Minggu, 20 Mei 2012

METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN




 Oleh : Muhammad Shadiq Shabry

 I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah.

Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diyakini sebagai petunjuk bagi manusia. Keyakinan tersebut menempatkan kitab suci ini sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam. Kedudukannya sebagai kitab suci dan sumber dari agama yang telah dinyatakan sempurna mengandung pengertian bahwa ia mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan hidup di sepanjang masa.
Dalam usaha menemukan petunjuk-petunjuk Allah dalam al-Qur'an tersebut diperlukan usaha penafsiran. Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci al-Qur'an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam penafsiran adalah hal yang tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu, misalnya perbedaaan kecenderungan,  motivasi mufassir, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari.
            Usaha penafsiran sesungguhnya telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah saw. Al-Qur'an juga memang telah mendorong ke arah tersebut, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Secara eksplisit al-Qur'an telah memerintahkan untuk menyimak dan memahami ayat-ayatnya. Hal tersebut dapat dijumpai misalnya dalam Q.S. al-Nisa (4) : 82, Q.S.Muhammad (47) : 24. Dan secara implisit, upaya mencari penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dimungkinkan oleh pernyataan  al-Qur'an itu sendiri bahwa ia diturunkan oleh Allah untuk menjadi petunjuk (QS.al-Baqarah (2) : 2, 97, 185), dan rahmat (QS. al-A’rāf (7) : 51, 203) bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Agar tujuan itu terwujud dengan baik, maka ayat-ayat al-Qur'an, yang umumnya berisi konsep-konsep, prinsip-prinsip pokok yang belum terjabar, aturan-aturan yang masih bersifat umum, dan sebagainya, perlu dijelaskan, agar dapat dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan manusia.
Kegiatan tersebut kemudian berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adanya kesenjangan waktu yang semakin jauh dari masa al-Qur’an diturunkan merupakan sebuah problem tafsir yang coba hendak diatasi oleh para mufassir, sehingga mereka dapat menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur’an. Sejalan dengan itu,  perkembangan ilmu-ilmu keislaman dan peradaban yang mengitarinya ternyata ikut mempengaruhi produk penafsiran mereka. Dan seperti yang terlihat bahwa produk penafsiran mereka itu tetap saja tidak berwajah tunggal, melainkan sangat beragam seiring dengan keragaman kecenderungan,  motivasi, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari mereka.
Berbagai metode dan corak tafsir pun bermunculan. Para pengamat tafsir lalu berusaha mengelompokkan metode dan corak tafsir yang beragam itu berdasarkan sudut tinjauan tertentu. Lahirlah kemudian metode tafsir, seperti metode tahlīliy, ijmāliy, muqāran dan mawdhū'iy[1]. Demikian pula dengan corak tafsir seperti corak  bahasa, filsafat, kalam, ilmiah, fiqhi , teologis, tasawuf dan sosial kemasyarakatan.
            Untuk kawasan Indonesia sejak masuknya Islam pergumulan umat Islam Indonesia dengan al-Qur’an menjadi demikian intens.  Alasannya adalah karena para pemeluk agama Nabi Muhammad itu amat meyakini bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci mereka.  Awalnya kaum muslimin belajar membaca al-Qur’an dan praktek-praktek ibadah, lalu diikuti oleh pelajaran mengenai konsep-konsep tertentu dari al-Qur’an. Selanjutnya al-Qur’an sebagai rujukan dalam berislam diurai maknanya lalu disebarluaskan kepada masyarakat.
            Perkembangan tafsir di nusantara pasca penyusunan tafsir secara lengkap oleh Abd al-Rauf al-Sinkili lewat Tarjumān al-Mustafidnya terus bergeliat. Geliat tersebut dapat dilihat tidak saja dalam konteks kuantitas literatur tafsir yang ditulis oleh mufassir Indonesia tetapi juga dalam konteks kualitas mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Secara umum semua yang mereka lakukan itu bertujuan memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk memahami ajaran al-Qur’an.
            Salah satu tafsir yang lahir di Indonesia dengan tujuan seperti di atas adalah Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan yang rampung di tulis pada tahun 1956.[2] Bila kehadiran tafsir ini dirunut maka Tafsir al-Furqan adalah tafsir kedua yang muncul dalam rentangan masa abad ke 20 setelah lahirnya Tafsir Qur’an Karimnya Mahmud Yunus.
            Walaupun kesan penafsirannya secara sederhana dan global masih kuat terlihat, tetapi tafsir ini telah menunjukkan daya tahannya yang luar biasa. Tafsir ini sampai sekarang masih tetap digunakan sejak peluncurannya pada tahun 1956.


B. Rumusan Masalah.

            Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka masalah pokok yang akan dikaji dalam makalah ini adalah bagaimana metode penafsiran yang dikembangkan oleh Ahmad Hassan dalam Tafsir Al-Furqannya. Masalah pokok tersebut akan dibatasi dalam sub-sub masalah sebagai berikut agar kajian dapat terarah dan sistematis, yaitu :

1. Bagaimana latar belakang penyusunan tafsir Al-Furqan?
2. Bagaimana sistimatika penyusunan tafsir Al-Furqan?
3. Bagaimana metode dan corak tafsir Al-Furqan?



II. PEMBAHASAN

A. Biografi Ahmad Hassan.

            Ahmad Hassan mempunyai nama panggilan yang sangat populer yang diidentikkan dengan daerah yang menjadi tempat tinggalnya. Ia dikenal dengan Hassan Bandung ketika beliau menetap di kota itu, saat pergerakan nasional tengah menjamur. Subhan SD menetapkan waktu menetapnya di sana antara dekade 1920-an hingga 1930-an.[3] Selanjutnya ia dikenal juga dengan Hassan Bangil ketika awal dekade 1940-an beliau pindah ke sana hingga akhir hayatnya.
            Nama Ahmad Hassan terkenal di seluruh Indonesia, bahkan sampai semenanjung Malaysia dan Singapura, sebagai seorang ulama yang militan, berpendirian kuat dan memiliki kecakapan luar biasa. Pemahamannya dalam bidang ilmu pengetahuan agama sangat luas. Ia menghayati ilmunya secara serius. Karena itu ia dikenal sebagai ulama dalam berbagai bidang ilmu seperti tafsir, hadis fiqh dan ilmu pengetahuan lainnya,disamping sebagai ulama yang piawai dalam setiap perdebatan dan berpendirian kukuh dalam memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah.

1. Asal Usul Keluarganya.

            Nama Ahmad Hassan sebenarnya adalah Hassan bin Ahmad. Akan tetapi berdasarkan kelaziman penulisan nama keturunan India di Singapura, nama orang tua ditulis di depannya. Mirip seperti yang dijumpai dalam penulisan nama dalam daftar pustaka sebuah karya ilmiah. Jadilah kemudian penulisan nama Ahmad Hassan itu dikenal orang sampai sekarang.
            Ahmad Hassan lahir di Singapura tahun 1887. Ayahnya bernama Ahmad yang berasal dari India. Ia adalah seorang penulis yang cukup ahli dalam bidang agama Islam dan kesusastraan Tamil. Ahmad pernah menjadi redaktur majalah Nur Islam (sebuah majalah dan sastra Tamil) yang terbit di Singapura, disamping sebagai penulis beberapa kitab berbahasa Tamil dan beberapa terjemahan dari bahasa Arab. Ahmad suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta menyediakan rubrik tanya jawab dalam majalahnya itu.  Adapun ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat Madras, tetapi lahir di Surabaya. Ahmad dan Muznah menikah di Surabaya ketika Ahmad berdagang di kota itu dan kemudian menetap di Singapura, tempat Ahmad Hassan dilahirkan dan dibesarkan.[4]
            Ahmad Hassan mengakhiri masa lajangnya pada tahun 1911 ketika usinya 24 tahun dengan wanita bernama Maryam yang masih memiliki darah Tamil-Melayu. Keluarga istrinya juga berlatar belakang pedagang dan taat melaksanakan ajaran agama. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai tujuh orang anak yaitu Abd. Qadir, Jamilah, Abd. Hakim, Zulaikha, Ahmad, M.Said, dan Mansyur.[5]


