(sebuah
kajian Living Sunnah tentang siwak)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
"Saya tinggalkan kepada kalian dua hal, jika
kalian berpegang teguh pada kedua hal tersebut maka pasti kalian tidak akan
tersesat selamanya. Hal itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya". Demikian salah satu arti
dan makna dari hadis Rasulullah SAW yang memberikan informasi kemutlakan
keduanya sebagai pedoman hidup.
Sekalipun al-Qur'an dan al-sunnah memiliki fungsi
dan tujuan yang sama –sebagai pedoman hidup- namun keduanya memiliki perbedaan
eksistensi. Sebab al-Qur'an dikenal sebagai wahyu qath'iul wurud (telah
dipastikan kebenarannya), sedangkan al-sunnah dikenal dengan istilah dzanniul
wurud (masih diragukan kebenarannya)[1].
Dengan kata lain al-Qur'an sudah sahih berasal dari Allah, dan al-sunnah belum
dipastikan kesahihan sumbernya.
Berdasarkan hal tersebut, maka ulama hadis
menetapkan perlunya pengkajian hadis secara mendalam –baik dari aspek sanad
maupun matan- untuk menentukan keabsahan suatu hadis. Sehingga hadis Rasulullah
yang "benar-benar" sahih dapat dibedakan dengan hadis yang
kualitasnya lebih rendah, atau kesucian hadis Nabi dapat terpelihara.
Di antara metode yang dipergunakan ulama untuk
mencapai tujuan tersebut adalah adanya kajian yang disebut naqd al-sanad wa
al-matn (kritik sanad dan matan)[2].
Kajian tersebut meliputi kualitas perawi, ketersambungan sanad, bentuk lafadz
yang digunakan, kesesuaian matan hadis dengan riwayat yang –lebih- sahih, dan
beberapa bentuk yang lain. Kesemuanya mengindikasikan ketelitian dan
kesungguhan ulama untuk memelihara salah satu sumber ajaran Islam.
Penelitian ini perlu dilakukan, di samping untuk
menjaga kesucian hadis itu sendiri juga untuk memurnikan ajaran Islam. Karena
betapa banyak syari'at Islam –termasuk pada persoalan ibadah misalnya bersuci-
yang hendaknya dilakukan penuh kekhusyu'an, mudah dan tidak memberatkan untuk
dilaksanakan. Namun karena adanya "campuran" dari hal-hal yang
semestinya tidak disebutkan menyebabkan ibadah terasa sulit dan memberatkan.
Sebagai contoh, pensyari'atan siwak yang terkadang
memunculkan tanda tanya di tengah masyarakat, karena sebagian yang lain
–misalnya- seakan memaksakan untuk melaksanakannya, sementara yang lain merasa
bahwa bersiwak bukanlah sesuatu yang harus dilakukan, apatah lagi ajaran Islam
penuh dengan kasih sayang sehingga nilai tersebut akan "tercoreng"
bila siwak dipaksakan sementara di daerah kita tidak ditemukan siwak. Atau
beberapa masalah yang lain yang timbul karena perbedaan pemahaman tentang sumber
ajaran tersebut, termasuk sunnah Nabi.
Atas dasar itu, sehingga penulis mencoba mengemukakan
contoh menghidupkan sunnah yang terkait dengan siwak. Di samping untuk
mengetahui hal-hal yang sehubungan dengan siwak itu, juga yang tak kalah
pentingnya adalah meneliti dan melihat pandangan hadis Rasululah mengenai hal
tersebut. Baik dari segi kualitasnya maupun kandungannya. Akan tetapi hadis yang dimaksud, penulis batasi
pada kitab al-Muwattha' sebagai kajian utama, sekalipun nantinya
disebutkan beberapa hadis yang semakna atau yang terkait dengan pembahasan ini
sebagai tambahan dan pendukung terhadap hadis yang dikaji.
Hanya saja dalam kajian ini, penulis ingin
mempertegas bahwa, masih banyak kekeliruan dan kekurangan termasuk kurang
lengkapnya futnoote dan keterangan-keterangan yang lain –misalnya
penjelasan-penjelasan tentang makna hadis tersebut- yang sekiranya dimasukkan
akan menambah wawasan keilmuan dalam makalah ini. Hanya do'a, dan dukungan dari
semua pihak dalam bentuk kritik yang membangun, saran, dan respon yang baik,
yang penulis harapkan dalam kelanjutan dan kesempurnaan makalah ini.
B.
Metode Penelitian
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian hadis
memeiliki beberapa metode di antaranya melalui lafal pertama hadis, melalui
lafal-lafal yang terdapat dalam hadis, melalui perawi terakhir, melalui tema
hadis, dan melalui klasifikasi jenis hadis[3].
Hanya saja untuk makalah ini, penulis dalam mencari hadis hanya menggunakan dua
metode dari beberapa metode tersebut, yaitu melalui lafal-lafal yang terdapat
dalam matan dan melalui tema-tema hadis.
Pada awal penelitian hadis-hadis tersebut, penulis
merujuk kepada buku-buku yang memiliki pembahasan tentang siwak, termasuk di
dalamnya buku-buku tentang fiqih. Adapun penelitian lebih lanjutnya penulis
menggunakan kitab-kitab takhrijul hadis, misalnya al mu’jam al mufahras dan
miftah kunuz al sunnah yang masing ditulis oleh Arnold John Wensick
(1939). Penulis pun tidak lupa menggunakan CD al maktabah al syamilah dan alfiyah al sunnah. Dari sanalah,
penulis menemukan beberapa hadis yang kemudian untuk memperjelasnya maka
penulis mencari hadis tersebut dengan kedua metode di atas.
Adapun penelitian hadis melalui lafal-lafal hadis,
penulis temukan beberapa hadis yang terdapat dalam kitab-kitab matan hadis,
hanya saja penulis –sebagaimana disebutkan pada latar belakang di atas-
mengambil satu hadis yang dianggap sahih yang terdapat dalam kitab
al-Muwattha' sebagai hadis utama, sekalipun dalam kajian ini terkadang
menyebutkan beberapa hadis yang terdapat dalam kitab lain –kutb al-tis'ah- sebagai
pendukung.
C.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini, yaitu upaya
memahami pensyari'atan dan urgensi siwak dalam perspektif hadis Nabi, maka permasalahan pokok yang akan diangkat sebagai
kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan berikut ini :
1.
Bagaimana
memahami hadis secara tekstual dan kontekstual.
2.
Menghidupkan
sunnah.
a.
Perintah
menghidupkan sunnah
b.
Larangan
meninggalkan sunnah
c.
Pahala bagi
orang yang menghidupkan sunnah.
3.
Siwak sebagai
cara menghidupkan sunnah dikalangan masyarakat.
a.
Bagaimana takhrij dan i'tibar hadis tersebut?
b.
Bagaimana kualitas hadis tersebut, baik dari aspek sanad
maupun matannya?
c.
Bagaimana fiqih hadis dari hadis tersebut dan hadis-hadis
yang semakna?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Bagaimana memahami hadis secara tekstual dan
kontekstual.
Sejauh perbincangan mengenai hal ihwal hadis atau
sunnah, pertanyaan seputar “bagaimana memahami Hadis atau Sunnah” merupakan
bagian yang paling rumit. Lantaran dari pertanyaan ini akan diturunkan
jawaban-jawaban yang mencoba meneropong segala sesuatu yang dinisbatkan pada
Nabi Muhammad s.a.w., baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dalam
statusnya sebagai Utusan Allah. Oleh karenanya Imitatio Muhammadi merupakan
standar etika dan tingkah laku, yang darinya setiap individu muslim menjadikan
rule of live dalam bersikap dan menyikapi kehidupan mereka.
Adapun kesanggupan umat muslim meng-imitasi
Muhammad adalah perwujudan konsensus agung. Karena mau tidak mau, bagi kaum
muslimin sudah terlanjur menyepakati perjanjian dengan Allah SWT. Untuk
mengimani dan taat kepada-Nya juga pada rasul-Nya, melalui sebuah pernyataan
“Athî`ûllâha warrasûl…”[4],
atau “Athî`ûllâha wa athî`ûrrasûl…”[5]
Dalam upaya meneropong segala polah-tingkah Nabi
Muhammad s.a.w., barangkali bagi generasi Islam awal (sahabat) tidak banyak
menemui hambatan, sebab mereka hidup sezaman dengan Beliau. Sehingga bila ada
permasalahan yang terkait dengan agama dan khususnya sosial kemasyarakatan
mereka bisa segera merujuk kepada Rasulullah.[6]
Ditambah tingkat kerumitan persoalan dunia yang relatif sederhana, sehingga
problem yang mereka hadapi pun lebih sederhana disbanding dengan zaman modern
saat ini.
Hal yang relatif sama, terjadi pada generasi
Tabi’in. Dimana mereka hidup tak jauh dari zaman Nabi, lagi pula masih banyak
warisan sejarah yang hidup maupun warisan nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisi yang telah diciptakan oleh Nabi s.a.w. dan sahabatnya.
Tentu, hal demikian di atas tak segampang generasi
muslim muta`akhirin yang hidup pada abad modern,[7]
dimana gemerlap dunia melahirkan ‘seabrek’ pertanyaan yang pelik dan rumit.
Tidak hanya untuk dicari jawabannya tetapi juga mengidentifikasinya. Karena
kompleksitasnya, banyak hal yang tak tersentuh oleh wilayah agama yang dalam
hal ini adalah Hadis sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya
sebagai bayân ta`kîd (keterangan penguat), bayan tafsîr (keterangan penjelas)
atau bayân murâd (keterangan yang dimaksud) al-Quran.
Kondisi ini benar-benar menantang kaum muslimin.
Sehingga sederetan pakar yang tergabung dalam kelompok modernisme dan
kontemporer berusaha memetakan. lebih tepatnya menghidupkan kembali ruh hadis
atau sunnah tersebut melalui pendekatan-pendekatan mutakhir yang lazimnya
disebut aliran kontekstualisme sebagai perimbangan dan melengkapi nalar
tekstualisme.
Kontekstualis diambil dari kata konteks yang
berarti “suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan
makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian atau lingkungan
sekelilingnya”.[8]
Dalam bahasa Arab digunakan istilah ‘alâqah, qarînah, syiyâq al-kalâm, dan
qarâin al-ahwâl.[9]Sehingga
kontekstual dalam hal ini adalah “suatu penjelasan terhadap hadis-hadis baik
dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau segala yang disandarkan
pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu ditampilkan”.[10]
Adapun pendekatan tekstualis adalah sebuah istilah
yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memahami hadis cenderung memfokuskan
pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan
pola pikir episteme bayani. Eksesnya, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu
dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.[11]
Kelemahan mendasar dari pemahaman secara tekstual
adalah bahwa makna dan ruh yang terkandung dalam hadis tersebut akan
teralienasi dengan konteks atau situasi dan kondisi yang terus berkembang
pesat. Secara riil, hadis Nabi banyak yang mengambil setting dan latar situasi
serta kondisi Arab ketika itu. Sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks
masanya. Setidaknya inilah padangan Syahrur, salah satu icon kontekstualis di
abad ini.[12]
a.
