PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama
Islam yang dianut oleh kaum muslim diseluruh dunia merupakan pedoman hidup yang
menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia mempunyai satu dasar utama yang
essensial yang berfungsi memberi petunjuk kejalan yang sebaik-baiknya, yakni Al-Qur’an.
Kitab suci Al-Qur’an merupakan landasan hukum pertama dalam Islam, Al-Qur’an
memberikan petunjuk dalam persoalan hukum (Syari’at), aqidah (Keimanan) dan
akhlak dengan jalan meletakkan dasar-dasar tentang persoalan-persoalan
tersebut.
Al-Qur’an
diturunkan untuk membimbing manusia kepada tujuan yang terang dan jalan yang
lurus, menegakkan suatu kehidupan yang didasarkan kepada keimanan kepada Allah
SWT dan risalahnya.
Dalam
mengkaji Al-Qur’an banyak memerlukan ilmu bantu dan salah satu ilmu yang paling
mendasar yang harus diketahui oleh orang yang bergelut dengan kajian Al-Qur’an
adalah ilmu Asbabun Nuzul. Asbabun Nuzul adalah konsep, teori, atau
berita tentang sebab turunnya wahyu kepada Nabi baik berupa satu ayat,
rangkaian ayat, ataupun satu surah.
Asbabun
Nuzul merupakan salah satu pokok bahasan yang sangat penting dalam ulum Al-Qur’an,
karena dengan mengetahui asbabun nuzul dapat
membantu memahami dan menyingkap rahasia-rahasia yang ada dalam Al-Qur’an.
B. RUMUSAN MASALAH
Terkait
dengan luasnya pembahasan mengenai ilmu Asbabun Nuzul, maka dalam makalah ini
penulis secara khusus akan membatasi pembahasan tentang masalah-masalah sekitar
:
1. Pengertian asbabun nuzul
2. Ilmu asbabun nuzul
3. Urgensi mempelajari asbabun nuzul
4. Sumber dan cara mengetahui asbabun nuzul
5. Hikmah mempelajari asbabun nuzul
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
ASBABUN NUZUL
Secara
etimologis kata asbabun nuzul berasal dari kata “asbab” dan “nuzul”.[1]
Kata asbab merupakan bentuk jamak dari kata sababun yang berarti
sebab, alasan, illat.[2]
Sedangkan kata nuzul berasal dari kata kerja nazala yang berarti
turun.[3]
Secara tersminologis, Asbabun nuzul dapat
diartikan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat (Al-Qur’an), seperti
halnya asbabul wurud dalam istilah ulumul hadits.
Menurut
Al-Zarqani, asbabun nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu
atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum
berkenaan dengan turunnya suatu ayat. Pernyataan senada juga diutarakan oleh
Shubhi Al-Shalih bahwa sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa
ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada
masa terjadinya sebab itu.[4]
Sedangkan Ash-Shabuni mengatakan bahwa turunnya suatu ayat disebabkan atau oleh
adanya suatu peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan peristiwa
tersebut, baik itu berupa pertanyaan dari para sahabat ataupun kejadian yang
berkaitan dengan urusan agama.[5]
Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan para ahli di atas dapat ditarik dua kategori
mengenai sebab turunnya sebuah ayat. Pertama, sebuah ayat turun ketika
terjadi sebuah peristiwa sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Abbas tentang
perintah Allah SWT kepada Nabi SAW untuk memperingatkan kerabat dekatnya. Lalu,
Nabi SAW naik ke bukit Shafa dan memperingatkan kaum kerabatnya akan
azab yang pedih. Karena itu, Abu Lahab berkata: “Celakalah engakau! Apakah
engakau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini? Lalu ia berdiri, dan turunlah
surah al-Lahab. Kedua, Sebuah ayat turun bila Rasulullah SAW ditanya
tentang sesuatu hal, untuk menjawab pertanyaan itu turunlah ayat Al-Qur’an yang
menerangkan hukumnya seperti pengaduan Khaulah binti Tsa’labah kepada Nabi SAW
berkenaan dengan zhihar yang dijatuhkan suaminya Aus bin Samit, padahal
saat itu, Khaulah binti Tsa’labah telah menghabiskan masa mudanya dan sering
melahirkan sehingga menjadi tua
karenanya. Ketika suaminya men-zhihar dirinya saat sudah berusia tua dan tidak bisa melahirkan lagi, ia pun protes.