2. Pendidikannya.

            Masa kecil Ahmad Hassan dilewatinya di Singapura. Pendidikannya dimulai dari sekolah dasar, tetapi ia tidak sempat menyelesaikannya. Kemudian ia masuk sekolah Melayu dan menyelesaikannya hingga kelas empat; dan belajar di sekolah dasar pemerintah Inggris sampai tingkat yang sama, sambil belajar pula bahasa Tamil dari ayahnya. Di sekolah Melayu itulah ia belajar bahasa Arab, bahasa Melayu, bahasa Tamil (selain dari ayahnya), dan bahasa Inggris.[6]
            Pada usia tujuh tahun Ahmad Hassan, sebagaimana anak-anak pada umumnya, belajar al-Qur’an dan memperdalam agama Islam. Pada masa-masa itu pula, terutama saat usianya menginjak 12 tahun, ia menyempatkan diri belajar privat dan berusaha menguasai bahasa Arab sebagai kunci untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Walaupun begitu waktunya sudah mulai terbagi karena ia sudah mulai bekerja di toko milik saudara iparnya yang bernama Sulaiman. Tetapi itu tidak menyurutkannya untuk terus belajar. Ia pun belajar mengaji kepada Haji Ahmad di Bukittiung dan pada Muhammad Taib seorang guru yang terkenal di Minto Road.[7]
            Haji Ahmad bukanlah seorang alim besar, tetapi buat ukuran Bukittiung ketika itu, ia adalah seorang guru yang disegani dan berakhlak tinggi. Kepada ulama itu Ahmad Hassan menerima pelajaran dasar-dasar agama menyangkut rukun Islam seperti shalat, berwudhu, puasa, dan sebagainya.[8] Sementara itu kepada Muhammad Taib ia belajar ilmu nahwu dan sharaf. Sewaktu Ahmad Hassan mengemukakan keinginannya itu Muhammad Taib mengajukan syarat yang cukup berat : Ahmad Hassan harus datang lebih dini sebelum waktu salah subuh tiba dan tidak boleh naik kendaraan. Syarat itu disanggupinya. Kesanggupan Ahmad Hassan sebetulnya karena kesal ketika seorang teman mengajinya,  Ali, tidak mau memperlihatkan dua kitab yang dibawanya dengan alasan Ahmad Hassan belum pantas mengetahuinya. Oleh karenanya begitu diajukan syarat yang dikira gurunya cukup berat, ia justru langsung menyanggupinya. Tetapi setelah empat bulan belajar, ia merasa tidak ada kemajuan dalam pelajarannya itu karena menurutnya gurunya hanya memerintahkan menghafal dan mengerjakan apa yang tidak dimengerti. Akibatnya semangat belajarnya pun menurun.[9]
            Dalam keadaan seperti itu, ketika Muhammad Taib pergi menunaikan ibadah haji, Ahmad Hassan beralih mempelajari bahasa Arab pada ulama lain yaitu Said Abdullah al-Musawi selama tiga tahun. Di samping itu, ia pun belajar pada pamannya, Abd. Lathif, seorang ulama yang terkenal di Malaka dan Singapura. Ia juga belajar kepada Syekh Hasan, seorang ulama yang berasal dari Malabar, dan kepada Syekh Ibrahim, seorang ulama yang berasal dari India. Beliau mempelajari dan memperdalam Islam dari beberapa guru tersebut sampai kira-kira tahun 1910, ketika ia berumur 23 tahun.[10]
            Ahad Hassan pada saat itu belum memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, misalnya Faraidh, Fiqh, Manthiq dan lain-lainnya, tetapi dengan ilmu alat yang dimilikinya itulah ia memperdalam pengetahuan agamanya, hingga memiliki pengetahuan yang sangat luas.[11]


3. Pekerjaan dan Pengembaraan Keilmuannya.
            Pada masa kecil Ahmad Hassan membantu ayahnya di usaha percetakan. Setelah menginjak umur remaja ia menjadi pelayan toko, kemudian dagang permata, minyak wangi, dan agen vulkanisir ban mobil. Ia juga pernah menjadi juru tulis di kantor jama’ah haji di Jeddah Pilgrim’s Office Singapura, yaitu sebuah kantor yang didirikan oleh Mansfield dan Assegaf yang mengurus perjalanan haji, kira-kira setahun lamanya.[12]
            Di samping usaha-usaha tersebut, ia juga menjadi guru sejak kira-kira tahun 1910. Mulanya secara tidak tetap di Madrasah orang-orang India di Arab Street juga di Bagdad Street dan Geylang sampai sekitar tahun 1913. Kemudian ia menjadi guru tetap menggantikan Fadlullah Suhaimi di Madrasah Assegaf, jalan Sulthan. Madrasah yang mengelola tingkat Ibtidaiyyah dan Tsanawiyah.[13]
            Sekitar tahun 1912-1913 ia membantu Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapura Press, yang dipimpin oleh Inche Hamid dan Sa’dullah Khan. Di sana ia banyak menulis tentang agama yang bersifat nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan. Ia sering mengetengahkan persoalan-persoalan ini dalam bentuk syair.[14]
            Tulisan awalnya dalam Utusan Melayu itu adalah kecamannya terhadap Qadhi yang memeriksa perkara dengan mengumpulkan tempat duduk yang sama dalam ruangan antara pria dan wanita. Padahal saat itu tidak ada seorang pun yang berani mengkritik seorang Qadhi.[15] Selain itu ia juga mengkritik persoalan taqbil, yakni mencium tangan seseorang yang dianggap sayyid (tuan), sehingga ia mendapat peringatan dari pemerintah Singapura.[16]

a. Pindah ke Surabaya
            Pada tahun 1921 Ahmad Hassan pindah dari Singapura ke Surabaya untuk mengurus sebuah toko kain milik paman sekaligus gurunya Abdul Latif yang ada di kota itu.[17] Ketika Ahmad Hassan menjejakkan kakinya di Surabaya, di kota itu sedang ramai perdebatan dan pertentangan antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Kaum Tua mempertahankan tradisi keagamaan yang telah mapan dan berkembang di masyarakat, sedang Kaum Muda ingin menghapuskan berbagai hal yang tidak mempunyai landasan dari al-Qur’an dan Hadis.[18]
            Kaum Muda dipelopori oleh Faqih Hasyim, seorang pedagang yang menaruh perhatian serius dalam masalah keagamaan dengan menyebarkan pikiran-pikirannya melalui diskusi-diskusi keagamaan dan  tabligh. Golongan ini mendapat pengaruh dari tulisan-tulisan Abdullah Ahmad, Abd. Karim Amrullah, dan Zainuddin Labay dari Sumatera serta Ahmad Surkati dari Jawa. Oleh Kaum Tua mereka dianggap mengganggu eksistensi pemahaman mereka. Kaum Muda menganggap agama hanyalah apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya.[19]
            Abdul Latif, pamannya selalu mengingatkan Ahmad Hassan agar tidak berhubungan dengan Faqih Hasyim yang dianggap telah membawa pertikaian dalam masalah agama di Surabaya. Tetapi ketika Ahmad Hassan tinggal bersama pamannya Abdullah Hakim ia diperkenalkan dengan K.H.Abd.Wahab Hasbullah yang kemudian menjadi seorang tokoh Nahdhatul Ulama. Dalam kunjungannya ke Kiai tersebut, ia diberitahukan beberapa sumber konflik antara Kaum Tua dan Kaum Muda, diantaranya adalah pelafalan ushalli dengan bersuara yang dilakukan sebelum salat. Kaum Muda menolak mentah-mentah praktik ini karena menurut mereka tidak dijumpai dasarnya dalam al-Qur’an dan Hadis. Pembicaraannya dengan Kiai Wahab itu mendorongnya untuk berfikir lebih jauh tentang masalah tersebut. Akhirnya, berdasarkan penelitiannya terhadap al-Qur’an dan Hadis sahih, ia sampai pada kesimpulan bahwa pendapat Kaum Mudalah yang benar. Ia tidak menemukan satu dalil pun yang mendukung praktik ushalli Kaum Tua tersebut.[20]
            Perhatiannya untuk memperdalam Islam semakin serius sejak menyaksikan munculnya berbagai persoalan dan timbulnya pertentangan antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Maksud awal untuk berdagang tidak dapat dipertahankannya lagi dan beliau lebih banyak bergaul dengan Faqih Hasyim dan Kaum Muda lainnya.

