Kamis, 07 Juli 2011

NIAT DALAM HADITS NABI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al A’malu shuwarun qaimatun wa arwahuhah wujudu sirri al ikhlash fiha “amal perbuatan merupakan kerangka yang tegak sedangkan ruhnya adalah adanya rahasia ikhlas dalam perbuatan tersebut”[1]. Demikian tulis Syekh Ahmad bin ‘Athaillah dalam kitabnya al Hikam. Dari ungkapan di atas seakan menjelaskan bahwa untuk mencapai sebuah amal yang bernilai tinggi maka perlu memperbaiki jiwa atau ruhnya yaitu ketulusan dan keikhlasan. Hal ini pun menunjukkan bahwa keikhlasan merupakan barometer untuk mengukur kualitas sebuah perbuatan.
Dan memang setiap perbuatan manusia pasti dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada faktor dari dalam, ada pula yang dari luar. Faktor dari dalam bisa berupa motivasi yang lahir dalam diri seseorang yang dapat menggerakkannya melakukan sesuatu. Sedangkan faktor dari luar bisa berupa dorongan dari orang-orang yang ada disekitarnya atau bisa juga berupa sasaran atau tujuan yang hendak dicapai. Namun dari kedua hal tersebut tampaknya faktor dari luar merupakan “panglima perang” atau penentu awal suatu kegiatan. Sebab motivasi dan semangat kerja seseorang terkadang membara jika ada dorongan dari luar, khususnya yang terkait dengan tujuan yang diinginkan. Sehingga dari tujuan itulah maka perbuatan seseorang akan berbeda dengan perbuatan orang lain. Ada orang yang melakukan suatu pekerjaan hanya berorientasi jangka pendek –mengejar kenikmatan sementara- dan ada pula yang pekerjaannya diprioritaskan pada kenikmatan abadi. Akan tetapi diakui atau tidak, tampaknya seluruh umat manusia sepakat bahwa tujuan dari segala kegiatan dan perbuatan adalah mencapai kebahagiaan, atau dalam bahasa Ibnu Khazm, seorang pemikir, psikolog dan sosiolog Islam bahwa tujuan yang dikejar-kejar manusia adalah lepas dari penderitaan.[2] Dan tentunya kebahagiaan abadi hanya milik Allah semata[3]. Sehingga setiap pekerjaan manusia hendaknya ditujukan kepada Allah semata. Apatah lagi orientasi kegiatannya –khususnya seorang muslim- adalah ibadah. Sementara syarat diterimanya ibadah adalah keikhlasan semata-mata kepada-Nya[4]. Dan keikhlasan itu sendiri sangat terkait dengan niat seseorang.
Akan tetapi, ibadah atau pekerjaan yang murni tertuju kepada Allah tampaknya sangat sulit untuk diwujudkan sebab dalam diri manusia terdapat dorongan naluri untuk mencari kenikmatan yang terkadang mengarah kepada kenikmatan sementara. Dengan kata lain, tujuan atau unsur selain Allah masih sering –jika tidak berani mengatakan selalu- menghiasi benak manusia itu sendiri. Dari kenyataan seperti ini, maka terkadang muncul ungkapan yang mengatakan bahwa betapa sulitnya masuk ke dalam surga, karena persyaratannya sangat sulit dipenuhi. Atau pertanyaan yang berbunyi bagaimana posisi amal seseorang yang dilakukan karena ingin membahagiakan orang tuanya, atau ingin menghidupi keluarganya atau karena perbuatan tersebut memberi kontribusi yang berarti bagi kehidupan masyarakat luas?. Atau bahkan ada yang mengatakan bahwa jika seseorang tidak mampu memurnikan niatnya kepada Allah lebih baik ia tinggalkan amal tersebut karena akhirnya akan tetap sia-sia.
Berdasarkan fenomena di atas maka penulis menyusun sebuah makalah yang diharapkan dapat menyingkap makna, hakikat, bentuk, serta urgensi niat, yang pada akhirnya “kegoncangan” pemahaman akan topik ini dapat teratasi sehingga kita –umat beriman- dapat beramal dan berbuat dengan penuh semangat karena kita yakin pada janji-Nya[5].
Hanya saja kajian ini, penulis batasi hanya dalam tinjauan hadis Nabi khususnya pada sabda Beliau yang mengatakan innama al-a'malu bi al-niyat (sesungguhnya amal itu karena niatnya). Apatah lagi memang –sepanjang ingatan penulis- di dalam al-Qur'an tidak pernah disebutkan kata niat secara langsung[6]. Tetapi hanya menyebutkan pentingnya amal salih dalam kehidupan[7].
Penulis pun berharap semoga makalah ini lahir karena ketulusan, tumbuh karena kecintaan, dan mekar karena kebenaran. Akhirnya hanya sebuah doa yang dapat mengawalinya, اللهم اجعل عملنا هذا خالصا لوجهك و ابتغاء مرضاتك “Ya Allah, jadikanlah pekerjaan kami ini murni ikhlas pada-Mu dan mengharapkan ridha-Mu”.
B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini, yaitu upaya memahami  kedudukan dan urgensi niat dalam ibadah sesuai dengan hadis Nabi khususnya hadis innama al-a'malu bi al-niyat, maka  permasalahan pokok yang akan diangkat sebagai kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan berikut ini :
1.      Bagaimana takhrij dan i'tibar hadis tersebut?
2.      Bagaimana kualitas hadis tersebut, baik dari aspek sanad maupun matannya?
3.      Bagaimana kedudukan dan urgensi niat dalam ibadah?

C.    Metode Penelitian
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian hadis memeiliki beberapa metode di antaranya melalui lafal pertama hadis, melalui lafal-lafal yang terdapat dalam hadis, melalui perawi terakhir, melalui tema hadis, dan melalui klasifikasi jenis hadis[8]. Hanya saja untuk makalah ini, penulis dalam mencari hadis hanya menggunakan satu metode dari beberapa metode tersebut, yaitu melalui lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis.
Pada awal penelitian hadis-hadis tersebut, penulis menggunakan kitab-kitab takhrijul hadis, misalnya al mu’jam al mufahras dan miftah kunuz al sunnah yang masing ditulis oleh Arnold John Wensick (1939). Penulis pun tidak lupa menggunakan CD al maktabah al syamilah  dan alfiyah al sunnah. Dari sanalah, penulis menemukan beberapa hadis yang kemudian untuk memperjelasnya maka penulis mencari hadis tersebut langsung pada kitab-kitab hadis standar –kutub al-tis'ah.
Dalam penelitian ini pula, penulis tidak lupa membuka beberapa kitab syarah hadis yang diharapkan mampu menyingkap tabir rahsia yang terkandung di dalam hadis tersebut. Termasuk di antaranya fathul bari sebagai sarahnya sahih Bukhari, uhfatul ahwadz sebagai syarahnya sunan al-Turmudzi dan kitab-kitab syarah yang lain.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Takhrij Hadis
Dalam penelitian hadis, langkah awal yang mesti dilakukan adalah takhrij al-hadits (takhrij)[9]. Karena dengannyalah sehingga seorang peneliti hadis dapat mengetahui eksistensi suatu hadis apakah benar bahwa hadis yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadis atau tidak. Peneliti juga dapat mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja didapatkan, serta dapat mengetahui tempat hadis tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam kitab-kitab hadis. Dan yang lebih penting dengan takhrij, peneliti dapat mengetahui kualitas hadis (diterima atau ditolak)[10]. Karena pengetahuan tersebut sangat berpengaruh dalam kehujjaan suatu hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Sehubungan dengan judul makalah ini –"niat dalam perspektif hadis Nabi; kajian analisis tematik terhadap hadis innama al-a'malu bi al-niat"-, penulis –setelah mencari hadis berdasarkan metode lafal melalui kitab al-Mu'jam al-mufahras li alfadhzi al-hadits dan miftah kunuzi al-sunnah dengan lafal العمل , الأعمال , النية ,  dan النيات - menemukan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh masing-masing perawi kutub al-tis'ah kecuali Imam Malik ra. dan Imam al-Darimi. Hanya saja Imam Malik sekalipun ia tidak sebutkan dalam kitabnya al-Muwattha' namun ia pun sebenarnya termasuk salah seorang perawi dalam rentetan sanad yang disebutkan oleh Imam al-Bukhari. Hal inilah –mungkin- yang menyebabkan sebagian ulama merasa heran dengan Imam Malik[11].
