BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an al-karim adalah kitab samawi yang
paling terakhir diturunkan dan berfungsi sebagai petunjuk bukan hanya terhadap
anggota masyarakat Arab akan tetapi juga bagi seluruh umat manusia hingga akhir
zaman nanti. Al-Qur’an memuat seluruh aspek kehidupan manusia, baik aspek
vertikal maupun horizontal bahkan hubungan dengan alam semestapun tertera dalam
al-Qur’an.[1]
Prinsip, doktrin dan ajaran-ajaran yang
disampaikan oleh al-Qur’an sangat global dan memungkinkan setiap generasi
memberikan interpretasi yang berbeda dengan para cendikiawan sebelumnya karena
al-Qur’an menggunakan bahasa yang sangat tinggi sastranya dan mengandung
berbagai rahasia yang tidak mungkin ditangkap secara sama oleh semua kalangan.[2]
Sebagai pembawa kalam ilahi, Rasulullah adalah
orang pertama yang menjadi tumpuan untuk menjelaskan dan menafsirkan kalimat
atau ayat al-Qur’an yang kurang jelas atau masih berlaku umum, sebab Nabi adalah
penerima dan penyampai wahyu sebagaimana dalam QS. al-Nah}l: 64.
وَمَا أَنزلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى
وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya:“Dan
kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”[3]
Sahabat sebagai sasaran pertama al-Qur’an,
jika tidak paham makna dan maksudnya akan segera bertanya kepada Rasulullah dan
direspon langsung oleh Rasulullah saw., namun Rasulullah tidak menafsirkannya
mengikuti alur fikirannya sendiri akan tetapi menurut wahyu ilahi. Penjelasan
dan penafsiran Rasulullah hanyalah pelantara saja, sedang hakikatnya, Allahlah
sebagai penafsir pertama.[4] Dalam QS. al-Najm ayat 2-3, Allah
swt. berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلا
وَحْيٌ يُوحَى
Artinya: “Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).”[5]
Untuk mengetahui sejauh mana penafsiran Nabi
dan sahabat, maka perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama
dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran dengan tujuan mengetahui prosedur
kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut
dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi
berbagai persoalan kehidupan.
Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan
sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah
penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun kaidah penafsiran tersebut
tidak berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran,
akan tetapi kaidah tersebut lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar
tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat
dipertanggungjawabkan, sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk
pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul) adalah suatu
kebutuhan bagi kita semua, calon mujtahid yang akan meneruskan perjuangan
pendahulu-pendahulu kita dalam membela dan menegakkan islam dimanapun berada.
Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama
sekali apa itu Qawaidul ushuliyah. Maka dari itu, kami selaku penyusun mencoba
untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah ushul, mulai dari pengertian,
perkembangan, sumber-sumbernya, dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah ushul.
- Rumusan Masalah
Melihat latar belakang diatas maka penulis membatasi makalah
ini dengan hanya membahas beberapa rumusan masalah yang dianggap penting oleh
penulis, diantaranya :
1.
Mengerti dan memahami
pengertian kaidah ushul.
2.
Menyebutkan sumber-sumber
pengambilan kaidah-kaidah ushul.
3.
Mengetahui faedah serta
kedudukan kaidah-kaidah ushul.
4.
Mengetahui buku-buku yang
di karang ulama tentang kaidah-kaidah ushul.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Mengerti dan memahami pengertian kaidah ushul.
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang
kaidah-kaidah ushul diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali
dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah ushul fiqh, kita kita
akan mencoba menjelaskan beberapa permasalahan mulai dari defenisi kaidah
secara bahasa dan istilah, defenisi ushul fiqh secara bahasa dan istilah,
defenisi kaidah-kaidah ushuliyyah secara bersamaan. Didalam seluruh defenisi
tadi terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama, penyusun akan mencoba
menulis beberapa defenisi dari kalangan ulama atau hanya sekedar menulis
defenisi yang menurut penyusun lebih rajih atau lebih kuat.
a.
