BAB
I
PENDAHULUAN
Ilmu Tafsir berkembang seiring
perkembangan dinamika kehidupan umat Islam. Sebuah keniscayaan bagi sebuah teks
suci petunjuk Ilahiah, mencakupi perkembangan dinamika realitas yang ada di
lapangan. Pada satu sisi pandangan, hal ini seakan menjadi tantangan bagi teks
Alquran, namun di sisi lain menjadi wahana pembuktian betapa kompleksitas dan
akurasi firman-firman Allah swt. yang berbicara tentang kehidupan makhluk
ciptaan.
Secara mendasar, Ilmu Penafsiran
Alquran hanyalah satu bagian dari sekian banyak cabang ilmu dalam lingkup genre
keislaman. Namun, tidak serta-merta mengindikasikan sempitnya cakupan bahasan
ilmu Tafsir. Bahkan, ketika berkenalan dengan dasar-dasarnya, bukan rasa puas
yang kita rasakan melainkan menambah kehausan untuk lebih menelisik lebih
dalam. Lebih dari itu, ketika telah menceburkan diri untuk menyelaminya, baru disadari
kemudian bahwa wadah tersebut bukanlah kolam dangkal dan sempit, melainkan
lautan luas dan dalam yang seakan tidak bertepi.
Varian
penafsiran tersebut, merupakan hal yang wajar. Analogi sederhana yang dapat
diserupakan, misalnya interpretasi tentang gajah. Orang yang memandangnya
dengan memperhatikan bobot beratnya akan memberikan interpretasi detail tentang
beratnya gajah, orang yang memandangnya dengan memperhatikan ketahanan tubuhnya
akan menginterpretasikan kadar kekuatan tubuh gajah dibandingkan yang lainnya,
orang yang menitik beratkan sisi eksotis tubuh, menginterpretasikan nilai-nilai
eksotis dari tubuh seekor gajah, dan seterusnya. Dari sini dipahami bahwa,
gajah bisa saja memiliki interpretasi bermacam-macam tergantung karakteristik
pendekatan yang digunakan dalam melihatnya. Begitupula teks-teks Alquran,
sangat mungkin untuk dipandang dari sudut mana-pun dan dengan konsentrasi yang
berbeda-beda. Hasil dari perbedaan sisi pandang tersebut akan melahirkan ragam
bentuk penafsiran serta corak warna yang bermacam-macam.
Melalui
makalah singkat ini, yang akan diangkat menjadi bahasan utama adalah metode
pendekatan dalam ilmu Tafsir. Adapun rumusan bahasannya antara lain sebagai
berikut.
1.
Jelaskan
Tipologi Pendekatan.
2.
Apa saja
jenis-jenis Corak Penafsiran.
BAB II
METODE PENDEKATAN DALAM ILMU TAFSIR
Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pengertian
metode adalah cara
yang digunakan untuk berfikir guna mencapai
maksud dalam ilmu pengetahuan[1]. Sedangkan di sisi lain, kata pendekatan secara etimologi, berasal
dari kata dekat; yang berarti pendek (jarak), hampir, akrab dan menjelang.
Kemudian kata dekat ini mendapat awalan "pe" dan akhiran
"an" menjadi pendekatan, yang secara leksikal berarti proses, pembuatan,
cara mendekati[2]. Singkatnya, pendekatan adalah proses
melihat lebih dekat, proses mendekati serta cara mendekati sesuatu.
Melihat pengertian di
atas, dapat dipahami bahwa metode pendekatan
adalah sudut pandang dalam melihat suatu objek kajian. Sementara menurut Abdul
Muin Salim, metode pendekatan adalah pola pikir (ittijah al-fikr) yang
dipergunakan untuk membahas suatu masalah[3]. Jadi metode pendekatan tafsir dapat
diartikan sebagai suatu cara penafsiran yang dipergunkan oleh mufasir dalam
menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan disiplin ilmu yang dimiliki
masing-masing mufasir. Selanjutnya dari perbedaan sudut pandang seorang mufasir
dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran sehingga melahirkan berbagai corak
penafisran.
