BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al A’malu shuwarun qaimatun wa arwahuhah wujudu sirri al
ikhlash fiha “amal perbuatan merupakan kerangka yang tegak sedangkan ruhnya
adalah adanya rahasia ikhlas dalam perbuatan tersebut”[1].
Demikian tulis Syekh Ahmad bin ‘Athaillah dalam kitabnya al Hikam. Dari
ungkapan di atas seakan menjelaskan bahwa untuk mencapai sebuah amal yang
bernilai tinggi maka perlu memperbaiki jiwa atau ruhnya yaitu ketulusan dan
keikhlasan. Hal ini pun menunjukkan bahwa keikhlasan merupakan barometer untuk
mengukur kualitas sebuah perbuatan.
Dan memang setiap perbuatan manusia pasti dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Ada
faktor dari dalam, ada pula yang dari luar. Faktor dari dalam bisa berupa
motivasi yang lahir dalam diri seseorang yang dapat menggerakkannya melakukan
sesuatu. Sedangkan faktor dari luar bisa berupa dorongan dari orang-orang yang
ada disekitarnya atau bisa juga berupa sasaran atau tujuan yang hendak dicapai.
Namun dari kedua hal tersebut tampaknya faktor dari luar merupakan “panglima
perang” atau penentu awal suatu kegiatan. Sebab motivasi dan semangat kerja
seseorang terkadang membara jika ada dorongan dari luar, khususnya yang terkait
dengan tujuan yang diinginkan. Sehingga dari tujuan itulah maka perbuatan
seseorang akan berbeda dengan perbuatan orang lain. Ada orang yang melakukan suatu pekerjaan
hanya berorientasi jangka pendek –mengejar kenikmatan sementara- dan ada pula
yang pekerjaannya diprioritaskan pada kenikmatan abadi. Akan tetapi diakui atau
tidak, tampaknya seluruh umat manusia sepakat bahwa tujuan dari segala kegiatan
dan perbuatan adalah mencapai kebahagiaan, atau dalam bahasa Ibnu Khazm,
seorang pemikir, psikolog dan sosiolog Islam bahwa tujuan yang dikejar-kejar
manusia adalah lepas dari penderitaan.[2]
Dan tentunya kebahagiaan abadi hanya milik Allah semata[3].
Sehingga setiap pekerjaan manusia hendaknya ditujukan kepada Allah semata.
Apatah lagi orientasi kegiatannya –khususnya seorang muslim- adalah ibadah.
Sementara syarat diterimanya ibadah adalah keikhlasan semata-mata kepada-Nya[4].
Dan keikhlasan itu sendiri sangat terkait dengan niat seseorang.
Akan tetapi, ibadah atau pekerjaan yang murni tertuju kepada
Allah tampaknya sangat sulit untuk diwujudkan sebab dalam diri manusia terdapat
dorongan naluri untuk mencari kenikmatan yang terkadang mengarah kepada
kenikmatan sementara. Dengan kata lain, tujuan atau unsur selain Allah masih
sering –jika tidak berani mengatakan selalu- menghiasi benak manusia itu
sendiri. Dari kenyataan seperti ini, maka terkadang muncul ungkapan yang
mengatakan bahwa betapa sulitnya masuk ke dalam surga, karena persyaratannya
sangat sulit dipenuhi. Atau pertanyaan yang berbunyi bagaimana posisi amal
seseorang yang dilakukan karena ingin membahagiakan orang tuanya, atau ingin
menghidupi keluarganya atau karena perbuatan tersebut memberi kontribusi yang
berarti bagi kehidupan masyarakat luas?. Atau bahkan ada yang mengatakan bahwa
jika seseorang tidak mampu memurnikan niatnya kepada Allah lebih baik ia
tinggalkan amal tersebut karena akhirnya akan tetap sia-sia.
Berdasarkan fenomena di atas maka penulis menyusun sebuah
makalah yang diharapkan dapat menyingkap makna, hakikat, bentuk, serta urgensi
niat, yang pada akhirnya “kegoncangan” pemahaman akan topik ini dapat teratasi
sehingga kita –umat beriman- dapat beramal dan berbuat dengan penuh semangat
karena kita yakin pada janji-Nya[5].
Hanya saja kajian ini, penulis batasi hanya dalam tinjauan
hadis Nabi khususnya pada sabda Beliau yang mengatakan innama al-a'malu bi
al-niyat (sesungguhnya amal itu karena niatnya). Apatah lagi memang
–sepanjang ingatan penulis- di dalam al-Qur'an tidak pernah disebutkan kata
niat secara langsung[6].
Tetapi hanya menyebutkan pentingnya amal salih dalam kehidupan[7].
Penulis pun berharap semoga makalah ini lahir karena ketulusan,
tumbuh karena kecintaan, dan mekar karena kebenaran. Akhirnya hanya sebuah doa
yang dapat mengawalinya, اللهم اجعل عملنا هذا
خالصا لوجهك و ابتغاء مرضاتك “Ya Allah, jadikanlah pekerjaan kami ini murni ikhlas pada-Mu
dan mengharapkan ridha-Mu”.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini, yaitu upaya memahami kedudukan dan urgensi niat dalam ibadah
sesuai dengan hadis Nabi khususnya hadis innama al-a'malu bi al-niyat,
maka permasalahan pokok yang akan diangkat sebagai
kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan berikut ini :
1.
Bagaimana takhrij dan i'tibar hadis tersebut?
2.
Bagaimana kualitas hadis tersebut, baik dari aspek
sanad maupun matannya?
3.
Bagaimana kedudukan dan urgensi niat dalam ibadah?
C. Metode Penelitian
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian hadis memeiliki
beberapa metode di antaranya melalui lafal pertama hadis, melalui lafal-lafal
yang terdapat dalam hadis, melalui perawi terakhir, melalui tema hadis, dan
melalui klasifikasi jenis hadis[8].
Hanya saja untuk makalah ini, penulis dalam mencari hadis hanya menggunakan
satu metode dari beberapa metode tersebut, yaitu melalui lafal-lafal yang terdapat
dalam matan hadis.
Pada awal penelitian hadis-hadis tersebut, penulis
menggunakan kitab-kitab takhrijul hadis, misalnya al mu’jam al mufahras dan
miftah kunuz al sunnah yang masing ditulis oleh Arnold John Wensick
(1939). Penulis pun tidak lupa menggunakan CD al maktabah al syamilah dan alfiyah al sunnah. Dari sanalah,
penulis menemukan beberapa hadis yang kemudian untuk memperjelasnya maka
penulis mencari hadis tersebut langsung pada kitab-kitab hadis standar –kutub
al-tis'ah.
Dalam penelitian ini pula, penulis tidak lupa membuka
beberapa kitab syarah hadis yang diharapkan mampu menyingkap tabir
rahsia yang terkandung di dalam hadis tersebut. Termasuk di antaranya fathul
bari sebagai
sarahnya sahih Bukhari, uhfatul ahwadz sebagai syarahnya sunan al-Turmudzi dan
kitab-kitab syarah yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Takhrij Hadis
Dalam penelitian hadis, langkah awal yang mesti
dilakukan adalah takhrij al-hadits (takhrij)[9].
Karena dengannyalah sehingga seorang peneliti hadis dapat mengetahui eksistensi
suatu hadis apakah benar bahwa hadis yang ingin diteliti terdapat dalam
buku-buku hadis atau tidak. Peneliti juga dapat mengetahui sumber otentik suatu
hadis dari buku hadis apa saja didapatkan, serta dapat mengetahui tempat hadis
tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam kitab-kitab hadis. Dan yang lebih
penting dengan takhrij, peneliti dapat mengetahui kualitas hadis (diterima atau
ditolak)[10].
Karena pengetahuan tersebut sangat berpengaruh dalam kehujjaan suatu hadis
sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Sehubungan dengan judul makalah ini –"niat
dalam perspektif hadis Nabi; kajian analisis tematik terhadap hadis innama
al-a'malu bi al-niat"-, penulis –setelah mencari hadis berdasarkan
metode lafal melalui kitab al-Mu'jam al-mufahras li alfadhzi al-hadits
dan miftah kunuzi al-sunnah dengan lafal العمل , الأعمال , النية , dan النيات
- menemukan bahwa
hadis tersebut diriwayatkan oleh masing-masing perawi kutub al-tis'ah kecuali
Imam Malik ra. dan Imam al-Darimi. Hanya saja Imam Malik sekalipun ia tidak
sebutkan dalam kitabnya al-Muwattha' namun ia pun sebenarnya termasuk
salah seorang perawi dalam rentetan sanad yang disebutkan oleh Imam al-Bukhari.
Hal inilah –mungkin- yang menyebabkan sebagian ulama merasa heran dengan Imam
Malik[11].
