BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang
diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui nabi Muhammad saw. untuk menjadi
petunjuk dalam menjalani kehidupan ini. al-Qur’an berisi ayat-ayat yang arti
etimologisnya “tanda-tanda” dalam bentuk bahasa Arab[1]
mengandung berbagai aspek kehidupan manusia dan tidak hanya terbatas pada aspek
keagamaan semata.
Sebagai
intelektual muslim dan pewaris para nabi,[2]
ulama berkewajiban memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan yang
tersimpan di balik setiap untaian mutiara kata dan menjelaskan nilai-nilai
tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat
benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk menyampaikan nilai-nilai
tersebut, ulama menempuh beberapa metode, baik metode penulisan maupun metode
pembahasan. Salah satu metode pembahasan yang paling
populer digunakan ulama atau cendekiawan saat ini adalah metode maudhu’i
(tematik) yaitu upaya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan satu
topik dan menyusunnya sebagai sebuah kajian yang lengkap dari berbagai sisi
permasalahannya.[3]
Kendatipun
al-Qur’an mengandung berbagai macam masalah, ternyata pembicaraannya tentang
suatu masalah tidak selalu tersusun secara sistematis sehingga perlu
menggunakan metode tematik tersebut. Salah satu topik yang paling sering
menjadi bahan pembicaraan dan termasuk permasalahan yang sentral dalam
al-Qur’an adalah amanah. Amanah merupakan aspek muamalah yang sangat penting
karena terkait dengan kewajiban. Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa beratnya
sebuah amanah. Allah berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا
الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Allah
memberikan amanah kepada langit tapi langit tidak mampu mengembannya kemudian
diberikan kepada bumi dan gunung ternyata semuanya tidak mampu memikul amanah
tersebut. Namun, hanya manusia yang berani menerima amanah itu. Amanah pada kenyataannya tidak semudah yang
dipikirkan karena dengan adanya amanah berarti ada pembebanan atau tuntutan
bagi yang bersangkutan untuk merealisasikan. Kajian dalam makalah ini berusaha
mengungkapkan makna amanah dan hal-hal yang terkait dengan amanah meliputi
objek amanah, bentuk-bentuk serta pandangan atau sikap al-Qur’an terhadap
amanah.
Berbagai
metode digunakan dalam mengungkap makna dan maksud dari term-term amanah baik
dalam bentuk fi’il atau isim . Dari situlah akan muncul sebuah
pemahaman yang komprehensif tentang amanah ditinjau dari berbagai sudut pandang
sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan menghargai semua
amanah, karena dalam hadis disebutkan bahwa لاَ
إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَه.[4]
Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak
melaksanakan amanah”. Oleh karena itu, mengkaji makna amanah dan aspeknya dalam
al-Qur’an sangatlah penting. Selain sebagai wawasan keagamaan juga sebagai
bentuk pengembangan kajian akademis.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar
belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa sebenarnya pengertian amanah dalam al-Qur’an?
2.
Apa saja yang menjadi objek amanah dalam al-Qur’an?
3.
Dalam masalah apa saja amanah disebutkan dalam al-Qur’an?
4.
Bagaimana sikap al-Qur’an terhadap amanah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Amanah
Amanah salah satu bahasa
Indonesia yang telah disadur dari bahasa Arab. Dalam Kamus Bahasa Indonesia,
kata yang menunjuk makna kepercayaan menggunakan dua kata, yaitu amanah atau
amanat. Amanah memiliki beberapa arti, antara lain 1) pesan yang dititipkan
kepada orang lain untuk disampaikan. 2) keamanan: ketenteraman. 3) kepercayaan.[5]
Sedangkan amanat diartikan sebagai 1) sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan
kepada orang lain. 2) pesan. 3) nasihat yang baik dan berguna dari orang
tua-tua; petuah. 4) perintah (dari atas). 5) wejangan (dari seorang pemimpin).[6]
Sedangkan dalam bahasa
Arab, kata amanah diambil dari akar kata alif, mi>m dan nu>n
yang memiliki dua makna: 1) lawan kata khianat yaitu ketenangan dan
ketenteraman hati, 2) al-tas}di>q yaitu pembenaran.[7]
Ibra>him dkk.,
mengatakan bahwa amanah dapat diartikan sebagai penetapan janji dan titipan.
Abu> al-Baqa>’
al-Kafu>mi> mengatakan bahwa amanah adalah segala kewajiban yang
dibebankan kepada seorang hamba, seperti shalat, zakat, puasa, bayar hutang dan
segala kewajiban yang lain.[8]
Muhamamd Ra>syid
Rid}a> mengatakan bahwa amanah adalah kepercayaan yang diamanatkan kepada
orang lain sehingga muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali.[9] Fakhr
al-Di>n al-Ra>zi> berpendapat bahwa amanah adalah ungkapan tentang
suatu hak yang wajib ditunaikan kepada orang lain.[10]
Abu> H}ayya>n
al-Andalu>si> mengatakan bahwa secara kasat mata, amanah adalah segala
bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah
maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga
semua syariat Allah adalah amanah.[11]
Al-Qurt}ubi>
berpendapat bahwa amanah adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia,
baik sesuatu terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait dengan
perbuatan maupun dengan perkataan di mana puncak amanah adalah penjagaan dan pelaksanaannya.[12]
Dalam al-Qur’an lafaz
yang mengarah pada makna amanah atau kepercayaan berulang sebanyak 20 kali yang
kesemuanya dalam bentuk isim, kecuali satu lafaz dalam bentuk fi’il yaitu اؤتمن dalam QS. al-Baqarah/2:
283.
