PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-Qura’n al-karim adalah kitab samawi yang paling terakhir
diturunkan dan berfungsi sebagai petunjuk bukan hanya terhadap anggota
masyarakat Arab akan tetapi juga bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman
nanti. Al-Qur’an memuat seluruh aspek kehidupan manusia, baik aspek vertikal
maupun horizontal bahkan hubungan dengan alam semestapun tertera dalam
al-Qur’an.[1]
Prinsip, doktrin dan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh
al-Qur’an sangat global dan memungkinkan setiap generasi memberikan
interpretasi yang berbeda dengan para cendikiawan sebelumnya karena al-Qur’an
menggunakan bahasa yang sangat tinggi sastranya dan mengandung berbagai rahasia
yang tidak mungkin ditangkap secara sama oleh semua kalangan.[2]
Sebagai pembawa kalam ilahi, Rasulullah adalah orang pertama
yang menjadi tumpuan untuk menjelaskan dan menafsirkan kalimat atau ayat
al-Qur’an yang kurang jelas atau masih berlaku umum, sebab Nabi adalah penerima
dan penyampai wahyu sebagaimana dalam QS. al-Nah}l: 64.
وَمَا أَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلا
لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ
Artinya:“Dan
kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”[3]
Sahabat sebagai sasaran pertama al-Qur’an, jika tidak paham
makna dan maksudnya akan segera bertanya kepada Rasulullah dan direspon langsung
oleh Rasulullah saw., namun Rasulullah tidak menafsirkannya mengikuti alur
fikirannya sendiri akan tetapi menurut wahyu ilahi. Penjelasan dan penafsiran
Rasulullah hanyalah pelantara saja, sedang hakikatnya, Allahlah sebagai
penafsir pertama.[4] Dalam QS. al-Najm ayat 2-3,
Allah swt. berfirman:
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).”[5]
Untuk mengetahui sejauh mana penafsiran Nabi dan sahabat,
maka perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam
mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran dengan tujuan mengetahui prosedur kerja
para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut
dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi
berbagai persoalan kehidupan.
Melihat dari sejarah diatas maka sepeninggal Rasulullah SAW
dan para sahabatnya maka tugas itu dilanjutkan oleh Ulama-Ulama yang hidup
setelahnya. Namun sebelum itu seperti apakah orang-orang yang dapat
dikategorikan sebagai ulama berdasarkan hadis nabi ulama adalah pewari para
nabi.
B. Rumusan masalah
Setelah
melihat latar belakang diatas maka pebulis dapat mengambil beberapa rumusan
masalah diantaranya :
a. Apa pengertian ulama?
a. Salaf
b. khalaf
b. Apa Ciri-ciri ulama?
c. Bagaimana Kedudukan ulama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ulama
Apresiasi al-quran tidak hanya tergambar dari penyebutan
kata ‘a>lim dan derivasinya yang mencapai 823 kali, tetapi terdapat sekian
uangkapan yang bermuara kesamaan makna seperti al-aql, al-fikr, al-nazhr,
al-basyar, al-tadabbur, al-‘itibar dan al-dzikr. Kata عالم a>lim yang juga merupakan akar kata dari
ulama menurut pakar ahli al-quran Raghib al-ashfahani bermakna pengetahuan akan
hakikat sesuatu.[6]
Ulama secara terminologi berasal dari akar kata علم, يعلم yang berarti mengetahui, Secara
bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘a>lim عالم. ‘A<lim adalah isim fail dari
kata dasar علم (‘ilmu) . Jadi
عالم ‘a>lim adalah orang yang
berilmu. Dan علماء
‘ulama> adalah orang-orang yang
punya ilmu.[7] kata
'alim bermakna suatu pengaruh/bekas atau kemuliaan yang membedakannya dengan
yang lain adapun kata ulama, dipahami sebagai orang yg memadukan pengetahuannya
dengan pengamalannya.[8]
Secara garis besar ulama terbagi atas 2 golongan
diantaranya
a. Ulama salaf
Kata
Salaf dari sisi bahasa berarti segala sesuatu yg trdahulu atau telah lewat. dan
dari sisi istilah.[9] Definisi
Salaf secara bahasa Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab :
artinya
sekelompok orang yg ada di masa lalu, namun yg dimaksud disini semata-mata
orangnya tapi bisa jadi salaf dipahami sbagai cara berpikir ulama-ulama
trdahulu (sahabat dan generasi berikutnya).[10] Dan
As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan
kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah
generasi pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan As-Salaf
Ash-Sholeh.[11]
Al-Manawi berpendapat bahwa As-Salaf
bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah أسلاف (asla>f).Masih
banyak rujukan lain tentang makna salaf dari sisi bahasa yang ini dapat dilihat
dalam Mauqif Ibnu Taimiyyah[12]
Jadi
arti Salaf secara bahasa adalah yang terdahulu, yang awal dan yang pertama.
b. Ulama khalaf
Kata
khalaf secara bahasa memiliki tiga arti yaitu :
1. bermakna sesuatu yg dtg secara brgiliran
2. antonim terdahulu
3. sesuatu yg berbeda[13]
sedangkan
menurut istilah khalaf adalah kebalikan dari salaf.[14]
Dalam al-Quran allah SWT menyebut ulama dalam 2 bentuk
kata diantaranya[15] :
1. علماء : disebutkan 1 kali
أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آَيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ
عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ[16]
2. العلماء : disebutkan 1 kali
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ
مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ[17]
B. Kedudukan ulama
Tidak ada sebuah kitabpun kecuali Al Qur’an, yang
memuliakan kedudukan ulama. Hal itu
menunjukkan adanya perintah mengkaji berbagai ilmu sebagaimana firman Allah di
bawah ini:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ
مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya : ”……Sesungguhnya yang takut kepada Allah
diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Faathir : 28)
Dari sini tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa
sejak awal agama islam telah bercirikan ilmiah dan rasional.[18]
Ciri tersebut sejalan dengan subtansi ajaran islam yang menuntut seseorang yang
mengimaninya untuk terlebih dahulu memeiliki ilmu pengetahuan.
Karena itu tidak berlebihan jika abbas Mahmud al aqqad
seorang cendekiawan terkemuka di Mesir mengatakan, berfikir dalam rangka
mencari kebenaran merupakan bagian dari kewajiban islam.[19]
Dan Allah menjadikan mereka (para ulama) sebagai makhluk
yang berkedudukan tinggi setelah malaikat, dalam masalah kesaksian keesaan
Allah SWT. Lihat dan perhatikan ayat
berikut ini:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيم
”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan
Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga
menyatakan demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” [20]
Al Qur’an surat Al Mujadalah ayat 11 dan Ali Imran ayat 3
juga menyebutkan janji Allah tentang akan mengangkat derajat orang-orang
beriman dan berilmu pengetahuan pada derajat lebih tinggi.
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
”Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” [21]
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ
مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا
الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ
الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ
فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
”Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ” Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
Dan tidak dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan orang-orang yang
berakal ”`[22]
Dalam berdoapun dianjurkan untuk diberi kemudahan dalam
memahami ilmu seperti termaktub dalam Surat Thoha ayat 114.
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي
عِلْمًا…
”Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan.”[23]
Rasulullah melalui hadist-hadistnya juga menganjurkan
kepada umatnya untuk senantiasa mencari dan memiliki ilmu pengetahuan agar
dalam beribadah maupun dalam bertingkah laku mencerminkan muslim yang kaffah
yang diberi kemuliaan dan kedudukan mulia di sisiNya.
”Dari Mu’awiyah ra, dia telah berkata: Rasulullah saw telah bersabda: ”Barang siapa Allah menghendaki kebaikan atas
dirinya maka Allah membimbing dirinya kepada ilmu pengetahuan agama.” (Hadist
Riwayat Buchari dan Muslim).
Apabila seseorang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi
manusia yang baik, tentu Allah akan menunjukkan kepada dirinya ilmu pengetahuan
agama, Menguasai ilmu agama, rajin melaksanakan ibadah, beramal sholeh dan
tekun mengembangkan ilmu yang dimiliki.
”Dari Anas ra, dia telah berkata: Rasulullah saw telah
bersabda: ”Barang siapa keluar mencari ilmu, berarti dia berada di jalan Allah
sampai dengan dia pulang kembali.” (Hadist Riwayat Tirmidzi).
Bahkan Rasulullah dalam sabdanya memperbolehkan adanya
sikap dengki yaitu dengki terhadap harta yang dibelanjakan di jalan Allah dan
ilmu
”Dari Ibnu Mas’ud ra, dia telah berkata; Rasulullah saw telah bersabda; ”Tidak ada
kedengkian selain terhadap dua orang:
Seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah, kemudian harta itu
dihabiskan dalam kebenaran. Dan
seseorang yang dikaruniai hikmah ilmu yang dengan hikmah itu dia memberi
keputusan dan mengajarkannya.” (Hadist Riwayat Buchori Muslim).
Dalam
hadist yang lain Rasulullah saw telah bersabda: ”Dunia hanyalah untuk empat
golongan manusia: Pertama, seseorang yang diberi harta dan ilmu pengetahuan
oleh Allah, kemudian dia bertakwa kepada Tuhannya, menyambung tali persaudaraan
dan beramal baik dengannya karena mencari keridhaan Allah, maka dia akan berada
dalam kedudukan yang paling utama. Kedua
seseorang yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah tetapi tidak diberi harta
kekayaan, sedangkan dia senantiasa lurus niatnya, seraya berkata: ”Seandainya aku mempunyai harta kekayaan,
niscaya aku akan beramal sebagaimana amal yang dilakukan oleh fulan .” Dengan
ketulusan niatnya itu dia mendapatkan pahala sama dengan pahala yang diterima
fulan. Ketiga seseorang yang diberi
harta kekayaan oleh Allah tetapi tidak diberi ilmu pengetahuan, sehingga dia
menghabiskan hartanya tanpa ilmu dan dia tidak bertakwa kepada Tuhannya, tidak
menyambung tali persaudaraan dan tidak pula beramal sebagaimana yang telah
ditentukan Allah, maka dia berada dalam kedudukan yang paling buruk. Ke empat orang yang tidak diberi harta oleh
Allah dan tidak pula diberi ilmu pengetahuan, kemudian dia berkata: ”Seandainya
aku mempunyai harta, niscaya aku akan melakukan amal dengan hartaku sebagaimana
amal yang dilakukan Fulan (menghabiskan hartanya tanpa ilmu dan dia tidak
bertakwa kepada Tuhannya, tidak menyambung tali persaudaraan dan tidak pula
beramal sebagaimana yang telah ditentukan Allah).” Dengan demikian kemudian dia
mendapatkan timbangan yang sama dengan fulan (berada dalam kedudukan yang
paling buruk).”Hal inipun ditegaskan dalam hadis nabi SAW melalui riwayat abu
dau>d :
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ[24].
Terjemahan : sesungguhnya ulama
adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya nabi tidak mewariskan dinar dan tidak
pula dirham akan tetapi iya mewariskan ilmu.
Selain
masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi
mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut
kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ
وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ
الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُور
Artinya : Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun. [25]
Maka
tidaklah merupakan sesuatu yang mustahil jika ulama adalah orang yang sangat
tinggi ilmunya utamanya ilmu agama karena ulama adalah pewaris nabi. Dengan
ilmu manusia menjadi berbeda dengan makhluk lainnya \. Al ghazali berkata
“ilmulah yang membedakan manusia dari binatang, dengan ilmu ia menjadi mulia
bukan dengan kekuatan fisiknya sebab dari sisi ini unta jauh lebih kuat, dan
bukan kebesaran tubuhnya sebab gajah pasti melebihinya, juga bukan dengan keberaniannya
sebab serigala lebih berani darinya. Manusia diciptakan hanya untuk ilmu”.[26]
C. Ciri-ciri ulama
Pembahasan
ini juga bertujuan untuk memberi gambaran (yang benar) kepada sebagian muslimin
yang telah memberikan gelar ulama kepada orang yang sebetulnya tidak pantas
untuk menyandangnya.
Di antara
ciri-ciri ulama adalah:
Ibnu
Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak
menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak
menyombongkan diri atas seorang pun.” Al-Hasan mengatakan: “Orang faqih adalah
orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu)
tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat
lain: “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan
tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah
sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.”[27]
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah
mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga
dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang
jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah.”
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Mereka
adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka sendiri dan berbaik sangka
kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama pendahulu mereka serta
mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat mereka atau
mendekatinya.”
Mereka berpendapat bahwa kebenaran dan
hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَيَرَى
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ
وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang
bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah
kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha
Terpuji.”[28]
Mereka adalah orang yang paling memahami
segala bentuk permisalan yang dibuat Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al
Qur’an, bahkan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
وَتِلْكَ
الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
“Demikianlah
permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” [29]
Mereka adalah orang-orang yang memiliki
keahlian melakukan istinbath(mengambil hukum) dan memahaminya. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
وَإِذَا
جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى
الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ
مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ
إِلَّا قَلِيلًا
Artinya :
Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka
lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan karunia dan
rahmat dari Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan kecuali
sedikit saja.” [30]
Mereka adalah orang-orang yang tunduk dan
khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقُرْآَنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
(106) قُلْ آَمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ
قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا (107) وَيَقُولُونَ
سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا (108) وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ
يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Katakanlah:
‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah).
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an
dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti
dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka
bertambah khusyu’.”[31]
Setelah
mengetahui ciri-ciri ulama maka ulama pun memiliki beberapa tugas karena itulah
ulama sering dikatakan bahwa ulama adalah ahli waris nabi karena itu ulama
mempunyai tugas sesuai dengan apa yang dikerjakan nabi. Tugas-tugas tersebut
diantaranya adalah :
1. Menyampaikan ajaran kitab suci itu secara baik dan
bijaksana.dengan tidak mengenal takut dan siap menanggung resiko.[32]
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya : Hai Rasul, sampaikanlah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa
yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir
2. Menjelaskan kandungan kitab suci.[33]
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.[34]
3. Member putusan atas problem yang terjadi di masyarakat.[35]
كَانَ
النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا
فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ
الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا
فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya : Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah
timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi
peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi
keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah
berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada
mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang
yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan
kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya
kepada jalan yang lurus.[36]
Inilah
beberapa sifat ulama hakiki dan tugas yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam
Sunnahnya. Dengan semua ini, jelaslah orang yang berpura-pura berpenampilan
ulama dan berbaju dengan pakaian mereka padahal tidak pantas memakainya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Ulama secara terminologi berasal dari akar kata علم, يعلم
yang berarti mengetahui, Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak
dari kata ‘a>lim عالم. ‘A<lim adalah isim fail dari
kata dasar علم
(‘ilmu) . Jadi عالم ‘a>lim adalah orang yang
berilmu. Dan علماء ‘ulama> adalah orang-orang yang
punya ilmu
a. Shalaf : Salaf dari sisi bahasa berarti segala sesuatu yg
trdahulu atau telah lewat. dan dari sisi istilah. Definisi Salaf secara bahasa Berkata Ibnu
Manzhur dalam Lisanul ‘Arab : artinya sekelompok orang yg ada di masa lalu,
namun yg dimaksud disini semata-mata orangnya tapi bisa jadi salaf dipahami
sbagai cara berpikir ulama-ulama trdahulu (sahabat dan generasi berikutnya)
b. Khalaf : Kata khalaf secara bahasa memiliki tiga arti
yaitu :
bermakna sesuatu yg dtg secara
brgiliran, antonim terdahulu, sesuatu yg berbeda. sedangkan menurut istilah
khalaf adalah kebalikan dari salaf
2. Al quran adalah kitab yang sangat meninggikan kedudukan
ulama sebagaimana firman allah SWT :
إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya : ”……Sesungguhnya yang takut kepada Allah
diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”
Hal
itu menunjukkan adanya perintah mengkaji berbagai ilmu.
3. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka
adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala
bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.” Al-Hasan
mengatakan: “Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta
kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam
beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat lain: “Orang yang tidak hasad kepada
seorang pun yang berada di atasnya dan tidak menghinakan orang yang ada di
bawahnya dan tidak mengambil upah sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.”
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mahmud al aqqad, al tafki>r fari>dah isla>miyyah ( Kairo
: al hay’ah al mishriyyah al a>mmah lil kita>b, 1998)
Abdul halim Mahmud, al Isla>m wal al aql, ( kairo : Da>r al
Ma’a>rif, t.th)
Abu> al-Husain Ahmad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Mu’jam
Maqa>yi>s al-Lugah, (Bairut: Da>r al-Fikr, t. th.), Jilid 5.
Abu> al-Husain Ahmad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Mu’jam
Maqa>yi>s al-Lugah, ibid. jilid 3.
Abu> al-Husain Ahmad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Mu’jam
Maqa>yi>s al-Lugah, Op.cit. jil. 9.
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah tafsir al-Qur’an
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001 M.),
Al manawi, At-Ta’a>rif (ttp, tth,jilid 2)
Departemen Agama RI, al-Qur'an dan
Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 1426 H./2009 M.),
Ibn taimiyah, minal asyairah (ttp, tjilid 1)
Ibnu Rajab Al-Hambali. Al-Khithabul Minbariyyah, jilid 1.
Manna’ al-Qat}t}a>n, Maba>his|
fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Cet. XIX; Bairut: Muassah al-Risa>lah, 1406
H./1983 M.),
Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m (al-Qa>hirah: Da>r al-Kutub
al-Mis}riyah, 1364 H.)
Muhammad Husain al-Z|ahabi>,
al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz. I (CD ROM al-Maktabah
al-Sya>milah),
Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manz}u>r al-Afri>qi>, Lisa>n
al-‘Arab (Cet. I; Bairut: Da>r S}a>dir, t. th.). Jilid 12.
Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manz}u>r
al-Afri>qi>, Lisa>n al-‘Arab. Op. cit jil. 9.
Ra>ghib Al- ashfaha>ni, al
mufradha>t, ( Beirut : Dar al fikr. T.th)
Sulaima>n bin al-Asy’as\
al-Sijista>ny al-Azdy Abu> Da>wud, Sunan Abu> Da>wud (Cet. 1;
Beiru>t: Da>r Ibn H{azm, 1418 H / 1997 M), Juz. 10 Abu hamid al gazali, ihya> u>lu>mu di>n (Beirut :
da>r al Ma’rifah, t.th)
Waryono abdul gafur, Hidup bersama al-quran :jawaban al-quran terhadap
problematika sosial (pustaka rihlah :
2007) cetakan 1.
[1]Manna’
al-Qat}t}a>n, Maba>his| fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Cet. XIX; Bairut:
Muassah al-Risa>lah, 1406 H./1983 M.), h. 18.
[2]Pada
generasi awal (sahabat) tidak sama pemahaman dan pengetahuannya terhadap
al-Qur’an, baik kuantitas maupun kualitasnya, apatahlagi generasi setelahnya.
Lihat: Muhammad Husain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Juz.
I (CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah), h. 34.
[3]Departemen
Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 1426
H./2005 M.), h. 273.
[4]Ahmad
Asy-Syirbashi, Sejarah tafsir al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001 M.), h.
67.
[5]Departemen
Agama, op.cit., h. 526.
[6]
Ra>ghib Al- ashfaha>ni, al mufradha>t, ( Beirut : Dar al fikr) h.127
[7]
Abu> al-Husain Ahmad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Mu’jam Maqa>yi>s
al-Lugah, (Bairut: Da>r al-Fikr, t. th.), Jilid 5 h. 88
[8]
Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manz}u>r al-Afri>qi>, Lisa>n al-‘Arab (Cet.
I; Bairut: Da>r S}a>dir, t. th.). Jilid 12 h. 416
[9]
Abu> al-Husain Ahmad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Mu’jam Maqa>yi>s
al-Lugah, ibid. jilid 3 h. 72
[10]
Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manz}u>r al-Afri>qi>, Lisa>n al-‘Arab.
Ibid. jilid 9. H. 158
[11]
Al manawi, At-Ta’a>rif (ttp, tth,jilid 2) hal.412
[12]
Ibn taimiyah, minal asyairah (ttp, tjilid 1) hal. 21
[13]Muhammad
Ibn Mukrim Ibn Manz}u>r al-Afri>qi>, Lisa>n al-‘Arab. Op. cit jil.
9 hal. 82
[14]
Abu> al-Husain Ahmad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Mu’jam Maqa>yi>s
al-Lugah, Op.cit. jil. 9 hal. 82
[15] Muh}ammad
Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z}
al-Qur’a>n al-Kari>m (al-Qa>hirah: Da>r al-Kutub al-Mis}riyah, 1364
H.) h.
[16]
Departemen agama, Op. cit ( QS. As syu’ara : 197)
[17]
Ibid. QS. Al fa>thir :38
[18]
Abdul halim Mahmud, al Isla>m wal
al aql, ( kairo : Da>r al Ma’a>rif, t.th) h. 212
[19]
Abbas Mahmud al aqqad, al tafki>r
fari>dah isla>miyyah ( Kairo : al hay’ah al mishriyyah al
a>mmah lil kita>b, 1998) h. 20
[20]
Departemen agama Op. cit . QS. Ali Imran: 18
[21]
Ibid QS. Al Mujadalah ayat 11.
[22]
Ibid. QS. Ali Imran ayat 6
[23]
Depatemen agama, Op. cit. QS. Thaha : 114
[24]
Lihat hadis selengkapnya Sulaima>n bin al-Asy’as\ al-Sijista>ny al-Azdy
Abu> Da>wud, Sunan Abu> Da>wud (Cet. 1; Beiru>t: Da>r Ibn
H{azm, 1418 H / 1997 M), Juz. 10 h. 49
[25]
Depatemen agama, Op.cit. QS. al father. 28
[26]
Abu hamid al gazali, ihya>
u>lu>mu di>n (Beirut : da>r al Ma’rifah, t.th) h. 1/7
[27]
Ibnu Rajab Al-Hambali. Al-Khithabul Minbariyyah, jilid 1 h. 177
[28]
Departemen agama Op. cit QS. As Saba> ; 6
[29]
Ibid. Al-’Ankabut: 43
[30]
Ibid. QS. An-Nisa: 83
[31]
Ibid. QS. Al-Isra: 107-109
[32]
Waryono abdul gafur, Hidup bersama al-quran :jawaban al-quran terhadap
problematika sosial (pustaka rihlah
: 2007) cetakan 1. H.46
[33]
Ibid. h 46
[34]
Departemen agama. Op. Cit. QS. an –nahl : 44
[35] Waryono
abdul gafur, Hidup bersama al-quran :jawaban al-quran terhadap problematika
sosia. Op.cit. h. 46
[36]
Departemen agama. Op.cit. QS. Al-baqaarah : 213
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....