b. Pindah ke Bandung.
            Ketika toko yang dikelolanya di Surabaya mundur, maka ia serahkan kembali ke pamannya, dan kemudian dipindahkan kepada seorang sahabatnya Bibi Wantee. Selanjutnya dua orang sahabatnya Bibi Wantee dan Muallimin mengirimnya ke Kediri untuk mempelajari pertenunan, karena saat itu di Surabaya banyak pedagang yang membuka perusahaan tenun. Tetapi dengan itu ia belum berani membuka pertenunan, dan dengan persetujuan kedua sahabatnya ia meneruskan pelajarannya ke sekolah pertenunan pemerintah di Bandung dan belajar di sana kurang lebih sembilan bulan.[21]
            Di Bandung Ahmad Hassan tinggal di keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persis. Dengan keadaan itu, tanpa sengaja, Ahmad Hasan telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan penelaahan dan pengkajian Islam melalui Persis, suatu kegiatan yang tidak ingin ditinggalkannya. Karena itulah ia tidak lagi berminat mendirikan perusahaan tenunnya di Surabaya. Dengan persetujuan kawan-kawannya, ia mengalihkan usahanya ke Bandung. Akan tetapi, perusahaan tenun yang didirikannya gagal sehingga terpaksa ditutup. Sejak itulah, minatnya untuk berusaha tidak muncul lagi. Akhirnya ia mengabdikan dirinya dan memasuki jam’iyyah Persis pada tahun 1926 (tiga tahun setelah berdiri).[22]
            Ahmad Hassan masuk Persis karena ia sadar bahwa pemikirannya harus dituangkan dalam sebuah gerakan agar bisa berkembang secara efektif. Maka yang terlihat kemudian adalah gabungan antara watak Ahmad Hassan yang tajam dalam berfikir dan ciri Persis yang keras. Hasilnya, sebuah gerakan tajdid yang cepat meluas. Ia telah membawa Persis menjadi organisasi pembaharu yang terkenal tegas dalam masalah fiqhiyyah. Di tangannyalah, Persis tampil dengan corak dan warna baru dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.[23]
            Kiprah Ahmad Hassan di Persis sejalan dengan program jam’iyyah Persis yang ditujukan terutama pada penyebaran cita-cita dan pemikirannya; yakni menegakkan al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini ia lakukan dengan berbagai aktivitas, antara lain dengan mengadakan tabligh-tabligh, mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai buku, majalah dan selebaran-selebaran, membasmi bid’ah, khurafat, dan takhayyul, taklid, dan syirik.[24]
            Selama menetap di Bandung, pemikiran Ahmad Hassan semakin  berkembang melingkupi berbagai masalah keagamaan. Mulai dari persoalan sumber hukum Islam, hukum Islam, ijtihad, taklid, ittiba’, tauhid, mazhab,  sampai pada paham kebangsaan. Semua bagian itu diulasnya dalam tulisan sampai pada debat terbuka. Masa 1934-1936 Ahmad Hassan juga menjadi semacam guru spiritual bagi Sukarno ketika ia diasingkan ke Endeh Nusa Tenggara Timur lewat korespondensi surat menyurat. Sukarno ketika itu meminta buku-buku karangan Ahmad Hassan untuk dipejarinya.

c. Pindah ke Bangil.
            Menjelang pendudukan Jepang, pada tahun 1940 Ahmad Hassan terpanggil untuk kembali ke Surabaya. Kepindahannya itu selain karena permintaan Bibi Wantee, juga karena kekurangan dari segi finasial walaupun ia memiliki usaha percetakan. Semula ia akan pindah ke Surabaya tetapi tanah yang diperolehnya untuk mengembangkan pesantren berada di Bangil.[25] Di Bangil, kota kecil dekat Surabaya ia mendirikan pesantren Persis seperti yang pernah dilakukannya di Bandung untuk mendidik para santrinya. Di Bangil ini pulalah, disamping kegiatan sehari-harinya sebagai pendidik, perhatiannya ditumpahkan pada penelitian agama Islam, langsung dari sumber pokoknya, al-Qur’an dan Sunnah. Puncaknya Tafsir al-Furqannya dapat ia selesaikan dan diterbitkan secara lengkap untuk pertama kalinya pada tahun 1956.
            Pada hari Senin tanggal 10 Nopember 1958, di Rumah Sakit Karangmenjangan (RS. Dr. Soetomo sekarang) Surabaya, Ahmad Hassan berpulang ke ramatullah dalam usia 71 tahun.

4. Karya-Karyanya.
            Berikut adalah buku-buku karangan Ahmad Hassan yang dikutip dari Tamar Djaja halaman 166-168; Syafiq Mughni, halaman 129-131; Endang Syaifuddin Anshari, halaman 144-149. Karangan-karangannya disusun berdasarkan tahun terbitnya. Karangan yang tidak bertahun adalah karangan yang tidak diterbitkan.

1. Pengajaran Shalat                                                            terbit tahun 1930      = 45.000 eks.
2. Pengajaran Shalat (huruf Arab)                         terbit tahun 1930      =   5.000 eks.
3. Kitab Talqin                                                          terbit tahun 1931      =   5.000 eks.
4. Risalah Jum’at                                                      terbit tahun 1931      =   4.000 eks.
5. Debat Riba                                                                        terbit tahun 1931      =   2.000 eks.
6. Al-Mukhtar                                                           terbit tahun 1931      =   8.000 eks.
7. Soal Jawab                                                                        terbit tahun 1931      =   7.000 eks.
8. Al-Burhan                                                             terbit tahun 1931      =   2.000 eks.
9. Al-Furqan                                                              terbit tahun 1931      =   2.000 eks.
10. Debat Talqin                                                       terbit tahun 1932      =   7.000 eks.
11. Kitab Riba                                                           terbit tahun 1932      =   2.000 eks.
12. Risalah Ahmadiyah                                           terbit tahun 1932      =   3.000 eks.
13. Pepatah                                                                terbit tahun 1934      =   2.000 eks.
14. Debat Luar Biasa                                                           terbit tahun 1934      =   3.000 eks.
15. Debat Taqlid                                                       terbit tahun 1935      =   6.000 eks.
16. Debat taqlid                                                        terbit tahun 1936      =  10.000 eks.
17. Surat-Surat Islam dari Endeh                           terbit tahun 1937      =  10.000 eks.
18. Al-Hidayah                                                         terbit tahun 1937      =   2.000 eks.
19. Ketuhanan Yesus Menurut Bibel                    terbit tahun 1939      =   4.000 eks.
20. Bacaan Sembahyang                                         terbit tahun 1939      =  15.000 eks.
21. Kesopanan Tinggi                                              terbit tahun 1939      =  15.000 eks.
22. Kesopanan Islam                                               terbit tahun 1939      =   2.000 eks.
23. Hafalan                                                                terbit tahun 1940      =   5.000 eks.
24. Qaidah Ibtidaiyah                                              terbit tahun 1940      =   8.000 eks.
25. Hai Cucuku                                                         terbit tahun 1941      =   4.000 eks.
26. Risalah Kerudung                                              terbit tahun 1941      =   7.000 eks.
27. Islam dan Kebangsaan                                      terbit tahun 1941      =   6.000 eks.
28. An - Nubuwwah                                                 terbit tahun 1941      =   8.000 eks.
29. Perempuan Islam                                               terbit tahun 1941      =   7.000 eks.
30. Debat Kebangsaan                                             terbit tahun 1941      =   3.000 eks.
31. Tertawa                                                               terbit tahun 1947      =   3.000 eks.
32. Pemerintahan Cara Islam                                  terbit tahun 1947      =   5.000 eks.
33. Kamus Rampaian                                               terbit tahun 1947      =   4.000 eks.
34. A.B.C. Politik                                                     terbit tahun 1947      =   6.000 eks.
35. Merebut Kekuasaan                                          terbit tahun 1947      =   4.000 eks.
36. Al-Manasik                                                         terbit tahun 1948      =   2.000 eks.
37. Kamus Persamaan                                             terbit tahun 1948      =   4.000 eks.
38. Al-Hikam                                                                        terbit tahun 1948      =   4.000 eks.
39. First Step                                                             terbit tahun 1948      =   2.000 eks.
40. Al-Faraidh                                                          terbit tahun 1949      =  10.000 eks.
41. Belajar Membaca Huruf Arab                         terbit tahun 1949      =    3.000 eks.
42. Special Edition                                                   terbit tahun 1949      =   2.000 eks.
43. Al-Hidayah                                                         terbit tahun 1949      =   6.000 eks.
44. Sejarah Isra’ Mi’raj                                           terbit tahun 1949      =   6.000 eks.
45. Al-Jawahir                                                          terbit tahun 1950      =   5.000 eks.
46. Matan Ajrumiyah                                              terbit tahun 1950      =   2.000 eks.
47. Kitab Tajwid                                                       terbit tahun 1950      =   8.000 eks.
48. Surah Yasin                                                        terbit tahun 1951      =   2.000 eks.
49. Is Muhammad a Prophet                                   terbit tahun 1951      =   5.000 eks.
50. Muhammad Rasul ?                                           terbit tahun 1951      =   5.000 eks.
51. Apa Dia Islam                                                     terbit tahun 1951      =   5.000 eks.
52. What is Islam                                                      terbit tahun 1951      =   3.000 eks.
53. Tashawuf                                                                        terbit tahun 1951      = 30.000 eks
54. Al-Fatihah                                                           terbit tahun 1951      =   5.000 eks
55. At- Tahajji                                                          terbit tahun 1951      =   5.000 eks.
56. Pedoman Tahajji                                                            terbit tahun 1951      =   5.000 eks.
57. Syair                                                                    terbit tahun 1953      =   2.000 eks.
58. Risalah Hajji                                                       terbit tahun 1954      =   2.000 eks.
59. Wajibkah Zakat                                                 terbit tahun 1955      =   3.000 eks.
60. Wajibkah Perempuan Berjum’at                     terbit tahun 1955      =   4.000 eks.
61. Topeng Dajjal                                                     terbit tahun 1955      =   3.000 eks.
62. Halalkah Bermazhab                                         terbit tahun 1956      =   7.000 eks.
63. Al-Mazhab                                                          terbit tahun 1956      =   7.000 eks.
64. Tafsir al-Furqan                                                 terbit tahun 1956      = 85.000 eks.
65. Bybel-Bybel                                                       terbit tahun 1958      =   5.000 eks.
66. Isa Disalib                                                           terbit tahun 1958      =   5.000 eks.
67. Isa dan Agamanya                                             terbit tahun 1958      =   5.000 eks.
68. Bulughul Maram (terj.)                                     terbit tahun 1959      = 20.000 eks.
69. At-Tauhid                                                           terbit tahun 1959      =  15.000 eks.
70. Adakah Tuhan ?                                                 terbit tahun 1962      =  12.000 eks.
71. Pengajaran Shalat                                              terbit tahun 1966      =   3.000 eks.
72. Dosa-Dosa Yesus                                              terbit tahun 1966      =   3.000 eks.
73. Bulughul Maram II (terj.)
74. Hai Puteriku
75. Nahwu
76. Al-Iman
77. Aqaid
78. Hai Puteriku II
79. Ringkasan Islam
80. Munazarah