Namun
untuk mengetahui subtansi amanah, maka perlu dilihat dari tiga aspek yaitu:
subjek, objek dan predikat atau subtansi.
Subtansi amanah adalah
kepercayaan yang diberikan orang lain terhadapnya sehingga menimbulkan
ketenangan jiwa. Hal tersebut dapat terlihat dalam QS. al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
Terjemahnya: “Jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[13]
Jika dilihat dari sisi
subjeknya (pemberi amanah), maka amanah bisa datang dari Allah swt. sebagaimana
yang dipaparkan dalam QS. al-Ahza>b: 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا
الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Terjemahnya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[14]
Dan kadang amanah
tersebut datang dari manusia itu sendiri, sebagaimana yang tertera dalam QS.
al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ.
Terjemahnya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.[15]
Sedangkan jika dilihat
dari objeknya (orang yang melakasanakan amanah), maka amanah diberikan kepada
malaikat, jin, manusia, baik para nabi maupun bukan nabi sebagaimana penjelasan
selanjutnya.
Berangkat dari ketiga
unsur tersebut dan penafsiran para ulama tafsir, dapat dipahami bahwa amanah
adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk lain untuk
dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah yang meliputi malaikat, jin dan
manusia, atau bahkan alam semesta.
Dengan demikian, amanah
yang datang dari Allah swt. terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan
yang dibebankan kepada manusia. Sedangkan amanah dari manusia terkait dengan
segala bentuk kepercayaan, baik dalam bentuk harta benda, jabatan dan rahasia.
Dari pengertian di
atas, dapat dipahami bahwa amanah adalah amal saleh yang paling agung, namun
sangat berat dilaksanakan, sehingga wajar kemudian jika langit, bumi dan gunung
enggan menerima amanah dari Allah swt.,[16] bahkan
manusia yang berani menerima amanah dan tidak mampu melaksanakannya dianggap
sebagai z}alu>m jahu>l (penganiaya dan bodoh).
Oleh karena itu,
amanah harus diberikan kepada orang yang ahli dalam bidangnya agar tidak
menimbulkan kekacauan yang digambarkan sebagai kiamat dalam hadis nabi.
إِذَا
ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا
رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ.[17]
Artinya: “Jika amanah telah disia-siakan maka
tunggulah kiamat, sahabat bertanya, bagaimana penyia-nyian amanah wahai Rasulullah
saw.? Rasulullah menjawab, jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya”.
Lebih jauh dari itu,
Nabi Muh}ammad saw. tidak mau memberikan amanah kepada Abu> Z|arr
al-Gifa>ri> ketika meminta jabatan, bahkan Nabi saw. mengatakan bahwa
engkau terlalu lemah untuk posisi tersebut.
عَنْ أَبِي ذَرِّ
قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ
عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ
وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا
وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).[18]
Artinya: “Dari Abu> Z|arr berkata, saya
berkata kepada Rasulullah saw. wahai Rasul, hendaklah engkau memberiku jabatan?
Rasulullah saw. kemudian menepuk punggungnya seraya berkata, wahai Abu>
Z|arr, sesungguhnya engkau itu lemah dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan
jabatan itu pada hari kiamat hanyalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi
orang yang mengambilnya secara benar dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”.
B. Objek Amanah
Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa objek atau orang yang diberi amanah dalam al-Qur’an mencakup
beberapa jenis makhluk, antara lain:
1.
Nabi
Dalam al-Qur’an, makhluk yang paling
sering disifati dengan amanah adalah para nabi dan rasul, sehingga dalam
kitab-kitab ilmu kalam, para nabi dan rasul memiliki empat sifat yang wajib
bagi mereka, seperti al-tabli>g/ menyampaikan risalah kepada umatnya,
al-fat}a>nah/memiliki kecerdasan atau intelegensia yang tinggi, al-s}idq/memiliki
kejujuran dan al-ama>nah/dapat dipercaya atau memiliki integritas yang
tinggi.[19] Dengan
demikian, sering ditemukan dalam beberapa ayat, para rasul menyipati dirinya
sebagai al-ami>n.
Nabi Nu>h} misalnya ketika mengajak
kaumnya untuk takut kepada siksaan Allah swt. atas kesyirikan yang mereka
lakukan, namun kaum Nu>h} itu tetap mendustakan dia dan rasul-rasul sebelumnya,
sehingga nabi Nu>h} mengatakan kepada kaumnya:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?.
Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS.
al-Syu’ara>’: 106-107).[20]
Nabi Nu>h} mengatakan hal tersebut di atas,
sebagai bentuk keheranannya atas kesyirikan yang mereka lakukan padahal sudah
dilarang olehnya dan dia termasuk orang yang dikenal terpercaya dan tidak
pernah dicurigai oleh kaumnya.[21]
Senada
dengan Nabi Nu>h}, Nabi Hu>d juga mengajak
kaumnya agar mengenal Allah swt. dan taat kepada-Nya dengan melakukan hal-hal
yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan menjauhkan dari siksaan-Nya, namun
mereka tetap inkar dan mendustakan Nabi Hu>d dengan mengatakan seperti apa
yang dikatakan oleh Nabi Nu>h}.