Misalnya saja al-Bukhari meriwayatkan hadis tersebut dengan lafal :
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي  أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر  قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إنما الأعمال بالنيات  وإنما لكل امرئ ما نوى  فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه[12]
Bahkan bukan hanya riwayat di atas, al-Bukhari pun meriwayatkan dengan lafal yang sedikit berbeda tetapi maknanya tetap sama, yaitu :
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا عبد الوهاب قال سمعت يحيى بن سعيد يقول أخبرني محمد بن إبراهيم أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إنما الأعمال بالنية وإنما لامرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه[13]
Letak perbedaannya terdapat pada kata niat, riwayat yang pertama menggunakan bentuk jama' (plural) sementara riwayat yang kedua menggunakan bentuk mufrad (tunggal). Demikian pula pada kata menikahi, riwayat pertama menggunakan lafal ينكحها sementara yang kedua يتزوجها .[14]
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Imam Muslim pada kitab al-imarah bab qauluhu innama al-a'mal bi al-niyat dengan lafal yang sama dengan riwayat yang kedua di atas.[15] Juga diriwayatkan oleh al-Turmudzi pada sunannya kitab fadhail al-jihad 'an Rasulillah dengan lafal sama dengan Muslim.[16] Sementara Imam Abu Daud dalam sunannya kitab al-Thalaq bab fima 'uniya bihi al-thalaq wa al-niyat dengan lafal niat dalam bentuk jama' dan kata يتزوجها .[17] Imam al-Nasa'I pun meriwayatkannya dalam sunannya kitab al-thaharah bab al-niyat fi al-wudhu, kitab al-thalaq bab al-kalam idza qashuda bihi fima yuhtamalu ma'nahu dan kitab al-aiman wa al-nudzur bab al-niyat fi al-yamin dengan lafal yang sama dengan riwayat Bukhari yang kedua di atas.[18] Kemudia juga Imam Ibnu majah meriwayatkannya dalam sunannya kitab al-Zuhd bab al-niyat.[19] Demikian pula dengan Imam Ahmad, ia riwayatkan dalam musnadnya pada bab awwalu musnad Umar bin Khattab dengan lafal niat mufrad namun kata menikah menggunakan ينكحها .[20]
B.     I'tibar Hadis
Setelah kegiatan takhrij hadis dilakukan, langkah selanjutnya adalah melakukan I'tibar al-hadits[21]. Hal ini dimaksudkan, agar dapat terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat yang bersangkutan. Apatah lagi kegunaan I'tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dari ada atau tidak adanya pendukung, baik berupa mutabi'[22]  maupun syahid[23].
Terkait dengan hadis di atas, tidak ditemukan adanya syahid baik syahid bil lafzhi maupun bil ma'na. karena rentetan sanad hadis tersebut semuanya diriwayatkan dari Umar bin Khattab saja, bahkan dengan memperhatikan semua jalur sanad maka tampak bahwa percabangan sanad –baru terdapat jalur yang banyak- terjadi setelah Yahya bin Sa'id. Adapun mutabi'-nya, ditemukan banyak riwayat yang saling mendukung satu sama lain. Misalnya saja riwayat al-Bukhari memiliki beberapa jalur di bawah Yahya bin Sa'id. Demikian pula pada perawi-perawi yang lain. Untuk lebih jelasnya, penulis menyarankan untuk melihat skema sanad sebagaimana terlampir.
C.    Kritik Sanad Hadis
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian hadis meliputi bagian sanad dan matan. Karena kesahihan hadis tidak terbatas pada sanadnya saja, akan tetapi matan pun memiliki peranan penting di dalamnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui kualitas hadis di atas maka perlu dilihat dari dua aspek, sanad dan matan.
Adapun kajian sanadnya diawali dengan penjelasan biografi serta pendapat para kritikus hadis mengenai perawi-perawi hadis[24] tersebut yang dapat dilihat sebagai berikut :
1.      Umar bin Khattab[25]
Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul 'Uzza bin Rayyah bin Abdullah bin Qarth bin Razzah bin 'Adiy al-Qurasyi al-'Adawi Abu Hafsh Amirul mu'minin. Ia dilahirkan –menurut salah satu pendapat- sekitar sebelas tahun setelah tahun gajah. Ia termasuk salah seorang pemuka Quraisy sekaligus sahabat Nabi yang dimuliakan. Bagaimana tidak? Sejak memeluk Islam, ia mengabdikan hidupnya hanya untuk pengembangan dan kejayaan Islam. Bahkan disebutkan dalam salah satu hadis riwayat Ibnu Umar bahwa Rasulullah memukul-mukul dada Umar bin Khattab lalu sambil mendoakannya : اللهم أخرج ما في صدره من غل وأبدله إيمانا (Ya Allah keluarkan segala kedengkian yang ada di dalam hatinya, serta gantikanlah dengan keimanan). Banyak literatur dan keterangan yang menunjukkan kemuliaan Umar, di antaranya adalah kepercayaan masyarakat menyetujuinya menjadi khalifah yang kedua setelah meninggalnya sayyidina Abu Bakar as-shiddiq. Namun karena musibah yang menimpanya sehingga ia terbunuh dan wafat pada hari rabu di empat hari terakhir Zulhijjah tahun 23 H.
2.      'Alqamah bin Waqqash
Nama lengkapnya adalah 'Alqamah bin Waqqash bin Muhshin bin Kildah al-Laitsi al-'Atwari al-madani. Ia termasuk dalam tingkatan kibar al-Tabi'in. Muhammad bin Sa'ad mengomentari bahwa 'Alqamah hanya memiliki sedikit hadis, ia tinggal di Madinah. Di sana ia memiliki banyak peninggalan –khususnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan. Ia wafat pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan yaitu sekitar tahun 86 H. Di antara gurunya adalah Bilal bin Harits, Umar bin Khattab dan Amr bin Ash. Adapun di antara muridnya adalah anaknya sendiri (Abdullah bin 'Alqamah), Muhamad bin Ibrahim, Muhammad bin Muslim. Ia termasuk ulama yang dihormati sebagaimana pengkategorian para kritikus terhadapnya, di mana mereka –misalnya al-nasa'I, Ibnu Hajar dan al-Dzahabi- memasukkannya dalam kategori ثقة .
3.      Muhammad bin Ibrahim
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin harits bin Khalid al-Qurasyi at-Taimi Abu Abdillah al-Madani. Kakeknya yang bernama Harits bin Khalid termasuk al-Muhajirin al-awwalin (golongan sahabat yang pertama kali hijrah) sekaligus termasuk sepupu abu Bakar. Ia –Muhammad- termasuk dalam golongan ulama tingkatan di bawah وسطى التابعين , wafat di Madinah pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik sekitar tahun 120 H. di antara gurunya adalah Usamah bin Zaid, Anas bin Malik, dan 'Alqamah bin Waqqash. Sementara muridnya adalah Humaid bin Qaish al-A'raj, Abdullah bin Thawus, dan Yahya bin Sa'id. Para kritikus hadis –termasuk di antaranya Ishaq bin Manshur, Yahya bin Mu'in dan al-Nasa'i- mengganggapnya ثقة , sekalipun Ahmad bin Hanbal mengomentarinya dengan mengatakan bahwa ia terkadang meriwayatkan beberapa hadis mungkar, atau dalam istilah yang lain ia tergolong ثقة له أفراد .
4.      Yahya bin Sa'id
Nama lengkapnya adalah Yahya bin Sa'id bin Qais bin Amr bin Sahl al-Anshari al-Najjari Abu Sa'id al-madani  Qadhi Madinah. Ia termasuk dalam tingkatan صغار التابعين . tidak ada keterangan –sepanjang pengetahuan penulis- yang menunjukkan kapan ia dilahirkan, hanya disebutkan ia wafat di daerah Hasyimiah pada tahun 144 H. di antara gurunya adalah Anas bin Malik, Sa'id bin Musayyab, dan Muhammad bin Ibrahim. Adapun murid-muridnya, di antaranya adalah Hammad bin Zaid, Sufyan bin 'Uyainah, Sufyan al-Tsauri, Abdul Wahab al-Tsaqai, dan Malik bin Anas. Para kritikus hadis memberikan penilaian yang baik kepadanya, misalnya saja al-nasa'I menganggapnya ثقة ثبت ورجل صالح , Ahmad bin Hanbal mengkategorikannya sebagai اثبت الناس , dan komentar-komentar yang lain yang menunjukkan ketinggian derajat dan kemuliaan Yahya bin Sa'id di mata para ulama hadis.