B. Latar Belakang Penyusunan Tafsir Al-Furqan.
            Dalam pendahuluan tafsirnya Ahmad Hassan menulis bahwa karangannya ini mula-mula terbit adalah bahagian pertama dari Tafsir Al-Furqan pada bulan Muharram 1347 H. atau Juli 1928. Tetapi lantaran penerbitannya diselang selingi dengan beberapa kitab yang dianggap perlu oleh anggauta-anggauta “Persatuan Islam”, maka pada tahun 1941 baru dapat disambung sampai surah Maryam.[26]
            Pada tahun 1953, tuan Sa’ad Nabhan (seorang penerbit dan pedagang buku di Surabaya),  minta saya berhenti sampai di situ dan tulis semula Al-Furqan dari awal sampai akhir; dan ia sanggup menerbitkannya dengan lengkap 30 juz.[27]
            Ahmad Hassan kemudian menulis kembali dengan cara lain, yaitu yang menurut ia sangat penting, yaitu menerangkan arti tiap-tiap ayat. Adapun buat arti yang menurut istilah beliau bercabang dari sesuatu ayat atau sesuatu tafsiran, maka ia mempersilahkan untuk membandingkannya dengan tafsir yang lain.Tujuan penyusunannya menurut beliau tidak lain agar memudahkan pembaca dan masyarakat Islam untuk memahami makna al-Qur’an dan menjadikannya pedoman dalam kehidupan mereka.  Buku ini kemudian rampung pada tahun 1956.

C. Sistimatika Penyusunan Tafsir Al-Furqan
            Dalam periodesasi literatur tafsir di Indonesia, Howard M. Federspiel memasukkan tafsir Al-Furqan Ahmad Hassan bersama Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus dan Tafsir Al-Qur’an karya Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs ke dalam periode atau dalam istilahnya generasi kedua (muncul pada pertengahan tahun 1960-an sampai pada tahun 1970-an) yang merupakan penyempurnaan atas generasi pertama (kira-kira dari permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an). Cirinya, biasanya mempunyai beberapa catatan, catatan kaki, terjemaham kata perkata, dan kadang-kadang disertai indeks yang sederhana.[28]
            Kategorisasi Federspiel ini memang bermanfaat dalam melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Tetapi pembagian ini bukan tanpa kelemahan, terutama dari segi tahun pemilahannya. Ketiga tafsir di atas menurutnya sangat refresentatif untuk mewakili generasi kedua. Padahal kalau ditilik secara seksama, ketiga karya itu telah muncul sebelum tahun 1960-an, yang dalam kategorisasi yang ia susun mestinya masuk ke dalam generasi pertama. Mahmud Yunus telah menyelesaikan tafsirnya tahun 1938 dan diterbitkan tahun 1957, Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs telah merampungkan tafsirnya tahun 1959 dan terbit tahun itu juga, sementara Ahmad Hassan tahun 1956.
            Sistimatika penyusunan tafsir Al-Furqan Ahmad Hassan dapat dilihat sebagai berikut :  