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara>’: 124-125).[22]
Bahkan pada ayat yang lain, Nabi Hu>d disebutkan
sebagai pemberi nasehat yang dapat dipercaya, ketika kaumnya menolak ajakannya
untuk menyembah Allah swt. dan takut kepada-Nya, akan tetapi kaumnya kemudian
mengejeknya dengan menuduhnya sebagai orang bodoh dan pendusta, lalu Nabi
Hu>d menyanggah ejekan itu dengan mengatakan:
يَا قَوْمِ
لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ
رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya:
“Hai kaumku,
tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi Aku Ini adalah utusan dari
Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku
hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. al-A‘ra>f: 67-68).[23]
Menurut al-Ra>zi>, maksud dari
ungkapan na>s}ih} ami>n dalam ayat tersebut sebagai 1) Sanggahan
terhadap ungkapan kaumnya وِإِنَّا لَنَظُنُّكَ
مِنَ الكاذبين, 2) Pokok pembicaraan tentang risalah dan tabli>g adalah
amanah, sehingga ungkapan tersebut sebagai penguat terhadap risalah dan
kenabian, 3) penjelasan tentang integritas Nabi Hu>d sebelum menjadi rasul
sebagai seorang yang dikenal amanah oleh kaumnya. Oleh karena itu tidak
seharusnya kaumnya menganggapnya sebagai pembohong atau orang bodoh.[24]
Hal yang sama dilakukan oleh Nabi
S}a>lih}, Nabi lu>t} dan Nabi Syu’aib dengan mengatakan seperti apa yang
dikatakan oleh Nabi Nu>h} dan Nabi Hu>d, yaitu:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu”.[25]
Di samping nabi-nabi yang telah disebutkan di atas, nabi
yang juga disifati sebagai al-ami>n adalah Nabi Mu>sa> as.,
bahkan Nabi Mu>sa> disebutkan dua kali sebagai al-ami>n dalam
al-Qur’an, yaitu pada QS. al-Dukha>n: 18.
وَلَقَدْ فَتَنَّا قَبْلَهُمْ قَوْمَ فِرْعَوْنَ وَجَاءَهُمْ
رَسُولٌ كَرِيمٌ. أَنْ أَدُّوا إِلَيَّ عِبَادَ اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Sesungguhnya sebelum mereka
Telah kami uji kaum Fir'aun dan Telah datang kepada mereka seorang Rasul yang
mulia. (dengan berkata): "Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah (Bani
Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya Aku adalah utusan (Allah) yang
dipercaya kepadamu”.[26]
Kata rasu>l al-ami>n dalam
ayat tersebut sebagai dasar ajakan Nabi Mu>sa> terhadap kaumnya agar
beribadah kepada Allah swt. pengakuan Nabi Mu>sa> as. diperkuat oleh
mukjizat yang dimilikinya.
Sedangkan al-ami>n kedua yang
diberikan kepada Nabi Mu>sa> terjadi bukan dalam masalah risalah, akan
tetapi tentang penilaian putri Nabi Syu’aib kepada Nabi Mu>sa> as. dengan
mengatakan:
قَالَتْ
إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ الأمِينُ.
Terjemahnya: “Salah seorang dari kedua
wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya” (QS. al-Qas}as}: 26).[27]
Dalam
tafsir al-T}abari> dijelaskan bahwa penilaian salah satu putri Nabi
Syu’aib terhadap Nabi Mu>sa> bahwa dia sangat kuat dan dapat dipercaya
karena apa yang dilihatnya pada saat Nabi Mu>sa> memberi minum terhadap
hewan ternak mereka, sedangkan penilaian amanah terjadi karena keterjagaan
pandangan Nabi Mu>sa> terhadap kedua putri Nabi Syu’aib dalam perjalanan
ke rumah mereka.[28]
2.
Malaikat
Di antara makhluk yang menjadi objek amanah adalah
malaikat. Malaikat terkadang disifati sebagai al-ami>n oleh Allah
swt., khususnya Jibri>l pembawa wahyu kepada para nabi.
وَإِنَّهُ
لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ
لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ.
Terjemahnya: “Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan
oleh Tuhan semesta Alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang
yang memberi peringatan” (QS.
al-Syu’ara>’: 192-194).[29]
Menurut Ibn ‘A<syu>r, yang dimaksud dengan al-ru>h}
al-ami>n dalam ayat tersebut adalah Jibri>l as. Menurutnya,
Jibri>l as. dinamakan al-ru>h} karena malaikat berasal dari alam
ruhaniyah, sedangkan al-ami>n diberikan sebagai kepercayaan Allah
swt. terhadap Jibri>l untuk menyampaikan wahyu-Nya.[30]
Lain halnya dengan al-Sya’ra>wi>, menurutnya
Jibri>l as. disebut al-ru>h} karena dengan ruh seseorang akan
hidup dan para malaikat itu hidup meskipun tidak memiliki jasad. Sedangkan al-ami>n
diberikan kepadanya karena dia terpelihara di sisi Allah swt., terpelihara di
sisi al-Qur’an dan terpelihara di sisi Nabi saw.[31]
Dengan demikian, mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa
yang dimaksud al-ru>h} al-ami>n dalam ayat tersebut adalah
Jibri>l as.[32]
karena hal itu diperkuat oleh ayat lain dalam QS. al-Baqarah: 97 yang
menyebutkan nama Jibri>l as.
قُلْ مَنْ
كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ...
Terjemahnya: “Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril,
Maka Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin
Allah”.[33]
Ayat lain yang menjelaskan tentang malaikat disifati dengan amanah
adalah QS. al-Takwi>r: 21-22:
مُطَاعٍ ثَمَّ
أَمِينٍ. وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ.
Terjemahnya: “Yang ditaati di sana (di
alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali
orang yang gila”. [34]
Ayat tersebut di atas dan ayat sebelumnya menjelaskan
beberapa sifat mulya malaikat Jibri>l as. di antaranya kari>m/mulya
karena diberikan tugas yang paling mulya yaitu menyampaikan wahyu kepada para
nabi, z\i> quwwah/memiliki kekuatan dalam menjaga dan dijauhkan dari
kelupaan dan kesalahan, z\i> al-‘arsy maki>n/mempunyai posisi yang
tinggi di sisi Allah swt. karena dia diberi apa yang dimintanya, mut}a>’in/yang
ditaati di alam malaikat karena pendapatnya menjadi rujukan para malaikat, ami>n/dipercaya
membawakan wahyu dan risalah Allah swt. terhadap para nabi-Nya.[35]
Dari kedua ayat tersebut, diketahui bahwa amanah bukan
saja diberikan kepada manusia, akan tetapi amanah juga dapat disematkan kepada
para malaikat, khususnya malaikat Jibri<l as. selaku penghubung Allah swt.
dengan para nabi-Nya.
3.
Jin
Jin meskipun sering dikonotasikan sebagai makhluk
durhaka, akan tetapi dalam al-Qur’an sebagian jin ada yang beriman kepada Allah
swt.[36] bahkan
‘Ifri>t dari golongan jin yang hidup pada masa nabi Sulaima>n berkenan
membantu nabi Sulaima>n dengan berusaha memindahkan singgasana ratu
Balqi>s, sebagaimana dalam QS. al-Naml: 39:
قَالَ عِفْريتٌ
مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي
عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ.
Terjemahnya: “Berkata 'Ifrit (yang cerdik)
dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu
kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar
Kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”.[37]
Ayat tersebut menegaskan tentang kemampuan ‘Ifri>t
memindahkan singgasana ratu Balqi>s pada saat itu dalam waktu singkat.
‘Ifri>t juga menjamin bahwa dia dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas
tersebut.
Al-Ma>wardi> dalam tafsirnya menjalaskan bahwa
yang dimaksud dengan al-ami>n dalam ayat tersebut ada tiga pendapat,
yaitu: 1) dia dapat dipercaya menjaga permata dan berlian yang terdapat dalam
istana tersebut, 2) dia dapat dipercaya mendatangkan istana tersebut dan tidak
menggantinya dengan istana lain, 3) dia dapat dipercaya menjaga kehormatan ratu
balqi>s.[38]
Namun mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan al-ami>n dalam ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan
yang diberikan oleh ‘Ifri>t untuk membawa istana seperti sedia kala tanpa
ada perubahan, pengurangan atau penambahan, khususnya yang terkait dengan isi
singgasana.
4.
Manusia
Dalam al-Qur’an, manusia satu-satunya makhluk yang dicela
karena menerima amanah dari Allah swt. pada saat makhluk lain menolaknya ketika
ditawarkan kepadanya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
Terjemahnya: “Sesungguhnya kami Telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat
bodoh”.[39]
Al-Biqa>’i ketika
menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud al-insa>n
adalah mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia. Oleh karena itu,
manusia yang khianat terhadap amanah jauh lebih banyak dari pada yang memegang
amanah, karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan
keinginan. Oleh sebab itu, Allah swt. menyifati manusia dengan z}alu>m
jahu>l agar manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins/jinak
dan ramah, al-‘isyq/keinginan yang kuat, al-‘aql/akal fikiran dan
al-fahm/pemahaman sehingga seakan tidak memiliki kekurangan.[40]
5.
Wilayah
Selain yang telah disebutkan di atas, masih ada
makhluk yang disifati dengan al-ami>n, yaitu wilayah atau tempat
tinggal sebagaimana yang diberikan kepada Mekah al-Mukarramah.
وَهَذَا
الْبَلَدِ الْأَمِينِ.
Terjemahnya: “Dan demi kota (Mekah)
Ini yang aman”.[41]
Al-Alu>si> mengatakan bahwa kata al-ami>n dalam
ayat di atas memiliki dua makna, yaitu bermakan dipercaya atau bermakna
keamanan. Menurutnya, al-ami>n diberikan kepada Mekah karena kota
tersebut menjaga orang yang masuk ke dalam wilayahnya, bahkan menjaga hewan
atau tumbuhan yang ada di dalamnya, sebagaimana orang yang dipercaya menjaga
apa yang dipercayakan kepadanya.[42] Dengan
demikian, Mekah disamakan dengan makhluk hidup karena memiliki kesamaan yaitu
penjagaan.
C.
Bentuk-bentuk Amanah
Sebagaimana definisi
amanah yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa amanah adalah segala hal yang
dipercayakan oleh Allah atau sesama hamba untuk dijaga dan dilaksanakan, secara
garis besar, hal-hal yang menjadi penekanan amanah berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an
antara lain:
1.
Pekerjaan
Amanah merupakan pekerjaan yang amat berat,
bahkan langit, bumi dan gunung-gunung
tidak mau menerima amanah ketika ditawari, bukan karena ketidakloyalan mereka
terhadap Allah swt., akan tetapi ketidaksiapan mereka memikul beban amanah.
Amanah dalam bentuk pekerjaan meliputi berbagai macam
pekerjaan, baik amanah tersebut dari oleh Allah swt., seperti tugas
menyampaikan risalah yang dibebankan kepada malaikat Jibri>l as. sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya atau amanah sebagai penerima risalah atau
menjadi nabi dan rasul sebagaimana pembahasan ayat-ayat yang terkait dengan
amanah yang dimiliki para nabi.
Menurut al-Ra>zi>, amanah secara umum dapat
dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu:
a.
Amanah hamba terhadap Allah, yaitu apa yang telah dijanjikan hamba
untuk dijaga yakni segala bentuk perintah dan larangan Allah swt. terhadap
hambanya dan menggunakan anggota badan terhadap apa yang bermanfaat baginya dan
mendekatkan dirinya kepada Tuhannya. Segala bentuk maksiat merupakan pengkhianatan
terhadap amanah Allah swt., menurut Ibn ‘Umar sebagaimana yang dikutip
al-Ra>zi>, amanah terhadap Tuhan sangat luas cakupannya. Setiap anggota
tubuh merupakan amanah Tuhan. Lidah misalnya tidak bisa digunakan untuk
berdusta, gibah, adudomba, kekafiran, bid’ah dan fungsi-fungsi lain yang tidak
semestinya. Dengan demikian, anggota badan jika digunakan bukan pada fungsinya
maka termasuk pengkhianatan terhadap amanah.[43]
b.
Amanah hamba terhadap hamba lain, yaitu menjaga amanah terhadap makhluk
lain, seperti pengembalian titipan, tidak melakukan penipuan dalam bentuk
apapun, menjaga rahasia dan segala bentuk kewajiban individu, pemerintah,
keluarga dan kerabat. Menurut al-Ra>zi>, termasuk dalam bentuk amanah ini
adalah keadilan pemerintah terhadap rakyatnya dan keadilan ulama terhadap
masyarakat dengan tidak menjadikan mereka orang yang fanatik sesat.
c.
Amanah hamba terhadap dirinya, yaitu memilih sesuatu yang bermanfaat
dan yang paling layak untuk dirinya dalam masalah agama dan dunia serta tidak
melakukan sesuatu karena dorongan syahwat dan amarah.[44]
Berbeda dengan al-Ra>zi>, Muh}ammad ‘Abduh
sebagaimana yang dikutip Rasyi>d Rid}a> ketika menafsirkan ayat tentang
amanah mengatakan bahwa amanah dibagi dalam dua bagian, yaitu amanah ilmu
pengetahuan dan amanah harta benda.[45]
Pada ayat yang lain dijelaskan bahwa amanah dalam
bentuk pekerjaan tidak hanya diberikan oleh Allah swt., akan tetapi juga bisa
datang dari sesama makhluk dalam urusan duniawi dan tidak terkait dengan harta
benda, seperti permintaan saudara-saudara Nabi Yu>suf kepada ayah mereka agar
dipercaya menjaganya dalam permainan.
قَالُوا يَا أَبَانَا
مَا لَكَ لا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ.
Terjemahnya: “Mereka berkata: "Wahai
ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal
Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya” (QS. Yu>suf: 11).[46]
Senada dengan ayat di atas bahwa amanah ada yang terkait dengan
penjagaan semata dan tidak terkait dengan harta benda adalah hadis Rasulullah
saw. tentang menjaga rahasia.
إِذَا حُدِّثَ
الإِنْسَانُ حَدِيثًا وَالْمُحَدِّثُ يَتَلَفَّتُ حَوْلَهُ فَهُوَ أَمَانَةٌ.[47]
Artinya: “Jika seseorang diceritakan tentang
sesuatu/rahasia dan orang yang bercerita telah pergi darinya maka cerita itu
menjadi amanah baginya”.
Sedangkan pada yang ayat lain, Allah swt. menjelaskan tentang amanah
dari sesama makhluk dalam bentuk pekerjaan yang bersifat materi antara lain:
فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
Terjemahnya: “Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[48]
Ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa membayar
hutang merupakan amanah, karena pada dasarnya hutang-piutang yang terjadi
seharusnya dikwitansikan agar ada bukti. Kalaupun tidak bisa dikwitansiakn,
maka seharusnya ada barang yang digadaikan sebagai bentuk kominten membayar
hutang. Dan kalau hal tersebut juga tidak ada, maka hutang merupakan amanah yang
harus ditunaikan.
2.
Hukum
Meskipun hukum bagian dari pekerjaan, akan tetapi
pemakalah cenderung mengkhususkan pembahasannya,
kaitannya dengan kekurangsadaran manusia terhadap amanah dalam bidang hukum.
Dalam al-Qur’an, ada dua ayat yang mengarah pada amanah dalam masalah hukum.
Salah satu di antaranya adalah QS. al-Nisa>’: 58
إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ
بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ.
Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat”.[49]
Pada ayat tersebut di atas, bahwa dalam membangun
pemerintahan, prinsip yang dilakukana adalah ama>nah dan ‘ada>lah.
Ama>nah merupakan asas hukum Islam pertama sedangkan ‘ada>lah adalah
asas kedua, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[50]
D.
Sikap al-Qur’an terhadap Amanah
Untuk melihat seberapa
penting amanah dalam kehidupan sehari-hari, maka penting menjelaskan sikap
al-Qur’an terhadap amanah. Sikap al-Qur’an ketika menjelaskan ayat-ayat amanah
dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
1.
Perintah Menjaga amanah
Banyak dijumpai dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang
menyuruh melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Dalam QS. al-Nisa>’: 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا
الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا....
Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya”.
Meskipun ayat tersebut turun dalam masalah ‘Us\ma>n
ibn T}alh}ah al-H}ujubi> tentang kunci Ka’bah yang diminta oleh
al-‘Abba>s agar dia yang memegangnya, kemudian Allah swt, menurunkan ayat
tersebut sebagai perintah agar memberikan amanah kepada orang yang berhak.[51] Namun menurut
Wahbah al-Zuhaili>, ayat tersebut tetap berlaku bagi setiap orang agar
melaksanakan amanah yang menjadi tanggungannya, baik kepada khalayak maupun
kepada individu tertentu.[52]
Pada ayat lain, meskipun tidak menggunakan fi’il
amr/perintah secara langsung seperti pada ayat di atas, akan tetapi tetap
mengandung perintah untuk melaksanakan amanah karena menggunakan fi’il mud}a>ri’
yang disertai lam amr, seperti dalam QS. al-Baqarah: 283.
فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
Terjemahnya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[53]
Dalam ayat yang lain, al-Qur’an datang dengan menggunakan jumlah
ismiyah, agar mengandung makna bahwa penjagaan terhadap amanah tidak terikat
dengan waktu, akan tetapi amanah merupakan sifat orang-orang yang beriman,
seperti dalam QS. al-Mu’minu>n: 8
وَالَّذِينَ
هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ.
Terjemahnya: “Dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.[54]
Oleh karena itu, dalam beberapa hadis Rasulullah saw. dijelaskan bahwa salah
satu karakter orang munafik adalah tidak amanah.
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ.[55]
Artinya:
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga. Jika dia berbicara maka dia berdusta, jika
dia berjanji maka dia ingkari dan jika dia dipercaya dia berkhianat”.
Bahkan lebih dari itu, Rasulullah saw. pernah mengungkapkan bahwa orang
yang tidak memegang amanah berarti dia tergolong orang yang tidak beriman.
لاَ إِيمَانَ
لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ.[56]
Artinya:
“Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mempunyai/ melaksanakan amanah, dan
tidak ada agama bagi orang yang tidak melaksanakan janjinya”.
Dari ketiga ayat di atas dengan berbagai redaksi yang
digunakan dalam berbagai bentuk menunjukkan bahwa amanah adalah tanggungjawab
yang sangat besar yang harus dilaksanakan oleh siapapun yang diberi amanah.
2.
Larangan Mengkhianati Amanah
Sebagai konsekwensi dari kewajiban melaksanakan
amanah, maka sudah barang tentu mengkhianati amanah merupakan hal yang dilarang
oleh agama. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang larangan mengkhianati
amanah antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ.
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga)
janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu Mengetahui” (QS. al-Anfa>l: 27).[57]
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa khianat terhadap amanah sama dengan
khianat kepada Allah dan Rasulullah saw. Dengan demikian, diketahui betapa
besar posisi amanah di sisi Allah swt. karena khianat terhadap amanah
disejajarkan dengan khianat kepada Allah swt. dan rasul-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan
yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dibuat beberapa poin-poin penting
sebagai kesimpulan sebagai berikut:
1.
Amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk
lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah, baik dari kalangan
malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta. Namun karena amanah sangat
berat dilaksanakan dan dijaga sehingga harus diberikan kepada orang yang
profesional di bidang tersebut.
2.
Amanah dilihat dari segi objek yang
mendapatkan amanah, dapat diklasifikasi dalam beberapa bagian, yaitu amanah
bagi para nabi dan hal tersebut yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an
karena amanah merupakan sifat wajib bagi para rasul, amanah bagi malaikat,
khususnya pembawa wahyu yaitu Jibri>>l as., amanah bagi jin yang hidup
pada masa Nabi Sulaiman, amanah bagi manusia secara umum dalam melaksanakan
hal-hal yang terkait dengan kewajiban kepada Allah swt., sesama manusia dan
kepada dirinya sendiri, bahkan ada amanah yang diberikan kepada wilayah/kampung
yaitu kota Mekah.
3.
Amanah juga dapat dikelompokkan dalam dua
bagian, yaitu amanah dalam bentuk pekerjaan yang mencakup semua bentuk
pekerjaan yang dipercayakan kepada seseorang, baik dari Allah swt. maupun dari
sesama manusia. Dan amanah dalam bentuk hukum yang sebenarnya juga merupakan
pekerjaan, akan tetapi khusus disebutkan karena menjadi asas pemerintahan yang
Islami.
4.
Sikap al-Qur’an terhadap amanah terlihat dari
perintah Allah swt. kepada manusia untuk menunaikan amanah tersebut. Perintah
tersebut menggunakan fi’il amr, fi’il mud}a>ri’ dan isim yang
menunjukkan betapa amanah tersebut harus dijaga dan dilaksanakan, bahkan al-Qur’an
tidak cukup sekedar memerintahkan akan tetapi juga melarang khianat terhadap
amanah, bahkan khianat terhadap amanah sejajar dengan khianat terhadap Allah
dan rasul-Nya.
B.
Implikasi
Amanah
sangat penting posisinya dalam kehidupan dunia, karena tanpa amanah berbagai
macam aturan, undang-undang dan sebagainya tidak dapat terlaksana dengan baik.
Oleh karena itu, wajarlah jika Allah memberikan amanah sebagai suatu bentuk
ketaatan. Amanah tidak hanya terkait dengan aspek diniyah seperti jabatan dan
kekuasaan tapi juga terkait dengan aspek ukhrawi seperti ibadah.
Hal
ini juga terkait dengan kondisi masa sekarang, yang mana sebagian besar orang
mengabaikan amanah. Mereka tidak menyadari apa makna dan hakekat amanah serta
posisi amanah yang begitu urgen dalam mengemban tugas sebagai khalifah fi
al-ard}.
DAFTAR PUSTAKA
‘A<syu>r, Muh}ammad T}a>hir
ibn. al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r. Tu>nis: al-Da>r
al-Tu>nisiyah li al-Nasyr, 1984 M.
Al-Alu>si>, Abu> al-Fad}l
Syiha>b al-Di>n Mah}mu>d. Ru>h} al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r
al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’ al-Mas\a>ni>. Beirut: Da>r
Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-Arabi, t.th.
Al-Andalu>si>, Abu>
H}ayya>n Muh}ammad ibn Yu>suf. al-Bah}r al-Muh}i>t}. Cet. I;
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M.
Al-Azdi>, Abu> Da>ud Sulaima>n ibn
al-Asy’as\. Sunan Abi> Da>ud. Su>riyah: Da>r al-H}adi>s,
1969 M.
Al-Biqa>’i>, Abu> al-H}asan
Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m ibn ‘Umar. Naz}m al-Durar fi>
Tana>sub al-Aya>t wa al-Suwar. al-Qa>hirah: Da>r al-Kita>b
al-Isla>mi>, t.th.
Al-Bukha>ri>, Abu> ‘Abdillah
Muh}ammad ibn Isma>’i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Cet.
III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.
Al-Dimasyqi>, Abu> al-Fida>’
Isma>’i>l ibn Kas\i>r. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Cet.
I; al-Qa>hirah: al-Fa>ru>q al-Khadas\iyah li al-T}iba>’ah, 1421
H./2000 M.
Al-Kafu>mi>, Abu>
al-Baqa>’ Ayyu>b ibn Mu>sa> al-H}usaini>. Mu’jam fi>
al-Mus}t}alah}a>t wa al-Furu>q al-Lugawiyah. Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 1419 H./1998 M.
Al-Ma>wardi>, Abu> al-H}asan
‘Ali ibn Muh}ammad. al-Nukat wa al-‘Uyu>n. CD-ROM al-Maktabah
al-Sya>milah.
Al-Mara>gi>, Ah}mad
Mus}t}afa>. Tafsi>r al-Mara>gi>. Cet. I; Mesir:
Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-H}alibi> wa Aula>dih, 1365 H./1946 M.
Al-Naisabu<>ri>, Abu>
al-H}usain Muslim ibn al-H}ajja>j. S}ah}i>h} Muslim. Beirut:
Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi, t.th.
Al-Qurt}ubi>, Abu> ‘Abdillah
Muh}ammad ibn Ah}mad Syams al-Di>n. al-Ja>mi’ li Ah}ka>m
al-Qur’a>n. Cet. II; al-Qa>hirah: Da>r al-Kutub al-Mis}riyyah,
1384 H./1964 M.
Al-Ra>zi>, Muh}ammad Fakhr
al-Di>n. Mafa>ti>h} al-Gaib. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr,
1401 H./1981 M.
Al-Sya’ra>wi>, Muh}ammad
Mutawalli>. Tafsi>r al-Sya’ra>wi>. al-Azhar: Majma’
al-Buh}u>s\ al-Isla>miyah, 1991 M.
Al-T}abari>, Abu> Ja’far
Muh}ammad ibn Jari>r. Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n.
Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1420 H./2000 M.
Al-Wa>h}idi>, Abu> al-H}usain
‘Ali ibn Ah}mad. Asba>b al-Nuzu>l. Cet. II; al-Mamlakah
al-Sa’u>diyah: Da>r al-Is}la>h}, 1412 H./1992 M.
Al-Zuhaili>, Wahbah ibn
Mus}t}afa>. al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa
al-Syari>’ah wa al-Manhaj. Cet. II; Damsyiq: Da>r al-Fikr
al-Mu’a>s}ir, 1418 H.
_________________, al-Tafsi>r
al-Wasi>t}. Cet. I; Damsyiq: Da>r al-Fikr, 1422 H.
H}ambal, Abu> ‘Abdillah Ah}mad ibn
Muh}ammad ibn. Musnad Ah}mad ibn H}ambal. Cet. I; Beirut: ‘A<lam
al-Kutub, 1419 H./1998 M. \
Muslim, Mus}t}afa>. Maba>h}i>s\
fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>. Dimasyq: Da>r al-Qalam, 1410
H./1989 M.
Rid}a>, Muh}ammad Rasyi>d ibn
‘Ali>. Tafsi>r al-Mana>r. Mesir: al-Haiah al-Mis}riyyah
al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1990 M.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Bahasa Indonesia. Jakarta: {Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
2008.
Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya. al-Madi>nah
al-Munawwarah: Majma’ al-Malik Fahd, 1418 H.
Zakariya>, Abu> al-H{usain
Ah}mad bin Fa>ris bin. Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah. Beirut:
Da>r al-Fikr, t.th.
[1]Abu>
al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu’jam Maqa>yi>s
al-Lugah, Juz.I (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), h. 169
[2]Hadis
yang menjelaskan tentang ulama adalah pewaris para nabi dapat dilihat di: Abu> Da>ud
Sulaima>n ibn al-Asy’as\ al-Azdi>, Sunan Abi> Da>ud, Juz.II
(Su>riyah:
Da>r al-H}adi>s, 1969 M.), h. 341.
[3]Mus}t}afa>
Muslim, Maba>h}i>s\ fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>, (Dimasyq:
Da>r al-Qalam, 1410 H./1989 M.), h. 16.
[4]Abu>
‘Abdillah Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H}ambal, Musnad Ah}mad ibn H}ambal, Juz.
III (Cet. I; Beirut: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.), h. 135.
[5]Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: {Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 48.
[6]Ibid.
[7]Abu>
al-H}usain Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, op.cit., Juz. I, h.
138.
[8]Abu>
al-Baqa>’ Ayyu>b ibn Mu>sa> al-H}usaini> al-Kafu>mi>, Mu’jam
fi> al-Mus}t}alah}a>t wa al-Furu>q al-Lugawiyah (Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 1419 H./1998 M.), h. 269.
[9]Muh}ammad
Rasyi>d ibn ‘Ali> Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz. V (Mesir:
al-Haiah al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, 1990 M.), h. 140.
[10]Muh}ammad
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Gaib, Juz. X (Cet.
I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.), h. 145
[11]Abu>
H}ayya>n Muh}ammad ibn Yu>suf al-Andalu>si>, al-Bah}r
al-Muh}i>t}, Juz. VII (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1413 H./1993 M.), h. 243.
[12]Abu>
‘Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad Syams al-Di>n al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’
li Ah}ka>m al-Qur’a>n, Juz. XII (Cet. II; al-Qa>hirah: Da>r
al-Kutub al-Mis}riyyah, 1384 H./1964 M.), h. 107.
[13]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya (al-Madi>nah
al-Munawwarah: Majma’ al-Malik Fahd, 1418 H.), h. 71.
[14]Ibid., h.
680.
[15]Ibid. h.
71.
[16]Lihat:
QS. al-Ah}za>b: 72.
[17]Abu>
‘Abdillah Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>, Juz. V (Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407
H./1987 M.), h. 2383.
[18]Abu>
al-H}usain Muslim ibn al-H}ajja>j al-Naisabu<>ri>, S}ah}i>h}
Muslim, Juz. III (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi,
t.th.), h. 1457.
[19]Dalam
kitab-kitab tauhid dijelaskan bahwa sifat yang wajib kepada para rasul ada 4,
begitu juag sifat yang mustahil kepada mereka, sedangkan sifat yang boleh bagi
para rasul ada satu sehingga jumlah sifat para rasul ada 9.
[20]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 581.
[21]Muh}ammad
T}a>hir ibn ‘A<syu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, Juz. XIX
(Tu>nis: al-Da>r al-Tu>nisiyah li al-Nasyr, 1984 M.), h. 158
[22]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 581.
[23]Ibid.
232.
[24]Muh}ammad
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, op.cit., Juz. XIV, h. 163.
[25]Untuk
lebih jelasnya, lihat: QS. al-Syu’ara>’: 142-143, 161-162 dan 177-178.
[26]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 809-810.
[27]Ibid., h.
613.
[28]Abu>
Ja’far Muh}ammad ibn Jari>r al-T}abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi>
Ta’wi>l al-Qur’a>n, Juz. XIX (Cet. I; Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 1420 H./2000 M.), h. 561.
[29]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 587.
[30]Muh}ammad
T}a>hir ibn ‘A<syu>r, op.cit., Juz. XIX, h. 189.
[31]Muh}ammad
Mutawalli> al-Sya’ra>wi>, Tafsi>r al-Sya’ra>wi>, Juz.
XVII (al-Azhar: Majma’ al-Buh}u>s\ al-Isla>miyah, 1991 M.), h. 414
[32]Abu>
al-Fida>’ Isma>’i>l ibn Kas\i>r al-Dimasyqi>, Tafsi>r
al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Juz. X (Cet. I; al-Qa>hirah:
al-Fa>ru>q al-Khadas\iyah li al-T}iba>’ah, 1421 H./2000 M.), h. 370
[33]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 27.
[34]Ibid. h.
1029.
[35]Ah}mad
Mus}t}afa> al-Mara>gi>, Tafsi>r al-Mara>gi>, Juz. XXX
(Cet. I; Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-H}alibi> wa Aula>dih,
1365 H./1946 M.), h. 59
[36]Hal
tersebut terlihat jelas ketika sekelompok jin mendengar bacaan al-Qur’an dengan
seksama, kemudian pulang menasehati pengikutnya. Lihat: QS. al-Ah}qa>f: 29.
[37]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 598.
[38]Abu>
al-H}asan ‘Ali ibn Muh}ammad al-Ma>wardi>, al-Nukat wa al-‘Uyu>n, Juz.
III (CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah), h. 247.
[39]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 598. h. 680
[40]Abu>
al-H}asan Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m ibn ‘Umar al-Biqa>’i>, Naz}m
al-Durar fi> Tana>sub al-Aya>t wa al-Suwar, Juz. XV
(al-Qa>hirah: Da>r al-Kita>b al-Isla>mi>, t.th.), h. 425.
[41]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 1076.
[42]Abu>
al-Fad}l Syiha>b al-Di>n Mah}mu>d al-Alu>si>, Ru>h}
al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’
al-Mas\a>ni>, Juz. XXX (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\
al-Arabi, t.th.), h. 173.
[43]Muh}ammad
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, op.cit., Juz. X, h. 145
[44]Ibid.
[45]Muh}ammad
Rasyi>d ibn ‘Ali> Rid}a>, op.cit., Juz. V, h. 140.
[46]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 349.
[47]Abu>
‘Abdillah Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H}ambal, op.cit., Juz. III, h. 352.
[48]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 71.
[49]Ibid.,
h. 128.
[50]Wahbah
ibn Mus}t}afa> al-Zuhaili>, al-Tafsi>r al-Muni>r fi>
al-‘Aqi>dah wa al-Syari>’ah wa al-Manhaj, Juz. V (Cet. II; Damsyiq:
Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1418 H.), h. 120.
[51]Abu>
akl-H}usain ‘Ali ibn Ah}mad al-Wa>h}idi>, Asba>b al-Nuzu>l (Cet.
II; al-Mamlakah al-Sa’u>diyah: Da>r al-Is}la>h}, 1412 H./1992 M.), h.
157
[52]Wahbah
ibn Mus}t}afa> al-Zuhaili>, al-Tafsi>r al-Wasi>t}, Juz. I
(Cet. I; Damsyiq: Da>r al-Fikr, 1422 H.), h. 334.
[53]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 71.
[54]Ibid. h.
527.
[55]Abu>
‘Abdillah Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, op.cit., Juz.
I, h. 21 dan Abu> al-H}usain Muslim ibn al-H}ajja>j
al-Naisabu<>ri>, op.cit., Juz. I, h. 78.
[56]Ibid.
Juz. III, h. 135.
[57]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., h. 264.
2 komentar:
hadisnya kurang banyak sobat ,
hadisnya cuma satu,,, kurang banyak kawan
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....