A.
Tipologi Pendekatan
Tipologi berasal dari dua akar kata yaitu typos dan logos.
typos atau type adalah bentuk, macam, jenis dan golongan. Logos atau logy dikenal luas dalam banyak susunan seperti
sosiologi, biologi, dan lain-lain yang berarti ilmu, teori atau aliran.[4] Menurut kamus besar bahasa Indonesia, tipologi adalah ilmu watak
tentang bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak wataknya
masing-masing.[5]
Tipologi
Pendekatan adalah pengistilahan terhadap macam-macam, jenis-jenis, maupun
bentuk-bentuk pendekatan secara umum. Perlu untuk mengenali terlebih dahulu
adanya ragam pendekatan tersebut, agar dalam penerapannya nanti terhadap
penafsiran teks-teks suci Alquran tidak tercampur-baur satu sama lainnya.
Tipologi Pendekatan secara umum dalam ilmu
Keisalaman, juga memiliki cabang-cabang tergantung karakteristiknya, secara
mendasar terbagi kepada poin-poin berikut.
1. Dilihat dari segi subjek atau pelaku
(Internal dan eksternal)
Internal disini adalah pengkajian Islam
yang dilakukan oleh Islam itu sendiri dengan jalan mempelajari serta
menganalisa Islam secara menyeluruh, pendekatan inilah melahirkan pendekatan
tradisional, pendekatan sumber dan
pendekatan doktriner. Pada pendekatan tradisional yaitu pada masa Nabi tipe
tradisional mempergunakan dalil naqli
sebagai dasar acuan menerapkan 4 disiplin ilmu, yaitu ilmu fiqhi, ilmu
tasawuf, ilmu kalam dan falsafah atau al-hikmah.[6] setelah
Nabi wafat, para sahabat dan tabi’in mengkaji Alquran dan alhadist yang melahirkan pendekatan
sumber. Pada kajian sumber ini ada beberapa metode yang tergabung yakni kajian
tafsir, hadist dan hukum Islam.[7]
Pendekatan doktriner yaitu objek studi yang diyakini sebagai sesuatu
yang suci dan merupakan doktrin-doktrin yang berasal dari ilahi yang mempunyai
nilai kebenaran yang absolut, mutlak dan
universal. Sedangkan eksternal yaitu pendekatan yang dilakukan oleh orang yang
bukan Islam seperti orientalis.[8] Sedangkan pendekatan yang dipakai, yaitu
umumnya orientalis membahas agama Islam dengan pendekatan saintifik. Fenomena
Islam dianalisis dengan teori ilmiah tertentu, misalnya dengan pendekatan
historis, sosiologi, dan psikologi. Pendekatan tersebut meskipun turut
memberikan kontribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya mereka mengkaji
Islam tidak selalu objektif dan terkadang tidak memberikan pemahaman yang utuh
bahkan menyudutkan Islam, walaupun demikian tidak semuanya mesti ditolak namun
dipelajari kemudian dikembangkan sebagai bahan perbandingan.
2. Dilihat dari segi alat dan sarana
Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan
teologis, filosofis,empirik dan intuisi.
Pendekatan teologis, pendekatan ini
menggunakan kerangka ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa
wujud empirik dari suatu keagamaan
dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan yang lain.[9] Menurut Harun nasution, jika seseorang
hendak mendalami suatu agama maka ia harus mempelajari teologi agama itu
mempelajari agama dengan pendekatan teologi akan memberi seseorang keyakinan
yang kuat.[10]Pendekatan filosofis secara etimologi
filsafat berasal dari bahasa yunani yang berarti cinta kebijaksanaan.