1. Dimulai dengan Pendahuluan.
Penyusunan tafsir Al-Furqan diawali dengan pendahuluan yang didalamnya dibahas tentang latar belakang penyusunan dan tahun penyusunannya. Selanjutnya dikemukakan istilah-istilah tertentu yang terkait dengan al-Qur’an yang dibaginya dalam fasal-fasal. Setidaknya ada 35 fasal yang terdapat dalam tafsir itu disertai dengan penjelasannya. Fasal-fasal itu meliputi tentang teknik terjemahan dan tafsirnya, Ulumul Qur’an, Tajwid, kandungan pokok al-Qur’an, Hadis, Ushul Fiqh, dan tata bahasa Arab. Jika dikaitkan dengan syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mufassir, nampaknya apa yang dikemukakan oleh Ahmad Hassan dalam fasal-fasal ini sebagian besar syarat itu tercakup didalamnya, yaitu penguasaan atas aspek-aspek di atas. Setidaknya ia juga ingin menegaskan bahwa penguasaan hal ini harus menjadi pedoman dasar bagi seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an.
            Istilah-istilah yang termuat dan dijelaskan secara detail dalam fasal-fasal tersebut adalah fasal 1 menyangkut tentang cara menyalin/terjemah; fasal 2 tentang tekanan arti; fasal 3 tentang konsep faham dari terjemahan; fasal 4 tentang ejaan yang terpakai; fasal 5 tentang Qur’an dan tarikh turunnya; fasal 6 tentang ayat pertama dan yang akhir; fasal 7 tentang pembahagian Qur’an; fasal 8 tentang cara turun Qur’an; fasal 9 tentang mengumpulkan Qur’an; fasal 10 tentang ringkasan tentang Qur’an; fasal 11 tentang membaris Qur’an; fasal 12 tentang menitik Qur’an; fasal 13 tentang asbabun nuzul; fasal 14 tentang tajwid; fasal 15 tentang apabila Qur’an tafshilkan; fasal 16 tentang apabila Qur’an hasharkan; fasal 17 tentang bismillah, a’udzu dan diam; fasal 18 tentang cara membaca Qur’an; fasal 19 tentang hadis yang berlawanan dengan Qur’an; fasal 20 tentang mu’jizat; fasal 21 tentang mi’raj; fasal 22 tentang Isa tidak berbapak; fasal 23 tentang bangkitan kiamat; fasal 24 tentang azab kubur; fasal 25 tentang kekalnya surga dan neraka; fasal 26 tentang kesenangan surga, azab neraka; fasal 27 tentang azab dunia; fasal 28 tentang jin; fasal 29 tentang israiliyah; fasal 30 tentang arti asal; fasal 31 tentang hukum asal; fasal 32 tentang huruf-huruf potongan; fasal 33 tentang lafazh Arab dan penjelasannya; fasal 34 tentang beberapa makna rangkaian dan penjelasannya dalam bahasa Arab; dan fasal 35 tentang qamus beberapa kalimah.[29]
Beberapa hal penting perlu dijelaskan di sini terutama yang terkait erat dengan penyusunan tafsir ini, misalnya untuk teknik terjemahan. Ahmad Hassan mengatakan bahwa dalam menterjemahkan ayat-ayat, ia menggunakan, sedapat-dapatnya, salinan sekalimah dengan sekalimah, kecuali yang tidak dapat dilakukan demikian, barulah ia pakai cara menyalin makna, karena pandangan ia, yang tersebut itulah sebaik-baik cara bagi orang yang hendak teliti di dalam terjemahan. Ia mencontohkan seperti qala lahu, kalau disalin selafadz dengan selafadz artinya adalah “ia berkata baginya”, tetapi ia salin menjadi “ ia berkata kepadanya”. Demikian juga frase “amanna billahi”, biasanya di salin “ia percaya dengan Allah”, tetapi ia artikan “ia percaya kepada Allah”. Demikianlah ia berkisar dari terjemahan harfiyah bila menyalahi kefasihan bahasa Melayu atau Indonesia.[30] Untuk lafaz-lafaz yang perlu ditafsirkan maka tafsirannya dapat dibaca pada foot note yang terdapat dalam kitab tafsir tersebut.
            Untuk terjemahan ini ia mengingatkan bahwa Qur’an itu bahasa Arab dan diterjemahkan ke bahasa kita supaya kita faham. Tetapi lanjutnya, telah ma’lum diantara ahli-ahli bahasa bahwa kalau diterjemahkan satu kalimah dari bahasa A umpamanya ke bahasa B, maka belum tentu apa-apa yang difahami dari bahasa A itu bisa juga difahami dari bahasa B. Dari itu, ia mengingatkan bahwa apa-apa “faham” yang didapat dari tafsir bahasa Indonesia, di tafsir ini, sekedar membantu “memahami” dan belum tentu itupun atau itulah yang dimaksudkan oleh ayat.[31] Di sini Ahmad Hassan terlihat sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an karena pekerjaan itu tidak mudah dan sangat kompleks serta adanya keinginan penulis untuk menggugah kepada setiap muslim agar berinteraksi secara langsung dengan al-Qur’an.
            Untuk bidang Ulumul Qur’an, Ahmad Hassan lebih banyak menjelaskan tentang isi Ulumul Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik sebelumnya. Pembahasannya singkat dan merupakan intisari dari berbagai kitab yang ada. Nampaknya ia hanya sekedar memuatnya untuk kepentingan memperkenalkan dasar-dasar Ulumul Qur’an kepada setiap pembaca tafsirnya. Hal yang sama dapat dijumpai pada penjelasan-penjelasannya mengenai pokok-pokok kandungan al-Qur’an yang terdapat pada fasal-fasal yang dicantumkannya.
            Salah satu bagian penting lainnya dari fasal-fasal tersebut adalah fasal 35 yang memuat qamus beberapa kalimah yang digunakan dalam tafsirnya. Kalimah-kalimah itu ada yang merupakan istilah-istilah teknis penafsiran seperti asbabun nuzul, hashr, mujmal, mufashshal, mu’jizat, munasabah, dan takwil. Sedang lainnya adalah pilihan kata-kata yang terkait dengan Tuhan, manusia dan situasi yang mengitarinya, dan alam ghaib.  Setidaknya ada 133 istilah di sana yang dijelaskan. Ada yang dijelaskan menurut arti bahasanya saja, tetapi sebagian yang lainnya, selain dijelaskan secara bahasa juga diberi pengertian istilahnya.[32]
            Masih dalam pendahuluan tafsir tersebut terdapat pula semacam indeks al-Qur’an. Bagian ini diletakkan sesudah pembahasan fasal-fasal. Sebenarnya indeks ini bukan berasal dari penulisnya tetapi ditulis oleh anaknya yaitu Abd. Qadir Hassan. Kemungkinannya indeks ini tidak terdapat dalam cetakan-cetakan sebelumnya. Tetapi karena kebutuhan mendesak akibat perlunya pencarian secara cepat topik-topik yang berkembang kala itu (disesuaikan dengan tafsir Al-Furqan yang menjadi dasar penulis makalah ini dalam meneliti yaitu yang terbit tahun 1986), maka indeks ini pun diadakan oleh puteranya.
            Topik-topik yang menjadi indeks dalam tafsir itu ditopang oleh beberapa ayat yang menurut penulisnya diambil dari kitab Tafshīl Ayāt al-Qur’ān al-Karīm karya Muhammad Fūad Abd al-Bāqiy. Indeks yang tertera dalam tafsir itu disusun sebagai berikut : 1) adil, 2) amanat, 3) arak, 4) bakhil, 5) bahagia, 6) bersih, 7) bintang-bintang, 8) boros, 9) buat baik, 10) bumi, 11) bunuh diri, 12) khianat, 13) dagang, 14) jaga diri, 15) jiwa, 16) judi, 17) fakir, 18) falak, 19) faraidh, 20) gharizah, 21) Hajj, 22) hawa nafsu, 23) hidup, 24) ikhtiar, 25), ilmu, 26) injil, 27), yatim, 28) kaya, 29) kapal, 30) kawin, 31) keluarga, 32) kesehatan, 33) ketua kafir, 34) langit, 35) ma’af, 36) makanan yang haram, 37) manusia, 38) marah, 39) masukrumah orang, 40) merusak, 41) miskin, 42) mungkir janji, 43) perang, 44) perhiasan, 45) persatuan, 46) puasa, 47) qishash, 48) ria, 49) riba, 50) salam, 51) sembahyang, 52) sabar, 53) shadaqah, 54), sombong, 55) tabligh, 56) takut, 57) tanggung jawab, 58) thalaq, 59) tipu, 60) cela, 61) tolong menolong, 62) undian, 63) warisan, 64) wudhu’, dan 65) zhalim.[33]
            Ditengah maraknya buku-buku yang memuat tentang klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan kepada topik-topik yang ada dan “boomingnya” penerapan tafsir mawdhū’iy dalam penelitian tafsir, indeks ini bisa menjadi sebuah tawaran untuk dijadikan pedoman dalam memudahkan mencari ayat-ayat terkait dengan sebuah topik tertentu.
            Setelah indeks ini penulis tafsir Al-Furqan menyusun daftar surah al-Qur’an secara alfabetis dengan menghilangkan awalan al pada surah yang dimulai dengan awalan al. Dan untuk memudahkan pembaca melihat surah-surah itu maka penulisnya mencantumkan halaman setiap surah bersangkutan. Ini dapat dilihat komposisinya pada halaman xlv-xlvi. Bagi yang ingin mencari letak surah berdasarkan urutan surah yang sesuai dengan mushaf standar maka penulisnya menyusunnya dalam fihrasāt surah-surah disertai halaman tempatnya. Bagian ini ditempatkan pada halaman xlvii-xlix. Sementara fihrasāt surah-surah dengan huruf Arab beserta halamannya ditempatkan pada halaman l-li dalam tafsir tersebut. Demikian juga dengan fihrasāt juz-juz ditempatkan di halaman lii.
           
2. Format Penyusunan Tafsirnya.
            Sesudah keterangan-keterangan di atas barulah Ahmad Hassan masuk ke penafsiran yang dimulainya dari surah al-Fātihah sampai kepada surah al-Nās. Format yang dipakainya adalah ayat-ayatnya ditulis di sebelah kanan halaman. Sedangkan  terjemahan bahasa Indonesianya diletakkan di sebelah kiri. Pada bagian awal setiap surah dijelaskan arti surah tersebut, juznya, nomor urutan  surah dan jumlah ayatnya serta tempat pewahyuannya. Tulisan dalam kedua bahasa itu sangat jelas yang memungkinkan pembaca dapat membaca kedua bahasa itu dengan jelas pula. Pada kata atau ayat yang dianggap memerlukan penafsiran, penulisnya memberi nomor, semacam foot note pada tulisan ilmiah, di bagian akhir kata atau ayat pada terjemahan bahasa Indonesianya. Sedangkan tafsirannya diletakkan pada bagian bawah garis disesuaikan dengan nomor yang tertera di atasnya. Kesan penafsirannya yang sederhana memang sangat kuat terlihat, terutama dalam bangunan tafsir yang berbentuk catatan kaki, seperti yang terlihat dalam tafsir Al-Furqan ini.
Sebagai contoh dapat dilihat pada penafsirannya mengenai surah al-Nās  berikut ini:
An-Nās (Manusia). Surah ke 114 : 6 ayat. Diwahyukan di Makkah

Dengan nama Allah, Pemurah, Penyayang.

1. Katakanlah : “Aku berlindung dengan Pemelihara manusia”.
           4545)
2. “Raja      bagi manusia”.


3. “Tuhan bagi manusia”.


4. “Daripada kejahatan pembisik yang menunggu-nunggu peluang”.


5. “Yang membisik-bisik di hati manusia”.


                  4546)                               4547)
6. “Dari jin        dan msnusia”.
بسم الله الرحمن الرحيم
1-  ö@è%  èŒqããr& Éb>tÎ/ Ĩ$¨Y9$#
2-  Å7Î=tB  Ä¨$¨Y9$#
3-  Ïm»s9Î) Ĩ$¨Y9$#
 4- `ÏB Ìhx© Ĩ#uqóuqø9$# Ĩ$¨Ysƒø:$#
5-  Ï%©!$# â¨ÈqóuqムÎû Írßß¹ ÄZ$¨Y9$#
6-  z`ÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Y9$#ur

___________________
            4545) Boleh juga diartikan “Pemilik Manusia”.
                4546) Maksudnya jin di sini ialah makhluk-makhluk yang tidak dapat kita lihat dengan mata biasa, seperti hantu, jembalang, ifrit, setan dan lain-lainnya.
                4547) Ringkasan surah ini : “ Aku berlindung kepada Allah daripada kejahatan jin dan manusia yang membisik-bisikkan ma’siat dan kedurhakaan di hati”.
           