Latar
Belakang Tekstualisasi dan Kontekstualisasi
Hadis atau Sunnah dengan sifatnya yang zanniy
al-wurûd, seringkali mendapat sorotan tajam bahkan sebagai bahan eksperimen
“operasi bedah” terhadap kesucian agama yang pada ujung-ujungnya pengingkaran
atas outentisitas hadis atau Sunnah tersebut. Taruhlah misalnya Ignas Goldziher
dan Yoseph Schacht, yang ‘getol’ menyoroti hadis atau sunnah dan menganggapnya
negatif. Mengutip bahasa Suryadi[13],
bahwa menurut mereka sunnah pada dasarnya merupakan kesinambungan dari adat
istiadat pra-Islam ditambah dengan aktivitas pemikiran bebas para pakar hukum
Islam awal. Sedangkan Hadis, hanyalah produk kreasi kaum muslimin belakangan,
mengingat kondifikasi Hadis baru dilakukan beberapa abad sepeninggal Rasulullah
s.a.w..[14]
Selain itu, umat Islam sendiri merasa tidak PD
(percaya diri) dengan hadis atau sunnah. Alih-alih mereka berdalil pada alasan
yang tak jauh beda. Mereka berpendapat bahwa al-Quran telah cukup meng-cover
segala permasalahan umat, lagi pula secara eksistensi hadis maupun sunnah masih
diragukan otentisitasnya. Di antara gembong yang mewakili mereka adalah Taufiq
Sidqi, Ahmad Amin dan Ismail Adnan.[15]
Secara faktual memang tidak dapat dipungkiri bahwa
terdapat perbedaan menonjol antara hadis dan al-Quran. Dari segi redaksi dan
penyampaiannya, diyakini bahwa al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT.
Malaikat Jibril sekadar penyambung lidah agar sampai pada Muhammad. Kemudian
Muhammad langsung menyampaikan kepada umatnya dan umatnya langsung menghafal
dan menulisnya. Sehingga sepanjang zaman tidak mengalami perubahan. Bahkan
Allah sendiri telah menjamin akan keotentikannya. Atas dasar inilah, wahyu
Allah digolongkankan sebagai Qath’iy ats-Tsubût.[16]
Sedangkan hadis, hanya berdasarkan hafalan sahabat
dan catatan beberapa sahabat serta tabi’in. namun demikian profil sahabat dan
tabi’in yang dapat dibuktikan kredibelitasnya dalam soal kejujuran, keteguhan,
ketulusan dan upaya selektif untuk merawat serta meneruskan pada generasi berikutnya
dan ditopang kondisi sosio masyarakat yang kondusif untuk itu, maka setidaknya
patutlah hadis atau sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua. Dan bahkan
menurut penulis, bahwa tradisi kehidupan Nabi merupakan bentuk pranata Islam
yang kongkret dan hidup sebagai penerjemahan al-Quran.
Adapun masalah yang mengemuka dari sisi internal
diri Muhammad sebagai figur Rasul akhiru az-zaman adalah bahwa secara otomatis
ajaran-ajaran beliau berlaku sepanjang zaman, sementara hadis itu sendiri turun
dalam kisaran tempat dan sosio-kultural yang dijelajahi Rasulullah s.a.w..
Disamping itu tidak semua hadis secara eksplisit mempunyai asbabu al-wurûd yang
menjadikan status hadis apakah bersifat ‘am atau khash. Sehingga hadis dipahami
secara tekstual maupun kontekstual.[17]
Tak kalah menariknya yang berkaitan dengan posisi
Rasulullah s.a.w. dan fungsinya. Apakah dia sebagai seorang Nabi, Rasul, kepala
pemerintah, hakim, panglima perang, suami, atau manusia biasa. Keberadaan
Rasululullah s.a.w. ini — peran apa yang sedang beliau mainkan — menjadi acuan
untuk memahami hadis secara tepat dan proporsional. Melaui pendekatan
tekstualkah atau kontekstualkah agar hadis tetap shâlihun likulli zamânin wa
makânin.[18]
Secara
lebih kongkret, Hamim Ilyas memaparkan faktor-faktor kontekstualusasi hadis
atau sunnah sebagai berikut:[19]
jumlah umat muslim yang semakin pesat dan
penyebarannya di berbagai wilayah geografis dan geo-politik yang berbeda-beda,
berikut permasalahan yang mereka hadapi bisa menjadi spektrum kontekstualisasi
hadis atau Sunnah yang lebih luas.
banyaknya jamaah haji dewasa ini, telah menuntut
pemerintah Arab — dalam hal ini yang bertanggung jawab — untuk melakukan
kontekstualisasi hadis atau sunnah terutama yang berkaitan dengan mabit bi Mina
dan sa’i. selain itu juga masalah mahram, mengingat antara jamaah haji
laki-laki dan perempuan susah untuk tidak bercampur. Dan masalah miqat karena
kebanyakan para jamaah haji berangkat menggunakan pesawat.
Takdir geografis bagi muslim yang berada di kutub
selatan maupun utara juga menjadi problem. Perbedaan waktu siang dan malam
akibat pengaruh posisi matahari menuntut kontekstualisasi hadis atau Sunnah
mengenai shalat, masuk bulan puasa dan sahurnya.
kenyataan bahwa umat muslim tidak lagi sentralistik
pada daulah islamiyah, maka konskuensinya mereka harus mengikuti aturan main
setiap Negara dimana mereka berada. Apalagi kalau jumlah umat muslim minoritas.
Akibatnya konsepsi hadis atau Sunnah harus dikontekstualisasikan sesuai adat
budaya setempat. Terutama di negara-negara yang menganut sekularime ekstrim.
Sehingga perlu kontekstualisasi hadis atau Sunnah, misalnya yang berkaitan
dengan aurat dan kurban.[20]
dan faktor utama terbukanya kran kontekstualisasi
hadis atau Sunnah diabad ini adalah serbuan “Modernisme” dari barat yang
menjadi kiblat pembangunan setiap Negara. Tak pelak berpengaruh besar terhadap
kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, agama dan kependudukan
secara global. Sebagai biasnya muncul segudang teori dan konsep ilmu
pengetahuan dunia Barat yang masuk dalam kesadaran umat muslim melalui berbagai
transmisi. Taruhlah – misalnya — kelahiran HAM, Demokrasi dan paradigma modern
tentang hal ihwal terkait penciptaan manusia, yang menuntut kaum muslim
melakukan kontekstualisasi hadis atau Sunnah.
Maka tepatlah jika Fazlur Rahman mengilustrasikan
bahwa “ketika kekuatan-kekuatan masal baru di bidang sosio ekonomi, kultur,
moral dan politik menyergap suatu masyarakat, maka nasib masyarakat tersebut
secara alamiah akan bergantung pada sejauhmana ia bisa menemukan tantangan baru
yang kreatif. Jika masyarakat tersebut dapat menghindari dua kutub ekstrem yang
menggelikan, yaitu: mundur pada diri sendiri serta mencari perlindungan delusif
pada masa lalu di satu sisi, dan menceburkan diri serta mengikuti idealnya
untuk bereaksi terhadap kekuatan-kekuatan baru tersebut melalui asimilasi,
penyerapan, penolakan dan kreativitas positif yang lain, maka ia akan
mengembangkan sebuah dimensi baru bagi aspirasi-dalamnya, suatu makna dan
muatan baru bagi idealnya”.[21]
- Dasar-Dasar Tekstualisasi dan Kontekstualisasi
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi
menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M. Sa’ad Ibrahim alasan-alasan tersebut
adalah[22]:
Pertama, masyarakat yang dihadapi Nabi s.a.w..
bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang
tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabkan sebagiannya
bersifat tipikal. Misalnya pranata zihar أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّى (bagiku engkau bak punggung ibuku) yang ungkapan tersebut hanya
berlaku bagi kontek budaya Arab, jika ditransfer dalam budaya keindonesiaan
maka jelas maknanya beda.
Kedua, dalam keputusan Nabi sendiri telah
memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan alasan “situasi dan kondisi”.
Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula dilarang karena kekawatiran terjebak
pada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti diperbolehkan.
Ketiga, peran shabat sebagai pewaris Nabi — yang
paling dekat sekaligus memahami dan menghayati Nabi dengan risalah yang
diembannya — telah mencontohkan kontekstualisasi nash (teks). Misalnya Umar
bin al-Khattab pernah menyatakan bahwa
hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh
tiga talak.
Keempat, implementasi pemahaman terhadap nash
(teks) secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru
menjadi reason d’etre kehadiran Islam itu sendiri.
Kelima, pemahan tekstualis secara membabi buta
berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justeru
diintroduksi oleh nash itu sendiri.
Keenam, pemahaman secara kontekstual yang merupakan
jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks
berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal
spesifik yang baru.
Ketujuh, penghargaan terhadap aktualisasi
intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam
secara kontekstual dibandingkan secara tekstual. Sebagaimana trade mark Islam الإسلام دين العقل
والفكر (Islam itu agama rasional dan intelektual).
Kedelapan, Kontekstualisasi pemahaman teks-teks
Islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana dan kapan saja selalu dipandang
positif optimis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu
akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang maslahat), yang terumuskan
dalam kaidah العادة
محكمة (tradisi itu dipandang legal).
Kesembilan, keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah
petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna
bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang
sangat kaya, yang harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui
interpretasi yang tepat.
- Batas-Batas Tekstualisasi dan Kontekstualisasi
Secara umum M. Sa’ad Ibrahim menjelaskan bahwa
batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu: Pertama, dalam bidang ibadah
mahdhoh (murni) tidak ada kontekstualisasi. Jika ada penambahan dan pengurangan
untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi maka hal tersebut adalah bid`ah.
Kedua, bidang di luar ibadah murni. Kontekstualisasi dilakukan dengan tetap
berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik
baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.[23]
Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif)
meliputi:[24]
ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari
makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu
dan intersubjektif. Bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental
Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’âsyarah bil ma’ruf.
Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang
bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan
pun dan dimana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis
tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terleak pada keharusan seorang
hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam
kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim
melakukan shalat?” sangat tergantung pada konteks si pelakunya. Maka tak heran
bila terdapat berbagai macam khilafiyat pada tataran praktisnya.
Adapun batasan-batasan kontekstual (historis)
mencakup[25]
bentuk atau sarana yang tertuang secara tekstual. Dalam hal ini tidak menuntut
seseorang untuk mengikuti secara saklek (apa adanya). Sehingga bila ingin
mengikuti Nabi tidak harus berbicara dengan bahasa Arab, memberi nama yang
Arabisme, berpakaian Gamis ala Timur Tengah dan sebagainya. Karena semua ini
produk budaya yang tentu secara zhahir antara setiap wilayah berbeda.