Pendekatan ini yaitu upaya untuk menjelaskan inti, hakekat, hikma mengenai
sesuatu yang berada dibalik yang
bersifat lahiriyah. Dengan demikian, pendekatan filosofis adalah pendekatan
yang dilakukan untuk menelusuri sesuatu
sampai keakar-akarnya lalu mempertanggungjawabkan dengan sistimatis.
Pendekatan empiris yaitu pendekatan yang
didasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang dapat ditangkap dengan panca
indera, pendekatan ini meliputi kajian sosiologis, antropologis dan historis.[11] Pendekatan empiris ini dibagi menjadi
tiga bentuk kajian yaitu kajian sosiologis, antropologi dan historis.
Pendekatan intuisi yakni mengkaji islam
dengan menggunakan daya batin untuk mengerti dan memahami ajaran islam tidak
dengan pikiran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa proses
penalaran tertentu
3. Dilihat dari segi sasaran atau objeknya
Dari segi objeknya mempunyai kriteria-kriteria
sebagai berikut: Alquran, al-hadist, pemikran-pemikran, fenomena dan sejarah
(aspek perkembangan ajaran islam). Dan untuk lebih mengembangkan, maka terdapat
pendekatan lain yaitu
a. Pendekatan Tekstual, yaitu pendekatan yang mengacu pada
teks-teks yang terdapat dalam alquran
dan al-hadist. Tujuannya adalah melahirkan akurasi konsep yang akan
menjauhkan peneliti dari kesalahan interpretasi sebagai akibat pergeseran makna yang terjadi dalam proses perkembangan bahasa.
b. Pendekatan kultural, yaitu penggunaan pengetahuan yang mapan untuk
memahami ajaran Islam. Karenanya, pendekatan ini mengacu pada pandangan bahwa
pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan penalaran yang benar
tidak bertetangan dengan kandungan alquran.[12] Pendekatan kebudayaan termasuk salah
satu bentuk di antara bentuk-bentuk pendekatan yang dilakukan dalam memahami
ajaran Islam yang ada pada dataran empiriknya, atau ajaran Islam dalam bentuk
formal yang menggejala di masyarakat.[13] Islam yang tampil demikian sangat berhubungan
dengan kebudayaan yang berkembang di masyrakat tempat agama Islam itu berkembang. Sehingga umat Islam dapat
mengamalkan ajaran Islam dengan baik.
c. Pendekatan perilaku, yaitu pendekatan
yang berkaitan dengan sikap dan tingkah laku
keagamaan yang terjelma dalam kehidupan sehari-hari umat Islam, baik
secara perorangan maupun secara melembaga.[14]
d. Pendekatan sosiohistoris atau pendekatan kesejarahan, yaitu mengetahui
keadaan sebenarnya yang berkenaan dengan
penerapan suatu peristiwa. Maka akan memahami agama dalam konteks historisnya.[15]
e. Pendekatan semantik, yaitu pendekatan
yang dilakukan dengan berusaha menggali makna
yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan bahasa alquran dan al-hadist.[16]
B.
Corak-Corak Penafsiran Alquran
Bahasan
mendasar tentang macam-macam corak penafsiran Alquran memang cukup beragam,
seiring adanya beberapa kategori-kategori yang memilah. Corak-corak tersebut
dapat dikategorikan sebagai berikut.
a.
Tafsir bi al-Ma’tsu>r ( Tafsir yang dalam paparan
penafsirannya terhadap ayat Alquran menggunakan penjelasan yang bersumber dari
dalil-dalil Atsar ).
b.
Tafsir bi al-Ra’yi ( Tafsir yang dalam memaparkan
makna ayat Alquran menggunakan pendapat-pendapat orang-orang, meski tanpa ada dalil
dari Atsar yang menopangnya ).
c.
Tafsir S}ah}a>bi>y
( Tafsir yang disusun atau dikumpulkan oleh pihak Sahabat Nabi saw. ).
d.
Tafsir Ta>bi’i>n ( Tafsir yang disusun atau
dikumpulkan oleh pihak Tabi’in ).
e.