Defenisi kaidah
Kaidah tafsir berasal dari bahasa Arab yaitu قاعدة. Qa>’idah
yang akar katanya terdiri dari huruf ق- ع- د
memiliki arti duduk sebagaimana dalam surah al-Nu>r: 60:
والقواعد
من النساء اللاتي لا يرجون نكاحا فليس عليهن جناح أن يضعن ثيابهن غير متبرجات بزينة
وأن يستعففن خير لهن والله سميع عليم.
Artinya: “Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah maha mendengar lagi maha
bijaksana.”[6]
Menurut Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>,
yang dimaksud al-qawa>’id dalam ayat tersebut adalah
perempuan-perumpuan yang duduk dan berdiam lama serta tetap pada satu kondisi.
Oleh karena itu, zaman bisa disebut maq’ad akan tetapi tidak bisa
disebut al-majlis.[7] Sehingga secara etimologi, kaidah adalah
sesuatu yang ditetapi oleh perkara tertentu atau sesuatu yang menjadi dasar
perkara lain.
Kata al-qawa>’id juga bermakna
pondasi atau dasar sebagaimana dalam surah al-Baqarah: 127:
وإذ يرفع إبراهيم القواعد من البيت وإسماعيل
ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم
Artinya: “Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar baitullah bersama Ismail
(seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya
Engkaulah yang maha mendengar lagi maha mengetahui".[8]
Kedua
makna tersebut dapat disatukan bahwa yang dimaksud dengan al-qawa>’id
adalah sesuatu yang menjadi asal atau dasar yang menjadi pijakan perkara lain.
Sedangkan secara termenologi, ulama
memberikan beberapa definisi yang beragam redaksinya, meskipun subtansinya
sama, antara lain:
-
Menurut Ah}mad Muh{ammad al-Sya>f’i> yang dikutip oleh Muchlis
Usman, al-qa>’idah adalah hukum-hukum yang bersifat universal yang
hukum juz’i (partikal) yang banyak masuk di bawah hukum tersebut.[10]
-
Menurut Ah}mad al-Fayu>mi>, al-qa>’idah adalah perkara
umum yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[11]
Dari beberapa definisi di atas, dapat
disebutkan bahwa al-qa>’idah adalah hukum atau kaidah universal yang
membawahi beberapa hukum atau kaidah partikal.
b.
Defenisi Ushul
Fiqh
Ushu>l fiqhi adalah tarqib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi
suatu disiplin ilmu tetentu. Ditinjau dari segi etymology ushul fiqhi terdiri
dari mudha>f dan mudha>fun ilaih yang masing-masing
memiliki arti berbeda.[12].
sebelum memberikan definisi ushul fiqhi terlebih dahulu kita harus mengetahui
pengeritian ushu>l dan fiqhi
terlebih dahulu.
Secara bahasa Ushu>l merupakan bentuk
jamak dari bahasa arab yang akar katanya terdiri dari أ-
ص- ل yang
berkmana permulaan dari sesuatu.[13]
Fiqhi secara etymology berarti pemahaman yang
mendalam tetntang tujuan suatu ucapan dan perbuatan.[14] Seperti
firman Allah dalam al- Qur’an :
فمالهؤلآء القوم لايكادون يفقهون حديثا
Artinya :
maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.[15]
Sedangkan pengertian fiqhi dari
segi terminology para fuqaha>’ adalah tidak jauh dari pengertian fiqhi dari
segi ethymologi. Fiqhi menurut terminology adalah pengetahuan tentang hukum-hukum
syara’ mengenai perbuatan manusia.
ada beberapa pandangan ulama tentang pengertian ushu>l
dalam kitabnya, diantaranya :
- Ushul adalah sesuatu yang dibutuhan sedangkan Fiqhi dari bahasa adalh memahami sebuah tujuan atau kebutuhan yang nantinya dapat dijadikan sebagai argument untuk menetapkan sesuatu hukum dalam berbagai persoalan.[16]
- Menurut dr. kari>m azzaida>n : Uhsu>l fiqhi adalah sebuah alat untuk menghasilkan atau mengamalkan sesuatu.[17]
- Sedangkan menurut abu> zahrah[18] : ushu>l fiqhi adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqhi, atau dengan kata lain ushu>l fiqhi adalah kaidah-kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara pengambilan hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i.[19]
- Sumber-sumber pengambilan kaidah-kaidah ushul
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql
(Al-Qur’an dan Sunnah), ‘Akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul
at tahlil al lughawi), yang secara terperinci kita jelaskan dibawah ini.
