BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belang Masalah
Kehidupan manusia sudah sedemikian kompleks. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memicu manusia untuk selalu mengembangkan dirinya. Potensi-potensi yang ada dalam diri seseorang menjadi modal besar dalam pembentukan sumber daya manusia yang produktif. Tidak hanya semua ini dilakukan oleh para kaum pria tapi juga kaum wanita mulai berkiprah dalam mencapai tujuannya, khususnya dalam lingkungan publik. Kini, ambisi untuk menjadi sang pemimpin juga mulai gencar dilakukan oleh sebagian wanita. Namun, adanya teks-teks normatif memberikan beberapa interpretasi tentang boleh tidaknya seorang wanita berkiprah dalam urusan publik. Beberapa nas| al-Qur’an dan hadis mengemukakan kedudukan perempuan dan dinyatakan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Tidak ada diskriminasi antara pria dan wanita dalam nilai kemanusiaannya sebagai sesama manusia dan sebagai hamba Allah Swt.[1]
Salah satu hadis yang membutuhkan pemahaman secara komprehensif adalah hadis yang terkait dengan kepemimpinan seorang wanita, karena al-sunnah merupakan sumber kedua dalam menetapkan syariat hukum Islam maka masalah yang terkait ini sangat perlu mendapat perhatian dengan metode tahlili. Salah satu alasannya karena al-hadis tidak semuanya qath’i al-wuru>d (valid dari Rasulullah).[2] Oleh karena itu, dibutuhkan takhrij al-Hadis (pembuktian kevalidan) dan pemahaman yamg mendalam dengan menggunakan berbagai pendekatan, baik secara tekstual, interteks maupun kontekstual. Pascapenetapan status hadis, bukan berarti masalah hadis telah selesai, akan tetapi pendalaman dan pengkajian tentang maksud dan kandungan hadis juga tidak kalah pentingnya, sebab matan hadis terkadang diriwayatkan secara makna. Adapun hadis yang dikaji dalam makalah ini penulis membatasinya hanya pada riwayat Bukhari saja, hadis yang dimaksud adalah:
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه و سلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال ( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )
Untuk itulah, makalah ini membahas tentang sebuah hadis riwayat Abu> Bakrah mengenai kepemimpinan wanita yang terdapat dalam kitab-kitab hadis untuk dieksplorasi kandungan dan pesan ilahiyah yang terdapat dalam hadis Rasulullah saw. agar didapatkan pemahaman yang utuh dan komprehensif sehingga nilai-nilai yang dikandung dapat memberikan wawasan dan terus menjadikan hadis Rasulullah saw sebagai rahmatan li al-‘a>lami>n.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana takhrij hadis mengenai kepemimpinan wanita?
2. Bagaimana syarah hadis hadis tentang kepemimpinan wanita?
3. Apa pesan dan petunjuk hadis tentang kepemimpinan wanita?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Tentang Kepemimpinan Wanita
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال (لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة).[3]
B. Terjemahan
Us|ma>n ibn al-His|am menceritakan kepada kami, ‘Auf menceritakan kepada kami dari Hasan dari Abi> Bakrah berkata: Allah telah memberiku manfaat dengan kalimat yang aku dengar dari Rasulullah saw. pada perang jamal setelah saya hampir ikut serta dalam perang jamal lalu berperang bersama mereka. Abi Bakrah berkata “ketika sampai berita kepada Rasululah saw bahwa penduduk Persia telah mengangkat bintu Kisra sebagai ratu. Rasulullah berkata: tidak akan sukses suatu kaum jika mereka dipimpin oleh seorang wanita.”