Tafsir Syi>‘ah (
Penafsiran yang disusun oleh seorang yang bermazhab syiah, yang dalam
paparannya penafsirannya disesuaikan dengan faham mazhab syiah ).
f.
Tafsir Mu’tazilah ( Penafsiran yang disusun oleh
seorang yang bermazhab Mu’tazilah, yang dalam paparannya penafsirannya
disesuaikan dengan faham mazhab Mu’tazilah ).
g.
Tafsir ‘Ilmiy ( Penafsiran Alquran yang
menitikberatkan penjelasannya kea rah Ilmu Pengetahuan ).
h.
Tafsir Isya>riy ( Tafsir yang dalam menjelaskan
Alquran, berlandaskan kepada isyarat-isyarat pribadi yang dialami secara
spiritual ).
i.
Tafsir Ahka>m ( Tafsir yang dalam penjelasannya
menitikberatkan masalah-masalah hukumnya ).
j.
Tafsir Ah{li> Kala>m[17]
( Tafsir yang disusun oleh orang yang termasuk dalam kategori Mutakallimi>n
).
C.
Jenis-Jenis Pendekatan dalam Ilmu Tafsir
Untuk memahami isi kandungan Alquran tidaklah semudah yang kita bayangkan,
karena Alquran dengan menggunakan bahasa Arab sangat sarat dengan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Selain itu struktur dan uslub bahasa Alquran
memiliki nilai sastra yang sangat tinggi yang berbeda dengan bahasa Arab pada
umumnya. Oleh karena itu, di dalam memahaminya perlu metode pendekatan.
Adapun metode-metode pendekatan tafsir yang dimaksud dalam pembahasan ini
adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan
Bahasa
Penafsiran dengan mengggunakan pendekatan kebahasaan dalam menjelaskan
maksud ayat yang terkandung dalam Alquran muncul karena selain Alquran sendiri
memberi kemungkinan-kemungkinan arti yang berbeda. Juga menurut M. Quraish
Shihab, akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan
kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman
kandungan Alquran di bidang ini[18].
Perlu dimaklumi bahwa seseorang tidak bebas untuk memilih pengertian yang
dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosa kata pada masa pra-Islam, atau
yang kemudian berkembang. Seorang mufasir disamping harus memperhatikan
struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga
harus memperhatikan penggunaan Alquran terhadap setiap kosa kata. Sebagai
contoh, kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan) menciptakan
manusia dari 'alaq" mempunyai banyak arti, antara lain: segumpal
darah, sejenis cacing (lintah) sesuatu yang berdempet dan bergantung,
kebergantungan dan sebagainya[19].
Di sini seseoarang mempunyai kebebasan memilih salah satu dari arti-arti
tersebut dengan mengemukakan alasan-alasannya. Perbedaan dalam memilih arti
harus dapat ditoleransi selama ia dikemukakan dalam batas yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Dalam kasus yang lain, sering Alquran menggunakan lebih dari satu kali kata
yang sama secara beruntun dalam satu
kalimat namun pengertiannya berbeda satu sama lain. Sebagaimana firman Allah
swt., dalam QS. al-Rum (30): 54:
الله الذي خلقكم من ضعف ثم جعل من بعد ضعف قوة ثم جعل من
بعد قوة ضعفا وشيبة
Terjemahnya:
"Allah yang menciptakan mereka
dari kelemahan, kemudian menjadikannya kuat sesudah lemah, kemudian sesudah
kuat jadi lemah dan beruban"[20].
Menurut Manna'
al-Qaththan, bahwa yang dimaksud dengan da'f yang pertama itu adalah ketika
masih seperti nuôfah dan pengertian yang kedua adalah ketika masih
kanak-kanak, dan yang ketiga ketika sudah tua renta[21].
2. Pendekatan
Historis
Seseorang yang ingin memahami Alquran
secara benar misalnya maka yang bersangkutan harus memperlajari sejarah
turunnya Alquran yang disebut sebagai ilmu Asba>b al-Nuzu>l.