Aturan yang menyangkut manusia sebagai mahluk
individu dan biologis. Jika rasulullah makan hanya menggunakan tiga jari maka
kita tidak harus mengikuti dengan tiga jari, karena kontek yang dimakan
rasulullah adalah kurma atau roti. Sedangkan bila kita makan nasi dan sayur
asem harus dengan tiga jari betapa malah tidak efektifnya. Ide dasar yang dapat
kita runut pada diri Nabi dalam konteks ini adalah bagaimana makan yang halal
baik, tidak berlebihan dan dengan akhlak yang baik pula.
Aturan yang menyangkut manusia sebagai mahluk
sosial. Bagaimana manusia berhubungan dengan sesama, alam sekitar dan binatang
adalah wilayah kontekstual. Sebagaimana isyarat hadis antum a’lamu bi umûri
dunyâkum. Ide dasar yang kita sandarkan pada Nabi adalah tidak melanggar
tatanan dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan keadilan dan persamaan serta
stabilitas secara umum sebagai wujud ketundukan pada Sang Pencipta.
Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, dimana kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya yang sedemikian
komplek. Maka kondisi pada zaman Nabi tidak dapat dijadikan sebagai parameter
sosial.
- Langkah-langkah Kontekstualisasi
Bertolak dari dasar-dasar dan batasan-batasan
kontekstualisasi tersebut di atas maka langkah-langkah pemahaman
kontekstualisasi dapat dilakukan sebagai berikut:[26]
Pertama, memahami teks-teks Hadis atau Sunnah untuk
menemukan dan mengidentifikasi legal spesifik dan moral ideal dengan cara
melihat konteks lingkungan awalnya yaitu; Makkah, Madinah dan sekitarnya.[27]
Kedua, memahami lingkungan baru dimana teks-teks
akan diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awal untuk
menemukan perbedaan dan persamaannya.
Ketiga, jika ternyata perbedaan-perbedaannya lebih
esensial dari persamaan-persamaannya maka dilakukan penyesuaian pada legal
spesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan baru, dengan tetap
berpegang pada moral idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, maka nas-nas
tersebut diaplikasikan dengan tanpa adanya penyesuaian.
B.
Bagaimana
menghidupkan sunnah
a.
Perintah
Memuliakan Sunnah
Sunnah Nabi, sebuah istilah yang kerap kita
mendengar dan mengucapkannya. Karena memang ia merupakan landasan hidup kita
sebagai penganut ajaran Islam. Kita semua sepakat untuk menjunjung tinggi dan
mengagungkan Sunnah dan bersepakat pula bahwa yang merendahkannya berarti
menghinakan Islam dan ajaran Nabi.
Namun jika kita menengok realita yang ada, apa yang
dilakukan kaum muslimin dalam menyikapi Sunnah Nabi nampaknya sudah jauh dari
yang semestinya. Bahkan keadaannya sangat parah. Tidak tanggung-tanggung, di
antara mereka ada yang menolak dengan terang-terangan Sunnah yang tidak
mutawatir dan mengatakan hadits ahad bukan hujjah (dalil) dalam masalah akidah.
Ada pula yang menolak dan mengingkari Sunnah Nabi
secara total dengan berkedok mengikuti Al Qur’an saja. Padahal Al Qur’an tidak
mungkin dipisahkan dari Sunnah. Al Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa
saja yang datang dari Nabi (Sunnahnya).
Al Imam Abu Qilabah berkata: “Jika kamu ajak bicara
seseorang dengan menyebutkan Sunnah kepadanya lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan
kami dari ini (penyebutan sunnah) dan sebutkan (pada kami) Kitabullah (Al
Qur’an saja).’ Maka ketahuilah bahwa dia adalah orang yang sesat.”[28]
Bentuk yang lebih parah dari ‘sekedar’ menolak
adalah mengolok-olok Sunnah dan orang-orang yang mencoba berjalan di atasnya.
Ada pula yang dengan terang-terangan menolak hadits Nabi karena dinilai tidak
sesuai dengan akal atau realita zaman (menurut apa yang dia sangka).
Sangat disayangkan sikap-sikap seperti ini justru
sering dimiliki oleh orang-orang yang terjun ke kancah dakwah. Padahal lisan
mereka juga mengatakan bahwa kita wajib mengagungkan Sunnah.
Mengagungkan Sunnah adalah perkara yang besar dan
bukan sekedar isapan jempol. Ia butuh bukti nyata dan praktek dalam kehidupan.
Namun kini keadaannya justru sebaliknya, banyak orang menolaknya, banyak orang
mengabaikannya bahkan mengolok-ngoloknya. Padahal Allah ? berfirman (artinya):
Artinya
“Dan apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian maka
lakukanlah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.” [29]
“Barangsiapa yang menaati Rasul berarti ia telah
menaati Allah.”[30]
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.”[31]
Ketiga ayat ini menunjukkan secara tegas bagaimana
semestinya kita menempatkan Sunnah Nabi, yakni wajib mengambilnya dan merupakan
keharusan yang tidak ada tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan Sunnah
tersebut sebagai pedoman dalam melangkah dan melakukan ketaatan kepada Allah.
Oleh karena itu Allah jadikan Nabi-Nya sebagai penjelas dan penjabar Al Qur’an
bukan sekedar menyampaikan atau membacakannya secara lafadz saja, sebagaimana
dalam firman-Nya:
Artinya :
“Dan kami turunkan kepadamu Al
Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.”[32]
Demikian
pula Rasulullah ? bersabda:
‘Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah,
mendengar dan taat kepada pimpinan, walaupun yang memimpin kalian adalah
seorang budak karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia akan
melihat perbedaan yang banyak, maka disaat seperti itu wajib atas kalian
bepegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa’ Ar Rasyidin,
gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian dan jauhilah perkara-perkara yang baru
(bid’ah) karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.”[33]
b.
Larangan
Meninggalkan Sunnah Nabi
Abu Bakar Ash Shiddiq ? mengatakan: “Tidaklah suatu
amalan pun yang dilakukan oleh Rasulullah kecuali pasti saya juga melakukannya
dan saya takut jika saya tinggalkan sesuatu darinya lalu saya sesat.”
Wahai saudaraku… Orang yang
paling jujur (Abu Bakar) khawatir terhadap dirinya untuk tersesat jika
menyelisihi sesuatu dari jalan Nabi. Maka bagaimana jadinya dengan sebuah jaman
yang penduduknya mengolok-olok Nabi mereka dan perintah-perintahnya bahkan
berbangga dengan menyelisihi dan mengolok-oloknya.
Maka sangat mengherankan kalau seseorang tahu
Sunnah lalu meninggalkannya dan mengambil pendapat yang lain sebagaimana
dialami oleh Al Imam Ahmad: “Saya merasa heran terhadap sebuah kaum yang
tahu sanad hadits dan keshahihannya kemudian memilih pendapat Sufyan (maksudnya
Sufyan Ats Tsauri-red) padahal Allah ? berfirman: Maka hendaklah berhati-hati
orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa
adzab yang pedih (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah
syirik.”.[34]
Demikian pula suatu saat Al Imam Asy Syafi’i
rahimahullah ditanya tentang sebuah masalah maka beliau mengatakan bahwa dalam
masalah ini diriwayatkan demikian dan demikian dari Nabi. Maka si penanya mengatakan:
“Wahai Al Imam Asy Syafi’i, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits
itu?” Maka beliau langsung gemetar lalu mengatakan: “Wahai, bumi mana yang akan
membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari
Nabi kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu di atas pendengaran dan
penglihatanku (yang aku junjung tinggi).” [35],
Dalam kesempatan lain beliau ditanya dengan
pertanyaan yang mirip lalu beliau gemetar dan menjawab: “Apakah engkau melihat
aku seorang Nasrani? Apakah kau melihat aku keluar dari gereja? Ataukah engkau
melihat aku memakai ikat di tengah badanku (yang biasa orang Nasrani
memakainya-red)? Saya meriwayatkan hadits dari Nabi lalu saya tidak
mengambilnya sebagai pendapat saya?!”
c.
Pahala
Bagi Orang Yang Berpegang Dengan Sunnah Nabi
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari
kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang
beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.”
Seseorang bertanya: “Limapuluh dari mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah
menjawab: “Pahala limapuluh dari kalian.”[36]
Selama seseorang berada di atas Sunnah Nabi maka
dia tetap berada di atas istiqamah. Sebaliknya, jika tidak demikian berarti ia
telah melenceng dari jalan yang lurus sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar:
“Manusia tetap berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak
Nabi.”[37]).
‘Urwah mengatakan: “Mengikuti Sunnah-Sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.”
[38]
Seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin mengatakan:
“Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas jejak Nabi maka dia
berada di atas jalan yang lurus.” [39]
C.
Siwak sebagai cara menghidupkan
sunnah dikalangan masyarakat.
a.
Takhrij
Hadis
Dalam
penelitian hadis, langkah awal yang mesti dilakukan adalah takhrij al-hadits
(takhrij)[40].
Karena dengannyalah sehingga seorang peneliti hadis dapat mengetahui eksistensi
suatu hadis apakah benar bahwa hadis yang ingin diteliti terdapat dalam
buku-buku hadis atau tidak. Peneliti juga dapat mengetahui sumber otentik suatu
hadis dari buku hadis apa saja didapatkan, serta dapat mengetahui tempat hadis
tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam kitab-kitab hadis. Dan yang lebih
penting dengan takhrij, peneliti dapat mengetahui kualitas hadis (diterima atau
ditolak)[41].
Karena pengetahuan tersebut sangat berpengaruh dalam kehujjaan suatu hadis
sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Sehubungan
dengan contoh makalah ini –"siwak dalam perspektif hadis Nabi; kajian
analisis tematik salah satu hadis pada kitab al-Muwattha'"- dan
kitab hadis yang menjadi rujukan utama, penulis –setelah mencari hadis
berdasarkan metode tematik- menemukan tiga hadis di dalam kitab al-Muwattha'
yang berbicara mengenai siwak. Namun dari ketiga hadis tersebut, penulis
memilih salah satunya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :
حدثني عن مالك عن أبي
الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لولا أن
أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك[42]
Terjemahan :
Dari Malik dari Abu Zinad dari al-A'raj dari Abu Hurairah,
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : "Sekiranya tidak menyulitkan umatku
maka pasti saya akan perintahkan kepada mereka untuk bersiwak".
Berdasarkan matan hadis di atas, penulis melakukan penelusuran
hadis yang sesuai pada kitab-kitab hadis (al-kutub
al-tis'ah) dengan menggunakan metode bi al-alfadz (lafadz-lafadz
yang terdapat dalam hadis tersebut). Misalnya lafadz لو لا , أشق على أمة , dan السواك [43]. dari penelitian tersebut ditemukan ada beberapa hadis yang
selafadz dan atau semakna dengan hadis tersebut. Di antara hadis tersebut, ada
yang sama persis matannya dengan hadis riwayat Imam malik di atas[44], ada pula yang memiliki
perbedaan, termasuk tambahan kalimat مع كل وضوع , مع كل صلاة ,
dan atau عند كل صلاة [45].
b.