5.      Malik bin Anas
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Ashbani, Imam Madinah dan salah seorang dari empat Imam di kalangan Ahlu Sunnah. Dia berguru pada Nafi' Maula Ibnu Umar, Zuhri, Rabiah ar-Ra'yi, Abu Zinad, dan lainnya. Imam Malik terkenal sangat hati-hati dalam hal kepada siapa dia mengambil ilmu, dalam mengambil riwayat hadis, dan dalam memberi fatwa. Fiqihnya terkenal dengan mengikuti al-Qur'an, Sunnah dan amalan penduduk Madinah. Imam Malik mempunyai karisma yang tinggi, dia berpegang teguh pada prinsipnya, sehingga gubernur Madinah pernah mencambuknya antara 30 sampai 100 kali karena dia menolak memberi fatwa dengan jatuhnya talak yang dipaksakan. Keagungannya dapat terlihat pada perkataan Imam ahmad bin Hanbal  مالك أثبت في كل شيئ dan komentarnya Muhammad bin Sa'ad ثقة مأمون ثبت حجة . Imam Malik lahir di Madinah pada Tahun 93 H dan waat pada tahun 179 H di Madinah.
6.      Sufyan bin 'Uyainah
Nama lengkapnya adalah Sufyan bin 'Uyainah bin Abi Imran Maimun al-Hilali Abu Muhammad al-Kufi al-Makki. Ia lahir pada tahun 107 H, dan tumbuh sebagai anak yang gemar menuntut ilmu hingga ia terkenal ke seantaro hijaz, bahkan Imam Syafi'i sempat mengatakan bahwa sekiranya bukan karena Imam Malik dan Sufyan bin 'Uyainah maka pasti akan lenyap ilmu dari Hijaz. Ia termasuk dalam tingkatan الوسطى من أتباع التابعين . Muhammadn bin Umar mengatakan bahwa Sufyan wafat pada hari sabtu di bulan Rajab tahun 198 H dan dimakamkan di Hujun. Di antara gurunya adalah Adam bin Sulaiman, Yahya bin Zaid dan Ibrahim bin Amir, sementara murid-muridnya, di antaranya Aswad bin Amir, Muhammad bin katsir dan al-Humaidi. Betapa banyak komentar para ulama mengenai dirinya, di mana semua komentar tersebut saling menegaskan kemuliaan dan keagungan Sufyan bin Uyainah. Sebagai contoh, Ali bin al-Madini mengatakan bahwa tidak ada murid al-Zuhri yang lebih sempurna selain Sufyan bin 'Uyainah. Demikian pula Ibnu Hajar mengkategorikannya sebagai ثقة حافظ فقيه إمام حجة إلا أنه تغير حفظه بأخرة  . و كان ربما دلس لكن عن الثقات  
7.      Hammad bin Zaid
Nama lengkapnya adalah Hammad bin Zaid bin Dirham al-Azdi al-Jahdami Abu Ismail al-Bashri al-Azraq. Ia dilahirkan sekitar tahun 98 H. dan wafat pada tahun 179 H. ia tergolong dalam tingkatan الوسطى من اتباع التابعين , di antara gurunya adalah Yahya bin Sa'id, al-Walid bin Dinar, dan Yazid bin Hazim. Adapun muridnya, termasuk di antaranya adalah Sufyan al-tsauri, Sufyan bin 'Uyainah dan Musaddad. Ia termasuk ulama yang dikagumi, hal itu tergambar dari pernyataan Abdurrahman bin Mahdi bahwa, "saya tidak pernah menemukan orang yang lebih faqih dari Hammad di Bashrah, atau pernyatan Yazid bin Zurai' bahwa Hammad termasuk اثبت في الحديث , demikian ulama yang lain menyebutnya sebagai ثقت ثبت .
8.      Abdul Wahab
Nama lengkapnya adalah Abdul Wahab bin Abdul Majid bin Shalt bin Ubaidillah bin Hikam bin Abi Ash al-Tsaqafi Abu Muhammad al-Bashri. Kakeknya yang bernama Hikam merupakan saudara Utsman bin Abu Ash. Ia dilahirkan sekitar tahun 108 H. dan wafat pada tahun 194 H, termasuk dalam tabaqat الوسطى من التابعين dan tumbuh sebagai seorang ulama besar yang banyak menerima ilmu dari guru-gurunya. Di antaranya Daud bin Abi Hindi, Abdullah bin Aun, dan Yahya bin Said. Banyak pula orang yang dating menimba ilmu darinya, termasuk di antaranya Hasan bin Arafah, Humaid bin Mus'adah dan Qutaibah bin Said. Ulama Kritikus hadis mengkategorikannya sebagai ulama tsiqah, hanya saja ketsiqahannya berubah sekitar tiga tahun sebelum wafatnya. Namun terlepas dari itu semua, ia tetap dikagumi oleh para ulama. Misalnya saja pernyataan Yahya bin Mu'in bahwasanya Hammad adalah ثقة , dan terkait dengan kajian hadis ini cukuplah pernyataan Ali bin al-Madini yang menguatkannya ليس فى الدنيا كتاب عن يحيى أصح من كتاب عبد الوهاب ، و كل كتاب عن يحيى فهو عليه كل ـ يعنى كتاب عبد الوهاب ـ
9.      Sufyan al-Tsauri
Nama lengkapnya adalah Sufyan bin Sa'id bin Masruq al-Tsauri Abu Abdillah al-Kufi. Menurut salah satu keterangan dari Ahmad al-'Ajali bahwa al-Tsauri dilahirkan pada tahun 97 H. dan wafat di Bashrah pada tahun 162 H, termasuk dalam kelompok كبار اتباع التابعين . di antara gurunya adalah Ibrahim bin Uqbah, Ismail bin Abi Khalid, dan Yahya bin Sa'id. Adapun murid-muridnya, di antaranya Ibrahim bin Sa'ad, Ja'far bin Burqan dan Muhammad bin Katsir. Banyak pernyataan ulama yang menunjukkan kemuliaan dan keagungannya, sebagai contoh ungkapan sebagian besar kritikus hadis bahwa سفيان أمير المؤمنين فى الحديث , atau Abdullah bin Daud mengatakan ما رأيت أفقه من سفيان . jadi pada dasarnya semua ulama menganggapnya sebagai ثقة حافظ .
10.  Laits bin Sa'ad
Nama lengkapnya adalah Laits bin Sa'ad bin Abdurrahman al-Fahmi Abu Harits al-Mashr. Lahir pada hari kamis 14 Sya'ban 94 H di daerah Qaraqsyindah sekitar 4 farsakh dari Mesir, dan wafat pada tahun 177 H. ia tergolong dalam kelompok كبار التابعين , ia pernah berguru kepada Ja'far bin Rabi'ah, Harits bin Tsauban dan Yahya bin bin Sa'id. Sementara murid-muridnya, di antaranya Hajjaj bin Muhammad, Said bin katsir dan Muhammad bin Ramh. Ia dianggap oleh ulama hadis sebagai ثقت ثبت , hal itu terlihat dari ungkapan Ahmad bin Hanbal bahwa Laits adalah صحيح الحديث وكان كثير العلم , demikian pula dengan Yahya bin Muin yang mengkategorikannya sebagai ثقة .
11.  Yazid bin Harun
Nama lengkapnya adalah Yazid bin Harun bin Zadzi bin Tsabit al-Sulami Abu Khalid al-Washithi, dilahirkan pada tahun 117 H dan wafat pada tahun 206 H serta termasuk kelompok صغار اتباع التابعين . gurunya adalah Israil bin Yunus, Sufyan al-Tasuri dan Yahya bin Said. Sementara muridnya adalah Ahmad bin Hanbal, Sufyan bin Waki' dan Ali bin al-madini. Imam Ahmad bin hanbal menyebutnya كان حافظا متقنا للحديث sementara Yahya bin Muin mengatakan bahwa ia termasuk ثقة , bahkan setelah melihat beberapa pernyataan ulama maka dapat dipastikan bahwa ia tergolong ثقة متقن.