Pertama : Al Qur’an.
Al Qur’an merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW, untuk membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya.[20] Kitab
ini adalah kitab undang-undang yang mengatur seluruh kehidupan manusia, firman
Allah yang Maha mengetahui apa yang bermanfaat bagi manusia dan apa yang
berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat dari segalah penyakitnya. Allah
berfirman :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ
وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
“dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah
menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”.[21]
Dan firman Allah:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا
عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَؤُلَاءِ وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri”.[22]
Ini adalah kedudukan al Qur’an. Penyusun yakin semua orang
tahu itu, maka tidak perlu di perpanjang di sini.
Diantara contoh kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari Al
Qur’an adalah [23]
sebagai berikut :
1. Sunnah adalah sumber hukum yang di akui, dengan dalil
وما ينطق عن الهوي إن هو إلا وحي يوحي
2. Al Qur’an bisa difahami dari uslub-uslub bahasa arab,
dengan dalil
إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون
3. Adat atau kebiasaan di akui sebagai hukum pada
permasalahan yang tidak memiliki dalil, dengan dalil
حذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
Kedua : As Sunnah
As-sunnah menurut ulama ilmu fiqhi adalah segala
sesuatu yang diperintahkan, dilarang, atau dianjurka Rasulullah SAW baik itu
perkataan dan perbuatan.[24]
Allah memberikan kemuliaan kepada nabi Muhammad SAW dengan
mengutusnya sebagai nabi dan rasul terakhir untuk umat manusia dengan tujuan
menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah
bukan dari dirinya sendiri tetapi dari Sang Pengutus yaitu Allah SWT, karena
siapapun yang menjadi utusan pasti lebih rendah tingkatannya dari yang
mengutus. Allah Berfirman :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ
مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ
الشَّاكِرِينَ
Aritnya :“Muhammad itu tidak lain
hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada
orang-orang yang bersyukur”.[25]
Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa sunnah
Rasulullah adalah merupakan salah satu sumber agama islam, diantaranya firman
Allah dalam surat Al Imran ayat: 53,132,144, 172 juga didalam surat An Nisa
ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi. Bahkan didalam surat Al Hasyr
Allah berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.“[26]
Diantara contoh kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari
hadits adalah:
1.
Perintah yang mutlak
hukumnya wajib (الأمر المطلق يفيد الوجوب)
2.
Ijma’ merupakah hujjah yang
di akui secara syar’I (الإجماع حجة معتبرة
شرعا)
3.
Jika berkumpul perintah dan
larangan maka larangan di dahulukan (إذا اجتمع الآمر والمحرم
قدم المحرم)
4.
Qiyas merupakan hujjah yang
di akui secara syar’I (القياس حجة معتبرة شرعا)
Ketiga : Ijma’
Ijma merupakan salah satu dalil syar’I yang memiliki tingkat
argumentasi setingkat dibawah al-Qur’an dan Sunnah. Ijma adalah kesepakatan
para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya rasulullah SAW terhadap hukum
syar’I yang bersifat praktis.[27] Para
ulama sepakat bahwa ijma dapat dijadika sebagai hujjah dalam untuk
menetapkan hukum syar’i. adapun dalil yang menjadi landasan ijma adalah hadis
rasulullah saw :
مارآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : apa yang dipandang oleh ummat muslim baik maka
menurut pandangan Allah juga baik.
Dalam hadis lain juga disebutkan :
لاتجتمع أمتي علي ضلالة
Artinya : Ummatku tidak akan bersepakat atas perbuatan
yang sesat.
Diantara contoh kaidah yang diambil dari ijma adalah
tentang poligami, dimana para fuqaha berpendapat bahwa berpoligami dengan
wanita yang masih ada hubungan mahram dengan istrinya adalah haram.[28] Hal ini
bersifat qat’I yang tidak dapat ditawar-tawar lagi meskipun sandaran ijma ini
bersifat zhanni. Yaitu hadis rasulullah SAW yang berbunyi :
نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تنكح
المرأة على عمتها أو خالتها
Artinya : rasulullah melarang seseorang menikahi seorang wanita
tidak boleh dimadu bersama dengan bibinya.[29]
Keempat : Qiyas
Qiyas memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam,
karena kita tidak akan faham islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang
menunjukkan bahwa Allah itu ada? Jika dijawab Al Qur’an, Apa dalil yang
menunjukkan bahwa Al Qur’an benar-benar dari Allah? Jika dijawab I’jaz, apa
dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil bahwa alqur’an
bersumber dari Allah SWT? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat kita fahami
bahwa islam tidak akan kita fahami tanpa akal, oleh karena itulah akal
merupakan syarat taklif dalam islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan
dengan seksama, bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri tanpa syar’I. Akal
hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran
dan hadits. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk memahami
hukum-hukum Allah tersebut.
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari akal
adalah
1.
Al Qur’an merupakan dalil
yang di akui.
2.
Baik dan buruk hanya di
ketahui melalui syar’I bukan akal.
3.
Yang lebih kuat didahulukan
dari yang lemah.
Kelima : Perkataan Sahabat
Sahabat menurut ulama hadis adalah setiap muslim yang pernah
melihat rasulullah SAW.[30] Adapun
dalil yang dijadikan rujukan bahwa perkataan sahabat dapat dijadikan sumber
kaeda adalah hadis rasul yang berbunyi :
خير القرون قرني الذي بعثت فيه
Artinya : sebaik-baik masa adalah masaku dimana aku
diutus.
Salah satu contoh kaidah yang diambil dari sahabat adalah kaidah
memenangkan salah satu kemungkinan demi maslahat, dengan syarat itu tidak berlawanan dengan
nash. Kaidah ini penulis masukan kedalam hujjah perkataan sahabat
berdasarkan apa yang terjadi pada masa umar bin khattab dimana pada masa itu umar
memenangkan salah satu kemungkinan yang berdasar pada rasio, jika hal itu dapat
membawa maslahat. Hal ini berawal dari kasus qishas kepada jama’ah hanya karena
membunuh satu orang.[31]
- Hadits-hadits Ahad zonniyah
- Qiyas adalah hujjah
- Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu (naskh)
- Orang awam boleh taqlid
- Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’
- Faedah kaidah-kaidah ushul fiqh dan kedudukannya diantara ilmu-ilmu syara’.
Ada beberapa faedah yang penulis dapat simpulkan dalam
makalah ini diantaranya :
1.
Faedah Kaidah-Kaidah
Ushul Fiqh
Manfaat sesuatu bisa dilihat dari buah atau nilai yang di
hasilkannya, begitu juga dengan kaidah-kaidah ushul. Jika kita ingin mengetahui
manfaat serta kedudukannya maka hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah
yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul fiqh itu sendiri.. Setiap manusia
berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, jika tidak ada maslahat (minimal dalam
pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat dibagi dua, dunia dan
akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia adalah sarana
untuk mencapat kebahagiaan utama di akhirat nanti.
Setelah ilmu aqidah, ilmu yang membahas tentang hukum-hukum
praktis merupakan ilmu yang paling penting dan harus dikuasai. Hukum-hukum ini
bisa di ketahui, baik dengan cara taqlid atau ijtihad. Beribadah atas dasar
taqlid tidak sama derajatnya jika dibandingkan dengan beribadah atas dasar
ijitihad. Imam Ghazali berkata:” Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang
menggabungkan antara akal dan as-sam’ (Al-Qur’an dan Sunnah) dan yang
menyertakan pendapat dan syara’”.
Abu Bakar Al-Qoffal As-Syasyi berkata dalam bukunya
“al-ushul”:” Ketahuilah bahwa Nash yang mencakup segala kejadian tidak ada, dan
hukum-hukum memiliki ushul dan furu’ , dan furu’ tidak bisa diketahui kecuali
dengan ushul, dan nilai-nilai itu tidak dapat di ketahui kecuali dengan ilmu
fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ini diambil dari syara’ dan akal yang suci secara
bersamaan. Ia tidak menolak syara’ tidak pula menolak akal. Karena keutamaan
ilmu ini lah, banyak orang yang mempelajarinya. Ulama yang faham ushul fiqh dan
kaidah-kaidahnya adalah ulama yang tinggi derajatnya, tinggi wibawanya
,memiliki banyak pengikut dan murid. Maka hendaklah memulai dengan ushul untuk
mengetahui hukum-hukum furu“.
Diantara faedah kaidah-kaidah ushul fiqh adalah:
1.
Dapat mengangkat derajat
seseorang dari taqlid menjadi yaqin. Allah berfirman yang artinya:” niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan“. (QS. Al-Mujadalah: 11)
2.
Kaidah-kaidah ushul
merupakan asas dan pondasi seluruh ilmu-ilmu islam lainnya. Maka ilmu fiqh,
tafsir, hadits dan ilmu kalam tidak akan sempurna tanpanya. Kaidah-kaidah ushul
menjadikan pemahaman terhadap al-quran dan sunnah dan sumber-sumber islam
lainnya menjadi akurat.
3.
Dengan memahami
kaidah-kaidah ushul, seseorang dapat dengan mudah mengambil
kesimpulan-kesimpulan hukum syari’ah al-far’iyyah dari dalil-dalilnya langsung
dan terus melaksanakannya. Karena kaidah-kaidah ushul merupakan sarana yang
menghantarkan seseorang pada hukum-hukum fiqh.
4.
kaidah-kaidah ushul
berusaha membentuk kembali ilmu ushul fiqh dalam bentuk yang baru, lebih
singkat dan akurat yang dapat membantu seorang mujtahid dalam pengambilan
hukum.
5.
Seorang yang faham ushul
fiqh dan kaidah-kaidahnya akan dapat dengan mudah mengcounter
pemikiran-pemikiran yang berusaha menyerang hukum-hukum islam yang telah mapan
seperti wajibnya rajam, hudud dan lain sebagainya.
6.
Tujuan akhir adalah untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.
Kedudukan
Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Kedudukan dan keutamaan sebuah ilmu tidak lepas dari tema,
objek, tujuan, apa yang di bahas, besar kebutuhan, kekuatan dalilnya serta
maslahat yang dihasilkannya. Semakin besar faedahnya semakin tinggi pula
kedudukannya. Kaidah-kaidah ushul memiliki kedudukan tinggi, yaitu berada pada
urutan pertama setelah ilmu akidah.
Penjelasannya:
- Dari segi faedah dan buah yang di hasilkan oleh kaidah-kaidah ushul, penyusun telah jelaskan pada penjelasan faedah-faedah ushul fiqh diatas.
- Dari segi objeknya, penyusun telah jelaskan bahwa objek kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri dari segi keakuratannya. Juga membahas nilai-nilai ushul fiqh untuk di undang-undangkan. Jika ilmu ushul fiqh memiliki kedudukan tinggi dalam islam, bagaimanakah kedudukan sebuah ilmu yang bertugas menambah keakuratan ushul fiqh?
- Dari segi tujuannya, tujuannya adalah pengambilan hukum syara’ yang praktis dari dalil-dali syara’ dan memperjuangkannya serta memberikan keakuratan dalam berijtihad dan kondisi mujtahid. Usaha untuk mengetahui hukum-hukum Allah adalah merupakan kewajiban terpenting dan merupakan tujuan penciptaan kita di dalam kehidupan ini. Ilmu apapun yang memiliki tujuan ini adalah ilmu yang memiliki kedudukan tinggi.
- Dari segi kebutuhan. Tidak ada kebahagiaan didunia maupun di akhirat tanpa syari’at Allah. Dan syariat Allah tidak akan dapat diketahui tanpa kaidah-kaidah ushul. Ma la yatimmu al-fadil illa bihi fahuwa faadhil.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
I.
Kaidah-kaidah ushul fiqh
adalah ilmu yang mandiri. Seluruh ulama sepakat bahwa perbedaan antara ilmu
dengan ilmu yang lain disebabkan oleh faktor tema atau objek serta tujuan dari
ilmu itu sendiri. Ilmu Kaidah-kaidah ushul fiqh memiliki objek dan tujuan yang
berbeda dengan ilmu lainnya bahkan berbeda dengan objek serta tujuan ilmu Ushul
fiqh. Itu artinya ilmu kaidah-kaidah ushul fiqh adalah ilmu yang berdiri
sendiri.
II.
Ada beberapa sumber yang
bisa dijadikan sebagai sumber kaidah ushu>l diantaranya :
a.
al- Qur’an
b.
sunnah
c.
ijma’
d.
Qiyas
e.
perkataan sahabat
III.
Ada banyak faedah yang
dapat kita ambil dari adanya kaidah-kaeadah ushul diantaranya hal itu sangat
berguna bagi penetapan hukum sehingga manusia bisa terhindarkan dari perbedaan.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Ali> al-Fayu>mi>, Ah{mad ibn Muh{ammad ibn. al-Mis}ba>h}
al-Muni>r fi> Gari>b al-Syarh} al-Kabi>r li al-Ra>fi’i>, Juz.
II (Bairut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, t.th.)
abu< abdillah, Muhammad bin ismai>l. shahih
bukhary ( juz 5 : bairut ; da>r ibnu kas{ir. 1987)
abu>
zahrah, Prof. Muhammad. Ushu>l Fiqhi (cet ; 1 jakarta. Pustaka
Jakarta, 1994)
al-Jurja>ni>,‘Ali> ibn Muh{ammad ibn ‘Ali>
. al-Ta’ri>fa>t (Cet. I; Bairut: Da>r al-Kita>b
al-‘Arabi>, 1405 H.)
Al-khatib, Dr. Muhammad ‘ajjaj. Ushul al hadits (bairut
: da>r al Fikr,) terj. oleh H. M. Qodirun Nur. Pokok-pokok ilmu hadis
(Jakarta : gaya media pratama, 1998)
Al-makhsu>l
(jz 1.tp.ttp)
al-Qat}t}a>n, Manna’. Maba>his| fi>
‘Ulu>m al-Qur’a>n .Cet. XIX; Bairut: Muassah al-Risa>lah, 1406
H./1983 M.
al-Ra>zi>, Abu Abdillah Muhammad ibn Umar
Fakhruddin. Mafa>tih} al-Gaib, Juz. XV (Bairut: Da>r
al-Fikr, 1414 H./1992 M.)
al-Z|ahabi>, Muhammad Husain. al-Tafsi>r wa
al-Mufassiru>n, Juz. I ; CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Asy-Syirbashi, Ahmad. Sejarah
tafsir al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001 M.
azzaida>n,
Dr. Abu> kari>m.al wajhu fi ushu>l fiqhi (bairut ; 1987)
Baltaji, Dr. Muhammad. manhaju umar bin khatta>b
fi tasyri’. Penerjemah masturi ilham (cet 1 ;Jakarta ; khalifah. 2005)
Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung:
Syaamil Cipta Media, 1426 H./2005 M.
syakir, Ahmad Muhammad. al bai>ts al hadits syarh
iktishar ulu>m al hadits lil hafiz ibn katsir (cet II ; kairo ; 1951)
Usman, H. Muchlis Kaidah-kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 M.),
zakariyyah, Abi> husai>n ahmad bin fa>risi. Mu’jam
Maqa>isi al-lugah. ( juz 1 : da>r fiqri 390)
[1]Manna’
al-Qat}t}a>n, Maba>his| fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Cet. XIX;
Bairut: Muassah al-Risa>lah, 1406 H./1983 M.), h. 18.
[2]Pada
generasi awal (sahabat) tidak sama pemahaman dan pengetahuannya terhadap
al-Qur’an, baik kuantitas maupun kualitasnya, apatahlagi generasi setelahnya.
Lihat: Muhammad Husain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz.
I (CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah), h. 34.
[3]Departemen
Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 1426
H./2005 M.), h. 273.
[5]Departemen
Agama, op.cit., h. 526.
[6]Departemen
Agama, op.cit., h. 358.
[7]Abu
Abdillah Muhammad ibn Umar Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gaib,
Juz. XV (Bairut: Da>r al-Fikr, 1414 H./1992 M.), h. 46.
[8]Departemen
Agama, op.cit. h. 20.
[9]‘Ali>
ibn Muh{ammad ibn ‘Ali> al-Jurja>ni>, al-Ta’ri>fa>t (Cet.
I; Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1405 H.), h. 219.
[10]H.
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Cet. IV; Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002 M.), h. 3.
[11]Ah{mad
ibn Muh{ammad ibn ‘Ali> al-Fayu>mi>, al-Mis}ba>h} al-Muni>r
fi> Gari>b al-Syarh} al-Kabi>r li al-Ra>fi’i>, Juz. II (Bairut:
al-Maktabah al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 510.
[12]
Prof. Muhammad abu> zahrah. Ushu>l Fiqhi (cet ; 1 jakarta. Pustaka
Jakarta, 1994) h. 1.
[13]
Abi> husai>n ahmad bin fa>risi bin zakariyyah, Mu’jam Maqa>isi
al-lugah. ( juz 1 : da>r fiqri 390) h. 109
[14]
Prof. Muhammad abu> zahrah. Ushu>l Fiqhi Op. cit. H. 2
[15]
Departemen agama. Al qur’an dan terjemahannya (cet 2. 2010) QS. An-nisa : 78
[16]
Al-makhsu>l (jz 1.tp.ttp) H.78
[17]
Dr. Abu> kari>m azzaida>n. al wajhu fi ushu>l fiqhi (bairut
; 1987) h. 8
[18]
Pengertian inilah yang di perpegangi oleh penulis dalam memaknai pengertian ushu>l
fiqhi.
[19]
Prof. Muhammad abu> zahrah. Ushu>l Fiqhi Op. cit. H. 3
[20]
Manna’ al qatta>n, maba>his fi ‘ulumil qur’a>n ( Bairut;
muassas risa>lah : 1983) h. 9
[21]
(QS. AL Isra: 82)
[22]
(QS An Nahl: 89)
[23]
Prof. Muhammad abu> zahrah. Ushu>l Fiqhi Op. cit. H. 118
[24]
Dr. Muhammad ‘ajjaj Al-khatib, Ushul al hadits (bairut : da>r al
Fikr,) diterjemahkan oleh H. M. Qodirun Nur. Pokok-pokok ilmu hadis
(Jakarta : gaya media pratama, 1998) H. 2
[25]
(QS. Ali Imran: 144)
[26]
(QS. Al Hasyr : 7)
[27]
Prof. Muhammad abu> zahrah. Ushu>l Fiqhi Op. cit. H. 308
[28]
Ibid. H. 316
[29]
Muhammad bin ismai>l abu< abdillah, shahih bukhary ( juz 5 :
bairut ; da>r ibnu kas{ir. 1987) h. 1965
[30]
Ahmad Muhammad syakir, al bai>ts al hadits syarh iktishar ulu>m al
hadits lil hafiz ibn katsir (cet II ; kairo ; 1951) h. 201
[31]
Dr. Muhammad baltaji, manhaju umar bin khatta>b fi tasyri’. Penerjemah
masturi ilham (cet 1 ;Jakarta ; khalifah. 2005) h. 485
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....