C. Takhri>j al-Hadi>s
Berdasarkan pencarian terhadap kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadi>s, dengan cara mencari salah satu kata dalam teks hadis tersebut yaitu يفلح maka ditemukan hadis tersebut dalam beberapa kitab hadis, khususnya al-kutub al-tis’ah dengam teks sebagai berikut:
لا، لن يفلح قوم تملكهم امرأة، ولّو أمرهم امرأة، أسندوا أمرهم إلى امرأة: خ: معازى 82، فتن 18، ت: فتن 75، ن: قضاة 8، حم: 5 43، 51، 38، 47.[4]
Oleh karena itu, dapat di ketahui bahwa hadis yang menjelaskan tentang kepemimpinan wanita dalam konteks global terdapat dalam kitab-kitab sumber sebagai berikut:
1. S}ah}i>h} al-Bukha>ri> Karya al-Bukha>ri> kitab al-Maga>zi> bab Kita>b al-Nabi> saw. ila> Kisra> dengan teks:
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال (لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة)[5]
Dan kitab al-Fitan bab al-Fitnah al-lati> tamu>ju Kamauj al-Bahri dengan menggunakan teks:
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: لقد نفعني الله بكلمة أيام الجمل لما بلغ النبي صلى الله عليه و سلم أن فارسا ملكوا ابنة كسرى قال ( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )[6]
2. Sunan al-Nasa>i, kitab A<da>b al-Qud}a>h bab al-Nahy ‘an Isti’ma>l al-Nisa>’ fi> al-Hukm dengan menggunakan kalimat:
أخبرنا محمد بن المثنى قال حدثنا خالد بن الحرث قال حدثنا حميد عن الحسن عن أبي بكرة قال: عصمني الله بشيء سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم لما هلك كسرى قال من استخلفوا قالوا بنته قال لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة.[7]
3. Sunan al-Turmuz\i> Karya Imam al-Turmuz\i> kitab al-Fitan bab 75. dengan menggunakan teks:
حدثنا محمد بن المثنى حدثنا خالد بن الحرث حدثنا حميد الطويل عن الحسن عن أبي بكرة قال : عصمني الله بشيء سمعته من رسول الله صلى الله عليه و سلم لما هلك كسرى قال من استخلفوا ؟ قالوا ابنته فقال النبي صلى الله عليه و سلم لن يفلح قوم ولو أمرهم امرأة قال فلما قدمت عائشة تعني البصرة ذكرت قول رسول الله صلى الله عليه و سلم فعصمني الله به.[8]
4. Musnad Ah}mad, kitab Musnad Abi> Bakrah, dengan menggunakan teks:
حدثنا يحيى، عن عيينة ، أخبرني أبي، عن أبي بكرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لن يفلح قوم أسندوا أمرهم إلى امرأة.[9]
kitab Musnad Abi Bakrah, dengan menggunakan teks:
حدثنا أسود بن عامر، حدثنا حماد بن سلمة، عن حميد، عن الحسن، عن أبي بكرة، أن رجلا من أهل فارس أتى النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال : إن ربي قد قتل ربك، يعني كسرى، قال: وقيل له، يعني للنبي صلى الله عليه وسلم، إنه قد استخلف ابنته، قال: فقال: لا يفلح قوم تملكهم امرأة.[10]
kitab Musnad Abi Bakrah, dengan menggunakan teks:
حدثنا محمد بن بكر، حدثنا عيينة، عن أبيه، عن أبي بكرة، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لن يفلح قوم أسندوا أمرهم إلى امرأة.[11]
dan kitab Musnad Abi Bakrah, dengan menggunakan teks:
وبه، حدثنا مبارك، عن الحسن، عن أبي بكرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لن يفلح قوم تملكهم امرأة.[12]
Namun dalam makalah ini, penulis mempokuskan pembahasan pada hadis yang terdapat dalam S}ah}i>h{ al-Bukha>ri> dari riwayat al-H{asan dari Abi> Bakrah sesuai dengan tugas yang dibebankan, meskipun dalam pembahasan akan melibatkan hadis-hadis tersebut di atas.