Lalu, mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah SAW tentang kasus yang
menimpanya. Kemudian turunlah ayat: “Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya”, yakni Aus bin
Samit.[6]
Dari
pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa asbabun nuzul merupakan peristiwa
atau kejadian yang melatarbelakangi turunnya satu atau beberapa ayat dalam
rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari
peristiwa tersebut. Jadi dapat dipahami bahwa asbabun nuzul ada beberapa unsur
penting yang harus dilihat dalam menganalisa sebab turunnya suatu ayat, yaitu
adanya suatu peristiwa, pelaku, waktu,
dan tempat perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu
pada kasus lain dan di tempat dan waktu yang berbeda.[7] Hal
ini tidak berarti bahwa setiap ayat yang turun disebabkan oleh suatu peristiwa
atau kejadian, atau karena adanya pertanyaan kepada Nabi mengenai agama. Tetapi
ada diantara ayat yang turun tanpa adanya sebab, yaitu mengenai aqidah, iman,
kewajiban-kewajiban dalam Islam.
B. ILMU ASBABUN NUZUL
Allah
SWT menjadikan segala sesuatu melalui sebab- musabbab dan menurut suatu ukuran.
Tidak seorangpun lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabbab
dan melalui berbagai perkembangan. Tidak sesuatu pun terjadi dalam wujud ini
kecuali setelah melewati pendahuluan dan perencanaan, begitu juga pada
perubahan cakrawala pemikiran manusia terjadi setelah melalui persiapan dan
pengarahan. Itulah Sunnatullah (hukum Allah) yang berlaku bagi semua
ciptaan-Nya.
Tidak
ada bukti yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian
pula penerapannya dalam kehidupan. Seorang sejarahwan yang berpandangan tajam
dan cermat mengambil kesimpulan, dia tidak akan sampai kepada fakta sejarah
jika tidak mengetahui sebab-musabbab yang mendorong terjadinya peristiwa.
Tapi
tidak hanya sejarah yang menarik kesimpulan dari rentetan peristiwa yang
mendahuluinya tapi juga ilmu alam, ilmu sosial dan kesusastraan pun dalam
pemahaman memerlukan sebab-musabbab yang melahirkannya, disamping tentu saja
pengetahuan tentang prinsip-prinsip serta maksud tujuan.[8]
C. URGENSI MEMPELAJARI ASBABUN NUZUL
Ada
orang yang berpendapat bahwa mengetahui Asbabun Nuzul itu tidak begitu penting,
karena tidak mempunyai tempat dalam perkembangan sejarah dan kisah-kisah,
bahkan tidak merupakan kebutuhan pokok bagi orang yang hendak menafsirkan
Kitabullah. Menurut penulis, ini adalah pendapat yang keliru dan merupakan
ucapan yang tidak bisa diterima, dan sangat jelas perkataan seperti itu tidak
keluar dari orang yang mengetahui tentang Al-Qur’an, juga tidak pernah membaca
pendapat para ulama tafsir.
Berkenaan
dengan hal di atas maka penulis akan
memaparkan pendapat para ulama tentang pentingnya mempelajari Asbabun Nuzul:
1. Imam Al-Wahidi mengatakan: Tidak
mungkin orang bisa mengetahui tafsir suatu ayat, tanpa mengetahui kisah dan
penjelasan mengenai turunnya lebih dahulu.
2. Imam Ibnu Daqieq al-Ied mengemukakan
bahwa keterangan sebab turunnya ayat adalah cara yang kuat dan penting dalam
memahami makna-makna Al-Qur’an.
3. Ibnu Taimiyah mengatakan:
Mengetahui asbabun nuzul sangat membantu untuk memahami ayat. Sesungguhnya
dengan mengetahui sebab’ akan mendapatkan
ilmu Musabbab.[9]
Dalam
Ulumul Qur’an, ilmu asbabun nuzul merupakan ilmu yang sangat penting dalam
menunjukkan hubungan dialektika antara teks dan realita.[10]
Dalam uraian lebih rinci, urgensi asbabun nuzul dalam memahami Al-Qur’an
sebagai berikut:[11]
1. Membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
dan mengatasai ketidakpastian dalam menangkap pesan dari ayat-ayat tersebut.
Umpamanya dalam Al-qur’an surah Al-Baqarah (2):115
ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله
Terjemahnya:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka
kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”.[12]
Dalam Kasus Shalat: Dengan melihat ayat
di atas, seseorang boleh menghadap kiblat ketika shalat. Akan tetapi, setelah
melihat asbabun nuzul-Nya, kekeliruan interpretasi tersebut sangat jelas, sebab
ayat di atas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan
melakukan shalat di atas kendaraan dan tidak diketahui dimana arah kiblat.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga
mengandung pengertian umum; Umpamanya dalam surah Al-An’am (6):145 dikatakan:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Terjemahnya:
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi –
Karena sesungguhnya semua, barang siapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhan-Mu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[13]
Menurut Asy-Syafi’i pesan ayat ini tidak
bersifat umum, tapi untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami
ayat di atas, beliau menggunakan asbabun nuzul. Ayat ini menurutnya, diturunkan
sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa
yang telah dihalalkan Allah, dan menghalalkan yang telah diharamkan Allah
merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang yahudi, maka turunlah
ayat diatas.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung
dalam ayat Al-Qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan
adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafaz yang bersifat umum.
4. Mengidentifikasikan pelaku yang
menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an sebagaimana kasus Aisyah yang pernah
menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abdul Rahman Ibn Abu Bakar sebagai
orang yang menyebabkan turunnya ayat. Untuk meluruskan masalah ini, Aisyah berkata
kepada Marwan, “Demi Allah, bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun, dan aku
sanggup menyebutkan siapa orang yang sebenarnya.
5. Memudahkan untuk menghafal dan memahmi
ayat, serta untuk menetapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya, hal
ini karena hubungan sebab akibat hukum, peristiwa dan pelaku, masa dan tempat
merupakan jalinan yang dapat mengikat hati.
D. SUMBER DAN CARA MENGETAHUI ASBABUN NUZUL
Asbabun
nuzul diketahui melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi tetapi tidak semua
riwayat yang disandarkan kepadanya dapat dipegang. Riwayat yang dapat dipegang
adalah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan oleh
para ahli hadis, Secara khusus dari riwayat
asbabun nuzul adalah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang
diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu diturunkan). Riwayat yang berasal dari
para tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah SAW dan sahabatnya dianggap
lemah (Dhaif); Sebab itu, seseorang tidak dapat begitu saja menerima pendapat
seorang penulis atau orang seperti itu bahwa suatu diturunkan dalam keadaan
tertentu. Karena itu, kita harus mempunyai pengetahuan tentang siapa yang
meriwayatkan peristiwa tersebut, dan apakah ia memang sungguh-sungguh
menyaksikan, dan kemudian siapa yang menyampaikannya kepada kita.[14]
E. HIKMAH MEMPELAJARI ASBABUN NUZUL
Adapun
hikmah mempelajari asbabun nuzul adalah mencakup hikmah atas kaum
muslimin dan kaum non muslim dan hikmah yang dapat di petik oleh kaum muslimin
dalam mempelajari asbabun nuzul adalah dapat menambah iman kaum muslimin setelah
mempelajari asbabun nuzul. Dan adapun hikmah yang dapat di ambil oleh kaum non
muslimin adalah dapat menambah kepercayaan mereka terhadap Al-Qur’an sehingga
dengan mengetahui sebab turunnya ayat di dalam Al-Qur’an dapat menjadikan
mereka masuk ke dalam Islam[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan yang telah penulis sajikan dalam bentuk yang sederhana, maka ditarik
suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Asbabun nuzul merupakan suatu perangkat
ilmu yang dipakai untuk lebih memahami makna dan maksud diturunkannya suatu
ayat, agar terhindar dari penafsiran yang mungkin saja terjadi apabila tidak
merujuk kepada sebab turun suatu ayat yang berkaitan suatu masalah.
