BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sebuah ikatan sakral atau suci antara suami dan
isteri. Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ibadah dan ketaatan. Hal
tersebut akan mendatangkan pahala jika niat diikhlaskan dan memuluskan kehendak
pada aturan-aturan yang ada.[1]
Dari beberapa pernikahan yang ada, pernikahan Nabi saw. adalah pernikahan yang
terus dikaji hingga saat ini. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah hidup
beliau yang dikenang dan dikritisi sepanjang masa disebabkan beliau adalah
utusan Allah swt.
Dalam berbagai buku sirah Nabawiyah disebutkan bahwa usia pernikahan
Aisyah ra dengan Nabi saw. SAW adalah sekitar 6 (enam) atau 9 (sembilan) tahun.
Namun tidak banyak terungkap tentang alasan yang mendasari usia pernikahan dini
tersebut sehingga seringkali dijadikan “pembenaran” oleh sebagian kalangan
laki-laki muslim yang menikahi anak-anak yang masih di bawah umur.[2]
Jika di Indonesia tentu masih teringat dengan kasus pernikahan Syekh Puji
dengan gadis berusia belia yang menuai pro kontra di tengah-tengah masyarakat. Namun, salah satu masalah yang mengejutkan umat Islam
adalah tuduhan para orientalis bahwa nabi memiliki ketertarikan seksual kepada
anak perempuan dibawah umur. Nikah dini adalah ritual yang sudah
sangat populer dikalangan masyarakat. Mendengar ungkapan nikah dini, berbagai
tanggapan dan respon yang beragam pun bermunculan dari mulut ke mulut. Ada yang
mengungkapkan rasa salut mereka, ada yang merinding, dan tidak sedikit pula
yang mencibir. Kontroversi dan pro kontra mengenai nikah dini dikalangan
masyarakat sudah bukan hal yang aneh lagi. Untuk itulah dibutuhkan sebuah
kajian mengenai dalil tentang hal tersebut.
Salah satu hadis yang membutuhkan pemahaman secara komprehensif adalah
hadis yang terkait dengan pernikahan dini, karena hadis merupakan sumber kedua
dalam menetapkan syariat hukum Islam maka masalah yang terkait ini sangat
perlu mendapat perhatian dengan metode tahlili. Salah satu alasannya karena al-hadis tidak semuanya qath’i
al-wuru>d (valid dari Nabi
saw.).[3]
Oleh karena itu, dibutuhkan takhrij al-Hadis (pembuktian kevalidan) dan
pemahaman yamg mendalam dengan menggunakan berbagai pendekatan, baik secara
tekstual, interteks maupun kontekstual. Pascapenetapan status hadis, bukan berarti masalah hadis telah selesai,
akan tetapi pendalaman dan pengkajian tentang maksud dan kandungan hadis juga
tidak kalah pentingnya, sebab matan hadis terkadang diriwayatkan secara makna.
Adapun hadis yang dikaji dalam makalah ini penulis membatasinya hanya pada
riwayat Bukhari saja.
Untuk itulah, hadis mengenai pernikahan dini yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis penting untuk dieksplorasi kandungan dan pesan
ilahiyahnya agar didapatkan pemahaman yang utuh dan komprehensif sehingga
nilai-nilai yang dikandung dapat memberikan wawasan dan terus menjadikan hadis Nabi
saw. saw sebagai rahmatan li al-‘a>lami>n.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis
memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana takhrij hadis
mengenai pernikahan dini?
2. Bagaimana syarah hadis hadis
tentang pernikahan dini?
3. Apa pesan dan petunjuk
hadis tentang pernikahan dini?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis
yang Dikaji
حدثني
عبيد بن إسماعيل حدثنا أبو أسامة عن هشام عن أبيه قال: توفيت خديجة قبل مخرج النبي
صلى الله عليه وسلم إلى المدينة بثلاث سنين فلبث سنتين أو قريبا من ذلك ونكح عائشة
وهي بنت ست سنين ثم بنى بها وهي بنت تسع سنين. [4]
Artinya:
“Khadijah wafat tiga tahun sebelum Nabi saw.. hijrah ke
Madinah lalu menetap di Madinah kurang lebih dua tahun dan menikahi Aisyah
sedang dia berumur enam tahun dan tinggal bersamanya ketika berumur Sembilan
tahun.”
B. Takhrij
Hadis
Setelah melakukan pencarian terhadap kitab al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s, dengan menggunakan salah satu kata
hadis tersebut yaitu نكح maka
ditemukanlah hadis tersebut terdapat dalam kitab hadis S{ahih
Bukha>ri> , selain pencarian dengan kata tersebut didapatkan pula
hadis dengan menggunakan kata تزوج dengan
lafaz{ sebagai berikut:
Hadis
Riwayat Bukhari:[5]
1- حدثني
فروة بن أبي المغراء حدثنا علي بن مسهر عن هشام عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها
قالت: تزوجني النبي صلى الله عليه و سلم وأنا بنت ست سنين فقدمنا المدينة فنزلنا
في بني الحارث بن خزرج فوعكت فتمزق شعري فوفى جميمة فأتتني أمي أم رومان وإني لفي
أرجوحة ومعي صواحب لي فصرخت بي فأتيتها لا أدري ما تريد بي فأخذت بيدي حتى أوقفتني
على باب الدار وإني لأنهج حتى سكن بعض نفسي ثم أخذت شيئا من ماء فمسحت به وجهي ورأسي ثم أدخلتني الدار فإذا نسوة من
الأنصار في البيت فقلن على الخير والبركة وعلى خير طائر فأسلمتني إليهن فأصلحن من شأني
فلم يرعني إلا رسول الله صلى الله عليه و سلم ضحى فأسلمتني إليه وأنا يومئذ بنت
تسع سنين
Hadis Riwayat
Muslim[6]
2- وحدثنا
يحيى بن يحيى أخبرنا أبو معاوية عن هشام بن عروة ح وحدثنا ابن نمير حدثنا عبدة عن هشام عن أبيه عن عائشة قالت تزوجني النبي صلى
الله عليه و سلم وأنا بنت ست سنين وبنى بي وأنا بنت تسع سنين
Hadis riwayat
Nasai[7]
3- أخبرنا
محمد بن آدم عن عبدة عن هشام عن أبيه عن عائشة قالت: تزوجني رسول الله صلى الله
عليه وسلم وأنا بنت ست ودخل علي وأنا بنت تسع سنين وكنت ألعب بالبنات
4- أخبرنا
أحمد بن سعد بن الحكم بن أبي مريم قال حدثنا عمي قال حدثنا يحيى بن أيوب قال
أخبرني عمارة بن غزية عن محمد بن إبراهيم عن أبي سلمة بن عبد الرحمن عن عائشة قالت تزوجني رسول
الله صلى الله عليه وسلم وهي بنت ست سنين وبنى بها وهي بنت تسع
Hadis riwayat
Ibn Majah[8]
5- حدثنا
أحمد بن سنان حدثنا أبو أحمد حدثنا إسرائيل عن أبي إسحاق عن أبي عبيدة عن عبد الله
قال: تزوج النبي صلى الله عليه و سلم عائشة وهي بنت سبع سنين. وبنى بها وهي بنت
تسع سنين. وتوفي عنها وهي بنت ثماني عشر سنة
Hadis riwayat
Ahmad Ibn Hanbal[9]
6-
حدثنا
سليمان بن داود ، قال : أخبرنا عبد الرحمن ، عن هشام بن عروة ، عن أبيه ، قال :
قالت عائشة : تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا ابنة ست سنين بمكة ، متوفى
خديجة ، ودخل بي وأنا ابنة تسع سنين بالمدينة.
C. Biografi
Rawi A’la>
‘Urwah bernama
lengkap ‘Urwah ibn al-Zubair ibn al-‘Awwa>m ibn Khuwailid ibn Asad ibn ‘Abd
al-‘Azzi> ibn al-Qus}ai al-Asadi> al-Madani>.[10] Para sejarawan berbeda
pendapat tentang tahun kelahirannya, menurut al-Mugi>ri>, dia dilahirkan
pada tahun 23 yaitu pada akhir pemerintahan ‘Umar ibn al-Khat}t}ab, sedangkan
‘Us\ma>n ibn Kharza}z\ berkata, dia lahir pada tahun 29 H. Dia habiskan
waktunya untuk membaca seperempat al-Qur’an setiap hari dengan teliti dan berfikir.
Sedangkan tahun wafatnya juga diperselisihkan, ada yang mengatakan tahun 91 H.
atau 92 H. atau 93 H. atau 94 H. 95 H.
atau 97 H. atau 99 H.[11]
Dia meriwayatkan hadis dari Usa>mah ibn Zaid, Ja>bir
ibn ‘Abdillah, ayahnya al-Zubair ibn al-‘Awwa>m, Zaid ibn S}|a>bit,
Abu> Hurairah, ibunya Asma>’ bint Abi> Bakr, bibinya ‘A<isyah
bint Abi> Bakr dan yang lain. Sedangkan murid-muridnya antara lain
adalah Abu> al-Zina>d ‘Abdullah ibn Z|akwa>n, ‘At}a>’ ibn Abi>
Rabba>h}, ‘Umar ibn ‘Abd al-Azi>z, Ibn Syiha>b al-Zuhri>, anaknya Hisya>m
ibn ‘Urwah dan yang lain.[12]
Menurut Muhammad ibn Sa’ad, dia adalah s\iqah,
banyak hadisnya, ahli fiqhi, ‘a>lim, dapat dipercaya dan s\a>bit.
Ahmad al-‘Ajli> berkata, dia adalah s\iqah, saleh dan tidak ikut
campur dalam peperangan antar sahabat.[13]
D. Status Hadis
Setelah melakukan penelitian dan pengkajian terhadap hadis
di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut termasuk mursal (Hadis
yang hanya sampai pada level ta>bi’i>n yang disebut dengan mursal
al-ta>bi’i), namun ditemukan dalam beberapa sanad yang lain sahabat yang
tidak disebutkan yaitu ‘A<isyah bint Abi> Bakr sehingga dengan demikian
hadis tersebut menjadi marfu’ (hadis yang disandarkan dan sampai kepada Nabi
saw..).
Dengan demikian, hadis di atas menjadi s}ah}i>h}
dengan beberapa alasan:
1.
Semua perawi hadisnya s\iqah.
2.
Hadis tersebut memiliki beberapa sanad.
3.
Didukung oleh muta>bi’ (perawi yang ada di level
tabi’i>n lebih dari satu).
4.
Terdapat dalam kitab al-S}ah}i>h}ain.
5.
Dianggap s}ah}i>h} oleh Imam al-Alba>ni.
E. Makna
Mufradat
توفيت : Kata tersebut berasal dari huruf waw,
fa’ dan huruf al-mu’tal yang artinya kesempurnaan atau
penyempurnaan.[14]
kemudian ketiga huruf tersebut diikutkan waza تَفَعَّلَ
sehingga menjadi kata توفى
yang bermakna “telah
disempurnakan” karena ruhnya dicabut oleh Allah swt. Sehingga setiap jasad yang
ruhnya telah dicabut dan diambil semua oleh Allah disebut wafat.
مخرج : Kata ini terdiri dari huruf kha’, ra dan
jim yang memiliki dua arti, yaitu terlakasananya sesautu dan perbedaan
dua warna.[15]
Namun dalam hadis kata مخرج bukan dimaksudkan sebagai ism al-maka>n (nama tempat)
akan tetapi yang dimaksud adalah mas}dar,
sehingga maknanya kemudian adalah keluar dari satu tempat ke tempat yang lain
(perbedaan dua warna).
فلبث : Kata ini berakar kata dari huruf lam, ba’
dan s\a’ yang berarti berdiam diri atau menetap.[16] Dan
kadang bermakna menunggu.[17]
Namun kedua arti tersebut dapat digabungkan sehingga yang dimaksud فلبث
dalam hadis di atas
adalah menunggu dengan cara berdiam diri tanpa melakukan pernikahan.
نكح : Kata ini pada dasarnya
bermakna persetubuhan.[18]
Hal itu dapat dipahami karena maksud dari pernikahan adalah persetubuhan. Oleh
karena itu setiap akad yang mempersatukan dua pasang untuk melakukan
persetubuhan disebut nikah. Jadi nikah dalam hadis di atas adalah akad nikah
dengan dalil lafaz بنى بها.
بنى بها : Kata ini terdiri dari huruf ba’, nu>n dan huruf al-mu’tal
yang berarti membangun sesuatu dengan mengumpulkan satu bagian dengan
bagian yang lain.[19] Namun
dalam hadis di atas, kata بنى بها dimaksudkan sebagai dukhu>l (hubungan suami istri), karena
pada masa dahulu kala, setiap laki-laki yang menikah membangun untuk istrinya
kuba atau kamar yang ditempati sebagai bulan madu. Akan tetapi bisa juga
dimaksudkan sebagai awal membina rumah tangga. Artinya Nabi saw. dan
‘A<isyah berkumpul dalam satu rumah untuk membina rumah tangga.[20]
F. Pernyataan
Penting
Kalimat yang dianggap penting dan menjadi kunci pembahasan
dalam makalah ini dari hadis tersebut di atas, paling tidak ada kalimat, yaitu:
1.
ونكح
عائشة وهي بنت ست سنين. Kalimat ini merupakan pokok
permasalahan yang menimbulkan perbedaan persepsi dikalangan masyarakat secara
umum dan kalangan ulama dan intelektual Islam secara khusus. Bahkan makna dari
kalimat ini pula yang menjadi serangan para orientalis terhadap Nabi saw. saw.
yang dinilai melakukan pernikahan karena syahwat dan hawa nafsu.
2.
ثم بنى
بها وهي بنت تسع سنين. Kalimat ini dipahami berbeda-beda.
Ada yang mengatakan bahwa umur 9 tahun adalah usia produktif untuk berumah
tangga, adapula yang berpendapat bahwa usia tersebut masih sangat dini dan
belum mampu menanggung beban atau tanggung jawab sebagai istri.
G. Pemahaman
Teks dan Konteks Hadis, Dalil ‘Aqli dan Naqli yang Terkait dengan Pernikahan
Dini, Pendapat Ulama tentang Pernikahan Dini
Pernikahan dini pada dasarnya merupakan masalah klasik yang
cukup berkembang saat ini. Adapun pemahaman para pakar hukum islam
mengenai istilah dan batasan nikah dini, sebagian besar mendefinisikannya
dengan pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai usia balig,
yaitu ketika laki-laki mengalami mimpi hingga keluar air mani dan menstruasi
bagi wanita. Dengan demikian, usia nikah dini inipun tidak bisa diberikan harga
mati. Karena, biasanya antara anak yang satu dengan yang lain akan memasuki
usia balighnya pada usia yang berbeda-beda. Hadis Aisyah diatas dipahami berbeda oleh sebagian ulama
dimana hadis tersebut pada dasarnya menimbulkan makna yang kontradiktif antara
teks dengan sumber sejarah serta dari aspek lainnya.
Perkawinan pertama Nabi saw. adalah dengan Khadijah, yang
dilakukan ketika beliau berumur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun. Selama
hampir 25 tahun, Nabi hanya beristerikan Khadijah, sampai Khadijah meninggal di
umur 65 tahun. Perkawinan selanjutnya dilakukan beliau setelah berumur lebih
dari 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan beliau tidak
untuk mencari kesenangan semata. Jika di ditelusuri lebih dalam, perkawinan
beliau selanjutnya mempunyai banyak motif, diantaranya: dengan tujuan membantu
wanita yang suaminya baru saja terbunuh di dalam membela Islam, menambah dan
mempererat hubungan dengan salah satu pendukung fanantik Islam, Abu Bakar,
upaya membangun hubungan yang baik dengan suku-suku lain yang semula berniat
memerangi Islam. Sehingga ketika Nabi saw. mengawininya, maka perang pun
terhindarkan dan darah pun tak jadi tumpah, dan masih banyak tujuan mulia yang
lainnya. Pernikahan Nabi saw. dengan ‘Aisyah mempunyai hikmah penting
dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam berbagai
aspek kehidupan, khususnya yang berkaitan dengan masalah kewanitaan dimana
banyak kaum perempuan bertanya kepada Nabi saw. melalui ‘Aisyah RA. Karena
kecakapan dan kecerdasan ‘Aisyah sehingga beliau menjadi gudang dan sumber ilmu
pengetahuan sepanjang zaman.[21]
Adapun mengenai pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah
menimbulkan pro-kontra di sejumlah kalangan. Hal ini didasarkan pada perbedaan
pemahaman dalam menilai hadis diatas. Secara akal sehat, anak yang dinikahkan
dalam usia belia, khususnya ketika berumur 6 tahun tentu akan mengalami sebuah
kondisi psikis yang mungkin tidak diinginkannya. Meskipun dalam hukum fiqh
menyatakan bahwa pernikahan anak yang belum cukup umur diputuskan oleh wali
atau orang tuanya.[22]
Pendapat yang mendukung kevalidan hadis diatas mengemukakan
bahwa tidak hanya hadis dari Hisyam saja yang menyatakan usia Aisyah yang belia
menikah dengan Nabi saw., tetapi ada juga riwayat lain yang mengemukakan usia
pernikahannya seperti yang diriwayatkan oleh Aswad dalam kitab Ahmad ibn
Hanbal. Disamping itu, sebagian ulama menilai bahwa pernikahan dini merupakan
hal yang lumrah dikalangan sahabat dan menganggapnya sebagai ketentuan khusus
yang berlaku bagi nabi.[23] Kebiasaan masyarakat
tentang pernikahan berbeda-beda, orang Arab akan mencemooh dan meremehkan bila
ada gadis yang menikah di usia matang. Orang Arab pada zaman nabi dan setelahnya
sendiri tidak pernah mencela perkawinan nabi dengan Aisyah meskipun ada
perbedaan usia yang cukup jauh antara keduanya dan hal tersebut bukanlah sebuah
keanehan. Ini disebabkan bahwa orang Arab sering melihat hal seperti itu.[24]
Pendapat yang kontra mengenai pernikahan dini Aisyah
didasarkan pada riwayat Hisyam yang kontradiktif dimana tidak ada
seorang pun di Madinah yang meriwayatkan hadis tersebut, dimana Hisyam ibn
`Urwah tinggal sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, di samping
kenyataan adanya banyak murid-murid di Madinah termasuk yang masyhur yaitu Malik
ibn Anas, tidak menceritakan hal ini. Pada akhirnya diketahui bahwa riwayat ini
berasal dari orang-orang Iraq, di mana Hisyam tinggal di sana setelah pindah
dari Madinah pada usia cukup tua. Penolakan lain ialah riwayat adanya kesaksian Anas ibn Malik
bahwa Aisyah ikut perang Uhud dan jikalau Hisyam benar maka umur Aisyah baru 11
tahun, hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Rasul memulangkan
remaja-remaja yang belum berumur 15 tahun.[25]
Riwayat lain menyebutkan bahwa Khaulah meminang seorang
gadis untuk nabi saw. :
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن
بشر قال حدثنا محمد بن عمرو قال ثنا أبو سلمة ويحيى قالا : لما هلكت خديجة جاءت
خولة بنت حكيم امرأة عثمان بن مظعون قالت يا رسول الله ألا تزوج قال من قالت إن
شئت بكرا وإن شئت ثيبا قال فمن البكر قالت ابنة أحب خلق الله عز و جل إليك عائشة
بنت أبي بكر قال ومن الثيب قالت سودة ابنة زمعة قد آمنت بك واتبعتك على ما تقول[26]
Kata
bikr (بكر)[27] yang digunakan Khaulah
dan nabi pada hadis diatas berarti gadis atau perawan. Adapun kata yang
digunakan untuk anak-anak adalah kata ja>riyah. Menurut sebagian
pendapat, kata bikr tidak dapat
digunakan kecuali pada seorang perempuan yang belum menikah dan belum mempunyai
pengalaman pernikahan.
Pendapat pada kategori ini lebih menekankan kritik pada
aspek sejarahnya. Ini dikaitkan dengan hitungan umur Aisyah ketika dipinang
oleh nabi saw., selisih umur Aisyah dengan Asma dan Fatimah, umur Aisyah ketika
ikut berperang dan peristiwa turunnya surah al-Qamar.
Pernikahan
Dini menurut Agama dan Negara
Undang-undang negara kita telah
mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7
ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur
16 (enam belas tahun) tahun.[28]
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini
tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar
kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan
mental.
Dari sudut pandang kedokteran,
pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang
dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini
dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang
masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat
pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif.
Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun
untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.[29]
Agama dan negara terjadi
perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan melewati
batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah.
Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam
kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang
yang belum baligh.
Salah satu kasus menghebohkan
masyarakat Indonesia yang terkait dengan hal ini adalah kasus Syekh puji,
seorang pengusaha kaya dan pendiri pondok pesantren Miftahul Jannah di Jawa
Tengah. Ia menikahi Lutfiana Ulfa, seorang gadis berusia 12 tahun dan ia
sendiri berusia 43 tahun. Dalam aturan Negara tentunya hal tersebut menyalahi
UU perkawinan dan melanggar hak asasi anak. Beberapa pakar menilai bahwa ini
adalah bentuk tindakan penyimpangan seksual yang dilakukan laki-laki dewasa
terhadap anak yang belum dewasa. Lebih tegasnya, hal ini mengundang reaksi
keras dari Komisi Perlindungan anak. Padahal, dari informasi yang ada di media
cetak dan elektronik menyatakan bahwa Ulfa sendiri dan keluarganya tidak merasa
keberatan dengan adanya pernikahan tersebut. Entahlah jika ada motif yang
terselebung di balik pernikahan tersebut. Namun, hal itu tidak menjadi fokus dalam
kasus ini.
Pandangan setiap orang mengenai
hal ini tentunya berbeda. Ada yang menilai sah-sah saja bahkan ada yang
mengecamnya. Namun, sebagaian besar ulama di Indonesia menilai bahwa hukum
pernikahan seperti yang dilakukan oleh Syekh Puji itu mubah. Ini didasarkan
pada dalil al-Qur’an:
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³t z`ÏB
ÇÙÅsyJø9$# `ÏB
ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ)
óOçFö;s?ö$#
£`åkèE£Ïèsù
èpsW»n=rO 9ßgô©r&
Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts
4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$#
£`ßgè=y_r& br&
z`÷èÒt
£`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾ÍnÍöDr& #Zô£ç ÇÍÈ
Artinya:
Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.[30]
Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya menyatakan bahwa yang dimaksud "perempuan-perempuan yang tidak
haid" (lam yahid{na) adalah anak-anak perempuan kecil yang belum mencapai
usia haid. Ini sesuai dengan sababun nuzul ayat tersebut, ketika sebagian sahabat
bertanya kepada Nabi saw. mengenai masa iddah untuk 3 (tiga) kelompok
perempuan, yaitu perempuan yang sudah menopause (kiba>r), perempuan
yang masih kecil (s}iga>r), dan perempuan yang hamil. Jadi, ayat di
atas secara eksplisit menunjukkan masa iddah bagi anak perempuan kecil yang
belum haid dalam cerai, yaitu selama tiga bulan.[31]
Jadi, secara tidak langsung ayat di atas menunjukkan bolehnya menikahi anak
perempuan yang masih kecil yang belum haid dan ketika Allah SWT mengatur masa
iddah untuk anak perempuan yang belum haid, berarti secara tidak langsung Allah
SWT telah membolehkan menikahi anak perempuan yang belum haid itu, meski
kebolehan ini memang tidak disebut secara eksplisit dalam ayat di atas.
Menyikapi kontroversi yang ada,
maka penulis dalam hal ini mengemukakan bahwa hukum agama dan Negara sama-sama
mendatangkan maslahat. Negara mengatur UU pernikahan tentu sebelumnya telah
mempertimbangkan beberapa hal dan meninjaunya dari berbagai aspek kehidupan.
Sedangkan agama memberikan anjuran agar menghormati sakralnya sebuah
pernikahan. Pada hakikatnya, Islam tidak melarang adanya peristiwa nikah dini.
Namun demikian, Islam juga tidak pernah mendorong atau menganjurkan umatnya
untuk melakukan nikah dini. Dapat dikatakan bahwa pernikahan dini sifatnya
relatif, tergantung pada masing-masing individu.
H. Pesan dan
Petunjuk Hadis
Adapun pesan dan petunjuk hadis tersebut di
atas, baik yang tersirat maupun yang tersurat, secara global dapat dibuat
poin-poin sebagai berikut:
1. Keistimewaan Khadijah
dan posisinya di mata Nabi saw.
2. Keistimewaan Aisyah RA.
3. Bolehnya menikah pada
usia dini
4. Kewajiban suami dalam
menyediakan sandang, pangan dan papan bagi istri
5. Turut berduka cita atas
wafatnya pasangan/istri
6. Umur 9 tahun merupakan
usia awal produktif bagi perempuan
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas uraian materi tentang
pernikahan dini diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hadis tersebut
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan menggunakan lafaz{ نكح,
dan jika ditelusuri lebih lanjut maka hadis-hadis mengenai umur pernikahan
Aisyah dengan nabi saw juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasai, Ibn Majah dan
Ahmad ibn hanbal. Dikarenakan hadis ini hanya terfokus pada riwayat Imam
Bukhari maka status hadisnya adalah s{ah{ih mengingat bahwa Bukhari
memiliki kredibilitas dalam hal periwayatan hadis dan merupakan kitab yang
paling s{ah{ih setelah al-Qur’an.
2. Sesuai dengan pemahaman tekstual
maka hadis ini memberikan gambaran akan kebolehan menikah pada usia dibawah
umur. Hal ini terlihat dalam sejarah kebiasaan bangsa Arab yang cukup popular
menikah dengan gadis dibawah umur. Namun, secara kontekstual pernikahan antara
Aisyah dan nabi saw. di usia belia perlu dilihat dari berbagai faktor. Hadis
diatas tidak memberikan batasan mengenai umur seseorang ketika menikah namun
lebih melihat pada aspek maslahah yang ada.
3. Adapun pesan dan
petunjuk yang dapat dipetik dari hadis diatas diantaranya: keistimewaan
Khadijah dan posisinya di mata Nabi saw., Keistimewaan Aisyah RA, bolehnya
menikah pada usia dini, kewajiban suami dalam menyediakan sandang, pangan dan
papan bagi istri, dan lain-lain.
B. Implikasi
Makalah ini tentunya masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan kepada para akademisi untuk tetap
mengembangkan kajian ini. Hadis ini sangat menarik dikaji dan membutuhkan
analisa dan pembahasan yang komprehensif
karena permasalahan mengenai nikah dini selalu mengundang pembicaraan
dan perbincangan yang hangat, apatah lagi di dunia modern seperti saat ini
dimana kajian-kajian nas{ Qur’an dan hadis menjadi landasan argumen yang tidak
henti-hentinya dibicarakan.
Oleh karena itu, terlepas dari kontroversi
pemahaman maka umat Islam dituntut untuk terus mengembangkan potensi dan
wawasan, khususnya mengenai urusan pernikahan dan tetap kritis dalam menanggapi
isu-isu sejarah atau problema-problema dalam agama. Wallahu a’lam bi
al-S{awa>b
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Kari>m
Abu al-Su’ud Badr, Abdullah, Tafsi>r
Umm al-Mukmini>n Aisyah RA, Penerj. Gazi Saloom, Ahmad Syaikhu, Cet.I;
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000.
Ahmad, Arifuddin, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi, Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
Al-‘Asqala>ni, Ahmad ibn
‘Ali ibn Hajar >, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, Cet. I; Bairut: Da>r
al-Fikr, 1404 H./1984 M.
Al-Bukha>ri, Abu>
‘Abdullah Muhammad ibn Isma‘i>l >, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>,
Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Al-Muba>rakfu>ri>, Abu
al-‘Ala> Muhammad ‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Abd al-Rah}i>m, Tuh}fah
al-Ah}waz\i>, Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Al-Nasa>’i, ‘Abd
al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Syu’aib, Sunan al-Nasa>’i, Beirut: Da>r
al Kutub al-‘Ilmiah, 1991.
Al-S{abuni, M. Ali, Pernikahan
Islami, edisi Indonesia terj. Ahmad Nurrohim, Cet.I; Solo: Mumtaza, 2008.
Al-Tami>mi>, Abu>
Ha>tim Muhammad ibn Hibba>n, Masya>hi>r ‘Ulama>i
al-Ams}a>r, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1959 M.
Hashem, O., Benarkah Aisyah Menikah Dengan Nabi saw.
saw di Usia Dini?, Cet. I; Bandung: Mizania, 2009.
Ibn H{anbal, Ah}mad ibn
Muh}ammad, al-Musnad, Riya>d}: Maktabah al-Turas\ al-Isla>mi>,
1994.
Ibn Kas|i>r, Abu>
al-Fuda>’, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Cet.I; Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419 H/1998 M.
Ibn Majah, Muhammad ibn
Yazi>d Abu> Abdullah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Da>r al-Fikr,
t.th.
Ibn Manz{u>r
al-Afri>qi>Muhammad ibn Mukrim, Lisa>n al-‘Arab, Cet. I;
Bairu>t: Da>r S}a>dir, t.th.
ibn Zakariya>, Abu>
al-Husain Ah}mad ibn Fa>ris, Maqa>yi>s al-Lugah, Bairut:
Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, 1423 H./2002 M.
Muhammad Nabi saw., bab tazwi>ju al-Nabi> bi ‘Aisyah, CD
Rom Maktabah al-Sya>milah
Mus}t}afa>, Ibra>hi<m
dkk., al-Mu’jam al-Was}i<t}, CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Muslim ibn al-H{ajja>j ibn
Muslim al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri>, Abu> al-H{usain, al-Ja>mi'
al-S{ah}i>h}, Beirut: Da>r Ihya> al-Tura>s\ al-'Arabi>, t.th.
Yu>suf ibn al-Zaki>, Abu>
al-H}ajja>j, Tahz\i>b al-Kama>l, Cet. I; Bairu>t: Muassasah
al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.
http://www.depag.go.id.
http://pesantrenvirtual.com.
http://www.pojokasuransi.com.
[1]M. Ali
al-S{abuni, Pernikahan Islami, edisi Indonesia terj. Ahmad Nurrohim
(Cet.I; Solo: Mumtaza, 2008), h. 20.
[2]http://www.pojokasuransi.com.
[3]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru
Memahami Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2.
[4]Abu> ‘Abdullah Muhammad ibn Isma‘i>l
al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, juz III (Beirut:
Dar al-Fikr, 1981), bab tazwiju al-nabi> saw: kitab fad{a>il
al-s{aha>bah: 3683, h. 1415.
[6]Abu> al-H{usain Muslim ibn
al-H{ajja>j ibn Muslim al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri>, al-Ja>mi'
al-S{ah}i>h}, Juz II (Beirut: Da>r Ihya> al-Tura>s\
al-'Arabi>, t.th), h. 1038.
[7]‘Abd
al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Syu’aib al-Nasa>’i, Sunan al-Nasa>’i, jil. VI (Beirut: Da>r al Kutub al-‘Ilmiah, 1991),
h. 441.
[8]Muhammad
ibn Yazi>d Abu> Abdullah, Sunan Ibn Majah, Juz I, Beirut: Da>r
al-Fikr, t.th, h. 604.
[9]Ah}mad
ibn Muh}ammad ibn H{anbal, al-Musnad, Juz VI (Riya>d}: Maktabah
al-Turas\ al-Isla>mi>, 1994), h. 118.
[10]Ahmad
ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqala>ni>, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, Juz.
VII (Cet. I; Bairut: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984 M.), h. 163.
[11]Abu>
Ha>tim Muhammad ibn Hibba>n al-Tami>mi>, Masya>hi>r
‘Ulama>i al-Ams}a>r, Juz. I (Bairu>t: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1959 M.), h. 64.
[12]Abu>
al-H}ajja>j Yu>suf ibn al-Zaki>, Tahz\i>b al-Kama>l, Juz.
XX (Cet. I; Bairu>t: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.), h. 11-24.
[13]Ibid.
Juz. XX, h. 15-16.
[14]Abu>
al-Husain Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Maqa>yi>s al-Lugah, Juz.
VI (Bairut: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, 1423 H./2002 M.), h. 97.
[15]Ibid.
Juz. II, h. 140.
[16]Muhammad
ibn Mukrim ibn Manz{u>r al-Afri>qi>, Lisa>n al-‘Arab, Juz.
II (Cet. I; Bairu>t: Da>r S}a>dir, t.th.), h. 181.
[17]Ibra>hi<m
Mus}t}afa> dkk., al-Mu’jam al-Was}i<t}, Juz. II. (CD-ROM
al-Maktabah al-Sya>milah), h. 540.
[18]Abu>
al-Husain Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, op.cit., Juz. II, h.
625.
[19]Ibid.,
Juz. I, h. 281.
[20]Abu
al-‘Ala> Muhammad ‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Abd al-Rah}i>m
al-Muba>rakfu>ri>, Tuh}fah al-Ah}waz\i>, Juz. III (Bairut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 494.
[21]Muhammad
Nabi saw., bab tazwi>ju al-Nabi> bi ‘Aisyah, Juz I, CD Rom Maktabah
al-Sya>milah, h. 178.
[22]O.
Hashem, Benarkah Aisyah Menikah Dengan Nabi saw. saw di Usia Dini? (Cet.
I; Bandung: Mizania, 2009), h. 54.
[23]Hal ini
sejalan dengan riwayat bahwa Jibril datang menemui nabi dalam mimpinya dan
memperlihatkan gambar Aisyah. عن ابن أبى مليكة عن عائشة : أنّ جبريل
جاء بصورتها فى خرقة حرير خضراء إلى النّبي صلّى الله عليه وسلّم فقال : هذه زوجتك
فى الدّنيا والأخرة. Lihat S{ahi<h Bukha>ri>, juz VI: 202, h. 3450.
[24]Abdullah
Abu al-Su’ud Badr, Tafsi>r Umm al-Mukmini>n Aisyah RA (Penerj.
Gazi Saloom, Ahmad Syaikhu, Cet.I; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 29.
[25]O.
Hashem, Ibid, h. 83.
[26]Ahmad
Ibn Hanbal, op.cit, juz VI, h. 210.
[27]Kata bikr
memiliki tiga makna yaitu: awal
sesuatu, yang diambil dan diserupakan. Lihat Abu> al-Husain Ah}mad ibn
Fa>ris ibn Zakariya, op.cit, Juz I, h. 268.
[28]Lihat UU
perkawinan di http://www.depag.go.id.
[29]
http://pesantrenvirtual.com.
[30]Q.S.
al-T{alaq (65): 4
[31]Ibn
Kas|i>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Juz VIII (Cet.I;
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419 H/1998 M), h. 171
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....