Sedangkan perawi al-a’la> dalam hadis riwayat al-Bukha>ri> adalah Abu> Bakrah. Abu> Bakrah nama lengkapnya adalah Nafi’ ibn al-Ha>ris| ibn Kildah ibn ‘Amr Abu> Bakrah al-S|aqafi>. Dikatakan bahwa namanya adalah Masru>h, Na>fi’ ibn Masru>h. Ia adalah seorang sahabat Rasullah saw yang wafat pada tahun 52 H di Bas{rah. Diantara gurunya adalah Rasulullah saw dan diantara murid-muridnya adalah Ahnaf ibn Qais, Muhammad ibn Sirin, Hasan ibn Hasan ibn Yasar. Ia dikenal sebagai orang yang saleh, wara’, [13]
D. Hasil Takhri<j
Berdasarkan pengkajian terhadap hadis tersebut dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadi>s\ dan langkah-langkah takhri>j dapat diungkapkan bahwa hadis di atas, statusnya s}ah}i>h{ karena beberapa faktor, antara lain:
1. Semua perawi hadis tersebut dinilai s\iqah oleh para kritikus hadis.[14]
2. Hadis tersebut dianggap s{ah{ih oleh Syekh Alba>ni.[15]
3. Demikian juga Abu Isa al-Turmudzi menganggap hadis ini hasan s{ah{ih.[16]
E. Asba>b al-Wuru>d Hadis
Sebelum memahami makna hadis diatas, terlebih dahulu perlu diketahui asba>b al-wuru>dnya. Hal ini sangat diperlukan agar pemahaman terhadap teks hadis tidak dipahami secara tekstual saja. Hadis ini disampaikan oleh Nabi ketika mendengar berita dari salah seorang sahabat tentang pengangkatan seorang ratu di Persia yang bernama Buwaran binti Syairawaih ibn Kisra. Dia diangkat menjadi ratu karena saudara-saudara laki-laki terbunuh dalam perebutan kekuasaan, sedangkan keluarga kerajaan tidak ingin kekuasaan lepas dari keturunan raja-raja sebelumnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 9 H.[17]
Sedangkan alasan periwayatan Abu> Bakrah terhadap hadis ini adalah peristiwa al-jamal[18] di mana ‘A<isyah, T{alh{ah dan al-Zubair sepakat pergi ke Bas}rah untuk mengajak orang-orang menuntut kematian ‘Us\ma>n ibn ‘Affa>n kepada pemerintah yang berkuasa yaitu khalifah ‘A<li ibn Abi> T{a>lib agar melaksanakan hukum qis}a>s} terhadap pembunuh ‘Us\ma>n.[19] Kemudian Abu> Bakrah tidak mau bergabung dengan ‘A<isyah meskipun Abu> Bakrah sependapat dengan ‘A<isyah dalam perang al-jamal dengan alasan hadis di atas sehingga Abu> Bakrah memutuskan untuk tidak ikut campur dalam perang al-jamal.[20]
F. Makna Mufrada>t
نفعنى : merupakan akar kata dari ن-ف-ع yang menunjukkan lawan dari kata الضر (mud{arat, kerusakan atau kerugian).
ألحق : akar katanya adalah لحق (ل-ح-ق) yang menunjukkan makna kemampuan terhadap sesuatu dan sampainya sesuatu itu pada yang lainnya.[21]
أهل فارس : yaitu penduduk Persia.
ملكوا : akar katanya adalah ملك (م-ل-ك) yang berarti kekuatan pada sesuatu dan kebenarannya, sehingga kata ملكوا pada kalimat diatas bermakna “mereka telah menguatkan negeri Persia dengan mengangkat Bintu Kisra sebagai pemimpin”.
يفلح : Asalnya adalah huruf ف-ل-ح yang memiliki dua makna, yaitu bermakna شق (syaq) dan bermakna فوز وبقاء (kemenangan serta keabadian/ketetapan).[22]
امرأة : merupakan derivasi dari kata م-ر-أ dan bentuk ta’nis| dari kata امرئ (seseorang).
G. Pernyataan Penting
لقد نفعني الله Kalimat merupakan interpretasi Abu> Bakrah dalam melihat peristiwa yang terjadi dalam perang al-jamal dengan tidak ikut bergabung dalam kelompok ‘A<isyah, meskipun dia sependapat dengannya, sehingga Abu> Bakrah merasa bahwa Allah telah memberinya petunjuk dan manfaat atas keberadaan hadis Rasulullah saw.