12.  Abdullah bin Maslamah
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab al-Qa'nabi al-Haritsi Abu Abdirrahman al-Madani. Tidak ada keterangan mengenai waktu kelahirannya namun diketahui bahwa ia wafat di Mekah pada tahun 221 H. dan termasuk dalam golongan صغار اتباع التابعين . ia pernah berguru pada Hammad bin zaid, Hatim bin Ismail dan Malik bin Anas. Sedangkan murid-muridnya adalah al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan al-Nasa'i. Ia dianggap oleh Ahmad bin Abdullah al-Ajali sebagai بصرى ، ثقة ، رجل صالح , Abu Hatim mengkategorikannya sebagai ثقة حجة . dan bisa disimpulkan bahwa ia memang termasuk ulama tsiqah.
13.  Abdullah al-humaidi
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Zubair bin Isa bin Ubaidillah al-Qurasyi al-Asadi Abu baker al-Humaidi al-Makki. Tergolong dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع , ia wafat di Mekah pada tahun 219 H. guru-gurunya, di antaranya Sufyan bin Uyainah, Muhammad bin Idris al-syafi'I, dan Marwan bin Mu'awiyah. Adapun muridnya, di antaranya al-Bukhari, Muhammad bin Yunus al-nasa'I, dan lainnya. Para kritikus hadis menyebutnya sebagai ثقة حافظ , hal ini terbukti dari ungkapan Abu Hatim أثبت الناس فى ابن عيينة الحميدى ، و هو رئيس أصحاب ابن عيينة ، و هو ثقة إمام , dan masih banyak komentar yang lain yang mengarah kepada pujian untuknya.
14.  Ibnu al-qasim
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin al-qasim bin Khalid bin Junadah al-Utqah Abu Abdillah al-Mashri, lahir pada tahun 128 H. dan wafat pada tahun 191 H. termasuk dalam kelompok كبارالآخذين عن تبع الأتباع .guru-gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Malik bin Anas dan Nafi' bin Abdurrahman. Sedangkan murid-muridnya adalah Harits bin Miskin dan Yahya bin Abdullah bin Bukair. Ia dikategorikan oleh para kritikus hadis sebagai tsiqah, sebagaimana pernyataan Abu Zur'ah mengenai dirinya bahwa Ibnu al-Qasim ثقة رجل صالح , al-nasa'I menyebutnya dengan ثقة مأمون أحد الفقهاء , dan beberapa komentar-komentar yang lain.
15.  Musaddad
Nama lengkapnya adalah Musaddad bin Masarhad bin Masrabil al-asadi Abu Hasan al-Bashri. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai kapan ia dilahirkan, namun hanya disebutkan bahwa ia wafat pada tahun 228 H di Bashrah, dan ia masuk dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . di antara gurunya adalah Umayyah bin Khalid, Hammad bin zaid dan Sufyan bin Uyainah. Sedangkan orang yang pernah berguru padanya adalah al-Bukhari, Abu Daud dan Abu Zur'ah. Para kritikus hadis menyebutnya dengan tsiqah hafidhz, ini terlihat dari pernyataan Abu Hatim ketika ditanya mengenai Musaddad bahwa كان ثقة , demikian pula penilaian Yahya bin Muin dan al-Nasa'i.
16.  Yahya bin hubaib
Nama lengkapnya adalah Yahya bin Hubaib bin Arabi al-Haritsi Abu Zakaria al-Bashri. Tergolong dalam tingakatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع , ia tinggal di Bashrah dan wafat di sana pada tahun 248 H. nama gurunya yaitu Khalid bin Harits, Hammad bin zaid dan Abdul Wahab al-Tsaqafi. Adapun muridnya termasuk al-jama'ah selain al-Bukhari. Abu hatim menganggapnya صدوق , al-Nasa'I menyebutnya dengan ثقة مأمون , demikian pula ulama-ulama yang lain menganggapnya dengan yang serupa dengan itu.
17.  Abu Nu'man
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Fadhl al-Sadusi Abu Nu'man al Bashri dikenal dengan sebutan 'Arim. Ia termasuk dalam tingkatan من صغار أتباع التابعين , ia tinggal di Bashrah dan waat di sana pada bulan Safar tahun 224 H. di antara gurunya ada yang bernama Hammad bin zaid, Abdullah bin al-Mubarak dan Mahdi bin Maimun. Sedangkan murid-muridnya, di antaranya Ahmad bin Sa'id al-Darimi, Ahmad bin Hanbal dan Abu Zur'ah. Al-Bukhari menyebutnya تغير في آخر عمره , hanya saja, sekalipun demikian ia tetap dikategorikan sebelumnya sebagai ثقة .
18.  Qutaibah bin Sa'id
Nama lengkapnya adalah Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif bin Abdullah al-Tsaqafi Abu Raja' al-Balkhi al-Buglani. Ada yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah yahya bin Sa'id sedangkan Qutaibah hanya merupakan laqab untuknya. Lahir pada tahun 148 H dan wafat pada tahun 240 H. termasuk dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . Banyak komentar dari para kritikus hadis namun dapat disimpulkan bahwa ia tergolong ulama yang ثقة ثبت , hal ini tampak dari pernyataan Yahya bin Muin, al-nasa'I, abu Hatim al-Razi dan Ibnu Hibban.
19.  Muhammad bin Katsir
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Katsir al-Abdi Abu Abdillah al-Bashri saudara Sulaiman bin Katsir. Dilahirkan pada tahun 133 H dan wafat tahun 223 H sehingga pada hari kematiaannya ia berusia 90 tahun., tergolong dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . ia pernah berguru kepada Sufyan al-Tsauri, Hammam bin Yahya dan Israil bin Yunus. Adapun murid-muridnya, termasuk al-Bukhari, abu Daud dan Ali bin al-Madini. Ulama kritikius hadis memiliki komentar yang berbeda, misalnya Yahya bin Muin mengatakan bahwa لا تكتبوا عنه ، و قال : لم يكن بالثقة , Ibnu Qani' menganggapnya ضعيف, Abu Hatim menggolongkannya sebagai صدوق , akan tetapi Ibnu Hibban menyebutnya dalam tingkatan ثقة . hanya saja setelah memperhatikan beberapa kaidah yang terkait dengan kontradiksi pendapat ulama dalam men-jarah dan men-Ita'dil seseorang termasuk di antaranya adalah kaidah الجرح اذا كان مفسرا فهو مقدم على التعديل  (apabila kelemahannya dijelaskan maka itu didahulukana daripada kejujurannya), إذا كان المعدلون اكثر او احفظ فهو عدل والا فهو مجروح (apabila yang menilainya adil/baik lebih banyak atau lebih hafidhz maka rawi tersebut adil, tetapi bila sebaliknya maka tentunya dia juga lemah)[26]. Dari kaidah tersebut, penulis berkeyakinan bahwa Muhammad bin Katsir tetap tergolong ثقة .
20.  Muhammad bin Ramh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ramh bin Muhajir bin Muharrar bin Salim al-Tajibi Abu Abdillah al-Mashri, termasuk dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع. Tidak ada keterangan pasti kapan ia lahir, namun disebutkan bahwa ia wafat sekitar tahun 242 H. ia pernah berguru pada Nu'aim bin Hammad, Abdullah bin Lahi'ah dan Laits bin Sa'ad. Sedangkan murid-muridnya yaitu Muslim, Ibnu Majah dan Nashir bin Munzir al-nasafi. Ia dinilai baik oleh para kritikus hadis, hal itu terlihat dari ungkapan Ali bin Husain bin Junaid كان رجلا ، و كان أوثق من ابن زغبة , atau Abu Sa'id bin Yunus menyebutnya ثقة ثبت فى الحديث , demikian pula Ibnu Hibban yang menmasukkan namanya dalam kitab الثقات .