Dengan pendekatan ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung
dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk
memelihara syari'at dari kekeliruan memahaminya[22].
Dengan mengetahui latar
belakang turunnya ayat, orang dapat mengenal dan menggambarkan situasi dan
keadaan yang terjadi ketika ayat itu diturunkan, sehingga hal itu memudahkan
untuk memikirkan apa yang terkandung di balik teks-teks ayat itu.
Selain dari itu, mengetahui Asba>b
al-Nuzu>l adalah cara yang paling kuat dan paling baik dalam memahami
pengertian ayat, sehingga para sahabat yang paling mengetahui tentang
sebab-sebab turunnya ayat lebih didahulukan pendapatnya tentang pengertian dari
satu ayat, dibandingkan dengan pendapat sahabat yang tidak mengetahui
sebab-sebab turunnya ayat[23]. Bahkan Imam
al-Wahidi dengan tegas mengemukakan pendiriannya, yaitu:
لا يمكن معرفة تفسير الآية دون الوقوف على قصتها وبيان
نزولها
Artinya:
"Tidaklah mungkin (seseorang)
mengetahui tafsir dari suatu ayat tanpa mengetahui kisahnya dan keterangan
sekitar turnnya ayat tersebut"[24].
Namun ulama berbeda pendapat tentang
kedudukan asba>b al-nuzu>l. Ada yang menganggap penting keberadaan
riwayat-riwayat asba>b al-nuzu>l di dalam memahami ayat dan ada
pula yang tidak memberikan keistimewaan karena yang penting bagi mereka ialah
apa yang tertera di dalam redaksi ayat[25].
Berdasarkan uraian di atas, maka pendekatan historis dalam menafsirkan ayat
memiliki peran yang sangat penting khususnya asba>b al-nuzu>l,
karena dengan pendekatan ini seseorang dapat menerapkan ayat-ayat pada kasus
dan kesempatan yang berbeda.
Lebih dari sekedar asba>b al-nuzu>l, para ilmuwan juga
menyatakan perlunya mengetahui sejarah Alquran. Istilah ini kadang diistilahkan
dengan ta>ri>kh Alquran atau The
History of Koran.
Tegasnya menafsirkan Alquran tanpa mempertimbangkan aspek historisnya, akan
mengacaukan pemaknaan kandungan Alquran, sebagai contoh penafsiran Usman bin
Mazin dan Amr bin Ma'adi terhadap ayat QS. al-Maidah (6): 93:
ليس على الذين آمنوا وعملوا الصالحات جناح فيما طعموا إذا
ما اتقوا وآمنوا وعملوا الصالحات
Terjemahnya:
"Tidak ada
dosa bagi orang-orang beriman dan beramal shaleh terhadap apa-apa yang mereka
makan apabila mereka bertakwa dan beriman serta beramal shaleh"[26].
Sehubungan dengan ayat ini, mereka
membolehkan minum khamar. Imam Al-Syafi'i
berkomentar bahwa sekiranya mereka mengetahui seluk beluk ayat ini, tentunya
mereka tidak akan mengatakan demikian. Sebab, Ahmad bin al-Nasai, dan lainnya
menyatakan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang yang ketika khamar
diharamkan mempertanyakan nasib kaum muslimin yang terbunuh di jalan Allah,
sedangkan mereka dahulunya minum khamar[27].
3. Pendekatan
Filosofis dan Teologis
Pendekatan ini dilakukan akibat penerjemahan kitab
filsafat yang mempengaruhi sementara
pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang
dengan sadar atau tanpa sadar mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama
mereka[28].