قد ملكوا عليهم بنت كسرى kalimat ini bermakna bahwasanya penduduk Persia telah mengangkat Bintu Kisra sebagai pemimpin (ratu). setelah mereka keturunan laki-laki dari raja sebelumnya tewas dalam perebutan kekuasaan, sehingga mau tidak mau dialah yang harus menjadi pengganti ayahnya karena sudah menjadi kelaziman seorang digantikan oleh anaknya.
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة Kalimat ini bermakna bahwa tidak akan sukses suatu kaum jika mereka dipimpin oleh seorang wanita dengan menjadikannya pemimpin dalam wilayah umum, pemerintahan maupun sebagai qadi’.[23] Pernyataan ini kemudian dipahami beragam oleh kalangan umat Islam, sebagian mengatakan bahwa wanita sama sekali tidak bisa menjadi pemimpin, sebagian lagi mengatakan bahwa wanita bisa menjadi pemimpin dalam jabatan-jabatan tertentu, namun ada juga yang mengatakan bahwa wanita bisa menjadi pemimpin dalam segala bidang.
H. Pemahaman Hadis (Teks dan Konteks, Dalil Aqli dan Naqli, Pendapat Ulama dan Metode Pendekatannya)
Jika diamati secara tekstual hadis diatas dinyatakan bahwa suatu negara tidak akan menuai keberhasilan dan kesuksesan apabila yang memimpin mereka adalah seorang perempuan. Pemahaman seperti itu akan berimplikasi pada pendeskriditan secara besar-besaran terhadap kualitas kaum perempuan, sehingga dia tidak mempunyai hak sama sekali untuk mengatur negara.
Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan wanita secara
tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut
pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan
berbagai jabatan politis lainnya, dilarang. Selanjutnya, mereka
menyatakan bahwa perempuan menurut syara’ hanya diberi tanggung jawab
untuk menjaga harta suaminya. Oleh karenanya, al-Khattabi misalnya,
mengatakan hawa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah.[24]
Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berpendapat
bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga
tidak boleh menjadi kepala negara.[25] Sementara itu, para ulama lainnya
seperti Ibn Hazm, al-Ghazali meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara.
tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut
pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan
berbagai jabatan politis lainnya, dilarang. Selanjutnya, mereka
menyatakan bahwa perempuan menurut syara’ hanya diberi tanggung jawab
untuk menjaga harta suaminya. Oleh karenanya, al-Khattabi misalnya,
mengatakan hawa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah.[24]
Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berpendapat
bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga
tidak boleh menjadi kepala negara.[25] Sementara itu, para ulama lainnya
seperti Ibn Hazm, al-Ghazali meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara.
Selain itu, ada juga ulama yang menyatakan bahwa wanita tidak layak menjadi pemimpin karena ia kurang dan lemah akalnya sedangkan kepemimpinan membutuhkan sebuah kemampuan besar untuk keluar mengurusi umat dan wanita adalah aurat sehingga ia tidak layak menjadi pemimpin maupun hakim.[26] Selain itu, unsur kepemimpinan pada masa Rasulullah adalah sebagai pemimpin Negara, pemimpin shalat dan panglima perang. Sedangkan wanita tidak dapat memenuhi ketiga unsur kepemimpinan tersebut.
Adanya larangan wanita menjadi pemimpin disinyalir dari interpretasi sebagian ulama yang berlandaskan pada nas{ al-Qur’an bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.[27]
Sebagian ulama kontemporer memberikan pandangan berbeda mengenai ayat ini. Alasan-alasan yang diajukannya antara lain pertama, bahwa ayat ini berbicara tentang wilayah domestik, sehingga tidak bisa menjadi dasar bagi kepemimpinan yang berada di wilayah publik. Kedua, bahwa ayat ini tidak bersifat normatif tetapi bersifat informatif tentang situasi dan kondisi masyarakat Arab (dunia) saat itu, sehingga tidak memilki konsekwensi hukum. Ketiga, karena ada sejumlah ayat lain yang mengindikasikan kebolehan kepemimpinan perempuan seperti dalam surat al-Taubah ayat 71, yang memberikan hak wilayah kepada perempuan atas laki-laki. Kata wilayah bisa berarti penguasaan, kepemimpinan, kerja sama dan saling tolong menolong. Keempat, rijal dalam ayat ini tidak berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi sifat-sifat maskulinitas yang bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan.[28]
Ulama kontemporer berusaha memahami hadis ini secara konteks, hal ini dikarenakan jika ditilik secara langsung terdapat pemahaman yang seakan-akan kontradiktif sehingga membutuhkan adanya sinkronisasi pemahaman. Sebelumnya perlu diketahui latar belakang historis munculnya hadis ini yang mana ketika nabi menyampaikan hadis ini ia sebelumnya mendapatkan informasi bahwa seorang wanita (Bintu Kisra) telah diangkat menjadi pemimpin oleh negeri Persia menggantikan ayahnya. Padahal pada saat itu keberadaan perempuan sebagai pemimpin masih dinafikan, yang berhak menjadi pemimpin adalah laki-laki. Tentu hal ini menyalahi tradisi yang ada pada saat itu. Disamping itu, kemampuan yang dimiliki perempuan tidak sama dengan laki-laki, wanita Arab pada saat itu hanya mengurusi masalah keluarga dan tidak dipercaya menangani urusan umum atau kenegaraan dan memang tidak memiliki kapasitas keilmuan dalam wilayah publik. Dalam kondisi kerajaan Persia dan setting sosial seperti itulah, wajar Nabi SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan
sukses.[29] Disamping itu, mereka juga berpendapat bahwa ketika Nabi saw menyampaikan hadis tersebut ia tidak dalam kapasitas sebagai nabi atau rasul, akan tetapi perlu dipahami bahwa ia menyampaikannya dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa atau sebagai pribadi yang menginformasikan realitas sosial pada saat itu dan untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi jika kepemimpinan itu diserahkan kepada wanita.[30] Ada juga ulama kontemporer yang mengemukakan kebolehan kaum wanita menjadi pemimpin. Namun, ia dapat memimpin jika memiliki kemampuan dan keahlian yang sama dengan kemampuan yang dimiliki oleh laki-laki.[31] Syuhudi Ismail berpendapat bahwa ketika wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat sebagai pemimpin.[32] Pendapat lain juga menyatakan bahwa wanita sah-sah saja menjadi kepala Negara jika ia bukan kekuasaan tertinggi. Artinya, masih ada lembaga diatas kepala Negara atau presiden.
sukses.[29] Disamping itu, mereka juga berpendapat bahwa ketika Nabi saw menyampaikan hadis tersebut ia tidak dalam kapasitas sebagai nabi atau rasul, akan tetapi perlu dipahami bahwa ia menyampaikannya dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa atau sebagai pribadi yang menginformasikan realitas sosial pada saat itu dan untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi jika kepemimpinan itu diserahkan kepada wanita.[30] Ada juga ulama kontemporer yang mengemukakan kebolehan kaum wanita menjadi pemimpin. Namun, ia dapat memimpin jika memiliki kemampuan dan keahlian yang sama dengan kemampuan yang dimiliki oleh laki-laki.[31] Syuhudi Ismail berpendapat bahwa ketika wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat sebagai pemimpin.[32] Pendapat lain juga menyatakan bahwa wanita sah-sah saja menjadi kepala Negara jika ia bukan kekuasaan tertinggi. Artinya, masih ada lembaga diatas kepala Negara atau presiden.
