Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua
setelah al-qur’an,[1]diakui
oleh hampir oleh seluruh umat Islam,[2]
hanya kelompok kecil umat Islam yang menolak hadits sebagai sumber ajran Islam
yang dikenal dengan ingkar al-Sunnah[3].
Tidak diragukan lagi bahwa sunnah Rasulullah
saw menempati posisi yang tinggi dalam agama Islam, oleh karena selain sunnah
merupakan sumber penetapan hukum yang kedua setelah al-Qur’an, sunnah juga
merupakan sumber pengetahuan baik keagamaan atau ma’rifah diniyah, yaitu
hal-hal yang berkaitan dengan alam ghaib yang sumber satu-satunya adalah wahyu,
seperti yang berkaitan dengan Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasul
Allah, surga dan neraka, hari kiamat dan tanda-tandanya, kejadian-kejadian di
akhir zaman, ataupun pengetahuan yang berkaitan dengan aspek kemanusiaan atau jawanib
insaniyah seperti yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan
perekonomian. Selain itu sunnah juga
merupakan sumber peradaban baik dalam tataran konsep peradaban fikhu
hadhary, perilaku peradaban suluk hadhary ataupun pembentukan
peradaban bina’ hadhary. [4]
Dalam study hadis persoalan sanad dan matan terkhusus
kepada sanad merupakan unsure penting yang menentukan keberadaan dan kualitas
suatu hadis sebagai sumber otoritas ajaran Nabi Muhammad SAW, unsur itu sangat
penting artinya dan antara ygn satu dengan yang lainnya salin berkaitan.[5]
Oleh karena posisi sunnah yang begitu urgen
dalam agama, maka perhatian para ulama terhadap sunnah sejak masa sahabat
sampai sekarang terus terjaga, baik dalam bentuuk pemeliharaan sunnah dengan
periwayatan kepada orang lain melalui hapalan atau tulisan dalam bentuk kajian-kaian
yang mendalam terhadap metodologi penerimaan dan penyampaian suunah, penilaian
terhadap periwayat hadist dan penyeleksian sunnah dari segi bisa tidaknya
penyandaran suatu ucapan, pebuatan, ataupun ketetapan terhadap nabi
dipertanggungjawabkan keabsahannya. Untuk tujuan pertama kemudian melahirkan
ilmu hadist riwayat, sementara untuk tujuan yang kedua melahirkan ilmu hadist
dirayah.[6]
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas
maka penulis mengambil beberapa rumusan masalah diantaranya :
a.
Apa pengertian keadilan dalam
periwayatan hadis?
b.
Peringkat keadilan perawi?
c.
Apa kaedah keadilan periwayat
dalam hadis?
Bab II
Pembahasan
A. Apa pengertian keadilan dalam periwayatan hadis?
ada dua
istilah dalam ilmu hadis yang terkait masalah keadilan para perawi yang pertama
‘adil dan yang kedua ta’dil :
para
ulama berbeda pendapat tentang criteria-kriteria periwayat hadis disebut ‘adil.
Al hakim berpendapat bahwa seorang disebut adil apabila beragama islam, tidak
berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat.[7] Ibnu Shalah menetapkan
lima criteria seorang periwayat disebut adil, yaitu beragama islam, balig,
berakal, memelihara muru>’ah dan tidak berbuat fasiq.[8] Pendapat serupa
dikemukakan Al Nawawi. [9] sementara itu ibnu hajar
menyatakan bahwa sifat adil dimiliki oleh seorang periwayat yang taqwa.
Ta’di>l menurut
bahasa mempunyai beberapa arti: 1) menegakkan, misalnya orang menegakkan hukum;
2) membersihkan, misalnya orang membersihkan sesuatu; 3) membuat seimbang,
misalnya orang membuat seimbang dalam penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil
mempunyai tiga pengertian, yaitu menegakkan (al-taqwin), membersihkan (al-tazkiyah)
dan membuat seimbang (al-taswiyah).[10]
Menurut
istilah, Ta-dil adalah menyebutkan tentang keadaan rawi yang diterima
periwayatannya. Hal ini
merupakan gambaran terhadap sifat-sifat seorang rawi yang diterima. [11]
Al hakim berpendapat bahwa seorang disebut ‘Adil apabila
beragama
Sementara
itu, TM. Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
وصف الرّ اوي بصفات تو جب عدالتي هي مداو الفبول لرو اليته
Artinya:
Mendefinisikan si perawi
dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak
penerimaan riwayatnya.[12]
Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa menetapkan keta’dilan atau jarh
kepada seseorang memegang peranan yang sangat penting, bahkan menurut Mahmud
Ali Fayyad, menetapkan keta’dilan itu sama dengan persaksian terhadap
bersihnya seorang perawi, dan menetapkan jarh itu sama dengan menetapkan
bahwa seorang perawi yang dijarh itu tidak bermoral berdasarkan
bukti-bukti kecacatan seseorang, betapa pentingnya persaksian ini karena
pengalaman sunnah itu bergantung kepadanya.[13]
Dalam hubungan inilah
perlunya kaedah al jarh wa ta’dil.
Kaedah-kaedah jarh dan ta’dil adalah sebagai
berikut:
1.
Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis, shah
periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdun
Kharijiun atau kritik yang datang dari luar hadis (kritik yang tidak
mengenai diri hadis).
2.
Berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih
atau tidak dan apa jalan-jalan keshalihannya dan ketiadaan shalihannya, ini
dinamakan Naqdun Dakhiliyun atau kritik dari dalam hadis. [14]
Dalam
kaitannya dengan keadaan para periwayat, ulama ahli hadis telah menyusun
peringkat para periwayat dilihat dari kualitas pribadi dan kapasitas
intelektual mereka. Ulama ahli hadis tidak sepakat tentang jumlah peringkat
yang berlaku untuk al-jarh wa at-ta’dil; sebagian ulama membagi menjadi
empat perangkat; yang laim membagi menjadi lima peringkat; dan yang lain
membagi menjadi enam peringkat.[15]
Menurut
Arifuddin Ahmad, perbedaan jumlah peringkat bagi para periwayat hadis mengenai al-jarh
wa at-ta’dil, sedikitnya disebabkan oleh tiga hal yaitu: (1) karena
terdapat perbedaan pandangan dalam penetapan bobot kualitas terhadap
periwayatan tertentu; (2) karena terdapat perbedaan lafal untuk penyifatan
kualitas periwayat yang sama; (3) karena dari kalangan ulama ada yang tidak
konsisten dalam menyifati periwayat tertentu.[16]
Dengan
demikiandapat ditegaskan bahwa kritik terhadap para periwayat, para ulama ahli
hadis cukup hati-hati, baik dari segi keterpujian maupun dari segi ketercelaan.
Adapun
kritik dari dalam hadis (naqdun dakhiliyun), Arifuddin Ahmad menegaskan
bahwa apabila argumen-argumen yang diujikan untuk matan hadis
bersangkutan telah memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, maka matan hadis
bersangkutan adalah sahih. Sebaiknya, apabila argumen-argumen yang diajukan
tidak memenuhi kaidah kesahihan matan, maka matan hadis
bersangkutan adalah dhaif pula. [17]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditegaskan bahwa,
apabila penelitian itu dilakukan secara cermat dan menggunakan pendekatan yang
tepat maka dapat dipastikan bahwa setiap sanad yang sahih pasti memiliki
matan yang sahih, sebab adanya syadz dan atau illat pada
matan tidak terlepas dari kelemahan pada sanad, seperti contoh dalam
hadis ‘abdullah bin zaid tengtang tatacara wudhu nabi bahwasanya “beliau
mengusap kepala beliau bukan dengan sisa air basuhan tangan beliau” muslim
meriwayatkan hadis ini melalui jalur ibnu wahab, sedangkan al baihaqy juga
meriwayatkan hadis ini dengan jalur yang sama dengan lafaz “beliau mengambil
air untuk mengusap kedua telinga beliau selain air yang digunakan ungutk
mengusap kepala beliau”. Riwayat al baihaqy adalah sya>z karena orang
yang meriwayatkan dari jalur ibnu wahab adalah perawi tsiqah, tetapi dia
menyelisihi banyak periwayatn lain. Sekelompok orang meriwayatkan dengan jalur
ibnu wahb yang lafaznya sama dengan yang diriwayatkan muslim. Atas dasar ini
riwayat al baihaqy tidak shahih sekalipun para perawinya adalah kredibel tisqah.[18] hal
ini disebabkan pendekatan yang digunakan dalam mengambil natijah terhadap
penelitian sanad ataupun matan kurang tepat. Misalnya sikap yang longgar dalam
menilai seorang periwayat; penelitian terhadap lambang-lambang periwayatan yang
kurang cermat dan matan hadis yang diteliti tampak bertentangan dengan
matan hadis atau dalil lain yang lebih kuat dinyatakan sebagai hadis yang dhaif,
padahal, hadis yang bersangkutan mungkin sifatnya berbeda, yang satu
bersifat universal dan yang lain bersifat temporal atau lokal, kekeliruan
disebabkan oleh kesalahan menggunakan pendekatan penelitian.
B.
Tingkatan ta’dil dan lafal-lafalnya
Tingkat
pertama: yang menggunakan bentuk
superlatif dalam penta’dilan atau dengan menggunakan wazan “af ala”[19] yang
menunjukkan arti “sangat” dalam kepercayaan, seperti ucapan:
a. اوثق النا س = orang yang paling dipercaya
b. اثبت الناس = orang yang paling teguh
Tingkat
kedua: dengan mengulang-ulang
lafal ‘adalah dua kali atau lebih baik yang diulangnya itu, bentuk
lafaknya sendiri, seperti ثبت ثبت = orang yang teguh lagi teguh, atau yang diulangnya itu
dalam bentuk maknanya seperti ucapan mereka ثقة حجّة=
orang yang dipercayai lagi pula hujja dan ثقة ثبت =
orang yang dipercayai lagi pula teguh.[21]
Setiap
pengulangan lafal yang lebih banyak, itu menunjukkan atas kuatnya tingkatan
rawi di dalam segi ‘adalah-nya.
Tingkatan
ketiga: yaitu lafal yang
menunjukkan pada tingkatan rawiyang mencerminkan kedhabithan, atau
menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu.
Seperti ucapan: ثبت= orang yang teguh (hati dan
lidahnya), ثقة= orang yang tsiqah, حجّة=seorang tokoh, dan, متقن=orang yang meyakinkan (ilmunya).[22]
Tingkatan
keempat: yaitu lafal-lafal yang
menunjukkan kepada tingkatan perawi yang tidak mencerminkan kedhabithan
penuh, atau yang menunjukkan adanya keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan
hafalan dan ketelitian. Seperti ucapan صدوق=
jujur, لاباس با=tidak mengapa dengannya, menurut
selain Ibnu Ma’in, sebab menurut ibnu Ma’in kalimat adalah tsiqah,
kemudian لاباس با = tsiqah. kemudian
خيارالناس=
orang pilihan. Imam al-Sakhawi berkata setelah menyebutkan tingkatan-tingkatan ta’dil
sebagai berikut” sesungguhnya penetapan pada ahli tingkatan-tingkatan yang
dijadikan hujjah dengan keempat tingkatan yang pertama, diantaranya.”[23] Ucapannya
bersesuaian dengan kelompok mu’tadilin ulama al-jarh wa al-ta’dil.
Para pengkaji mengetahui bahwa sebagian ulama mengemukakan bahwa pemilik
tingkatan keempat, hadisnya ditulis, diperhatikan, dan diberitahukan hadisnya
sehingga diketaui kedhabithannya.
Tingkatan
kelima: lafal-lafal yang
menunjukkan pada tingkatan perawi yang terlintas persyaratan dhabith,
tetapi lebih kecil kedhabithannya daripada tingkatan keempat. Seperti
ucapannya:[24]
= sesuatu mendekati hadisnya.
ما اقرب حديثه
= hadisnya baik
صالح الحديث
= guru yang
baik ثيح صالح
Tingkatan
keenam yaitu: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawi yang memilki
sifat-sifat adalah yang tidak kuat seperti ucapan:[25]
= insya
Allah dia jujur
صدوق ان شاءالله
= orang yang diharapkan tsiqat atau tidak cacat. ارجو ان لا باس با
= orang
yang sedikit kesalihannya. صو بلح
=
ditulis hadisnya, dan
يكتب حديثه
=
dii’tibarkan hadisnya (hanya untuk
dipertimbangkan hadisnya) يعتبر به
Adapun
hukum tingkatan ini menurut Syaikh Manna al-Qaththan adalah:
a.
Untuk tiga tingkatan yang pertama, dapat dijadikan hujjah,
tetapi meskipun sebagian besar mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
b.
Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan
hujjah, tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji kedhabithan mereka
dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang
dhabith, jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan hujjah, jika
tidak sesuai maka ditolak, meskipun dia dari tingkatan kelima yang lebih rendah
dari tingkatan keempat.
c.
Sedangkan tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah,
tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertambangan saja bukan
untuk pengujian, karena mereka tidak dhabith.
d.
Dengan demikian dapat dtegaskan bahwa rawi-rawi yang
ditolak hadisnya untuk dijadikan hujjah, dalam segi keagamaannyaialah
orang-orang baik dan ‘adalah, namun ketercelaanya hanyalah dari segi
kedhabithannya saja (daya hafal dan daya ingat) kurang baik.[26]
C.
Apa
kaedah keadilan periwayat dalam hadis?
Para
ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu teknik atau teori agar
penelitian terhadap periwayat hadis dapat lebih objektif, sebagai berikut:
1. التعاديل مقدّ م على المجرح
Artinya:
at-ta’dil didahulukan atas al-jarh.[27]
Maksudnya,
bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai
tercelah oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah kritikan yang bersifat
pujian. Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji. Sedangkan sifat
tercela merupakan sifat yang datang kemudian.
Karenanya, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang
kemudian, maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya. Pendukung teori ini oleh an-Nasa’i (w. 303
H/915 M), namun pada umumnya ulama hadis tidak menerima teori tersebut, karena
kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh
periwayat yang dinilainya, sedang kritikus yang mengemukakan celaan adalah
kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya.
2. الجرح مقدّم على التّعد يل
Artinya: al-jarh didahulukan atas at-ta’dil.[28]
Maksudnya,
bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji
oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi
celaan.
Alasannya
adalah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat
yang dicelanya. Dan dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan
baik dari pribadi kritikus hadis, dan persangkaan baik itu harus “dikalahkan”
bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimilikioleh periwayat yang
bersangkutan. Pendukung teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan
ulama ushul fiqh.
Dikatakan
oleh Imam Ahmad, “setiap rawi yang telah ditetapkan ‘adalah-nya tidak
akan diterima pen-tarjih-an dari seseorang kecuali telah betul-betul dan
terbukti bahwa keadaan rawi itu mengandung sifat jarh.”[29]
3. اذا تعا رض الجا رح والعدّ ل فا
لحكم للمعدّ ل الا اذا ثبت الجرح الفسّر
Artinya:
Apabila terjadi
pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus
dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang memuji,
kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang
sebab-sebabnya.[30]
Maksudnya,
apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh
kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan
yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang
bukti-bukti ketercelaan periwayat yang yang bersangkutan.
Alasannya,
kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang
dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada
kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.
Pendukung
teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis. Namun, sebagian dari mereka
ada yang menyatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan haruslah
relevan dengan upaya penelitian. Dan bila kritikus yang memuji telah mengetahui
juga sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang
bahwa sebab-sebab ketercelaannya itu memang tidak relevan, maka kritikannya
yang memuji tersebut yang harus dipilih.
Dengan
demikian, dapat ditegaskan bahwa kontradiktif antara jarh dan ta’dil
hanya bisa terjadi bila betul-betul tidak ditemukan jalan penyelesaiannya.
Sedangkan kontradiktif yang masih memungkinkan dihilangkan tidak dikatakan
kontradiktif, bahkan bisa ditempuh cara lain yaitu tarjih.[31]
(dicari yang lebih unggul).
Seperti
seorang rawi di-rajh dengan penilaian fasik karena diketahui
kefasikannya, tetapi taubat rawi itupun diketahui. Dengan demikian, rawi
tersebut tidak termasuk jarh/berdusta pada Rasulullah.
4. اذا كان الجارح ضعيفا فلا يقبل جر
حه للثّقة
Artinya:
Apabila kritikus yang
mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong da’if, maka kritikannya
terhadap orang yang siqah tidak diterima.[32]
Maksudnya,
apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak siqah, sedangkan yang
dikritik adalah orang yang tidak siqah, maka kritikan orang yang tidak siqah
tersebut harus ditolak.
Alasannya,
orang yang bersifat siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat
daripada orang yang tidak siqah, dalam hal ini dapat dikemukakan
pernyataan al-A’raj (w.117 H)[33] berkata
bahwa Abu Hurairah banyak menerima hadis adri Nabi Muhammad saw, selalu hadir
pada majlis Nabi Muhammad saw. dan tidak akan lupa apa yang telah didengarnya
dari Nabi Muhammad saw. Pernyataan al-A’raj menunjukkan bahwa Abu Hurairah
merupakan periwayat hadis yang siqah, karena Al-A’raj tergolong kritikus yang siqh.
5. لايقبل الجرح الا بعد التّثّبت
خثية الا شبا ه فى الجروحين
Artinya:
Al-jarh tidak diterima
kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran
terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.[34]
Maksudnya,
apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupu kemiripan dengan nama periwayat
lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka
kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa
kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan
nama tersebut.
Alasanya,
suatu kritikan ahris jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seseorang, maka
orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan. Pendukung teori ini adalah ulama
ahli kritik hadis.
6. الجرح النا شئ عن عد اوة د نيو يّة
لا يعتدّ به
Artinya:
Al-jarh yang dikemukakan
oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tdak perlu diperhatikan.[35]
Maksudnya,
apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang
bermusushan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik
dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.
Alasannya,
bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya
penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan
periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlakuk tidak jujur karena
didorong oleh rasa kebencian.[36]
Dari
sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing, maka menurut
penulis, yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang
lebih objektif terhadap para periwayat hadis baik yang berhubungan dengan
intergritas kepribadiannya maupun kapasitas intelektualnya.
Dengan
demikian, dapat ditegaskan bahwa apabila seorang rawi di-jarh oleh para
ahli kritik yang siqah sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus
ditolak. Dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima.
Dalam
menetapkan Rijal al-Hadis, para ulama telah melaksanakan sebuah usaha
untuk mengkritik perawi dan menerangkan keadaan-keadaan mereka. Ada tiga
peristiwa penting yang mengharuskan adanya kritik atau penelitian para perawi
(sanad) hadis.[37]
Pertama,
pada zaman Nabi Muhammad saw. tidak seluruh
hadis tertulis, kedua, sesudah zaman Nabi Muhammad saw, terjadi
pemalsuan hadis, ketiga, perhimpunan hadis secara resmi dan massal
terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis. Hadis sebagai sumber
ajaran Islam meniscayakan adanya kepastian validitas bersumber dari Nabi
Muhammad saw.
Dalam
hubungan ini, para ulama telah membuat undang-undang guna menetapkan mana
orang-orang yang boleh diterima riwayatnya dan mana yang tidak. Mana yang boleh
ditulis hadisnya dan mana yang tidak. Dan mereka menerangkan mana orang-orang
yang tidak boleh sama sekali diterima hadisnya; lahirlah ilmu Jarhi wa
Ta’dil.[38]
Bab III
Kesimpulan
a.
Apa pengertian keadilan dalam
periwayatan hadis?
Al hakim berpendapat
bahwa seorang disebut adil apabila beragama islam, tidak berbuat bid’ah dan
tidak berbuat maksiat. Ibnu Shalah menetapkan lima criteria seorang periwayat
disebut adil, yaitu beragama islam, balig, berakal, memelihara muru>’ah dan
tidak berbuat fasiq. Pendapat serupa dikemukakan Al Nawawi. sementara itu ibnu
hajar menyatakan bahwa sifat adil dimiliki oleh seorang periwayat yang taqwa. Ta’di>l menurut
bahasa mempunyai beberapa arti: 1) menegakkan, misalnya orang menegakkan hukum;
2) membersihkan, misalnya orang membersihkan sesuatu; 3) membuat seimbang,
misalnya orang membuat seimbang dalam penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil
mempunyai tiga pengertian, yaitu menegakkan (al-taqwin), membersihkan (al-tazkiyah)
dan membuat seimbang (al-taswiyah).
b.
Peringkat keadilan perawi?
Tingkat pertama: yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan
atau dengan menggunakan wazan “af ala Tingkat kedua: dengan
mengulang-ulang lafal ‘adalah dua kali atau lebih baik yang diulangnya
itu, bentuk lafaknya sendiri Tingkatan ketiga: yaitu lafal yang
menunjukkan pada tingkatan rawiyang mencerminkan kedhabithan, atau
menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu
Tingkatan keempat: yaitu lafal-lafal yang menunjukkan kepada tingkatan
perawi yang tidak mencerminkan kedhabithan penuh, atau yang menunjukkan
adanya keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian
Tingkatan kelima: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan perawi yang
terlintas persyaratan dhabith, tetapi lebih kecil kedhabithannya
daripada tingkatan keempat.
c.
Apa kaedah keadilan periwayat
dalam hadis?
1.
التعاديل مقدّ م على المجرح
2.
. الجرح مقدّم على التّعد يل
3.
. اذا تعا رض الجا رح والعدّ ل فا
لحكم للمعدّ ل الا اذا ثبت الجرح الفسّر
4.
. اذا كان الجارح ضعيفا فلا يقبل جر
حه للثّقة
5.
لايقبل الجرح الا بعد التّثّبت خثية الا شبا ه فى الجروحين
6.
. الجرح النا شئ عن عد اوة د نيو يّة لا يعتدّ به
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil,
diterjemahkan oleh A. zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan
Pengimplementasiannya (cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003),
al-Din
Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthiy, Miftah al-Jannah fi al-Ihyijaj bi
al-Sunnah (Cet. III; al-Madinah al-Munawwarah Maktabah al-Rasyid, 1399
H/1979 M),
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi
(Cet.I; Jakarta: Renaisan, 2005)
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik
Hadis, (cet.I: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
Erfan
Soebhar. Dr. HM, menguak fakta keabsahan Al- sunnah: kritik Mustafa al siba’I
terhadap pemikiran ahmad amin mengenai hadis dalam fajr al Islam ( kencana :
bogor) cet 1. 2003.
Erfan
Soebhar. Dr. HM, menguak fakta keabsahan Al- sunnah: kritik Mustafa al siba’I
terhadap pemikiran ahmad amin mengenai hadis dalam fajr al Islam ( kencana :
bogor) cet 1. 2003.
M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet
I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988),
M.Syuhudi
Ismai, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta:
Gema Insani Press’ 1985),
Mahmud Ali Fayyad, Manhaj al-Muhadditsiin fii Dhabth
as-Sunnah, diterjmahkan oleh A. Zarksy Chumaidy (Cet.I;Bandung: CV. Pustaka
Setia, 1998),
Muhammad
Ajjad al-Katib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
al-Fikri 1395H/1975M0,
Muhammad
binIdris al-Syafi’I al-Um, (ttp: Dar al-Sya’ib t.th),
Nuruddin
‘Itr, Manhaj, an-Naqd fi Ulum al-Hadist, (Cet. III, Beirut: Dar al-Fikr,
1997),
Nuruddin
‘Itr, Manhaj, an-Naqd fi Ulum al-Hadist, (Cet. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1997),
Subhi
al-Shaleh, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, (Cet.IX: Beirut:Darl al-Ilm li
al-Malayin, 1977),
Syaikh
Muhammad bin shalih al utsaimin, ‘ilmu mustalah al hadis (dar al atsar :kairo:
mesir) cet. 1, 2002 diterjemahkan oleh ahmad s marzuki, Mustalahal hadits
(media hidayah : jogyakarta) cet 1. 2008. H. 30
Yusuf
al-Qardhawi, as-Suunah Masdhar li al-Ma’rifah wa al Hadharah, (Cet. II;
Mesir: Dar as-Syuruq, 1998)
[1] Lihat Subhi al-Shaleh, Ulum al-Hadis wa
Musthalahuhu, (Cet.IX: Beirut:Darl al-Ilm li al-Malayin, 1977), h.3. Lihat
pula M.Syuhudi Ismai, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press’ 1985),h.3. lihat pula Muhammad
Ajjad al-Katib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
al-Fikri 1395H/1975M0,h.18-19.
[2] Lihat Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abi Bakar
al-Suyuthiy, Miftah al-Jannah fi al-Ihyijaj bi al-Sunnah (Cet. III;
al-Madinah al-Munawwarah Maktabah al-Rasyid, 1399 H/1979 M), h.5. Lihat pula M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet
I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 3
[3]
AL-Asyafi’I, membagi ingkar al-Sunnah kepada tiga golongan yaitu: a)
golongan yang menolak seluruh; b) golongan yang menolak sunnah kecuali sunnah
itu memilii kesamaan dengan petunjuk al-Quran; dan c) golongan yang menolak
sunnah yang berstatus ahad. Lihata Muhammad binIdris al-Syafi’I al-Um,
(ttp: Dar al-Sya’ib t.th), h. 250-256.
[4] Lihat
Yusuf al-Qardhawi, as-Suunah Masdhar li al-Ma’rifah wa al Hadharah,
(Cet. II; Mesir: Dar as-Syuruq, 1998) h.8-9
[5] Erfan Soebhar. Dr. HM, menguak
fakta keabsahan Al- sunnah: kritik Mustafa al siba’I terhadap pemikiran
ahmad amin mengenai hadis dalam fajr al Islam ( kencana : bogor) cet 1. 2003.
H. 175
[6]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj, an-Naqd fi Ulum al-Hadist, (Cet. III, Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), h. 25
[7] Alhakim Al-naisabury, marifah’ulumul
al –hadis (maktabah al mutanabbih ; kairo ) tth. H. 53
[8] Abu ‘amar ‘ustman ibn ‘abd
rahman ibn shalah, ulumul hadis (al makta>b al islamiah :madina) 1972.
H. 94
[9]
Abu zakariyah yahya ibn syarf al nawawi, al taqrib al nawawi fann ushul al
hadis (‘abd al rahman Muhammad :kairo) tth juz 1. H. 12 dalam buku idris.
Dr. M.Ag, Study hadis (kencana :Jakarta) 2010. H. 163
[12]TM.
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, op.cit.,
h. 327
[13]Mahmud
Ali Fayyad, Manhaj al-Muhadditsiin fii Dhabth as-Sunnah, diterjmahkan
oleh A. Zarksy Chumaidy (Cet.I;Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 58.
[14]TM.
Hasbi Ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, loc.cit.
[15]Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Renaisan,
2005) h. 96.
[16]Ibid
[17] Ibid, h. 128.
[18] Syaikh Muhammad bin shalih al
utsaimin, ‘ilmu mustalah al hadis (dar al atsar :kairo: mesir) cet. 1,
2002 diterjemahkan oleh ahmad s marzuki, Mustalahal hadits (media
hidayah : jogyakarta) cet 1. 2008. H. 30
[19]Syaikh
Manna’ AL-Qaththan,op.cit., h. 88.
[22]Abdul Mawjud Muhammad
Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil,op.t., h. 62.
[25]Ibid, h. 67.
[27]M.
Syhudi Ismail,op.cit., h. 77
[28]Ibid, h.
78.
[29]Abdul
Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A.
zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya
(cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003), h. 40.
[30]M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis,op. Cit., h. 78.
[32]M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 52
[33]Bustamin
dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, op.cit., h. 52.
[34]M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 80
[36]Ibid.
[37]Bustamin
dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (cet.I: Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004), h.11.
[38]TM.
Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., h. 79.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....