Misalnya saja al-Bukhari meriwayatkan hadis
tersebut dengan lafal :
حدثنا الحميدي عبد الله بن
الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيم
التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول
سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر
قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها
فهجرته إلى ما هاجر إليه[12]
Bahkan bukan hanya riwayat di atas,
al-Bukhari pun meriwayatkan dengan lafal yang sedikit berbeda tetapi maknanya
tetap sama, yaitu :
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا
عبد الوهاب قال سمعت يحيى بن سعيد يقول أخبرني محمد بن إبراهيم أنه سمع علقمة بن وقاص
الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول إنما الأعمال بالنية وإنما لامرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته
إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر
إليه[13]
Letak perbedaannya terdapat pada kata niat,
riwayat yang pertama menggunakan bentuk jama' (plural) sementara riwayat
yang kedua menggunakan bentuk mufrad (tunggal). Demikian pula pada kata
menikahi, riwayat pertama menggunakan lafal ينكحها sementara yang kedua يتزوجها .[14]
Hadis di atas juga
diriwayatkan oleh Imam Muslim pada kitab al-imarah bab qauluhu innama
al-a'mal bi al-niyat dengan lafal yang sama dengan riwayat yang kedua di
atas.[15] Juga diriwayatkan oleh
al-Turmudzi pada sunannya kitab fadhail al-jihad 'an Rasulillah dengan
lafal sama dengan Muslim.[16] Sementara Imam Abu Daud
dalam sunannya kitab al-Thalaq bab fima 'uniya bihi al-thalaq wa
al-niyat dengan lafal niat dalam bentuk jama' dan kata يتزوجها .[17] Imam al-Nasa'I pun
meriwayatkannya dalam sunannya kitab al-thaharah bab al-niyat fi
al-wudhu, kitab al-thalaq bab al-kalam idza qashuda bihi fima
yuhtamalu ma'nahu dan kitab al-aiman wa al-nudzur bab al-niyat fi
al-yamin dengan lafal yang sama dengan riwayat Bukhari yang kedua di atas.[18] Kemudia juga Imam Ibnu
majah meriwayatkannya dalam sunannya kitab al-Zuhd bab al-niyat.[19]
Demikian pula dengan Imam Ahmad, ia riwayatkan dalam musnadnya pada bab awwalu
musnad Umar bin Khattab dengan lafal niat mufrad namun kata menikah
menggunakan ينكحها .[20]
B.
I'tibar Hadis
Setelah kegiatan takhrij hadis dilakukan,
langkah selanjutnya adalah melakukan I'tibar al-hadits[21].
Hal ini dimaksudkan, agar dapat terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis
yang diteliti, nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan
masing-masing periwayat yang bersangkutan. Apatah lagi kegunaan I'tibar adalah
untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dari ada atau tidak adanya
pendukung, baik berupa mutabi'[22] maupun syahid[23].
Terkait dengan hadis di
atas, tidak ditemukan adanya syahid baik syahid bil lafzhi maupun
bil ma'na. karena rentetan sanad hadis tersebut semuanya diriwayatkan
dari Umar bin Khattab saja, bahkan dengan memperhatikan semua jalur sanad maka
tampak bahwa percabangan sanad –baru terdapat jalur yang banyak- terjadi
setelah Yahya bin Sa'id. Adapun mutabi'-nya, ditemukan banyak riwayat
yang saling mendukung satu sama lain. Misalnya saja riwayat al-Bukhari memiliki
beberapa jalur di bawah Yahya bin Sa'id. Demikian pula pada perawi-perawi yang lain.
Untuk lebih jelasnya, penulis menyarankan untuk melihat skema sanad sebagaimana
terlampir.
C.
Kritik Sanad Hadis
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian
hadis meliputi bagian sanad dan matan. Karena kesahihan hadis tidak terbatas
pada sanadnya saja, akan tetapi matan pun memiliki peranan penting di dalamnya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui kualitas hadis di atas maka perlu dilihat
dari dua aspek, sanad dan matan.
Adapun kajian sanadnya
diawali dengan penjelasan biografi serta pendapat para kritikus hadis mengenai
perawi-perawi hadis[24]
tersebut yang dapat dilihat sebagai berikut :
1.
Umar bin Khattab[25]
Nama lengkapnya adalah
Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul 'Uzza bin Rayyah bin Abdullah bin Qarth
bin Razzah bin 'Adiy al-Qurasyi al-'Adawi Abu Hafsh Amirul mu'minin. Ia
dilahirkan –menurut salah satu pendapat- sekitar sebelas tahun setelah tahun
gajah. Ia termasuk salah seorang pemuka Quraisy sekaligus sahabat Nabi yang
dimuliakan. Bagaimana tidak? Sejak memeluk Islam, ia mengabdikan hidupnya hanya
untuk pengembangan dan kejayaan Islam. Bahkan disebutkan dalam salah satu hadis
riwayat Ibnu Umar bahwa Rasulullah memukul-mukul dada Umar bin Khattab lalu
sambil mendoakannya : اللهم
أخرج ما في صدره من غل وأبدله إيمانا (Ya Allah keluarkan segala
kedengkian yang ada di dalam hatinya, serta gantikanlah dengan keimanan).
Banyak literatur dan keterangan yang menunjukkan kemuliaan Umar, di antaranya
adalah kepercayaan masyarakat menyetujuinya menjadi khalifah yang kedua setelah
meninggalnya sayyidina Abu Bakar as-shiddiq. Namun karena musibah yang
menimpanya sehingga ia terbunuh dan wafat pada hari rabu di empat hari terakhir
Zulhijjah tahun 23 H.
2.
'Alqamah bin Waqqash
Nama lengkapnya adalah
'Alqamah bin Waqqash bin Muhshin bin Kildah al-Laitsi al-'Atwari al-madani. Ia
termasuk dalam tingkatan kibar al-Tabi'in. Muhammad bin Sa'ad
mengomentari bahwa 'Alqamah hanya memiliki sedikit hadis, ia tinggal di
Madinah. Di sana
ia memiliki banyak peninggalan –khususnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan.
Ia wafat pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan yaitu sekitar tahun 86
H. Di antara gurunya adalah Bilal bin Harits, Umar bin Khattab dan Amr bin Ash.
Adapun di antara muridnya adalah anaknya sendiri (Abdullah bin 'Alqamah),
Muhamad bin Ibrahim, Muhammad bin Muslim. Ia termasuk ulama yang dihormati
sebagaimana pengkategorian para kritikus terhadapnya, di mana mereka –misalnya
al-nasa'I, Ibnu Hajar dan al-Dzahabi- memasukkannya dalam kategori ثقة .
3.
Muhammad bin Ibrahim
Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Ibrahim bin harits bin Khalid al-Qurasyi at-Taimi Abu Abdillah
al-Madani. Kakeknya yang bernama Harits bin Khalid termasuk al-Muhajirin
al-awwalin (golongan sahabat yang pertama kali hijrah) sekaligus termasuk
sepupu abu Bakar. Ia –Muhammad- termasuk dalam golongan ulama tingkatan di
bawah وسطى التابعين , wafat di Madinah pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul
Malik sekitar tahun 120 H. di antara gurunya adalah Usamah bin Zaid, Anas bin
Malik, dan 'Alqamah bin Waqqash. Sementara muridnya adalah Humaid bin Qaish
al-A'raj, Abdullah bin Thawus, dan Yahya bin Sa'id. Para kritikus hadis
–termasuk di antaranya Ishaq bin Manshur, Yahya bin Mu'in dan al-Nasa'i-
mengganggapnya ثقة
, sekalipun
Ahmad bin Hanbal mengomentarinya dengan mengatakan bahwa ia terkadang
meriwayatkan beberapa hadis mungkar, atau dalam istilah yang lain ia tergolong ثقة له أفراد .
4.
Yahya bin Sa'id
Nama lengkapnya adalah
Yahya bin Sa'id bin Qais bin Amr bin Sahl al-Anshari al-Najjari Abu Sa'id
al-madani Qadhi Madinah. Ia termasuk
dalam tingkatan صغار التابعين
. tidak ada keterangan –sepanjang pengetahuan penulis- yang menunjukkan
kapan ia dilahirkan, hanya disebutkan ia wafat di daerah Hasyimiah pada tahun
144 H. di antara gurunya adalah Anas bin Malik, Sa'id bin Musayyab, dan
Muhammad bin Ibrahim. Adapun murid-muridnya, di antaranya adalah Hammad bin
Zaid, Sufyan bin 'Uyainah, Sufyan al-Tsauri, Abdul Wahab al-Tsaqai, dan Malik
bin Anas. Para kritikus hadis memberikan
penilaian yang baik kepadanya, misalnya saja al-nasa'I menganggapnya ثقة ثبت ورجل صالح , Ahmad bin Hanbal
mengkategorikannya sebagai اثبت
الناس ,
dan komentar-komentar yang lain yang menunjukkan ketinggian derajat dan
kemuliaan Yahya bin Sa'id di mata para ulama hadis.
5.
Malik bin Anas
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amir al-Ashbani, Imam Madinah dan salah seorang dari empat Imam
di kalangan Ahlu Sunnah. Dia berguru pada Nafi' Maula Ibnu Umar, Zuhri, Rabiah
ar-Ra'yi, Abu Zinad, dan lainnya. Imam Malik terkenal sangat hati-hati dalam
hal kepada siapa dia mengambil ilmu, dalam mengambil riwayat hadis, dan dalam
memberi fatwa. Fiqihnya terkenal dengan mengikuti al-Qur'an, Sunnah dan amalan
penduduk Madinah. Imam Malik mempunyai karisma yang tinggi, dia berpegang teguh
pada prinsipnya, sehingga gubernur Madinah pernah mencambuknya antara 30 sampai
100 kali karena dia menolak memberi fatwa dengan jatuhnya talak yang
dipaksakan. Keagungannya dapat terlihat pada perkataan Imam ahmad bin Hanbal مالك أثبت في كل شيئ
dan komentarnya Muhammad bin Sa'ad ثقة مأمون ثبت حجة . Imam Malik
lahir di Madinah pada Tahun 93 H dan waat pada tahun 179 H di Madinah.
6.
Sufyan bin 'Uyainah
Nama lengkapnya adalah Sufyan bin 'Uyainah bin Abi
Imran Maimun al-Hilali Abu Muhammad al-Kufi al-Makki. Ia lahir pada tahun 107
H, dan tumbuh sebagai anak yang gemar menuntut ilmu hingga ia terkenal ke
seantaro hijaz, bahkan Imam Syafi'i sempat mengatakan bahwa sekiranya bukan
karena Imam Malik dan Sufyan bin 'Uyainah maka pasti akan lenyap ilmu dari
Hijaz. Ia termasuk dalam tingkatan الوسطى
من أتباع التابعين . Muhammadn bin Umar mengatakan bahwa Sufyan wafat pada
hari sabtu di bulan Rajab tahun 198 H dan dimakamkan di Hujun. Di antara
gurunya adalah Adam bin Sulaiman, Yahya bin Zaid dan Ibrahim bin Amir,
sementara murid-muridnya, di antaranya Aswad bin Amir, Muhammad bin katsir dan
al-Humaidi. Betapa banyak komentar para ulama mengenai dirinya, di mana semua
komentar tersebut saling menegaskan kemuliaan dan keagungan Sufyan bin Uyainah.
Sebagai contoh, Ali bin al-Madini mengatakan bahwa tidak ada murid al-Zuhri
yang lebih sempurna selain Sufyan bin 'Uyainah. Demikian pula Ibnu Hajar mengkategorikannya sebagai
ثقة حافظ فقيه إمام حجة إلا أنه تغير حفظه بأخرة . و كان ربما دلس لكن عن الثقات
7.
Hammad bin Zaid
Nama lengkapnya adalah
Hammad bin Zaid bin Dirham al-Azdi al-Jahdami Abu Ismail al-Bashri al-Azraq. Ia
dilahirkan sekitar tahun 98 H. dan wafat pada tahun 179 H. ia tergolong dalam
tingkatan الوسطى من اتباع
التابعين ,
di antara gurunya adalah Yahya bin Sa'id, al-Walid bin Dinar, dan Yazid bin
Hazim. Adapun muridnya, termasuk di antaranya adalah Sufyan al-tsauri, Sufyan
bin 'Uyainah dan Musaddad. Ia termasuk ulama yang dikagumi, hal itu tergambar
dari pernyataan Abdurrahman bin Mahdi bahwa, "saya tidak pernah menemukan
orang yang lebih faqih dari Hammad di Bashrah, atau pernyatan Yazid bin
Zurai' bahwa Hammad termasuk اثبت في الحديث , demikian ulama yang lain menyebutnya sebagai ثقت
ثبت .
8.
Abdul Wahab
Nama lengkapnya adalah Abdul Wahab bin Abdul Majid
bin Shalt bin Ubaidillah bin Hikam bin Abi Ash al-Tsaqafi Abu Muhammad
al-Bashri. Kakeknya yang bernama Hikam merupakan saudara Utsman bin Abu Ash. Ia
dilahirkan sekitar tahun 108 H. dan wafat pada tahun 194 H, termasuk dalam tabaqat الوسطى
من التابعين dan tumbuh sebagai
seorang ulama besar yang banyak menerima ilmu dari guru-gurunya. Di antaranya
Daud bin Abi Hindi, Abdullah bin Aun, dan Yahya bin Said. Banyak pula orang
yang dating menimba ilmu darinya, termasuk di antaranya Hasan bin Arafah,
Humaid bin Mus'adah dan Qutaibah bin Said. Ulama Kritikus hadis
mengkategorikannya sebagai ulama tsiqah, hanya saja ketsiqahannya
berubah sekitar tiga tahun sebelum wafatnya. Namun terlepas dari itu semua, ia
tetap dikagumi oleh para ulama. Misalnya saja pernyataan Yahya bin Mu'in
bahwasanya Hammad adalah ثقة , dan terkait dengan kajian hadis ini
cukuplah pernyataan Ali bin al-Madini yang menguatkannya ليس فى الدنيا كتاب عن يحيى
أصح من كتاب عبد الوهاب ، و كل كتاب عن يحيى فهو عليه كل ـ يعنى كتاب عبد الوهاب ـ
9.
Sufyan al-Tsauri
Nama lengkapnya adalah
Sufyan bin Sa'id bin Masruq al-Tsauri Abu Abdillah al-Kufi. Menurut salah satu
keterangan dari Ahmad al-'Ajali bahwa al-Tsauri dilahirkan pada tahun 97 H. dan
wafat di Bashrah pada tahun 162 H, termasuk dalam kelompok
كبار اتباع التابعين . di antara gurunya adalah Ibrahim bin Uqbah, Ismail bin Abi
Khalid, dan Yahya bin Sa'id. Adapun murid-muridnya, di antaranya Ibrahim bin
Sa'ad, Ja'far bin Burqan dan Muhammad bin Katsir. Banyak pernyataan ulama yang
menunjukkan kemuliaan dan keagungannya, sebagai contoh ungkapan sebagian besar
kritikus hadis bahwa سفيان أمير المؤمنين فى الحديث , atau
Abdullah bin Daud mengatakan ما رأيت أفقه من سفيان . jadi pada dasarnya semua ulama
menganggapnya sebagai ثقة حافظ .
10.
Laits bin Sa'ad
Nama lengkapnya adalah
Laits bin Sa'ad bin Abdurrahman al-Fahmi Abu Harits al-Mashr. Lahir pada hari
kamis 14 Sya'ban 94 H di daerah Qaraqsyindah sekitar 4 farsakh dari Mesir, dan
wafat pada tahun 177 H. ia tergolong dalam kelompok كبار
التابعين , ia pernah berguru
kepada Ja'far bin Rabi'ah, Harits bin Tsauban dan Yahya bin bin Sa'id. Sementara
murid-muridnya, di antaranya Hajjaj bin Muhammad, Said bin katsir dan Muhammad
bin Ramh. Ia dianggap oleh ulama hadis sebagai ثقت
ثبت , hal itu terlihat dari
ungkapan Ahmad bin Hanbal bahwa Laits adalah صحيح
الحديث وكان كثير العلم ,
demikian pula dengan Yahya bin Muin yang mengkategorikannya sebagai ثقة .
11.
Yazid bin Harun
Nama lengkapnya adalah
Yazid bin Harun bin Zadzi bin Tsabit al-Sulami Abu Khalid al-Washithi,
dilahirkan pada tahun 117 H dan wafat pada tahun 206 H serta termasuk kelompok صغار
اتباع التابعين . gurunya adalah Israil bin Yunus,
Sufyan al-Tasuri dan Yahya bin Said. Sementara muridnya adalah Ahmad bin
Hanbal, Sufyan bin Waki' dan Ali bin al-madini. Imam Ahmad bin hanbal
menyebutnya كان حافظا متقنا للحديث sementara Yahya bin Muin mengatakan bahwa ia termasuk ثقة , bahkan
setelah melihat beberapa pernyataan ulama maka dapat dipastikan bahwa ia
tergolong ثقة متقن.
12.
Abdullah bin Maslamah
Nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab al-Qa'nabi al-Haritsi Abu Abdirrahman
al-Madani. Tidak ada keterangan mengenai waktu kelahirannya namun diketahui
bahwa ia wafat di Mekah pada tahun 221 H. dan termasuk dalam golongan صغار
اتباع التابعين . ia pernah
berguru pada Hammad bin zaid, Hatim bin Ismail dan Malik bin Anas. Sedangkan
murid-muridnya adalah al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan al-Nasa'i. Ia dianggap
oleh Ahmad bin Abdullah al-Ajali sebagai بصرى ، ثقة ، رجل صالح , Abu Hatim mengkategorikannya sebagai ثقة
حجة . dan bisa disimpulkan
bahwa ia memang termasuk ulama tsiqah.
13.
Abdullah al-humaidi
Nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Zubair bin Isa bin Ubaidillah al-Qurasyi al-Asadi Abu baker
al-Humaidi al-Makki. Tergolong dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع , ia wafat di Mekah pada tahun 219 H.
guru-gurunya, di antaranya Sufyan bin Uyainah, Muhammad bin Idris al-syafi'I,
dan Marwan bin Mu'awiyah. Adapun muridnya, di antaranya al-Bukhari, Muhammad
bin Yunus al-nasa'I, dan lainnya. Para
kritikus hadis menyebutnya sebagai ثقة
حافظ ,
hal ini terbukti dari ungkapan Abu Hatim أثبت الناس فى ابن عيينة الحميدى
، و هو رئيس أصحاب ابن عيينة ، و هو ثقة إمام , dan masih banyak komentar yang lain yang mengarah kepada
pujian untuknya.
14.
Ibnu al-qasim
Nama lengkapnya adalah
Abdurrahman bin al-qasim bin Khalid bin Junadah al-Utqah Abu Abdillah
al-Mashri, lahir pada tahun 128 H. dan wafat pada tahun 191 H. termasuk dalam
kelompok كبارالآخذين عن تبع الأتباع .guru-gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Malik bin Anas dan
Nafi' bin Abdurrahman. Sedangkan murid-muridnya adalah Harits bin Miskin dan
Yahya bin Abdullah bin Bukair. Ia dikategorikan oleh para kritikus hadis
sebagai tsiqah, sebagaimana pernyataan Abu Zur'ah mengenai dirinya bahwa
Ibnu al-Qasim ثقة رجل صالح , al-nasa'I menyebutnya dengan ثقة
مأمون أحد الفقهاء , dan
beberapa komentar-komentar yang lain.
15.
Musaddad
Nama lengkapnya adalah
Musaddad bin Masarhad bin Masrabil al-asadi Abu Hasan al-Bashri. Tidak ada
keterangan yang jelas mengenai kapan ia dilahirkan, namun hanya disebutkan
bahwa ia wafat pada tahun 228 H di Bashrah, dan ia masuk dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . di antara gurunya adalah Umayyah bin
Khalid, Hammad bin zaid dan Sufyan bin Uyainah. Sedangkan orang yang pernah
berguru padanya adalah al-Bukhari, Abu Daud dan Abu Zur'ah. Para
kritikus hadis menyebutnya dengan tsiqah hafidhz, ini terlihat dari
pernyataan Abu Hatim ketika ditanya mengenai Musaddad bahwa كان
ثقة , demikian pula penilaian
Yahya bin Muin dan al-Nasa'i.
16.
Yahya bin hubaib
Nama lengkapnya adalah
Yahya bin Hubaib bin Arabi al-Haritsi Abu Zakaria al-Bashri. Tergolong dalam
tingakatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع , ia tinggal di Bashrah dan wafat di sana pada tahun 248 H. nama gurunya yaitu
Khalid bin Harits, Hammad bin zaid dan Abdul Wahab al-Tsaqafi. Adapun muridnya
termasuk al-jama'ah selain al-Bukhari. Abu hatim menganggapnya صدوق , al-Nasa'I
menyebutnya dengan ثقة مأمون , demikian pula ulama-ulama yang lain menganggapnya dengan yang
serupa dengan itu.
17.
Abu Nu'man
Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Fadhl al-Sadusi Abu Nu'man al Bashri dikenal dengan sebutan 'Arim.
Ia termasuk dalam tingkatan من صغار أتباع التابعين
, ia tinggal di Bashrah dan waat di sana
pada bulan Safar tahun 224 H. di antara gurunya ada yang bernama Hammad bin
zaid, Abdullah bin al-Mubarak dan Mahdi bin Maimun. Sedangkan murid-muridnya,
di antaranya Ahmad bin Sa'id al-Darimi, Ahmad bin Hanbal dan Abu Zur'ah.
Al-Bukhari menyebutnya تغير في آخر عمره , hanya
saja, sekalipun demikian ia tetap dikategorikan sebelumnya sebagai ثقة .
18.
Qutaibah bin Sa'id
Nama lengkapnya adalah
Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif bin Abdullah al-Tsaqafi Abu Raja'
al-Balkhi al-Buglani. Ada
yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah yahya bin Sa'id sedangkan
Qutaibah hanya merupakan laqab untuknya. Lahir pada tahun 148 H dan
wafat pada tahun 240 H. termasuk dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . Banyak komentar dari para kritikus hadis
namun dapat disimpulkan bahwa ia tergolong ulama yang ثقة
ثبت , hal ini tampak dari
pernyataan Yahya bin Muin, al-nasa'I, abu Hatim al-Razi dan Ibnu Hibban.
19.
Muhammad bin Katsir
Nama lengkapnya adalah Muhammad
bin Katsir al-Abdi Abu Abdillah al-Bashri saudara Sulaiman bin Katsir.
Dilahirkan pada tahun 133 H dan wafat tahun 223 H sehingga pada hari
kematiaannya ia berusia 90 tahun., tergolong dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . ia pernah berguru kepada Sufyan
al-Tsauri, Hammam bin Yahya dan Israil bin Yunus. Adapun murid-muridnya,
termasuk al-Bukhari, abu Daud dan Ali bin al-Madini. Ulama kritikius hadis
memiliki komentar yang berbeda, misalnya Yahya bin Muin mengatakan bahwa لا تكتبوا عنه ، و قال : لم
يكن بالثقة , Ibnu Qani'
menganggapnya ضعيف, Abu Hatim menggolongkannya sebagai صدوق , akan tetapi Ibnu Hibban menyebutnya
dalam tingkatan ثقة . hanya saja setelah memperhatikan beberapa kaidah yang terkait
dengan kontradiksi pendapat ulama dalam men-jarah dan men-Ita'dil seseorang
termasuk di antaranya adalah kaidah الجرح
اذا كان مفسرا فهو مقدم على التعديل (apabila kelemahannya dijelaskan maka itu
didahulukana daripada kejujurannya), إذا كان المعدلون اكثر
او احفظ فهو عدل والا فهو مجروح
(apabila yang menilainya adil/baik lebih banyak atau lebih hafidhz maka
rawi tersebut adil, tetapi bila sebaliknya maka tentunya dia juga lemah)[26].
Dari kaidah tersebut, penulis berkeyakinan bahwa Muhammad bin Katsir tetap
tergolong ثقة
.
20.
Muhammad bin Ramh
Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Ramh bin Muhajir bin Muharrar bin Salim al-Tajibi Abu Abdillah
al-Mashri, termasuk dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع. Tidak ada keterangan pasti kapan ia
lahir, namun disebutkan bahwa ia wafat sekitar tahun 242 H. ia pernah berguru
pada Nu'aim bin Hammad, Abdullah bin Lahi'ah dan Laits bin Sa'ad. Sedangkan
murid-muridnya yaitu Muslim, Ibnu Majah dan Nashir bin Munzir al-nasafi. Ia
dinilai baik oleh para kritikus hadis, hal itu terlihat dari ungkapan Ali bin
Husain bin Junaid كان رجلا ، و كان أوثق من ابن زغبة , atau Abu Sa'id bin Yunus menyebutnya ثقة ثبت فى الحديث , demikian pula Ibnu Hibban yang
menmasukkan namanya dalam kitab الثقات .
21.
Muhammad bin al-Mutsanna
Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Mutsanna bin Ubaid bin Qais bin Dinar al-Unza Abu Musa al-Bashri,
lahir pada tahun 167 H dan wafat 252 H serta termasuk dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . ia pernah belajar pada Ahmad bin Sa'id
a-Darimi, Sufyan bin Uyainah dan Abdul Wahab al-Tsaqafi. Sedangkan orang yang
pernah berguru darinya termasuk Jama'ah. Ia dikategorikan sebagai ulama
yang tsiqah sebagaimana pernyataan para kritikus hadis di antaranya
Yahya bin Muin, Abu Hatim dan lainnya. Bahkan Abu 'Arwabah al-Harani mengatakan
ما رأيت
بالبصرة أثبت من أبى موسى ، و يحيى بن حكيم .
22.
Abu Bakar
Nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman bin Khawasiti al-Absi Abu Bakar
bin Abi Syaibah. Tidak akda keterangan mengenai kapan ia dilahirkan namun
disebutkan bahwa ia wafat pada tahun 235 H dan tergolong dalam tingakatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . ia pernah belajar pada Zakaria bin
'Adiy, Sufyan bin Uyainah dan Yazid bin Harun. Adapun orang-orang yang pernah
belajar darinya adalah al-bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu daud. Ia
dimasukkan dalam kategori ulama yang ثقة sebagaimana
pernyataan para kritikus hadis. Misalnya Abu Hatim al-Ajali, Yahya bin Muin dan
Ahmad bin Hanbal.
23.
Amr bin Manshur
Nama lengkapnya adalah
Amr bin Manshur al-Nasa'I kuniahnya adalah Abu Sa'id. Tidak ada keterangan
mengenai kapan ia lahir dan wafat, namun disebutkan bahwa ia tergolong dalam
tingkatan أوساط الآخذين عن تبع الأتباع . tetapi sekalipun keterangan mengenai dirinya sangat kurang
ditemukan namun kritikus hadis tetap menilaianya baik, sebagaimana ungkapan
al-Nasa'I bahwa ia ثقة ، مأمون ، ثبت
.
24.
Harits bin Miskin
Nama lengkapnya adalah
Harits bin Miskin bin Muhammad bin Yusuf al-Umawi Abu Amr al-mashri al-Faqih.
Lahir pada tahun 154 dan wafat pada tahun 250, serta termasuk dalam tingkatan كبارالآخذين عن تبع الأتباع . ia pernah belajar pada Sufyan bin
Uyainah, Abdurrahman bin Qasim dan Ishaq bin Bakr. Adapun orang yang pernah
berguru darinya Abu Daud, Al-Nasa'I dan Ya'kub bin Yusuf al-Bukhari. Ia
mendapatkan penilaian yang baik dari para kritikus hadis, misalnya al-nasa'I
yang merupakan salah seorang muridnya mengatakan bahwa Harits adalah ulama yang
ثقة و مأمون
, sementara Yahya bin Muin menyebutnya لا
بأس به , begitu pula dengan
Ahmad bin Hanbal ketika ia mengomentari Harits, ia berkata ما بلغنى عنه إلا خيرا .
Setelah
melihat biografi para perawi hadis dalam semua rentetan sanad yang ada maka
penulis menyimpulkan bahwa jalur sanad baik melalui al-Bukhari, Muslim,
al-Turmudzi, al-Nasa'I, Ibnu Majah, Abu Daud maupun Ahmad bin Hanbal semuanya
memiliki kualitas sanad yang sahih, sekalipun di antara perawi tersebut ada
yang dinggap memiliki kekurangan –misalnya Muhammad bin Ibrahim al-Taimi yang
dianggap terkadang meriwayatkan hadis mungkar atau Muhammad bin Katsir- namun
keterangan tersebut tidak sampai menyebabkan kualitas sanad hadis di atas ikut
lemah karena ternyata semua kritikus hadis tetap mengkategorikan mereka sebagai
orang yang tsiqah sehingga sekali lagi hadis tersebut memiliki kualitas
sanad yang sahih.
Hanya saja,
al-Turmudzi ketika meriwayatkan hadis di atas ia mengomentari bahwa kualitasnya
adalah حسن صحيح[27]
, namun perlu dipahami bahwa satu-satunya ulama hadis yang memiliki istilah
"lain daripada yang lain" adalah Imam al-Turmudzi. Misalnya saja
istilah hasan gharib atau hasan shahih dan sebagainya. Terkait dengan
hadis tersebut yang ia sebutkan sebagai hasan sahih, memang para ulama dalam
memahami maksud dari ungkapan al-Turmudzi tersebut berbeda-beda. Ada yang menganggap bahwa
ketika al-Turmudzi menyebut hasan shahi maka maksudnya adalah hadis
tersebut matannya berkualitas hasan sementara sanadnya sahih. Atau
hadis tersebut memiliki beberapa riwayat, salah satu jalurnya hasan dan
yang lain sahih. Akan tetapi penulis lebih memahami makna ungkapan
tersebut –sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Abdul Razaq Hamzah- sebagai
sebuah pernyataan al-Turmudzi yang melihat istilah hasan lebih umum daipada
sahih. Sehingga terkadang ia sebutkan bersamaan, terkadang pula
ia pisahkan. Karena istilah hasan memiliki makna diterima dan diamalkan
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik bahwa demikian itulah yang diamalkan
dinegeri kami. Sedangkan hadis sahih yang tidak diamalkan karena suatu sebab
tertentu maka al-turmudzi hanya menyebutnya dengan kata sahih saja[28].
Apatah lagi Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al-Mubarakfuri ketika
mensyarah hadis di atas menjelaskan bahwa semua ulama sepakat akan kesahihannya[29].
Bila memperhatikan semua
jalur riwayat di atas, dapat dikatakan bahwa hadis tersebut hanya tergolong
sebagai hadis masyhur[30]
saja karena syarat mutawatir tidak terpenuhi –termasuk di antaranya memiliki
banyak periwayat dari masing-masing tingkatan. Dan kemasyhurannya itu dikenal
oleh para ulama baik muhadditsin maupun fuqaha[31].
Hanya saja bila melihat kembali sanad-sanad hadis di atas maka mungkin ada
benarnya apa yang disebutkan oleh Fatchur Rahman ketika menjelaskan kualitasnya
sebagai hadis gharib pada awalnya namun masyhur pada akhirnya[32].
D.
Kritik Matan Hadis
Setelah penelitian sanad, langkah selanjutnya
yang akan dilakukan adalah kritik matan. Hal ini dilakukna karena terkadang ada
riwayat yang tidak bisa kita bayangkan berasal dari Nabi SAW, sehingga para
ulama menolaknya, tanpa menghiraukan kualitas sanadnya. Bahkan ada riwayat yang
ditolak, meskipun sanadnya shahih. Inilah yang dikatakan dengan kritik matan
(kritik intern)[33].
Dalam peneltian matan ini, setidaknya ada
tiga langkah yang mesti dilakukan, yaitu pertama, meneliti matan hadis
dengan melihat kualitas sanadnya. Kedua, meneliti susunan matan hadis
yang semakna. Ketiga, meneliti kandungan matan hadis. Dan adapun tolak
ukur atau kriteria kesahihan matan ada dua, yaitu tidak mengandung syadz[34] dan illat[35].
Kaitannya dengan matan hadis di atas, bila
ditinjau dari kualitas sanadnya maka dikatakan bahwa penelitian tersebut sudah
bisa dilanjutkan untuk langkah yang kedua, karena semua perawi hadis di atas
termasuk orang yang 'adil dan tsiqah. Apatah lagi awal penelitian
matan memang harus berangkat dari sanad hadis yang jelas-jelas telah memenuhi
syarat kesahihan. Dan hal itu telah terpenuhi pada sanad di atas.
Bila diperhatikan seluruh jalur sanad yang
ada, maka akan ditemukan bahwa riwayat tersebut memiliki periwayatan bil
ma'na karena ada beberapa jalur yang matannya ada –sedikit- perbedaan.
Misalnya saja salah satu riwayat al-Bukhari :
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمـن كانت هجرته إلى دنيا
يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Lafal tersebut agak berbeda dengan riwayat
al-nasa'I sebagai berikut :
إنما الأعمال بالنية وإنما لامرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله
فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما
هاجر إليه
Hanya
saja setelah memperhatikan kedua atau beberapa riwayat tersebut, penulis
berkesimpulan bahwa perbedaan tersebut bukanlah suatu perbedaan yang
menyebabkan kualitas hadis al-Nasa'i di atas menurun. Karena sekalipun berbeda lafal namun makna tetap sama dan sesuai.
Oleh
karena itu, matan hadis di atas tetap dikategorikan sahih.
Bila ditinjau dari kandungan matan hadis, maka hadis di atas tidak
memiliki pertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, baik al-Qur'an maupun
hadis. Karena memang Islam
dating dengan mengingatkan kepada seluruh manusia untuk senatiasa menyembah dan
beribadah kepada Allah penuh dengan keikhlasan, sementara keikhlasan tersebut
diukur dari niat seseorang. Bahkan bias dikatakan bahwa ayat al-Qur'an sangat
mendukung hadis di atas. Misalnya saja QS. Al Bayyinah : 5 atau QS. Al-An'am :
52 : وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ
يُرِيدُونَ وَجْهَهُ dipahami
oleh Imam al-Gazali bahwa makna kata الإرادة (keinginan) pada ayat tersebut adalah النية (niat). Demikian pula hadis-hadis Nabi yang lain, banyak yang
mengisyaratkan pentingnya niat dalam beramal, misalnya riwayat al-Nasa'I dari
'Ubadah bin Shamit : من غزا في سبيل الله ولم ينو إلا عقالا فله ما نوى (Barangsiapa yang keluar berperang di jalan Allah namun ia tidak
berniat kecuali hanya untuk mendapat kehormatan maka ia hanya mendapatkan apa
yang ia niatkan) artinya ia tidak mendapatkan apa-apa di akhirat nanti.
Dari ketiga tinjauan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa hadis di atas tergolong hadis sahih, baik sanad maupun matan.
Karena semua kriteria kesahihan hadis telah terpenuhi. Sekalipun tampak ada
keanehan di dalamnya karena hanya diriwayatkan dari satu jalur sampai kepada
Yahya bin Sa'id. Sehingga ada yang mengkategorikannya gharib awalnya
namun masyhur akhirnya. Akan tetapi, ini tidak berarti kualitas kesahihannya
berkurang, apatah lagi ada ayat dan riwayat yang lain yang mendukungnya.
E.
Kedudukan dan Urgensi Niat dalam Ibadah
Sebelum membicarakan mengenai kedudukan dan
urgensi niat dalam ibadah sesuai dengan hadis Nabi, ada baiknya bila kita
kembali melihat dan memperjelas makna dan hakikat niat itu sendiri. Secara
bahasa niat berasal dari akar kata نوى yang memiliki arti
"maksud dan pangkal sesuatu"[36].
Sehingga dipahami bahwa niat dalam tinjauan bahasa bermakna masud yang
diinginkan dalam melakukan sesuatu sekaligus menjadi pangkal lahirnya sesuatu
itu.
Sementara secara istilah, niat merupakan
keinginan yang bertujuan mengharapkan ridha Allah sekaligus melaksanakan
perintah yang dibuktikan dalam perbuatan. Hanya saja Ibnu Hajar al-'Asqalani
ketika menjelaskan makna niat pada hadis di atas, ia menyebutkan bahwa
sebaiknya niat diartikan sesuai dengan makna bahasanya supaya pemahamannya
sesuai dengan lanjutan hadis tersebut dan pengkategorian sifat atau keadaan
orang yang berhijrah.
Terkait dengan hadis di atas, ulama
memberikan penilaian yang berbeda mengenai pentingnya hadis tersebut. Ada yang menganggapnya
termasuk 1/4 ajaran Islam, namun kebanyakan ulama –termasuk Imam Syafi'I, Ahmad
bin Hanbal, dan lainnya- memasukkannya sebagai 1/3 Islam. Karena semua
perbuatan manusia hanya berputar pada tiga hal, yaitu hati, lidah dan anggota
badan[37].
Ibadah hati tidak –terlalu- membutuhkan keterlibatan yang lain. Akan tetapi
ibadah badan yang lain, termasuk lidah dan hati mesti membutuhkan niat[38].
Karena hal tersebut merupakan pondasi kesuksesan suatu ibadah.
Hal demikianlah yang melatarbelakangi Nabi
Muhammad ketika berkhutbah di saat beliau hijrah dari Mekah ke Madinah
menggambarkan sebuah kesadaran dan tanggung jawab akan pentingnya menjaga serta
memelihara kemurnian niat seseorang. Bahkan ada yang mengatakan bahwa hadis di
atas disampaikan oleh Nabi terkait dengan seseorang yang ikut berhijrah karena
di dasari keinginannya untuk menikahi salah seorang shahabiyah yang juga
ikut berhijrah dari Mekah ke Madinah yaitu Ummu Qais. Olehnya itu Nabi
mengingatkan sesuai dengan isi dan kandungan hadis tersebut, utamanya akhir
matannya.
Terlepas dari perbedaan asbab al-wurudnya, hadis
di atas tetap dan selalu dijadikan dasar pegangan dalam bertindak dan
beribadah. Bagaimana tidak? Ketika Nabi mengatakan انما الإعمال بالنيات
, para ulama berusaha memahaminya dengan menganggap bahwa segala jenis
perbuatan diukur sesuai dengan niatnya. Sehingga niat akan berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan jenis perbuatan tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan
sesuatu maka yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah niat yang ada di
dalam hati. Sebab karenanyalah amal akan mendapatkan penilaian baik atau buruk.
Kata انما merupakan kata yang bermakna للحصر (membatasi) dengan
menetapkan atau menguatkan sesuatu yang disebut serta meniadakan yang tidak
disebut. Sehingga al-Nawawi melihat bahwa amal akan diberi balasan karena niat,
dan tidak akan dibalas dan dihitung biola tidak diawali dengan niat. Jadi
kalimat pertama pada hadis di atas mengindikasikan pentingnya niat karena
dengannyalah kesahihan atau keabsahan suatu amal ditentukan. Hanya saja perlu
dilihat bahwa kesimpulan tersebut dipahami dari dilalah al-iqtidha' yang
tidak disebutkan di dalam matan hadis tersebut. Sehingga ada yang berpendapat
bahwa dilalah al-iqtidha' pada hadis di atas الكمال (kesempurnaan) sehingga ini berarti bahwa
ibadah tanpa niat tetap sah hanya saja tidak sempurna. Ada pula yang mengatakan –inilah pendapat
jumhur sekaligus yang dipegangi oleh penulis- bahwa dilalah al-iqtidha'-nya
adalah الصحة (kesahihan atau keabsahan) sehingga amal
tidak akan sah tanpa ada niat di dalamnya[39].
Adapun kalimat وانما لكل امرئ ما نوى
memiliki dua makna. Pertama, seseorang akan mendapatkan pahala sesuai dengan
apa yang diniatkan. Bila niatnya adalah kebaikan maka tentu balasannya juga
akan baik. Akan tetapi, bila niatnya buruk maka balasannya pun juga demikian.
Kedua, kalimat tersebut mengindikasikan perlunya menetukan jenis ibadah yang
diniatkan. Sebagai contoh, bila seseorang hendak melaksanakan salat yang
terlewat maka disamping ia berniat salat juga harus menetukan salat apa yang
dilakukan, apakah zhuhur, ashar atau yang lain.
Terlepas dari kedua makna di atas, niat
sangat penting dalam pencapaian hasil dari sesuatu yang diniatkan itu. Hal ini
terlihat pada kalimat yang menggambarkan keadaan orang yang berhijrah, apakah
mengharapkan ridha Allah atau ada unsur-unsur lain.
Dari keterangan tersebut dapat dipastikan
bahwa niat memiliki peranan penting dalam amal dan ibadah. Di samping untuk
menentukan keabsahan ibadah yang dilakukan juga untuk menentukan hak orang yang
beramal, apakah ia berhak mendapatkan pahala atau tidak. Karena itu, Allah
mengingatkan hamba-Nya :
شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّين
مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا...
"Allah memerintahkan kepada kalian sesuai dengan apa yang
Dia wasiatkan kepada Nabi Nuh"
Abu
'Aliah menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa kata "wasiat"
berarti Allah mewasiatkan kepada Nuh untuk beribadah kepada-Nya dengan penuh
keikhlasan. Dan keikhlasan itu lahir niat yang tulus.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian-uraian di atas yang berbicara tentang "Niat dalam Perspektif Hadis Nabi; Kajian Analisis Tematik
Terhadap Hadis Innama al-A'malu bi al-Niat" dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- hadis di atas diriwayatkan oleh semua mukharrij yang sembilan atau pengarang kutub al-tis'ah kecuali Imam Malik dan al-Darimi. Hanya saja Imam Malik, sekalipun ia tidak menyebutkannya di dalam al-Muwattha' , namun dalam riwayat al-Bukhari dan Abu Daud disebutkan salah satu perawinya yaitu Malik bin Anas. Kenyataan inilah yang menyebabkan sebagian ulama merasa heran atas apa yang dilakukan oleh Imam Malik dengan tidak menyebutkannya di dalam kitab rujukan hadisnya.
- Hadis yang disebutkan di atas memiliki kualitas sahih, baik dari segi sanad maupun matan. Karena semua kriteria kesahihan –termasuk bersambungnya sanad, perawinya 'adil dan dhabit, tidak mengandung syadz dan illat- semuanya terpenuhi. Bahkan bila semua riwayat yang terkait –semakna- dengan hadis di atas dikaitkan maka kualitasnya akan semakin kuat karena hadis-hadis tersebut saling mendukung antara satu dengan yang lain.
- Hadis dalam kajian ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan disyari'atkannya dan pentingnya niat secara mutlak. Hanya saja hukum pensyari'atan tersebut diperbincangkan oleh para ulama. Sebagian menganggap bahwa niat merupakan salah satu rukun salat, sehingga ibadah akan dianggap baik bila ada niat yang baik menyertainya. Sementara ulama yang lain melihat hukum niat sebagai syarat saja, di mana hal tersebut akan berimplikasi pada penentuan waktu berniat. Atau niat merupakan ibadah sunnat yang dapat dilaksanakan kapan saja. sekaligus niat merupakan tolak ukur balasan yang akan diberikan kepada seseorang sebagai hasil dari amal ibadahnya.
B. Rekomendasi
Sebagai manusia
biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya
mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk
dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan
penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
standar sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah kebahagiaan besar jika ada pihak
yang berusaha meneliti kembali –paling tidak memeriksa referensi yang
digunakan- makalah ini sehingga hasil penelitian tersebut dapat lebih valid.
Menyikapi segala
bentuk masalah dan keragaman pendapat tentang siwak, baik aspek hukum dan
dalilnya –sekiranya hal itu didapatkan- termasuk keragaman bentuk pemikiran dan
pendapat hendaknya dijadikan sebuah pegangan terhadap kerahmatan agama Islam.
Inilah hasil usaha
dan kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan
bagaimana konsep hadis tentang ikhlas. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu
bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di
sisi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al sawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an
al-Karim
Ahmad,
Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Prof. Dr. Muhammad
Syuhudi Ismail. Jakarta.
Renaisan. 2005. cet. I
Al-Adlabi, Shalahuddin ibnu Ahmad. Manhaj
Naqd al-Matan 'Inda Ulama' al-Hadits al-Nabawi, terj. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis. Ciputat. Gaya Media Pratama. 2004.
Al
Asyqar, Umar sulayman. Ikhlas; Memurnikan Niat Meraih Rahmat (al
Ikhlash). terj. Abad Badruzzama. Jakarta.
Serambi Ilmu Semesta. 2006.
Al Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath
al Bari Syarh
Sahih al Bukhari. Riyadh:
Dar al Salam. 2000.
Al Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin
Ismail. Shahih al Bukhari Beirut:
Dar al Kutub al Ilmiah. 1992.
'Azzam, Abdul Aziz Muhammad. al-Qawa'id
al-Fiqhiyah. Kairo. Dar al-Hadits. 2005.
Hadi, Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul
Qadir bin Abdul. Metode Takhrij Hadits (Thuruq Takgrij Hadits Rasulillah
Shallahu ‘Alaihi wa Sallam). Terj. HS. Agil Husain al Munawwar dan H. Ahmad Rifqi Mukhtar. Semarang: Dina Utama. 1994.
Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin. al
Musnad. Riyadh:
Maktabah al Turats al Islami. 1994.
Al-Hadi, Abdul mahdi bin Abdul Qadir
bin. 'Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil Qawaiduhu wa Aimmatuhu. Beirut. Dar al-Fikr. 1998.
cet. II
Ibnu Shalah, Abu Amr Utsman bin
Abdurrahman. 'Ulum al-Hadits. Madinah al-Munawwarah. al-Maktabah
al-'Ilmiah. 1972.
Ibrahim,
Muhammad bin. Syarh al Hikam. Semarang.
Usaha Keluarga. tt.
Khon,
Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta.
Amzah. 2008. cet. I
Al Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al
Hadits; ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu. Beirut:
Dar al Fikr. 1989.
Al Mubarakfuri, Abu ‘Ula Muhammad
Abdurrahman Ibn Abdurrahim. Tuhfat al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi.
Beirut: Dar al
Fikr. 1995.
Al Naisaburi, Abu Husain Muslim bin al
Hajjaj al Qusyairi. Shahih Muslim. Riyadh:
Dar Alam al Kutub. 1996
Al Nasa’i, Abu Abdurrahman Ahmad bin
Syuaib. Sunan al Nasa’I. Beirut:
Dar al Kutub al ‘Ilmiah. 1991.
Al Nawawi, Imam. Shahih Muslim bi
Syarh al Nawawi. Beirut:
Dar al Kutub al ‘Ilmiah. 2000.
Al-Qazwiny, Abu Abdillah Muhammad bin
Yazid Ibnu Majah. Sunan Ibni Majah. Semarang. Karya Toha Putra. tt.
Saurah, Abu Isa Muhammad bin Isa bin. Sunan
al Turmudzi. Beirut:
Dar al Fikr. 1994.
Al Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats.
Sunan Abi Daud; Bab al-Siwak (Himsh Suriah: Dar al Hadits, tt), jil. I
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman
bin Abi Bakar. al-Asybah wa al-Nadhzair fi al-Furu'. Semarang. Toha Putra. tt.
Al-Thahhan, Mahmud. Taisir Mushthalah
al-Hadits. Riyadh.
Maktabah al-Ma'arif. 1987. cet. II.
Wensick, Arnold John. A Hand Book of
Early Muhammadan Tradition. Diterjemahkan oleh Muhammad Fu’ad Abdu al Baqi,
Miftah Kunuz al Sunnah. Lahore:
Suhayl Akademi. 1971.
---------. Concordance Et Indies De La
Tradition Musulmane. Diterjemahkan oleh Muhammadd Fu’ad Abdu al Baqi.al
Mu’jam al Mufahras li al Alfads al Hadits al nabawi. E.J. Brill. 1963.
Zakaria, Abu Husain Ahmad bin Faris bin. Mu’jam
Maqayis al Lugah. al Iskandariah: Dar al Fikr. 1970.
Al-Mizzi, Jamaluddin Abu Hujjaj yusuf. Tahdzib
al-Kamal fi Asma'I al-Rijal. Beirut.
Maushu'ah al-Risalah. 1985.
Al-Razi, Abu
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Hatim. Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil. Heiderabad.
Da'irah Ma'arif. 1952. cet. I.
[1]
Muhammad bin Ibrahim, Syarh al Hikam (Semarang; Usaha Keluarga, tt), hal. 11
[2]
Umar sulayman al Asyqar, Ikhlas;
Memurnikan Niat Meraih Rahmat (al Ikhlash). terj. Abad Badruzzama (Jakarta; Serambi Ilmu
Semesta, 2006), hal. 14
[3] Hal ini dapat dilihat pada doa Nabi setiap selesai
melaksanakan shalat sebagai mana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت ذا الجلال والإكرام , Abu Husain Muslim bin al
Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim; Bab Istihbab al Zikri Ba’da
al Shalah (Riyadh: Dar Alam al Kutub, 1996), Jil.
III, hal. 254.
[4] Lihat QS. Al Bayyinah : 5 dan lihat Abdurrahman Ahmad
bin Syuaib al Nasa’I, Sunan al Nasa’I ; bab man Gaza Yaltamisu al Ajra wa al Dzikra
(Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1991), Jil. 10, hal. 204.
[5]
Di antara janji Allah dapat dilihat pada salah satu hadis qudsi; قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الله أعددت
لعبادي الصالحين ما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر فاقرءوا إن شئتم Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih
al Bukhari; Ma Ja’a fi Shifat al Jannah (Beirut: Dar al Kutub al
Ilmiah, 1992), jil. XI, hal 22.
[6]
Sekalipun demikian, tetapi ada beberapa ayat yang menunjukkan pentingnya niat
dan keikhlasan dalam beramal.
[7]
Misalnya QS. Al-Baqarah : 25 وَبَشِّرِ الَّذِينَ آَمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ, Kemungkinan kata tersebut –niat- tidak
disebutkan di dalam al-Qur'an tetapi langsung menyebutkan amal salih karena ada
indikasi bahwa betapa pentingnya niat dalam beramal sehingga ia tidak dapat
dipisahkan dari amal itu sendiri. Dan inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah
dalam sabdanya di atas.
[8] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin
Abdul Hadi, Metode Takhrij Hadits (Thuruq Takgrij Hadits Rasulillah Shallahu
‘Alaihi wa Sallam). Terj. HS. Agil Husain al Munawwar dan H. Ahmad Rifqi Mukhtar (Semarang: Dina
Utama, 1994), hal.14
[9] Secara etimologi kata "takhrij" berasal dari
kata خرج –
يخرج –تخريجا yang berarti
menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan. Maksudnya
menampakkan sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan, dan masih samar.
Sedangkan secara terminologi, kata ini memiliki banyak definisi, antara lain :
1. menjelaskan hadis pada orang lain dengan menyebutkan para periwayatnya dalam
sanad hadis dengan menggunakanperiwayatan yang mereka tempuh. 2. mengeluarkan
dan meriwayatkan hadis dari beberapa kitab. 3. menunjukkan asa-usul hadis dan
mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh
para mukharrijnya dan menisbatkannya dengan cara menyebutkan metode
periwayatan dan sanadnya masing-masing. 4. menunjukkan tempat hadis pada
simber-sumber aslinya kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan. Akan
tetapi pengertian takhrij yang digunakan untuk maksud kegiatan penelitian hadis
adalah pengertian yang disebutkan terakhir. Berdasarkan pengertian tersebut,
maka ada tiga hal yang mendasar dari pengertian tersebut, yaitu : pertama,
kegiatan penelusuran suatu hadis untuk mengetahui tempat atau
sumber-sumbersnya. Kedua, sumber-sumber pengambilan hadis itu merupakan
sumber-sumber asli. Ketiga, hadis yang termuat dalam sumber-sumber yang asli
itu dikemukakan secara lengkap sanad dan matannya. Lihat Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi; Refleksi
Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Jakarta; Renaisan' 2005),
cet. I, hal. 71.
[11]
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhzair fi
al-Furu' (Semarang;
Toha Putra, tt), hal. 6.
[12]
Lihat Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari; Bad'u al-Wahyi
(Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1992), jil. XI, hal 22.
[13]
Al-Bukhari, Op.Cit;
al-Niyat fi al-iman, jil. I, hal. 55
[14]
Masih ada riwayat al-Bukhari yang lain, yaitu riwayat yang terdapat pada bab ma
ja'a inna al-a'mal bi al-niat, jil. III, hal. 132 , juga pada bab al-khatha' wa al-nisyan fi
al-'itaqah wa al-thalaq, jil. IIV , hal. 22 , juga pada bab hijrat
al-Nabi wa ashhabihi ila al-Madinah, jil. V, hal. 55, pada bab fi tarki
al-hail, jil. VI, hal. 66
[15]
Lihat Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih
Muslim; Bab qauluhu innama al-a'mal bi al-niyat (Riyadh: Dar Alam al Kutub,
1996), Jil. II, hal. 59.
[16]
Lihat Abu Isa Muhammad bin Isa bin saurah, Sunan al Turmudzi: Bab Ma Ja'a fi
man Yuqatilu Riyaan wa li al-Duniya (Beirut:
Dar al Fikr, 1994), Jil. I, hal. 41
[17]
Lihat Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud; Bab fima 'uniya bihi al-thalaq wa al-niyat (Himsh Suriah:
Dar al Hadits, tt), jil. I, hal. 69.
[18]
Lihat Abdurrahman Ahmad bin Syuaib al Nasa’I, Sunan al Nasa’I ; bab al-Niyat
fi al-Wudhu (Beirut:
Dar al Kutub al Ilmiah, 1991), Jil. I, hal. 15, jil. XI, hal. , jil. XII, hal. .
[19]
Lihat Abdurrahman Ahmad bin Syuaib al Nasa’I, Sunan al Nasa’I ; bab al-Niyat
(Beirut: Dar al
Kutub al Ilmiah, 1991), Jil. I, hal. 15.
[20] Lihat Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, al Musnad;
Musnad Ali bin Abi Thalib (Riyadh:
Maktabah al Turats al Islami, 1994), jil. II, hal. 79, 472, dan juga penulis
perlu tambahkan bahwa dalam makalah ini sengaja penulis tidak menuliskan sanad
dan matan secara lengkap dari masing-masing periwayatan tersebut, karena
pertama, untuk menghemat penulisan, dan kedua, perawi-perawi tersebut akan
disebutkan dalam skema hadis di atas.
[21] Secara bahasa, kata I'tibar yang berakar dari huruf 'ain,
ba', dan ra' menunjukkan arti "menembus dan melewati
sesuatu", lihat Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqayis
al Lugah (al Iskandariah: Dar al Fikr, 1970), Cet. II, Jil. IV, hal. 207.,
sedangkan menurut istilah –banyak defenisi yang ditawarkan para ulama-
seperti penjelasan Mahmud al-Thahhan bahwa I'tibar adalah menelusuri
jalur-jalur sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu yang pada bagian
sanadnya terdapat seorang periwayat saja untuk mengetahui apakah ada periwayat
yang lain atau tidak ada (untuk bagian sanad yang dimaksud)., lihat Mahmud
al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits (Riyadh; Maktabah al-Ma'arif'
1987), cet. II, hal. 141.
[22] Mutabi' dalam istilah ilmu hadis adalah adanya
dukungan dari hadis yang lain berupa adanya perawi pada bagian periwayatan
tertentu selain tingkatan sahabat, dengan kata lain mutabi' مشاركة راو راويا آخر في رواية حديث عن شيخه أو همن فوقه من
المشايخ . Lihat Arifuddin
Ahmad, Op.Cit, hal. 132, Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits;
Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut; Dar al-Fikr, 1989), hal. 366
[23] syahid adalah hadis yang diriwayatkan dari
seorang sahabat yang menyerupai riwayat yang disampaikan oleh sahabat yang lain
baik dalam lafadz dan atau makna. Lihat
Arifuddin Ahmad, Op.Cit, hal. 132, Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Op.Cit,
hal. 366
[24]
Penulis sengaja tidak menulis biografi setiap perawi berdasarkan jalur sanadnya
masing-masing, karena setelah memperhatikan semua jalur tampaknya sebagian
besar perawi antara jalur dengan jalur lain sama. Sehingga dalam penyajian ini
hanya disebutkan biografinya saja secara keseluruhan, namun ingin melihat
kualitas dari masing-masing jalur maka cukup disesuaikan sanad tersebut dengan
nama-nama perawi yang ada. Misalnya al-Bukhari meriwayatkan hadis tersebut dari
enam jalur. Muslim dua jalur, Abu Daud juga dua jalur, al-Turmudzi hanya satu
jalur, Ibnu Majah dua jalur, al-Nasa'I tiga jalur dan Ahmad bin Hanbal dua
jalur. Untuk lebih jelasnya jalur-jalur tersebut dapat dilihat pada skema
terlampir.
[25]
Untuk lebih jelasnya mengenai biografi masing-masing perawi dapat dilihat pada
kitab-katab rijalul hadits, misalnya Abu Muhammad bin Abdurrahman bin
Abi hatim al-Razi, Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil (Heiderabad; Dairah
Ma'arif, 1952), cet. I atau Jamaluddin Abu Hujjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib
al-Kamal fi Asma'I al-Rijal (Beirut; Maushu'ah al-Risalah, 1985)
[26]
Lihat Abdul mahdi bin Abdul Qadir bin al-Hadi, 'Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil
Qawaiduhu wa Aimmatuhu (Beirut; Dar al-Fikri, 1998), cet. II, hal. 90.
[27]
Al-Turmudzi, Op.Cit,
[28]
Muhammad Mubarak al-Sayyid, Manahij al-Muhadditsin (Beirut; Dar-Fikr,
1998), cet. II, hal 137.
[29]
Lihat Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al Mubarakfuri, Tuhfat al
Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi (Beirut: Dar al Fikr, 1995), jil. I,
hal. 29
[30]
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih namun
tidak mencapai derajat mutawatir. Terkadang pula istilah masyhur tidak
tditerapkan karena jumlah perawinya akan tetapi terkait dengan ketenarannya di
kalangan para ahli ilmu tertentu atau di tengah masyarakat. Dari segi ini maka
hadis masyhur terbagi tiga; pertama, masyhur di kalangan muhadditsin dan
lainnya. Kedua, masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu saja, misalnya ahli
hadis atau iqih dan sebagainya. Ketiga, masyhur di kalangan orang0orang umum
saja. Lihat Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis (Bandung;
Alma'arif, 1974), cet. I, hal. 87-88
[31]
Lihat Imam al Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al Nawawi (Beirut: Dar al Kutub al
‘Ilmiah, 2000), Jil. I, hal. 408.
[32]
Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 88
[33] Shalahuddin ibnu Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd
al-Matan 'Inda Ulama' al-Hadits al-Nabawi, terj. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis (Ciputat; Gaya Media Pratama,
2004), hal. 4.
[34] Syadz adalah kejanggalan ang terdapat
di dalam suatu hadis, sehingga hadis syadz dipahami sebagai hadis yang
diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan
dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah juga.
[35] 'Illat secara
bahasa berarti "cacat, penyakit, dan keburukan". Namun dalam istilah
Ibnu Shalah, 'illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas
hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas
sahih menjadi tidak sahih. Lihat Abu Amr Utsman bin Abdurrahman Ibnu Shalah, 'Ulum
al-Hadits (Madinah al-Munawwarah; al-Maktabah al-'Ilmiah, 1972), hal. 81.
[36]
Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu'jam Maqayis al-Lughah (Beirut; Dar al-Fikr, tt),
jil. V, hal. 366
[37]
Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalani, Fath al Bari Syarh Sahih al Bukhari (Riyadh: Dar al Salam,
2000), jil.I, hal. 23.
[38]
Lihat Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al Mubarakfuri, Tuhfat al
Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi (Beirut: Dar al Fikr, 1995), jil. I,
hal. 29. dan Muhammad bin Abdul Baqi' al-Zarqani, Op.Cit, jil. I, hal. 153.
[39]
Abdul Aziz Muhammad 'Azzam, al-Qawa'id al-Fiqhiyah (Kairo; Dar
al-Hadits, 2005), hal 82.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....