I'tibar al-Sanad
Setelah kegiatan takhrij hadis dilakukan, langkah selanjutnya
adalah melakukan I'tibar al-hadits[46]. Hal ini dimaksudkan,
agar dapat terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti,
nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan masing-masing
periwayat yang bersangkutan. Apatah lagi kegunaan I'tibar adalah untuk
mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dari ada atau tidak adanya pendukung,
baik berupa mutabi'[47] maupun syahid[48].
Terkait dengan hadis di atas, ditemukan bahwa di sana ada beberapa
hadis yang dapat menjadi syahid dan mutabi'nya. Sebagai contoh
pada tingkatan Abu Hurairah, ternyata pada riwayat yang lain terdapat Zaid bin
Khalid dan Ali bin Abi Thalib. Untuk tingkatan di bawahnya (al-A'raj) juga
terdapat nama-nama yang lain, seperti Abu Salamah, Humaid bin Abdurrahman,
Sa'id al-Maqbury. Demikian pula pada tingkatan-tingkatan setelahnya. Untuk
lebih jelasnya, penulis menyarankan untuk melihat skema sanad sebagaimana
terlampir.
c.
Kritik sanad Hadis
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian hadis meliputi bagian
sanad dan matan. Karena kesahihan hadis tidak terbatas pada sanadnya saja, akan
tetapi matan pun memiliki peranan penting di dalamnya. Oleh karena itu, untuk
mengetahui kualitas hadis di atas maka perlu dilihat dari dua aspek, sanad dan
matan.
Adapun kajian sanad pada makalah ini, penulis batasi pada riwayat
Imam Malik di atas[49], sedangkan
riwayat-riwayat yang lain hanya dijadikan sebagai pendukung hadis tersebut,
sehingga penelitian masing-masing sanadnya bukanlah sesuatu yang mesti
dilakukan[50].
Biografi serta pendapat para kritikus hadis mengenai perawi-perawi hadis di
atas, dapat dilihat sebagai berikut :
1.
Malik bin Anas (93-179 H)
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir
al-Ashbani, Imam Madinah dan salah seorang dari empat Imam di kalangan Ahlu
Sunnah. Dia berguru pada Nafi' Maula Ibnu Umar, Zuhri, Rabiah ar-Ra'yi, Abu
Zinad, dan lainnya. Imam Malik terkenal sangat hati-hati dalam hal kepada siapa
dia mengambil ilmu, dalam mengambil riwayat hadis, dan dalam memberi fatwa.
Fiqihnya terkenal dengan mengikuti al-Qur'an, Sunnah dan amalan penduduk
Madinah. Imam Malik mempunyai karisma yang tinggi, dia berpegang teguh pada
prinsipnya, sehingga gubernur Madinah pernah mencambuknya antara 30 sampai 100
kali karena dia menolak memberi fatwa dengan jatuhnya talak yang dipaksakan.
Keagungannya dapat terlihat pada perkataan Imam ahmad bin Hanbal مالك
أثبت في كل شيئ
dan komentarnya Muhammad bin Sa'ad ثقة مأمون ثبت حجة . Imam Malik lahir di
Madinah pada Tahun 93 H dan waat pada tahun 179 H di Madinah.
2.
Abu Zinad (w. 130 H)
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Dzakwan al-Qurasyi, Abu
Abdirrahman al-Madani, ia lebih dikenal dengan sebutan Abu Zinad, Maula Ramlah
binti Syaibah bin Rabi'ah. Bapaknya yang bernama Dzakwan merupakan saudara
kandung Abu Lu'lu pembunuh Sayyidinah Umar bin Khattab. Ia termasuk golongan صغار
االتابعين
(tabi'in kecil), termasuk pula orang yang rajin menuntut ilmu dan mempelajari
hadis. Di antara gurunya adalah Aban bin Utsman bin Affan, Said bin Musayyab,
Sulaiman bin Yasar, Abdurrahman bin Harmiz al-A'raj, dan lainnya. Sementara
murid-muridnya adalah Sufyan bin 'Uyainah, Sulaiman al-A'masy, Abdurrahman bin
Ishaq, Malik bin Anas, dan lainnya. Ia tergolong ulama yang dikagumi, hal itu
terlihat dari komentar beberapa ahli hadis. Misalnya Ahmad bin Hanbal dan Yahya
bin Mu'in menilainya sebagai tsiqah, bahkan Ali ibnu al-Madiny menyatakan
bahwa setelah kibar al-tabi'in tidak ada lagi orang yang lebih dalam
ilmunya dari Ibnu Syihab, Yahya bin Sa'id al-Anshari, serta Abu Zinad. Imam
al-Bukhari pun menambahkan bahwa ashahhul asanid (sanad yang paling
sahih) dari Abu Hurairah yaitu yang melalui jalur Abu Zinad dari al-A'raj dari
Abu Hurairah ra. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara jelas, namun ia
wafat pada tahun 130 H. dan menurut al-Waqidi pada saat itu ia berumur 66
tahun, sehingga penulis perkirakan bahwa Abu Zinad dilahirkan pada tahun 64 H.
3.
Al- A'raj (w. 117)
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Harmiz al-A'raj Abu Daud
al- madani, Maula rabi'ah bin Harits bin Abdil Mutthalib. Ia termasuk golongan الوسطى
من التابعين
dan dikenal banyak meriwayatkan hadis. Abu Zar'ah dan Ibnu Khirasy menilainya
sebagai tsiqah, bahkan Ahmad bin Abdullah al-'Ajali menambahkan bahwa ia
adalah madani, tabi'I dan tsiqah. Ia pun banyak menulis kitab sehingga
'Ikrimah bin Abdurrahman mengatakan كان عبد الرحمن الأعرج
يكتب المصاحف .
di antara guru-gurunya, yaitu : Abdullah bin Abbas, Mu'awiyah bin Abi Sufyan,
Abu Hurairah, dan lainnya. Demikian pula dengan muridnya, yaitu : Ja'far bin
Rabi'ah, Zaid bin Aslam, Abu Zinad Abdurrahman bin Dzakwan, dan lainnya. Tempat
dan tanggal lahirnya, penulis tidak temukan. Akan tetapi Muhammad bin Sa'ad
mengatakan bahwa al-A'raj wafat pada tahun 117 H di al-Iskandariah.
4.
Abu Hurairah[51] (w. 57 H)
Ia adalah salah seorang sahabat Nabi yang agung yang dikenal
dengan julukan Abu Hurairah. Julukan ini diberikan sendiri Nabi kepadanya karena menurut riwayat ia
adalah sahabat Nabi yang sangat sayang dan perhatian kepada kucing sehingga ia
dijuluki Abu Hurairah (bapaknya kucing kecil). Nama lengkapnya adalah Abdur
Rahman bin Shakhr al Dausi. Ia lahir dan besar di daerah pedesaan padang pasir
karena memang asalnya adalah dari kabilah Azad di Yaman. Ayahnya meninggal
dunia ketika ia masih kecil, sehingga ia sendiri membantu ibunya mencari nafkah
dengan menggembala kambing. Pada tahun penaklukan Khaibar (7 H/628 M) ia masuk
Islam dan setelah itu ia selalu mendampingi Nabi SAW dalam setiap kegiatannya.
Abu Hurairah bersama 70 orang sahabat yang miskin tinggal di serambi mesjid
Nabawi, sehingga mereka disebut sebagai ahl as suffah (orang yang hidup
sederhana). Dalam hidupnya, Abu Hurairah dikenal sebagai salah seorang sahabat
Nabi yang banyak menghafal dan meriwayatkan hadis Nabi. Hal ini disebabkan oleh
karena ia senantiasa menemani-melayani Rasulullah sehingga ia mempunyai banyak
kesempatan mendengar ucapan dan perbuatan Nabi. Ia mengabdi dan menemani Nabi
SAW selama 4 tahun sejak ia masuk Islam hingga Nabi SAW wafat. Dan hal
Rasulullah sendiri pun mengakui akan keseriusan dan perhatian Abu Hurairah
terhadap hadis.
Dalam beberapa versi disebutkan bahwa hafalan Abu Hurairah pada
mulanya tidak kuat. Karena itu ia memohon kepada Nabi Muhammad SAW agar
mendoakannya sehingga hadis yang didengarnya dapat melekat kuat dalam
ingatannya. Rasul pun mendoakannya, sehingga
berkat doa Nabi tersebut maka semua yang ia dengar dari Nabi SAW dapat
ia hafal dan melekat dalam ingatannya.
Tidak ada keterangan dan informasi –sepanjang pengetahuan penulis-
yang menunjukkan kapan dan di mana Abu Hurairah dilahirkan. Namun yang pasti ia
berasal dari Azad di Yaman. Dan dalam hidupnya itu, ia meninggalkan sebuah
pelajaran berharga berupa kesederhanaan dalam segala hal. Dan inilah yang
menjadi salah satu kunci kemuliaannya di sisi Allah, Rasulullah dan
sahabat-sahabat Nabi yang lain. Abu Hurairah wafat 57 Hijriah dalam usia 78
tahun[52] dan dimakamkan di Baqi’
yang menjadi pemakaman umum[53] yang ada di Madinah.
Makamnya masih dapat dikenal hingga saat
ini. Semoga Allah meridhai dan merahmatinya.[54] Amin.
Setelah melihat keterangan-keterangan di atas, baik jalur
sanadnya, keadaan para perawinya, maupun metode periwayatannya, maka dapat
dianalisis sebagai berikut :
Pertama, jika ditinjau dari
segi ittishal al-Sanad (persambungan sanadnya) dapat dikatakan bahwa
hadis di atas tergolong hadis marfu'[55] yang muttashil[56]
karena semua periwayat memiliki hubungan antara guru dan murid serta masing-masing
memiliki kemungkinan besar untuk bertemu (guru dan murid hidup sezaman). Jika
ditinjau dari segi kuantitasnya, hadis di atas dapat dikategorikan sebagai
hadis masyhur[57]
karena sekalipun kajian utamanya hanya riwayat dari Imam Malik, namun
ternyata di sana ditemukan ada beberapa riwayat yang lain yang selafadz dan
atau semakna dengan sanad yang berbeda pada masing-masing tingkatan, bahkan
tampak jelas tiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang perawi.
Kedua, dilihat dari segi
kualitas perawinya dapat diuraikan bahwa semua ulama memasukkan mereka dalam
tataran orang-orang tsiqah. Bahkan Imam al-Bukhari sendiri mengakui
bahwa jalur sanad di atas merupakan jalur yang paling sahih dari Abu Hurairah.