Muhammad Husain al-Zahabi mengemukakan bahwa para filosof
yang berusaha mempertemukan antara agama dan filsafat mempunyai dua cara yang
mereka tempuh, yaitu: Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teksAlquran
agar sesuai dengan pendapat filosof atau dengan menyesuaikan teks-teks Alquran dengan pendapat filosof agar
dapat sejalan. Kedua, menjelaskan teks-teksAlquran dengan
pendapat-pendapat atau teori-teori filsafat, dengan kata lain pendapat filsafat
yang mengendalikan teks-teks Alquran[29].
Pendekatan-pendekatan seperti ini dalam penafsiran Alquran
menimbulkan pro dan kontra. Golongan yang kontra beranggapan apabila seorang
mufasir menafsirkan Alquran, kemudian tafsiran tersebut bertentangan dengan
teori-teori filsafat, maka hendaknya seorang mufasir memaparkan dalam
tafsirnya, apakah dengan jalan mendukung teori-teori tersebut kemudian
menjelaskan bahwa teori tersebut tidak bertentangan dengan nas Alquran, dan
jika teori tersebut memang benar dan dapat diterima, ataukah dengan jalan
menolak teori tersebut mentah-mentah kemudian menjelaskannya bahwa teori itu
tidak sejalan dengan nas Alquran. Yang melakukan hal seperti ini adalah Imam
Fakhr al-Razi dengan tafsirnya Mafa>tih al-Gaib[30].
Adapun golongan yang pro terhadap filsafat, dimana mereka
mempercayai segala apa yang terdapat dalam filsafat, ketika mereka menafsirkan Alquran
mereka mengambil pendapat filosof, sehingga dapat dilihat tafsir mereka
cenderung mendukung filsafat dengan mengatasnamakan Alquran, seperti karangan
al-Farabi[31].
4. Pendekatan
Sosiologis
Sebagaimana diketahui bahwa dalam Alquran
banyak ayat yang berkaitan dengan masalah sosial. Seorang mufasir berusaha
memahami teks-teks secara teliti, lalu menjelaskan makna yang dimaksud dan
berusaha menghubungkan teks-teks Alquran yang dikaji dengan kenyataan sosial
dan sistem budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Pendekatan seperti ini bermula pada
masa Syaikh Muhammad Abduh, dimana perhatian lebih banyak tertuju kepada penafsiran
yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Alquran yang berkaitan langsung dengan
kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit
atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat[32].
Karena Alquran mempunyai ajaran
dengan proporsi terbesar berkenaan dengan urusan muamalah dengan perbandingan
antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah
satu berbanding seratus, untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah[33].
Maka untuk memahami ayat-ayat muamalah serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari diperlukan pendekatan sosiologis.
5. Pendekatan
Fiqhi dan Hukum
Alquran yang diturunkan mengandung
ayat-ayat yang berisikan hukum-hukum fiqhi yang menyangkut kemaslahatan seorang
hamba. Umat Islam pada masa Rasulullah sebagian besar memahami ayat-ayat Alquran
yang berhubungan dengan fiqhi. Hal tersebut didukung oleh pemahaman bahasa Arab
yang mereka miliki, adapun yang sulit mereka pahami ditanyakan langsung kepada
Rasulullah.
Ketika Rasulullah wafat muncullah
kejadian-kejadian baru yang belum ada ketetapan hukumnya. Pertama-tama sahabat
mencari dalam Alquran sendiri, apabila tidak ada, maka dicari pada sunnah Nabi,
apabila juga tidak ditemukan, maka mereka melakukan ijtihad, sehingga tidak
jarang ditemukan, maka mereka melakukan ijtihad, sehingga tidak jarang
ditemukan hasil ijtihad berbeda.
Penafsiran Alquran dengan melalui pendekatan fiqhi dan
hukum pada masa awal turunnya Alquran sampai munculnya mazhab fiqhi yang
berbeda-beda, para mufasir ketika itu jauh dari sikap fanatik yang berlebihan,
atau ada tujuan-tujuan tertentu dalam menafsirkan Alquran. Namun pada saat
munculnya aliran-aliran teologi, maka penafsiran cenderung mendukung aliran
mereka masing-masing, sehingga setiap golongan berusaha mentakwilkan ayat-ayat Alquran
sesuai dengan aliran yang mereka anut atau paling tidak mentakwilkan ayat agar
tidak bertentangan dengan aliran mereka[34].
Sebagai hasil dari pendekatan semacam ini dapat dilihat
pada kitab Ahkam Alquran yang ditulis oleh Abu Bakar al-Razi, juga pada
kitab yang ditulis oleh Abu Hasan al-Thabari yang berjudul Ahkam Alquran.
6. Pendekatan
Ilmiah
Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka usaha penafsiran pun makin berkembang. Hal
tersebut dapat dilihat dengan adanya kajian tafsir dengan melalui pendekatan
ilmiah untuk menyingkap makna ayat-ayat dalam Alquran.
Ajakan Alquran adalah ajakan ilmiah,
yang berdiri di atas prinsip pembebasan akal dari takhyul dan kemerdekaan
berpikir. Alquran menyuruh manusia untuk memperhatikan alam. Allah swt., di
samping menyuruh memperhatikan ayat-ayat yang tertulis, juga memerintahkan
untuk memperhatikan ayat-ayat yang tidak tertulis, yaitu alam[35].
Sampai sekarang, tafsir
semacam ini belum dapat diterima oleh sebagian ulama. Mereka menilai
penafsiran Alquran semacam ini keliru, sebab Allah tidak menurunkan Alquran
sebagai sebuah kitab yang berbicara tentang teori-teori ilmu pengetahuan[36].
Meskipun ayat-ayat kauniyyah tidak secara tegas
dan mengkhusus ditujukan kepada para ilmuan, namun pada hakekatnya mereka
itulah yang diharapkan untuk meneliti dan memahami ayat-ayat kauniyyah
tersebut, karena mereka mempunyai sarana dan kompetensi untuk dibanding pada
pakar di bidang lain.
BAB
III
PENUTUP
Hasil dari ulasan singkat tentang
Metode Pendekatan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa poin berikut ini.
1.
Tipologi berasal dari dua akar
kata yaitu typos dan logos. typos atau type adalah bentuk, macam, jenis dan
golongan. Logos atau logy dikenal luas
dalam banyak susunan seperti sosiologi, biologi, dan lain-lain yang berarti
ilmu, teori atau aliran. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, tipologi adalah ilmu watak
tentang bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak wataknya
masing-masing. Tipologi
Pendekatan adalah pengistilahan terhadap macam-macam, jenis-jenis, maupun
bentuk-bentuk pendekatan secara umum.
2.
Corak-corak tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut.
a.
Tafsir bi al-Ma’tsu>r
b.
Tafsir bi al-Ra’yi
c.
Tafsir S}ah}a>bi>y
d.
Tafsir Ta>bi’i>n
e.
Tafsir Syi>‘ah
f.
Tafsir Mu’tazilah
g.
Tafsir ‘Ilmiy
h.
Tafsir Isya>riy
i.
Tafsir Ah{li> Kala>m
j.
Tafsir Ahka>m
3.
Adapun Pendekatan-pendekatan
dalam Ilmu Tafsir, adalah sebagai berikut.
a.
Pendekatan Bahasa
b.
Pendekatan
Historis
c.
Pendekatan
Filosofis dan Teologis
d.
Pendekatan
Sosiologis
e.
Pendekatan Fiqhi
dan Hukum
f.
Pendekatan Ilmiah
Daftar
Pustaka
Abd
Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan
Politik dalam Alquran, (Cet.II;Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
Abd
Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi
Tafsir Alquran (Ujungpandang:
LSKI,1991)
Abdul Hayy
al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i , diterjemankan oleh
Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Maudhu'i (Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994)
Abdul Muin Salim, Pedoman
Penyusunan Proposal Penelitian (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1992)
Abuddin
Nata, Metodologi Studi
Islam, (Cet.III;Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999)
Ahmad Syadali dan
Ahmad Raofi'i, Ulum Alquran (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Azyumardi Azra
(ed.), Sejarah dan Ulum Alquran (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999), h. 89-90.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III;
Jakarta: Balai Pustaka, 1994)
Harun
Nasution, Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Cet.V;Jakarta: UI Press,1986 )
M. Abdul ‘Az}hi>m
al-Zarqa>niy, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qura>n,
Juz II (Cairo: Da>r al-Hadi>s, 2001)
M. Quraish Shihab,
Membumikan Alquran (Cet. XVI; Bandung: Mizan, 1997)
Manna'
al-Qaththan, Maba>hits fi 'Ulu>m al-Qur'a>n (Cet. XVI;
Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993)
Muhaemin,
Dimensi-dimensi Studi Islam ( Surabaya: Abdi Tama, 1994)
Muhammad Husain
al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Cet. I; Kairo:
Wahabah, 1995)
Muhammad Yusuf
al-Qardhawi, Berinteraski dengan Alquran (Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1999)
Munir
Ba’albaki, Al-Mawrid, A Modern English-Arabic Dictionary, (Beirut; Dar
al-Ilm li alMalayin, 1988)
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,
Sebuah Telaah Kritis Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,
(Cet.II; Jakarta : Paramadina, 1992)
[1]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III;
Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 652.
[3]Abdul Muin Salim, Pedoman
Penyusunan Proposal Penelitian (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1992), h. 8.
[4] Munir Ba’labakki, Al-Mawrid, A
Modern English-Arabic Dictionary, (Beirut; Dar al-Ilm li alMalayin, 1988),
h.102.
[5] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, op. cit., h.952.
[6] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,
Sebuah Telaah Kritis Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,
(Cet.II; Jakarta : Paramadina, 1992), h.248.
[7] Abd Muin Salim, Beberapa
Aspek Metodologi Tafsir Alquran (Ujungpandang: LSKI,1991), h.18.
[8] Muhaemin, Dimensi-dimensi
Studi Islam ( Surabaya: Abdi Tama,
1994), h.24.
[9] Lihat, Abuddin Nata,
Metodologi Studi Islam, (Cet.III;Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999),h.29.
[10] Harun Nasution, Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Cet.V;Jakarta: UI Press,1986
), h.9.
[11] Abd Muin Salim, op.cit.,
h.56.
[12] Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam
Alquran, (Cet.II;Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 29-30.
[13] Lihat, Abuddin Nata, op.cit.,
h.49.
[14] Abd Muin Salim, op.cit.,
h.2.
[15] Abuddin Nata, op.cit .,
h. 48.
[16] Abd Miun Salim, konsepsi…..op.cit., h.21.
[17] M. Abdul ‘Az}hi>m
al-Zarqa>niy, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qura>n,
Juz II (Cairo: Da>r al-Hadi>s, 2001), h. 395.
[20]Depag, op. cit.,
h. 105.
[21]Manna'
al-Qaththan, Mabahits fi 'Ulum Alquran (Cet. XVI; Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1993), h. 201.
[22]Lihat: Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), h. 48.
[23]Depag, op. cit.,
h. 105.
[25]Azyumardi Azra (ed.),
Sejarah dan Ulum Alquran (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h.
89-90.
[26]Depag, ibid.,
h. 190.
[27]Ahmad Syadali dan
Ahmad Raofi'i, Ulum Alquran (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.
113. Lihat juga Muhammad Yusuf al-Qardhawi, Berinteraski dengan Alquran
(Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 309.
[28]M. Quraish Shihab,
op. cit., h. 72.
[29]Lihat Muhammad
Husain al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Cet. I; Kairo:
Wahabah, 1995), h. 452-453.
[32]M. Quraish Shihab,
op. cit., h. 73.
[33]Abuddin Nata, op.
cit, h. 40.
[35]Lihat Abdul Hayy
al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i , diterjemankan oleh
Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Maudhu'i (Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), h. 22.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....