamiyah, (Mesir: Muhammad AliShubaih, t.th.), h. 29.
[21]Ali Must}afa> al-Gurabi, op.cit.,
h. 29.
[22]Ibid.,
[23]Ahmad Amin, Fajr al-lsla>m
(Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi,
1969), h. 285.
[24]Abu> al-H{asan al-Asy'ari, Maqa>la>t
al-lsla>miyin wa Ikhtila>f al-Mus}ali>n, Juz I (Kairo: Maktabah
Nahdiyah al-Mis}riyah, 1969), h. 213-214.
[25]Abual Wafa al-Taftazani, ‘llm
al-Kala>m wa Ba'd} Musykila>tih (Kairo : Da>r al-S|aqa>fah, 1979), h.
145.
[26]Al-Bagda>di>, al-Farq
bain al-Fira>q, (Mesir: Muh}ammad Ali S}ubal wa Awla>dih, t.th.), h.
211-212.
[27]Jama>l al-Di>n al-Qasimi, op.
cit., h. 17.
[28]Departemen Agama RI, op.cit.,
h. 343.
[29]Al-Syahrastani, op.cit., h.
88.
[30]Harun Nasution, Teologi Islam......,op.cit.,
h. 33.
[31]Ahmad Amin, op. cit.,
h. 287.
[32]Jalal Muhammad Musa, op.cit.,
h. 105.
[33]Ahmad Amin, log.cit.
[34]Abu al-Wafa al-Taftazani, op.
cit., h. 148.
[35]AI-Santanawi, op.cit., h. 195.
[37]Ibid.
[38]Ibid.
[39]Abu al-Hasan al-Asy'ari, op.
cit., h. 339.
[40]Al-Syahrastani, op.cit.,
h. 91.
[41]Harun Nasution, Teologi Islam.......,op.cit.,
h. 31-32.
[42]Al-Baghdadi, op.cit., h. 212.
[43]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam (cet, I: Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 156.
[44]Harun Nasution, Teologi Islam......, op.
Cit., h. 35.
[45]Dalam hal ini, perbuatan manusia tidak ada bedanya
dengan air mengalir, pepohonan berbuah, matahari terbit dan terbenam, langit
mendung, dam hujan turun. Pahala dan dosa adalah suatu keterpaksaan dan taklif
(penbebanan tanggung jawab atas perbuatan manusia) juga bersifat keterpaksaan.
Lihat Abu> Zahrah, al-Maz\a>hib al-lsla>miyah
(Mesir: Maktabah al-Namuz\a>jiyah, t.th.),
h. 121.
[46]Departemen Agama RI., op.cit., .h. 724.
[48]Abu Zahrah, op. cit., h. 121.
[51]Harun Nasution, Teologi Islam....., op.cit.,
h. 102.
[52]'Abu> Zahrah, op.cit., h.
186.
[53]Harun Nasution, Teologi
Islam....., op.cit., h. 29.
[54]Al-Bagda>di, op.cit., h.
18.
[55]A. Hanafi, Theologi Islam (llmu
Kalam) (Bandung: Bulan Bintang, 1962), h. 41.
[57]Muhammad
A Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah Menurut Paham Salaf (Jakarta:Gema Insani Press, 1994), h.
183-184.
[58]Ahmad Amin, op.cit., h.
285.
[59]Abu al-Wafa al-Taftazani, op.cit.,
h. 135.
[60]Ahmad Amin, op. cit.,
h. 284.
[61]Ahmad Amin, op.cit. h. 286.
[62]al-Bagda>di, op.cit.,
h. 19.
[63]Abu> Zahrah, op.cit.,
h. 189-190.
[64]al-Bagda>di, op.cit.,
h. 19-20.
[65]Abu> Zahrah, op.cit.,
h. 193.
[66]Harun Nasution, Teologi
Islam....., op.cit., h. 31.
[67]Ali Mus}t}afa al-Gurabi, op.cit.,
h. 201.
[68]Ahmad Amin, op. cit.,
h. 287.
[69]Harun Nasution, Teologi Islam.......,
op.cit., h. 97.
[71]Departemen Agama RI, op.cit.,
h. 995.
[74]Harun Nasution, Teologi
Islam......, op.cit., h. 110-111.
[75] Fazlurrahman, Islam dan
Modernitas: Tentang Tronsformasi Intelektual, (Bandung; Pustaka Hidayah,
1995), h. 83.
[76]Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodenisme, (Cet.
IV; Jogyakarta; Putaka Pelajar, 2009) h. 37-44.
[77]Departemen Agama RI, op.cit.,
h. 370.
2 komentar:
pembahasannya bagus banget gan
bagus banget nih makalahnya
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....