Ketiga, dilihat dari segi
metode periwayatannya dapat dikatakan bahwa hadis tersebut tergolong hadis mu'an'an[58]
karena masing-masing perawi dari jalur sanad di atas menggunakan shighat
al-tahammul (ungkapan periwayatan) berupa عن عن . akan tetapi penulis
–sekalipun ada yang menggolongkan periwayatan seperti ini sebagai hadis munqathi'
[59]
atau hadis mursal[60]
- melihat bahwa hadis di atas tetap muttashil, karena syarat-syarat
yang diajukan ulama hadis untuk dijadikan tolak ukur atau kriteria dalam
menerima periwayatan mu'an'an semuanya terpenuhi[61].
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hadis di atas dari segi
sanad termasuk hadis sahih. Apatah lagi ada beberapa hadis lain yang menjadi
syahid dan mutabi'nya.
d.
Kritik matan Hadis
Setelah penelitian sanad, langkah selanjutnya yang akan dilakukan
adalah kritik matan. Hal ini dilakukna karena terkadang ada riwayat yang tidak
bisa kita bayangkan berasal dari Nabi SAW, sehingga para ulama menolaknya,
tanpa menghiraukan kualitas sanadnya. Bahkan ada riwayat yang ditolak, meskipun
sanadnya shahih. Inilah yang dikatakan dengan kritik matan (kritik intern)[62].
Dalam peneltian matan ini, setidaknya ada tiga langkah yang mesti
dilakukan, yaitu pertama, meneliti matan hadis dengan melihat kualitas
sanadnya. Kedua, meneliti susunan matan hadis yang semakna. Ketiga,
meneliti kandungan matan hadis. Dan adapun tolak ukur atau kriteria kesahihan
matan ada dua, yaitu tidak mengandung syadz[63]
dan illat[64].
Kaitannya dengan matan hadis di atas, bila ditinjau dari kualitas
sanadnya maka dikatakan bahwa penelitian tersebut sudah bisa dilanjutkan untuk
langkah yang kedua, karena semua perawi hadis di atas termasuk orang yang 'adil
dan tsiqah. Apatah lagi awal penelitian matan memang harus berangkat
dari sanad hadis yang jelas-jelas telah memenuhi syarat kesahihan. Dan hal itu
telah terpenuhi pada sanad di atas.
Bila ditinjau dari susunan matan hadis yang semakna, maka tampak
sedikit perbedaan antara matan hadis di atas dengan hadis-hadis yang lain.
Misalnya saja hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan menambahkan kata عند كل
صلاة[65] atau HR. al-Bukhari :
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن أبي
الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال
لولا أن أشق على أمتي أو على الناس لأمرتهم بالسواك مع كل صلاة[66]
Di sini terlihat bahwa
hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di atas memiliki tambahan tentang
waktu bersiwak yaitu ketika ingin shalat. Hanya saja setelah memperhatikan
kedua atau beberapa riwayat tersebut, penulis berkesimpulan bahwa perbedaan
tersebut bukanlah suatu perbedaan yang menyebabkan kualitas hadis Imam Malik di
atas menurun. Karena matan hadis yang disampaikan Imam Malik tersebut bersifat
umum, tanpa menyebutkan kapan bersiwak itu dilakukan. Barulah pada riwayat-riwayat
yang lain tersebut (HR. Bukhari, Muslim, Turmudzi, dll) disebutkan waktu
bersiwak itu. Ada yang menyebutkan dengan lafadz عند كل صلاة , atau مع كل
صلاة
atau عند كل وضوء . Oleh karena itu, matan hadis di atas tetap
dikategorikan sahih sekalipun kemungkinan ada salah seorang perawi hadis
tersebut melakukan idraj[67] dengan tidak menyebutkan
matannya secara sempurna, yakni memotong kalimat مع كل صلاة karena al-Bukhari sendiri meriwayatkan hadis tersebut dengan jalur
yang sama ditambah seorang perawi lagi yaitu Abdullah bin Yusuf (jalurnya :
al-Bukhari dari Abdullah bin Yusuf dari Malik bin Anas dari Abu Zinad dari
al-A'raj dari Abu Hurairah) menyebutkan matan hadis disertai kalimat مع كل
صلاة . Tetapi
sekali lagi peng-indraj-an tersebut tidak sampai mempengaruhi kualitas
hadis, di samping alasan yang disebutkan di atas juga ada riwayat al-Bukhari
yang lain dengan jalur yang berbeda tidak menyebutkan adanya tambahan kata
setelah السواك dan semua perawinya juga
termasuk orang-orang terpercaya kredibilitasnya, yaitu :
حدثنا يحيى بن بكير حدثنا الليث عن جعفر بن ربيعة
عن عبد الرحمن سمعت أبا هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لولا
أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك[68]
Bila ditinjau dari kandungan matan hadis, maka hadis di atas tidak
memiliki pertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, baik al-Qur'an maupun
hadis. Karena al-Qur'an sendiri menyebutkan perhatian Islam terhadap kesucian
baik lahiriah maupun batiniah[69], dan di antara bentuk
atau jalan kesucian lahiriah adalah dengan bersiwak. Demikian pula hadis-hadis
Nabi, banyak ditemukan riwayat yang menunjukkan perhatian Rasulullah terhadap
siwak. Baik riwayat yang bersifat fi'liy maupun qauli, termasuk
di dalamnya riwayat Bukhari, Muslim, dan Imam-imam yang lain di atas.
Dari ketiga tinjauan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis
di atas tergolong hadis sahih, baik sanad maupun matan. Karena semua kriteria
kesahihan hadis telah terpenuhi. Sekalipun penulis sendiri menganggap bahwa
hadis di atas dari segi matan, kesahihannya tidak secara penuh disebabkan oleh
adanya kemungkinan idraj di dalamnya. Akan tetapi, ini tidak berarti
kualitas kesahihannya berkurang, apatah lagi ada riwayat yang lain yang
mendukungnya.
e.
Fiqih Hadis
Dalam hadis di atas, terdapat sebuah penjelasan dari Nabi mengenai
pensyari'atan siwak. Dari sabda beliau لأمرتهم بالسواك (pasti saya akan
perintahkan mereka untuk bersiwak) menunjukkan adanya perintah untuk melakukan
hal yang diperintahkan tersebut. Hanya saja perlu dipahami bahwa perintah
tersebut pada awalnya bermakna wajib, namun karena ada masyaqqah (kesulitan)
sehingga sifat wajib berubah menjadi sunnah dan ini berarti bahwa hukum
bersiwak adalah sunnah[70]. Sementara yang lain
menganggap bahwa alasan disunnatkannya bersiwak adalah kesepakatan ulama,
karena mereka menganggap bahwa makna perintah tersebut adalah wajib dan makna
tersebut tidak bisa berubah hanya karena persoalan masyaqqah. Akan
tetapi Imam Syafi'i sendiri menganggap bila perintah tersebut bermakna wajib
maka yang diperintahkan tetap harus dilaksanakan, ada atau tidak ada masyaqqah[71]. Ini berarti ia
berpendapat bahwa perintah tersebut berarti sunnat. Keterangan ini menunjukkan
perbedan cara pandang ulama hadis dengan ulama ushul. Bahkan di sana terdapat
satu pendapat dari sebagian ulama, di antaranya Ishaq bin Rahawaih, yang
menganggap bahwa siwak hukumnya wajib, dan barangsiapa yang meninggalkannya
dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengulang shalatnya[72]. sementara Abu Daud
mengkategorikannya sebagai wajib namun bukan syarat, mereka beralasan dengan
salah satu riwayat Ibnu Majah
عن أبي أمامة أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال تسوكوا فإن السواك مطهرة للفم مرضاة للرب
"Dari Abu Umamah,
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Bersiwaklah! Karena sesungguhnya
siwak merupakan pembersih mulut dan mendatangkan ridha Allah"[73].
Terlepas dari komentar
para ulama di atas, penulis melihat bahwa siwak termasuk salah satu
keistimewaan dan ciri khas umat Islam, karena ia dapat membersihkan mulut dan
mengundang datangnya rahmat Allah SWT. Ini menunjukkan pensyari'atan siwak
secara mutlak. Akan tetapi bila kita kembali meneliti matan hadis yang
diriwayatkan Ibnu Majah di atas dari Abu Umamah maka akan ditemukan kalimat
yang mengindikasikan bahwa siwak bukanlah sebuah kewajiban, yaitu pada kalimat
:
ما جاءني جبريل إلا أوصاني
بالسواك حتى لقد خشيت أن يفرض علي وعلى أمتي ولولا أني أخاف أن أشق على أمتي
لفرضته لهم وإني لأستاك حتى لقد خشيت أن أحفي مقادم فمي
Oleh karena itu penulis
berkesimpulan bahwa siwak hukumnya adalah sunnah, apatah lagi sebagian besar ulama
baik ushuli maupun muhadditsin berpendapat seperti itu. Demikian
pula sayyid Sabiq menyebutnya bahkan menggolongkannya dalam bagian
sunnat-sunnat wudhu[74].
Hadis yang diriwayatkan
Imam Malik di atas hanya menyebutkan pensyari'atan siwak secara umum tanpa
menyebutkan waktu-waktu untuk bersiwak. Akan tetapi dalam riwayat yang lain
ditemukan ada penegasan waktu bersiwak yaitu ketika hendak shalat atau ketika
mau berwudhu. Penjelasannya secara lengkap dapat kita rujuk pada
riwayat-riwayat yang menjadi pendukung hadis di atas dan beberapa kitab syarah
hadis yang ada[75].
Namun di sini, penulis merasa cukup menuliskan komentar Sayyid Sabiq –sekalipun
dikenal bahwa wawasan fiqhinya lebih kental daripada hadisnya- yang mengatakan
siwak tersebut dianjurkan (مستحب) untuk dilaksanakan pada semua waktu, akan
tetapi pada lima waktu tertentu, bersiwak sangat dianjurakan. Yaitu ketika
berwudhu, ketika ingin shalat, ketika membaca al-Qur'an, ketika bangun dari
tidur, dan ketika berubahnya bau mulut[76].
Di dalam hadis itu pula
terdapat petunjuk akan kebolehan Rasulullah berijtihad pada hal-hal yang tidak
disebutkan atau tidak ada nashnya di dalam al-Qur'an[77]. Dan inilah pendapat
mayoitas ulama bahkan Imam al-Nawawi menyebutnya sebagai الصحيح
المختار [78]. Di mana Rasulullah SAW ingin memerintahkan –mewajibkan- kepada
umatnya untuk senantiasa membersihkan mulutnya dan mengundang datangnya ridha
Allah melalui siwak. Akan tetapi karena kasih sayang dan pengertian Nabi kepada
mereka sehingga beliau tidak mewajibkannya disebabkan oleh adanya masyaqqah
yang ditimbulkan. Hanya saja sekali pun beliau tidak mengharuskan siwak
tersebut tetapi dari pernyataan beliau muncul indikasi perintah yang bersifat
menganjurkan[79].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian
di atas yang berbicara tentang "tata
cara menghidupkan sunnah (siwak sebagai cara menghidupkan sunnah'" dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Kontekstualis diambil dari kata konteks yang berarti “suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilingnya”.[80] Dalam bahasa Arab digunakan istilah ‘alâqah, qarînah, syiyâq al-kalâm, dan qarâin al-ahwâl.[81]Sehingga kontekstual dalam hal ini adalah “suatu penjelasan terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu ditampilkan” Adapun pendekatan tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan pola pikir episteme bayani. Eksesnya, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.
- Mengagungkan Sunnah adalah perkara yang besar sebagaimana ayat Allah SWT berfirman :
“Dan apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian
maka lakukanlah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.”
“Barangsiapa yang menaati Rasul berarti ia telah
menaati Allah.”
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.”
- Imam Malik dalam kitabnya "al-Muwattha'" menyebutkan riwayat-riwayat secara khusus tentang siwak yang ia masukkan pada bab ma ja'a fi al-siwak. Di dalamnya ia meriwayatkan –setidaknya- dua riwayat yang berbicara tentang siwak. Salah satunya adalah :
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لولا أن أشق
على أمتي لأمرتهم بالسواك
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik tersebut memiliki kualitas
sahih, baik dari segi sanad maupun matan. Karena semua kriteria kesahihan
–termasuk bersambungnya sanad, perawinya 'adil dan dhabit, tidak
mengandung syadz dan illat- semuanya terpenuhi. Bahkan bila semua
riwayat yang terkait –semakna- dengan hadis di atas dikaitkan maka kualitasnya
akan semakin kuat karena hadis-hadis tersebut menjadi pendukung baginya, di
samping ada syahid dan mutabi'nya.
Hadis dalam kajian ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan
disyari'atkannya bersiwak secara mutlak. Hanya saja hukum pensyari'atan
tersebut diperbincangkan oleh para ulama. Sebagian menganggap bahwa bersiwak
hukumnya wajib pada setiap shalat lima waktu, sehingga barang siapa yang tidak
melaksanakannya dengan sengaja maka shalatnya batal dan wajib diulangi. Sementara
ulama yang lain –inilah yang dipilih oleh penulis- melihat hukum bersiwak
sebagai ibadah sunnat yang dapat dilaksanakan kapan saja. Tetapi dengan adanya
hadis-hadis yang lain maka anjuran untuk bersiwak lebih ditekankan pada lima
waktu, yaitu; ketika berwudhu, ketika mau shalat, ketika membaca al-Qur'an,
ketika bangun dari tidur dan ketika bau mulut berubah.
B.
Rekomendasi
Sebagai
manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis
hanya mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak,
termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan
pengetahuan penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih sangat
jauh dari standar sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah kebahagiaan besar jika ada
pihak yang berusaha meneliti kembali –paling tidak memeriksa referensi yang
digunakan- makalah ini sehingga hasil penelitian tersebut dapat lebih valid.
Menyikapi
segala bentuk masalah dan keragaman pendapat tentang siwak, baik aspek hukum
dan dalilnya –sekiranya hal itu didapatkan- termasuk keragaman bentuk pemikiran
dan pendapat hendaknya dijadikan sebuah pegangan terhadap kerahmatan agama
Islam.
Inilah
hasil usaha dan kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis
tentang apa dan bagaimana konsep hadis tentang siwak sebgai selah satu contoh
tentang bagaimana cara menghidupkan sunnah rasul. Semoga dengan tulisan ini
menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang
berlipat ganda di sisi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al sawab.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin. Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail.
Jakarta. Renaisan. 2005. cet. I
Al Asqalani, Ahmad bin Ali bin
Hajar. Fath al Bari Syarh Sahih al Bukhari. Riyadh: Dar al Salam. 2000.
Al Bukhari, Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail. Shahih al Bukhari Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah.
1992.
Al Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul
al Hadits; ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu. Beirut: Dar al Fikr. 1989.
Al Mubarakfuri, Abu ‘Ula Muhammad
Abdurrahman Ibn Abdurrahim. Tuhfat al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi.
Beirut: Dar al Fikr. 1995.
Al Munawar, Said Agil Husain Al
Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Ciputat: Ciputat Press, 2005.
Al Naisaburi, Abu Husain Muslim
bin al Hajjaj al Qusyairi. Shahih Muslim. Riyadh: Dar Alam al Kutub. 1996
Al Nasa’i, Abu Abdurrahman Ahmad
bin Syuaib. Sunan al Nasa’I. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiah. 1991.
Al Nawawi, Imam. Shahih
Muslim bi Syarh al Nawawi. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiah. 2000.
Al Sajastani, Abu Daud Sulaiman
bin Asy’ats. Sunan Abi Daud; Bab al-Siwak (Himsh Suriah: Dar al Hadits,
tt), jil. I
Al-Adlabi, Shalahuddin ibnu
Ahmad. Manhaj Naqd al-Matan 'Inda Ulama' al-Hadits al-Nabawi, terj.
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis. Ciputat.
Gaya Media Pratama. 2004.
Al-Ashbani,
Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir. al-Muwattha'. Beirut. Dar al-Fikr. 1989. cet.
II
Al-Qazwiny, Abu Abdillah
Muhammad bin Yazid Ibnu Majah. Sunan Ibni Majah. Semarang. Karya Toha
Putra. tt.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. Min
Kunuz al-sunnah ; Dirasah adabiah wa Lughawiah min al-Hadits al-Syarif. Riyadh Skripnya, tt.
Al-Thahhan, Mahmud. Taisir
Mushthalah al-Hadits. Riyadh. Maktabah al-Ma'arif. 1987. cet. II.
Al-Zarqani, Muhammad bin Abdul Baqi'.
Syarh al-Zarqani 'ala Muwattha' al-Imam Malik. Beirut. Dar al-Kutub
al-'Ilmiah. 1990. cet. I.
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu. Beirut. Dar al-Fikr. 1997.
Asjmuni Abdurrahman, “Tekstual,
Kontekstual dan Liberal”. http://www. suaramuhammadiyah.or.id/manhaj.htm
Azyumardi Azra, dkk, Ensklopedi
Islam.Jakarta. Ikhtiar Baru Van Hoeve. 2005. jil. I
Danial W. Brown, Menyoal
Relevansi Sunnah dalam Islam Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000.
Departemen agama. Al-Qur'an dan terjemahannya. (2005)
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Hadi, Abu Muhammad Abdul Mahdi
bin Abdul Qadir bin Abdul. Metode Takhrij Hadits (Thuruq Takgrij Hadits
Rasulillah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam). Terj. HS. Agil Husain al Munawwar
dan H. Ahmad Rifqi Mukhtar.
Semarang: Dina Utama. 1994.
Hamim Ilyas, “Kontekstualisasi
Hadis dalam Studi Agama”, dalam Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin. al
Musnad. Riyadh: Maktabah al Turats al Islami. 1994.
Hasballah, Ali. Ushul
al-Tasyri' al-Islamy. Kairo.
al-maktabah al-'Ilmiah. 1982.
Ibnu Shalah, Abu Amr Utsman bin
Abdurrahman. 'Ulum al-Hadits. Madinah al-Munawwarah. al-Maktabah
al-'Ilmiah. 1972.
Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara
Kontekstual (Telaah Terhadap Asbab Al-Wurud)”, Jurnal Kutub Khazanah no. 02 th.
2, Maret 1999.
Imam Basyari Anwar, Kamus
lengkap Indonesia-Arab, Kediri: Lembaga Pondok Pesantren Al-Basyari, 1987.
Jalaluddin Rahmat, “Dari Sunnah
Ke Hadis, Atau Sebaliknya?, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,
Jakarta: Paramadina, 2000.
Khon, Abdul Majid. Ulumul
Hadis. Jakarta. Amzah. 2008. cet. I
Quraish Shihab, M., “Hubungan
Hadis dan Al-Quran”, http:// media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Hadis.html
Sa’ad Ibrahim, M., “Orisinalitas
dan Perubahan Dalam Ajaran Islam”, dalam Jurnal At-Tahrir, Vol. 4 No. 2 Juli
2004.
Sabiq, Sayyid. Fiqh
al-Sunnah. Kairo. Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah. tt.
Saurah, Abu Isa Muhammad bin Isa
bin. Sunan al Turmudzi. Beirut: Dar al Fikr. 1994.
Suryadi, Rekonstruksi
Metodologis Pemahaman Hadis, Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
——, “Dari Living Sunnah ke Living
Hadis”, dalam Seminar Living Al-Quran dan Hadis” Jurusan Tafsir-Hadis, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, tanggal 8-9 Agustus 2005.
Waryono Abdul Gafur,
“Epistemologi Ilmu Hadis”, dalam Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana. 2002.
Wensick, Arnold John. A Hand
Book of Early Muhammadan Tradition. Diterjemahkan oleh Muhammad Fu’ad Abdu
al Baqi, Miftah Kunuz al Sunnah. Lahore: Suhayl Akademi. 1971.
---------. Concordance Et
Indies De La Tradition Musulmane. Diterjemahkan oleh Muhammadd Fu’ad Abdu
al Baqi.al Mu’jam al Mufahras li al Alfads al Hadits al nabawi. E.J.
Brill. 1963.
Zakaria, Abu Husain Ahmad bin
Faris bin. Mu’jam Maqayis al Lugah. al Iskandariah: Dar al Fikr. 1970.
[1] Qath'iul wurud dan
dzanniul wurud adalah dua istilah yang menunjukkan kebenaran suatu teks,
ditinjau dari segi sumbernya. Hal ini berarti bahwa hadis Nabi masih memiliki
ruang adanya ketidakbenaran asalnya, apakah dari Nabi atau tidak.
[2] Kritik sanad adalah
penelitian secara cermat asal-usul suatu hadis berdasarkan para periwayatnya.
Sedangkan kritik matan adalah penelitian secara cermat asal-usul suatu hadis
berdasarkan teks yang dibawa oleh para periwayat tersebut. Tujuan akhir dari
kedua penelitian ini adalah menentukan apakah suatu hadis bisa diterima atau
tidak (maqbul atau mardud).
[3] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin
Abdul Hadi, Metode Takhrij Hadits (Thuruq Takgrij Hadits Rasulillah Shallahu
‘Alaihi wa Sallam). Terj. HS. Agil Husain al Munawwar dan H. Ahmad Rifqi Mukhtar (Semarang: Dina
Utama, 1994), hal.14
[4] Departemen Agama RI, al-Qur’an al-
karim dan terjemahannya (2005) QS. An-Nisâ’, 4: 59.
[5] Ibid… QS. Âli `Imrân, 3: 32
[6] Waryono
Abdul Gafur, “Epistemologi Ilmu Hadis”, dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.),
Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002),
hal. 11.
[7] Menurut
Danial W. Brown, semenjak abad ke-19-20, masalah sunnah telah menjadi sisi
penting dalam krisis Muslim modern. Masalah tersebut berkisar tentang hakikat,
status dan autoritas sunnah. Dalam hal itu kedudukan sunnah sedang terancam
dari berbagai sudut dan cara, ketika para pemikir Muslim modern berusaha
mencari basis kuat bagi kebangkitan kembali Islam. Menyoal Relevansi Sunnah
dalam Islam Kontemporer, (Bandung: Mizan, , 2000), hal. 11.
[8] Depdikbud
RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1988), hal. 458.
[9] Imam
Basyari Anwar, Kamus Lengkap Indonesia-Arab (Kediri: Lembaga Pondok Pesantren
Al-Basyari, 1987), , hal.216.
[10] Ilyas,
“Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (telaah terhadap Asbab al-Wurud)”, Jurnal
Kutub Khazanah, no. 02 th. 2, Maret 1999.
[11] Suryadi,
“Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis”, dalam Hamim Ilyas dan Suryadi
(Ed.), Bunga Bampai Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002), hal. 141.
[12] Lihat
artikel Prof.Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Tekstual, Kontekstual dan Liberal.
http://www. Suaramuhammadiyah.or.id/manhaj.htm
[13] Suryadi,
Op. cit, hal. 138.
[14] Lihat,
penjelasan Jalaluddin Rahmat dalam menyikapi kerancuan definisi antara Sunnah
dan hadis sekaligus tanggapannya terhadap pandangan orientalis dalam Bunga
Rampai Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina,
2000), hal. 224-235
[15] Suryadi,
Op. cit, hal. 139
[16] Lihat
artikel M.Quraish Shihab, “Hubungan Hadis dan Al-Quran”, http:// media.isnet.
org/islam/Quraish/Membumi/Hadis.html
[17] Suryadi,
Op. cit.
[18] Ibid.,
hal. 140.
[19] Hamim
Ilyas, “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama”, dalam Hamim Ilyas dan
Suryadi, Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002), hal. 176.
[20] Menurut
penulis, kondisi ini merupakan kondisi yang darurat. Sehingga dasarnya adalah
al-daruratu tubihul mahdurat. Khusus masalah kurban, bahwa sebagian Negara
mempunyai kepercayaan terhadap hewan-hewan yang disakralkan, seperti India yang
mengkuduskan hewan kerbau/sapi.
[21] Fazlur
Rahman, “Perubahan Sosial dan Sunnah Awal“. Dalam Hamim Ilyas dan Suryadi,
Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002),
hal. 119.
[22] .
Sa’ad Ibrahim. ”Orisinalitas dan Perubahan Dalam Ajaran Islam”, dalam Jurnal
At-Tahrir, Vol. 4 No. 2 Juli 2004, hal. 168-169.
[23] Ibid.,
hal, 170.
[24] Suryadi,
“Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dari makalah Nurun Najwa. ”Tawaran Metode
Dalam Studi Living Sunnah”, dalam Seminar Living Al-quran dan Hadis, jurusan
Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Klaijaga,
tanggal 8-9 Agustus 2005.
[25] Ibid
[26] .
Sa’ad Ibrahim, Op. cit, hal. 168.
[27] Termasuk
dalam hal ini adalah menyangkut asbâbul wurûd hadis atau sunnah, lihat makalah
Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (Telaah Terhadap Asbab al-Wurud)”,
Jurnal Kutub Khazanah no. 02 th. 2, Maret 1999.
[28] Lihat kitabTabaqat Ibni Sa’ad,
7/184, Ta’dhimus Sunnah, 25
[29] Departemen Agama… Opcit. Al Hasyr :
7
[30] Ibid. An Nisa’: 80
[31] Ibid. Al Ahzab: 36
[32] Ibid. An-Nahl: 44
[33] Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud dan At
Tirmidzi dari hadits Al Irbadh bin Sariyah, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al
Albani dalam Shahihul Jami’, no: 2549
[34]
Fathul Majid, syarah kitabut tauhid (Muhammadiyah University Press,
2001).h. 466
[36] Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi
lihat Silsilah Ash Shahihah no. 494
[39] Ibid. no. 200
[40] Secara etimologi kata
"takhrij" berasal dari kata خرج – يخرج –تخريجا yang berarti menampakkan, mengeluarkan,
menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang
masih tersembunyi, tidak kelihatan, dan masih samar. Sedangkan secara
terminologi, kata ini memiliki banyak definisi, antara lain : 1. menjelaskan
hadis pada orang lain dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad hadis
dengan menggunakanperiwayatan yang mereka tempuh. 2. mengeluarkan dan
meriwayatkan hadis dari beberapa kitab. 3. menunjukkan asa-usul hadis dan mengemukakan
sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrijnya
dan menisbatkannya dengan cara menyebutkan metode periwayatan dan sanadnya
masing-masing. 4. menunjukkan tempat hadis pada simber-sumber aslinya kemudian
menjelaskan derajatnya jika diperlukan. Akan tetapi pengertian takhrij yang
digunakan untuk maksud kegiatan penelitian hadis adalah pengertian yang
disebutkan terakhir. Berdasarkan pengertian tersebut, maka ada tiga hal yang
mendasar dari pengertian tersebut, yaitu : pertama, kegiatan penelusuran suatu
hadis untuk mengetahui tempat atau sumber-sumbersnya. Kedua, sumber-sumber
pengambilan hadis itu merupakan sumber-sumber asli. Ketiga, hadis yang termuat
dalam sumber-sumber yang asli itu dikemukakan secara lengkap sanad dan
matannya. Lihat Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Prof. Dr.
Muhammad Syuhudi Ismail (Jakarta;
Renaisan' 2005), cet. I, hal. 71.
[42] Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir
al-Ashbani, al-Muwattha' ; Bab Ma Ja'a fi al-Siwak (Beirut; Dar
al-Fikr, 1989), cet. II, hal. 43
[43] Untuk lebih jelasnya,
lihat Arnold John Wensick, A Hand Book of Early Muhammadan Tradition. Diterjemahkan
oleh Muhammad Fu’ad Abdu al Baqi, Miftah Kunuz al Sunnah (Lahore: Suhayl
Akademi, 1971), hal.247, dan Concordance Et Indies De La Tradition
Musulmane. Diterjemahkan oleh Muhammadd Fu’ad Abdu al Baqi.al Mu’jam al
Mufahras li al Alfads al Hadits al nabawi. E.J. Brill. 1963.
[44] HR. al-Bukhari dari
Yahya bin Bikr dari al-Laits dari Ja'far bin Rabi'ah dari Abdurrahman al-A'raj
dari Abu Hurairah, Lihat Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari;
Ma Yajuzu min al-Lau (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1992), jil.
XI, hal 22.
[45] HR. Imam Malik : و حدثني عن مالك عن ابن شهاب عن حميد بن عبد الرحمن بن عوف
عن أبي هريرة أنه قال لولا أن يشق على أمته لأمرهم بالسواك مع كل وضوء , lihat
Imam Malik, al-Muwattha' : Kitab al-Thaharah (Beirut; Dar al-Kutub al-'Ilmiah, tt), jil. I
hal. 43. HR. al-Bukhari : حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة
رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لولا أن أشق على أمتي أو على الناس
لأمرتهم بالسواك مع كل صلاة , lihat al-Bukhari, Op.Cit :
Bab al-Siwak fi al-Jumu'ah, jil. 3, hal. 405. adapun Imam-imam yang lain
(Muslim, Abu Daud, al-Turmudzi, Ibnu Majah, al-Nasa'I, ahmad dan al-Darimy)
meriwayatkan hadis tersebut dengan lafadz عند كل صلاة , misalnya : حدثنا إبراهيم بن موسى أخبرنا عيسى بن
يونس حدثنا محمد بن إسحق عن محمد بن إبراهيم التيمي عن أبي سلمة بن عبد الرحمن عن زيد
بن خالد الجهني قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم
بالسواك عند كل صلاة lihat Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi,
Shahih Muslim; Bab al-Siwak (Riyadh: Dar Alam al Kutub, 1996), Jil. II,
hal. 59. Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud; Bab
al-Siwak (Himsh Suriah: Dar al Hadits, tt), jil. I, hal. 69. Abu Isa
Muhammad bin Isa bin saurah, Sunan al Turmudzi: Bab Ma Ja’a fi al-Siwak (Beirut: Dar al Fikr, 1994), Jil. I, hal.
41 dan 42. Abdurrahman Ahmad bin Syuaib al Nasa’I, Sunan al Nasa’I ; bab
al-Rukhshah fi al-Siwak li al-Shaim (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah,
1991), Jil. I, hal. 15. Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, al Musnad; Musnad Ali bin Abi Thalib (Riyadh: Maktabah al Turats al Islami,
1994), jil. II, hal. 79, 472, Musnad Abi Hurairah, jil. XV, hal. 78,
jil. XVI, hal. 57. penulis sengaja tidak menyebutkan jalur sanad dari
masing-masing periwayat tersebut, pertama, untuk menghemat penulisan, dan
kedua, perawi-perawi tersebut akan disebutkan dalam skema hadis di atas.
[46] Secara bahasa, kata
I'tibar yang berakar dari huruf 'ain, ba', dan ra' menunjukkan
arti "menembus dan melewati sesuatu", lihat Abu Husain Ahmad bin
Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqayis al Lugah (al Iskandariah: Dar al Fikr,
1970), Cet. II, Jil. IV, hal. 207., sedangkan menurut istilah –banyak
defenisi yang ditawarkan para ulama- seperti penjelasan Mahmud al-Thahhan bahwa
I'tibar adalah menelusuri jalur-jalur sanad yang lain untuk suatu hadis
tertentu yang pada bagian sanadnya terdapat seorang periwayat saja untuk
mengetahui apakah ada periwayat yang lain atau tidak ada (untuk bagian sanad
yang dimaksud)., lihat Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits (Riyadh;
Maktabah al-Ma'arif' 1987), cet. II, hal. 141.
[47] Mutabi' dalam
istilah ilmu hadis adalah adanya dukungan dari hadis yang lain berupa adanya
perawi pada bagian periwayatan tertentu selain tingkatan sahabat, dengan kata
lain mutabi' مشاركة راو راويا آخر في رواية حديث عن شيخه أو همن فوقه من المشايخ . Lihat Arifuddin Ahmad, Op.Cit, hal.
132, Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits; Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut;
Dar al-Fikr, 1989), hal. 366
[48] syahid adalah
hadis yang diriwayatkan dari seorang sahabat yang menyerupai riwayat yang
disampaikan oleh sahabat yang lain baik dalam lafadz dan atau makna. Lihat Arifuddin Ahmad, Op.Cit,
hal. 132, Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Op.Cit, hal. 366
[49]
Ini disebabkan oleh obyek kajian makalah ini terbatas pada kitab al-Muwattha'
saja.
[50] Pada dasarnya,
penyebutan seluruh perawi hadis dari semua jalur sanad yang ada sebaiknya
dilakukan, agar dapat mempermudah melakukan I'tibar dan penentuan kualitas
hadis. Akan tetapi di dalam makalah ini, penulis tidak melakukan hal seperti
itu. Pertama, penelitian utama makalah ini adalah hadis yang disebutkan di atas
(riwayat Imam Malik), kedua, semua jalur sanad dan kredibilitas para perawinya
akan disebutkan dalam skema. Penulis juga perlu tambahkan bahwa hadis di atas bila
dilihat sepintas lalu seakan bukan Imam Malik yang menjadi mukharrajnya,
karena adanya sighat tahammul حدثنى عن مالك . perlu dipahami bahwa sebenarnya kitab
al-Muwattha' yang ada sekarang bukanlah kitab al-Muwattha' karya Imam Malik
yang asli sebab di antara muridnya ada yang memang sengaja membuatkan naskah
khusus tentang al-Muwattha' itu, sekalipun mereka tetap menisbatkannya kepada
Imam malik. Ada
juga ang berkata bahwa Imam Malik sebenarnya tidak menulis kitab al-Muwattha',
ia hanya mendiktekan hadis-hadis Nabi alu para muridnyalah yang menulis
hadis-hadis tersebut dalam satu kitab. Dalam sejarah penulisannya, dikenal ada
sekitar 14 naskah al-Muwattha', namun dari sekian banyak naskah tersebut yang
paling masyhur dan paling sahih adalah naskah Yahya bin Yahya al-Mahmudi. Lihat
Muhammad bin Abdul Baqi' al-Zarqani, Syarh al-Zarqani 'ala Muwattha' al-Imam
Malik (Beirut; Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1990), cet. I, jil. I, hal. ط – هى .
[51] Penulis sengaja tidak
menyebutkan biografi Abu Hurairah sama dengan perawi yang lain, misalnya
terkait dengan kredibilitasnya baik 'adil maupun dhabitnya, karena ia tergolong
sahabat. Sementara sebagian besar –bila tidak ingin mengatakan ijma'- ulama
menganggap bahwa sahabat tidak perlu dipertanyakan kredibilitasnya tersebut,
sebagaimana prinsip الصحابة كلهم عدول , paling tidak keadilan mereka dilihat
dari segi periwayatan hadis, untuk lebih jelasnya lihat Said Agil Husin
al-Munawar, al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Ciputat;
Ciputat Press, 2005), hal. 173, Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Op.Cit, hal.
392. Dan juga penjelasan biogarafi seperti di atas diharapkan dapat mewakili
jawaban terhadap kritikan atau sangkaan dari sebagian orang yang mengaggap
tidak rasional bila Abu Hurairah yang hidup bersama dengan selama 4 tahun dapa
menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Tetapi setelah membaca
dan menelaah kembali literatur-literatur yang ada termasuk –menurut penulis-
penjelasan ini menjadi alasan kuat fakta tersebut. Bahkan Abdul Majid Khon
menyebutkan faktor-faktor banyak periwayatan yang diperoleh Abu Hurairah,
antara lain sebagai berikut:
a.
Rajin menghadiri majlis-majlis
Nabi
b.
Selalu menemani Rasulullah, Karena
ia sebagai penghuni Shuffah di masjid Nabawi
c.
Kuat ingatannya, karena ia salah
seorang sahabat yang mendapat doa dari Rasululah SAW.
d.
Banyak berjumpa dengan para
sahabat senior sekalipun Nabi telah wafat.
[52] Dari keterangan
tersebut, bahwa ia wafat pada Tahun 57 H dalam usia 78 tahun penulis
memperkirakan bahwa ia dilahirkan sekitar 21 tahun sebelum Hijriah
[53]
Pemakaman umum yang dimaksud di sini adalah pemakaman yang diperuntukkan bagi
kaum muslimin. Bahkan dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa banyak diantara
pejuang-pejuang perang utamanya perang badr yang dimakamkan di pemakaman
tersebut.
[54] Pada biografi ini, penulis menggabungkan dua
literatur yaitu kitab min Kunuzu as Sunnah dan Ensiklopedi Islam
yang membahas tentang Abu Hurairah. Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Min Kunuz
al-sunnah ; Dirasah adabiah wa Lughawiah min al-Hadits al-Syarif (Riyadh;
Skripnya, tt), hal. 47, lihat juga Azyumardi Azra, dkk, Ensklopedi Islam (Jakarta; Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 2005), jil. I, hal. 57, Abdul Majid Khon, Op.Cit, hal. 249-250.
[55] Hadis marfu'
adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW secara khusus, baik
perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik sanadnya itu muttashil
(bersambung tiada putus-putus), maupun munqathi' atau mu'dhal.
[56] Hadis Muttashil sama dengan
hadis maushul yang berarti hadis yang bersambung sanadnya sampai akhir,
baik hadis itu disandarkan kepada nabi (marfu'), maupun hanya
disandarkan kepada sahabat (mauquf).
[57] Hadis Masyhur
adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan
(thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai criteria
mutawatir.
[58] Hadis Mu'an'an
adalah hadis yang disebutkan dalam sanadnya diriwayatkan عن فلان عن فلان (dari
si Fulan dari si Fulan), dengan tidak menyebutkan perkataan memberitakan,
mengabarkan dan atau mendengar.
[59] Hadis Munqathi'
dapat dilihat dari sisi, pertama sisi mayoritas muhadditsin. Mereka menyatakan
bahwa hadis munqathi' adalah hadis yang digugurkan dari sanadnya seorang perawi
atau lebih sebelum sahabat secara tidak berturut-turut.. kedua, dilihat dari
sisi fuqaha, mereka mendefinisikannya sebagai hadis yang tidak bersambung
sanadnya di mana saja terputusnya.
[60] Hadis Mursal
adalah hadis yang diriwayatkan oleh tabi'in dari Nabi baik dari perkataan,
perbuatan, atau persetujuan, baik tabi'in senior atau yunior tanpa menyebutkan
penghubung antara seorang tabi'in dan nabi Muhammad SAW yaitu seorang sahabat.
[61] Criteria yang
dimaksud terbagi dua, ada yang disepakati dan ada yang dibeda pendapatkan
ulama. Criteria yang disepakati ada dua, yaitu : 1. perawi yang menggunakan عن tidak mudallis (tidak termasuk orang
yang menyembunyikan cacat). 2. periwayat yang menggunakan عن bertemu atau mungkin bertemu dengan orang yang
menyampaikan hadis kepadanya. Lihat Abdul Majid Khon, Op.Cit, hal.235.
Adapun criteria yang diperdebatkan, di antaranya : 1. dipastikan bertemu
(sesuai pendapat al-Bukhari, al-Madini, dan kritikus hadis), 2. lamanya bersama
(sesuai pendapat Abu Mudhaffar al-Sam'ani), 3. diketahui bahwa ada riwayat
darinya (sesuai pendapat Abu Amr al-Dani). Lihat Mahmud al-Thahhan, Op.Cit, hal.
87
[62] Shalahuddin ibnu
Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan 'Inda Ulama' al-Hadits al-Nabawi, terj.
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis (Ciputat;
Gaya Media Pratama, 2004), hal. 4.
[63] Syadz adalah
kejanggalan ang terdapat di dalam suatu hadis, sehingga hadis syadz
dipahami sebagai hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi
riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat
yang tsiqah juga.
[64] 'Illat secara bahasa berarti "cacat, penyakit, dan
keburukan". Namun dalam istilah Ibnu Shalah, 'illat adalah sebab
yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis
yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih. Lihat Abu Amr
Utsman bin Abdurrahman Ibnu Shalah, 'Ulum al-Hadits (Madinah
al-Munawwarah; al-Maktabah al-'Ilmiah, 1972), hal. 81.
[65] Abu Husain Muslim bin
al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim; Bab al-Siwak (Riyadh:
Dar Alam al Kutub, 1996), Jil. II, hal. 59.
[66] Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari; al-Siwak Yaum al-Jumu'ah
(Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1992), jil. III, hal 405.
[67] Kata idraj pada
awalnya bermakna "memasukkan, menghimpun, dan atau menyisipkan".
Tetapi terkadang dalam penelitian hadis, kata tersebut dimaknai sebagai
pengurangan yang terjadi pada matan hadis sehingga tidak sempurna. Dan
kesempurnaannya itu ditemukan melalui sanad yang lain.
[68] Al-Bukhari, Op.Cit;
Ma Yajuzu
min al-Lau (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1992), jil. XI, hal 22.
[69] Lihat QS. Al-Baqarah
: 222
[70] Lihat Abu ‘Ula
Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al Mubarakfuri, Tuhfat al Ahawadzi bi
Syarh Jami’ al Turmudzi (Beirut: Dar al Fikr, 1995), jil. I, hal. 29. dan
Muhammad bin Abdul Baqi' al-Zarqani, Op.Cit, jil. I, hal. 153.
[71] Imam al Nawawi, Shahih
Muslim bi Syarh al Nawawi (Beirut:
Dar al Kutub al ‘Ilmiah, 2000), Jil. I, hal. 408.
[72] Abu ‘Ula Muhammad
Abdurrahman Ibn Abdurrahim al Mubarakfuri, Op.Cit, jil. I, hal. 30. dan
Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalani, Fath al Bari Syarh Sahih al Bukhari (Riyadh: Dar al Salam,
2000), jil. III, hal. 292.
[73] Abu Abdillah Muhammad bin
Yazid Ibnu Majah al-Qazwiny, Sunan Ibni Majah (Semarang; Karya Toha Putra, tt), jil. I, hal.
106
[74] Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah (Kairo; Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, tt), jil. I, hal. 31, lihat
pula Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Beirut; Dar al-Fikr,
1997), jil. III, hal. 1984
[75] Termasuk di antaranya fathul
bari sebagai
penjelasan sahih Bukhari, Tuhfatul Ahwaz penjelasan sunan al-Turmudzi
dan kitab-kitab syarah yang lain.
[76] Sayyid Sabiq, Op.Cit,
hal. 31
[77] Bolehnya Nabi berijtihad
merupakan salah satu perbincangan dikalangan ahli hadis, fiqhi, dan ushul fiqh.
Sebagian menganggap Nabi tidak melakukan ijtihad, sebagian yang lain mengatakan
Nabi melakukan Ijtihad. Masing-masing golongan memiliki alasan tersendiri.
Untuk mengetahui argument masing-masing kelompok, sebaiknya kita merujuk kepada
buku-buku ushul fiqh yang membahas perbedaan tersebut. Lihat Ali Hasballah, Ushul
al-Tasyri' al-Islamy (Kairo;
al-maktabah al-'Ilmiah, 1982), cet. II, hal. 94-100.
[79] Perlu juga ditambahkan
bahwa sebaiknya dalam bersiwak menggunakan عود الأراك (kayu yang memang khusus untuk siwak).
Akan tetapi bisa dengan alat yang lain selama dapat menghilangkan kotoran gigi
serta membersihkan mulut, seperti sikat gigi dan yang serupa dengan itu.
[80] Depdikbud
RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1988), hal. 458.
[81] Imam
Basyari Anwar, Kamus Lengkap Indonesia-Arab (Kediri: Lembaga Pondok Pesantren
Al-Basyari, 1987), , hal.216.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....