Perbedaan lain yang terlihat jelas dalam tafsir itu adalah susunan ayat dalam surah al-Fātihah. Ahmad Hassan sama sekali tidak memasukkan بسم الله الرحمن الرحيم sebagai ayat pertama dalam surah itu. Ini berbeda dengan mushaf standar yang dikenal secara luas di Indonesia. Ayat pertama bagi beliau adalah الحمد لله رب العلمين padahal beliau sendiri mengakui bahwa surah itu berjumlah tujuh ayat. Ayat ketujuh menurutnya adalah غير المغضوب عليهم ولا الضالين . Susunan selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut :



1- ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$#
2-  Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#
3-  Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$#
4-  x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS
5- $tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$#
6- xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã
7- ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$#

            Jika ditelusuri lebih jauh apa alasan Ahmad Hassan berpendapat sesuai dengan pola susunan seperti ini, sepanjang penelusuran penulis terhadap 6 karya tulisnya dan 10 karya mengenai dirinya tidak satu pun yang mengungkapkan secara jelas alasan yang mendasarinya. Karenanya hanya bersifat dugaan kuat bahwa beliau mengikuti pandangan ulama yang mengatakan bahwa Bismillāh al-Rahmān al-Rahīm bukanlah ayat dari surah al-Fātihah. Pandangan seperti ini sering dinisbahkan kepada Imām Mālik. Karena bukan bagian dari surah al-Fātihah maka Imām Mālik menganggap tidak perlu dibaca ketika membaca al-Fātihah dalam shalat. Alasannya adalah pengamatannya terhadap amalan penduduk Madinah. Beliau menemukan bahwa imam atau masyarakat umum tidak membaca Bismillāh ketika membaca surah al-Fātihah. Di samping itu, karena al-Qur’an bersifat mutawatir dalam arti periwayatannya disampaikan oleh orang banyak yang jumlahnya meyakinkan, sedangkan riwayat tentang Bismillāh dalam al-Fātihah tidak demikian, buktinya adalah kenyataan tentang terjadinya perbedaan pendapat mengenai hal itu.
            Walaupun Ahmad Hassan tidak mengakuinya sebagai ayat dari surah al-Fātihah, tetapi berbeda dengan faham Imām Mālik, ia mengakuinya sebagai bagian dari surah tersebut[34]. Dan karena itu harus tetap dibaca pada waktu shalat. Semangat moderasinya muncul ketika menyatakan bahwa Bismillāh wajib dibaca dengan nyaring atau pun tidak[35]. Kesimpulan itu diambilnya ketika mengulas sekian dalil yang terkait dengan masalah ini.Sebagaimana yang dipahami bahwa pembacaan nyaring adalah paham keagamaan yang dipegang kuat oleh mazhab Syāfi’i sedang tidak nyaring adalah pegangan kuat bagi mazhab Hanafiy.
            Sayang sekali bahwa baik dalam pendahuluan sampai pada penafsirannya ataupun  pada bagian-bagian lain  tidak ditemukan bagian yang mengulas tentang sumber rujukan tafsirnya.

D. Metode dan Corak Tafsirnya.

    1. Metodenya.
            Studi tentang metode tafsir sebenarnya masih terbilang baru dalam khazanah intektual umat Islam. Ia baru dijadikan sebagai objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat.
            Secara historis penafsiran al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Rasulullah saw sendiri sesungguhnya sudah menafsirkan al-Qur’an. Dan sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran al-Qur’an tidak berhenti. Para sahabat Nabi tampil sebagai penafsir walaupun dengan sangat hati-hati. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat di atas, di belakang hari kemudian dikenal dengan tafsīr bil ma’tsūr[36]. Yaitu tafsir yang mendasari pembahasan dan sumbernya pada riwayat. Pada abad-abad selanjutnya, usaha untuk menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra’y sudah mulai berkembang seiring dengan perkembangan Islam yang telah meluas. Dalam konteks ini umat Islam bertemu dengan berbagai problem yang membutuhkan pemecahan-pemecahan berdasarkan al-Qur’an dan Hadis.
            Karena problema-problema yang ditemui itu tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Hadis, maka para ulama pun melakukan ijtihad dengan memberikan interpretasi-interpretasi rasional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dari sini kemudian lahir apa yang disebut tafsīr bil ra’y sebagai bandingan atas tafsīr bil ma’tsūr, yaitu tafsir yang mendasari pembahasan dan sumbernya pada penalaran atau ijtihad.
            Berdasakan pembagian ini maka semua tafsir yang menggunakan riwayat sebagai sumber utamanya digolongkan ke dalam jenis tafsīr bil ma’tsūr, sedangkan tafsir yang menggunakan ra’y sebagai analisisnya digolongkan ke dalam tafsīr bil ra’y. Kesulitan pada pembagian ini adalah karena hampir tidak ada lagi yang semata-mata berdasarkan riwayat ataukah murni bersifat ra’y. Yang banyak justru adalah tafsir yang memadukan antara riwayah dan ra’y (dirayah). Dan untuk jenis tafsir ini sampai sekarang belum ada istilah yang tepat untuk menggambarkannya secara refresentatif.
            Oleh karena itu, para pengamat tafsir kemudian berusaha untuk membuat pengelompokkan baru  yang tidak lagi melihatnya dari dikhotomi riwayat atau ra’y, tetapi meninjaunya dari segi pendekatan yang digunakannya.[37] Ditinjau dari sudut inilah kemudian lahir 4 metode, yaitu 1) tahlīliy, 2) ijmāliy, 3) muqāran, dan 4) mawdhū’iy. Sementara dua jenis tafsir sebelumnya kemudian masuk dalam wilayah pembahasan sumber-sumber penafsiran al-Qur’an.
            Memperhatikan dengan seksama pembahasan dan uraian keempat metode tafsir tersebut di atas dan mengaitkannya dengan penafsiran Ahmad Hassan  dalam tafsir Al-Furqannya dapatlah disimpulkan bahwa metode yang digunakannya masuk dalam metode ijmāliy , yaitu penafsiran al-Qur’an berdasarkan urutan-urutan ayat per ayat menurut mushaf, dengan suatu uraian yang ringkas tapi jelas dan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikomsumsi oleh masyarakat awam maupun intelektual. Hal ini sejalan dengan penuturan Ahmad Hassan dalam pendahuluan tafsirnya bahwa tafsirnya ini disusun sedemikian untuk mempermudah masyarakat memahami ma’na al-Qur’an.
            Tafsir Ahmad Hassan ini memiliki perbedaan yang menyolok dengan tafsir-tafsir klasik sebelumnya yang telah digolongkan masuk dalam kelompok tafsir ijmāliy, semisal Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm karya Muhammad Farid Wajdi dan Tafsīr Jalālayn karya Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli. Kalau kedua penafsir yang disebutkan belakangan memasukkan tafsirannya ke dalam teks ayat secara bersambung, maka tidak demikian halnya dengan Ahmad Hassan. Tafsirannya semuanya berbentuk catatan kaki.
            Sebagai contoh dapat dilihat dalam bentuk penafsirannya mengenai QS. al-Kahfi (18): 20-21 sebagai berikut :


20. “(Karena) sesuangguhnya jika mereka mengetahui kamu, niscaya mereka akan rejam kamu atau mereka akan kembalikan kamu ke dalam agama mereka; 1958) dan kamu tidak akan berbahagia sekama-lamanya”.
20- öNåk¨XÎ) bÎ) (#rãygôàtƒ ö/ä3øn=tæ óOä.qßJã_ötƒ ÷rr& öNà2rßÏèムÎû öNÎgÏF¯=ÏB `s9ur (#þqßsÎ=øÿè? #¸ŒÎ) #Yt/r&




21. Dan demikianlah Kami tunjukkan mereka (kepada manusia), 1959) supaya mereka mengetahui, bahwa perjanjian Allah itu benar, dan bahwa hari kiamat itu, tidak ada syak tentang (ada)-nya, 1960). Ingatlah, tatkala mereka berbantahan antara mereka tentang urusan mereka (yang di gua itu), lalu mereka 1961) berkata : Dirikanlah atas mereka itu satu pendirian. Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka. 1962) Berkata orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka : 1963) “Sesungguhnya kami akan adakan atas mereka satu tempat sembahyang.” 1964)
21- y7Ï9ºxŸ2ur $tR÷ŽsYôãr& öNÍköŽn=tã (#þqßJn=÷èuÏ9 žcr& yôãur «!$# A,ym ¨br&ur sptã$¡¡9$# Ÿw |=÷ƒu !$ygŠÏù øŒÎ) tbqããt»oYoKtƒ öNæhuZ÷t/ öNèdtøBr& ( (#qä9$s)sù (#qãZö/$# NÍköŽn=tã $YZ»u÷Zç/ ( öNßgš/§ ãMn=ôãr& óOÎgÎ/ 4 tA$s% šúïÏ%©!$# (#qç7n=yñ #n?tã öNÏd̍øBr& žcxÏ­GoYs9 NÍköŽn=tã #YÉfó¡¨B


_____________
            1958) Maksudnya, jika penyembah-penyembah berhala yang berkuasa di negeri ini tahu keadaan kita di sini, niscaya mereka rejamkita atau kembalikan kita ke agama mereka yang sesat itu.
            1959) Kami sebabkan manusia dapat tahu keadaan Ashabul Kahfi.
            1960) Orang yang memperhatikan riwayat Ashabul Kahfi itu tidak akan payah mempercayai hari kiamat.
            1961) Orang-orang yang dapati Ashabul Kahfi sesudah Allah matikan itu, berbantahan, lalu sebagian dari mereka berkata kepada sebagian.
            1962) Tutuplah pintu gua ini dengan tembok supaya habis urusan ini, karena hal mereka yang sebenarnya hanya Allah yang tahu.
            1963) Orang-orang yang berkuasa di negeri itu berkata : …………………….
            1964) Ya’ni, tempat itu kami hendak jadikan masjid.

            Dalam menafsirkan al-Qur’an tidak semua ayat diberi penjelasan, tetapi cukup dengan terjemahannya. Sebaliknya ada satu ayat yang didalamnya diberi tafsiran satu bahkan sampai enam seperti contoh penafsiran dalam QS. al-Kahfi (18) : 21 di atas . Nampaknya Ahmad Hassan hanya merasa perlu untuk memberi tafsiran atas masalah-masalah yang dianggapnya musykil menurut beliau. Contoh ayat yang tidak diberi penjelasan karena menurutnya telah jelas dan hanya perlu diterjemahkan saja adalah QS. al-Baqarah (2) : 241-242 :


241. Dan perempuan-perempuan yang ditalaq itu (wajib mendapat) bekalan (nafkah) dengan cara yang patut, (yaitu) satu kewajiban atas orang-orang yang (mau) berbakti.
242. Begitulah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepada kamu supaya kamu mengerti.
241- ÏM»s)¯=sÜßJù=Ï9ur 7ì»tFtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã šúüÉ)­GßJø9$#
242- šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# öNà6s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès?


   2. Corak Tafsirnya.
            Perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang tumbuh sejalan dengan perkembangan Islam di berbagai bidang, ternyata mempengaruhi pula perkembangan corak tafsir. Setiap mufassir yang memiliki bidang keahlian tertentu cenderung menafsirkan al-Qur’an berdasarkan latar belakang keahlian dan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Dari sini kemudian melahirkan bermacam-macam corak tafsir seperti tasawuf, fiqh, ilmi, filsafat, kalam, teologis, bahasa, dan sosial kemasyarakatan.
            Menelusuri karya-karya Ahmad Hassan sebenarnya bisa memberikan gambaran tentang corak dari karangannya. Misalnya buku Soal-Jawabnya yang 4 jilid dominan membahas aspek hukum Islam, demikian juga dengan buku Kumpulan Risalahnya. Satu buku menyangkut pembahasan aspek teologisnya diberi judul At-Tauhid. Dan begitu pun dengan buku-bukunya yang lain. Tetapi bagaimana dengan pikiran-pikirannya dalam buku itu; apakah juga dituangkan dalam kitab tafsir Al-Furqannya. Ternyata tidak semuanya dituangkan dan butuh keseriusan tersendiri untuk melihat keterkaitan-keterkaitan pikiran-pikiran Ahmad Hassan tersebut.
            Tidak dimasukkannya sebagian pembahasan dari buku-bukunya yang telah ada sebelum kitab tafsir ini karena seperti diakuinya sendiri dalam pendahuluan tafsirnya bahwa ia menulis kembali tafsir itu, padahal sudah sampai di surah Maryam.  Ia kemudian merancang ulang  dari awal dengan menerangkan arti tiap-tiap ayat saja supaya dengan mudah dapat dipahami.
            Berbeda misalnya dengan pola yang ditempuh sebelumnya ketika menafsirkan juz amma lewat Tafsir Al-Hidayahnya yang menggunakan metode tafsīr tahlīliy dan diterbitkan pada tahun 1937. Agaknya yang mendasari ia tidak melakukan hal yang sama terhadap Tafsir Al-Furqannya adalah karena ia dituntut untuk menyelesaikan secara utuh tafsir tersebut sementara ketika diberi saran oleh Sa’ad Nabhan pada tahun 1953 umur beliau telah memasuki usia 66 tahun. Karena itu tepat kalau ia cenderung menggunakan metode ijmāliy.
            Untuk melihat corak tafsirnya, misalnya saja corak fiqh dapat disebut bahwa beliau tidak terikat dengan satu mazhab tertentu. Boleh jadi karena pengaruh dari risalah yang dikeluarkannya pada tahun 1956 berjudul Risalah al-Mazhab yang isinya haram bermazhab.
            Tetapi dalam penelusuran mengenai corak tafsir fiqhnya tentang batalkah wudhu’ akibat bersentuhan antara laki-laki dengan perempuan? Menurut beliau tidak batal karena yang dimaksudkan dengan lamasa dalam QS. al-Nisa’ (4) : 43 yang berbicara tentang itu diartikan dengan  bersetubuh[38]. Alasannya adalah bahwa terdapat beberapa hadis yang menunjukkan Nabi pernah mencium istrinya, lantas terus shalat dan ada pula hadis yang menunjukkan Nabi ada pernah disentuh oleh istrinya selagi ia shalat dan Nabi meneruskannya.[39] Jika pandangan ini mau ditelusuri lebih jauh maka pandangan ini sebenarnya sama dengan yang dikemukakan oleh Imam Hanafi ketika menafsirkan ayat itu dengan al-jima’ (bersetubuh).
            Hal yang sama dijumpai pada penafsirannya mengenai membaca Bismillah  seperti yang telah disinggung sebelumnya apakah mesti nyaring atau tidak. Walaupun beliau tidak mengakui bismillah  sebagai satu ayat seperti pandangan Imam Malik, tetapi membacanya dalam shalat wajib dilaksanakan. Nyaring atau tidak terserah yang mana mesti dilakukan karena keduanya punya dasar. Di sini terlihat bahwa ia membiarkan orang untuk mengamalkan sesuai dengan yang dipahaminya. Nyaring berarti mengikuti mazhab Syafi’ dan tidak nyaring berarti mengikuti paham keagamaan Imam Hanafi.
            Dalam persoalan teologis misalnya menyangkut tentang perbincangan ayāt al-shifah Ahmad Hassan juga berpendirian seperti dalam lapangan hukum Islam. Ini terlihat misalnya ketika menafsirkan QS. al-Furqan (25) : 59 pada lafaz istawā ala al-‘arsy. Beliau menegaskan tafsirannya dengan menyebut bahwa bersemayam di atas arsy tidak mesti dengan duduk di atasnya. Cukup kalau diartikan Allah berkuasa atas ‘Arsy, sedang arsy itu adalah tempat yang paling jauh[40]. Penafsiran “Allah berkuasa” adalah bentuk penafsiran yang mula digagas oleh kaum Mu’tazilah dan diterapkan Ahmad Hassan dalam penafsiran ayat ini.
            Hal berbeda dapat dijumpai ketika menafsirkan lafaz yad Allah pada QS. al-Fath (48) : 10. Di sini Ahmad Hassan tidak menjelaskan arti tangan Allah itu dan membiarkannya terhampar begitu saja. Penafsiran dengan “tangan Allah” tanpa embel-embel pengertian seperti itu adalah model penafsiran yang dipegang oleh kaum Sunni.
            Kelihatannya bahwa corak tafsir yang dikemukakannya dalam dua bidang di atas menggambarkan corak yang tidak bertumpu pada elaborasi mazhab tertentu yang ada di dunia Islam.

III. KESIMPULAN

1. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi tersusunnya Tafsir Al-Furqan, yaitu adanya keinginan penulisnya untuk memudahkan memahami makna al-Qur’an. Di samping itu adalah untuk mengisi kekosongan literatur tafsir baik untuk anggota Persis secara khusus maupun masyarakat Islam secara luas. Selain itu juga didasarkan atas permintaan Sa’ad Nabhan agar tafsir itu ditulis lengkap untuk diterbitkan.
2. Sistimatika Tafsir Al-Furqan dimulai dengan pendahuluan yang didalamnya dibahas 35 fasal, yang meliputi teknik terjemahan dan tafsir, Ulumul Qur’an, Tajwid, kandungan pokok al-Qur’an, Hadis, Ushul Fiqh dan Tata Bahasa Arab. Sesudah itu disusul dengan indeks al-Qur’an dan fihrasāt, kemudian baru memasuki wilayah terjemahan dan tafsir ayat yang dimulai dari surah al-Fātihan dan diakhiri dengan surah al-Nās. Format yang dipakainya adalah ayat-ayatnya ditulis di sebelah kanan halaman. Sedangkan  terjemahan bahasa Indonesianya diletakkan di sebelah kiri. Pada bagian awal setiap surah dijelaskan arti surah tersebut, juznya, nomor urutan  surah dan jumlah ayatnya serta tempat pewahyuannya. Tulisan dalam kedua bahasa itu sangat jelas yang memungkinkan pembaca dapat membaca kedua bahasa itu dengan jelas pula. Pada kata atau ayat yang dianggap memerlukan penafsiran, penulisnya memberi nomor, semacam foot note pada tulisan ilmiah, di bagian akhir kata atau ayat pada terjemahan bahasa Indonesianya. Sedangkan tafsirannya diletakkan pada bagian bawah garis disesuaikan dengan nomor yang tertera di atasnya.
3. Metode tafsirnya jika dihubungkan dengan metode tafsir yang telah ada masuk dalam wilayah tafsir ijmāliy yaitu penafsiran al-Qur’an berdasarkan urutan-urutan ayat per ayat menurut mushaf, dengan suatu uraian yang ringkas tapi jelas dan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikomsumsi oleh masyarakat awam maupun intelektual. Sementara coraknya, misalnya dalam lapangan fiqh dan teologis, beliau sama sekali tidak mau terikat dengan mazhab yang telah ada, walaupun pada akhirnya tafsiran-tafsiran beliau dapat saja digiring dan dikaitkan kepada pokok pandangan mazhab yang telah ada sebelumnya.

Wallāhu A’lamu bi al Shawāb.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ān al-Karīm

A. Mughni, Syafiq. Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal. Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1994

Anshari, H.Endang Saifuddin. Ahmad Hassan : Wajah dan Wijhah Seorang  Mujtahid dalam buku Abd. Rahman Haji Abdullah. Gerakan Islah di Perlis : Sejarah dan Pemikiran.  Kuala Lumpur : Pena SDN.BHD.

Cawidu, Harifuddin. Metode dan Aliran dalam Tafsir, dalam Majalah Pesantren, No.1 Vol. VIII, 1991

Djaja, Tamar. Riwayat Hidup A. Hassan. Jakarta : Mutiara, 1980

Dahlan, Abd.Aziz (ed.). Ensiklopedi Islam, Jilid 2. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993

al-Farmawiy, Abd Hayy. Al-Bidāyah fiy al-Tafsīr al-Mawdhū’iy : Dirāsah Manhajiyyah Mawdhū’iyyah. Mesir : Maktabah Jumhūriyyah, 1977

Goldziher, Ignaz. Mazāhib al-Tafsīr al-Islāmiy diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah dengan judul Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik Hingga Modern. Yogyakarta : elSAQ Press, 2003


Hasan, Ahmad. Tafsir Al-Furqan.  Surabaya : Al-Ikhwan, 1986

-----------------. Soal Jawab Tentang Berbagai masalah Agama, Jilid 1-2. Bandung : CV. Diponegoro, 2006


M. Federspiel, Howard. Popular Indonesian Literature of the Qur’an diterjemahkan oleh Tajul Arifin dengan judul Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab. (Bandung : Mizan, 1996


Noer, Deliar. Riwayat Hidup Hassan.  Bangil : Pesantren Persis, t.th.

--------------------. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1940-1942. Jakarta : LP3ES, 1994


Subhan SD. Ulama-Ulama Oposan.  Bandung : Pustaka Hidayah, 2000


Wildan, Dadan. Yang Da’i Yang Politikus : Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999










[1]Lihat Abd Hayy al-Farmawiy, Al-Bidāyah fiy al-Tafsīr al-Mawdhū’iy : Dirāsah Manhajiyyah Mawdhū’iyyah (Mesir : Maktabah Jumhūriyyah, 1977), h. 23
[2] A. Hasan, Tafsir Al-Furqan (Surabaya : Al-Ikhwan, 1986), h. vii
[3]Subhan SD, Ulama-Ulama Oposan (Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), h. 75
[4] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1994), h. 11. Lihat juga H.Endang Saifuddin Anshari, Ahmad Hassan : Wajah dan Wijhah Seorang  Mujtahid dalam buku Abd. Rahman Haji Abdullah, Gerakan Islah di Perlis : Sejarah dan Pemikiran (Kuala Lumpur : Pena SDN.BHD., 1989), h. 111

[5]Subhan SD, op cit., h. 83

[6] Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus : Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 21

[7] Syafiq A. Mughni, op cit., h. 12

[8] Subhan SD,  op cit., h. 81

[9]Lihat Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan (Jakarta : Mutiara, 1980), h. 100-101

[10]Dadan Wildan, loc cit.

[11]Syafiq Mughni, loc cit.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Deliar Noer, Riwayat Hidup Hassan (Bangil : Pesantren Persis, t.th.), h. 3

[15]Subhan SD,  op cit. h. 85

[16]Kejadan tersebut terjadi ketika ia mengajar di Madrasah Assegaf Singapura. Ia mencium tangan (taqbil) seorang nazir (pengawas atau kepala sekolah) yang juga seorang sayyid, dan konon masih memiliki hubungan keturunan dengan Nabi. Mencium tangan itu dilakukannya setiap kali bertemu, sehingga kalau dalam sehari ia bertemu lebih dari sekali, maka cium tangan itu pun berulang ia lakukan. Untuk tindakannya itu ia ditertawakan oleh teman-temannya. Rupanya hal itulah yang dikritiknya  dalam Utusan Melayu dan membuat geger Singapura, sehingga pemerintah memberi peringatan agar tidak mengganggu ketenteraman masyarakat. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1940-1942 (Jakarta : LP3ES, 1994), h. 99-100

[17]Dadan Wildan, op cit. h. 23 

[18]Abd.Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Islam, Jilid 2 (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 97

[19] Lihat Dadan Wildan, loc cit. Syafiq Mughni, op cit., h. 16
[20] Deliar Noer, op cit., h. 98-99

[21]Lihat Syafiq Mughni, op cit., h. 17; Endang Syaifuddin Anshari, op cit., h. 123
[22] Lihat Dadan Wildan, op cit., h. 24

[23] Ibid, h. 28

[24] Endang Syaifuddin Anshari, op cit., h. 116
[25] Lihat Subhan SD, op cit., h. 107-108
[26]Ahmad Hassan, loc cit.

[27]Ibid.
[28] Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an diterjemahkan oleh Tajul Arifin dengan judul Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Bandung : Mizan, 1996), h. 129
[29] Ahmad Hassan, op cit., h. vii-xxxix
[30] Ibid., h. vii

[31]Ibid., h. viii
[32] Ibid, h. xxxiv-xxxix
[33] Ibid.,h. xl-xliv
[34]Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai masalah Agama, Jilid 1-2 (Bandung : CV. Diponegoro, 2006), h. 98

[35] Ibid., h. 103
[36]Lihat Ignaz Goldziher, Mazāhib al-Tafsīr al-Islāmiy diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah dengan judul Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik Hingga Modern (Yogyakarta : elSAQ Press, 2003), h. 87

[37] Lihat Harifuddin Cawidu, Metode dan Aliran dalam Tafsir, dalam Majalah Pesantren, No.1 Vol. VIII, 1991, h. 5
[38]Ahmad Hassan, Tafsir Al-Furqan, op cit., h. 165
[39]Lihat Ahmad Hassan, Soal Jawab 1-2, op cit., h. 60-63  

[40] Lihat Ahmad Hassan, Tafsir Al-Furqan, op cit., h. 708-709

1 komentar:

Pola Ruang Al Qur'an mengatakan...

Kami mencoba menawarkan sebuah metodologi tafsir "baru" melalui pendekatan bentuk geometri Ka'bah dan pola susunan Al Qur'an, yang dapat di baca di : manhaj al bait al atiq, pada : www.polaruangalquran.blogspot.com

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates