Oleh : Muhammad Shadiq Shabry
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diyakini sebagai petunjuk bagi manusia. Keyakinan tersebut menempatkan kitab suci ini sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam. Kedudukannya sebagai kitab suci dan sumber dari agama yang telah dinyatakan sempurna mengandung pengertian bahwa ia mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan hidup di sepanjang masa.
Dalam usaha menemukan
petunjuk-petunjuk Allah dalam al-Qur'an tersebut diperlukan usaha penafsiran.
Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat
suci al-Qur'an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai
hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam penafsiran adalah hal yang
tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu, misalnya
perbedaaan kecenderungan, motivasi
mufassir, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai,
dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari.
Usaha
penafsiran sesungguhnya telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah saw.
Al-Qur'an juga memang telah mendorong ke arah tersebut, baik secara eksplisit
maupun secara implisit. Secara eksplisit al-Qur'an telah memerintahkan untuk
menyimak dan memahami ayat-ayatnya. Hal tersebut dapat dijumpai misalnya dalam
Q.S. al-Nisa (4) : 82, Q.S.Muhammad (47) : 24. Dan secara implisit, upaya
mencari penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dimungkinkan oleh pernyataan al-Qur'an itu sendiri bahwa ia diturunkan
oleh Allah untuk menjadi petunjuk (QS.al-Baqarah (2) : 2, 97, 185), dan rahmat (QS.
al-A’rāf (7) : 51, 203) bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok masyarakat. Agar tujuan itu terwujud dengan baik, maka ayat-ayat
al-Qur'an, yang umumnya berisi konsep-konsep, prinsip-prinsip pokok yang belum
terjabar, aturan-aturan yang masih bersifat umum, dan sebagainya, perlu
dijelaskan, agar dapat dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan manusia.
Kegiatan tersebut kemudian berlanjut
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adanya kesenjangan waktu yang
semakin jauh dari masa al-Qur’an diturunkan merupakan sebuah problem tafsir
yang coba hendak diatasi oleh para mufassir, sehingga mereka dapat menjelaskan
dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur’an. Sejalan dengan itu, perkembangan ilmu-ilmu keislaman dan
peradaban yang mengitarinya ternyata ikut mempengaruhi produk penafsiran mereka.
Dan seperti yang terlihat bahwa produk penafsiran mereka itu tetap saja tidak
berwajah tunggal, melainkan sangat beragam seiring dengan keragaman kecenderungan, motivasi, misi yang diemban, perbedaan
kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan masa dan lingkungan yang
mengitari mereka.
Berbagai metode dan corak tafsir
pun bermunculan. Para pengamat tafsir lalu berusaha mengelompokkan metode dan
corak tafsir yang beragam itu berdasarkan sudut tinjauan tertentu. Lahirlah
kemudian metode tafsir, seperti metode tahlīliy, ijmāliy, muqāran dan mawdhū'iy[1]. Demikian pula
dengan corak tafsir seperti corak
bahasa, filsafat, kalam, ilmiah, fiqhi , teologis, tasawuf dan sosial
kemasyarakatan.
Untuk kawasan Indonesia sejak
masuknya Islam pergumulan umat Islam Indonesia dengan al-Qur’an menjadi
demikian intens. Alasannya adalah karena
para pemeluk agama Nabi Muhammad itu amat meyakini bahwa al-Qur’an merupakan
kitab suci mereka. Awalnya kaum muslimin
belajar membaca al-Qur’an dan praktek-praktek ibadah, lalu diikuti oleh
pelajaran mengenai konsep-konsep tertentu dari al-Qur’an. Selanjutnya al-Qur’an
sebagai rujukan dalam berislam diurai maknanya lalu disebarluaskan kepada
masyarakat.
Perkembangan tafsir di nusantara
pasca penyusunan tafsir secara lengkap oleh Abd al-Rauf al-Sinkili lewat Tarjumān al-Mustafidnya terus bergeliat.
Geliat tersebut dapat dilihat tidak saja dalam konteks kuantitas literatur
tafsir yang ditulis oleh mufassir Indonesia tetapi juga dalam konteks kualitas
mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Secara umum semua yang mereka
lakukan itu bertujuan memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk memahami
ajaran al-Qur’an.
Salah satu tafsir yang lahir di
Indonesia dengan tujuan seperti di atas adalah Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan
yang rampung di tulis pada tahun 1956.[2] Bila kehadiran
tafsir ini dirunut maka Tafsir al-Furqan adalah tafsir kedua yang muncul dalam
rentangan masa abad ke 20 setelah lahirnya Tafsir Qur’an Karimnya Mahmud Yunus.
Walaupun kesan penafsirannya secara
sederhana dan global masih kuat terlihat, tetapi tafsir ini telah menunjukkan
daya tahannya yang luar biasa. Tafsir ini sampai sekarang masih tetap digunakan
sejak peluncurannya pada tahun 1956.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan uraian pada latar
belakang di atas, maka masalah pokok yang akan dikaji dalam makalah ini adalah
bagaimana metode penafsiran yang dikembangkan oleh Ahmad Hassan dalam Tafsir Al-Furqannya.
Masalah pokok tersebut akan dibatasi dalam sub-sub masalah sebagai berikut agar
kajian dapat terarah dan sistematis, yaitu :
1.
Bagaimana latar belakang penyusunan tafsir Al-Furqan?
2.
Bagaimana sistimatika penyusunan tafsir Al-Furqan?
3.
Bagaimana metode dan corak tafsir Al-Furqan?
II. PEMBAHASAN
A. Biografi Ahmad Hassan.
Ahmad Hassan mempunyai nama
panggilan yang sangat populer yang diidentikkan dengan daerah yang menjadi
tempat tinggalnya. Ia dikenal dengan Hassan Bandung ketika beliau menetap di
kota itu, saat pergerakan nasional tengah menjamur. Subhan SD menetapkan waktu
menetapnya di sana antara dekade 1920-an hingga 1930-an.[3] Selanjutnya ia
dikenal juga dengan Hassan Bangil ketika awal dekade 1940-an beliau pindah ke
sana hingga akhir hayatnya.
Nama Ahmad Hassan terkenal di
seluruh Indonesia, bahkan sampai semenanjung Malaysia dan Singapura, sebagai
seorang ulama yang militan, berpendirian kuat dan memiliki kecakapan luar
biasa. Pemahamannya dalam bidang ilmu pengetahuan agama sangat luas. Ia menghayati
ilmunya secara serius. Karena itu ia dikenal sebagai ulama dalam berbagai
bidang ilmu seperti tafsir, hadis fiqh dan ilmu pengetahuan lainnya,disamping
sebagai ulama yang piawai dalam setiap perdebatan dan berpendirian kukuh dalam
memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah.
1.
Asal Usul Keluarganya.
Nama Ahmad Hassan sebenarnya adalah
Hassan bin Ahmad. Akan tetapi berdasarkan kelaziman penulisan nama keturunan
India di Singapura, nama orang tua ditulis di depannya. Mirip seperti yang
dijumpai dalam penulisan nama dalam daftar pustaka sebuah karya ilmiah. Jadilah
kemudian penulisan nama Ahmad Hassan itu dikenal orang sampai sekarang.
Ahmad Hassan lahir di Singapura
tahun 1887. Ayahnya bernama Ahmad yang berasal dari India. Ia adalah seorang
penulis yang cukup ahli dalam bidang agama Islam dan kesusastraan Tamil. Ahmad
pernah menjadi redaktur majalah Nur Islam (sebuah majalah dan sastra Tamil)
yang terbit di Singapura, disamping sebagai penulis beberapa kitab berbahasa
Tamil dan beberapa terjemahan dari bahasa Arab. Ahmad suka berdebat dalam
masalah bahasa dan agama serta menyediakan rubrik tanya jawab dalam majalahnya
itu. Adapun ibunya bernama Muznah
berasal dari Palekat Madras, tetapi lahir di Surabaya. Ahmad dan Muznah menikah
di Surabaya ketika Ahmad berdagang di kota itu dan kemudian menetap di
Singapura, tempat Ahmad Hassan dilahirkan dan dibesarkan.[4]
Ahmad Hassan mengakhiri masa
lajangnya pada tahun 1911 ketika usinya 24 tahun dengan wanita bernama Maryam
yang masih memiliki darah Tamil-Melayu. Keluarga istrinya juga berlatar
belakang pedagang dan taat melaksanakan ajaran agama. Dari perkawinannya itu ia
dikaruniai tujuh orang anak yaitu Abd. Qadir, Jamilah, Abd. Hakim, Zulaikha,
Ahmad, M.Said, dan Mansyur.[5]
2.
Pendidikannya.
Masa kecil Ahmad Hassan dilewatinya
di Singapura. Pendidikannya dimulai dari sekolah dasar, tetapi ia tidak sempat
menyelesaikannya. Kemudian ia masuk sekolah Melayu dan menyelesaikannya hingga
kelas empat; dan belajar di sekolah dasar pemerintah Inggris sampai tingkat
yang sama, sambil belajar pula bahasa Tamil dari ayahnya. Di sekolah Melayu
itulah ia belajar bahasa Arab, bahasa Melayu, bahasa Tamil (selain dari
ayahnya), dan bahasa Inggris.[6]
Pada usia tujuh tahun Ahmad Hassan,
sebagaimana anak-anak pada umumnya, belajar al-Qur’an dan memperdalam agama
Islam. Pada masa-masa itu pula, terutama saat usianya menginjak 12 tahun, ia menyempatkan
diri belajar privat dan berusaha menguasai bahasa Arab sebagai kunci untuk
memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Walaupun begitu waktunya sudah mulai
terbagi karena ia sudah mulai bekerja di toko milik saudara iparnya yang
bernama Sulaiman. Tetapi itu tidak menyurutkannya untuk terus belajar. Ia pun
belajar mengaji kepada Haji Ahmad di Bukittiung dan pada Muhammad Taib seorang
guru yang terkenal di Minto Road.[7]
Haji Ahmad bukanlah seorang alim
besar, tetapi buat ukuran Bukittiung ketika itu, ia adalah seorang guru yang
disegani dan berakhlak tinggi. Kepada ulama itu Ahmad Hassan menerima pelajaran
dasar-dasar agama menyangkut rukun Islam seperti shalat, berwudhu, puasa, dan
sebagainya.[8] Sementara itu kepada
Muhammad Taib ia belajar ilmu nahwu dan sharaf. Sewaktu Ahmad
Hassan mengemukakan keinginannya itu Muhammad Taib mengajukan syarat yang cukup
berat : Ahmad Hassan harus datang lebih dini sebelum waktu salah subuh tiba dan
tidak boleh naik kendaraan. Syarat itu disanggupinya. Kesanggupan Ahmad Hassan
sebetulnya karena kesal ketika seorang teman mengajinya, Ali, tidak mau memperlihatkan dua kitab yang
dibawanya dengan alasan Ahmad Hassan belum pantas mengetahuinya. Oleh karenanya
begitu diajukan syarat yang dikira gurunya cukup berat, ia justru langsung
menyanggupinya. Tetapi setelah empat bulan belajar, ia merasa tidak ada
kemajuan dalam pelajarannya itu karena menurutnya gurunya hanya memerintahkan
menghafal dan mengerjakan apa yang tidak dimengerti. Akibatnya semangat
belajarnya pun menurun.[9]
Dalam keadaan seperti itu, ketika
Muhammad Taib pergi menunaikan ibadah haji, Ahmad Hassan beralih mempelajari
bahasa Arab pada ulama lain yaitu Said Abdullah al-Musawi selama tiga tahun. Di
samping itu, ia pun belajar pada pamannya, Abd. Lathif, seorang ulama yang
terkenal di Malaka dan Singapura. Ia juga belajar kepada Syekh Hasan, seorang
ulama yang berasal dari Malabar, dan kepada Syekh Ibrahim, seorang ulama yang
berasal dari India. Beliau mempelajari dan memperdalam Islam dari beberapa guru
tersebut sampai kira-kira tahun 1910, ketika ia berumur 23 tahun.[10]
Ahad Hassan pada saat itu belum
memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, misalnya Faraidh, Fiqh, Manthiq
dan lain-lainnya, tetapi dengan ilmu alat yang dimilikinya itulah ia
memperdalam pengetahuan agamanya, hingga memiliki pengetahuan yang sangat luas.[11]
3.
Pekerjaan dan Pengembaraan Keilmuannya.
Pada masa kecil Ahmad Hassan
membantu ayahnya di usaha percetakan. Setelah menginjak umur remaja ia menjadi
pelayan toko, kemudian dagang permata, minyak wangi, dan agen vulkanisir ban
mobil. Ia juga pernah menjadi juru tulis di kantor jama’ah haji di Jeddah
Pilgrim’s Office Singapura, yaitu sebuah kantor yang didirikan oleh
Mansfield dan Assegaf yang mengurus perjalanan haji, kira-kira setahun lamanya.[12]
Di samping usaha-usaha tersebut, ia
juga menjadi guru sejak kira-kira tahun 1910. Mulanya secara tidak tetap di
Madrasah orang-orang India di Arab Street juga di Bagdad Street dan Geylang
sampai sekitar tahun 1913. Kemudian ia menjadi guru tetap menggantikan
Fadlullah Suhaimi di Madrasah Assegaf, jalan Sulthan. Madrasah yang mengelola
tingkat Ibtidaiyyah dan Tsanawiyah.[13]
Sekitar tahun 1912-1913 ia membantu
Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapura Press, yang dipimpin oleh Inche
Hamid dan Sa’dullah Khan. Di sana ia banyak menulis tentang agama yang bersifat
nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan. Ia sering
mengetengahkan persoalan-persoalan ini dalam bentuk syair.[14]
Tulisan awalnya dalam Utusan Melayu
itu adalah kecamannya terhadap Qadhi yang memeriksa perkara dengan mengumpulkan
tempat duduk yang sama dalam ruangan antara pria dan wanita. Padahal saat itu
tidak ada seorang pun yang berani mengkritik seorang Qadhi.[15] Selain itu ia juga
mengkritik persoalan taqbil, yakni mencium tangan seseorang yang
dianggap sayyid (tuan), sehingga ia mendapat peringatan dari pemerintah
Singapura.[16]
a.
Pindah ke Surabaya
Pada tahun 1921 Ahmad Hassan pindah
dari Singapura ke Surabaya untuk mengurus sebuah toko kain milik paman
sekaligus gurunya Abdul Latif yang ada di kota itu.[17] Ketika Ahmad Hassan
menjejakkan kakinya di Surabaya, di kota itu sedang ramai perdebatan dan
pertentangan antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Kaum Tua mempertahankan tradisi
keagamaan yang telah mapan dan berkembang di masyarakat, sedang Kaum Muda ingin
menghapuskan berbagai hal yang tidak mempunyai landasan dari al-Qur’an dan
Hadis.[18]
Kaum Muda dipelopori oleh Faqih
Hasyim, seorang pedagang yang menaruh perhatian serius dalam masalah keagamaan
dengan menyebarkan pikiran-pikirannya melalui diskusi-diskusi keagamaan
dan tabligh. Golongan ini mendapat
pengaruh dari tulisan-tulisan Abdullah Ahmad, Abd. Karim Amrullah, dan
Zainuddin Labay dari Sumatera serta Ahmad Surkati dari Jawa. Oleh Kaum Tua
mereka dianggap mengganggu eksistensi pemahaman mereka. Kaum Muda menganggap
agama hanyalah apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya.[19]
Abdul Latif, pamannya selalu
mengingatkan Ahmad Hassan agar tidak berhubungan dengan Faqih Hasyim yang
dianggap telah membawa pertikaian dalam masalah agama di Surabaya. Tetapi
ketika Ahmad Hassan tinggal bersama pamannya Abdullah Hakim ia diperkenalkan
dengan K.H.Abd.Wahab Hasbullah yang kemudian menjadi seorang tokoh Nahdhatul
Ulama. Dalam kunjungannya ke Kiai tersebut, ia diberitahukan beberapa sumber
konflik antara Kaum Tua dan Kaum Muda, diantaranya adalah pelafalan ushalli
dengan bersuara yang dilakukan sebelum salat. Kaum Muda menolak mentah-mentah
praktik ini karena menurut mereka tidak dijumpai dasarnya dalam al-Qur’an dan
Hadis. Pembicaraannya dengan Kiai Wahab itu mendorongnya untuk berfikir lebih
jauh tentang masalah tersebut. Akhirnya, berdasarkan penelitiannya terhadap
al-Qur’an dan Hadis sahih, ia sampai pada kesimpulan bahwa pendapat Kaum
Mudalah yang benar. Ia tidak menemukan satu dalil pun yang mendukung praktik ushalli
Kaum Tua tersebut.[20]
Perhatiannya untuk memperdalam Islam
semakin serius sejak menyaksikan munculnya berbagai persoalan dan timbulnya
pertentangan antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Maksud awal untuk berdagang tidak
dapat dipertahankannya lagi dan beliau lebih banyak bergaul dengan Faqih Hasyim
dan Kaum Muda lainnya.
b.
Pindah ke Bandung.
Ketika toko yang dikelolanya di
Surabaya mundur, maka ia serahkan kembali ke pamannya, dan kemudian dipindahkan
kepada seorang sahabatnya Bibi Wantee. Selanjutnya dua orang sahabatnya Bibi
Wantee dan Muallimin mengirimnya ke Kediri untuk mempelajari pertenunan, karena
saat itu di Surabaya banyak pedagang yang membuka perusahaan tenun. Tetapi
dengan itu ia belum berani membuka pertenunan, dan dengan persetujuan kedua
sahabatnya ia meneruskan pelajarannya ke sekolah pertenunan pemerintah di
Bandung dan belajar di sana kurang lebih sembilan bulan.[21]
Di Bandung Ahmad Hassan tinggal di
keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persis. Dengan keadaan itu,
tanpa sengaja, Ahmad Hasan telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan
penelaahan dan pengkajian Islam melalui Persis, suatu kegiatan yang tidak ingin
ditinggalkannya. Karena itulah ia tidak lagi berminat mendirikan perusahaan
tenunnya di Surabaya. Dengan persetujuan kawan-kawannya, ia mengalihkan
usahanya ke Bandung. Akan tetapi, perusahaan tenun yang didirikannya gagal
sehingga terpaksa ditutup. Sejak itulah, minatnya untuk berusaha tidak muncul
lagi. Akhirnya ia mengabdikan dirinya dan memasuki jam’iyyah Persis pada tahun
1926 (tiga tahun setelah berdiri).[22]
Ahmad Hassan masuk Persis karena ia
sadar bahwa pemikirannya harus dituangkan dalam sebuah gerakan agar bisa
berkembang secara efektif. Maka yang terlihat kemudian adalah gabungan antara
watak Ahmad Hassan yang tajam dalam berfikir dan ciri Persis yang keras.
Hasilnya, sebuah gerakan tajdid yang cepat meluas. Ia telah membawa
Persis menjadi organisasi pembaharu yang terkenal tegas dalam masalah fiqhiyyah.
Di tangannyalah, Persis tampil dengan corak dan warna baru dalam gerakan
pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.[23]
Kiprah Ahmad Hassan di Persis
sejalan dengan program jam’iyyah Persis yang ditujukan terutama pada penyebaran
cita-cita dan pemikirannya; yakni menegakkan al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini ia
lakukan dengan berbagai aktivitas, antara lain dengan mengadakan
tabligh-tabligh, mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai buku, majalah dan
selebaran-selebaran, membasmi bid’ah, khurafat, dan takhayyul, taklid, dan
syirik.[24]
Selama menetap di Bandung, pemikiran
Ahmad Hassan semakin berkembang
melingkupi berbagai masalah keagamaan. Mulai dari persoalan sumber hukum Islam,
hukum Islam, ijtihad, taklid, ittiba’, tauhid, mazhab, sampai pada paham kebangsaan. Semua bagian
itu diulasnya dalam tulisan sampai pada debat terbuka. Masa 1934-1936 Ahmad
Hassan juga menjadi semacam guru spiritual bagi Sukarno ketika ia diasingkan ke
Endeh Nusa Tenggara Timur lewat korespondensi surat menyurat. Sukarno ketika
itu meminta buku-buku karangan Ahmad Hassan untuk dipejarinya.
c.
Pindah ke Bangil.
Menjelang pendudukan Jepang, pada
tahun 1940 Ahmad Hassan terpanggil untuk kembali ke Surabaya. Kepindahannya itu
selain karena permintaan Bibi Wantee, juga karena kekurangan dari segi finasial
walaupun ia memiliki usaha percetakan. Semula ia akan pindah ke Surabaya tetapi
tanah yang diperolehnya untuk mengembangkan pesantren berada di Bangil.[25] Di Bangil, kota
kecil dekat Surabaya ia mendirikan pesantren Persis seperti yang pernah
dilakukannya di Bandung untuk mendidik para santrinya. Di Bangil ini pulalah,
disamping kegiatan sehari-harinya sebagai pendidik, perhatiannya ditumpahkan
pada penelitian agama Islam, langsung dari sumber pokoknya, al-Qur’an dan
Sunnah. Puncaknya Tafsir al-Furqannya dapat ia selesaikan dan diterbitkan
secara lengkap untuk pertama kalinya pada tahun 1956.
Pada hari Senin tanggal 10 Nopember
1958, di Rumah Sakit Karangmenjangan (RS. Dr. Soetomo sekarang) Surabaya, Ahmad
Hassan berpulang ke ramatullah dalam usia 71 tahun.
4.
Karya-Karyanya.
Berikut adalah buku-buku karangan
Ahmad Hassan yang dikutip dari Tamar Djaja halaman 166-168; Syafiq Mughni,
halaman 129-131; Endang Syaifuddin Anshari, halaman 144-149.
Karangan-karangannya disusun berdasarkan tahun terbitnya. Karangan yang tidak
bertahun adalah karangan yang tidak diterbitkan.
1. Pengajaran Shalat terbit
tahun 1930 = 45.000 eks.
2. Pengajaran Shalat
(huruf Arab) terbit
tahun 1930 = 5.000 eks.
3. Kitab Talqin terbit
tahun 1931 = 5.000 eks.
4. Risalah Jum’at terbit
tahun 1931 = 4.000 eks.
5. Debat Riba terbit
tahun 1931 = 2.000 eks.
6. Al-Mukhtar terbit
tahun 1931 = 8.000 eks.
7. Soal Jawab terbit
tahun 1931 = 7.000 eks.
8. Al-Burhan terbit
tahun 1931 = 2.000 eks.
9. Al-Furqan terbit
tahun 1931 = 2.000 eks.
10. Debat Talqin terbit
tahun 1932 = 7.000 eks.
11. Kitab Riba terbit
tahun 1932 = 2.000 eks.
12. Risalah Ahmadiyah terbit
tahun 1932 = 3.000 eks.
13. Pepatah terbit
tahun 1934 = 2.000 eks.
14. Debat Luar Biasa terbit
tahun 1934 = 3.000 eks.
15. Debat Taqlid terbit
tahun 1935 = 6.000 eks.
16. Debat taqlid terbit
tahun 1936 = 10.000 eks.
17. Surat-Surat Islam
dari Endeh terbit
tahun 1937 = 10.000 eks.
18. Al-Hidayah terbit
tahun 1937 = 2.000 eks.
19. Ketuhanan Yesus
Menurut Bibel terbit
tahun 1939 = 4.000 eks.
20. Bacaan Sembahyang terbit
tahun 1939 = 15.000 eks.
21. Kesopanan Tinggi terbit
tahun 1939 = 15.000 eks.
22. Kesopanan Islam terbit
tahun 1939 = 2.000 eks.
23. Hafalan terbit
tahun 1940 = 5.000 eks.
24. Qaidah Ibtidaiyah terbit
tahun 1940 = 8.000 eks.
25. Hai Cucuku terbit
tahun 1941 = 4.000 eks.
26. Risalah Kerudung terbit
tahun 1941 = 7.000 eks.
27. Islam dan
Kebangsaan terbit
tahun 1941 = 6.000 eks.
28. An - Nubuwwah terbit
tahun 1941 = 8.000 eks.
29. Perempuan Islam terbit
tahun 1941 = 7.000 eks.
30. Debat Kebangsaan terbit
tahun 1941 = 3.000 eks.
31. Tertawa terbit tahun 1947 =
3.000 eks.
32. Pemerintahan Cara
Islam terbit
tahun 1947 = 5.000 eks.
33. Kamus Rampaian terbit
tahun 1947 = 4.000 eks.
34. A.B.C. Politik terbit
tahun 1947 = 6.000 eks.
35. Merebut Kekuasaan terbit
tahun 1947 = 4.000 eks.
36. Al-Manasik terbit
tahun 1948 = 2.000 eks.
37. Kamus Persamaan terbit
tahun 1948 = 4.000 eks.
38. Al-Hikam terbit
tahun 1948 = 4.000 eks.
39. First Step terbit
tahun 1948 = 2.000 eks.
40. Al-Faraidh terbit
tahun 1949 = 10.000 eks.
41. Belajar Membaca
Huruf Arab terbit
tahun 1949 = 3.000 eks.
42. Special Edition terbit
tahun 1949 = 2.000 eks.
43. Al-Hidayah terbit
tahun 1949 = 6.000 eks.
44. Sejarah Isra’
Mi’raj terbit
tahun 1949 = 6.000 eks.
45. Al-Jawahir terbit
tahun 1950 = 5.000 eks.
46. Matan Ajrumiyah terbit
tahun 1950 = 2.000 eks.
47. Kitab Tajwid terbit
tahun 1950 = 8.000 eks.
48. Surah Yasin terbit
tahun 1951 = 2.000 eks.
49. Is Muhammad a
Prophet terbit
tahun 1951 = 5.000 eks.
50. Muhammad Rasul ? terbit
tahun 1951 = 5.000 eks.
51. Apa Dia Islam terbit
tahun 1951 = 5.000 eks.
52. What is Islam terbit
tahun 1951 = 3.000 eks.
53. Tashawuf terbit
tahun 1951 = 30.000 eks
54. Al-Fatihah terbit
tahun 1951 = 5.000 eks
55. At- Tahajji terbit
tahun 1951 = 5.000 eks.
56. Pedoman Tahajji terbit
tahun 1951 = 5.000 eks.
57. Syair terbit
tahun 1953 = 2.000 eks.
58. Risalah Hajji terbit
tahun 1954 = 2.000 eks.
59. Wajibkah Zakat terbit
tahun 1955 = 3.000 eks.
60. Wajibkah
Perempuan Berjum’at terbit
tahun 1955 = 4.000 eks.
61. Topeng Dajjal terbit
tahun 1955 = 3.000 eks.
62. Halalkah
Bermazhab terbit
tahun 1956 = 7.000 eks.
63. Al-Mazhab terbit
tahun 1956 = 7.000 eks.
64. Tafsir al-Furqan terbit
tahun 1956 = 85.000 eks.
65. Bybel-Bybel terbit
tahun 1958 = 5.000 eks.
66. Isa Disalib terbit
tahun 1958 = 5.000 eks.
67. Isa dan Agamanya terbit
tahun 1958 = 5.000 eks.
68. Bulughul Maram
(terj.) terbit
tahun 1959 = 20.000 eks.
69. At-Tauhid terbit
tahun 1959 = 15.000 eks.
70. Adakah Tuhan ? terbit
tahun 1962 = 12.000 eks.
71. Pengajaran Shalat terbit
tahun 1966 = 3.000 eks.
72. Dosa-Dosa Yesus terbit
tahun 1966 = 3.000 eks.
73. Bulughul Maram II
(terj.)
74. Hai Puteriku
75. Nahwu
76. Al-Iman
77. Aqaid
78. Hai Puteriku II
79. Ringkasan Islam
80. Munazarah
B. Latar Belakang Penyusunan Tafsir Al-Furqan.
Dalam pendahuluan tafsirnya Ahmad
Hassan menulis bahwa karangannya ini mula-mula terbit adalah bahagian pertama
dari Tafsir Al-Furqan pada bulan Muharram 1347 H. atau Juli 1928. Tetapi
lantaran penerbitannya diselang selingi dengan beberapa kitab yang dianggap
perlu oleh anggauta-anggauta “Persatuan Islam”, maka pada tahun 1941 baru dapat
disambung sampai surah Maryam.[26]
Pada tahun 1953, tuan Sa’ad Nabhan (seorang
penerbit dan pedagang buku di Surabaya), minta saya berhenti sampai di situ dan tulis
semula Al-Furqan dari awal sampai akhir; dan ia sanggup menerbitkannya dengan
lengkap 30 juz.[27]
Ahmad Hassan kemudian menulis
kembali dengan cara lain, yaitu yang menurut ia sangat penting, yaitu
menerangkan arti tiap-tiap ayat. Adapun buat arti yang menurut istilah beliau
bercabang dari sesuatu ayat atau sesuatu tafsiran, maka ia mempersilahkan untuk
membandingkannya dengan tafsir yang lain.Tujuan penyusunannya menurut beliau tidak
lain agar memudahkan pembaca dan masyarakat Islam untuk memahami makna
al-Qur’an dan menjadikannya pedoman dalam kehidupan mereka. Buku ini kemudian rampung pada tahun 1956.
C. Sistimatika Penyusunan Tafsir Al-Furqan
Dalam periodesasi literatur tafsir
di Indonesia, Howard M. Federspiel memasukkan tafsir Al-Furqan Ahmad Hassan bersama
Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus dan Tafsir Al-Qur’an karya Zainuddin
Hamidy dan Fachruddin Hs ke dalam periode atau dalam istilahnya generasi kedua
(muncul pada pertengahan tahun 1960-an sampai pada tahun 1970-an) yang
merupakan penyempurnaan atas generasi pertama (kira-kira dari permulaan abad
ke-20 sampai awal tahun 1960-an). Cirinya, biasanya mempunyai beberapa catatan,
catatan kaki, terjemaham kata perkata, dan kadang-kadang disertai indeks yang
sederhana.[28]
Kategorisasi Federspiel ini memang
bermanfaat dalam melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Tetapi
pembagian ini bukan tanpa kelemahan, terutama dari segi tahun pemilahannya.
Ketiga tafsir di atas menurutnya sangat refresentatif untuk mewakili generasi
kedua. Padahal kalau ditilik secara seksama, ketiga karya itu telah muncul
sebelum tahun 1960-an, yang dalam kategorisasi yang ia susun mestinya masuk ke
dalam generasi pertama. Mahmud Yunus telah menyelesaikan tafsirnya tahun 1938
dan diterbitkan tahun 1957, Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs telah
merampungkan tafsirnya tahun 1959 dan terbit tahun itu juga, sementara Ahmad
Hassan tahun 1956.
Sistimatika penyusunan tafsir
Al-Furqan Ahmad Hassan dapat dilihat sebagai berikut :
1.
Dimulai dengan Pendahuluan.
Penyusunan tafsir Al-Furqan
diawali dengan pendahuluan yang didalamnya dibahas tentang latar belakang
penyusunan dan tahun penyusunannya. Selanjutnya dikemukakan istilah-istilah
tertentu yang terkait dengan al-Qur’an yang dibaginya dalam fasal-fasal.
Setidaknya ada 35 fasal yang terdapat dalam tafsir itu disertai dengan
penjelasannya. Fasal-fasal itu meliputi tentang teknik terjemahan dan
tafsirnya, Ulumul Qur’an, Tajwid, kandungan pokok al-Qur’an, Hadis, Ushul Fiqh,
dan tata bahasa Arab. Jika dikaitkan dengan syarat-syarat yang harus dimiliki
seorang mufassir, nampaknya apa yang dikemukakan oleh Ahmad Hassan dalam
fasal-fasal ini sebagian besar syarat itu tercakup didalamnya, yaitu penguasaan
atas aspek-aspek di atas. Setidaknya ia juga ingin menegaskan bahwa penguasaan
hal ini harus menjadi pedoman dasar bagi seseorang yang ingin menafsirkan
al-Qur’an.
Istilah-istilah yang termuat dan
dijelaskan secara detail dalam fasal-fasal tersebut adalah fasal 1 menyangkut
tentang cara menyalin/terjemah; fasal 2 tentang tekanan arti; fasal 3 tentang
konsep faham dari terjemahan; fasal 4 tentang ejaan yang terpakai; fasal 5
tentang Qur’an dan tarikh turunnya; fasal 6 tentang ayat pertama dan yang
akhir; fasal 7 tentang pembahagian Qur’an; fasal 8 tentang cara turun Qur’an;
fasal 9 tentang mengumpulkan Qur’an; fasal 10 tentang ringkasan tentang Qur’an;
fasal 11 tentang membaris Qur’an; fasal 12 tentang menitik Qur’an; fasal 13
tentang asbabun nuzul; fasal 14 tentang tajwid; fasal 15 tentang apabila Qur’an
tafshilkan; fasal 16 tentang apabila Qur’an hasharkan; fasal 17 tentang bismillah,
a’udzu dan diam; fasal 18 tentang cara membaca Qur’an; fasal 19 tentang
hadis yang berlawanan dengan Qur’an; fasal 20 tentang mu’jizat; fasal 21
tentang mi’raj; fasal 22 tentang Isa tidak berbapak; fasal 23 tentang bangkitan
kiamat; fasal 24 tentang azab kubur; fasal 25 tentang kekalnya surga dan
neraka; fasal 26 tentang kesenangan surga, azab neraka; fasal 27 tentang azab
dunia; fasal 28 tentang jin; fasal 29 tentang israiliyah; fasal 30 tentang arti
asal; fasal 31 tentang hukum asal; fasal 32 tentang huruf-huruf potongan; fasal
33 tentang lafazh Arab dan penjelasannya; fasal 34 tentang beberapa makna
rangkaian dan penjelasannya dalam bahasa Arab; dan fasal 35 tentang qamus
beberapa kalimah.[29]
Beberapa hal penting perlu
dijelaskan di sini terutama yang terkait erat dengan penyusunan tafsir ini,
misalnya untuk teknik terjemahan. Ahmad Hassan mengatakan bahwa dalam
menterjemahkan ayat-ayat, ia menggunakan, sedapat-dapatnya, salinan sekalimah
dengan sekalimah, kecuali yang tidak dapat dilakukan demikian, barulah ia pakai
cara menyalin makna, karena pandangan ia, yang tersebut itulah sebaik-baik cara
bagi orang yang hendak teliti di dalam terjemahan. Ia mencontohkan seperti qala
lahu, kalau disalin selafadz dengan selafadz artinya adalah “ia berkata
baginya”, tetapi ia salin menjadi “ ia berkata kepadanya”. Demikian juga frase
“amanna billahi”, biasanya di salin “ia percaya dengan Allah”, tetapi ia
artikan “ia percaya kepada Allah”. Demikianlah ia berkisar dari terjemahan
harfiyah bila menyalahi kefasihan bahasa Melayu atau Indonesia.[30] Untuk lafaz-lafaz
yang perlu ditafsirkan maka tafsirannya dapat dibaca pada foot note yang terdapat
dalam kitab tafsir tersebut.
Untuk terjemahan ini ia mengingatkan
bahwa Qur’an itu bahasa Arab dan diterjemahkan ke bahasa kita supaya kita
faham. Tetapi lanjutnya, telah ma’lum diantara ahli-ahli bahasa bahwa kalau
diterjemahkan satu kalimah dari bahasa A umpamanya ke bahasa B, maka belum
tentu apa-apa yang difahami dari bahasa A itu bisa juga difahami dari bahasa B.
Dari itu, ia mengingatkan bahwa apa-apa “faham” yang didapat dari tafsir bahasa
Indonesia, di tafsir ini, sekedar membantu “memahami” dan belum tentu itupun
atau itulah yang dimaksudkan oleh ayat.[31] Di sini Ahmad Hassan
terlihat sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an karena
pekerjaan itu tidak mudah dan sangat kompleks serta adanya keinginan penulis
untuk menggugah kepada setiap muslim agar berinteraksi secara langsung dengan
al-Qur’an.
Untuk bidang Ulumul Qur’an, Ahmad
Hassan lebih banyak menjelaskan tentang isi Ulumul Qur’an sebagaimana yang
terdapat dalam kitab-kitab klasik sebelumnya. Pembahasannya singkat dan
merupakan intisari dari berbagai kitab yang ada. Nampaknya ia hanya sekedar
memuatnya untuk kepentingan memperkenalkan dasar-dasar Ulumul Qur’an kepada
setiap pembaca tafsirnya. Hal yang sama dapat dijumpai pada
penjelasan-penjelasannya mengenai pokok-pokok kandungan al-Qur’an yang terdapat
pada fasal-fasal yang dicantumkannya.
Salah satu bagian penting lainnya
dari fasal-fasal tersebut adalah fasal 35 yang memuat qamus beberapa kalimah
yang digunakan dalam tafsirnya. Kalimah-kalimah itu ada yang merupakan
istilah-istilah teknis penafsiran seperti asbabun nuzul, hashr, mujmal,
mufashshal, mu’jizat, munasabah, dan takwil. Sedang lainnya adalah pilihan
kata-kata yang terkait dengan Tuhan, manusia dan situasi yang mengitarinya, dan
alam ghaib. Setidaknya ada 133 istilah
di sana yang dijelaskan. Ada yang dijelaskan menurut arti bahasanya saja,
tetapi sebagian yang lainnya, selain dijelaskan secara bahasa juga diberi
pengertian istilahnya.[32]
Masih dalam pendahuluan tafsir
tersebut terdapat pula semacam indeks al-Qur’an. Bagian ini diletakkan sesudah
pembahasan fasal-fasal. Sebenarnya indeks ini bukan berasal dari penulisnya
tetapi ditulis oleh anaknya yaitu Abd. Qadir Hassan. Kemungkinannya indeks ini
tidak terdapat dalam cetakan-cetakan sebelumnya. Tetapi karena kebutuhan
mendesak akibat perlunya pencarian secara cepat topik-topik yang berkembang
kala itu (disesuaikan dengan tafsir Al-Furqan yang menjadi dasar penulis
makalah ini dalam meneliti yaitu yang terbit tahun 1986), maka indeks ini pun
diadakan oleh puteranya.
Topik-topik yang menjadi indeks
dalam tafsir itu ditopang oleh beberapa ayat yang menurut penulisnya diambil
dari kitab Tafshīl Ayāt al-Qur’ān al-Karīm karya Muhammad Fūad Abd al-Bāqiy. Indeks yang
tertera dalam tafsir itu disusun sebagai berikut : 1) adil, 2) amanat, 3) arak,
4) bakhil, 5) bahagia, 6) bersih, 7) bintang-bintang, 8) boros, 9) buat baik,
10) bumi, 11) bunuh diri, 12) khianat, 13) dagang, 14) jaga diri, 15) jiwa, 16)
judi, 17) fakir, 18) falak, 19) faraidh, 20) gharizah, 21) Hajj, 22) hawa
nafsu, 23) hidup, 24) ikhtiar, 25), ilmu, 26) injil, 27), yatim, 28) kaya, 29)
kapal, 30) kawin, 31) keluarga, 32) kesehatan, 33) ketua kafir, 34) langit, 35)
ma’af, 36) makanan yang haram, 37) manusia, 38) marah, 39) masukrumah orang,
40) merusak, 41) miskin, 42) mungkir janji, 43) perang, 44) perhiasan, 45)
persatuan, 46) puasa, 47) qishash, 48) ria, 49) riba, 50) salam, 51)
sembahyang, 52) sabar, 53) shadaqah, 54), sombong, 55) tabligh, 56) takut, 57)
tanggung jawab, 58) thalaq, 59) tipu, 60) cela, 61) tolong menolong, 62)
undian, 63) warisan, 64) wudhu’, dan 65) zhalim.[33]
Ditengah maraknya buku-buku yang
memuat tentang klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan kepada
topik-topik yang ada dan “boomingnya” penerapan tafsir mawdhū’iy dalam penelitian
tafsir, indeks ini bisa menjadi sebuah tawaran untuk dijadikan pedoman dalam
memudahkan mencari ayat-ayat terkait dengan sebuah topik tertentu.
Setelah indeks ini penulis tafsir
Al-Furqan menyusun daftar surah al-Qur’an secara alfabetis dengan menghilangkan
awalan al pada surah yang dimulai dengan awalan al. Dan untuk
memudahkan pembaca melihat surah-surah itu maka penulisnya mencantumkan halaman
setiap surah bersangkutan. Ini dapat dilihat komposisinya pada halaman xlv-xlvi.
Bagi yang ingin mencari letak surah berdasarkan urutan surah yang sesuai dengan
mushaf standar maka penulisnya menyusunnya dalam fihrasāt surah-surah disertai
halaman tempatnya. Bagian ini ditempatkan pada halaman xlvii-xlix. Sementara fihrasāt surah-surah dengan
huruf Arab beserta halamannya ditempatkan pada halaman l-li dalam tafsir
tersebut. Demikian juga dengan fihrasāt juz-juz ditempatkan
di halaman lii.
2.
Format Penyusunan Tafsirnya.
Sesudah keterangan-keterangan di
atas barulah Ahmad Hassan masuk ke penafsiran yang dimulainya dari surah al-Fātihah sampai kepada
surah al-Nās. Format yang dipakainya adalah ayat-ayatnya ditulis di sebelah
kanan halaman. Sedangkan terjemahan
bahasa Indonesianya diletakkan di sebelah kiri. Pada bagian awal setiap surah
dijelaskan arti surah tersebut, juznya, nomor urutan surah dan jumlah ayatnya serta tempat
pewahyuannya. Tulisan dalam kedua bahasa itu sangat jelas yang memungkinkan
pembaca dapat membaca kedua bahasa itu dengan jelas pula. Pada kata atau ayat
yang dianggap memerlukan penafsiran, penulisnya memberi nomor, semacam foot
note pada tulisan ilmiah, di bagian akhir kata atau ayat pada terjemahan bahasa
Indonesianya. Sedangkan tafsirannya diletakkan pada bagian bawah garis
disesuaikan dengan nomor yang tertera di atasnya. Kesan penafsirannya yang
sederhana memang sangat kuat terlihat, terutama dalam bangunan tafsir yang
berbentuk catatan kaki, seperti yang terlihat dalam tafsir Al-Furqan ini.
Sebagai contoh dapat dilihat
pada penafsirannya mengenai surah al-Nās berikut ini:
An-Nās (Manusia). Surah ke
114 : 6 ayat. Diwahyukan di Makkah
Dengan nama Allah, Pemurah,
Penyayang.
1. Katakanlah : “Aku
berlindung dengan Pemelihara manusia”.
4545)
2. “Raja bagi manusia”.
3. “Tuhan bagi manusia”.
4. “Daripada kejahatan
pembisik yang menunggu-nunggu peluang”.
5. “Yang membisik-bisik di
hati manusia”.
4546) 4547)
6. “Dari jin dan msnusia”.
|
بسم الله الرحمن الرحيم
1- ö@è%
èqããr& Éb>tÎ/ Ĩ$¨Y9$#
2- Å7Î=tB
Ĩ$¨Y9$#
3- Ïm»s9Î) Ĩ$¨Y9$#
4- `ÏB Ìhx© Ĩ#uqóuqø9$# Ĩ$¨Ysø:$#
5- Ï%©!$# â¨Èqóuqã Îû Írßß¹ ÄZ$¨Y9$#
6- z`ÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Y9$#ur
|
___________________
4545) Boleh juga diartikan
“Pemilik Manusia”.
4546) Maksudnya jin di sini
ialah makhluk-makhluk yang tidak dapat kita lihat dengan mata biasa, seperti
hantu, jembalang, ifrit, setan dan lain-lainnya.
4547) Ringkasan surah ini : “
Aku berlindung kepada Allah daripada kejahatan jin dan manusia yang membisik-bisikkan
ma’siat dan kedurhakaan di hati”.
Perbedaan lain yang terlihat
jelas dalam tafsir itu adalah susunan ayat dalam surah al-Fātihah.
Ahmad Hassan sama sekali tidak memasukkan بسم الله الرحمن
الرحيم sebagai
ayat pertama dalam surah itu. Ini berbeda dengan mushaf standar yang dikenal
secara luas di Indonesia. Ayat pertama bagi beliau adalah الحمد
لله رب العلمين padahal
beliau sendiri mengakui bahwa surah itu berjumlah tujuh ayat. Ayat ketujuh menurutnya
adalah غير المغضوب عليهم ولا الضالين . Susunan selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut :
1-
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$#
2-
Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
3-
Å7Î=»tB ÏQöqt ÉúïÏe$!$#
4-
x$Î) ßç7÷ètR y$Î)ur ÚúüÏètGó¡nS
5- $tRÏ÷d$# xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$#
6-
xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã
7-
Îöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur tûüÏj9!$Ò9$#
|
Jika ditelusuri lebih jauh apa
alasan Ahmad Hassan berpendapat sesuai dengan pola susunan seperti ini,
sepanjang penelusuran penulis terhadap 6 karya tulisnya dan 10 karya mengenai
dirinya tidak satu pun yang mengungkapkan secara jelas alasan yang mendasarinya.
Karenanya hanya bersifat dugaan kuat bahwa beliau mengikuti pandangan ulama
yang mengatakan bahwa Bismillāh al-Rahmān al-Rahīm bukanlah ayat dari
surah al-Fātihah. Pandangan seperti ini sering dinisbahkan kepada Imām Mālik. Karena bukan
bagian dari surah al-Fātihah maka Imām Mālik menganggap tidak
perlu dibaca ketika membaca al-Fātihah dalam shalat. Alasannya
adalah pengamatannya terhadap amalan penduduk Madinah. Beliau menemukan bahwa
imam atau masyarakat umum tidak membaca Bismillāh ketika membaca surah
al-Fātihah. Di samping
itu, karena al-Qur’an bersifat mutawatir dalam arti periwayatannya disampaikan
oleh orang banyak yang jumlahnya meyakinkan, sedangkan riwayat tentang Bismillāh dalam al-Fātihah tidak demikian,
buktinya adalah kenyataan tentang terjadinya perbedaan pendapat mengenai hal itu.
Walaupun Ahmad Hassan tidak
mengakuinya sebagai ayat dari surah al-Fātihah, tetapi berbeda
dengan faham Imām Mālik, ia mengakuinya sebagai bagian dari surah tersebut[34]. Dan karena itu
harus tetap dibaca pada waktu shalat. Semangat moderasinya muncul ketika
menyatakan bahwa Bismillāh wajib dibaca dengan nyaring
atau pun tidak[35]. Kesimpulan itu
diambilnya ketika mengulas sekian dalil yang terkait dengan masalah ini.Sebagaimana
yang dipahami bahwa pembacaan nyaring adalah paham keagamaan yang dipegang kuat
oleh mazhab Syāfi’i sedang tidak nyaring adalah pegangan kuat bagi mazhab Hanafiy.
Sayang sekali bahwa baik dalam
pendahuluan sampai pada penafsirannya ataupun
pada bagian-bagian lain tidak
ditemukan bagian yang mengulas tentang sumber rujukan tafsirnya.
D. Metode dan Corak Tafsirnya.
1. Metodenya.
Studi tentang metode tafsir
sebenarnya masih terbilang baru dalam khazanah intektual umat Islam. Ia baru
dijadikan sebagai objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat.
Secara historis penafsiran al-Qur’an
telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan
Islam. Rasulullah saw sendiri sesungguhnya sudah menafsirkan al-Qur’an. Dan
sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran al-Qur’an tidak berhenti. Para sahabat
Nabi tampil sebagai penafsir walaupun dengan sangat hati-hati.
Penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat di atas, di belakang
hari kemudian dikenal dengan tafsīr bil ma’tsūr[36]. Yaitu tafsir yang
mendasari pembahasan dan sumbernya pada riwayat. Pada abad-abad selanjutnya,
usaha untuk menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra’y sudah mulai
berkembang seiring dengan perkembangan Islam yang telah meluas. Dalam konteks
ini umat Islam bertemu dengan berbagai problem yang membutuhkan pemecahan-pemecahan
berdasarkan al-Qur’an dan Hadis.
Karena problema-problema yang
ditemui itu tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an
dan Hadis, maka para ulama pun melakukan ijtihad dengan memberikan
interpretasi-interpretasi rasional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dari sini
kemudian lahir apa yang disebut tafsīr bil ra’y sebagai bandingan
atas tafsīr bil ma’tsūr, yaitu tafsir yang
mendasari pembahasan dan sumbernya pada penalaran atau ijtihad.
Berdasakan pembagian ini maka semua
tafsir yang menggunakan riwayat sebagai sumber utamanya digolongkan ke dalam
jenis tafsīr bil ma’tsūr, sedangkan tafsir
yang menggunakan ra’y sebagai analisisnya digolongkan ke dalam tafsīr bil ra’y. Kesulitan pada
pembagian ini adalah karena hampir tidak ada lagi yang semata-mata berdasarkan
riwayat ataukah murni bersifat ra’y. Yang banyak justru adalah tafsir
yang memadukan antara riwayah dan ra’y (dirayah). Dan untuk jenis tafsir
ini sampai sekarang belum ada istilah yang tepat untuk menggambarkannya secara
refresentatif.
Oleh karena itu, para pengamat
tafsir kemudian berusaha untuk membuat pengelompokkan baru yang tidak lagi melihatnya dari dikhotomi
riwayat atau ra’y, tetapi meninjaunya dari segi pendekatan yang
digunakannya.[37] Ditinjau dari sudut
inilah kemudian lahir 4 metode, yaitu 1) tahlīliy, 2) ijmāliy, 3) muqāran, dan 4) mawdhū’iy. Sementara dua jenis
tafsir sebelumnya kemudian masuk dalam wilayah pembahasan sumber-sumber
penafsiran al-Qur’an.
Memperhatikan dengan seksama
pembahasan dan uraian keempat metode tafsir tersebut di atas dan mengaitkannya
dengan penafsiran Ahmad Hassan dalam
tafsir Al-Furqannya dapatlah disimpulkan bahwa metode yang digunakannya masuk
dalam metode ijmāliy , yaitu penafsiran al-Qur’an
berdasarkan urutan-urutan ayat per ayat menurut mushaf, dengan suatu uraian
yang ringkas tapi jelas dan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat
dikomsumsi oleh masyarakat awam maupun intelektual. Hal ini sejalan dengan
penuturan Ahmad Hassan dalam pendahuluan tafsirnya bahwa tafsirnya ini disusun
sedemikian untuk mempermudah masyarakat memahami ma’na al-Qur’an.
Tafsir Ahmad Hassan ini memiliki
perbedaan yang menyolok dengan tafsir-tafsir klasik sebelumnya yang telah
digolongkan masuk dalam kelompok tafsir ijmāliy, semisal Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm karya Muhammad Farid
Wajdi dan Tafsīr Jalālayn karya Jalaluddin
al-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli. Kalau kedua penafsir yang disebutkan
belakangan memasukkan tafsirannya ke dalam teks ayat secara bersambung, maka
tidak demikian halnya dengan Ahmad Hassan. Tafsirannya semuanya berbentuk
catatan kaki.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam bentuk
penafsirannya mengenai QS. al-Kahfi (18): 20-21 sebagai berikut :
20. “(Karena)
sesuangguhnya jika mereka mengetahui kamu, niscaya mereka akan rejam kamu
atau mereka akan kembalikan kamu ke dalam agama mereka; 1958) dan kamu tidak
akan berbahagia sekama-lamanya”.
|
20- öNåk¨XÎ) bÎ) (#rãygôàt ö/ä3øn=tæ óOä.qßJã_öt ÷rr& öNà2rßÏèã Îû öNÎgÏF¯=ÏB `s9ur (#þqßsÎ=øÿè? #¸Î) #Yt/r&
|
21. Dan demikianlah
Kami tunjukkan mereka (kepada manusia), 1959) supaya mereka mengetahui, bahwa
perjanjian Allah itu benar, dan bahwa hari kiamat itu, tidak ada syak tentang
(ada)-nya, 1960). Ingatlah, tatkala mereka berbantahan antara mereka tentang
urusan mereka (yang di gua itu), lalu mereka 1961) berkata : Dirikanlah atas
mereka itu satu pendirian. Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.
1962) Berkata orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka : 1963)
“Sesungguhnya kami akan adakan atas mereka satu tempat sembahyang.” 1964)
|
21- y7Ï9ºx2ur $tR÷sYôãr& öNÍkön=tã (#þqßJn=÷èuÏ9 cr& yôãur «!$# A,ym ¨br&ur sptã$¡¡9$# w |=÷u !$ygÏù øÎ) tbqããt»oYoKt öNæhuZ÷t/ öNèdtøBr& ( (#qä9$s)sù (#qãZö/$# NÍkön=tã $YZ»u÷Zç/ ( öNßg/§ ãMn=ôãr& óOÎgÎ/ 4 tA$s% úïÏ%©!$# (#qç7n=yñ #n?tã öNÏdÌøBr& cxÏGoYs9 NÍkön=tã #YÉfó¡¨B
|
_____________
1958) Maksudnya, jika
penyembah-penyembah berhala yang berkuasa di negeri ini tahu keadaan kita di
sini, niscaya mereka rejamkita atau kembalikan kita ke agama mereka yang sesat
itu.
1959) Kami sebabkan manusia dapat
tahu keadaan Ashabul Kahfi.
1960) Orang yang memperhatikan
riwayat Ashabul Kahfi itu tidak akan payah mempercayai hari kiamat.
1961) Orang-orang yang dapati
Ashabul Kahfi sesudah Allah matikan itu, berbantahan, lalu sebagian dari mereka
berkata kepada sebagian.
1962) Tutuplah pintu gua ini dengan
tembok supaya habis urusan ini, karena hal mereka yang sebenarnya hanya Allah
yang tahu.
1963) Orang-orang yang berkuasa di
negeri itu berkata : …………………….
1964) Ya’ni, tempat itu kami hendak
jadikan masjid.
Dalam menafsirkan al-Qur’an tidak
semua ayat diberi penjelasan, tetapi cukup dengan terjemahannya. Sebaliknya ada
satu ayat yang didalamnya diberi tafsiran satu bahkan sampai enam seperti
contoh penafsiran dalam QS. al-Kahfi (18) : 21 di atas . Nampaknya Ahmad Hassan
hanya merasa perlu untuk memberi tafsiran atas masalah-masalah yang dianggapnya
musykil menurut beliau. Contoh ayat yang tidak diberi penjelasan karena
menurutnya telah jelas dan hanya perlu diterjemahkan saja adalah QS. al-Baqarah
(2) : 241-242 :
241. Dan
perempuan-perempuan yang ditalaq itu (wajib mendapat) bekalan (nafkah) dengan
cara yang patut, (yaitu) satu kewajiban atas orang-orang yang (mau) berbakti.
242. Begitulah Allah
menerangkan hukum-hukum-Nya kepada kamu supaya kamu mengerti.
|
241- ÏM»s)¯=sÜßJù=Ï9ur 7ì»tFtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã úüÉ)GßJø9$#
242- Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# öNà6s9 ¾ÏmÏG»t#uä öNä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès?
|
2. Corak Tafsirnya.
Perkembangan ilmu-ilmu keislaman
yang tumbuh sejalan dengan perkembangan Islam di berbagai bidang, ternyata
mempengaruhi pula perkembangan corak tafsir. Setiap mufassir yang memiliki
bidang keahlian tertentu cenderung menafsirkan al-Qur’an berdasarkan latar
belakang keahlian dan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Dari sini kemudian melahirkan
bermacam-macam corak tafsir seperti tasawuf, fiqh, ilmi, filsafat, kalam,
teologis, bahasa, dan sosial kemasyarakatan.
Menelusuri karya-karya Ahmad Hassan
sebenarnya bisa memberikan gambaran tentang corak dari karangannya. Misalnya
buku Soal-Jawabnya yang 4 jilid dominan membahas aspek hukum Islam, demikian
juga dengan buku Kumpulan Risalahnya. Satu buku menyangkut pembahasan aspek
teologisnya diberi judul At-Tauhid. Dan begitu pun dengan buku-bukunya yang
lain. Tetapi bagaimana dengan pikiran-pikirannya dalam buku itu; apakah juga
dituangkan dalam kitab tafsir Al-Furqannya. Ternyata tidak semuanya dituangkan
dan butuh keseriusan tersendiri untuk melihat keterkaitan-keterkaitan pikiran-pikiran
Ahmad Hassan tersebut.
Tidak dimasukkannya sebagian
pembahasan dari buku-bukunya yang telah ada sebelum kitab tafsir ini karena
seperti diakuinya sendiri dalam pendahuluan tafsirnya bahwa ia menulis kembali
tafsir itu, padahal sudah sampai di surah Maryam. Ia kemudian merancang ulang dari awal dengan menerangkan arti tiap-tiap
ayat saja supaya dengan mudah dapat dipahami.
Berbeda misalnya dengan pola yang
ditempuh sebelumnya ketika menafsirkan juz amma lewat Tafsir Al-Hidayahnya yang
menggunakan metode tafsīr tahlīliy dan diterbitkan pada
tahun 1937. Agaknya yang mendasari ia tidak melakukan hal yang sama terhadap
Tafsir Al-Furqannya adalah karena ia dituntut untuk menyelesaikan secara utuh
tafsir tersebut sementara ketika diberi saran oleh Sa’ad Nabhan pada tahun 1953
umur beliau telah memasuki usia 66 tahun. Karena itu tepat kalau ia cenderung
menggunakan metode ijmāliy.
Untuk melihat corak tafsirnya,
misalnya saja corak fiqh dapat disebut bahwa beliau tidak terikat dengan satu
mazhab tertentu. Boleh jadi karena pengaruh dari risalah yang dikeluarkannya
pada tahun 1956 berjudul Risalah al-Mazhab yang isinya haram bermazhab.
Tetapi dalam penelusuran mengenai
corak tafsir fiqhnya tentang batalkah wudhu’ akibat bersentuhan antara
laki-laki dengan perempuan? Menurut beliau tidak batal karena yang dimaksudkan
dengan lamasa dalam QS. al-Nisa’ (4) : 43 yang berbicara tentang itu
diartikan dengan bersetubuh[38]. Alasannya adalah bahwa
terdapat beberapa hadis yang menunjukkan Nabi pernah mencium istrinya, lantas
terus shalat dan ada pula hadis yang menunjukkan Nabi ada pernah disentuh oleh
istrinya selagi ia shalat dan Nabi meneruskannya.[39] Jika pandangan ini
mau ditelusuri lebih jauh maka pandangan ini sebenarnya sama dengan yang
dikemukakan oleh Imam Hanafi ketika menafsirkan ayat itu dengan al-jima’
(bersetubuh).
Hal yang sama dijumpai pada
penafsirannya mengenai membaca Bismillah seperti yang telah disinggung sebelumnya
apakah mesti nyaring atau tidak. Walaupun beliau tidak mengakui bismillah sebagai satu ayat seperti pandangan Imam
Malik, tetapi membacanya dalam shalat wajib dilaksanakan. Nyaring atau tidak
terserah yang mana mesti dilakukan karena keduanya punya dasar. Di sini
terlihat bahwa ia membiarkan orang untuk mengamalkan sesuai dengan yang
dipahaminya. Nyaring berarti mengikuti mazhab Syafi’ dan tidak nyaring berarti
mengikuti paham keagamaan Imam Hanafi.
Dalam persoalan teologis misalnya
menyangkut tentang perbincangan ayāt al-shifah Ahmad Hassan juga
berpendirian seperti dalam lapangan hukum Islam. Ini terlihat misalnya ketika
menafsirkan QS. al-Furqan (25) : 59 pada lafaz istawā ala al-‘arsy. Beliau menegaskan
tafsirannya dengan menyebut bahwa bersemayam di atas arsy tidak mesti dengan
duduk di atasnya. Cukup kalau diartikan Allah berkuasa atas ‘Arsy, sedang arsy
itu adalah tempat yang paling jauh[40]. Penafsiran “Allah
berkuasa” adalah bentuk penafsiran yang mula digagas oleh kaum Mu’tazilah dan
diterapkan Ahmad Hassan dalam penafsiran ayat ini.
Hal berbeda dapat dijumpai ketika
menafsirkan lafaz yad Allah pada QS. al-Fath (48) : 10. Di sini Ahmad Hassan
tidak menjelaskan arti tangan Allah itu dan membiarkannya terhampar begitu
saja. Penafsiran dengan “tangan Allah” tanpa embel-embel pengertian seperti itu
adalah model penafsiran yang dipegang oleh kaum Sunni.
Kelihatannya bahwa corak tafsir yang
dikemukakannya dalam dua bidang di atas menggambarkan corak yang tidak bertumpu
pada elaborasi mazhab tertentu yang ada di dunia Islam.
III. KESIMPULAN
1. Ada beberapa
alasan yang melatarbelakangi tersusunnya Tafsir Al-Furqan, yaitu adanya
keinginan penulisnya untuk memudahkan memahami makna al-Qur’an. Di samping itu
adalah untuk mengisi kekosongan literatur tafsir baik untuk anggota Persis
secara khusus maupun masyarakat Islam secara luas. Selain itu juga didasarkan
atas permintaan Sa’ad Nabhan agar tafsir itu ditulis lengkap untuk diterbitkan.
2. Sistimatika Tafsir
Al-Furqan dimulai dengan pendahuluan yang didalamnya dibahas 35 fasal, yang
meliputi teknik terjemahan dan tafsir, Ulumul Qur’an, Tajwid, kandungan pokok
al-Qur’an, Hadis, Ushul Fiqh dan Tata Bahasa Arab. Sesudah itu disusul dengan
indeks al-Qur’an dan fihrasāt, kemudian baru memasuki wilayah
terjemahan dan tafsir ayat yang dimulai dari surah al-Fātihan dan diakhiri
dengan surah al-Nās. Format yang dipakainya adalah ayat-ayatnya ditulis di sebelah
kanan halaman. Sedangkan terjemahan
bahasa Indonesianya diletakkan di sebelah kiri. Pada bagian awal setiap surah
dijelaskan arti surah tersebut, juznya, nomor urutan surah dan jumlah ayatnya serta tempat
pewahyuannya. Tulisan dalam kedua bahasa itu sangat jelas yang memungkinkan
pembaca dapat membaca kedua bahasa itu dengan jelas pula. Pada kata atau ayat
yang dianggap memerlukan penafsiran, penulisnya memberi nomor, semacam foot
note pada tulisan ilmiah, di bagian akhir kata atau ayat pada terjemahan bahasa
Indonesianya. Sedangkan tafsirannya diletakkan pada bagian bawah garis
disesuaikan dengan nomor yang tertera di atasnya.
3. Metode tafsirnya
jika dihubungkan dengan metode tafsir yang telah ada masuk dalam wilayah tafsir
ijmāliy yaitu penafsiran al-Qur’an berdasarkan urutan-urutan
ayat per ayat menurut mushaf, dengan suatu uraian yang ringkas tapi jelas dan
dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikomsumsi oleh masyarakat awam
maupun intelektual. Sementara coraknya, misalnya dalam lapangan fiqh dan
teologis, beliau sama sekali tidak mau terikat dengan mazhab yang telah ada,
walaupun pada akhirnya tafsiran-tafsiran beliau dapat saja digiring dan dikaitkan
kepada pokok pandangan mazhab yang telah ada sebelumnya.
Wallāhu A’lamu bi al Shawāb.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’ān al-Karīm
A. Mughni, Syafiq.
Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal. Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1994
Anshari, H.Endang
Saifuddin. Ahmad Hassan : Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid dalam buku Abd. Rahman Haji
Abdullah. Gerakan Islah di Perlis : Sejarah dan Pemikiran. Kuala Lumpur : Pena SDN.BHD.
Cawidu, Harifuddin.
Metode dan Aliran dalam Tafsir, dalam Majalah Pesantren, No.1 Vol. VIII,
1991
Djaja, Tamar. Riwayat
Hidup A. Hassan. Jakarta : Mutiara, 1980
Dahlan, Abd.Aziz
(ed.). Ensiklopedi Islam, Jilid 2. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1993
al-Farmawiy, Abd Hayy.
Al-Bidāyah fiy al-Tafsīr al-Mawdhū’iy : Dirāsah Manhajiyyah Mawdhū’iyyah. Mesir : Maktabah
Jumhūriyyah, 1977
Goldziher, Ignaz.
Mazāhib al-Tafsīr al-Islāmiy diterjemahkan oleh
M. Alaika Salamullah dengan judul Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik Hingga
Modern. Yogyakarta : elSAQ Press, 2003
Hasan, Ahmad.
Tafsir Al-Furqan. Surabaya :
Al-Ikhwan, 1986
-----------------. Soal
Jawab Tentang Berbagai masalah Agama, Jilid 1-2. Bandung : CV. Diponegoro,
2006
M. Federspiel, Howard.
Popular Indonesian Literature of the Qur’an diterjemahkan oleh Tajul Arifin
dengan judul Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga Quraish
Shihab. (Bandung : Mizan, 1996
Noer, Deliar. Riwayat
Hidup Hassan. Bangil : Pesantren
Persis, t.th.
--------------------.
Gerakan Modern Islam di Indonesia 1940-1942. Jakarta : LP3ES, 1994
Subhan SD.
Ulama-Ulama Oposan. Bandung :
Pustaka Hidayah, 2000
Wildan, Dadan.
Yang Da’i Yang Politikus : Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis. Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1999
[1]Lihat Abd Hayy al-Farmawiy, Al-Bidāyah fiy al-Tafsīr al-Mawdhū’iy : Dirāsah Manhajiyyah Mawdhū’iyyah (Mesir : Maktabah Jumhūriyyah, 1977), h. 23
[4] Syafiq A.
Mughni, Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal (Surabaya : PT. Bina Ilmu,
1994), h. 11. Lihat juga H.Endang Saifuddin Anshari, Ahmad Hassan : Wajah
dan Wijhah Seorang Mujtahid dalam
buku Abd. Rahman Haji Abdullah, Gerakan Islah di Perlis : Sejarah dan
Pemikiran (Kuala Lumpur : Pena SDN.BHD., 1989), h. 111
[5]Subhan SD, op cit., h. 83
[6] Dadan Wildan,
Yang Da’i Yang Politikus : Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1999), h. 21
[7] Syafiq A.
Mughni, op cit., h. 12
[8] Subhan SD, op cit., h. 81
[9]Lihat Tamar Djaja, Riwayat Hidup A.
Hassan (Jakarta : Mutiara, 1980), h. 100-101
[10]Dadan Wildan, loc
cit.
[11]Syafiq Mughni, loc cit.
[13] Ibid.
[14] Deliar Noer, Riwayat Hidup Hassan
(Bangil : Pesantren Persis, t.th.), h. 3
[15]Subhan SD, op cit. h. 85
[16]Kejadan tersebut terjadi ketika ia
mengajar di Madrasah Assegaf Singapura. Ia mencium tangan (taqbil)
seorang nazir (pengawas atau kepala sekolah) yang juga seorang sayyid,
dan konon masih memiliki hubungan keturunan dengan Nabi. Mencium tangan itu
dilakukannya setiap kali bertemu, sehingga kalau dalam sehari ia bertemu lebih
dari sekali, maka cium tangan itu pun berulang ia lakukan. Untuk tindakannya
itu ia ditertawakan oleh teman-temannya. Rupanya hal itulah yang
dikritiknya dalam Utusan Melayu dan
membuat geger Singapura, sehingga pemerintah memberi peringatan agar tidak
mengganggu ketenteraman masyarakat. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam
di Indonesia 1940-1942 (Jakarta : LP3ES, 1994), h. 99-100
[17]Dadan Wildan, op cit. h. 23
[18]Abd.Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi
Islam, Jilid 2 (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 97
[19] Lihat Dadan Wildan, loc cit.
Syafiq Mughni, op cit., h. 16
[20] Deliar Noer, op cit., h. 98-99
[21]Lihat Syafiq Mughni, op cit.,
h. 17; Endang Syaifuddin Anshari, op cit., h. 123
[22] Lihat Dadan Wildan, op cit.,
h. 24
[23] Ibid, h. 28
[24] Endang Syaifuddin Anshari, op
cit., h. 116
[25] Lihat Subhan SD, op cit., h.
107-108
[26]Ahmad Hassan, loc cit.
[27]Ibid.
[28] Howard M. Federspiel, Popular
Indonesian Literature of the Qur’an diterjemahkan oleh Tajul Arifin dengan
judul Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab
(Bandung : Mizan, 1996), h. 129
[29] Ahmad Hassan, op cit., h.
vii-xxxix
[30] Ibid., h. vii
[31]Ibid., h. viii
[32] Ibid, h. xxxiv-xxxix
[33] Ibid.,h. xl-xliv
[34]Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang
Berbagai masalah Agama, Jilid 1-2 (Bandung : CV. Diponegoro, 2006), h. 98
[35] Ibid., h. 103
[36]Lihat Ignaz Goldziher, Mazāhib al-Tafsīr al-Islāmiy diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah dengan
judul Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik Hingga Modern (Yogyakarta : elSAQ
Press, 2003), h. 87
[37] Lihat Harifuddin Cawidu, Metode dan
Aliran dalam Tafsir, dalam Majalah Pesantren, No.1 Vol. VIII, 1991, h. 5
[38]Ahmad Hassan, Tafsir Al-Furqan, op
cit., h. 165
[39]Lihat Ahmad Hassan, Soal Jawab 1-2,
op cit., h. 60-63
[40] Lihat Ahmad Hassan, Tafsir Al-Furqan,
op cit., h. 708-709
1 komentar:
Kami mencoba menawarkan sebuah metodologi tafsir "baru" melalui pendekatan bentuk geometri Ka'bah dan pola susunan Al Qur'an, yang dapat di baca di : manhaj al bait al atiq, pada : www.polaruangalquran.blogspot.com
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....