Rabu, 31 Oktober 2012

DUA MAZHAB BESAR TEOLOGI KLASIK: KEJABARIYAHAN DAN KEQADARIYAHAN DALAM DUNIA ISLAM MASA KINI


indahnya perbedaan


oleh : Muhammad Ali Rusdi, S.Th. I, M. Th.I





BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Salah satu pembicaraan penting dalam teologi Islam adalah masalah perbuatan manusia (af‘a>l al-‘iba>d). Dalam kajian ini dibicarakan tentang kehendak (masyi>‘ah) dan daya (istit}a>‘ah) manusia. Hal ini karena setiap perbuatan berhajat kepada daya dan kehendak. Persoalannya, apakah manusia bebas menentukan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan dayanya sendiri, ataukah semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh qad}a’ dan qadar Tuhan? dalam sejarah pemikiran Islam, persoalan inilah yang kemudian melahirkan paham Jabariyah dan Qadariyah.[1]
Pola-pola berpikir teologis tersebut, tanpa disadari kini telah melengkapi khazanah pemikiran Islam yang sangat progresif. Bahkan lebih dari itu, kehadiran produk berpikir tersebut, telah pula membentuk semacam mazhab teologi yang secara dikotomik terbelah pada kekuatan Qadariyah dan Jabariyah. Seperti apa yang telah diterangkan pada posisi atau kondisi kejadian Qadariyah, kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak manusia. Pada posisi atau kondisi kejadian Jabariyah, kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak kompleks yaitu kehendak alam lingkungan yang unsurnya komplek, dimana manusia juga menjadi salah satu unsurnya.
Ada dua ajaran dalam agama yang erat kaitannya dengan produktivitas : Pertama; agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat material ini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Kedua; agama mempunyai ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, maka produktivitas masyarakat yang menganut paham keagamaan demikian, akan rendah sekali. Tetapi, dalam masyarakat, yang menganut paham manusialah yang menentukan nasibnya dan manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme atau Jabariyah. Paham kedua disebut Qadariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.[2]
Sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan antara aliran liberal dan tradisional. Kondisi demikian membawa hikmah bagi umat Islam. Oleh karena itu, bagi mereka yang berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau antara liberal dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.[3]
Konsepi tentang perbuatan manusia pun sering dijadikan kambing hitam dalam menentukan maju dan mundurnya, berkembang dan terbelakangnya keadaan umat Islam sekarang. Bagi kalangan liberalis, paham Jabariyah yang menurut mereka kemudian diformulasikan oleh Asy’ari dan dianut oleh Sunni, merupakan faktor utama mundurnya umat Islam sekarang ini. Bagi mereka, jika umat Islam ingin maju, Qadariyahlah  yang harus dianut atau dijadikan worldview untuk mengembalikan kemajuan peradaban Islam.
Pada perkembagan selanjutnya, nampaknya kedua paham ini sama-sama memilih gerbongnya sendiri. Baik Jabariyah maupun Qadariyah berkembang sesuai lajur rel yang terlanjur dikokohkan sejak masa awal Islam. Umat Islampun terpecah dalam dua pilihan teologis tersebut dan keduanya melaju pada gerbong yang berbeda di atas rel yang berbeda pula. Hingga di masa kini dua paham teologis ini tak jauh beranjak dari situasi yang sebelumnya telah terlanjur mapan. Terhadap realitas kehidupan ummat Islam di masa kini yang terkait dengan idealisasi dua paham teologi tersebut, nampaknya susah dibaca, kecuali jika kedua pemahaman ini dikaitkan dengan fase perkembang paham sejarah umat manusia secara global.
Sebab pendekatan teologi saja, dalam menilai umat masa kini tidak mudah diberlakukan hanya dengan melihat korelasi kemajuan social budaya dan ekonomi ummat Islam dengan pemahaman teologinya, tanpa membaca kemungkinan lain, semisal kemajuan teknologi informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan lainnya. Kendala lainnya adalah sifat dari pembahasan teologi bersifat melangit, dalam artian wacana-wacana teologi biasanya hanya dibincang terbatas di ruang-ruang sempit formal ilmiah. Hingga dengan demikian studi tentang dua mazhab teologi Islam klasik yaitu Jabariyah dan Qadariyahpun terbatas hanya pada kalangan elit ilmuan Islam dan kejadian serupa ini terjadi hingga sekarang.
Membaca khazanah dua mazhab besar teologi klasik (Jabariyah dan Qadariyah) dalam masa kini atau kejabariyahan dan keqadariyahan dalam dunia Islam masa kini memerlukan kaitan-kaitan realitas yang kaya dari hanya sekedar mendekatan skripturalis yang biasanya dominan dalam pendekatan wacana teologi Islam.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarakan pada rumusan masalah tersebut, maka dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep pemikiran Jabariyah dan Qadariyah?
2.      Sejauhmanakah peran Jabariyah dan Qadariyah dalam dunia Islam masa kini?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Jabariyah dan Qadariyah
1.    Paham Jabariyah
a.    Latar Belakang Lahirnya Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata yabara, berarti memaksa atau terpaksa. Di dalam al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat al-Jabba>r (dalam bentuk muba>lagah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan ­al-insa>n al-majbu>r (bentuk isim mafu>l) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.[4] Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama),  setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Paham al-jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya  dalam keadaan terpaksa. Menurut al-Syahrasta>ni>, al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyan-darkan perbuatan itu kepada Tuhan.[5]
Jabariyah adalah nama bagi sekelompok aliran yang menganut paham atau mazhab jabar, yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai andil dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya, akan tetapi Allah-lah yang menggerakkannya.
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendalam.[6] Pada masa sahabat kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.[7]
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir dapat meniadakan rasatakut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kota yang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata, “Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?” Umar menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain.” Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan.[8] Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia.
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan suratnya, memberi reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah. Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[9] Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi> adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariyah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[10]
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan alam, sehingga menyebabkan mereka kepada paham fatalisme.[11]
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat yang mengilhami lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
1)       Q.S. a-S}a>ffa>t/37: 96:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Terjemahnya:
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.[12]
2)       Q.S. al-Anfa>l/8: 17:
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى

Terjemahnya:
Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.[13]
3)      Q.S. al-Insan/76: 30:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Terjemahnya:
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[14]
Selain ayat-ayat al-Qur’an di atas benih-benih paham Jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
1)      Suatu ketika Nabi saw. menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2)      Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri” Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3)      Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,”apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qad}a’ dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qad}a’ Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
4)      Adanya paham Jabariyah telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[15]
Di samping adanya bibit pengaruh paham Jabariyah yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabariyah muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, kedua; telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga; adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada tasybih.[16]
b.    Tokoh-tokoh Jabariyah
Sebagai telah dijelaskan sebelumnya, di antara tokoh penting aliran Jabariyah adalah Ja‘ad bin Dirha>m dan Jahm bin S}afwa>n. Keduanya termasuk pemuka Jabariyah ekstrim. Tokoh lainnya adalah H{usain dan Dira>r. Kedua tokoh yang terakhir ini termasuk pemuka Jabariyah moderat. Berikut ini akan dijelaskan tokoh-tokoh tersebut serta ajaran masing-masing secara lebih terinci.
1)      Ja‘ad bin Dirha>m
Sebagai telah disebutkan, Ja‘ad adalah orang pertama yang mengenalkan paham Jabariyah di kalangan umat Islam, la seorang bekas budak  Bani Hakam. Ia tinggal di Damsyik sampai muncul pendapatnya tentang al-Qur'an sebagai makhluk. Karena pendapatnya ini, ia dibenci oleh Bani Umayah. Sejak itu, ia pergi ke Kufah. Di tempat ini ia bertemu dengan Jahm bin S}afwa>n yang kemudian mengambil pendapat-pendapat-nya dan menjadi pengikutnya yang setia.[17]
Sewaktu di Damsyik, Ja‘ad menjadi guru Marwa>n bin Muh}ammad, salah seorang Khalifah Bani Umayah, sehingga Marwa>n mendapat julukan “al-Ja‘dy”. Namun, pada akhir hayatnya, Marwa>n tidak menyukai Ja‘ad. la bahkan menyuruh Kha>lid al-Qasari> untuk membunuhnya. Kha>lid menghukum bunuh Ja‘a>d pada Hari Raya ‘i>d al-Ad}h}a. Namun, kematian Ja‘a>d bukan semata-mata karena pendapat-pendapatnya yang dianggap bid‘ah itu, melainkan karena persoalan politik. la pernah memberontak kepada Hakam al-Amawi.[18]
Pendapat yang dimajukan Ja‘ad meliputi masalah kalam Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan masalah takdir. Menurut Ja‘ad, al-Qur’an adalah makhluk, la merupakan orang pertama yang memajukan pendapat itu di Damsyik. la juga berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Artinya, Tuhan tidak dapat diberikan sifat-sifat yang dapat disandarkan kepada makhluk, seperti sifat kalam atau lawannya (bisu). Sebab, kedua sifat ini dapat disandang oleh manusia. Dalam hal takdir atau perbuatan manusia, Ja‘ad berpendapat bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusia terpaksa atas perbuatan-perbuatannya.[19] Semua pendapat ini diambil oleh Jahm bin S}afwa>n. Jahm lah yang mengembangkan lebih lanjut dan menyiarkannya secara lebih luas.
2)       Jahm bin S}afwa>n
Sebagai Ja‘ad, Jahm termasuk muslim non Arab. la berasal dari Khurasan. Mula-mula ia tinggal di Tirmiz\, lalu di Balkh. Namanya terkadang dinisbatkan ke Samarkand, terkadang pula ke Tirmiz\. la dikenal ahli pidato dan pandai berdialog. la pernah terlibat perbedaan dengan Muqa>til. Muqa>til termasuk orang yang mengakui sifat-sifat Tuhan, sedang Jahm tidak. Keduanya terlibat perbedaan sengit. Hal ini dapat dilihat dari komentar Abu Hanifah berikut ini:[20]
Jahm sangat berlebihan dalam meniadakan tasybih sehingga ia menyatakan Tuhan bukan apa-apa Sementara lawannya, Muqa>til, berlebih-lebihan pula dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga ia menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
Jahm juga menjabat sebagai sekretaris Haris\ bin Syuraih di Khu­rasan, ia turut serta dalam gerakan melawan Bani Umayah. Bahkan Jahm menjadi orang kepercayaan Haris\ dalam melakukan propaganda baik dengan lisan maupun tulisan.[21] Dalam pemberontakan ini, Jahm tertangkap dan kemudian dihukum bunuh oleh Salam al-Mazani. Sebelum dibunuh, Jahm meminta maaf kepada Salam, tetapi yang terakhir ini menolaknya seraya berkata, “Demi Tuhan sekiranya engkau ada dalam perutku, niscaya aku membedahnya agar aku dapat membunuhmu. Demi Tuhan, tidak ada pemberontak dari Yamamah yang lebih berbahaya dari dirimu.[22] Dengan begitu, kematian Jahm berlatar belakang persoalan politik, bukan karena ajaran yang dibawanya.[23]
Menurut Jahm, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. la tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak, dan tidak mempunyai pilihan bebas. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya dipaksa dengan tidak ada kekuasaan dan kemauan baginya. Pandangan ini ter­masuk dalam pola pikir Jabariyah ekstrim. Selain masalah keterpaksaan manusia ini, Jahm juga memajukan pendapat-pendapatnya dalam masalah konsep iman, sifat-sifat Tuhan, surga dan neraka, dan masalah melihat Tuhan di akhirat.
Menurut Jahm, iman adalah mengetahui Allah dan Rasul-Nya dan segala sesuatu yang diterimanya dari Tuhan. Pengakuan dengan lisan, tunduk dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota badan bukan bagian dari iman. Sebaliknya, kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Dalam pan-dangan Jahm, bila seseorang sudah mengenal Allah, lalu ingkar dengan lidahnya, tidaklah menyebabkan ia menjadi kafir, Iman tidak berkurang dan bertambah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara orang-orang yang beriman. Iman dan kufur bertempat dalam hati bukan pada anggota badan lainnya.[24]
Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Sebagai mana Ja‘ad, Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Sebab, hal ini dapat menimbulkan keserupaan Tuhan dengan makhluk (tasybi>h). la meniadakan sifat hayat dan ilmu Tuhan, tetapi ia mengakui bahwa Tuhan Mahakuasa, Pelaku, dan Pencipta. Sifat-sifat yang terakhir ini diterima Jahm karena menurut pendapatnya, tidak ada makhluk yang memiliki sifat-sifat seperti itu.[25] Selain sifat-sifat di atas, Jahm, menurut al-Bagdadi, juga mengakui bahwa Tuhan adalah Pemberi wujud (al-Muji>d), Memberi hidup (al-muh}yi), dan Mematikan (al-Mumi>t).[26] Konsisten dengan pendapatnya tentang nafy al-s}ifat, Jahm berusaha menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang memberi pengertian adanya sifat-sifat Tuhan. Jahm cenderung pada penyucian Tuhan dari sifat-sifat makhluk.[27]
Jahm juga berpendapat bahwa surga dan neraka tidak kekal. Bagi Jahm tidak ada sesuatu yang kekal selain Allah. Kata khulu>d dalam al-Qur’an tidak berarti kekal abadi, tetapi berarti lama sekali. Dengan demikian, penghuni surga dan penghuni neraka tidak pula kekal. Keadaan mereka di surga maupun di neraka akan terputus karena tidak ada gerak yang tidak berakhir. Jahm memperkuat pendapatnya dengan ayat Q.S. Hu>d/11: 107:
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
Terjemahnya:
Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang ia kehendaki.[28]
Menuruf Jahm, kekekalan yang tersebut dalam ayat ini mengandung persyaratan dan pengecualian. Kekal dan keabadian yang sesungguhnya tidak boleh ada persyaratan dan pengecualian di dalamnya.[29] Sebagai terlihat di atas, pendapat Jahm tentang konsep iman serupa dengan paham Murji‘ah. Memang Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang mendirikan golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji'ah.[30] Dalam masalah nafy al-s}ifah, al-Qur'an makhluk, dan Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, pendapat Jahm sama dengan pendapat kaum Muktazilah. Atau lebih tepatnya pendapat Muktazilah sama dengan pendapat Jahm.[31] Karena itu, tidak heran bila golongan Muktazilah terkadang mendapat julukan Jahmiyah (pengikut Jahm). Sebagai contoh, Imam Bukhari dan Ahmad ibn Hanbal pernah menulis buku sebagai kritik terhadap kaum Jahmiyah, tetapi yang mereka maksud dengan Jahmiyah di sini adalah golongan Muktazilah. Abu al-Hasan al-Asy'ari sendiri dalam buku Al-Iba>nah an Us}u>l al-Diyanah, mengkritik Muktazilah dengan nama al-Jahmiyah.[32] Namun, kaum Muktazilah sendiri tidak menerirna sebutan itu. Bisyr bin Muktamir, salah seorang pemuka Muktazilah menolak keras penamaan itu.[33]
Jahm sendiri dengan berbagai pendapatnya menyandang serangan dari berbagai pihak. Kaum Muktazilah mengafirkan Jahm karena ia meniadakan kemampuan (daya) manusia. Sedang Ahl al-Sunnah, mengafirkan Jahm karena ia meniadakan sifat-sifat Tuhan, menganggap al-Qur'an makh­luk, dan menganggap Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.[34]
Sungguhpun demikian, sepeninggal Jahm, para pengikutnya tetap bertahan hingga abad ke11 H didaerah Tirmiz\ dan sekitarnya. Selanjutnya mereka menganut paham Asy‘ariyah.[35]
3)       Husain al-Najja>r
Husain al-Najja>r merupakan salah seorang tokoh Jabariyah moderat. Pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan al-Najjariyah. Menurut Hu­sain, Tuhan berkehendak dan mengetahui karena diri-Nya sendiri. la menghendaki kebaikan dan keburukan, manfaat dan madarat. Yang dimaksud berkehendak di sini ialah bahwa Tuhan tidak terpaksa atau dipaksa.[36] Husain juga berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu, suatu bagian yang efektif dan bukan bagian yang tidak efektif.. Inilah yang dinamakan kasb dalam teori al-Asy'ari.[37] Dari sini terlihat bahwa manusia dalam pandangan Husain tidak lagi seperti wayang yang geraknya bergantung pada gerak dalang. Sebab, tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam masalah rukyah, Husain berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati pada mata sehingga dengannya manusia dapat melihat Tuhan.[38]
4)      Dira>r bin ‘Amr
Dira>r juga salah seorang pemuka Jabariyah moderat. Sebagaimana Hu­sain, ia berpendapat bahwa manusia punya andil dalam mewujudkan per­buatan-perbuatannya. Dalam pandangan Dira>r satu perbuatan dapat timbul dari dua pelaku, yaitu Tuhan dan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan, dan manusia memperolehnya. Tuhan adalah Pencipta hakiki dari perbuatan manusia. Dalam pada itu, manusia juga pelaku hakiki dari perbuatannya. Daya manusia menurut Dira>r diberikan Tuhan sebelum dan bersamaan dengan perbuatan.[39]
Berbeda dengan Husain, Dira>r berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala seperti dalam paham Asy'ariyah, melainkan dengan apa yang ia sebut sebagai indera keenam. la juga berpendapat bahwa argumen yang dapat diterima setelah wafat Nabi hanyalah konsensus. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum-hukum agama.[40]
c.      Ajaran Jabariyah
Pemuka-pemuka Jabariyah dalam mengemukakan pandangan-pandangannya terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat. Jabariyah yang ekstrim ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, sehingga kelompok ini disebut dengan Jahmiah. Menurutnya, segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul atas kemauannya sendiri, melainkan dipaksakan atas dirinya. Manusia ibarat wayang yang digerakkan menurut kemauan dalang. Manusia dapat bergerak dan berbuat karena digerakkan oleh Allah. Tanpa adanya gerak dari Allah, manusia tidak dapat berbuat.[41]
Berbeda dengan aliran Jabariyah yang moderat, oleh H{usein bin Muh}ammad al-Najja>r, berpendapat bahwa perbuatan manusia termasuk perbuatan baik dan buruk, adalah ciptaan Allah. Manusia mempunyai bahagian dalam mewujudkan perbuatan itu. Tenaga atau daya yang diciptakan Allah dalam diri manusia, mempunyai efek dalam mewujudkan perbuatan perbuatannya. Tenaga atau daya itu disebut dengan kasab atau usaha.[42]
Ajaran pokok paham  Jabariyah adalah bahwa dalam hubungannya dengan manusia, Tuhan itu Maha Kuasa. Karena itulah, Tuhan-lah yang menentukan perjalanan hidup manusia dan yang mewujudkan perbuatannya. Menurut aliran ini, manusia sama sekali tidak mempunyai kemerdekaan perbuatannya, mereka hidup dalam keterpaksaan.[43]
Paham yang dibawa Jahm adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan. Manusia, menurut Jahm, tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa; manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.[44]
Manusia bukanlah pencipta perbuatannya sendiri, dan perbuatan-perbuatnnya sama sekali tidak dapat dinisbahkan (dihubungkan) kepadanya. Inti pendapat ini dalah menafikan adanya perbuatan seorang hamba dan menyandarkan pebuatan itu kepada Allah. Karena seorang hamba tidak memiliki sifat istit}a>‘iyyah (kemampuan, kesanggupan dan daya). Sebaliknya, semua perbuatan adalah keterpaksaan belaka, tidak ada kekuasaan, kehendak. Maupun usaha dari dirinya. Segala perbuatannya merupakan ciptaan Allah, sebagaimana Allah menciptakan benda-benda mati lainnya. Adapun terhadap suatu perbuatan manusia itu hanyalah majazi (kiasan), sebagaimana hal itu dinisbahkan kepada benda-benda mati.[45]
Ayat-ayat yang dikemukakan aliran Jabariyah adalah sebagai berikut Q.S. al-S}affa>t/37: 96:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Terjemahnya:
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.[46]

فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلَاءً حَسَنًا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[47]

Adapun alasan yang mendasari argumen mereka, sebagaimana Ibn Hazm pernah mempertanyakan kepada golongan Jabariyah. Maka mereka menjawab “jika Allah Maha bersifat Maha pelaku yang tidak ada sesuatu pun diantara makhluk-Nya, yang menyerupai sifatnya itu, maka tidak ada sesuatu pun diantara makhluk-Nya yang berpredikat sebagai pelaku”. Bahkan dalam memperkuat argumen mereka ini, secara praktis mereka katakan “pengertian menisbahkan sesuatu perbuatan kepada manusia sama dengan ungkapan bahwa “si Zaid mati” yang sebenarnya Allah-lah yang mematikan dan “bangun sendiri” yang sebenarnya Allah-lah yang mendirikannya.[48]
Paham Jabariyah lebih menekankan pada perbuatan manusia yang hanya sebatas sebagai titipan Tuhan. Segala fasilitas yang digunakan, baik sesuatu yang melekat pada dirinya demikian pula terhadap apa yang melingkupinya. Maka sangat jelas memberikan indikasi teologis horizontal dan sangat minim memberikan indikasi pada teologis vertical. Paling tidak, hanya sebatas menjalankan fungsi selaku hamba dengan hamba dalam batas-batas tertentu.
Secara umum Jabariyah dapat ketahui dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2)      Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3)      Ilmu Allah bersifat h}udus\ (baru).
4)      Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafalkan.
5)      Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6)      Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7)      Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8)      Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
2.    Qadariyah
a.    Latar Belakang Lahirnya Qadariyah
Qadariyah dari bahasa arab, yaitu dari kata “qadara” yang artinya kemampuan dan kekuatan.[49] Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannnya atas kehendaknya.[50]
Term Qadariah mengandung dua arti, pertama: orang-orang yang memandang manusia berkuasa atas dan bebas dalam menentukan perbuatan-pebuatannya. Dalam arti itu Qadariyah berasal dari kata qadara, yakni berkuasa. Kedua: orang-orang yang memandang nasib manusia telah ditentukan dari azal. Dengan demikian qadar disini berarti menentukan, yakni ketentuan Allah atau nasib.[51]
Kiranya timbul keraguan bagi ahli sejarah, mengapa aliran ini disebut dengan aliran al-Qadariyah, padahal mereka meniadakan (menafikan) qa-dar Tuhan? Sebagian ahli sejarah mengatakan, penyebutan demikian tidaklah mengapa, sebab banyak juga terjadi menyebutkan sesuatu justru dengan sebutan kebalikannya. Sebagian ahli yang lain mengatakan, bahwa karena mereka meniadakan qadar Tuhan dan menetapkannya pada manusia serta menjadikan segala perbuatan manusia tergantung pada kehendak dan kekuasaan manusia sendiri, maka mereka disebut dengan kaum atau aliran Qadariyah.[52] Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan free will atau free act.[53]
Sebagaimana tidak jelasnya kapan paham Jabariyah itu mulai dibicarakan dalam teologi Islam, paham Qadariyah pun mengalami hal seperti itu. Muh}ammad bin Syu‘aib yang memperoleh informasi dari al-Auza‘i mengatakan, bahwa mula pertama orang yang memperkenalkan paham Qadariyah dalam kalangan orang Islam adalah. Ma‘bad bin Khalif al-Juhani al-Basri dan Ghailan al-Dimasyqi memperoleh paham tersebut.[54]
Lahirnya paham Qadariyah dalam Islam dipengaruhi oleh paham bebas yang berkembang dikalangan pemeluk agama Masehi (Nestoria). Dalam hal ini Max Hortan berpendapat, bahwa teologi Masehi di dunia Timur pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan pertanggungan jawabnya yang penuh dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil mengenai pendapat ini memuaskan golongan bebas Islam (Qadariyah), maka mereka merasa perlu mengambilnya.[55]
Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran mazhab ini banyak persamaannya dengan ajaran Muktazilah. Mereka berpendapat sama tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada‘ dan qadar Allah swt.
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al-Juhani al-Bis}ri  dan Gaila>n al-Dimasyqi, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M) kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad al-Juhani berguru pada Hasan al-Bas}ri, sebagaimana Was}il bin At}a’; tokoh pendiri Muktazilah, Jadi, Ma’bad termasuk tabiin atau generasi kedua sesudah Nabi, sedangkan Gaila>n semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maula (pembantu) Usman bin Affan. kelihatannya paham ini diambil dari seorang Kristen yang masuk islam di irak, dan ma’bad memasuki dunia politik  dan memihak Abd al-Asy’as gubernur Sajistan.[56]
Sejarah menunjukkan dengan pasti bahwa bani Umayyah telah mangalihkan persoalan qad}a dan qadar menjadi suatu pegangan yang amat kokoh setelah mendukungnya dengan segala daya dan kekuatan, sambil menumpas habis-habisan semua pendukung aliran kebebasan manusia, dengan dalih bahwa itu  merupakan kepercayaan yang berlawanan dengan akidah Islam. Sehingga disuatu saat tersiar secara luas pameo yang menyatakan bahwa jabr dan tasybih adalah dua pikiran yang berasal dari bani Umayyah, sedangkan ‘adl dan tauhid dua pikiran yang berasal dari Alawiyin (pengikut Abi Thalib).[57]
Orang yang paling dahulu melontarkan masalah ikhtiyar manusia ketengah-tengah masyarakat untuk dibahas, seraya mempertahankan akidah tentang kebebasan ini di masa kekuasaan bani Umayyah ialah seoarng dari Irak bernama Ma'bad al-Juhani dan seoarang lagi dari Syam bernama Gailan Al-Damasyqi. Kedua orang ini dikenal dengan sifat istikamah, ketulusan dan keimanan yang kuat. Ma'bad ikut dalam pemberontakan bersama Ibn al-Asy'as\ dan kemudian dibunuh oleh al-Hajja>j (seorang pejabat bani Umayyah) sedangkan Gaila>n setelah pahamnya itu sampai ke pendengaran Hisyam bin Abdul Malik, segera dijatuhi hukuman kejam potong kedua tangan dan kaki kemudian disalib.
Menurut al-Z|ahabi dalam kitab Miza>n al-l'tida>l yang dikutip oleh Ahmad Amin, bahwa Ma'bad al-Juhani adalah seorang tabiin yang dapat dipercaya (baik), tetapi dia telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu mengatakan tentang tidak adanya qadar bagi Tuhan.[58] Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak. Suatu kali dia memasuki lapangan politik untuk menentang kekuasaan Bani Umayah dengan cara memihak kepada Abdurrahman ibn Asy'as, Gubernur Sajistan. Hal ini mengakibatkan peristiwa yang tragis baginya, sebab ketika dia bertempur dengan al-Hajja>j dia terbunuh. Hal ini terjadi pada tahun sekitar 80 H.[59] Sebagian orang men­gatakan kematiannya disebabkan oleh masalah politik, tetapi banyak juga orang yang mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh kezindikan-nya (paham Qadariyahnya).[60]
Adapun Gaila>n al-Dimasyqi (Abu Marwa>n Gailan ibn Muslim) adalah penyebar paham Qadariyah di Damaskus. Dia seorang orator, maka tidak heranlah jika banyak orang yang tertarik untuk mengikuti pahamnya.[61] Dalam menyebarkan pahamnya, dia mendapatkan tantangan dari Khalifah al-Adil Umar ibn Abd al-Aziz, Setelah khalifah mangkat dia meneruskan penyebaran pahamnya hingga pada akhirnya dia dihukum bunuh oleh Khalifah Hisyam ibn Abd al-Malik ibn Marwan.[62] Sebelum dilaksanakan hukum bunuh, sempat diadakan perdebatan antara Gaila>n dengan al-Auza'i yang dihadiri dan disaksikan oleh Khalifah Hisyam.[63]
Motif timbulnya paham Qadariyah ini, menurut hemat penulis disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, faktor ekstrem yaitu agama Nasrani, di mana jauh sebelumnya mereka telah memperbincangkan tentang qadar Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua, faktor intern, yaitu merupakan reaksi terhadap paham Jabariyah dan merupakan upaya protes terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah yang bertindak atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan.
Paham Qadariyah yang disebarluaskan oleh dua sekawan ini banyak mendapat tantangan. Selain penganut paham Jabariyah, penguasa yang berwenang ketika itu, juga oleh generasi terakhir dari para sahabat, seperti Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Abu Hurairah, ibn Abbas, Anas ibn Malik dkk. Bahkan mereka menghimbau kepada generasi penerusnya, agar tidak mengikuti paham Qadariyah, tidak usah menyembahyangkan jenazah-jenazahnya dan tidak perlu membesuknya jika mereka sakit.[64] Hal demikian dapat dimaklumi, sebab menurut pendapat mereka, berdasarkan hadis yang diterimanya, bahwa kaum Qadariyah merupakan majusi umat Islam, dalam art! golongan yang tersesat.
Apakah dengan kematian tokoh-tokohnya dan besarnya gelombang tantangan terhadapnya, kemudian paham Qadariyah ini mati atau terhenti? Memang benar secara organisasi/aliran mereka tidak berwujud lagi, tetapi eksistensi ajarannya masih tetap berkembang, yaitu dianut oleh kaum Muktazilah.[65]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.
b.    Tokoh-tokoh Qadariyah dan Ajarannya
Gailan al-Dimasyqi berpendapat, bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan balk atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.[66]
Al-Nazam salah seorang pemuka Qadariyah mengatakan, bahwa manusia hidup itu mempunyai istit}a>‘ah. Selagi manusia hidup, dia mempunyai istit}a>‘ah (daya), maka dia berkuasa atas segala perbuatannya.[67] Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di sini nyatalah bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paham Jabariyah.[68]
Pembahasan ajaran ini, kiranya lebih luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah; sebab sebagaimana diketahui paham Qadariyah ini juga dijadikan salah satu ajaran Mu'tazilah. Sehingga ada yang menyebut Muktazilah itu dengan sebutan Qadariyah.
Al-Jubba>‘i mengatakan, bahwa manusialah yang menetapkan per­buatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum adanya perbuatan.[69] Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jabba>r,
Untuk memperkuat pendapatnya, Abd al-Jabba>r mengemukakan beberapa argumen, baik bersifat rasional maupun nas, Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa perbuatan manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin berbuat sesuatu, maka tidaklah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun dia menginginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan terjadi, sungguhpun dia sangat tidak menginginkannya.[70]
Di antara ayat yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya ada-lah ayat 17 surat al-Sajadah yang berbunyi sebagai berikut:
Abd al-Jabba>r menyatakan, sekiranya perbuatan manusia perbuatan Tuhan, maka ayat ini tidak ada artinya, sebab ini berarti bahwa Tuhan memberi pahala atas dasar perbuatan seseorang yang pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, agar ayat ini tidak membawa kepada kebohongan, maka perbuatan tersebut harus dipastikan sebagai perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti majazi.
Selain ayat tersebut, masih banyak ayat yang digunakan oleh kaum Qadariyah (Muktazilah) untuk memperkuat argumennya. Sebagian ayat-ayat al-Qur'an tersebut adalah sebagai berikut:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Terjemahnya:
Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya. (Q.S. al-Mudas\s\ir/74: 8)[71]
Begitu juga ayat Q.S. al-Muzammil/73: 19:
إِنَّ هَذِهِ تَذْكِرَةٌ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلًا
Terjemahnya:
Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.[72]
            Dan juga dalam Q.S. al-Nisa’/4: 111:
وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Terjemahnya:
Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.[73]
Ajaran Qadariyah dan berbagai argumen yang telah dipaparkan yang baru lalu memberi kesan, bahwa manusia dalam mewujudkan segala perbuatannya bebas sebebas-bebasnya. Apakah benar demikian? kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan manusia itu dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri.
Sesungguhnya dalam paham Qadariyah atau Muktazilah, manusia bebas dalam berkehendak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia sendiri, umpama saja manusia datang ke dunia ini bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketahuinya telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut, tiap orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi bagaimanapun, sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia sesuai dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat dirubah oleh manusia. Manusia harus tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya adalah membakar. Manusia tak dapat merubah naluri ini. Yang dapat dibuat manusia adalah membuat atau menyusun sesuatu yang tak dapat dimakan api
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah me-milih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham Qadariyah bisa disalah artikan meng-andung paham, bahwa manusia bebas sebebas-bebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada haki-katnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.[74]
B.   Kejabariyahan dan Keqadariahan dalam Dunia Islam Masa Kini
Masalah teologi dalam Islam telah melewati sekian banyak tahapan sejarah umat manusia. Dari abad klasik hingga abad posmodernisme sekarang wacana teologi Islam nyatanya tidak terlalu beranjak jauh dari bentuk lahirnya, baik tema maupun bentuk metodologinya. Perdebatan transendental spekulatif mengenai sifat Tuhan, kebebasan manusia, apakah al-Qur’an mahluk atau bukan tetap saja menjadi tema pokok dalam wacana teologi Islam. Hal ini bisa dipahami karena tema-tema pokok teologi berdasar pada masalah tersebut. Tetapi masalahnya adalah mengapa wacana teologi dalam Islam tidak beranjak dari tema-tema tersebut menuju pada tema yang lebih historis social, yang lebih dekat pada sisi praktis kehidupan manusia sekarang, misalnya tentang HAM, kemiskinan, demokrasi, kapitalisme, globalisasi ekonomi, pemanasan global, masalah perempuan dan lain sebagainya.
Idealnya, seharusnya pengetahuan teologi dapat berdaya guna bagi kehidupan manusia sebab fungsi utama dari keilmuaan teologi adalah mengarahkan manusia pada kehidupan yang baik dan benar. Dalam merespon tujuan tersebut wacana teologi wajib mengikuti dinamika zaman, sebab jika tidak demikian, maka teologi dikatakan tidak fungsional terhadap daya hidup umat. Dengan demikian wacana teologi harus berbanding lurus dengan sisi sejarah dan realitas umat.
Pengembangan wacana teologi dari wacana dasarnya telah dilakukan oleh beberapa kalangan terbatas, semisal apa yang dilakukan oleh Hasan Hanafi dengan transfomasi teologi dari wacana transenden menuju wacana revolusi praktis untuk menggerakkan masyarakat Islam untuk mendapatkan kembali kejayaan sosialnya seperti yang pernah tecapai pada masa kejayaan Islam sebelumnya. Demikian juga apa yang serukan oleh Fazlurrahman, seorang pemikir Islam yang terusir dari Pakistan, kampung halamannya sendiri, menyatakan perlunya rekonstuksi sistematis pada bangunan keilmuan teologi Islam yang ada sekarang.[75] Upaya-upaya perubahan, baik metode maupun tema teologi Islam telah diusahakan oleh pemikir-pemikir Islam neo modernism, sekalipun hanya dalam kalangan terbatas.
Di antara usaha-usaha demikianlah, tema teologi Islam seharusnya menemukan kembali relevansinya. Jika dinamika tersebut diamati dimanakah posisi paham-paham teologi Islam di masa kini? Dan bagaimana seharusnya paham-paham tersebut berlaku? Dan di mana relevansi paham-paham tersebut dalam era masa kini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya dimulia dari tinjauan epistemologi paham atau aliran dari teologi yang dimaksud. Dalam hal ini penulis telah menguraikan dengan singkat masalah epistemologi dari paham Jabariyah maupun qadariyah. Dari pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa baik Jabariyah maupun Qadariyah mempunyai peristiwa epistemologi yang berbeda. Epistemologi yang berbeda akan melahirkan cara pandang dan aksi yang berbeda pula. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam pembahasan ini adalah pendekatan kronologis di masa pemerintahan khalifah Alma’mun, di mana pada masa tersebut aliran teologi muktazilah diadopsi sebagai paham resmi negara dan dapat dilihat beberapa kemajuan yang terkait dengan dimensi pemahaman teologi liberal tersebut. Pada masa itu perkembangan ilmu pengetahuan mengalami ekspansi hingga melewati batas-batas normative tradisi Islam sebelumnya. Meskipun secara politis ada beberapa masalah, dintaranya kasus mihna. Tetapi pengaruh aliran teologi muktazilah yang berpaham qadariah jelas memiliki implikasi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa tersebut.
Terlepas dari perbedaan antara paham Jabariyah dan paham Qadariyah dalam memahami kewenangan Tuhan, di mana tema semacam ini dianggap sebagai tema pokok teologi Islam klasik, tetapi implikasi kedua paham ini akan ditinjau pada sisi realitas empirik umat Islam. Tentu saja pendekatan ini telah dianggap cukup transformatif meskipun tetap saja masi diaggap kurang maksimal, karena realitas maju mundurnya umat Islam pada masa kini belum tentu digerakkan oleh pemahaman apakah mereka berpaham Jabariyah ataukah berpaham Qadariyah. Atinya korelasi paham teologi dengan gerak sejarah umat Islam abad post modern sekarang sangat komplek untuk ditentukan. Hal itu terjadi karena abad ini adalah abad social-ekonomi dan politik yang penuh dengan siliweran isme-isme.
Realitas ini membuktikan bahwa daya fungsi teologi Islam di masa sekarang, baik Jabariyah maupun Qadariyah dan paham lainnya, tidak maksimal khususnya dikalangan masa Islam. Hal ini dikarenakan perkembangan wacana teologi Islam mengalami stagnasi pemikiran. Amin Abdulah melihat masalah tersebut diakibatkan oleh beberapa factor. Yang petama, adalah hilangnnya daya kritis umat terhadap masalah-masalah keagamaan termasuk soal teologi. Kedua, akibat trauma perseteruan pemikiran al-Gazali dan Ibnu Rusyd. Ketiga akibat dominasi pemikiran syariah formalistik.[76] Dan tidak berkembangnya pemikiran filosofis dikalangan ummat Islam yang menghilangkan daya nalar umat dalam melahirkan ide-ide segar. Keadaan ini menjadikan pemikiran teologi ummat Islam stagnan ditempat dan kehilangan tema di masa kini.
Dalam posisi demikianlah persoalan paham teologi dipandang dan dicermati. Demikianpun tentang teologi Jabariyah maupun Qadariyah, tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut. Peranan kedua model teologi ini akan dirasakan jika tema-tema yang diangkat bersentuhan langsung dengan problem massa Islam modern. Berbagai masalah sosial kemanusian yang mengemuka harus ditransformasikan lewat isu-isu teologi masyarakat. Sebab bagaimanapun potensi menggerakkan massa Islam harus lahir dari inti kepercayaan agamanya. Dan sebaliknya pula roh ajaran agama ini harus dapat mengubah dan mengantar umatnya ke arah yang lebih baik.
Tawaran dari persoalan ini adalah:
1.      Harus dilakukakan upaya kritis terhadap teologi Islam
2.      Harus ada rekonstruksi pemahaman teologi Islam
3.      Harus ada transfomasi teologi dari transcendent spekulatif menuju teologi fungsional.
4.      Wacana teologi harus terus berkembang baik tema maupun metodenya
5.      Umat Islam harus terus kritis dan membuka wawasan berpikir dan berani menerima gagasan globalisasi pemikiran dari kelompok manapun (pluralisme).
C. Analisis terhadap Paham Jabariyah dan Qadariyah
1.      Pasrah tanpa Usaha
Jabariyah mengganggap bahwa hidup ini mengalir seperti air mengalir, pasrah tanpa ada usaha dan merasa tidak perlu ada usaha untuk melakukan perubahan. Paham ini tumbuh berkembang saat keadaan arab mengalami alam yang sangat ganas serta masih rendahnya teknologi sehingga paham ini sangat diterima pada masyrakat arab pada saat itu, tetapi jika dilihat keadaan arab  bersahabat barangkali lain pula ceritanya mereka pasti terus melakukan usaha agar keadaanya semakin baik,tetapi perlu diketahui juga dengan adanya paham Jabariyah  membuka peluang paham-paham lain berkembang pula berdasarkan teologi masing-masing berusaha menjadi teologi yang moderet dan tentu saja membawa pencerahan terhadap teologi yang dianggap terlalu ekstrim termasuk Jabariyah.
Walaupun demikian ketika paham Jabariyah banyak ditinggalkan oleh kaum muslim arab pada saat itu karena kekstrimannya, dan beranjak kepahaman lain. Barangkali jika tidak ada paham Jabariyah yang terkenal dengan Fatalismnya tentu saja tidak akan ada lahir aliran kebalikan dari fatalism seperti Qadariyah walaupun diketahui kelahiran teologi ini hampir bersamaan atau dengan paham teologi lain.
2.      Perkembangan Jabariyah Abad Modern
Secara faktual Jabariyah, bila dilihat dari masyarakat Islam sendiri pada zaman modern sekarang walau telah lahir paham-paham yang diannggap moderet  masih banyak yang mempraktekkan paham ini, yaitu sikap pasrah terhadap ketentuan Allah, teteapi kami menganalisis hal tersebut berebeda dengan Jabariyah tempo dulu. Adapun praktek yang menggunakan Paham ini setelah dianalisis Paham  kami menamainya Jabariyah Kontemporer, pasrah tetap dalam usahanya.
3.      Jabariyah yang Realistis menghadapi  hidup tetapi  kurang usaha
Walaupun demikian paham Jabariyah tetap saja mempunyai kekurangan dalam mengahadapi kehidupan ini yeng berasal dari teologi paham jabariyah itu sendiri yang terlalu berlebih-lebihan dalam mengahdapi situasi apapun sehingga kepasrahan tanpa adanya usaha tentulah akan berakibat buruk. Padahal dalam al-Qur’an diterangkan Allah berkata dalam firmanNya yaitu Q.S. al-Ra‘d/13: 11:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذا أَرادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوْءاً فَلا مَرَدَّ لَهُ وَما لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ والٍ
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[77]
Tentu saja, ayat tersebut jelas memberi nuansa baru bagi paham Jabariyah yang terlalu ekstrim terhadap Fatalismnya. Barangkali itu saja analisis dan kritikan  terhadap paham ini. sebab paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) sesuai pemahaman masing-masing atas nas-nas agama (al-qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad) dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Tidak ada sesuatu yang lebih mengganggu dan menyakitakan jiwa seseorang daripada perasaan bahwa ia hidup di bawah bayang-bayang sebuah kekuasaan absolute yang amat kuat dan mencekram segala sesuatu dalam kehidupannya serta mengarahkannya kemana saja sesuai dengan kehendaknya, karena seperti dikatakan orang, kemerdekaan adalah nikmat yang palng mahal harganya, sedangkan perasaan terjajah adalah rasa sakit yang paling memedihkan. Dengan begitu manusia merasa dirinya terinjak-injak dan kehendaknya tercabik-cabik oleh kekuatan absolute yang menjajahnya itu. Tak ubahnya seperti seekor domba yang ditarik oleh sang pengembala yang menguasai tidur, makan, hidup dan matinya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bagai bara api yang menyala-nyala dalam lubuk hatinya serta rasa askit tak terhingga, menyerupai penderitaan seorang yang menyerah pasrah dalam cengkraman seekor singa yang garang dan buas, setelah menyadari bahwa tidak ada lagi jalan keselamatan baginya dari cengkraman kuat yang sepenuhnya mengendalikan dirinya itu.



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Paham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirha>m dan Jahm bin Safwa>n mewakili kelompok eksterim. Sedang Husain al-Najja>r dan Dira>r bin ‘Amr mewakii kelompok moderat. Dalam perkembangannya, paham Jabariyah dengan kedua cabangnya berintegrasi dengan paham Asy'ariyah.
Qadariyah adalah salah satu paham yang menyatakan bahwa manusia dalam menentukan perbuatannya, memiliki kebebasan kekuasaan. Perbuatannya tersebut diwujudkan atas kehendak dan dayanya sendiri. Oleh karena itu pantaslah kiranya, jika orang mendapat pahala atau siksa. Namun demikian, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan perbuatan-per-buatannya, Sebab justru mereka dibatasi oleh adanya hukum alam (sunatullah), dan tak dapat disangkal lagi bahwa hukum alam itu adalah kehendak dan kekuasaan Tuhan,
Aliran baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada al-Qur'an. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan pebedaan pendapat dalam Islam.
Jabariyah dan Qadariyah pada masa kini tidak lagi berwujub sebagai aliran yang mempunyai pengikut setia dan menyebut diri mereka sebagai pengikut aliran tersebut, akan tetapi bila dilihat dari segi paham yang dianut oleh masyarakat Islam saat ini, Jabariyah dan Qadariyah masih banyak di praktikkan.
B.   Implikasi
Paham Jabariayah dan Qadariyah dua aliran yang kelihatannya sangat berlawanan, Jabariyah menghilangkan usaha manusia, sedangkan Qadariyah menghilangkan campur tangan Tuhan dalam urusan manusia, akan tetapi pada prinsipnya tidak seorangpun yang bisa mengamalkan seratus persen salah satu aliran tersebut, sebab dalam sejarahnya orang yang paling Jabariah seperti sahabat Rasul yang konsen hidup di masjidpun mengeluh tentang kehidupan mereka, begitu pula orang yang sangat percaya akan kemampuannya sendiri seperti Firaun juga harus bersikap pasrah ketika terdesak oleh keadaan pada saat itu berupa ditenggelamkan dalam laut sehingga di meminta pertolongan Tuhan.
Sehingga sebagai manusia yang punya keterbatasan sebaiknya mengakomodir kedua aliran tersebut dengan cara mengambil jalan tengah seperti halnya aliran Maturidiyah, yaitu berusaha sambil berdoa.
Meskipun demikian apapun pilihan manusia terhadap kedua aliran tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan bagi penganut Jabariah mereka akan kenyang dengan kebahagian dan kesejehteraan rohani, sedangkan Qadariyah akan sejahtera Jasmani.



Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodenisme. Jogyakarta; Putaka Pelajar, 2009.
Amin, Ahmad. Fajr al-lsla>m. Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, 1969.
Anwar, Rosihan. Ilmu Kalam. Bandung: Puskata Setia, 2006.
Al-Asy'ari, Abu> al-H{asan. Maqa>la>t al-lsla>miyin wa Ikhtila>f al-Mus}ali>n. Kairo: Maktabah Nahdiyah al-Mis}riyah, 1969.
Al-Azdi>, Ali bin al-H}asan al-Hunai>. al-Munjid fi> al-Lugah. Kairo: ‘A<lim al-Kutub, 1988.
Al-Bagda>di>. al-Farq bain al-Fira>q. Mesir: Muh}ammad Ali S}ubal wa Awla>dih, t.th.
Al-Bukha>ri>, Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H/1987 M.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd Li T{iba>‘ah al-Mus}h}af al-Syari>f, 1418 H.
Al-Ghurabi, Ali Mus}t}afa. Tarikh al-Fira>q al-Isla>miyah. Mesir: Maktabah wa Mat}b’ah Muhammad Ali S}abih wa Alaudin, t.th..
Al-Gurabi, Ali Must}afa.> Ta>rikh al-Fira>q al-lslamiyah. Mesir: Muhammad AliShubaih, t.th.
Hadariansyah Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam. Banjarmasin: Antasari Press, 2008.
Hadi, Muhammad A. Manhaj Dan Aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah Menurut Paham Salaf.  Jakarta:Gema Insani Press, 1994.
Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Hanafi, A. Theologi Islam (llmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
Majid, Nurkhalis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Mu>sa>, Jala>l Muh}ammad. Nasy'a>t al-Asy'ariyah wa Tat}a>wuruha. Bairut: Dar al-Kitab at-Lubnani, 1975.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Ul Press, 1987.
Al-Qasimi, Jama>l al-Din. Ta>rikh al-Jahmiyah wa al-Mu'tazilah.  Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 1979.
Rahman, Fazlur. Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme Islam. Disunting Ebrahim Moosa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Al-Syahrasta>ni>, al-Mila>l wa al-Niha>l. Bairut: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Taftazani, Abu> al-Wafa>. ‘llm al-Kala>m wa Ba'd} Musykila>tih.  Kairo : Da>r al-S|aqa>fah, 1979.
Tim. Enseklopedi Islam, "Jabariyah". Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997.


[1]Ahmad Amin, Fajr al-lsla>m  Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Araby, 1969), h. 285.
[2]Lihat Nurkhalis Majid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 14.  Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi Tentang Fundamentalisme Islam, disunting Ebrahim Moosa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 62.
[3]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan  (Jakarta: Ul Press, 1987), h. 30.
[4]Ali bin al-H}asan al-Hunai> al-Azdi>, al-Munjid fi> al-Ligah, Juz I (Kairo: ‘A<lim al-Kutub, 1988), h. 162.
[5]Al-Syahrasta>ni>, al-Mila>l wa al-Niha>l (Bairut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 115.
[6]Ali Mus}t}afa al-Ghurabi, Tarikh al-Fira>q al-Isla>miyah (Mesir: Maktabah wa Mat}b’ah Muhammad Ali S}abih wa Alaudin, t.th.), h. 13.
[7]Ibid.
[8]Riwayat tersebut terdapat dalam riwayat Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz. VII (Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 130.  Satus hadisnya sahih.
[9]Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 239.
[10] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), h. 64.
[11]Harun Nasution, Teologi Islam..... op.cit., h. 31.
[12]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madi>nah al-Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd Li T{iba>‘ah al-Mus}h}af al-Syari>f, 1418 H), h. 724.
[13]Depertemen Agama RI, h. 263.
[14]Ibid., h. 1006.
[15]Rosihan Anwar, op.cit., h. 64-65.
[16]Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80.
[17]Jamal al-Din al-Qasimi, Ta>rikh al-Jahmiyah wa al-Mu'tazilah  (Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 1979), h. 38.
[18]Jala>l Muh}ammad Mu>sa>, Nasy'a>t al-Asy'ariyah wa Tat}a>wuruha, Bairut: Dar al-Kitab at-Lubnani, 1975), h. 100.
[19]Ali Must}afa> al-Gurabi, Ta>rikh al-Fira>q al-lslamiyah, (Mesir: Muhammad AliShubaih, t.th.), h. 29.
[20]Ibid., h. 22. Lihat, Jamal al-Din al-Qa>sim, op. cit., h. 12.
[21]Ali Must}afa> al-Gurabi, op.cit., h. 29.
[22]Ibid.,
[23]Ahmad Amin, Fajr al-lsla>m  (Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, 1969), h. 285.
[24]Abu> al-H{asan al-Asy'ari, Maqa>la>t al-lsla>miyin wa Ikhtila>f al-Mus}ali>n, Juz I (Kairo: Maktabah Nahdiyah al-Mis}riyah, 1969), h. 213-214.
[25]Abual Wafa al-Taftazani, ‘llm al-Kala>m wa Ba'd} Musykila>tih  (Kairo : Da>r al-S|aqa>fah, 1979), h. 145.
[26]Al-Bagda>di>, al-Farq bain al-Fira>q, (Mesir: Muh}ammad Ali S}ubal wa Awla>dih, t.th.), h. 211-212.
[27]Jama>l al-Di>n al-Qasimi, op. cit., h. 17.
[28]Departemen Agama RI, op.cit., h. 343.
[29]Al-Syahrastani, op.cit., h. 88.
[30]Harun Nasution, Teologi Islam......,op.cit.,  h. 33.
[31]Ahmad Amin, op. cit., h. 287.
[32]Jalal Muhammad Musa, op.cit., h. 105.
[33]Ahmad Amin, log.cit.
[34]Abu al-Wafa al-Taftazani, op. cit., h. 148.
[35]AI-Santanawi, op.cit.,  h. 195.
[36]Ibid., h. 89.
[37]Ibid.
[38]Ibid.
[39]Abu al-Hasan al-Asy'ari, op. cit., h. 339.
[40]Al-Syahrastani, op.cit., h. 91.
[41]Harun Nasution, Teologi Islam.......,op.cit., h. 31-32.
[42]Al-Baghdadi, op.cit., h. 212.
[43]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (cet, I: Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 156.
[44]Harun Nasution, Teologi Islam......, op. Cit., h. 35.
[45]Dalam hal ini, perbuatan manusia tidak ada bedanya dengan air mengalir, pepohonan berbuah, matahari terbit dan terbenam, langit mendung, dam hujan turun. Pahala dan dosa adalah suatu keterpaksaan dan taklif (penbebanan tanggung jawab atas perbuatan manusia) juga bersifat keterpaksaan. Lihat  Abu> Zahrah, al-Maz\a>hib al-lsla>miyah (Mesir:  Maktabah al-Namuz\a>jiyah, t.th.),  h. 121.
[46]Departemen Agama RI., op.cit., .h. 724.
[47]Ibid.,  h. 264.  
[48]Abu Zahrah, op. cit., h. 121.
[49]al Munjid, op.cit., h. 436.
[50]Ibid, h. 436.
[51]Harun Nasution, Teologi Islam....., op.cit., h. 102.
[52]'Abu> Zahrah, op.cit., h. 186.
[53]Harun Nasution, Teologi Islam....., op.cit., h. 29.
[54]Al-Bagda>di, op.cit., h. 18.
[55]A. Hanafi, Theologi Islam (llmu Kalam) (Bandung: Bulan Bintang, 1962), h. 41.
[56]Harun Nasution, Teologi Islam......., op.cit., h. 32.
[57]Muhammad A Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah Menurut Paham Salaf  (Jakarta:Gema Insani Press, 1994), h. 183-184.
[58]Ahmad Amin, op.cit., h. 285.
[59]Abu al-Wafa al-Taftazani, op.cit., h. 135.
[60]Ahmad Amin, op. cit., h. 284.
[61]Ahmad Amin, op.cit.  h. 286.
[62]al-Bagda>di, op.cit., h. 19.
[63]Abu> Zahrah, op.cit., h. 189-190.
[64]al-Bagda>di, op.cit., h. 19-20.
[65]Abu> Zahrah, op.cit., h. 193.
[66]Harun Nasution, Teologi Islam....., op.cit., h. 31.
[67]Ali Mus}t}afa al-Gurabi, op.cit., h. 201.
[68]Ahmad Amin, op. cit., h. 287.
[69]Harun Nasution, Teologi Islam......., op.cit., h. 97.
[70]Ibid.,  h. 99.
[71]Departemen Agama RI, op.cit., h. 995.
[72]Ibid., h. 989.
[73]Ibid., h. 94. 
[74]Harun Nasution, Teologi Islam......, op.cit., h. 110-111.
[75] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Tronsformasi Intelektual, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1995), h. 83.
[76]Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodenisme, (Cet. IV; Jogyakarta; Putaka Pelajar, 2009) h. 37-44.
[77]Departemen Agama RI, op.cit., h. 370.



2 komentar:

weather station mengatakan...

pembahasannya bagus banget gan

timbangan digital mengatakan...

bagus banget nih makalahnya

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates