(Kebangkitan Dunia Islam dan Upaya Pembebasan dari Kolonialisasi Barat)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemenangan
dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran dikonversikan Tuhan kepada umat manusia,
tak terkecuali kepada umat Islam. Itulah undang-undang ‘baja’ sejarah yang
tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Sejarah mencatat bahwa, umat Islam pernah
menjadi umat yang terdepan dalam segala hal di dunia ini. Umat Islam pernah
menjadi kiblat dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, bidang bangunan dan
arsitektur. Bahkan umat Islam pernah menjadi pemimpin dunia dengan luas wilayah
kekuasaan yang dimilikinya, terbentang dari Barat ke Timur. Bukan saja wilayah
kekuasaannya cuma meliputi Jasirah Arabiyah-tempat diturunkannya agama
Islam-tetapi, meliputi sebagian bangsa Eropa, Afrika dan bahkan sampai sebagian
besar daratan Asia.
Seiring
dengan berjalannya waktu, umat Islam sedikit demi sedikit mengalami kemunduran.
Hal ini mencapai puncaknya ketika adanya serbuan brutal yang dilakukan oleh
bangsa Mongol, sebagai mana yang telah dijelaskan pada makalah-makalah
sebelumnya. Ditambah lagi ketika bangsa-bangsa Eropa sudah mengalami kemajuan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, menggeliatlah usaha-usaha mereka
untuk mengadakan ekspansi kekuasaan, serta usaha untuk menguasai bangsa-bangsa
lain (termasuk bangsa-bangsa kaum Muslimin) dijadikan sebagai negara jajahan
sekaligus sebagai lumbung untuk memperoleh modal guna melakukan pembangunan di
negaranya.
Memasuki
periode modern dalam sejarah Islam yang dimulai sekitar tahun 1800 M. secara
politis umat Islam masih dibawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan
abad 20 M. dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan yang
dilakukan oleh bangsa Barat. Manipestasi dari kebangkitan dunia Islam tersebut
menurut Lothrop, berupa tumbuhnya potensi luar biasa bagi pembentukan dunia
baru Islam.[1]
Sedangkan menurut Badri Yatim, kebangkitan dunia Islam adalah bangkitnya
nasionalisme di dunia Islam dan tumbuhnya gerakan multi partai yang
memperjuangkan kemerdekaan negaranya.[2]
Latar
belakang sehingga munculnya penetrasi dan semangat umat Islam untuk merdeka
adalah, karena negara-negara Islam ketika takluk di bawah kekuasaan dan cengkraman
negara-negara Eropa, mengalami kemerosotan dan kemunduran dalam berbagai bidang.
Terutama dalam bidang politik, sosial, ekonomi serta bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan. Keadaan ini mengakibatkan umat Islam menjadi kelompok marginal dan
lepas dari gelanggang perpolitikan dunia, yang tentunya juga sangat sulit untuk
bisa tampil kembali mengambil alih kepimpinan dunia. Walaupun demikian, karena
dorongan yang kuat dari agamanya, umat Islam seakan memiliki kewajiban
memperhitungkan dengan cermat akhlak bangsa-bangsa merasa berkewajiban menuntun
seluruh umat manusia ke jalan bahagia menuju pembentukan Negara ‘Baldatun
Toyyibatun wa Rabbun Gafur’.
Dengan
semangat reformasi pada diri umat Islam inilah, mereka menjadikan ‘kejahilan’
Eropa sebagai musuh yang harus ditaklukkan. Semangat seperti ini telah
melahirkan kesadaran umat Islam. Kesadaran itu berkembang menjadi gerakan untuk
membebaskan diri dari penguasa asing. Gerakan penentuan nasib sendiri dan
kemerdekaan mencapai puncaknya sesudah perang dunia II. Gerakan dan kesadaran
nasionalisme[3]
bukan sekedar memerangi penjajah. Nasionalisme lebih merupakan bagian
terpenting bagi kebangkitan dunia Islam modern menjelma dalam bentuk
Negara-nagara nasional. Penjajahan dalam arti sempit hanya dalam masa kurang
dari setengan abad, lenyap di dunia Islam. Beberapa bagian wilayah dunia yang
amat strategis dan merupakan garis hidup (life-line) bagi Negara-negara
industry Barat kini ditempati oleh umat Islam yang merdeka dan berdaulat.[4]
Terlepas dari uraian tersebut di atas,
dunia Islam hingga masa kini masih tergolong terbelakang terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Namun dibalik keterbelakangannya, dunia Islam mempunyai potensi.
Dengan jumlah penduduk cukup signifikan, merupakan potensi besar untuk dapat
bangkit kembali dan memimpin peradaban dunia dalam berbagai bidang.
B. Rumusan Masalah
Mengingat
begitu luasnya tema dari makalah ini, penulis tidak mungkin mengungkapkan
permasalahan dunia Islam secara menyeluruh dari satu negeri ke negeri yang
lain. Pembahasan dalam makalah ini, terbatas pada negara-negara yang
penduduknya mayoritas muslim yang pokoknya menyangkut kebangkitan umat Islam
pada abad XIX dan XX, dengan beberapa permasalahan sebagai berikut;
1.
Faktor apakah
yang melatar belakangi bangkitnya kembali dunia Islam abad XIX-XX?
2.
Bagaimanakah
upaya perlawanan umat Islam terhadap kolonialisme?
3.
Bagaimana
pengaruh semangat nasionalisme bisa melahirkan negara-negara nasional dalam dunia
Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar belakang Bangkitnya Dunia Islam Abad XIX-XX.
Sebagaimana
telah dijelaskan pada makalah-makalah sebelumnya, bahwa ketika tiga kerajaan
besar Islam sedang mengalami kemunduran di abad ke-18 M, Eropa Barat mengalami
kemajuan dengan pesat. Kerajaan Safawi hancur di awal abad ke-18 M, dan
kerajaan Mughal hancur pada awal paro kedua abad ke-19 M di tangan Inggris,
yang kemudian mengambil alih kekuasaan di anak benua India. Kekuatan Islam
terakhir yang masih disegani oleh lawan adalah kerajaan Usmani di Turki.[5] Akan
tetapi, yang terakhir ini pun terus mengalami kemunduran demi kemunduran,
sehingga ia dijuluki sebagai The Sick Man of Europe, orang sakit dari
Eropa. Kelemahan kerajaan-kerajaan Islam itu menyebabkan Eropa dapat mencaplok,
menduduki, dan menjajah negeri-negeri Islam dengan mudah.
Memasuki pertengahan
abad 20 M, dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari penjajah Barat. Pada
periode ini, mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan
pembaharuan itu, paling tidak muncul karena dua hal.[6] Pertama,
timbulnya kesadaran di kalangan Ulama bahwa banyak ajaran-ajaran ‘asing’ yang
masuk dan diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran itu bertentangan dengan
ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat, dan takhyul.
Ajaran-ajaran inilah
menurut mereka, yang membawa Islam menjadi mundur. Oleh karena itu, mereka
bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran atau faham seperti itu. Gerakan
ini dinamakan gerakan reformasi. Kedua, pada periode ini, Barat
mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan Barat
tersebut, menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketertinggalan mereka. Karena itu,
mereka berusaha bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik
dan peradaban untuk menciptakan balance of power.
Sementara
menurut Munawir Sjadzali, menurun dan melemahnya tiga Negara Islam tersebut
disebabkan oleh disintegrasi politik dengan melemahnya otoritas masing-masing
pemerintah pusat, dan munculnya penguasa-penguasa semi otonom diberbagai daerah
dan propinsi negara-negara tersebut. Disamping itu, terjadinya dislokasi sosial,
memburuknya situasi ekonomi akibat persaingan dagang dengan negara-negara
Eropa, atau karena kalah perang serta kemerosotan spritualitas dan moralitas
masyarakat, terutama para penguasa.[7]
Kesadaran
akan akan melemah dan menurunya dunia Islam ini, maka banyak wilayah-wilayah
dunia Islam seperti di benua Afrika, Timur Tengah dan India bermunculan
gerakan-gerakan pembaharuan atau mungkin lebih tepatnya dikatakan usaha
pemurnian kembali ajaran Islam. Dengan pengertian dasar dan sasaran yang tidak
selalu sama antara satu gerakan dengan gerakan yang lain.
1. Pembaharuan di Jazirah Arab.
Di
jazirah Arabia muncul garakan pemurnian kembali ajaran Islam yang dipelopori
oleh Syeh Mohammad bin Abdul Wahab (1703-1792 M).[8]
Gerakan ini mengajak umat Islam untuk meninggalkan banyak kepercayaan dan praktek
keagamaan yang sudah sejak lama dianut dan dilakukan secara luas, karena tidak
sesuai dengan ajaran Islam yang murni dan bahkan merupakan kepercayaan dan
praktek zaman Jahiliyah, dan yang telah diberantas oleh Nabi. Gerakan ini
mengajak umat Islam kembali kepada ajaran islam yang murni dengan menafsirkan
al-Qur’an dan Hadis secara lebih ketat dan berpedomankan praktek Islam pada
zaman Nabi dan para sahabatnya. Gerakan ini kemudian lebih dikenal dengan
gerakan Wahabi. Gerakan ini bersekutu dengan seorang kepala suku terkemuka Muhammad
Ibnu Saud (w. 1765 M), dari persekutuan ini berdirilah dinasti Saudi Arabiah
yang sekarang ini, yang kekuasaanya meliputi sebagian besar wilayah jazirah
Arabiah.
2. Pembaharuan di Turki.
Kekalahan
besar kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina (1683 M), menyadarkan akan kemundurannya dan kemajuan
yang dialami oleh bangsa Eropa.[9]
Usaha-usaha pembaharuan pun mulai dilaksanakan dengan mengirim duta-duta ke negara-negara
Eropa, terutama Prancis untuk mempelajari suasana disana secara dekat. Pada
tahun 1720 M, Celebi Mehmed diutus ke Paris dan diinstruksikan untuk mendatangi
pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan dan institusi-institusi lainnya. Dari
laporan-laporannya, mendorong Sultan Ahmad III (1703-1730 M) memulai pembaharuan
di kerajaannya. Pada tahun 1717 M, seorang perwira Prancis, De Rocefort, datang
ke Istambul dalam rangka membentuk Korp Altileri dan melatih tentara Usmani
dalam ilmu-ilmu kemiliteran modern. Pada tahun 1729 M, datang lagi Comte De
Bonneval, yang juga dari Prancis untuk memberi latihan penggunaan meriam
modern. Ia dibantu oleh Mc. Carty dari Irlandia, Ramsay dari Skotlandia, dan
Mornai dari Prancis. Pada tahun 1734 M, untuk pertama kalinya Sekolah Teknik
Militer dibuka.[10]
Usaha pembaharuan ini tidak terbatas dalam bidang militer. Dalam biang-bidang
yang lain pembaharuan juga dilaksanakan, seperti pembukaan percetakan di
Istanbul tahun 1727 M, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian
juga, gerakan penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki.
Pada pertengahan kedua abad ke-XIX,
muncul suatu gerakan yang tidak puas dengan pembaharuan zaman Tanzimat. Gerakan
ini dikenal dengan nama Usmani Muda. Mereka menginginkan pembatasan yang lebih
tegas terhadap kekuasaan Sultan dengan mengadakan konstitusi. Salah satu ahli
fikir Usmani Muda adalah Namik Kemal (1865-1871 M). Ia banyak membaca
karangan-karangan Montesqiu, Rousseau, dan ahli-ahli fikir Prancis lainnya.
Pemerintahan menurutnya, harus didasarkan atas persetujuan rakyat, dalam arti
rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Faham kedaulatan ada dalam Islam dan
terkandung dalam system bay’ah.
Begitu juga pemerintahan konstitusional
ada dalam Islam, karena kekuasaan Khalifah atau Sultan dibatasi oleh syari’ah.
Atas dasar inilah, ia menganjurkan supaya didirikan tiga lembaga, yakni; Dewan
Negara yang bertugas merancang undang-undang, dewan nasional untuk membuat
undang-undang, dan senat yang menjadi perantara antara badan legislative dan
badan eksekutif.[11]
Pemerintahan konstitusional ini gagal dan dibubarkan tahun 1878.
Pada perkembangan
selanjutnya, ide nasionalisme Turkilah yang memperoleh kemenangan. Dibawah
kepemimpinan Kemal Attaturk (1924 M), membawa Turki kepada sekularisme dalam
arti pemisahan agama dari Negara di Turki modern.[12]
3. Pembaharuan di India.
Di India kesadaran akan
kemunduran umat Islam bersamaan waktu timbulnya dengan di Turki.[13]
Sesudah wafatnya Sultan Aurangzeb (1707 M), kerajaan ini selalu dihadapkan
dengan perang saudara untuk merampas kekuasaan di Delhi. Sementara dari fihak
luar, bangsa Inggris telah mulai memasuki anak benua ini. Pada mulanya fihak
Inggris hanya bermaksud berdagang, tetapi kemudian muncul keinginan untuk
menguasai India. Terjadilah beberapa kali pertempuran dengan kerajaan Mughal,
dan fihak Inggris selalu dalam kemenangan. Hal-hal inilah yang membuat
pemikir-pemikir Islam India sadar akan kelemahan umat Islam.
Syah Waliyullah
(1702-1762 M), adalah salah satu tokoh pembaharuan Islam di India. Bersama dengan
murid-muridnya, beliau mengecam kebobrokan moral yang melanda masyarakat Islam
India dan sinkritisme dari ajaran Sufi yang demikian akomodatif. Beliau
kemudian melakukan pemurnian ajaran Islam. Syah Waliyullah tidak serta merta
memberantas ajaran Sufi sebagai mana yang dilakukan oleh Mohammad bin Abdul
Wahab di jazirah Arabiah. Beliau hanya mengadakan koreksi dan perubahan terhadap
kepercayaan dan praktek keagamaan yang telah menyimpang dari ajaran Islam,
tetapi melakukan repormasi ajaran Sufi yang ada.[14]
Syah Waliyullah
berkeyakinan, bahwa dengan mengadakan perbaikan terhadap kepercayaan dan
praktek keagamaan, umat Islam akan menemukan kembali vitalitas mereka.
Pada perkembangan
selanjutnya, gerakan Waliyullah berubah dari gerakan pemurnian ajaran agama
semata-mata menjadi gerakan politik. Hal itu disebabkan karena munculnya
tantangan baru dari luar dunia Islam. Tantangan tersebut adalah ancaman dan
serangan baik dari golongan Sikh maupun dari pendatang baru Inggris. Gerakan
yang dimulai oleh Waliyullah tersebut, bergeser menjadi gerakan jihad degan
pengertian yang meliputi pula perjuangan pisik atau perang. Sedangkan tujuan
akhirnya adalah mempertahankan keberadaan kekuasaan Islam di India dan
mendirikan suatu Negara Islam yang berasaskan ajaran Islam yang telah
dimurnikan, dan berdasarkan keadilan social dan persamaan.[15]
Pemikiran yang kemudian
banyak mempengaruhi gerakan pemikiran pembaharuan di India adalah Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M).[16]
Pada masa mudanya ia
bekerja pada East India Company dan kemudian pada pemerintahan Inggris di
India. Tahun 1869/70 M, ia pernah berkunjung ke London. Kontaknya dengan
orang-orang Inggris menimbulkan dalam dirinya rasa kagum terhadap peradaban
Inggris dan ingin memasukkan peradaban itu ke kalangan umat Islam India.
Menurut pendapatnya, untuk meningkatkan umat Islam India akan dapat dicapai
dengan kerja sama dengan pemerintah Inggris di India dan bukan dengan
melawannya. Ia menganjurkan supaya umat Islam jangan turut campur dalam partai
kongres India yang dibentuk 1885 M. Baginya perbaikan posisi umat Islam dapat
dicapai bukan dengan melalui jalan politik, melainkan dengan jalur pendidikan.
Pada tahun 1878 M, ia mendirikan Muslim Anglo Oriental College (MAOC) di
Aligart. Didalam kurikulumnya terdapat bahasa Inggris dan
matapelajaran-matapelajaran mengenai ilmu pengetahuan modern. Dalam usaha menyatukan program pendidikan di
kalangan umat Islam India, beliau mengadakan Konferensi Pendidikan Islam di
tahun 1886 M.
Tahun 1906 M berkembang
ide nasionalisme yang dipelopri oleh segolongan intelektual Islam India sebagai
reaksi atas ide nasionalisme Hindu yang terdapat dalam parti kongres. Di bawah
pimpinan Muhamad Ali Jinnah (1876-1948 M) Liga Muslim menjadi gerakan popular
di India dan mulai memajukan ide Negara tersendiri bagi umat Islam di india.
Ide Pakistan dimunculkan buat pertama kali oleh Muhammad Iqbal (1873-1938 M).
Ide Negara Pakistan semakin berkembang hingga akhirnya tercapai pada tahun 1947
M. Keberhasilan ini, Muhammad Ali Jinnah mendapat gelar Qaid’I Azam (pemimpin
besar). Kalau gerakan pembaharuan umat Islam Turki akhirnya melahirkan Negara
Turki yang bersifat sekuler, gaerakan pembaharuan umat Islam India melahirkan
Negara Pakistan yang mempunyai agama sebagai dasar.[17]
Jamaluddin al-Afgani
(1839-1897 M) adalah tokoh pembaharu yang bergerak di berbagai dunia Islam dan
meninggalkan pengaruh bukan saja di daerah-daerah yang dikunjunginya, tetapi di
seluruh dunia Islam. Beliau lahir di Afganistan, kemudian pindah ke India pada
saat Negara itu di bawah kekuasaan Inggris. Setelah itu, beliau pindah ke
Mesir. Karena situasi politik, beliau akhirnya dipaksa keluar dan pergi ke
Eropa pada tahun 1879 M. Tahun 1889 M beiau diundang datang ke Iran, tetapi
karena soal politik terpaksa ia pindah ke Istambul dan akhirnya meninggal di
sana pada tahun 1897 M.
4. Pembaharuan di Indonesia.
Menurut
Prof Dr. Musyrifah Sunanto, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dapat
dilihat dari tiga periode yaitu; periode ketika kepemimpinan Ulama sangat
dominan di masyarakat muslim, periode ketika peran ulama digantikan oleh
pemimpin-pemimpin Islam yang bergerak di bidang organisasi atau kepartaian
dalam perpolitikan, dan periode kebangkitan kaum intelektual Muslim.[18]
a. Periode ketika kepemimpinan Ulama
sangat dominan di masyarakat Muslim. Periode ini berlangsung sejak datang dan
berkembangnya Islam di Indonesia (sekitar abad ke-VII M) hingga berlangsungnya
masa penjajahan. Pada periode ini, Ulama merupakan satu-satunya sumber rujukan
bertindak dan informasi mengenai wacana dan faham ke Islaman, mereka menjadi
sumber rujukan ketaatan baik dalam perilaku sosial maupun politik. Hingga
penjajahan Belanda makin merata, peran Ulama tidak tergoyahkan, bahkan menjadi
simbol perlawanan dalam perang-perang besar melawan penjajah. Misalnya
Fatahillah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Kiai Maja membantu perang
Diponegoro, Imam Bonjol dalam perang Padri. Periode sekitar tahun 1900, ketika
muncul gerakan pembaharuan.
b. Periode ketika peran
Ulama digantikan oleh pemimpin-pemimpin Islam yang bergerak di bidang
organisasi atau kepartaian dalam perpolitikan. Ini diawali oleh peran pemimpin
organisasi sosial seperti Haji Abdul Karim Amrullah, Zaenuddin Labai al-Yunusi,
dan pemimpin-pemimpin orgnisasi Sumatra Thawalib di Sumatra, Syeh Ahmad Surkati
dari al-Irsyad, Haji Abdul Halim dari persyarikatan Ulama Majalengka, KH. Ahmad
Dahlan dari Muhammadiah, Ahmad Hasan dari Persis, dan organisasi politik SI
dengan tokoh-tokohnya. Periode ini, para pemimpin organasasi keagamaan ataupun
politik Islam yang diadopsi dari Barat, bergerak melakukan perlawanan terhadap
penjajah dengan menggunakan wadah organisasi dan partai politik yang mereka
pimpin. Sementara dalam bidang pembaharuan, Muhammadiah memilki peran penting
dalam memperkenalkan modernitas terutama dalam bidang pendidikan. Model
pendidikan tradisional (pesantren) yang dulu digunakan diganti dengan model
pendidikan Barat (Belanda), yang memakai bangku, jadwal, kurikulum, dll.[19]
Hal itu didorong oleh
kesadaran beragama yang modernis, yakni menjadikan modernitas sebagai kebenaran
yang netral dan tidak identik dengan barat. Modernitas Barat dianggap sebagai
kelanjutan dari modernitas Islam periode klasik.
c. Periode kebangkitan kaum intelektual
Muslim. Periode ini dimulai tahun 1970, ditandai dengan munculnya beberapa
literatur yang mencoba mencermati secara sistematis perkembangan dunia intelektual
Muslim Indonesia. Pada tahun 1980-an dan 1990-an marak penerbitan buku-buku
yang bertema keagamaan serta merebaknya buku-buku keIslaman “intelektual dan
berbasis pemikiran” yang berdampak pada perkembangan dunia intelektual Muslim.
Namun pada masa berikutnya, zaman kebangkitan intelektual ini mempunyai
berbagai macam corak pemikiran.[20] Mereka
itu adalah;
·
Neo modernism,
yaitu pemikiran keIslaman yang menggabungkan dua aliran modernisme, tokohnya
adalah Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib.
·
Sosialisme demokrat,
yaitu gerakan Islam yang melihat keadilan sosial dan demokrasi sebagai unsur
pokok Islam. Tokoh-tokohnya adalah Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo.
·
Universalisme,
yaitu gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai ajaran yang
universal dengan obsesi Islam sebagai perangkat nilai alternative dari
kemerosotan nilai-nilai Barat. Tokoh-tokohnya adalah Amin Rais, Jalaluddin
Rahmat dan AM. Saefuddin.
·
Neo revivalis,
sering diartikan sebagai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Di Indonesia variannya
muncul dari beberapa organisasi seperti, Hamas, Hizbut Tahrir, FPI, dan Majelis
Mujahidin.
Dari
beberapa uraian yang telah kami sebutkan diatas, kiranya dapat ditarik
kesimpulan bahwa, faktor yang melatar belakangi bangkitnya kembali dunia Islam
abad XIX-XX adalah munculnya kesadaran
di kalangan kaum Muslimin tentang kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang
disebabkan oleh faktor-faktor internal, sehingga munculnya gerakan-gerakan
pemurnian dan pembaharuan dalam Islam.
Disamping itu, rongrongan Barat atas keutuhan dan kekuasaan politik dan wilayah
dunia Islam, juga merupakan faktor pendorong bagi umat Islam untuk bangkit
melakukan perlawanan terhadap penjajahan yang di lakukan oleh bangsa Barat. Begitu pula kesadaran akan keunggulan Barat
dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya, memompa semangat umat Islam
untuk dapat mengejar ketertinggalannya dari bidang-bidang tersebut.
B. Upaya Perlawanan Umat Islam Terhadap
Kolonialisme.
Abad
ke-XVI dan ke-XVII M, merupakan abad yang paling penting bagi bangsa Eropa. Pada
masa ini gerakan-gerakan reneisance yang melahirkan banyak perubahan dan
kemajuan bagi bangsa Eropa dimulai. Eropa bangkit kembali untuk mengejar
ketertinggalan mereka pada masa kebodohan dan kegelapan. Mereka menyelidiki
rahasia alam, menaklukkan lautan, dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih
diliputi kegelapan. Banyak penemuan dalam segala lapangan ilmu pengetahuan dan
kehidupan mereka peroleh. Cristoper Colombus pada tahun 1492 M, menemukan benua
Amerika dan Vasco da Gama tahun 1498 M, menemukan jalan ke Timur melalui
Tanjung Harapan. Dengan dua temuan ini, Eropa mengalami kemajuan dalam dunia
perdagangan, karena tidak tergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai umat
Islam.
Kemajuan
yang dicapai bangsa Eropa tersebut, menjadikan perekonomian mereka terangkat,
yang pada gilirannya pengorganisasian dan persenjataan modern yang dimilikinya
mampu melancarkan pukulan telak terhadap daerah-daerah kekuasaan Islam. Seperti
kerjaan Usmani ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan Eropa dan kerajaan Mughal
ketika berhadapan dengan Inggris. Daerah-daerah kekuasaan Islam lainnya juga
mulai berjatuhan ke tangan Eropa seperti Asia Tenggara, bahkan Mesir yang
merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang terpenting diduduki Napoleon
Bonaparte dari Prancis pada tahun 1798 M.
Penguasaan
Eropa atas negara-negara Islam, baik langsung maupun tidak langsung,
menciptakan ketergantungan dunia Islam atas Eropa dihampir semua bidang
kehidupan. Eropa sebagai negara penjajah tentu saja mendapatkan reaksi yang
amat kuat dari umat Islam, demi mempertahankan martabat dan harga dirinya.
Dengan demikian, muncullah reaksi dengan semangat berjihad dari umat Islam guna
mempertahankan negerinya, sampai mereka memperoleh kemerdekaan. Hal ini dapat
di lihat dari umat Islam di India, mereka mengusir Inggris (1857 M),
pemberontakan Uraby Pasha di Mesir (1882 M), revolusi Persi (1891 M), perang
Padri dan perang Diponegoro di Indonesia (1821-1837 M).[21]
Reaksi
yang ditimbulkan oleh umat Islam ini, bagi negara Imperial tentu telah menyiapkan
diri guna menghadapi gelombang perlawanan dari kaum Islam sebagai negara yang
di jajahnya. Tetapi seiring dengan perlawanan balasan yang dilakukan bangsa
Eropa, menimbulkan semangat dan kesadaran Pan-Islamisme di kalangan kaum
Muslimin. Cita-cita Pan-Islamisme abad XIX dan XX adalah menegakkan persatuan
seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan pemerintah Islam yang dikepalai
seorang Khalifah, dan berkuasa sepenuhnya.[22]
Cita-cita Pan-Islamisme ini berhasil (walaupun tidak secara maksimal), hal ini
di tandai dengan adanya gerakan-gerakan kebangsaan dari kalangan umat Islam
dalam melawan kekuasaan bangsa Barat diseluruh dunia Islam ketika itu. Seperti
:
1.
Pecahnya
pemberontakan al-Kabil di Aljazair melawan Prancis pada tahun 1871 M.
2.
Gerakan di Mesir
Muda yang bermuara pada pemberontakan Uraby Pasha terhadap nggris di Mesir
tahun 1882 M, dan pergolakan di Afganistan melawan Inggris tahun 1911 M.
3.
Pemberontakan
umat Islam Tiongkok di daerah Turkistan dan Yunani tahun 1907 M.
4.
Pemberontakan
al-Mahdi di Sudan melawan Inggris sampai akhir abad XIX dan Permulaan abad XX
M.
5.
Pembrontakan
Iran terhadap Inggris pada tahun 1920 M.
6.
Di negeri Asia
tenggara, misalnya Malaysia 1897, dan perang Aceh di Indonesia tahun 1873-1912
M.[23]
Gerakan-gerakan
perlawanan yang di lakukan oleh umat Islam tersebut, mencerminkan semangat
perjuangan yang tak kenal menyerah dalam rangka mempertahankan martabat dan harga dirinya di
hadapan bangsa Penjajah. Disamping itu, merupakan bukti konkrit bahwa umat
Islam tidak pernah menginginkan terjadinya kesewenang-wenangan terhadap sesama,
karena kesadarannya akan adanya persamaan hak untuk hidup aman.
Gerakan
perlawanan yang dilakukan umat Islam terhadap bangsa penjajah tersebut,
tampaknya cukup mewarnai dunia Islam pada awal abad XX. Dalam hal ini umat
Islam membersihkan dirinya dari segala bentuk penyimpangan dan berusaha kembali
kepada ajaran-ajaran agama, yakni suatu bentuk pemikiran dan introspeksi serta
retrospeksi. Gerakan ini pada intinya bertujuan untuk melepaskan diri dari
belenggu dunia Barat (Eropa).
C.Munculnya Semangat Nasionalisme dan
Lahirnya Negara-negara Nasional dalam Dunia Islam.
Usaha
untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya-yang dikenal dengan nama
pembaharuan-sebagai mana yang telah diuraikan di atas, didorog oleh dua faktor
yang saling mendukung. Yaitu usaha pemurnian kembali ajaran-ajaran Islam dari
unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, dan usaha
menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Yang pertama
ditandai dengan munculnya gerakan Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad ibn
Abdul Wahab (1703-1787 M) di Arabiah, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India,
dan gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi.
Sedangkan yang kedua dimulai dengan upaya pengiriman pelajar Muslim oleh penguasa
Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba Ilmu pengetahuan. Disamping
itu, adanya upaya penterjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam.
Gerakan-gerakan
pembaharuan yang dilakukan oleh umat Islam tersebut, lambat laun merembet ke
dalam dunia politik, hal ini disebabkan karena Islam tidak bisa dipisahkan
dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan
Pan-Islamisme yang didengungkan oleh gerakan Wahabiyah dan Sansusiyah. Akan
tetapi gagasan Pan-Islamisme ini baru terdengar lantang ketika disuarakan oleh
seorang pemikir Islam terkenal, Jamaluddin al-Afgani (1839-1897 M).[24]
Semangat
Pan-Islamisme yang bergelora ini, mendorong Sultan Kerajaan Turki Usmani Abdul
Hamid II (1876-1909 M), untuk mengundang al-Afagani ke Istambul. Gagasan ini
mendapat sambutan hangat dari dunia Islam. Akan tetapi, menjadi duri bagi
kekuasaan Sultan, sehingga al-Afgani tidak diizinkan berbuat banyak di
Istimbul.[25]
Bermula dari sinilah semangat Pan-Islamisme meredup, kemudian berkembang
semangat nasionalisme (rasa kesetiaan terhadap bangsa dan Negara).
Gagasan
nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk kedalam dunia Islam melalui
persentuhan dunia Islam dengan Barat. Dipercepat lagi dengan banyaknya
pelajar-pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga pendidikan
“Barat” yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya
mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam karena dinilai tidak sejalan dengan
semangat Ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi, ia berkembang dengan cepat
karena meredupnya gagasan Pan-Islamisme.
Di Mesir benih-benih semangat
nasionalisme tumbuh sejak masa al-Tahtawi (1801-1873 M), dan Jamaluddin
al-Afgani. Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini di Mesir
adalah Ahmad Uraby Pasha. Dibagian negeri Arab, lahir gagasan nasionalisme Arab
yang mendapat sambutan hangat. Gagasan ini terbentuk atas dasar kesamaan
bahasa. Semangat persatuan Arab itu semakin kuat, apalagi setelah adanya usaha
dari bangsa Barat untuk mendirikan Negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab
dan di negeri yang mayoritas dihuni orang Arab. Cita-cita mendirikan Negara
Arab menghadapi tantangan yang sangat berat. Paling tidak, untuk mencapai cita-cita
itu, mereka harus melalui dua tahap yaitu; memerdekan wilayah masing-masing
dari kekuasaan penjajah, dan kedua berusaha mendirikan Negara kesatuan Arab.[26] Tanggal
12 Maret 1945 berhasil didirikan Liga Arab, tetapi cita-cita utama berdirinya
Negara Arab bersatu belum tercapai apalagi
ketika itu kekuasaan Barat masih tetap bercokol di sana.
Di
India, sebagaimana Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan
gerakan khilafat juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali (1848-1928 M) adalah
salah seorang pelopornya. Namun gerakan ini segera pudar setelah usaha
menghidupkan kembali khilafah yang dihapus Mustafa Kemal (1924 M) di Turki
tidak mungkin lagi. Kemudian populerlah gerakan nasionalisme yang diwakili oleh
Partai Kongres Nasional India. Tetapi gagasan nasionalisme ini segara di
tinggalkan oleh tokoh-tokoh Islam, karena di dalamnya kaum Muslimin yang
minoritas tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas.[27] Gagasan
nasionalisme kemudian berganti menjadi Islamisme yang dikenal dalam istilah
masyarakat India Komunalisme. Hasil dari tuntutan untuk menyatukan Islam
di wilayah ini yang di pimpin oleh Muhammad Ali Jinnah adalah berdirinya Negara
Pakistan (timur dan barat) pada tahun 1367 H/1947 M.[28]
Di
Indonesia, ketika semangat keberagamaan sedang dialami oleh masyarakat
Nusantara, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu Portugis, kemudian Spanyol,
disusul Belanda dan Inggris. Awalnya hanya untuk melakukan transaksi
perdagangan dengan penduduk, lama-kelamaan timbul keinginan untuk memonopoli
perdagangan tersebut dan ingin menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.[29]
Pada tahun 1755 VOC
berhasil menjadi pemegang hegemoni politik pulau. Jawa dengan perjanjian
Giyanti, karena itu raja Jawa kehilangan kekuasaan politiknya. Bahkan
kewibawaan raja sangat bergantung kepada VOC. Campur tangan kolonial terhadap
kehidupan keratin makin meluas, sehingga Ulama-ulama keratin sebagai penasehat
raja-raja tersengkir. Ini terjadi sampai abad ke-XIV. Dalam kondisi seperti
ini, rakyat mencari pemimpin non formal (ulama, kiai, atau bangsawan) yang
masih memerhatikan mereka.
Ketika
penjajahan Belanda semakin meluas, muncullah gerakan protes petani dipimpin
ulama lokal untuk melawan Belanda dan pembantu-pembantu raja-raja tradisional
yang dianggap kafir. Para petani dan ulama lokal menganggap gerakan itu perang
suci, perang terhadap kafir. Gerakan protes petani yang bercorak agraris ini
sebenarnya merupakan kelanjutan perang memperebutkan hegemoni (yang dulunya
dipimpin oleh sultan) dan perlawanan terhadap dominasi dan ekonomi (yang
dipimpin oleh para bangsawan) serta kepemimpinan ulama dalam perlawanan
terhadap kekuasaan asing. Kesemuanya ini nantinya dilanjutkan oleh peranan
organisasi dan partai yang mempunyai
idelogi dan strategi yang lebih jelas di kota-kota besar, yang kelak akan
berperan sebagai dasar pengikat persatuan sebagai simbol pembeda dengan
colonial Belanda dan bahkan memberikan rasa harga diri sebagai sebuah bangsa,
yaitu bangsa Indonesia.[30]
Dikalangan
rakyat, makin berkuasanya kolonial dirasakan sangat berat karena terjadi
eksploitasi hasil bumi rakyat untuk kepentingan VOC. Dalam kondisi seperti itu,
rakyat bergabung kepada pemimpin non formal (ulama, kiai, dan bangsawan) untuk
melawan dan berjuang atas nama agama.
Lahirlah perang Padri (1821-1837) yang dipimpin Imam Bonjol, Perang Aceh
(1873-1904) yang dipimpin Panglima Polim, serta perang-perang lainnya yang
terjadi di daerah-daerah. Hal ini terus berlangsung hingga akhirnya bangsa
Indonsia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.
Terlepas
dari uraian di atas, ketika umat Islam memperjuangkan kemerdekaan, mereka
berhasil sekaligus memproklamirkan negaranya sebagai Negara yang merdeka yang
bebas dari pengaruh politik Barat. Negara berpenduduk mayoritas Muslim yang
pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitu
pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi, rakyat Indonesia harus
mempertahankan kemerdekaannya itu dengan perjuangan bersenjata selama lima tahun berturut-turut, karena bangsa Belanda
yang didukung oleh Tentara Sekutu berusaha ingin menguasai kembali kepulauan
ini.[31] Negara Islam kedua yang merdeka dari
penjajahan adalah Pakistan, yaitu pada tanggal 15 Agustus 1947, ketika Inggris
menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan Konstitusi
(India-Pakistan).
Di
Timur Tengah, Mesir secara resmi memperoleh kemerdekaan pada tahun 1922 dari
Inggris, tetapi dalam pemerintahan raja Faruk pengaruh Inggris sangat besar.
Baru pada masa pemerintahan Jamal Abd al-Naser yang menggulingkan raja Faruk
pada tanggal 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka.[32] Sama dengan Mesir, Irak merdeka secara formal
tahun 1932, tapi rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka tahun 1958.
Sebelum itu, Negara-ngara disekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya
seperti Syria, Jordania, dan Libanon pada tahun 1946.
Di
Afrika, Libiya merdeka tahun 1951, Sudan dan Maroko tahun 1956, Al-Jazair tahun
1962. Semuanya membebaskan diri dari Prancis. Dalam waktu yang hamper
bersamaan, Yaman Utara, Yaman Selatan, dan Emirat Arab memperoleh
kemerdekaannya pula.
Di
Asia Tenggara, Malaysia yang waktu itu termasuk Singapura, mendapat kemerdekaan
dari Inggris tahun 1957, dan Brunai Darussalam tahun 1984 M.[33]
Demikianlah satu-persatu negeri-negeri Islam memerdekakan diri dari penjajahan.
Bahkan beberapa diantaranya baru mendapatkan kemerdekaaan pada tahun-tahun
terakhir seperti negara-negara Islam yang dulunya bersatu dengan Uni Soviet.
Yaitu Uzbekistan, Turkmenistan, Kirghistan, Kazakhtan, Tasjikistan, dan
Azerbaijan pada tahun 1992, dan Bosnia memerdekakan diri dari Yoguslavia juga
pada tahun 1992.
Dari
pemaparan yang telah diuraikan diatas, penulis menyimpulkan bahwa, terlepas
dari bentuk dan usaha perlawanan yang telah dilakukan oleh umat Islam terhadap
bangsa-bangsa penjajah, semangat rasa cinta dan kesetiaan terhadap bangsa (nasionalisme),
merupakan unsur penting yang menjadi motor penggerak dalam jiwa kum muslimin.
Semangat nasionalisme inilah, yang kemudian memberikan motivasi untuk berjuang
melakukan perlawanan terhadap bangsa penjajah, sehingga kaum muslimin dapat
memproklamirkan kemerdekaan negaranya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Faktor yang
melatar belakangi bangkitnya kembali dunia Islam abad XIX-XX adalah :
a. Kesadaran
kaum muslimin terhadap penyimpangan yang terjadi dalam ajara agamanya, yang kemudian melahirkan usaha pemurnian dan
pembaharuan terhadap ajaran-ajaran Islam.
b. Keterbelakangan
yang dirasakan oleh umat Islam dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya,
serta ilmu pengetahuan dan teknologi, menumbuhkan semangat umat Islam untuk
belajar terhadap bangsa Barat agar dapat mengejar ketertinggalannya tersebut.
c. Terjadinya
kontak antara dunia Islam dengan dunia Barat, melahirkan pemahaman baru
dikalangan umat Islam, untuk dapat mencoba mentolerir segala sesuatu yang
datang dari dunia Barat.
2.
Upaya perlawanan
yang dilakukan oleh umat Islam terhadap kolonialisme, terdiri atas dua bagian
yaitu :
a. Perlawanan
dengan jalan “Jihad” dalam artian bahwa umat Islam melakukan perlawanan secara
pisik (berperang) melawan bangsa Koloni.
b. Perlawanan
dengan jalan damai, yakni melakukan rekonstruksi dan perbaikan-perbaikan system
politik sebagai alat perjuangan dalam memperoleh kemerdekaan.
3.
Pengaruh
semangat nasionalisme dalam usaha memerdekakan negara-negara Islam sangat
besar. Dengan semangat nasionalisme yang dimiliki, umat Islam kemudian termotivasi dalam melakukan
perlawanan terhadap bangsa kolonial sehingga satu demi satu negara-negara Islam
dapat merdeka dari tangan penjajah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti, Sejarah
Islam Pra Modern, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Al-Usairy,
Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Cet. VI, Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Amin, M.
Mansyur, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Indonesia Spirit Foundation,
2004.
Brokelemen,
Carlt, History of The Islamic People, London: Ruct Ladge, 1974
Nasution, Harun,
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid; II, Jakarta: UI Press, 2002.
Nizar, Samsul, Sejarah
dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Ciputat: Quantum Teaching, 2005
Sjadzali,
Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:
UI Press, 1993
Stoddard,
Lothrop, Dunia Baru Islam, Diterjemahkan oleh Djojo Martono, et.,
Jakarta: 1996
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007
Thohir, Ajid, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009
Yatim, Badri,
Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008.
[1] Harun nasution , Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya (Cet. II; Jakarta: IU Press, 2002), h. 88
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
Dirasa Islamiyah II (Cet. II; Jakarta: Pt. Raja Gtafindo Persada, 2008), h.
184
[3] Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, diterjemahkan
oleh Joyo Martono, et. Jakarta: 1996, h. 26
[4] Muhammad Nasir, Dunia Islam dalam
Perspektif Sejarah (Jakarta: Yayasan Idayu, 1974), h. 24
[5] Badri
Yatim, Op. Cit., h. 174
[6] Ibid,
h., 173
[7]
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Cet
V; Jakarta: UI Press, 1993), h. 111
[8] Ibid.,
h. 112
[9] Badri
Yatim, Op.,Cit., h. 178
[10] Ibid.,
h. 179
[11] Harun
Nasution, Op., Cit., h. 102
[12] Ibid.,
h. 104
[13] Ibid
[14]
Munawir Sjadzali, Op., Cit, h. 113
[15] Ibid., h.
113
[16] Harun
Nasution, Op. Cit., h. 106
[17] Ibid.,
h. 108
[18]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta; PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), 308.
[19] Ibid.,
h. 311
[20] Ibid.,
h. 312
[21] Carlt
Brokelemen, History of The Islamic People (London; Ruch Ladge, 1974),
h.12
[22]
Lothrop Stoddard, Op Cit., h. 6
[23] Ibid.,
h. 67
[24] Badri
Yatim, Op. Cit., h. 185
[25] Ibid.,
[26] Ibid.,
[27] Ibid.,
h. 187
[28] Ahmad
al Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad 20 (Jakarta;
Akbar Media Eka Sarana, 2003), h. 501
[29] Ibid.,
h. 498
[30]
Musyrifah Sunanto, Op. Cit.,h. 139
[31] Badri
Yatim, Op. Cit., h. 188
[33] Ibid.,
h. 189
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....