Dengan beberapa argumen/pernyataan yang dikemukakan oleh ulama kontemporer diatas dapat dipahami bahwa hadis mengenai larangan perempuan menjadi pemimpin tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i bagi seorang pemimpin. Beliau hanya merespon pengangkatan Ratu Persia. Namun, ada beberapa hal yang menjadi kemungkinan jika hal ini dikaitkan dengan pendapat pribadi Nabi yaitu boleh jadi sabda Nabi tersebut merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Nabi yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat yang pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka.[33]
Oleh karena itu, Ini berarti hadis di atas harus dipahami secara kontekstual karena memiliki sifat temporal, tidak universal. Hadis tersebut hanya mengungkap fakta yang nyata tentang kondisi sosial pada saat hadis itu terjadi dan berlaku utnuk kasus negara Persia saja dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah ketentuan
syariat bahwa syarat pemimpin harus laki-laki. Sehingga dengan demikian wanita bisa menjadi pemimpin asalkan bukan pada level pemimpin yang memiliki otoritas mutlak yang membutuhkan syarat laki-laki seperti menjadi imam shalat.
syariat bahwa syarat pemimpin harus laki-laki. Sehingga dengan demikian wanita bisa menjadi pemimpin asalkan bukan pada level pemimpin yang memiliki otoritas mutlak yang membutuhkan syarat laki-laki seperti menjadi imam shalat.
Dari beberapa pernyataan jumhur ulama dan ulama kontemporer diatas, maka adapun posisi penulis dalam makalah ini lebih cenderung berpendapat sama dengan yang dinyatakan oleh ulama kontemporer bahwa hadis diatas harus dipahami secara kontekstual. Wanita sah-sah saja menjadi pemimpin asalkan memiliki kapabilitas dalam mengemban tugas kepemimpinan. Namun, yang perlu diingat adalah wanita harus mengingat batasan-batasannya serta tetap menjaga kemaslahatan.[34]
I. Pesan dan Petunjuk Hadis
Pesan dan petunjuk hadis tersebut di atas, baik yang tersirat maupun yang tersurat, secara global dapat dibuat poin-poin sebagai berikut:
1. Sebaiknya tidak ikut campur dalam masalah pertikaian bila bertentangan dengan syariat.
2. Boleh tidak ikut siapapun jika ada alasan yang kuat yang mendasarinya.
3. Informasi tentang penafian al-fala>h} kepada penduduk Persia.
4. Isyarat bahwa wanita dalam beberapa masalah tidak bisa mandiri, seperti pernikahan, perwalian dan sejenisnya.
5. Pertikaian di kalangan sahabat juga terjadi karena faktor politik dan penegakan hukum.
6. Informasi tentang Kemampuan dan keistimewaan Rasulullah saw.
7. Hendaknya wanita mendahulukan perannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga kemudian terjun dalam wilayah publik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas uraian materi tentang kepemimpinan wanita diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nasai, Turmudzi dan Ahmad, meskipun pada teksnya ada kalimat yang berbeda. Pada salah satu riwayat Imam Ahmad menggunakan lafaz لا يفلح قوم تملكهم امرأة. Dikarenakan hadis ini hanya terfokus pada riwayat Imam Bukhari maka status hadisnya adalah s{ah{ih mengingat bahwa Bukhari memiliki kredibilitas dalam hal periwayatan hadis dan merupakan kitab yang paling s{ah{ih setelah al-Qur’an.
2. Sesuai dengan pemahaman kontekstual maka hadis ini memberikan kebolehan kepada kaum wanita untuk memegang sebuah jabatan kepemimpinan asalkan ia memiliki kapabilitas dan kredibilitas. Hadis ini sifatnya temporal dan tidak dipahami secara tekstual apalagi melihat setting sosio-historisnya.
3. Adapun pesan dan petunjuk yang dapat dipetik dari hadis diatas diantaranya adalah bahwa dalam beberapa hal wanita memiliki batasan-batasan, pentingnya memahami kapasitas nabi pada saat menyampaikan hadis, kondisi sosio-historis maupun politik sangat mempengaruhi pemahaman terhadap sebuah teks hadis.
B. Implikasi
Makalah ini tentunya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan kepada para akademisi untuk tetap mengembangkan kajian ini. Hadis ini sangat menarik dikaji dan membutuhkan analisa dan pembahasan yang komprehensif karena permasalahan mengenai wanita selalu mengundang pembicaraan dan perbincangan yang hangat, apatah lagi di dunia modern seperti saat ini dimana kajian-kajian nas{ Qur’an dan hadis menjadi landasan argumen yang tidak henti-hentinya dibicarakan.
Oleh karena itu, terlepas dari kontroversi pemahaman maka umat Islam dituntut untuk terus mengembangkan potensi dan wawasan, khususnya perempuan yang ingin berkecimpun dalam wilayah publik maka hal ini tentunya perlu memperhatikan syarat-syarat sebagai pemimpin dan tetap memperhatikan batasan-batasan yang ada. Wallahu a’lam bi al-S{awa>b
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Abu al-Husain, Mu'jam Maqa>yis al-Lugah, Beirut: Da>r al-Fikr, 1423 H./2002 M.
Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal, Abu> ‘Abdillah, Musnad Ahmad ibn Hambal, Cet. I; Bairu>t: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.
Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi , Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
Al-‘Asqala>ni, Ah{mad ibn ‘Ali ibn H{ajar, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984 M.
_____________, Fath al-Ba>ri Syarah al-Bukhari>, Da>r al-Ma’rifah: Beirut, 1379 H.
Al-Banjari, Rachmat Ramadhana, Prophetic Leadership, Cet. I; Yogyakarta: Diva Press, 2008.
Al-Bukha>ri, Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Cet. III; Bairu>t: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987.
Ali, Nizar, Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-Hadis Musykil, Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008.
Al-Mana>wi, Abd al-Rau>f >, Faid{ al-Qadi>r, Cet. I; Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H./1994 M.
Al-Mizzi<, Abu> al-Hajja>j Yu>suf ibn al-Zaki<, Tahz\i<b al-Kama>l, Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.
Al-Mubarakfuri, Muhammad Abd al-Rahma>n, Tuh}fah al-Ah{waz\i>, Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, t. th.
Al-Nasa>i, Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ahmad ibn Syu’aib, Sunan al-Nasa>i, Cet. V; Bairut: Da>r al-Ma’rifah, 1420 H.
Al-Sa’i>di, Hazim Abdul Muta’a>li,> al-Naz{ariyah al-Islamiyah fi> al-Daulah, Cet.I; Kairo: Da>r al-Nahd{ah al-‘Arabiyah, 1397 H/1977 M.
Al-Syaukani, Muhammad ibn 'Ali ibn Muhammad, Nail al-Aut{{ar, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Al-Tibri>zi, Muhammad ibn ‘Abdullah al-Khat}i>b, Misyka>h al-Mas}a>bi>h}, Cet. III; Beirut: al-Maktab al-Isla>mi, 1405 H./1985 M.
Al-Turmuz\i, Muhammad ibn ‘I<sa>, Sunan al-Turmuz\i, Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Turas\ al-‘Arabi, t.th.
Asse, Ambo, Hadis Ahkam: Ibadah, Sosial dan Politik, Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2009.
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Weinsink, AJ., Alihbahasa Muhamamd Fu’ad Abd al-Ba>qi<, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadi>s\ al-Nabawi>, London: Maktabah Brill, 1936 H.
www.index.php.com. Posted 08 Juni 2009.
[1]Rachmat Ramadhana al-Banjari, Prophetic Leadership (Cet. I; Yogyakarta: Diva Press, 2008), h. 85.
[2]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2.
[3]Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz. IV (Cet. III; Bairu>t: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 1610.
[4]AJ. Weinsink, Alihbahasa Muhamamd Fu’ad Abd al-Ba>qi<,al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadi>s\ al-Nabawi>, Juz. IV (London: Maktabah Brill, 1936 H. ), h. 153.
[5]Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, op.cit., Juz. IV, h. 1610.
[6]Ibid. Juz. VI, h. 2600.
[7]Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa>i, Sunan al-Nasa>i, Juz. VI (Cet. V; Bairut: Da>r al-Ma’rifah, 1420 H.), h. 573.
[8]Muhammad ibn ‘I<sa> al-Turmuz\i, Sunan al-Turmuz\i, Juz. IV (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Turas\ al-‘Arabi, t.th.), h. 527.
[9]Abu> ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal, Juz. IV (Cet. I; Bairu>t: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.), h. 38.
[10]Ibid. Juz. V, h. 43.
[11]Ibid. Juz. V, h. 47.
[12]Ibid. Juz. V, h. 51.
[13]Abu> al-Hajja>j Yu>suf ibn al-Zaki< al-Mizzi<, Tahz\i<b al-Kama>l, Juz XXX (Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.), h. 5.
[14]Untuk lebih lengkapnya, lihat: Ah{mad ibn ‘Ali ibn H{ajar al-‘Asqala>ni, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, Juz. X (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984 M. ), h. 418., Juz. V, h. 57. Dan Juz. VII, h. 143. Abu> al-H{ajja>j Yu>suf ibn al-Zaki> al-Mizzi>, op.cit., Juz. XXX, h. 5., Juz.VI h. 5`17. dan Juz. XIX, h. 502.
[15]Koreksi Syekh al-Alba>ni terhadap kitab: Muhammad ibn ‘Abdullah al-Khat}i>b al-Tibri>zi, Misyka>h al-Mas}a>bi>h}, Juz. II (Cet. III; Beirut: al-Maktab al-Isla>mi, 1405 H./1985 M.), h. 340.
[16]Muhammad ibn ‘I<sa> al-Turmuz\i, op.cit., Juz. IV, h. 527.
[17]Muhammad Abd al-Rahma>n al-Mubarakfuri, Tuh}fah al-Ah{waz\i>, Juz. VI, (Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, t. th), h. 447.
[18]Disebut perang al-jamal karena ‘A<isyah menunggang unta dalam menghadapi ‘Ali ibn Abi> T{a>lib pada saat itu.
[19]Muhammad Abd al-Rahma>n al-Mubarakfuri, op.cit.
[20]Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Ba>ri Syarah al-Bukhari, >, Juz. XIII (Da>r al-Ma’rifah: Beirut, 1379 H), h. 56.
[21]Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu'jam Maqa>yis al-Lugah, Juz V (Beirut: Da>r al-Fikr, 1423 H./2002 M.), h 191.
[23]Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri, op.cit., Juz IV, h. 1610.
[24]Lihat Ibn Hajar al-Asqalani, op. cit., Juz VII, h. 128.
[25]Muhammad ibn 'Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Aut{{ar,
Jux VII (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.) , h. 298.
Jux VII (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.) , h. 298.
[26]Abd al-Rau>f al-Mana>wi>, Faid{ al-Qadi>r , Juz V (Cet. I; Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H./1994 M), h. 386.
[27]Q.S. al-Nisa (4): 34.
[28]Dikutip dari www.index.php.com. Posted 08 Juni 2009.
[29]Nizar Ali, Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-Hadis Musykil (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), h. 117.
[31]Ambo Asse, Hadis Ahkam: Ibadah, Sosial dan Politik (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2009), h. 204.
[32]Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 67.
[33]Dikutip dari situs internet http://www.acehinstitute.org.
[34]Penjelasan mengenai hal tersebut dapat dilihat lebih jelas pada kitab Hazim Abdul Muta’a>li al-Sa’i>di,> al-Naz{ariyah al-Islamiyah fi> al-Daulah (Cet.I; Kairo: Da>r al-Nahd{ah al-‘Arabiyah, 1397 H/1977 M), h. 195.
DOWNLOAD :
ZIDDU
MEDIAFIRE
2 komentar:
hmmm seperti itu toh kepemimpinan wanita secara umum
salah seorang mahasiswa TH+ yg sedang menyusun skripsinya tahun ini pernah dapat omelan dari ustad DR. Mustamin gara2 pernah mengangkat judul "Kepemimpinan Wanita dalam Al-Qur'an".. wkwkwk
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....