2. Allah menjadikan segala sesuatu melalui
sebab-musabbab dan menurut suatu ukuran tidak ada sesuatu pun terjadi dalam
wujud ini kecuali setelah melewati pendahuluan dan perencanaan.
3. Asbabun nuzul mempunyai arti penting dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Pemahaman akan ilmu asbabun nuzul sangat membantu dalam memahami
konteks turunnya ayat dan peluang terjadinya kekeliruan akan semakin besar jika
mengabaikan disiplin ilmu ini.
4. Sebab turunnya suatu ayat dalam
Al-Qur’an hanya dapat diketahui keberadaannya dari dalil naqli (hadits).
5. Adapun hikmah dari asbabun nuzul adalah
mencakup hikmah atas kaum muslimin dan kaum non muslim. Bagi kaum muslimin
hikmah yang dapat di petik ialah dapat menambah iman sedang bagi kaum non
muslimin ialah kaum non muslimin adalah dapat menambah kepercayaan mereka
terhadap Al-Qur’an sehingga dengan mengetahui sebab turunnya ayat di dalam
Al-Qur’an dapat menjadikan mereka masuk ke dalam Islam.
B.
Saran
Dengan
segala kerendahan hati penulis menyatakan bahwa dalam pemaparan makalah ini
masih sangat jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan penulis sendiri,
olehnya itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
peserta seminar makalah khususnya Bapak dosen selaku pemandu dari seminar ini.
Dan mudah-mudahan penyajian makalah ini dapat memberikan sedikit pemahaman
mengenai ilmu asbabun nuzul sebagai salah satu disiplin ilmu dari ilmu-ilmu
yang dipakai dalam memahami kitab suci Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Jalaluddin, al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (Maktabah al-Tsaqafah,
Lebanon, tahun 1937, Jilid 1)
Anwar, Rosihan,
Ulumul Qur’an, Cet. III; Bandung: Daftar Pustaka, 2006
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, at-Tibyan fi Ulumil Qur’an,
Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1390
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Beirut:
Pustaka Firdaus, 1985
Ash-Shalih, Subhi Mabahits fi ulumil Qur’an, diterjemahkan
oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet.
XIX; Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2004
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:
CV. Indah Press, 2002)
Izzan, Ahmad, Ulumul Qur’an
(Telaah Tekstual dan
Kontekstual Al-Qur’an), Cet. III; Bandung: Tafakur (Kelompok
HUMANIORA)-Anggota Ikapi, 2009
Munawwir, Ahmad Warson , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet.
XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Shihab, Quraish, dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Cet. I; Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999
Zayd, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an, (Cet. I;
Yogyakarta: Lkis, 2001)
[2] Ahmad Warson Munawwir , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia,
(Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 602
[4] Quraish Shihab., dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Cet. I;
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 78. Lihat juga, Subhi As-Shalih dalam Mabahits
fi ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul, Membahas
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Cet. XIX; Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2004),
h. 173.
[5] Muhammad Ali
Ash-Shabuni, at-Tibyan fi Ulumil Qur’an, (Damaskus: Maktabah
al-Ghazali:, 1390), h . 22
[6] Ahmad Izzan, Ulumul
Qur’an (Telaah Tekstual dan Kontekstual Al-Qur’an), (Cet. III;
Bandung: Tafakur (Kelompok HUMANIORA)-Anggota Ikapi, 2009), h. 181-182
[8] Subhi
As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Beirut: Pustaka Firdaus, 1985),
h. 153
[9] Jalaluddin
Abdurrahman, al-Itqan fi Ulum
Al-Qur’an (Maktabah al-Tsaqafah, Lebanon, tahun 1937, Jilid 1), h. 28
[12] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Indah Press, 2002),
h. 31
[13] Ibid., h. 212
[14] Quraish
Shihab., dkk., Op Cit., h. 81
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....