Ustas: Muhammad Agus, S.Th.I,. M. Th.I.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya pikir dan sikap kritis dalam pandangan Islam
merupakan suatu keharusan. Di samping banyak dalil -baik al-Qur’an maupun
hadis- yang mengingatkan manusia akan pentingnya mengoptimalkan akal, juga
budaya kritik ini memiliki ragam fungsi. Dalam ilmu ia berfungsi menghidupkan,
yakni dalam kerangka menguji validitas suatu ilmu, dan dalam budaya ia bisa
melabrak stagnasi sehingga bisa memunculkan suatu fenomena baru yang
mencerminkan suatu kebudayaan yang maju dan dinamis.[1]
Hanya saja perlu dilihat bahwa agama memang membuka pintu
pikir dan kritis secara lebar tapi bukan berarti bebas tanpa tanggung jawab.[2]
Bahkan berpikir kritis dikategorikan sebagai cara manusia untuk menemukan
kebenaran. Oleh karena itu, Allah mengecam keras orang-orang yang hanya
berpikir atau mengkritisi namun bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk
kepentingan yang bertentangan dengan kebenaran itu.[3]
Apabila tujuan dari sikap kritis adalah seperti itu –untuk
mencapai kebenaran- maka ini dapat dipahami bahwa mengkritisi sesuatu bukan
–selamanya- berarti sesuatu itu diragukan melainkan terkadang kritikan tersebut
didasari oleh upaya untuk memantapkan kebenaran yang dimilikinya.
Demikian pula dengan hadis Rasulullah saw, di mana dalam
sejarah penulisan dan pembukuannya mengalami banyak tantangan dan hambatan
termasuk di antaranya adalah merebaknya hadis-hadis palsu yang dinisbatkan
kepada Rasulullah sehingga melahirkan “beribu-ribu” tanda tanya akan kevalidan
dan keabsahan sebuah riwayat. Oleh karena itulah, kritik dan penelitian hadis
sangat penting untuk dilakukan. Hanya saja, penelitian tersebut tidak berarti
meragukan hadis Nabi Muhammad saw., tetapi melihat keterbatasan perawi hadis
sebagai manusia biasa, yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa
maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis
sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun matannya.[4]
Bahkan hadis bila diibaratkan dengan sebuah mutiara, apabila ia memang benar
dan betul-betul mutiara maka semakin digosok, ia akan semakin berkilau.
Berbicara mengenai penelitian dan kritik hadis setidaknya
obyek kajiannya dapat dibagi dua, yaitu: pertama, rangkaian terhadap sejumlah
periwayat yang menyampaikan riwayat hadis (sanad al-h{adi>s\|). Kedua,
materi hadis itu sendiri (matn al-hadi>s\). Penelitian terhadap kedua
obyek tersebut sangat berpengaruh kepada kualitas suatu hadis. Apatah lagi
memang, kesahihan hadis tidak hanya diukur dari sanadnya atau matannya saja
melainkan keduanya harus jalan bersamaan.
Kritik sanad[5]
dan kritik matan ibarat dua sisi mata uang, sehingga tidak bisa dipisahkan,
meskipun bisa dibedakan, sebab sesuatu disebut hadis jika terdiri dari sanad
dan matan. Karena itulah –sekali lagi- penelitian terhadap hadis, tidak boleh
hanya bertumpu pada sanadnya saja atau pada matannya saja, akan tetapi keduanya
harus jalan “berbarengan” sehingga seseorang dapat bersikap proporsional dengan
meletakkan hadis pada tempatnya sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.
Sikap ini harus dipertegas karena sebuah penelitian hadis
yang hanya menekankan pada aspek sanadnya semata maka akan berakhir pada
kelompok ekstrim yang cenderung bersikap sanad-oriented, yakni kualitas
sebuah hadis (maqbu>l dan mardu>d-nya) ditentukan oleh
kualitas sanadnya. Jika berdasarkan penelitian sanad, hadis itu dapat diterima,
maka mereka akan menerimanya. Selanjutnya jika mereka menemukan redaksi yang
ganjil berdasarkan prinsip-prinsip pokok Islam, maka mereka akan menggunakan
takwil[6],
meski terkadang takwil tersebut terkesan dipaksakan. Sikap inilah yang
dikritisi oleh Syeikh Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya al-Sunnah
al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>s{ karena dengan
penelitian yang cermat dengan tidak hanya bertumpu pada kritik sanad semata
ternyata ditemukan ada beberapa hadis yang dari segi sanadnya dinilai shahih
tetapi dilihat dari segi matan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dasar
Islam. Akibatnya, terkadang pemahaman-pemahaman yang telah mapan harus runtuh
berdasarkan kajian dengan dasar kritik matan itu.[7]
Sebaliknya, penelitian hadis yang hanya bertumpu pada kritik
matan saja juga akan berakhir pada sikap matan-oriented, yakni diterima
dan tidaknya suatu hadis hanya ditentukan oleh kualitas matannya. Sehingga jika
mereka menemukan matan yang menurut mereka tidak sejalan dengan pemahaman
keagamaan, mereka akan menolaknya. Akibatnya, tidak sedikit hadis yang dari
segi sanadnya bernilai shahih terpaksa ditolak. Padahal dengan takwil yang
wajar dan tidak dipaksakan, sebetulnya hadis itu bisa diterima.
Kekhawatiran munculnya kedua sikap ekstrim tersebut, di
samping upaya menjaga kemurnian dan keotentikan hadis Rasulullah maka para ulama
menetapkan beberapa kaidah dasar yang bisa dijadikan acuan dalam penelitian
hadis, baik dari aspek sanadnya maupun dari aspek matannya.
Sebagai wujud penerapan usaha menjaga validitas sebuah
hadis, maka makalah ini akan berbicara tentang apa dan bagaimana kritik hadis
tersebut khususnya pada sebuah riwayat yang disandarkan kepada nabi yang
berbunyi al-jumu’ah hajj al-masa>ki>n.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas serta tema kajian makalah ini yang berbicara tentang kritik
hadis al-jumu’ah h}ajj al-masa>ki>n maka pembahasan pokoknya akan
terfokus pada rumusan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana Takhrij al-Hadis al-Jumu’ah H{ajj al-Masa>ki>n ?
- Bagaimana I’tibar al-Hadis al-Jumu’ah H{ajj al-Masa>ki>n ?
- Bagaimana Kualitas Hadis al-Jumu’ah H{{ajj al-Masa>ki>n Baik Sanad Maupun Matannya?
BAB II
AL-JUMU’AH H{AJJ
AL-MASA<KI<N
A. Takhri>j al-H{adi>s\
Dalam penelitian hadis, langkah awal yang mesti dilakukan adalah takhri>j al-h}adi>s\[8]. Karena dengannyalah, seorang peneliti hadis dapat
mengetahui eksistensi suatu hadis apakah benar bahwa hadis yang ingin diteliti
terdapat dalam buku-buku hadis atau tidak. Peneliti juga dapat mengetahui
sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja didapatkan, serta dapat
mengetahui tempat hadis tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam kitab-kitab
hadis. Dan yang lebih penting dengan takhri>j, peneliti dapat mengetahui kualitas hadis (diterima atau
ditolak)[9].
Karena pengetahuan tersebut sangat berpengaruh dalam kehujjaan suatu hadis
sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Sehubungan dengan judul makalah ini –Pemaknaan dan Pembuktian Kualitas
Hadis Nabi; al-Jumu’ah H{ajj al-Masa>ki>n- maka penulis dalam
menelusuri hadis berdasarkan metode lafz yang terdapat dalam hadis, dengan term
الجمعة , , الحج , dan المساكين , menemukan
bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan dalam al-Kutub al-Tis’ah sebagai
kitab standar hadis. Tetapi penulis menemukannya dalam kitab Musnad
al-Syihab karya Muhammad ibn Salamah al-Qida>’i>, sedangkan penelusuran
hadis berdasarkan lafz pertama hadis tersebut, penulis temukan dalam kitab Jam’
al-Jawami’ atau yang lebih dikenal dengan nama al-Jami’ al-Kabir karya
al-Suyu>t}i> -setidaknya- dengan dua kalimat yang berbeda lafz namun
makna yang sama, yaitu; al-jumu’ah hajj al-masakin dan al-jumu’ah
hajj al-fuqara[10].
Kedua lafz tersebut tampaknya memang berbeda namun perbedaan tersebut
hanyalah perbedaan teks saja, sementara makna dan kandungannya sama. Oleh
karena itu, hadis yang menjadi obyek kajian dalam makalah ini adalah kedua lafz
tersebut di atas.
Berikut ini adalah riwayat al-Qida’i[11]:
أخبرنا عبد الرحمن بن عمر البزاز ، أبنا أحمد بن محمد بن زياد
ثنا مشرف بن سعيد الواسطي ، ثنا عيسى بن إبراهيم الهاشمي ، عن مقاتل ، عن الضحاك ،
عن ابن عباس ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الجمعة حج المساكين
Ia juga mempunyai
riwayat yang lain dengan lafz yang berbeda,[12] yaitu:
وأخبرنا أبو محمد التجيبي أبنا بن الأعرابي ثنا
الحسن هو بن علي بن عفان العامري ثنا عثمان بن عبد الرحمن ثنا أبو يوسف عن عيسى بن
إبراهيم عن مقاتل عن الضحاك عن بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : الجمعة
حج الفقراء
Dari kedua riwayat di atas, diketahui bahwa al-Qida’i memiliki dua riwayat
yang berbeda. Riwayat pertama menggunakan lafz al-masakin, dan riwayat
kedua menggunakan lafz al-fuqara. Kedua riwayat tersebut memiliki kesamaan
sanad atau perawi, sekalipun lafz al-jumu’ah hajj al-fuqara memiliki
sanad yang lebih panjang karena perawinya ada tambahan dua nama, yaitu Abu>
Yu>suf dan ’Us\ma>n ibn ’Abd al-Rah}ma>n.
Sedangkan al-Suyuti meriwayatkan hadis tersebut dalam kitabnya al-Ja>mi’
al-Ka>bir juga dengan kedua lafz tersebut, namun di sana ia tidak
menyebutkan sanad hadisnya melainkan hanya memberikan komentar bahwa hadis
tersebut diriwayatkan oleh beberapa mukharrij termasuk al-Qida’i dan
al-Dailami.[13]
Dari keterangan di atas, tampak bahwa sepanjang penelusuran hadis, penulis
hanya menemukan dua jalur terhadap kedua lafz tersebut di atas yang sampai
kepada Rasulullah saw. Hanya saja, penulis juga menemukan satu riwayat yang
disampaikan oleh al-Fakihi dalam kitabnya Akhbar Makkah dengan lafz al-jumu’ah
hajj al-masakin, yaitu:
حدثنا سلمة بن شبيب قال : ثنا الحسين بن الوليد قال : ثنا عبد
العزيز بن أبي رواد ، عن الضحاك بن مزاحم قال : الجمعة حج المساكين [14]
B.
I’tiba>r
al-H{adi>s\
Setelah
kegiatan takhri>j al-h}adi>s\ dilakukan, langkah selanjutnya
adalah melakukan i'tiba>r al-h}adi>s\[15]. Hal ini dimaksudkan, agar
dapat terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, nama-nama
periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat
yang bersangkutan. Apatah lagi kegunaan i'tiba>r adalah untuk
mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dari ada atau tidak adanya pendukung,
baik berupa muta>bi'[16] maupun sya>hid[17].
Terkait
dengan hadis di atas, bila diperhatikan kedua lafznya dengan jalur yang berbeda
maka dapat dipastikan bahwa hadis tersebut memiliki mutabi’ karena
al-Qida’I meriwayatkan kedua hadis tersebut dari perawi yang berbeda. Hadis
pertama (al-masakin) melalui jalur ‘Abd al-Rahman ibn ‘Umar al-Bazzaz
dari Ahmad ibn Muhammad ibn Ziyad dari Musyrif ibn Sa’id al-Wasiti dari ‘Isa
ibn Ibrahim, sedangkan hadis yang kedua (al-fuqara) melalui jalur Abu
Muhammad al-Tijayyi dari ibn al-A’rabi dari al-Hasan ibn ‘Ali ibn ‘Usman dari
‘Usman ibn ‘Abd al-Rahman dari Abu Yusuf dari ‘Isa ibn Ibrahim. Dengan kata
lain, hadis tersebut dalam beberapa tingkatannya memiliki beberapa perawi yang
berbeda.
Adapun sya>hid-nya,
bila sya>hid tersebut dibatasi artinya hanya riwayat yang betul-betul
memiliki persamaan lafal, maka tidak ditemukan adanya sya>hid di
sana. Tetapi karena sya>hid itu sendiri, di samping ada yang disebut
dengan sya>hid bi al-lafz} (riwayat yang sesuai lafalnya) juga ada
yang disebut dengan sya>hid bi al-ma’na> (riwayat yang lafalnya
berbeda tetapi ada keterkaitan makna di antara keduanya), maka di sana terdapat
beberapa riwayat yang mendukung satu sama lain. Apatah lagi memang tujuan
penelusuran muta>bi’ dan sya>hid-nya adalah untuk
memperkuat hadis yang di-takhri>j.[18]
Di
antara riwayat yang dimaksud adalah riwayat al-Dailami dari Ali ibn Abi Talib
sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti:
التهجير إلى الجمعة
حج فقراء أمتى[19]
Bahkan
asl-Suyuti juga meriwayatkan hadis yang lain sekalipun ia tidak menyebutkan
siapa dan bagaimana sanadnya, yaitu:
حج فقراء أمتى الجمعة[20]
Berdasarkan
kedua riwayat di atas –sekalipun penulis belum mengetahui secara pasti
keorisinalan riwayat tersebut- maka dapat dipahami bahwa hadis al-jumu’ah
hajj al-masakin memiliki syahid karena ternyata ada riwayat yang
lain yang semakna dengan hadis tersebut. Oleh karena itu, syahid hadis
di atas disebut dengan syahid bi al-ma’na.
C.
Kritik
Sanad Hadis
Berbicara mengenai penelitian dan
kritik hadis setidaknya obyek kajiannya dapat dibagi dua, yaitu: pertama,
rangkaian terhadap sejumlah periwayat yang menyampaikan riwayat hadis (sanad
al-h{adi>s\|). Kedua, materi hadis itu sendiri (matn
al-hadi>s\). Penelitian terhadap kedua obyek tersebut sangat berpengaruh
kepada kualitas suatu hadis. Apatah lagi memang, kesahihan hadis tidak hanya
diukur dari sanadnya atau matannya saja melainkan keduanya harus jalan
bersamaan.
Kritik sanad dan kritik matan ibarat dua sisi mata uang,
sehingga tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan, sebab sesuatu disebut
hadis jika terdiri dari sanad dan matan. Karena itulah –sekali lagi- penelitian
terhadap hadis, tidak boleh hanya bertumpu pada sanadnya saja atau pada
matannya saja, akan tetapi keduanya harus jalan “berbarengan” sehingga
seseorang dapat bersikap proporsional dengan meletakkan hadis pada tempatnya
sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.
Sistem
sanad merupakan keistimewaan tersendiri bagi umat Islam, sementara umat-umat-umat
sebelum Islam tidak memiiliki sistem ini. Karenanya otentisitas kitab-kitab samawi mereka tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Begitu pula ajaran-ajaran yang asli dari para Nabi
mereka juga tidak ditulis dalam kitab-kitab yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.[21]
Karena
demikian luhurnya nilai sanad, maka para ulama mengatakan bahwa pemakaian sanad
itu merupakan symbol umat Islam. Sufyan al-Sauri (w. 161 H) mengatakan bahwa
sistem sanad ini merupakan senjata bagi orang-orang mukmin.[22]
Sementara ‘Abdullah ibn Mubarak (w. 181 H) mengatakan bahwa sistem sanad itu
merupakan bagian dari agama Islam. Tanpa adanya sistem sanad, setiap orang
dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.[23]
Urgensi
sanad ini akan lebih tampak ketika meneliti para periwayat hadis dalam rentetan
suatu sanad. Karena dengan meneliti sanad dapat diketahui apakah silsilah para
periwayat itu bersambung sampai kepada Nabi saw atau tidak. Dapat diketahui
pula, apakah masing-masing periwayat itu dapat dipertanggungjawabkan
pemberitaannya atau tidak. Dan akhirnya dapat diketahui apakah hadis yang
diriwayatkan itu dapat dinilai sebagai hadis yang sahih (otentik), hasan
(baik), atau da’if (lemah) bahkan maudu’ (palsu).
Oleh
karena itu, untuk meneliti hadis termasuk meneliti sanadnya diperlukan sebuah
acuan. Acuan yang digunakan adalah kaidah kesahihan hadis bila ternyata hadis
yang diteliti bukanlah hadis mutawatir.[24] Kaidah
kesahihan hadis telah muncul benih-benihnya pada zaman Nabi saw dan sahabatnya.
Bahkan Imam al-Syafi’I (w. 204 H) memperjelas benih-benih kaidah itu dalam
bentuk kaidah riwayat hadis ahad.
Menurutnya,
bahwa riwayat hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah (dalil), kecuali memenuhi
dua syarat; pertama, hadis tersebut diriwayatkan oleh orang siqah (‘adil dan
dabit), dan yang kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada
Rasulullah saw.[25]
Kaidah
di atas disempurnakan oleh ulama hadis berikutnya (muta’akkhirin); antara lain
pernyataan Ibn al-Salah (w. 643 H) dalam rumusan kaidah kesahihan hadis.[26] Ia
menyatakan bahwa hadis sahih adalah hadis yang musnad yang sanadnya bersambung
sampai akhir sanad, melalui periwayat yang ‘adil dan dabit, tidak mengandung
syaz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).
Berdasarkan
pernyataan kedua tokoh hadis di atas, maka dapat dirumuskan bahwa unsure-unsur
kaidah kesahihan hadis ada tiga butir, yaitu; 1) sanad hadis yang bersangkutan
harus bersambung, mulai dari mukharrijnya sampai kepada Nabi saw.; 2) seluruh
periwayat dalam hadis itu harus bersifat ‘adil dan dabit; 3) hadis itu (sanad
dan matannya) terhindar dari kejanggalan (syaz) dan cacat (‘illat).
Oleh
karena itu, untuk memulai kritik sanad ini, maka terlebih dahulu diawali dengan penjelasan biografi
serta pendapat para kritikus hadis mengenai perawi-perawi hadis tersebut yang
dapat dilihat sebagai berikut :
1.
‘Abd al-Rahman ibn ‘Umar al-Bazzaz
Nama
lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘Abd al-Rahman ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn Sa’id
ibn Ishaq ibn Ibrahim ibn Ya’qub al-Nuhas al-Masri al-Bazzaz.[27]
Ia dilahirkan pada malam ‘Id al-Adha tahun 323 H dan wafat 10 Safar 416 H.[28]
Menurut ibn ‘Ali al-Mahmudi bahwa al-Bazzaz atau yang lebih dikenal dengan nama
ibn al-Nuhas adalah seorang yang siqah.[29]
Bahkan ‘Umar Ridha Kahalah menyebutnya sebagai seorang ulama yang faqih dan
muhaddis.[30]
Ia (ibn al-Nuhas al-Bazzaz) memiliki banyak guru, di antaranya Abu Sa’id ibn
al-A’rabi, Sulaiman ibn Daud al-‘Askari, Muhammad ibn Bisyr al-‘Akbari, dan
sekelompok sahabat Bahr ibn Nasr.
2.
Ahmad ibn Muhammad ibn Ziyad
Nama
lengkapnya adalah Abu Sa’id Ahmad ibn Muhammad ibn Ziyad ibn Bisyr ibn Dirham
al-Basri al-Sufi. Namun ia lebih dikenal dengan nama ibn al-A’rabi.[31]
Ia dilahirkan pada tahun 246 H dan wafat pada tahun 340 H.[32]
Ibn al-A’rabi dikenal sebagai seorang sufi yang produktif dalam menulis kitab.
Di antara kitab karangannya yaitu Tabaqah al-Nusak. Bahkan sebagai wujud
kesufiannya, ia pernah ditanya mengenai akhlaknya orang-orang faqir, maka ia
menjawab dengan mengatakan al-sukun ‘ind al-faqd wa al-idtirab ‘ind al-wujud
wa al-unus bi al-humum wa al-wahsyah ‘ind al-afrah “tenang ketika kehilangan,
bingung ketika ada, senang pada kesedihan, dan sedih ketika ada kebahagiaan”.[33]
Ibn al-A’rabi pernah berguru kepada beberapa ulama, di antaranya; al-Hasan ibn
Muhammad al-Za’farani, Muhammad ibn ‘Abd al-Malik al-Daqiqi, Abu Daud
al-Sajastani, dan beberapa ulama yang lain. Sementara murid-muridnya juga
terkenal banyak, di antaranya; Ibn al-Muqri, Ibn Mundih, ‘Abdullah ibn Yusuf
al-Asbahani, dan lain-lain. Ibn al-A’rabi dikenal sebagai seorang ulama yang
dalam ilmunya, baik ibadahnya, serta mulia akhlaknya. Siqah, sabit, ‘arif,
‘abid, rabbani, kabir al-qadr (tinggi kedudukannya), dan ba’id al-sayt
(mempunyai reputasi).[34]
3.
Musyrif ibn Sa’id al-Wasiti
Nama
lengkapnya adalah Musyrif ibn Sa’id Abu Zaid al-Wasiti Maula Sa’id ibn al-‘As.[35] Ia
dilahirkan pada tahun 181 H dan wafat pada tahun 266 H dalam usia 85 tahun.
Al-Wasiti tinggal di Bagdad dan pernah belajar beberapa ulama, di antaranya;
‘Ali ibn ‘Asim, Ishaq ibn Yusuf ibn al-Azraq, Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad, dan
Abu Sa’id Ahmad ibn Daud al-Haddad. Sementara orang yang pernah berguru
kepadanya, di antaranya; Abu Bakar ibn Abi Daud, ‘Abdullah ibn Muhammad ibn
Ishaq al-Marwazi, dan Abu ‘Ali al-Saffar. Mengenai kredibilitasnya dalam
periwayatan, al-Khatib al-Bagdadi menyebutnya sebagai seorang ulama yang siqah.[36]
4.
‘Isa ibn Ibrahim
Nama
lengkapnya adalah ‘Isa ibn Ibrahim ibn Siyar ibn Dinar Abu Ishaq al-‘Asyiri. Ia
sering juga disebut dengan Abu ‘Amr atau Abu Yahya al-Basri. Dan lebih terkenal
dengan sebutan al-Biraki.[37]
Mengenai tahun kelahirannya, penulis belum menemukan referensi untuk itu. Namun
yang pastinya ia wafat pada tahun 228 H.[38]
al-Biraki pernah berguru kepada Bisyr al-Mufdil, Hammad ibn Salamah, ‘Abd
Rabbih ibn Bariq al-Hanafi, al-Ma’afi ibn ‘Imran al-Wahalli, dan beberapa ulama
yang lain. Adapun murid-muridnya, di antaranya; Abu Daud, Ibrahim ibn Hirb,
Ahmad ibn ‘Ali al-Abbar, Abu Zur’ah, dan lainnya. Mengenai kualitas
kepribadiannya, al-Mizzi mengutip pendapat beberapa kritikus hadis, di
antaranya; Abu Hatim menyebutnya Saduq, al-Nasa’I menyebutnya laisa bihi ba’s,
dan ibn Hibban memasukkan namanya dalam kategori al-siqat.[39]
5.
Muqatil
Nama
lengkapnya adalah Muqatil bin Hayyan al-Nabati Abu Bustam al-Balkhi al-Khuraz
Maula Bikr ibn Wail.[40]
Penulis belum menemukan keterangan mengenai tempat dan waktu lahirnya, tapi ibn
Hajar al-‘Asqalani mengatakan bahwa Muqatil wafat pada tahun 150 H di India.[41]
Ia pernah berguru kepada beberapa ulama, di antaranya; ‘Ikrimah, Salim ibn
‘Abdillah ibn ‘Umar, Qutadah, al-Dahhak ibn Muzahim, dan ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Aziz. Sedangkan orang yang pernah belajar kepadanya, di antaranya; Mus’ab
ibn Hayyan, Syabib ibn ‘Abd al-Malik al-Taymi, ‘Abdullah ibn al-Mubarak, dan
‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Maharibi. Adapun penilaian ulama tentang
kepribadiannya berbeda-beda sekalipun mayoritas di sana member penilaian
positif kepadanya. Di antara komentator tersebut, yaitu Yahya dan Abu Daud
menilainya sebagai orang siqah, al-Nasa’I mengatakan Laisa bihi ba’s, sementara
al-Daruqutni menilainya sebagai orang yang Salih, bahkan Ibn Hibban memasukkan namanya
dalam kitabnya al-Siqah.[42]
Sekalipun di sana juga terdapat penilaian yang berbeda, termasuk di antaranya
ibn Hajar al-‘Asqalani memasukkan namanya dalam kitab Tabaqah al-Mudallisin.[43]
Sedangkan ibn Khuzaimah mengatakan la ahtajju bih. Bahkan al-‘Asqalani
mengutip pernyataan Abu al-Fath al-Azadi bahwasanya ibn Mu’in menda’ifkannya.
Lebih jauh lagi al-Azadi mengatakan bahwa Ahmad ibn Hanbal tidak memperdulikan
Muqatil ibn Sulaiman dan Muqatil ibn Hayyan sambil menukil pernyataan Waki’
yang menganggap Muqatil sebagai pembohong. Namun ketika al-Azadi membaca
tulisan al-Zahabi, ia memperkirakan yang dimaksud oleh Waki’ adalah Muqatil ibn
Sulaiman bukan Muqatil ibn Hayyan.[44]
Sehingga dari keterangan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Muuqatil ibn
Hayyan tetap menjadi ulama hadis yang wajar mendapatkan penilaian positif.
6.
Al-Dahhak
Nama
lengkapnya al-Dahhak ibn Muzahim
al-Hilali Abu al-Qasim, pendapat lain mengatakan laqabnya adalah Abu Muhammad
al-Khurasani.[45]
Ia dilahirkan di daerah Bulkh dan tinggal di sana beberapa waktu, serta
terkadang pula tinggal di daerah Bukhara dan Samarqand. Namun tempat tinggal
tetapnya yaitu daerah Murrah. Menurut riwayat bahwa ia dikandung oleh ibunya
selama dua tahun dan ketika lahir ia sudah mempunyai dua gigi.[46]
Ia wafat pada tahun 105 H, ada juga yang mengatakan bahwa tahun wafatnya adalah
106 H.[47]
di antara guru-gurunya, yaitu; al-Aswad ibn Yazid al-Nakha’I, Zaid ibn Arqam,
Sa’id ibn Jubair, Abdullah ibn ‘Abbas, dll. Sedangkan murid-muridnya, di
antaranya; Isma’il ibn Abi Khalid, Abu Hatim Bazi’ ibn ‘Abdillah, Abu ‘Isa
Sulaiman ibn Kaisan al-Khurasani, Muqatil ibn Hayyan al-Nabati, dll. Al-Dahhak
dikenal sebagai seorang ulama yang terkenal dalam bidang tafsir, bahkan Sufyan
al-Sauri berkata; “Pelajarilah tafsir al-Qur’an dari empat orang, yaitu; Sa’id
ibn Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah, dan al-Dahhak”.[48]
Hanya saja, di sini perlu diperjelas bahwa ia tidak pernah bertemu dengan ibn
‘Abbas sekalipun dalam kitab Tahzib al-Kamal disebutkan bahwa ibn ‘Abbas
termasuk salah seorang gurunya, karena ‘Abd al-malik ibn Maysarah pernah
bertanya kepadanya apakah ia pernah bertemu dengan ibn ‘Abbas. Al-Dahhak
menjawab, “tidak”.[49]
Para kritikus hadis memang memberikan penilaian yang baik kepadanya, misalnya
saja Ahmad ibn Hanbal menganggapnya sebagai orang yang siqah dan ma’mun. Yahya
ibn Mu’in dan Abu Zur’ah mengatakan siqah,[50]
sementara Yahya ibn Sa’id menda’ifkannya. Dan pendapat yang lain mengatakan
bahwa al-Dahhak adalah seorang mudallis.[51]
Namun sekalipun demikian, para kritikus hadis pun memberikan ketegasan bahwa
al-Dahhak tidak pernah bertemu dengan seorang sahabat satu pun termasuk dengan
‘Abdullah ibn ‘Abbas. Bahkan lebih jauh ia katakan bahwa bagaimana bisa
al-Dahhak menerima riwayat dari ibn ‘Abbas sedangkan ia tidak pernah bertemu.
Jadi kemampuan penafsiran al-Dahhak bukan karena pernah bertemu dengan ibn
‘Abbas -sebagai salah seorang sahabat nabi yang dikenal sebagai bah}r
al-‘ulu>m dan pernah didoakan oleh nabi-, tetapi ia mendapatkan
pengetahuan secara langsung dari Sa’id ibn Jubair.[52]
Oleh karena itu, Ibn Hajar al-‘Asqalani mengambil kesimpulan bahwa al-Dahhak
adalah seorang Saduq Kasir al-Irsal, lebih jauh lagi, Syu’bah mengatakan
bahwa al-Dahhak adalah seorang lemah dan susah diterima (da’if).[53]
7.
Ibn ‘Abbas\
Nama lengkapnya adalah ‘Abdulla>h
ibn ‘Abba>s bin ‘Abd Mut}t}alib ibn Ha>syim lahir di Makkah tiga tahun
sebelum hijrah. Ayahnya adalah ‘Abba>s, paman Rasulullah, sedangkan ibunya
bernama Luba>bah binti H{ari>s\ yang dijuluki Ummu Fad}l yaitu saudara
dari Maimu>nah, istri Rasulullah. Ia dikenal dengan nama Ibnu ‘Abba>s.
Selain itu, beliau juga disebut dengan panggilan Abu> al-‘Abba>s. Dari
beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti ‘Abbasiyah.
Ibnu ‘Abba>s adalah salah
satu dari empat orang pemuda bernama ‘Abdullah yang mereka semua diberi titel ‘Aba>dilla>h.
Tiga rekan yang lain ialah ‘Abdulla>h bin ‘Umar (Ibnu ‘Umar),
‘Abdulla>h ibn Zubair (Ibnu
Zubair), dan ‘Abdulla>h ibn ‘Amr. Mereka termasuk diantara tiga puluh orang
yang menghafal dan menguasai Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah.
Al-‘Abadillah juga merupakan bagian dari lingkar ulama yang dipercaya oleh kaum
muslimin untuk memberi fatwa pada waktu itu.
Ibn ‘Abba>s senantiasa
mengiringi Nabi. Ia menyiapkan air untuk wudhu Nabi. Ketika shalat, ia
berjama`ah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan, ia turut pergi
bersama Nabi. ia juga kerap menhadiri majelis-majelis Nabi. Akibat interaksi
yang sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan mengambil pelajaran dari
setiap perkataan dan perbuatan Nabi.
Pernah satu hari Rasul memanggil
‘Abdulla>h bin ‘Abba>s yang sedang merangkak-rangkak di atas tanah,
menepuk-nepuk bahunya dan mendoakannya, “Ya Allah, jadikanlah ia seorang yang
mendapat pemahaman mendalam mengenai agama Islam dan berilah kefahaman
kepadanya di dalam ilmu tafsir.”[54]
Usia Ibn ‘Abba>s baru
menginjak 15 atau 16 tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu, pengejarannya
terhadap ilmu tidaklah usai. ia berusaha menemui sahabat-sahabat yang telah
lama mengenal Nabi demi mempelajari apa-apa yang telah Nabi ajarkan kepada
mereka semua.
Pada akhir masa hidupnya, Ibnu ‘Abba>s
mengalami kebutaan. Ia menetap di T{a>if hingga wafat pada tahun 68H di usia
71 tahun. Adapun kredibilitasnya dalam periwayatan dan keilmuan maka bisa
dikatakan bahwa seluruh ulama sepakat akan hal itu. Bahkan lebih jauh, ia
dikenal sebagai Turjama al-Qur’an (penafsir al-Qur’an).
Setelah melihat biografi para perawi dalam semua rentetan
sanad yang ada maka penulis menyimpulkan bahwa jalur sanad tersebut memiliki
cela dan itulah yang dapat menyebabkan lemahnya riwayat tersebut.
Apabila dipertimbangkan ketentuan pokok kesahihan sanad
hadis, yaitu; bersambungnya sanad, seluruh rawinya bersifat ‘adil dan dabit,
serta sanad hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syaz (kejanggalan).
Tampak bahwa jalur sanad tersebut tidak memenuhi ketentuan itu, karena salah
seorang perawinya, yaitu al-Dahhak yang sepertinya menerima hadis di atas dari
ibn ‘Abba>s padahal dalam literatur biografi perawi ditemukan keterangan
bahwa al-Dahhak tidak pernah bertemu dengan ibn ‘Abbas. Bahkan al-Suyuti ketika
meriwayatkan hadis tersebut, ia mengutip pernyataan al-Hafiz al-‘Iraqi bahwa
sanadnya da’if.[55]
Apatah lagi, ditemukan riwayat lain yang senada dengan teks
hadis di atas juga diriwayatkan oleh al-Dahhak namun tidak disebutkan nama ibn
‘Abbas. Karena itu, hadis tersebut hanya sebatas pada tabi’in, dengan kata lain
statusnya sebagai hadis maqt}u>’. sebagaimana yang disebutkan oleh
al-Fakihi dalam kitabnya Akhba>r Makkah :
حدثنا سلمة بن شبيب قال : ثنا الحسين بن الوليد قال : ثنا عبد
العزيز بن أبي رواد ، عن الضحاك بن مزاحم قال : الجمعة حج المساكينحدثنا سلمة بن
شبيب قال : ثنا الحسين بن الوليد قال : ثنا عبد العزيز بن أبي رواد ، عن الضحاك بن
مزاحم قال : « الجمعة حج المساكين »[56]
Dalam riwayat al-Fakihi tersebut tampak jelas bahwa ungkapan
tersebut hanya sampai pada al-Dahhak tanpa disebutkan ada ketersambungan dengan
sahabat termasuk dengan ibn ‘Abba>s.
D. Kritik Matan
Hadis
Setelah penelitian sanad,
langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah kritik matan. Hal ini dilakukna
karena terkadang ada riwayat yang tidak bisa diterima bila dianggap berasal
dari Nabi SAW, sehingga para ulama menolaknya, tanpa menghiraukan kualitas
sanadnya. Bahkan ada riwayat yang ditolak, meskipun sanadnya shahih. Inilah
yang dikatakan dengan kritik matan (kritik intern)[57].
Penelitian atau kritik matan hadis sangatlah penting untuk
menjaga kepastian validitas dan kualitas sebuah hadis yang bersumber dari
Rasulullah. Hanya saja, ulama dalam menetapkan kriteria kesahihan sebuah matan
memiliki pandangan yang beragam. Perbedaan tersebut bisa disebabkan oleh
perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan serta masyarakat
yang mereka hadapi.[58]
Perbedaan kriteria tersebut memungkinkan lahirnya perbedaan dalam
memberikan vonis terhadap kualitas suatu
hadis. Hal ini –sekali lagi- menjadi bukti pertimbangan atau alasan mengapa
penelitian ulang terhadap hadis Nabi perlu dilakukan.
Al-Khatib al-Baghdadi misalnya, sebagaimana dikutip oleh
Salahuddin al-Adlabi, mensyaratkan kesahihan matan hadis dengan beberapa unsur,
yaitu :
- Tidak bertentangan dengan hukum akal.
- Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang muh}kam. Maksudnya tidak bertentangan dengan hukum yang diambil dari al-Qur’an yang sudah bersifat kukuh dan jelas. Adapun hadis yang menafikan ayat al-Qur’an yang z}anni dalalah-nya, bukan qath’i, maka hadis tersebut tidak mesti ditolak.
- Tidak bertentangan dengan sunnah yang sudah maklum, yakni sunnah yang sudah sampai pada tingkat yang yakin, bukan z}anni (hadis mutawatir).
- Tidak bertentangan dengan praktik yang berstatus sunnah, maksudnya praktik kaum salaf yang sudah disepakati dan shahih berdasarkan keyakinan.
- Tidak bertentangan dengan dalil apapun yang bersifat mutlak.
- Tidak bertentangan dengan hadis ahad lainnya yang kualitas kesahihannya lebih kuat.[59]
Al-Adlabi sendiri, setelah menyebutkan beberapa kriteria
yang diajukan ulama, maka ia meringkas kriteria tersebut ke dalam beberapa
sub-bab, yaitu :
- Tidak bertentangan dengan al-Qur’an al-Karim
- Tidak bertentangan dengan hadis dan sirah nabawiyah yang shahih
- Tidak bertentangan dengan akal, indera atau sejarah
- Tidak mirip dengan sabda kenabian.[60]
Melihat beberapa kriteria kesahihan matan hadis dari para
ulama, baik yang telah disebutkan maupun yang tidak, maka dapat dikatakan bahwa
tampaknya tidak ada perbedaan di antara mereka. Perbedaan itu muncul hanya
dalam wilayah pengistilahannya yang pada dasarnya maksud dan tujuannya sama.
Akan tetapi, sesuai dengan defenisi dan syarat-syarat hadis
shahih yang dikemukakan ulama, yaitu : sanadnya harus bersambung, para perawinya
mesti adil dan dhabit, serta tidak ada syadz dan illat di dalamnya. Kelimanya
termasuk dalam kategori kriteria pokok kesahihan sanad hadis, sedangkan khusus
dua yang terakhir (terbebas dari syadz dan illat) termasuk dalam kategori
syarat sahihnya matan sebuah hadis.
Hanya saja untuk mengetahui matan hadis yang mengandung
syadz dan illat membutuhkan kerja keras dan tolak ukur. Karena itulah, Syuhudi
Ismail datang dengan membawa istilah yang baru, yaitu kaidah mayor dan kaidah
minor. Kaidah mayor dipahami sebagai kaidah pokok kesahihan hadis dan itulah
yang disebutkan dalam defenisi hadis. Dengan kata lain, kaidah mayor matan
hadis adalah; a) tidak ada syadz di dalamnya, b) tidak ada illat di dalamnya.
Sedangkan tolak ukur untuk mengetahui syadz dan illatnya matan hadis, itulah
yang disebut sebagai kaidah minor. Khusus untuk syadz matan hadis, kaidah
minornya adalah : a) sanad hadis bersangkutan tidak menyendiri, b) matan hadis
bersangkutan tidak bertentangan dengan matan hadis yang sanadnya lebih kuat, c)
matan hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, dan d) matan
hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan akal dan fakta sejarah.[61]
Namun seorang peneliti, bila melihat matan hadis yang tampaknya ada
pertentangan antara satu dengan yang lain atau dengan riwayat lebih kuat,
hendaknya mempertimbangkan metodologi pemahaman hadis Nabi agar tidak terjadi
“kecerobohan” dalam menilai suatu hadis[62].
Di sinilah, peranannya fiqh al-hadis atau pemahaman hadis yang baik. Karena
bisa jadi pertentangan yang tampak itu hanya dalam batas lahiriyahnya tetapi
bila di dalami lebih jauh ternyata hanya berbeda latar belakang peristiwa dan
konteksnya.
Sedangkan kaidah minor bagi matan hadis
yang mengandung illat adalah: a) matan hadis tersebut tidak mengandung idra>j
(sisipan), b) matan hadis bersangkutan tidak mengandung ziya>dah
(tambahan), c) tidak terjadi maqlu>b (pergantian lafazh atau kalimat)
bagi matan hadis tersebut, d) tidak terjadi id}t}ira>b (pertentangan
yang tidak dapat dikompromikan) bagi matan hadis tersebut, e) tidak terjadi
kerancuan lafazh dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis tersebut.[63]
Untuk mencapai kualitas matan hadis, apakah shahih ataupun
dhaif,[64]
maka perlu diadakan penelitian dan kritik matan hadis. Hanya saja, sepanjang
pengetahuan penulis, dari sekian banyak kitab-kitab hadis atau yang terkait
dengannya bisa dikatakan –seperti itulah yang diakui oleh Syuhudi Ismail- bahwa
belum ada yang menjelaskan langkah-langkah metodologis yang harus ditempuh
dalam kegiatan penelitian matan hadis.[65]
Kitab-kitab hanya menerangkan tanda-tanda yang berfungsi sebagai tolak ukur
bagi matan hadis yang shahih, dan dhaif. Walaupun demikian, apa yang telah
diterangkan oleh berbagai kitab tersebut sangat besar manfaatnya untuk
dijadikan bahan dalam rangka merumuskan langkah-langkah metodologis penelitian
matan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat diklasifikasi
langkah-langkah metodologis dalam kritik atau matan hadis sebagai berikut :
·
Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
·
Meneliti susunan lafazh berbagai matan yang semakna.
·
Meneliti kandungan matan.
·
Natijah atau menyimpulkan hasil penelitian.[66]
Dengan menempuh ketiga langkah pertama
tersebut diharapkan, segi-segi penting yang harus diteliti pada matan dapat
membuahkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara
ilmiah maupun secara agama.
Kaitannya dengan matan hadis di atas, bila ditinjau dari
kualitas sanadnya maka penelitian tersebut tidak bisa dilanjutkan ke langkah
yang kedua, karena kualitas sanadnya tidak memenuhi persyaratan untuk lanjut ke
kritik matan. Dengan kata lain, kualitasnya da’if atau lemah. Sementara telah
disebutkan di atas bahwa sebelum melakukan kritik matan, langkah pertama yang
mesti dilewati adalah kritik sanad hadis. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
kualitas sanad dari suatu riwayat. Sekaligus menjadi prasyarat utama dalam
kegiatan kritik matan hadis.
Penelitian terhadap sanad yang ditempatkan lebih awal tidak
berarti kritik sanad lebih penting daripada kritik matan. Hanya saja, kritik
matan barulah mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadis yang bersangkutan
telah jelas-jelas memenuhi syarat.[67]
Karena dalam kajian hadis, setidaknya ada dua unsur yang mesti ada, artinya
setiap hadis harus memiliki sanad dan matan. Sehingga apabila ada suatu
ungkapan, riwayat, atau semisalnya yang tidak memiliki sanad maka tidak bisa
dikatakan berasal dari Rasulullah saw. Ataukah, syarat suatu hadis mesti ada
sanadnya minimal tidak termasuk berat kedhaifannya. Karena suatu riwayat/hadis
yang sanadnya sangat dhaif tidak perlu diteliti sebab hasilnya tidak akan
memberi manfaat bagi kualitas dan kehujjahan hadis tersebut.[68]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas yang berbicara tentang cara dan proses kritik
hadis terhadap sebuah teks al-jumu’ah hajj al-masakin, dapat ditarik
beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
1.
Hadis yang
berbunyi al-jumu’ah h}ajj al-masa>ki>n tidak ditemukan dalam al-kutub
al-tis’ah. Namun setelah ditelusuri dengan melihat kata-kata yang terdapat
dalam matannya maka ditemukan –setidaknya- dua riwayat yang keduanya disebutkan
oleh al-Qida>’i dalam kitabnya Musnad Syiha>b, demikian pula dalam
kitab Jam’u al-Jawa>mi’ karya al-Suyu>t}i>. Kedua riwayat
tersebut memiliki perbedaan lafal namun tetap semakna, yaitu al-jumu’ah h}ajj
al-masa>ki>n dan al-jumu’ah h}ajj al-fuqara>i. Hanya saja
dalam penelitian di atas, jalur sanad yang diteliti adalah hadis yang berbunyi al-jumu’ah
h}ajj al-masa>ki>n.
2.
Terkait dengan i’tiba>r
al-h}adi>s\, bila diperhatikan kedua lafalnya dengan jalur yang berbeda
maka dapat dipastikan bahwa hadis tersebut memiliki muta>bi’ karena
al-Qida>’i meriwayatkan kedua hadis tersebut dari perawi yang berbeda. Adapun sya>hid-nya,
bila sya>hid tersebut dibatasi artinya hanya riwayat yang betul-betul
memiliki persamaan lafal, maka tidak ditemukan adanya sya>hid di
sana. Namun bila sya>hid itu juga dimaknai dengan sya>hid bi
al-makna> maka di sana ditemukan beberapa riwayat yang mendukung satu
sama lain. Misalnya saja hadis yang diriwayatkan oleh al-Dailami> dari ’Ali
ibn Abi> T{a>lib ; al-Tahji>r ila> al-jumu’ah h}ajj fuqara>i
ummati>.
3.
Kaitannya dengan kualitas hadis tersebut, setelah
diadakan penelitian ditemukan sebuah konklusi bahwa kualitasnya lemah atau d}a’i>f.
Karena dalam rentetan sanadnya terdapat keganjilan disebabkan oleh seorang
rawinya yang bernama al-D{ah}h}ak meriwayatkan hadis tersebut dari Ibn ’Abba>s
sementara ia sendiri tidak pernah bertemu dengan sahabat nabi itu. Dan inilah
yang menyebabkan kelemahan dan ke-d}a’i>f-an riwayat tersebut.
B.
Implikasi
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, penulis
mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk
dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan
penulis.
Menyikapi segala bentuk masalah dan keragaman pendapat tentang kritik
hadis, termasuk keragaman bentuk pemikiran dan pendapat hendaknya dijadikan
sebuah pegangan terhadap kerahmatan agama Islam.
Apatah lagi kegiatan penelitian ini
adalah sebuah ijtihad yang sangat terkait dengan latar belakang dan kualitas
serta kapasitas seorang peneliti, sehingga sangat memungkinkan ada perbedaan
kesimpulan dari setiap peneliti. Apatah lagi kriteria, tolak ukur dan cara pandang serta
pendekatan yang digunakan tidak sama.
Oleh karena itu, sikap saling menghargai dan menghormati
dengan tidak mudah menyalahkan sangat dibutuhkan demi terwujudnya prinsip dan
misi agama rah}matan li al-‘a>lami>n.[69]
Bahkan Ibnu Hajar al-Haitami sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat
mengungkapkan maz\habuna> s}awa>b yah{tamilu al-khat}a>a wa
maz\habu gairina> khat}a> yah}tamilu al-s}awa>b “madzhab kami
benar tetapi mengandung kekeliruan, dan madzhab selain kami keliru tetapi
mengandung kebenaran”.[70]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Prof. Dr.
Muhammad Syuhudi Ismail. Jakarta. Renaisan. 2005.
Al-‘Asqala>ni>, Ah}mad ibn ‘Ali
ibn H{ajar Syiha>b al-Di>n. Ta’ri>f Ahli al-Taqdi>s bi
Mara>tib al-Maus}u>fi>n bi al-Tadli>s. Urdun. Maktabah
al-Mana>r. t.th.
-----------. Taqri>b
al-Tahz\i>b. Beirut. Mu’assasah al-Risa>lah. t.th.
-----------. Tahz\i>b
al-Tahz\i>b. Beirut. Muassasah al-Risa>lah. t.th.
Al-Adlabi>, S{ala>h al-Di>n
ibn Ah}mad. Manhaj Naqd al-Matn 'Inda Ulama>' al-H{adi>s\
al-Nabawi>. terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Metodologi Kritik
Matan Hadis. Ciputat. Gaya Media Pratama. 2004.
Al-Bagda>di>, Ah}mad ibn ‘Ali
Abu> Bakr al-Khat}i>b. Ta>ri>kh Bagda>d. Beirut. Da>r
al-Kutub al’Ilmiyah. t.th.
Al-Busta>mi>, Muh}ammad ibn
H{ibba>n ibn Ah}mad Abu> H{a>tim al-Tami>mi>. Masya>hi>r
‘Ulama> al-Ams}a>r. Beirut. Da>r al-Kutub al-Ilmiyah. 1959.
Al-Dimasyqi>, H{amd ibn Ah}mad
Abu> ‘Abdilla>h al-Z|ahabi>. al-Ka>syif fi> Ma’rifah man lahu
Riwa>yah fi> al-Kutub al-Sittah. cet. I. Jeddah. Da>r al-Qiblah li
al-S|aqa>fah al-Isla>miyah. 1992.
Al-Fa>kihi. Akhba>r Makkah.
Beirut. Da>r al-Fikr. 1987.
Al-Gaza>li>,
Muh}ammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh} wa ahl al-H}adi>s| .
cet. XII. Kairo. Da>r al-Syuru>q. 2001.
Al-H{anafi>, Abu> Muh}ammad
Mah}mu>d ibn Ah}mad ibn Mu>sa> al-Gaita>bi>. Maga>ni>
al-Akhya>r fi> Syarh} Usa>ma> Rija>l Ma’a>ni>
al-A<s\a>r. Kairo. Da>r al-H{a>di>s\. t.th.
Al-Khat}i>b, Muh}ammad 'Ajja>j. Us}u>l
al-H{adi>s\; ‘Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uhu. Beirut. Da>r al-Fikr.
1989.
Al-Mah}mu>di>, Jama>l
al-Di>n Abu> H{a>mid Muh}ammad ibn ‘Ali. Takmilah Ikma>l
al-Kama>l fi> al-Ansa>b wa al-Asma>i wa al-Alqa>b. Bagdad.
al-Majma’ al-‘Ilmi. 1957.
Al-Mizzi>, Jama>l al-Di>n
Abu> H{ujja>j Yu>suf. Tahz\i>b al-Kama>l fi> Asma>i
al-Rija>l. Beirut. Mausu’ah al-Risa>lah. 1985.
Al-Qard}a>wi>,
Yu>suf. Kaifa Nata’a>mal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. cet. I.
Kairo. Da>r al-Syuru>q. 2000.
Al-Qida>’i, Muh}ammad ibn Salamah
ibn Ja’far Abu> ‘Abdilla>h. Musnad al-Syiha>b. cet. II. Beirut.
Muassasah al-Risa>lah. 1986.
Al-Rah}ma>n,
Us\ma>n ibn ‘Abd. Muqaddimah ibn al-S{ala>h fi> ‘Ulu>m
al-H{adi>s\. cet. I. Beirut. Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2003.
Al-Suyu>t}i>, Jala>l
al-Di>n ibn Abi> Bakr. al-Ja>mi’ al-Kabi>r. cet. II. Beirut.
Da>r al-Fikr. 1997.
-----------. al-Ja>mi’ al-S}agi>r
fi> Ah}a>di>s\ al-Basyi>r al-Naz\i>r. cet. II. Beirut.
Da>r al-Fikr. 2004.
-----------. T{abaqah
al-H{uffa>z}. cet. II. Kairo. Da>r al-H{adi>s\. 1989.
Al-Sya>fi’i>, Muh}ammad ibn Idris.
al-Risa>lah. naskah diteliti dan disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakir.
Kairo. Da>r al-Tura>s\. 1979.
Al-Syaiba>ni>, Abu>
‘Abdilla>h Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H{anbal ibn Hila>l ibn Asad. Musnad
Ah}mad ibn H{anbal. cet. I. Beirut. ‘Alam al-Kutub. 1998.
Al-T{ahha>n, Mah}mu>d. Us}u>l
al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d. cet. III. Riyad.
al-Ma’a>rif. 1996.
-----------. Taisi>r Mus}t}alah
al-H{adi>s\. Riya>d}. Maktabah al-Ma'a>rif. 1987.
Al-Z|ahabi>, Abu> ‘Abdilla>h
Muh}ammad ibn Ah}mad ibn ‘Us\ma>n ibn Qayi>ma>z. Tazkirah
al-H{uffa>z}. Beirut. Muassasah al-Risa>lah. 1987.
Al-Z|ahabi>, Syams al-Di>n
Muh}ammad ibn Ah}mad ibn ‘Us\ma>n. Siya>r A’la>m al-Nubala>i.
Beirut. Mu’assasah al-Risa>lah. t.th.
Amin,
Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. cet. I.
Jakarta. Hikmah. 2009.
Bustamin
dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis. Jakarta. rajaGrafindo
Persada. 2004.
Ibn al-H{ajja>j, Muslim. Muqaddimah
S{ah}i>h} Muslim bi Syarh} al-Nawawi>. cet. I. Kairo. al-Maktabah
al-S|aqafi>. 2001.
Ibn al-Mulqin. T{abaqah
al-Auliya>. Kairo. Da>r al-Kutub al-‘Arabiyah. t.th.
Ibn Zakaria, Abu> H{usain Ah}mad ibn
Fa>ris. Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah. cet. II. al-Iskandariah.
Da>r al Fikr. 1970.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Metodologi
Penelitian Hadis Nabi. cet. I. Jakarta. Bulan Bintang. 1992.
Kaha>lah, ‘Umar Rid}a>. Mu’jam
al-Muallifi>n; Tara>jum Mus}annifi al-Kutub al-‘Arabiyah. cet. I.
Beirut. Muassasah al-Risa>lah. 1993.
Khaeruman,
Badri. Otentitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer .
Bandung. Remaja Rosdakarya. 2004.
Khon,
Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta. Amzah. 2008.
Mardan.
al-Qur’an; Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an Secara Utuh. Jakarta.
Pustaka Mapan. 2009.
Rahmat,
Jalaluddin. Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih. cet. I. Bandung. Mizan. 2007.
[1]Badri
Khaeruman, Otentitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004), hal. iii.
[2]QS.
Al-Isra, 17 : 36.
[3]QS.
Al-Maidah, 5 : 41.
[4]Bustamin
dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: rajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 4.
[5]Sebagaimana
telah dijelaskan pada makalah sebelumnya bahwa kritik sanad adalah penelitian,
penilaian dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses
penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan
kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran.
Lihat, ibid,, h. 6-7.
[6]Pada
awalnya, istilah takwil dipergunakan sebagai salah satu cara memahami ayat-ayat
al-Qur’an. Ia berasal dari kata kerja “awwala-yu’awwilu-ta’wi>lan”,
yang berarti “kembali”. Kaitannya dengan hadis, maka takwil adalah mengembalikan
makna lafal hadis kepada makna yang dikehendakinya. Defenisi seperti ini
sebenarnya masih “buram” sehingga sulit untuk dipahami. Oleh karena itu, Dr. M.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa takwil berarti suatu kata atau kalimat yang
pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal-harfiyah)
dialihkan ke makna lain, yaitu mengarahkan pandangannya kepada makna-makna
batiniah, yang pada hakikatnya dinilai sebagai makna yang dimaksud oleh teks
tersebut. lihat Mardan, al-Qur’an;
Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an Secara Utuh (Jakarta: Pustaka Mapan,
2009), h. 230.
[7]Al-Ghazali selalu menempatkan
kepentingan al-Qur’an di atas segalanya, sebut saja ia berpandangan bahwa sudah
selayaknya al-Sunnah tidak menyimpang dari al-Qur’an sebagai sumber primer.
Untuk itu, perlu adanya kritisi terhadap hadis-hadis yang bertentangan dengan
pokok pikiran al-Qur’an, meski kemudian harus “mengabaikan” susunan sanadnya.
Kenapa disebut “mengabaikan”? Jawabannya tidak lebih dari respon-respon yang
ditunjukkan oleh al-Ghazali sendiri perihal keputusannya untuk segera
“menghakimi” hadis yang berlawanan dengan al-Qur’an walaupun sanad hadis
tersebut sahih. Padahal yang selama ini dipakai sebagai teori
untuk menentukan layak tidaknya hadis sebagi hujah adalah dari segi sanad, jika
sanad cacat maka tidak ada harapan bagi hadis tersebut untuk dijadikan sebagai
hujah. Memang, pada awal-awal tulisannya, al-Ghazali dengan sangat jelas
menempatkan kritik sanad di atas kritik matan. tetapi, pada tataran praktisnya
toh beliau tidak mempertimbangkan lebih jauh lagi masalah sanad ketika
didapati-menurut keilmuannya -bahwa hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an dan
akal. Dan dengan serta merta beliau menolak keabsahan hadis tersebut. Lihat
Muh}ammad al-Gaza>li>, al-Sunnah al-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh} wa
ahl al-H}adi>s| (cet. XII; Kairo:
Da>r al-Syuru>q, 2001), h. 17-42.
[8]Secara
etimologi kata "takhri>j" berasal dari kata خرج – يخرج –تخريجا yang berarti menampakkan,
mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan
sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan, dan masih samar. Sedangkan
secara terminologi, kata ini memiliki banyak definisi, antara lain : 1.
menjelaskan hadis pada orang lain dengan menyebutkan para periwayatnya dalam
sanad hadis dengan menggunakanperiwayatan yang mereka tempuh. 2. mengeluarkan
dan meriwayatkan hadis dari beberapa kitab. 3. menunjukkan asa-usul hadis dan
mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh
para mukharrij-nya dan menisbatkannya dengan cara menyebutkan metode
periwayatan dan sanadnya masing-masing. 4. menunjukkan tempat hadis pada
sumber-sumber aslinya kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan. Akan
tetapi pengertian takhri>j yang digunakan untuk maksud kegiatan
penelitian hadis adalah pengertian yang disebutkan terakhir. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka ada tiga hal yang mendasar dari pengertian tersebut,
yaitu : pertama, kegiatan penelusuran suatu hadis untuk mengetahui tempat atau
sumber-sumbersnya. Kedua, sumber-sumber pengambilan hadis itu merupakan
sumber-sumber asli. Ketiga, hadis yang termuat dalam sumber-sumber yang asli
itu dikemukakan secara lengkap sanad dan matannya. Lihat Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Jakarta;
Renaisan' 2005), cet. I, hal. 71.
[9]Lihat
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta; Amzah, 2008), cet. I, hal
117-118
[10]Lihat Muh}ammad ibn Salamah ibn
Ja’far Abu> ‘Abdilla>h al-Qida>’i, Musnad al-Syiha>b, jil. I
(cet. II; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1986), h. 81. Jala>l al-Di>n
ibn Abi> Bakr al-Suyu>t}i>, al-Ja>mi’ al-Kabi>r, jil. XII
(cet. II; Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), h.
71. Dan al-Ja>mi’ al-S}agi>r
fi> Ah}a>di>s\ al-Basyi>r al-Naz\i>r, jil. I (cet. II;
Beirut: Da>r al-Fikr, 2004), h. 221.
[11]Lihat Muh}ammad ibn Salamah ibn Ja’far Abu>
‘Abdilla>h al-Qida>’i>, Musnad al-Syiha>b, jil. I (cet. II;
Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1986), 172.
[12]Lihat Ibid., h. 173.
[13]Al-Suyu>t}i>, al-Ja>mi’
al-Kabi>r, Ibid., h. 70-71.
[14]Lihat Al-Fa>kihi, Akhba>r
Makkah, jil. II (Beirut: Da>r al-Fikr, 1987), h. 350.
[15]Secara bahasa, kata i'tiba>r
yang berakar dari huruf 'ain, ba', dan ra' menunjukkan arti
"menembus dan melewati sesuatu", lihat Abu> H{usain Ah}mad ibn
Fa>ris ibn Zakaria, Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah (al-Iskandariah:
Da>r al Fikr, 1970), Cet. II, Jil. IV, hal. 207., sedangkan menurut
istilah –banyak defenisi yang ditawarkan para ulama- seperti penjelasan
Mah}mu>d al-T{ahhan bahwa I'tiba>r adalah menelusuri jalur-jalur
sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu yang pada bagian sanadnya terdapat
seorang periwayat saja untuk mengetahui apakah ada periwayat yang lain atau
tidak ada (untuk bagian sanad yang dimaksud)., lihat Mah}mu>d al-T{ahhan, Taisi>r
Mus}t}alah al-H{adi>s\ (Riya>d}; Maktabah al-Ma'a>rif' 1987), cet.
II, hal. 141.
[16]Muta>bi' dalam istilah ilmu hadis adalah
adanya dukungan dari hadis yang lain berupa adanya perawi pada bagian
periwayatan tertentu selain tingkatan sahabat, dengan kata lain muta>bi' مشاركة راو راويا
آخر في رواية حديث عن شيخه أو همن فوقه من المشايخ . Lihat
Arifuddin Ahmad, op. cit., h. 132, Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits; Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut; Dar al-Fikr, 1989), h. 366
[17]Sya>hid adalah hadis yang diriwayatkan dari
seorang sahabat yang menyerupai riwayat yang disampaikan oleh sahabat yang lain
baik dalam lafal dan atau makna. Lihat Arifuddin Ahmad, op. cit., h.
132, Muh}ammad 'Ajja>j al-Khat}i>b, op. cit., h. 366.
[19]Lihat al-Suyu>t}i>, al-Ja>mi’
al-Kabi>r, op. cit., jil. XI, h. 411.
[21]Mah}mu>d al-T{ahha>n, Us}u>l
al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d (cet. III; Riyad: al-Ma’a>rif,
1996), h. 139.
[23]Muslim ibn al-H{ajja>j, Muqaddimah
S{ah}i>h} Muslim bi Syarh} al-Nawawi>, jil. I (cet. I; Kairo:
al-Maktabah al-S|aqafi>, 2001), h. 121.
[24]Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 63.
[25]Lihat Muh}ammad ibn Idris al-Sya>fi’i>,
al-Risa>lah, Juz II, naskah diteliti dan disyarah oleh Ahmad Muhammad
Syakir (Kairo: Da>r al-Tura>s\, 1979), h. 369.
[26]Lihat Us\ma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n,
Muqaddimah ibn al-S{ala>h fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (cet. I;
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), h. 18.
[27]Jama>l al-Di>n Abu> H{a>mid
Muh}ammad ibn ‘Ali al-Mah}mu>di>, Takmilah Ikma>l al-Kama>l fi>
al-Ansa>b wa al-Asma>i wa al-Alqa>b, jil. VII (Bagdad: al-Majma’
al-‘Ilmi, 1957), h. 373.
[28]‘Umar Rid}a> Kaha>lah, Mu’jam
al-Muallifi>n; Tara>jum Mus}annifi al-Kutub al-‘Arabiyah, jil. V
(cet. I; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1993), h. 162.
[29]Al-Mah}mu>di>, op.
cit., h. 373.
[30]‘Umar Rid}a>, op. cit., h.
162.
[31]Lihat Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad
ibn Ah}mad ibn ‘Us\ma>n ibn Qayi>ma>z al-Z|ahabi>, Tazkirah al-H{uffa>z},
jil. III (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1987), h. 853.
[32]Jala>l al-Di>n ibn Abi>
Bakr al-Suyu>t}i>, T{abaqah al-H{uffa>z}, jil. I (cet. II;
Kairo: Da>r al-H{adi>s\, 1989), h. 69.
[33]Ibn al-Mulqin, T{abaqah
al-Auliya>, jil. I (Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th), h. 12.
[34]Abu> ‘Abdilla>h al-Z{ahabi>,
op. cit., h. 852.
[35]Ah}mad ibn ‘Ali Abu> Bakr
al-Khat}i>b al-Bagda>di>, Ta>ri>kh Bagda>d, jil. XIII
(Beirut: Da>r al-Kutub al’Ilmiyah, t.th), h. 224.
[37]Jama>l al-Di>n Abu> H{ujja>j
Yu>suf al-Mizzi>, Tahz\i>b al-Kama>l fi> Asma>i al-Rija>l,
jil. XXII (Beirut: Mausu’ah al-Risa>lah, 1985), h. 580.
[38]Abu> Muh}ammad Mah}mu>d
ibn Ah}mad ibn Mu>sa> al-Gaita>bi> al-H{anafi>, Maga>ni>
al-Akhya>r fi> Syarh} Usa>ma> Rija>l Ma’a>ni> al-A<s\a>r,
jil. III (Kairo: Da>r al-H{a>di>s\, t,th), h. 496.
[39]Al-Mizzi>, op. cit., h.
582.
[40]Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Syiha>b
al-Di>n al-Asqala>ni>, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, jil. X
(Beirut: Muassasah al-Risa>lah, t.th), h. 248.
[41]Ah}mad ibn ‘Ali ibn H{ajar Syiha>b
al-Di>n al-‘Asqala>ni>, Taqri>b al-Tahz\i>b, jil. I
(Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, t. th), h. 544.
[42]Abu> Muh}ammad al-H{anafi>,
op. cit., jil. V, h. 79.
[43]Lihat ibn H{ajar al-‘Asqala>ni,
Ta’ri>f Ahli al-Taqdi>s bi Mara>tib al-Maus}u>fi>n bi
al-Tadli>s, jil. I (Urdun: Maktabah al-Mana>r, t.th), h. 67.
[44]Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>,
Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op. cit., jil. X, h. 248.
[45]Al-Mizzi>, op. cit., jil.
XIII, h. 291.
[46]Muh}ammad ibn H{ibba>n ibn Ah}mad
Abu> H{a>tim al-Tami>mi> al-Busta>mi>, Masya>hi>r
‘Ulama> al-Ams}a>r, jil. I (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah,
1959), h. 308.
[47]Al-Mizzi>, op. cit., jil.
XIII, h. 291
[51]Syams al-Di>n Muh}ammad ibn
Ah}mad ibn ‘Us\ma>n al-Z|ahabi>, Siya>r A’la>m al-Nubala>i, jil.
IV (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, t.th), h. 599.
[52]Ibn H{ibba>n al-Busta>mi>,
op. cit., h. 308.
[53]Lihat H{amd ibn Ah}mad Abu>
‘Abdilla>h al-Z|ahabi> al-Dimasyqi>, al-Ka>syif fi> Ma’rifah
man lahu Riwa>yah fi> al-Kutub al-Sittah, jil. I (cet. I; Jeddah: Da>r
al-Qiblah li al-S|aqa>fah al-Isla>miyah, 1992), h. 509.
[54]Lihat Abu> ‘Abdilla>h Ah}mad
ibn Muh}ammad ibn H{anbal ibn Hila>l ibn Asad al-Syaiba>ni>, Musnad
Ah}mad ibn H{anbal, jil. I (cet. I; Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1998), h. 266.
[55]Al-Suyu>t}i>, al-Ja>mi’
al-Kabi>r, op. cit., jil. XII, h. 71.
[56]Al-Fa>kihi, op. cit.
[57]S{ala>h al-Di>n ibn Ah}mad
al-Adlabi>, Manhaj Naqd al-Matn 'Inda Ulama>' al-H{adi>s\ al-Nabawi>,
terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis (Ciputat;
Gaya Media Pratama, 2004), hal. 4.
[58]
Bustamin, op. cit., h. 62.
[59]Lihat
al-Adlabi>, op. cit., h. 207-208.
[60]Ibid,
h. 209. Dari kalangan ulama kontemporer semisal Yu>suf al-Qard}a>wi>
dan Muh}ammad al-Gaza>li> juga memiliki kriteria kesahihan matan hadis.
Al-Qard}a>wi> misalnya, menetapkan; a) Memahami al-sunnah sesuai dengan
petunjuk al-Qur’an, b) Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang
sama, c) Penggabungan antara hadis-hadis yang tampak bertentangan, d) Memahami
hadis Nabi dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisi
ketika diucapkan serta tujuannya, e) Membedakan antara saran yang berubah-ubah
dan sasaran yang tetap, f) Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya
dan yang bersifat majaz dalam memahami hadis, g) Mengklasifikasi hadis-hadis
yang berbicara alam ghaib dan alam nyata, h) Mempertegas pentunjuk-petunjuk
lafazh hadis. Lihat Yusuf
al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-nabawiyyah (cet. I; Kairo: Dar al-Syuruq, 2000),
h. 113-197.
[61]Arifuddin
Ahmad, op. cit., h. 117. Bandingkan dengan Kamaruddin Amin, Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (cet. I; Jakarta: Hikmah, 2009), h.
58.
[62]Arifuddin
Ahmad, lok. cit.
[63]Ibid,.
[64]Pembagian kualitas matan hadis
berbeda dengan kualitas sanad hadis. Karena sebagaimana diketahui bahwa
untuk hadis dan sanad hadis dikenal ada tiga istilah kualitas, yakni shahih,
hasan, dan dhaif. Akan tetapi, untuk matan hadis maka pembagian kualitasnya
hanya dua, yaitu shahih dan dhaif. Adapun kualitas hasan tidak termasuk di
dalamnya sebab ia hanya dalam kategori sanad. Hal ini dipahami dari penjelasan
ulama bahwa hadis hasan adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis
shahih, hanya saja kualitas kedhabitannya lebih rendah sedikit dengan
kedhabitan hadis shahih tetapi juga tidak sampai pada kategori dhaif. Untuk
lebih jelasnya, lihat buku-buku ushul al-Hadis yang berbicara mengenai hal itu.
[67]Arifuddin
Ahmad, op. cit., h. 119. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian,
h. 114.
[68]Hadis
yang matannya shahih namun kualitas sanadnya dhaif namun kedhaifannya tidak
terlalu berat, ulama sepakat untuk menerima dan mengamalkannya selama tidak
terkait dengan persoalan akidah dan keimanan.
[69]Untuk
penjelasan lebih lanjut, lihat, Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di Atas
Fiqih (cet. I; Bandung: Mizan, 2007), h. 57-91.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....