21.  Muhammad bin al-Mutsanna
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Mutsanna bin Ubaid bin Qais bin Dinar al-Unza Abu Musa al-Bashri, lahir pada tahun 167 H dan wafat 252 H serta termasuk dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . ia pernah belajar pada Ahmad bin Sa'id a-Darimi, Sufyan bin Uyainah dan Abdul Wahab al-Tsaqafi. Sedangkan orang yang pernah berguru darinya termasuk Jama'ah. Ia dikategorikan sebagai ulama yang tsiqah sebagaimana pernyataan para kritikus hadis di antaranya Yahya bin Muin, Abu Hatim dan lainnya. Bahkan Abu 'Arwabah al-Harani mengatakan ما رأيت بالبصرة أثبت من أبى موسى ، و يحيى بن حكيم .
22.  Abu Bakar
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman bin Khawasiti al-Absi Abu Bakar bin Abi Syaibah. Tidak akda keterangan mengenai kapan ia dilahirkan namun disebutkan bahwa ia wafat pada tahun 235 H dan tergolong dalam tingakatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . ia pernah belajar pada Zakaria bin 'Adiy, Sufyan bin Uyainah dan Yazid bin Harun. Adapun orang-orang yang pernah belajar darinya adalah al-bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu daud. Ia dimasukkan dalam kategori ulama yang ثقة sebagaimana pernyataan para kritikus hadis. Misalnya Abu Hatim al-Ajali, Yahya bin Muin dan Ahmad bin Hanbal.


23.  Amr bin Manshur
Nama lengkapnya adalah Amr bin Manshur al-Nasa'I kuniahnya adalah Abu Sa'id. Tidak ada keterangan mengenai kapan ia lahir dan wafat, namun disebutkan bahwa ia tergolong dalam tingkatan أوساط الآخذين عن تبع الأتباع . tetapi sekalipun keterangan mengenai dirinya sangat kurang ditemukan namun kritikus hadis tetap menilaianya baik, sebagaimana ungkapan al-Nasa'I bahwa ia ثقة ، مأمون ، ثبت .
24.  Harits bin Miskin
Nama lengkapnya adalah Harits bin Miskin bin Muhammad bin Yusuf al-Umawi Abu Amr al-mashri al-Faqih. Lahir pada tahun 154 dan wafat pada tahun 250, serta termasuk dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . ia pernah belajar pada Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Qasim dan Ishaq bin Bakr. Adapun orang yang pernah berguru darinya Abu Daud, Al-Nasa'I dan Ya'kub bin Yusuf al-Bukhari. Ia mendapatkan penilaian yang baik dari para kritikus hadis, misalnya al-nasa'I yang merupakan salah seorang muridnya mengatakan bahwa Harits adalah ulama yang ثقة و مأمون , sementara Yahya bin Muin menyebutnya لا بأس به , begitu pula dengan Ahmad bin Hanbal ketika ia mengomentari Harits, ia berkata ما بلغنى عنه إلا خيرا .
Setelah melihat biografi para perawi hadis dalam semua rentetan sanad yang ada maka penulis menyimpulkan bahwa jalur sanad baik melalui al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi, al-Nasa'I, Ibnu Majah, Abu Daud maupun Ahmad bin Hanbal semuanya memiliki kualitas sanad yang sahih, sekalipun di antara perawi tersebut ada yang dinggap memiliki kekurangan –misalnya Muhammad bin Ibrahim al-Taimi yang dianggap terkadang meriwayatkan hadis mungkar atau Muhammad bin Katsir- namun keterangan tersebut tidak sampai menyebabkan kualitas sanad hadis di atas ikut lemah karena ternyata semua kritikus hadis tetap mengkategorikan mereka sebagai orang yang tsiqah sehingga sekali lagi hadis tersebut memiliki kualitas sanad yang sahih.
Hanya saja, al-Turmudzi ketika meriwayatkan hadis di atas ia mengomentari bahwa kualitasnya adalah حسن صحيح[27] , namun perlu dipahami bahwa satu-satunya ulama hadis yang memiliki istilah "lain daripada yang lain" adalah Imam al-Turmudzi. Misalnya saja istilah hasan gharib atau hasan shahih dan sebagainya. Terkait dengan hadis tersebut yang ia sebutkan sebagai hasan sahih, memang para ulama dalam memahami maksud dari ungkapan al-Turmudzi tersebut berbeda-beda. Ada yang menganggap bahwa ketika al-Turmudzi menyebut hasan shahi maka maksudnya adalah hadis tersebut matannya berkualitas hasan sementara sanadnya sahih. Atau hadis tersebut memiliki beberapa riwayat, salah satu jalurnya hasan dan yang lain sahih. Akan tetapi penulis lebih memahami makna ungkapan tersebut –sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Abdul Razaq Hamzah- sebagai sebuah pernyataan al-Turmudzi yang melihat istilah hasan lebih umum daipada sahih. Sehingga terkadang ia sebutkan bersamaan, terkadang pula ia pisahkan. Karena istilah hasan memiliki makna diterima dan diamalkan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik bahwa demikian itulah yang diamalkan dinegeri kami. Sedangkan hadis sahih yang tidak diamalkan karena suatu sebab tertentu maka al-turmudzi hanya menyebutnya dengan kata sahih saja[28]. Apatah lagi Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al-Mubarakfuri ketika mensyarah hadis di atas menjelaskan bahwa semua ulama sepakat akan kesahihannya[29].
Bila memperhatikan semua jalur riwayat di atas, dapat dikatakan bahwa hadis tersebut hanya tergolong sebagai hadis masyhur[30] saja karena syarat mutawatir tidak terpenuhi –termasuk di antaranya memiliki banyak periwayat dari masing-masing tingkatan. Dan kemasyhurannya itu dikenal oleh para ulama baik muhadditsin maupun fuqaha[31]. Hanya saja bila melihat kembali sanad-sanad hadis di atas maka mungkin ada benarnya apa yang disebutkan oleh Fatchur Rahman ketika menjelaskan kualitasnya sebagai hadis gharib pada awalnya namun masyhur pada akhirnya[32].
D.    Kritik Matan Hadis
Setelah penelitian sanad, langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah kritik matan. Hal ini dilakukna karena terkadang ada riwayat yang tidak bisa kita bayangkan berasal dari Nabi SAW, sehingga para ulama menolaknya, tanpa menghiraukan kualitas sanadnya. Bahkan ada riwayat yang ditolak, meskipun sanadnya shahih. Inilah yang dikatakan dengan kritik matan (kritik intern)[33].
Dalam peneltian matan ini, setidaknya ada tiga langkah yang mesti dilakukan, yaitu pertama, meneliti matan hadis dengan melihat kualitas sanadnya. Kedua, meneliti susunan matan hadis yang semakna. Ketiga, meneliti kandungan matan hadis. Dan adapun tolak ukur atau kriteria kesahihan matan ada dua, yaitu tidak mengandung syadz[34] dan illat[35].
Kaitannya dengan matan hadis di atas, bila ditinjau dari kualitas sanadnya maka dikatakan bahwa penelitian tersebut sudah bisa dilanjutkan untuk langkah yang kedua, karena semua perawi hadis di atas termasuk orang yang 'adil dan tsiqah. Apatah lagi awal penelitian matan memang harus berangkat dari sanad hadis yang jelas-jelas telah memenuhi syarat kesahihan. Dan hal itu telah terpenuhi pada sanad di atas.
Bila diperhatikan seluruh jalur sanad yang ada, maka akan ditemukan bahwa riwayat tersebut memiliki periwayatan bil ma'na karena ada beberapa jalur yang matannya ada –sedikit- perbedaan. Misalnya saja salah satu riwayat al-Bukhari :
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمـن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Lafal tersebut agak berbeda dengan riwayat al-nasa'I sebagai berikut :
إنما الأعمال بالنية وإنما لامرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Hanya saja setelah memperhatikan kedua atau beberapa riwayat tersebut, penulis berkesimpulan bahwa perbedaan tersebut bukanlah suatu perbedaan yang menyebabkan kualitas hadis al-Nasa'i di atas menurun. Karena sekalipun berbeda lafal namun makna tetap sama dan sesuai. Oleh karena itu, matan hadis di atas tetap dikategorikan sahih.
Bila ditinjau dari kandungan matan hadis, maka hadis di atas tidak memiliki pertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, baik al-Qur'an maupun hadis. Karena memang Islam dating dengan mengingatkan kepada seluruh manusia untuk senatiasa menyembah dan beribadah kepada Allah penuh dengan keikhlasan, sementara keikhlasan tersebut diukur dari niat seseorang. Bahkan bias dikatakan bahwa ayat al-Qur'an sangat mendukung hadis di atas. Misalnya saja QS. Al Bayyinah : 5 atau QS. Al-An'am : 52 : وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ dipahami oleh Imam al-Gazali bahwa makna kata الإرادة (keinginan) pada ayat tersebut adalah النية (niat). Demikian pula hadis-hadis Nabi yang lain, banyak yang mengisyaratkan pentingnya niat dalam beramal, misalnya riwayat al-Nasa'I dari 'Ubadah bin Shamit : من غزا في سبيل الله ولم ينو إلا عقالا فله ما نوى (Barangsiapa yang keluar berperang di jalan Allah namun ia tidak berniat kecuali hanya untuk mendapat kehormatan maka ia hanya mendapatkan apa yang ia niatkan) artinya ia tidak mendapatkan apa-apa di akhirat nanti.
Dari ketiga tinjauan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis di atas tergolong hadis sahih, baik sanad maupun matan. Karena semua kriteria kesahihan hadis telah terpenuhi. Sekalipun tampak ada keanehan di dalamnya karena hanya diriwayatkan dari satu jalur sampai kepada Yahya bin Sa'id. Sehingga ada yang mengkategorikannya gharib awalnya namun masyhur akhirnya. Akan tetapi, ini tidak berarti kualitas kesahihannya berkurang, apatah lagi ada ayat dan riwayat yang lain yang mendukungnya.
E.     Kedudukan dan Urgensi Niat dalam Ibadah
Sebelum membicarakan mengenai kedudukan dan urgensi niat dalam ibadah sesuai dengan hadis Nabi, ada baiknya bila kita kembali melihat dan memperjelas makna dan hakikat niat itu sendiri. Secara bahasa niat berasal dari akar kata نوى yang memiliki arti "maksud dan pangkal sesuatu"[36]. Sehingga dipahami bahwa niat dalam tinjauan bahasa bermakna masud yang diinginkan dalam melakukan sesuatu sekaligus menjadi pangkal lahirnya sesuatu itu.
Sementara secara istilah, niat merupakan keinginan yang bertujuan mengharapkan ridha Allah sekaligus melaksanakan perintah yang dibuktikan dalam perbuatan. Hanya saja Ibnu Hajar al-'Asqalani ketika menjelaskan makna niat pada hadis di atas, ia menyebutkan bahwa sebaiknya niat diartikan sesuai dengan makna bahasanya supaya pemahamannya sesuai dengan lanjutan hadis tersebut dan pengkategorian sifat atau keadaan orang yang berhijrah.
Terkait dengan hadis di atas, ulama memberikan penilaian yang berbeda mengenai pentingnya hadis tersebut. Ada yang menganggapnya termasuk 1/4 ajaran Islam, namun kebanyakan ulama –termasuk Imam Syafi'I, Ahmad bin Hanbal, dan lainnya- memasukkannya sebagai 1/3 Islam. Karena semua perbuatan manusia hanya berputar pada tiga hal, yaitu hati, lidah dan anggota badan[37]. Ibadah hati tidak –terlalu- membutuhkan keterlibatan yang lain. Akan tetapi ibadah badan yang lain, termasuk lidah dan hati mesti membutuhkan niat[38]. Karena hal tersebut merupakan pondasi kesuksesan suatu ibadah.
Hal demikianlah yang melatarbelakangi Nabi Muhammad ketika berkhutbah di saat beliau hijrah dari Mekah ke Madinah menggambarkan sebuah kesadaran dan tanggung jawab akan pentingnya menjaga serta memelihara kemurnian niat seseorang. Bahkan ada yang mengatakan bahwa hadis di atas disampaikan oleh Nabi terkait dengan seseorang yang ikut berhijrah karena di dasari keinginannya untuk menikahi salah seorang shahabiyah yang juga ikut berhijrah dari Mekah ke Madinah yaitu Ummu Qais. Olehnya itu Nabi mengingatkan sesuai dengan isi dan kandungan hadis tersebut, utamanya akhir matannya.
Terlepas dari perbedaan asbab al-wurudnya, hadis di atas tetap dan selalu dijadikan dasar pegangan dalam bertindak dan beribadah. Bagaimana tidak? Ketika Nabi mengatakan انما الإعمال بالنيات , para ulama berusaha memahaminya dengan menganggap bahwa segala jenis perbuatan diukur sesuai dengan niatnya. Sehingga niat akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis perbuatan tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan sesuatu maka yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah niat yang ada di dalam hati. Sebab karenanyalah amal akan mendapatkan penilaian baik atau buruk. Kata انما merupakan kata yang bermakna للحصر (membatasi) dengan menetapkan atau menguatkan sesuatu yang disebut serta meniadakan yang tidak disebut. Sehingga al-Nawawi melihat bahwa amal akan diberi balasan karena niat, dan tidak akan dibalas dan dihitung biola tidak diawali dengan niat. Jadi kalimat pertama pada hadis di atas mengindikasikan pentingnya niat karena dengannyalah kesahihan atau keabsahan suatu amal ditentukan. Hanya saja perlu dilihat bahwa kesimpulan tersebut dipahami dari dilalah al-iqtidha' yang tidak disebutkan di dalam matan hadis tersebut. Sehingga ada yang berpendapat bahwa dilalah al-iqtidha' pada hadis di atas الكمال (kesempurnaan) sehingga ini berarti bahwa ibadah tanpa niat tetap sah hanya saja tidak sempurna. Ada pula yang mengatakan –inilah pendapat jumhur sekaligus yang dipegangi oleh penulis- bahwa dilalah al-iqtidha'-nya adalah الصحة (kesahihan atau keabsahan) sehingga amal tidak akan sah tanpa ada niat di dalamnya[39].
Adapun kalimat وانما لكل امرئ ما نوى memiliki dua makna. Pertama, seseorang akan mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan. Bila niatnya adalah kebaikan maka tentu balasannya juga akan baik. Akan tetapi, bila niatnya buruk maka balasannya pun juga demikian. Kedua, kalimat tersebut mengindikasikan perlunya menetukan jenis ibadah yang diniatkan. Sebagai contoh, bila seseorang hendak melaksanakan salat yang terlewat maka disamping ia berniat salat juga harus menetukan salat apa yang dilakukan, apakah zhuhur, ashar atau yang lain.
Terlepas dari kedua makna di atas, niat sangat penting dalam pencapaian hasil dari sesuatu yang diniatkan itu. Hal ini terlihat pada kalimat yang menggambarkan keadaan orang yang berhijrah, apakah mengharapkan ridha Allah atau ada unsur-unsur lain.
Dari keterangan tersebut dapat dipastikan bahwa niat memiliki peranan penting dalam amal dan ibadah. Di samping untuk menentukan keabsahan ibadah yang dilakukan juga untuk menentukan hak orang yang beramal, apakah ia berhak mendapatkan pahala atau tidak. Karena itu, Allah mengingatkan hamba-Nya :
شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّين مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا...
"Allah memerintahkan kepada kalian sesuai dengan apa yang Dia wasiatkan kepada Nabi Nuh"
Abu 'Aliah menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa kata "wasiat" berarti Allah mewasiatkan kepada Nuh untuk beribadah kepada-Nya dengan penuh keikhlasan. Dan keikhlasan itu lahir niat yang tulus.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas yang berbicara tentang "Niat dalam Perspektif Hadis Nabi; Kajian Analisis Tematik Terhadap Hadis Innama al-A'malu bi al-Niat"  dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  1. hadis di atas diriwayatkan oleh semua mukharrij yang sembilan atau pengarang kutub al-tis'ah kecuali Imam Malik dan al-Darimi. Hanya saja Imam Malik, sekalipun ia tidak menyebutkannya di dalam al-Muwattha' , namun dalam riwayat al-Bukhari dan Abu Daud disebutkan salah satu perawinya yaitu Malik bin Anas. Kenyataan inilah yang menyebabkan sebagian ulama merasa heran atas apa yang dilakukan oleh Imam Malik dengan tidak menyebutkannya di dalam kitab rujukan hadisnya.
  2. Hadis yang disebutkan di atas memiliki kualitas sahih, baik dari segi sanad maupun matan. Karena semua kriteria kesahihan –termasuk bersambungnya sanad, perawinya 'adil dan dhabit, tidak mengandung syadz dan illat- semuanya terpenuhi. Bahkan bila semua riwayat yang terkait –semakna- dengan hadis di atas dikaitkan maka kualitasnya akan semakin kuat karena hadis-hadis tersebut saling mendukung antara satu dengan yang lain.
  3. Hadis dalam kajian ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan disyari'atkannya dan pentingnya niat secara mutlak. Hanya saja hukum pensyari'atan tersebut diperbincangkan oleh para ulama. Sebagian menganggap bahwa niat merupakan salah satu rukun salat, sehingga ibadah akan dianggap baik bila ada niat yang baik menyertainya. Sementara ulama yang lain melihat hukum niat sebagai syarat saja, di mana hal tersebut akan berimplikasi pada penentuan waktu berniat. Atau niat merupakan ibadah sunnat yang dapat dilaksanakan kapan saja. sekaligus niat merupakan tolak ukur balasan yang akan diberikan kepada seseorang sebagai hasil dari amal ibadahnya.

B.     Rekomendasi
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih sangat jauh dari standar sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah kebahagiaan besar jika ada pihak yang berusaha meneliti kembali –paling tidak memeriksa referensi yang digunakan- makalah ini sehingga hasil penelitian tersebut dapat lebih valid.
Menyikapi segala bentuk masalah dan keragaman pendapat tentang siwak, baik aspek hukum dan dalilnya –sekiranya hal itu didapatkan- termasuk keragaman bentuk pemikiran dan pendapat hendaknya dijadikan sebuah pegangan terhadap kerahmatan agama Islam.
Inilah hasil usaha dan kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana konsep hadis tentang ikhlas. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al sawab.




















DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an al-Karim
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Jakarta. Renaisan. 2005. cet. I
Al-Adlabi, Shalahuddin ibnu Ahmad. Manhaj Naqd al-Matan 'Inda Ulama' al-Hadits al-Nabawi, terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis. Ciputat. Gaya Media Pratama. 2004.
Al Asyqar, Umar sulayman. Ikhlas; Memurnikan Niat Meraih Rahmat (al Ikhlash). terj. Abad Badruzzama. Jakarta. Serambi Ilmu Semesta. 2006.
Al Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al Bari Syarh Sahih al Bukhari. Riyadh: Dar al Salam. 2000.
Al Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih al Bukhari Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah. 1992.
'Azzam, Abdul Aziz Muhammad. al-Qawa'id al-Fiqhiyah. Kairo. Dar al-Hadits. 2005.
Hadi, Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul. Metode Takhrij Hadits (Thuruq Takgrij Hadits Rasulillah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam). Terj. HS. Agil Husain al Munawwar dan  H. Ahmad Rifqi Mukhtar. Semarang: Dina Utama. 1994.
Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin. al Musnad. Riyadh: Maktabah al Turats al Islami. 1994.
Al-Hadi, Abdul mahdi bin Abdul Qadir bin. 'Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil Qawaiduhu wa Aimmatuhu. Beirut. Dar al-Fikr. 1998. cet. II
Ibnu Shalah, Abu Amr Utsman bin Abdurrahman. 'Ulum al-Hadits. Madinah al-Munawwarah. al-Maktabah al-'Ilmiah. 1972.
Ibrahim, Muhammad bin. Syarh al Hikam. Semarang. Usaha Keluarga. tt.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta. Amzah. 2008. cet. I
Al Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al Hadits; ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu. Beirut: Dar al Fikr. 1989.
Al Mubarakfuri, Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim. Tuhfat al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi. Beirut: Dar al Fikr. 1995.
Al Naisaburi, Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi. Shahih Muslim.  Riyadh: Dar Alam al Kutub. 1996
Al Nasa’i, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib. Sunan al Nasa’I. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiah. 1991.
Al Nawawi, Imam. Shahih Muslim bi Syarh al Nawawi. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiah. 2000.
Al-Qazwiny, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ibnu Majah. Sunan Ibni Majah. Semarang. Karya Toha Putra. tt.
Saurah, Abu Isa Muhammad bin Isa bin. Sunan al Turmudzi. Beirut: Dar al Fikr. 1994.
Al Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats. Sunan Abi Daud; Bab al-Siwak (Himsh Suriah: Dar al Hadits, tt), jil. I
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar. al-Asybah wa al-Nadhzair fi al-Furu'. Semarang. Toha Putra. tt.
Al-Thahhan, Mahmud. Taisir Mushthalah al-Hadits. Riyadh. Maktabah al-Ma'arif. 1987.  cet. II.  
Wensick, Arnold John. A Hand Book of Early Muhammadan Tradition. Diterjemahkan oleh Muhammad Fu’ad Abdu al Baqi, Miftah Kunuz al Sunnah. Lahore: Suhayl Akademi. 1971.
---------. Concordance Et Indies De La Tradition Musulmane. Diterjemahkan oleh Muhammadd Fu’ad Abdu al Baqi.al Mu’jam al Mufahras li al Alfads al Hadits al nabawi. E.J. Brill. 1963.
Zakaria, Abu Husain Ahmad bin Faris bin. Mu’jam Maqayis al Lugah. al Iskandariah: Dar al Fikr. 1970.
Al-Mizzi, Jamaluddin Abu Hujjaj yusuf. Tahdzib al-Kamal fi Asma'I al-Rijal. Beirut. Maushu'ah al-Risalah. 1985.
Al-Razi, Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Hatim. Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil. Heiderabad. Da'irah Ma'arif. 1952. cet. I.





[1] Muhammad bin Ibrahim, Syarh al Hikam (Semarang; Usaha Keluarga, tt), hal. 11
[2] Umar sulayman al Asyqar,  Ikhlas; Memurnikan Niat Meraih Rahmat (al Ikhlash). terj. Abad Badruzzama (Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 14
[3] Hal ini dapat dilihat pada doa Nabi setiap selesai melaksanakan shalat sebagai mana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,  اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت ذا الجلال والإكرام , Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim; Bab Istihbab al Zikri Ba’da al Shalah (Riyadh: Dar Alam al Kutub, 1996), Jil. III, hal. 254.
[4] Lihat QS. Al Bayyinah : 5 dan lihat Abdurrahman Ahmad bin Syuaib al Nasa’I, Sunan al Nasa’I ; bab man Gaza Yaltamisu al Ajra wa al Dzikra (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1991), Jil. 10, hal. 204.
[5] Di antara janji Allah dapat dilihat pada salah satu hadis qudsi; قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الله أعددت لعبادي الصالحين ما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر فاقرءوا إن شئتم Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari; Ma Ja’a fi Shifat al Jannah (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1992), jil. XI, hal 22.
[6] Sekalipun demikian, tetapi ada beberapa ayat yang menunjukkan pentingnya niat dan keikhlasan dalam beramal.
[7] Misalnya QS. Al-Baqarah : 25 وَبَشِّرِ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ, Kemungkinan kata tersebut –niat- tidak disebutkan di dalam al-Qur'an tetapi langsung menyebutkan amal salih karena ada indikasi bahwa betapa pentingnya niat dalam beramal sehingga ia tidak dapat dipisahkan dari amal itu sendiri. Dan inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam sabdanya di atas.
[8]  Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Metode Takhrij Hadits (Thuruq Takgrij Hadits Rasulillah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam). Terj. HS. Agil Husain al Munawwar dan  H. Ahmad Rifqi Mukhtar (Semarang: Dina Utama, 1994), hal.14
[9] Secara etimologi kata "takhrij" berasal dari kata خرج – يخرج –تخريجا yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan, dan masih samar. Sedangkan secara terminologi, kata ini memiliki banyak definisi, antara lain : 1. menjelaskan hadis pada orang lain dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad hadis dengan menggunakanperiwayatan yang mereka tempuh. 2. mengeluarkan dan meriwayatkan hadis dari beberapa kitab. 3. menunjukkan asa-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrijnya dan menisbatkannya dengan cara menyebutkan metode periwayatan dan sanadnya masing-masing. 4. menunjukkan tempat hadis pada simber-sumber aslinya kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan. Akan tetapi pengertian takhrij yang digunakan untuk maksud kegiatan penelitian hadis adalah pengertian yang disebutkan terakhir. Berdasarkan pengertian tersebut, maka ada tiga hal yang mendasar dari pengertian tersebut, yaitu : pertama, kegiatan penelusuran suatu hadis untuk mengetahui tempat atau sumber-sumbersnya. Kedua, sumber-sumber pengambilan hadis itu merupakan sumber-sumber asli. Ketiga, hadis yang termuat dalam sumber-sumber yang asli itu dikemukakan secara lengkap sanad dan matannya. Lihat Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Jakarta; Renaisan' 2005), cet. I, hal. 71.
[10]  Lihat Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta; Amzah, 2008), cet. I, hal 117-118
[11] Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhzair fi al-Furu' (Semarang; Toha Putra, tt), hal. 6.
[12] Lihat Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari; Bad'u al-Wahyi (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1992), jil. XI, hal 22.
[13] Al-Bukhari, Op.Cit; al-Niyat fi al-iman,  jil. I, hal. 55  
[14] Masih ada riwayat al-Bukhari yang lain, yaitu riwayat yang terdapat pada bab ma ja'a inna al-a'mal bi al-niat, jil. III, hal. 132  , juga pada bab al-khatha' wa al-nisyan fi al-'itaqah wa al-thalaq, jil. IIV , hal. 22 , juga pada bab hijrat al-Nabi wa ashhabihi ila al-Madinah, jil. V, hal. 55, pada bab fi tarki al-hail, jil. VI, hal.  66
[15] Lihat Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim; Bab qauluhu innama al-a'mal bi al-niyat (Riyadh: Dar Alam al Kutub, 1996), Jil. II, hal. 59.
[16] Lihat Abu Isa Muhammad bin Isa bin saurah, Sunan al Turmudzi: Bab Ma Ja'a fi man Yuqatilu Riyaan wa li al-Duniya  (Beirut: Dar al Fikr, 1994), Jil. I, hal. 41
[17] Lihat Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud; Bab fima 'uniya bihi al-thalaq wa al-niyat (Himsh Suriah: Dar al Hadits, tt), jil. I, hal. 69.
[18] Lihat Abdurrahman Ahmad bin Syuaib al Nasa’I, Sunan al Nasa’I ; bab al-Niyat fi al-Wudhu (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1991), Jil. I, hal. 15, jil. XI, hal.   , jil. XII, hal.    .
[19] Lihat Abdurrahman Ahmad bin Syuaib al Nasa’I, Sunan al Nasa’I ; bab al-Niyat (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1991), Jil. I, hal. 15.
[20] Lihat Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, al Musnad; Musnad Ali bin Abi Thalib  (Riyadh: Maktabah al Turats al Islami, 1994), jil. II, hal. 79, 472, dan juga penulis perlu tambahkan bahwa dalam makalah ini sengaja penulis tidak menuliskan sanad dan matan secara lengkap dari masing-masing periwayatan tersebut, karena pertama, untuk menghemat penulisan, dan kedua, perawi-perawi tersebut akan disebutkan dalam skema hadis di atas.
[21] Secara bahasa, kata I'tibar yang berakar dari huruf 'ain, ba', dan ra' menunjukkan arti "menembus dan melewati sesuatu", lihat Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqayis al Lugah (al Iskandariah: Dar al Fikr, 1970), Cet. II, Jil. IV, hal. 207., sedangkan menurut istilah –banyak defenisi yang ditawarkan para ulama- seperti penjelasan Mahmud al-Thahhan bahwa I'tibar adalah menelusuri jalur-jalur sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu yang pada bagian sanadnya terdapat seorang periwayat saja untuk mengetahui apakah ada periwayat yang lain atau tidak ada (untuk bagian sanad yang dimaksud)., lihat Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits (Riyadh; Maktabah al-Ma'arif' 1987), cet. II, hal. 141.  
[22] Mutabi' dalam istilah ilmu hadis adalah adanya dukungan dari hadis yang lain berupa adanya perawi pada bagian periwayatan tertentu selain tingkatan sahabat, dengan kata lain mutabi'  مشاركة راو راويا آخر في رواية حديث عن شيخه أو همن فوقه من المشايخ . Lihat Arifuddin Ahmad, Op.Cit, hal. 132, Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits; Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut; Dar al-Fikr, 1989), hal. 366
[23] syahid adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang sahabat yang menyerupai riwayat yang disampaikan oleh sahabat yang lain baik dalam lafadz  dan atau makna. Lihat Arifuddin Ahmad, Op.Cit, hal. 132, Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Op.Cit, hal. 366
[24] Penulis sengaja tidak menulis biografi setiap perawi berdasarkan jalur sanadnya masing-masing, karena setelah memperhatikan semua jalur tampaknya sebagian besar perawi antara jalur dengan jalur lain sama. Sehingga dalam penyajian ini hanya disebutkan biografinya saja secara keseluruhan, namun ingin melihat kualitas dari masing-masing jalur maka cukup disesuaikan sanad tersebut dengan nama-nama perawi yang ada. Misalnya al-Bukhari meriwayatkan hadis tersebut dari enam jalur. Muslim dua jalur, Abu Daud juga dua jalur, al-Turmudzi hanya satu jalur, Ibnu Majah dua jalur, al-Nasa'I tiga jalur dan Ahmad bin Hanbal dua jalur. Untuk lebih jelasnya jalur-jalur tersebut dapat dilihat pada skema terlampir.
[25] Untuk lebih jelasnya mengenai biografi masing-masing perawi dapat dilihat pada kitab-katab rijalul hadits, misalnya Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi hatim al-Razi, Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil (Heiderabad; Dairah Ma'arif, 1952), cet. I atau Jamaluddin Abu Hujjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma'I al-Rijal (Beirut; Maushu'ah al-Risalah, 1985)
[26] Lihat Abdul mahdi bin Abdul Qadir bin al-Hadi, 'Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil Qawaiduhu wa Aimmatuhu (Beirut; Dar al-Fikri, 1998), cet. II, hal. 90.
[27] Al-Turmudzi, Op.Cit,
[28] Muhammad Mubarak al-Sayyid, Manahij al-Muhadditsin (Beirut; Dar-Fikr, 1998), cet. II, hal 137.
[29] Lihat Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al Mubarakfuri, Tuhfat al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi (Beirut: Dar al Fikr, 1995), jil. I, hal. 29
[30] Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih namun tidak mencapai derajat mutawatir. Terkadang pula istilah masyhur tidak tditerapkan karena jumlah perawinya akan tetapi terkait dengan ketenarannya di kalangan para ahli ilmu tertentu atau di tengah masyarakat. Dari segi ini maka hadis masyhur terbagi tiga; pertama, masyhur di kalangan muhadditsin dan lainnya. Kedua, masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu saja, misalnya ahli hadis atau iqih dan sebagainya. Ketiga, masyhur di kalangan orang0orang umum saja. Lihat Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis (Bandung; Alma'arif, 1974), cet. I, hal. 87-88
[31] Lihat Imam al Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al Nawawi (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiah, 2000), Jil. I, hal. 408.
[32] Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 88
[33] Shalahuddin ibnu Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan 'Inda Ulama' al-Hadits al-Nabawi, terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis (Ciputat; Gaya Media Pratama, 2004), hal. 4.
[34]  Syadz adalah kejanggalan ang terdapat di dalam suatu hadis, sehingga hadis syadz dipahami sebagai hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah juga.
[35] 'Illat secara bahasa berarti "cacat, penyakit, dan keburukan". Namun dalam istilah Ibnu Shalah, 'illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih. Lihat Abu Amr Utsman bin Abdurrahman Ibnu Shalah, 'Ulum al-Hadits (Madinah al-Munawwarah; al-Maktabah al-'Ilmiah, 1972), hal. 81.
[36] Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu'jam Maqayis al-Lughah (Beirut; Dar al-Fikr, tt), jil. V, hal. 366
[37] Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalani, Fath al Bari Syarh Sahih al Bukhari (Riyadh: Dar al Salam, 2000), jil.I, hal. 23.

[38] Lihat Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al Mubarakfuri, Tuhfat al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi (Beirut: Dar al Fikr, 1995), jil. I, hal. 29. dan Muhammad bin Abdul Baqi' al-Zarqani, Op.Cit,  jil. I, hal. 153.
[39] Abdul Aziz Muhammad 'Azzam, al-Qawa'id al-Fiqhiyah (Kairo; Dar al-Hadits, 2005), hal 82.

0 komentar:

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates