PENDAHULUAN
A. Latar Belang Masalah
Sebagai kitab petunjuk, pedoman dalam segala aktivitas
umat manusia, khususnya umat Islam, al-Qur’an dan hadis Rasulullah telah
mengatur segala aktivitas mereka, mulai dari masalah yang terkait dengan agama
hingga masalah-masalah yang hanya terkait dengan dunia. Di antara masalah–masalah
agama yang diatur oleh keduanya adalah masalah pembagian harta. Harta adalah
salah satu masalah urgen yang telah diatur ketetapannya dalam Islam.
Selain diatur oleh al-Qur’an, masalah harta,
penggunaan dan pembagiannya juga banyak diungkapkan dalam hadis Nabi saw. Salah
satu masalah yang terkait adalah mengenai keadilan dalam al-‘at}iyah
(pemberian).
Untuk mengetahui penjelasan mengenai keadilan tersebut,
maka diperlukan sebuah kajian hadis yang komprehensif tentang al-‘at}iyah
itu sendiri karena sebelum menerapkan hadis Nabi saw.,
terlebih dahulu harus dipahami bagaimana hadis tersebut dari segi sanad dan matannya.[1]
Tanpa memahaminya dengan baik hal tersebut akan
menimbulkan penerapan yang kurang tepat bahkan dapat terjadi kesalahan. Hal
yang paling urgen yang harus diperhatikan adalah ketika melihat faktor-faktor
yang melatarbelakangi hadis serta sejalan dengan petunjuk al-Qur’an dan kondisi
masyarakat pada saat itu sehingga hadis
tidak lepas peranannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Takhri>j al-h}adi>s\ sebagai
metode pengujian hadis Nabi sangat membantu untuk memahami konsep al’at}iyah,
karena pemahaman terhadap teks hadis Nabi tidak dapat dipisahkan dari fungsi Nabi
sebagai Rasulullah.[2]
Hal ini perlu untuk dilakukan mengingat hadis Nabi sebagai rah}matan li
al-‘a>lami>n. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya kajian
mengenai hal ini dapat menambah khazanah keilmuan terkait masalah pembagian harta
agar aplikasinya dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Berangkat dari keadilan secara umum, salah satu
fenomena saat ini adalah pembagian harta warisan. Dalam kenyataannya, tidak satupun
orang tua yang tidak ingin menurunkan harta miliknya kepada anak-anaknya sebagai
penerus keluarga. Bahkan karena rasa sayang yang besar, setiap anak mendapat
pembagian harta yang sama jumlahnya yang terkadang jumlah pemberiannya tidak sesuai
dengan aturan agama Islam. Padahal menurut hukum Islam, pembagian harta warisan
telah diatur bahwa setiap anak laki-laki akan mendapatkan dua bagian dari apa
yang akan didapatkan oleh anak perempuan.[3]
Pembagian harta warisan untuk anak dilakukan dengan rasa
keadilan dan sesuai dengan aturan dalam hukum Islam. Akan tetapi jika setelah
pembagian harta warisan, orang tua masih ingin menambahkan jumlah pemberiannya
kepada anak, maka hal itu terkadang diperbolehkan dengan catatan penambahan itu
bukan bagian dari warisan melainkan merupakan pemberian (al-‘at}iyah).[4]
Namun pembagian secara warisan, ditentang sebagian orang, khususnya perempuan
yang merasa bahwa hal itu tidak adil
karena memberikan harta kepada laki-laki dua kalipat dari bagian perempuan,
padahal perempuan terkadang lebih berbakti dan lebih butuh dibanding anak
laki-laki.
Akhirnya, sebagian orang menyiratkan bahwa makna adil
bukanlah harus memberi dalam jumlah yang sama, namun tentunya berdasarkan
kebutuhan dan tanggung jawab. Walaupun demikian, pada dasarnya anak laki-laki
dan anak perempuan sama kedudukannya dalam keluarga.
Para ulama sepakat atas disyariatkannya berlaku adil
terhadap anak-anak dalam pemberian dengan tidak mengistimewakan yang satu atas
yang lain. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum mengistimewakan antara
satu dengan lainnya. Masing-masing pendapat ini didukung oleh sejumlah dalil
dan argumen.[5]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat
dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana status hadis tentang adil terhadap anak dalam pemberian?
2.
Bagaimana memahami hadis tentang adil terhadap anak dalam pemberian?
3.
Pesan dan kesan apa saja yang tersurat dan tersirat dalam hadis tentang
adil terhadap anak dalam pemberian?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadis Tentang al-‘Adl fi al-‘At}iyah
حدثنا حامد بن عمر حدثنا أبو عوانة عن حصين عن عامر
قال سمعت النعمان بن بشير رضي الله عنهما وهو على المنبر يقول: أعطاني أبي عطية فقالت
عمرة بنت رواحة لا أرضى حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتى رسول الله صلى
الله عليه وسلم فقال إني أعطيت ابني من عمرة بنت رواحة عطية فأمرتني أن أشهدك يا رسول
الله قال (أعطيت سائر ولدك مثل هذا). قال لا قال (فاتقوا الله واعدلوا بين أولادكم).
قال فرجع فرد عطيته.[6]
B.
Artinya
Diceritakan kepada kami H{a>mid ibn ‘Umar,
diceritakan kepada kami Abu> ‘Awa>nah dari H{us}ain dari ‘A<mir
berkata, saya mendengar al-Nu’ma>n ibn Basyi>r ra. sedang dia di atas
mimbar berkata “Ayahku memberikan sesuatu kepadaku”, lalu ‘Amrah binti
Rawa>h{ah berkata “Saya tidak rela hingga engkau mempersaksikan hal tersebut
kepada Rasulullah saw.”, lalu dia mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata
“Saya telah memberikan sesuatu kepada putraku yang dari ‘Amrah binti
Rawa>h{ah, lalu ia menyuruhku mempersaksikan kepadamu wahai Rasulullah saw.
lalu Rasulullah saw. berkata "Apakah engkau telah memberikan hal yang sama
kepada anak-anakmu yang lain?”, lalu Basyi>r menjawab “Tidak” lalu
Rasulullah saw. bersabda “Takutlah kalian kepada Allah dan berlaku adillah
terhadap anak-anakmu”. Lalu Basyi>r pulang kemudian mengambil kembali
pemberiannya.”
C.
Takhri>j al-Hadi>s
Setelah melakukan pencarian terhadap kitab al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s, dengan menggunakan salah satu kata
hadis tersebut yaitu اعدلوا maka ditemukanlah hadis tersebut terdapat
dalam beberapa kitab hadis (al-kutub al-tis’ah) dengam teks sebagai
berikut:
اعدلوا بين أولادكم اعدلوا بين أبنائكم:
د:
بيوع 83، خ: هبة 12، 13، م: هبات 13، ن: نحل 1، حم: 4،
275، 278، 375.[7]
Berdasarkan data yang terdapat dalam
kitab al-mu’jam al-Mufahras li
Alfa>z} al-H{adi>s dapat di
ketahui bahwa hadis yang menjelaskan tentang keadilan orang tua terhadap pemberian
anaknya terdapat dalam kitab:
1.
S}ah}i>h{ al-Bukha>ri, kitab al-hibah
wa fad}liha bab 12 (al-hibah li al-walad…. ) dan 13 (al-isyha>d
fi> al-hibah), sebagaimana teks yang tertera di atas.
2.
S}ah}i>h} Muslim, kitab al-hiba>t
bab 13 (kara>hah tafd}i>l ba’d} al-aula>d fi> al-hibah),
dengan menggunakan kalimat:
حدثنا أبو بكر
بن أبي شيبة حدثنا عباد بن العوام عن حصين عن الشعبي قال سمعت النعمان بن بشير ح
وحدثنا يحيى بن يحيى ( واللفظ له ) أخبرنا أبو الأحوص عن حصين عن الشعبي عن
النعمان بن بشير قال: تصدق علي أبي ببعض ماله فقالت أمي عمرة بنت رواحة لا أرضى
حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فانطلق أبي إلى النبي صلى الله عليه و سلم
ليشهده على صدقتي فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم (أفعلت بولدك هذا كلهم ؟)
قال لا قال (اتقوا الله واعدلوا في أولادكم) فرجع أبي فرد تلك الصدقة.[8]
3.
Sunan Abi> Da>ud, kitab al-buyu’
bab 83 (fi> al-rajul Yufad}d{il Ba’d{a waladih fi> al-Nah}l),
dengan menggunakan kalimat:
حدثنا سليمان
بن حرب ثنا حماد عن حاجب بن المفضل بن المهلب عن أبيه قال سمعت النعمان بن بشير يقول: قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم "اعدلوا بين أولادكم اعدلوا بين أبنائكم".[9]
4.
Sunan al-Nasa>i, kitab al-nah}l
bab 1 (z\ikr ikhtila>f alfa>z} al-na>qili>n….) dengan
menggunakan kalimat:
أخبرنا يعقوب
بن سفيان قال حدثنا سليمان بن حرب قال حدثنا حماد بن زيد عن جابر بن المفضل بن المهلب
عن أبيه قال سمعت عن النعمان بن بشير يخطب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
اعدلوا بين أبنائكم اعدلوا بين أبنائكم.[10]
5.
Musnad Ah}mad, kitab musnad
al-Nu’ma>n ibn Basyi>r, Juz. IV, h. 275, 278 dan 375, dengan
menggunakan kalimat:
حدثنا سريج بن
النعمان قال: حدثنا حماد يعني ابن زيد عن حاجب بن المفضل يعني ابن المهلب بن أبي
صفرة عن أبيه عن النعمان بن بشير، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "اعدلوا
بين أبنائكم".[11]
حدثنا سليمان
بن حرب حدثنا حماد بن زيد عن حاجب بن المفضل بن المهلب عن أبيه قال: سمعت النعمان
بن بشير يخطب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "اعدلوا بين أبنائكم،
اعدلوا بين أبنائكم."[12]
حدثنا عبد
الله حدثنا عبيد الله بن عمر القواريري حدثنا حماد يعني ابن زيد حدثنا حاجب بن
المفضل يعني ابن المهلب عن أبيه عن النعمان بن بشير أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قال "قاربوا بين أبنائكم يعني سووا بينهم".[13]
حدثنا عبد
الله حدثنا إبراهيم بن الحسن الباهلي وعبيد الله القواريري ومحمد بن أبي بكر
المقدمي قالوا: حدثنا حماد بن زيد عن حاجب بن المفضل بن المهلب عن أبيه أنه سمع النعمان
بن بشير يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "اعدلوا بين أبنائكم، اعدلوا
بين أبنائكم، اعدلوا بين أبنائكم".[14]
حدثنا عبد
الله حدثنا عبيد الله بن عمر هو القواريري حدثنا حماد يعني ابن زيد حدثنا حاجب بن
المفضل يعني ابن المهلب عن أبيه عن النعمان بن بشير أن النبي صلى الله عليه وسلم
قال "قاربوا بين أبنائكم يعني سووا بينهم".[15]
Namun dalam makalah ini, penulis memfokuskan
pembahasan pada hadis yang terdapat dalam S}ah}i>h{ al-Bukha>ri> dari
riwayat ‘A<mir dari al-Nu’ma>n ibn Basyi>r sesuai dengan tugas
yang dibebankan, meskipun dalam pembahasan akan melibatkan hadis-hadis tersebut
di atas.
Sedangkan perawi al-a’la>
dalam hadis riwayat al-Bukha>ri> adalah al-Nu’ma>n ibn Basyi>r
bernama lengkap al-Nu’ma>n ibn Basyi>r ibn Sa’ad ibn S|a’labah ibn
Jala>s ibn Zaid ibn Ma>lik ibn S|a’labah ibn Ka’ab ibn al-Khazraj
al-Ans}a>ri> Abu> Abdillah al-Madani>. Dia lahir 14 bulan pascahijrah
Rasulullah saw. dan merupakan sahabat ans}ar pertama yang lahir setelah
kedatangan Rasulullah saw. di Madinah. Dia berusia 8 tahun 7 bulan pada saat
Rasulullah saw. wafat. pada tahun 63 H atau 65 H. dia menghadap ke hadirat Yang
Maha Kuasa.[16]
Di antara gurunya adalah Rasulullah
saw., pamannya Abdullah ibn Rawa>h{ah, ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b dan
‘A<isyah dan lain-lain, sedangkan di antara muridnya adalah Putranya Muh{ammad,
Samma>k ibn H{arb, ‘Urwah ibn al-Zubair dan ‘A<mir al-Syi’bi>
dan lain-lain.[17]
D.
Hasil Takhri<j
Berdasarkan pengkajian
terhadap hadis tersebut dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s\
dan langkah-langkah takhri>j dapat diungkapkan bahwa hadis di
atas, statusnya s}ah}i>h{ karena beberapa faktor, antara lain:
1. Semua perawi hadis tersebut dinilai s\iqah atau s}adu>q
oleh para kritikus hadis.[18]
2. Hadis tersebut diperkuat muta>bi’[19]
yaitu ‘A>mir al-Syi’bi> dan al-Mufad}d}al ibn al-Muhallab.
3. Penilaian Syekh al-Alba>ni bahwa hadis tersebut dianggap s}ah}i>h}.[20]
4. Penilaian Abu> ‘I<sa> al-Turmuz\i> bahwa hadis
tersebut h}asan s{ah}i>h{.[21]
5. Sedangkan perbedaan pada sebagian matan hadis itu disebabkan
karena al-Nu’ma>n ibn Basyi>r meriwayatkan dalam bentuk riwayat bi
al-ma’na.[22]
E.
Asba>b Wuru>d al-H{adi>s\
Sabab wuru>d al-h{adi>s\ ini adalah peristiwa yang
menimpa al-Nu’ma>n ibn Basyi>r yaitu ketika ayahnya memberikan sesuatu
kepadanya, kemudian ‘Amrah binti Rawa>h}ah, istri Basyi>r komplain dengan
mengatakan “Aku tidak rela terhadap pemberian itu hingga disaksikan oleh
Rasulullah saw.”, kemudian ayahnya datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata
“Aku telah memberi harta kepada anakku ini” Tanya Rasulullah saw. “Apakah
seluruh anakmu telah kau telah beri (hal yang sama)?” lalu ayah al-Nu’ma>n
menjawab “Tidak” lalu Rasulullah saw. bersabda “Kembalilah kamu, takutlah
kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu”.
Lalu al-Nu’man
berkata “Akhirnya ayahku pulang dan dia membatalkan pemberiannya itu”.[23]
Dalam riwayat yang
lain, al-Nu’ma>n berkata “Ibuku ‘Amrah binti Rawa>h}ah meminta kepada
ayahku pemberian harta untukku yaitu seorang budak (al-gula>m),
kemudian permintaan itu dipenuhi setelah hampir dua tahun, kemudian ibuku tidak
rela kalau tidak disaksikan oleh Rasulullah saw., Akhirnya ayahku membawaku
kepada Rasulullah saw. lalu menjelaskan pemberian itu, kemudian dijawab oleh
Rasulullah seperti jawaban yang telah dijelaskan sebelumnya.[24]
Dalam kisah yang
lain, yaitu pada saat al-Nu’ma>n khutbah di kota Kufah, dia berkata
sesungguhnya ayahku datang kepada Nabi saw. dan berkata bahwa ‘Amrah binti
Rawa>h}ah melahirkan seorang putra yang kuberi nama al-Nu’ma>n dan ‘Amrah
tidak mau mengasuhnya hingga anak tersebut diberi kebun yang paling baik dari
kebunku, lalu Rasulullah saw. bertanya seperti pertanyaan di atas.[25]
Perbedaan riwayat
tentang asba>b al-wuru>d hadis ini, dapat dikompromikan bahwa
kasus pemberian Basyi>r terhadap anaknya al-Nu’ma>n terjadi dua kali,
yaitu pemberian kebun pada saat lahir dan pemberian budak pada saat ia
anak-anak.
Kebun yang telah
diberikan kepada al-Nu’ma>n diambil kembali oleh ayahnya karena dia tidak
memberikan kebun kepada anaknya yang lain. Oleh karena itu, ‘Amrah (ibu
al-Nu’ma>n) meminta kembali pemberian sebagai ganti kebun tersebut, kemudian
Basyi>r memenuhi permintaan istrinya lalu dia memberikan budak kepada
anaknya, akan tetapi ‘Amrah meminta agar pemberian itu disaksikan oleh
Rasulullah saw, agar pemberian itu tidak diambil kembali oleh ayahnya.[26]
F.
Makna Mufrada>t
أشهد : Kata ini merupakan fi’l al-mud}a>ri’ dari أشهد yang akar
katanya terdiri dari huruf ش- ه-د yang menunjukkan makna hadir, pengetahuan dan informasi.[27]
Kemudian diikutkan wazan أشهد (menambah huruf hamzah diawalnya) sehingga maknanya
menjadi mempersaksikan atau membuat saksi.[28]
عطية : Kata عطية merupakan
bahasa Arab yang berakar dari kata ع- ط- و memiliki makna mengambil
atau memperoleh sesuatu dengan tangan.[29] Sehingga
yang dimaksud dengan عطية adalah pemberian yang diberikan kepada orang lain, baik
karena memulyakan atau tidak, baik ikhlas atau tidak, baik karena ingin
mendapatkan pahala atau tidak.[30]
سائر : Kata ini adalah kata yang biasa digunakan pada makna
sesuatu yang lain yang masih tersisa,
hampir sama maknanya dengan باقى (sisa). Namun makna aslinya
adalah berlalu atau mengalir, sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan سائر dalam hadis ini adalah anak yang terlewati yang tidak
mendapatkan pemberian seperti apa yang didapatkan saudaranya.
فاتقوا : Kata ini berasal dari وقى
yang berarti menghindarkan sesuatu dari
sesuatu yang lain dengan yang lain.[31]
Sehingga al-wiqa>yah adalah menjaga sesuatu dari hal-hal yang dapat
menyakiti atau membahayakannya.[32]
Jadi, kata al-taqwa> secara etimologi adalah membuat al-wiqa>yah
(penjagaan atau perlindungan), sedangkan secara termonologi dapat diartikan
sebagai menjaga diri dari kemurkaan Allah dengan taat kepada Allah swt. Oleh
karena itu al-taqwa> mencakup ketaatan yang berarti keikhlasan dan
mencakup kemaksiatan yang berarti peninggalan atau pewaspadaan.[33]
واعدلوا : Kata ini pada dasarnya memiliki dua makna
yang bertentangan, yaitu lurus dan bengkok.[34]
Jadi al-‘adl adalah ungkapan tentang sesuatu yang tengah-tengah antara
semborono dan berlebih-lebihan. Sedangkan secara termonologi, para ulama
berbeda pendapat. Ulama Nahwu mendefinisikan adil sebagai keluarnya isim dari
sigat aslinya kepada sigat yang lain. Ulama Fiqhi mendefinisikan bahwa orang
yang menjauhi dosa-dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa kecil, sering
benar dan menjauhi pekerjaan-pekerjaan yang merendahkan diri seperti makan di
jalan.[35]
Sedangkan lama Hadis mendefenisikannya sebagai sebuah sifat yang tertanam dalam
hati yang dapat mendorong seseorang untuk senantiasa bertaqwa dan menjaga muru>ah
(harga diri).[36] Namun
dalam hadis ini, yang dimaksud al-‘adl adalah salah satu makna
etimologinya yaitu lurus atau tengah-tengah.
أولادكم : Kata ini merupakan bentuk plural (al-jam’)
dari ولد yang berarti setiap anak yang dilahirkan, baik
laki-laki maupun perempuan.[37]
Kata al-walad meskipun memiliki persamaan dengan al-ibn, al-sibt}
dan al-‘aqab juga memiliki perbedaan.[38]
G.
Pernyataan Penting
فأمرتني أن أشهدك Kalimat
ini dianggap penting karena dari kalimat ini dapat dipahami dua aspek, yaitu:
1. Klarifikasi hukum terhadap orang yang berkompoten atau yang
berwenang untuk mengetahui status hukum sebuah masalah, apa benar tindakan
tersebut atau salah sehingga tidak berlarut dalam kesalahan jika hal tersebut
salah dan pengetahuan yang bertambah jika hal itu benar. Oleh karena itu, ‘Amrah binti Rawa>h{ah meminta kepada suaminya
yaitu Basyi>r supaya menanyakan masalah tersebut kepada Rasulullah saw.
2. Membuat bukti jika terjadi
transaksi apa pun sehingga ada bukti materil yang dapat dijadikan acuan atau
bukti kepemilikan.
3. Meminta bukti jika merasa bahwa terjadi penyimpangan atau
kesalahan dalam sebuah urusan untuk memastikan akan status tindakan tersebut,
apakah memiliki dasar atau tidak.
أعطيت سائر ولدك مثل هذا (Apakah engkau telah memberikan pada anak-anakmu yang
lain seperti ini?), kalimat ini merupakan pertanyaan Rasulullah
saw. yang dimaksudkan untuk memperjelas masalah yang ditanyakan atau diminta
oleh Basyi>r, sehingga nantinya Rasulullah saw. tidak salah dalam memberi
jawaban, apakah boleh atau tidak, sebab tidak semua pemberian dilarang atau
diperbolehkan oleh syariat.
واعدلوا بين أولادكم Kalimat
ini merupakan hukum yang diberikan oleh Rasulullah saw. yang menandakan bahwa
perintah Rasulullah saw. kepada Basyir agar berbuat adil kepada anak-anaknya. Penggunaan
d}ami>r al-jam’i (plural) dalam kalimat ini padahal yang menjadi objeknya
satu yaitu Basyi>r dapat memunculkan pemahaman bahwa Rasulullah saw.
bermaksud memberlakukan hukum tersebut kepada semua umatnya atau bisa jadi
Rasulullah saw. menggunakan bentuk plural sebagai penghormatan kepada
Basyi>r.
فرجع فرد عطيته Kalimat
ini dianggap penting sebagai bukti keutamaan sahabat di mana mereka langsung
mengamalkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. Disamping itu, kalimat ini
juga menjelaskan bagaimana aplikasi[39] dari perintah tersebut,
di mana sahabat Basyi>r mengambil kembali pemberiannya, padahal bisa juga
dengan cara memberikan hal yang sama kepada saudara-saudaranya, sebab Rasulullah
saw. hanya menyuruhnya untuk berbuat adil kepada anak-anaknya.
H.
Pemahaman Hadis (Teks dan Konteks, Dalil Aqli dan Naqli, Pendapat Ulama)
1.
Pemahaman Teks dan Konteks
Teks atau matan hadis tersebut secara
umum menyampaikan tentang kewajiban berbuat adil terhadap anak dalam masalah
pemberian, sehingga jika terjadi penyimpangan harus diluruskan oleh pihak yang
berwenang.
Di samping itu, teks hadis tersebut juga
dapat menimbulkan interpretasi yang beragam dikarenakan matan hadisnya memang
beraneka ragam. Sebagian hadis ada yang menceritakan secara singkat dan
sebagian yang lain ada yang panjang lebar menceritakan kisah al-Nu’ma>n
tersebut. Oleh karena itu, secara teks hadis tersebut dapat menimbulkan
pemahaman yang beragam.
Namun secara konteks, hadis tersebut
berlaku secara umum, bukan pada al-Nu’ma>n dan ayahnya yaitu Basyi>r saja
karena indikator bahwa Rasulullah saw. memberlakukan hadis tersebut secara umum
yaitu d{ami>r plural. Di samping itu, kaedah العبرة
بعموم الألفاظ لا بخصوص الأسباب (penilaian itu pada keumuman
lafaz, bukan pada kekhususan sebab)[40]
lebih tepat diamalkan dalam hadis di atas, sehingga meskipun sabab wuru>d
al-hadis tersebut ada dan khusus berlaku untuk al-Nu’ma>n dan
keluarganya, akan tetapi matan hadis tersebut tetap berlaku umum, yakni
mencakup semua umat Islam.
2.
Dalil ‘Aqli dan Naqli
Secara aqliyah, pemberian
terhadap anak seharusnya sama dengan beberapa alasan:
a.
Pembedaan terhadap anak akan menimbulkan permusuhan dan kecemburuan di
antara anak-anak.
b.
Ketidakpercayaan anak terhadap orang tua, bahkan dapat menimbulkan
pembangkangan anak terhadap orang tua.
c.
Kesamaan hak anak terhadap warisan orang tua.
d.
Ketidaktahuan orang tua tentang siapa di antara anak mereka yang paling
berjasa dan paling mengabdi dalam hidupnya.
Nam un secara aqliyah pula, perbedaan
pemberian orang tua terhadap anak dapat terjadi dengan alasan:
a.
Harta tersebut adalah milik mutlak orang tua sehingga mereka berhak
memberikan hartanya kepada siapa pun dalam jumlah yang diinginkannya.
b.
Kebutuhan anak tidak sama satu sama lain sehingga pemberian kepada anak
juga tidak sama sesuai dengan kebutuhannya.
Sedangkan secara naqliyah,
penyamaan pemberian orang tua terhadap anak juga dapat diklasifikasi dalam dua
bagian, yaitu:
a.
Dalil naqli yang mendukung penyamaan pemberian terhadap anak
yaitu keumuman ayat al-Qur’an yang menyuruh untuk berbuat adil, seperti dalam
surah al-Nisa>’: 135.
يا
أيها الذين آمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين
والأقربين.
b.
Hadis riwayat riwayat Ibnu H{ibba>n:
إعدلوا بين أولادكم في النحل كما تحبون ان يعدلوا
بينكم في البر واللطف.[41]
(Berlaku
adillah terhadap anak-anak kalian dalam pemberian sebagaimana kalian senang
mereka berbuat adil terhadap kalian dalam kebaikan dan kelembutan).
c.
Hadis riwayat al-Baihaqi> dari ‘Abdullah ibn ‘Abba>s:
سووا بين أولادكم في العطية فلو كنت مفضلا أحدا
لفضلت النساء.[42]
(Berbuat
samalah terhadap anak-anak kalian dalam pemberian, andaikan saya
mengutamakan/mengunggulkan seseorang maka aku menggunggulkan perempuan).
Sedangkan dalil naqliyah yang
menunjukkan pemberian tidak harus sama adalah sebagai berikut:
a.
Hadis riwayat Malik dari ‘A<isyah tentang pemberian Abu> Bakar
terhadap putrinya ‘A<isyah dengan mengatakan:
والله
يا بنية ما من الناس أحد أحب إلي غنى بعدي منك ولا أعز علي فقرا بعدي منك وإني كنت
نحلتك جاد عشرين وسقا.[43]
b.
Hadis al-Bukha>ri> dari Sa’ad ibn Abi> Waqqa>s} tentang kebolehan
berwasiat memberikan 1/3 harta benda kepada orang lain, apatahlagi kepada anak
sendiri:
يا
رسول الله أوصي بمالي كله؟ قال (لا). قلت فالشطر؟ قال (لا). قلت الثلث؟ قال (فالثلث
والثلث كثير إنك إن تدع ورثتك أغنياء خير من أن تدعهم عالة يتكففون الناس في
أيديهم...).[44]
c.
Penulis tidak menemukan dalil naqli qat}’i yang menunjukkan
keharaman mengutamakan sebagian anak.
3.
Pendapat Ulama
Al-Muhaddis\u>n (ulama hadis) dalam memahami hadis tersebut beragam
dalam menginterpretasikannya sebagai berikut:
1. Sebagian ulama, di antaranya
al-Bukha>ri>, T{aw>us, al-S|auri>, Ah{mad ibn H{ambal dan
Ish{a>q memberlakukan hadis tersebut secara tekstual yakni wajib menyamakan
pemberian terhadap anak, baik laki-laki maupun perempuan. Alasan mereka adalah
teks hadis tersebut dan sebuah kaidah ما يؤدى إلى
التحريم حرام (sesuatu yang menimbulkan
keharaman menjadi haram) di mana ketidaksamaan pemberian terhadap anak dapat memutus
silaturrahmi, persuhan dan pembangkangan terhadap orang tua.[45]
Akan tetapi ulama beragam tentang kualitas dan kuantitas penyamaan pemberian:
a.
Muh{ammad ibn al-H{asan, Ah{mad, Ish{a>q dan ulama yang lain menilai
penyamaan tersebut harus mengikuti pembagian warisan, karena itulah hak anak
pascawafatnya orang tua.
b.
Ulama yang lain mengatakan bahwa penyamaan pemberian tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan dengan melihat teks hadis tersebut, di samping itu
ada hadis dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas: سووا
بين أولادكم في العطية فلو كنت مفضلا أحدا لفضلت النساء.[46] (Berlaku samalah kepada
anak-anak kalian dalam pemberian, Andaikan aku mengunggulkan seseorang maka aku
akan unggulkan perempuan)
2. Mayoritas ulama hadis menilai
bahwa penyamaan pemberian itu bersifat sunat, bukan wajib sehingga jika
seseorang membedakan pemberian terhadap anaknya maka hukumnya makruh, sehingga
perintah dalam hadis tersebut bersifat sunnah dan larangan membedakan pemberian
terhadap anak bersifat makruh.[47]
Sedangkan ulama fiqhi dalam menanggapi
hadis tersebut di atas, beragam dalam memberikan pendapat, ada yang menganggap
bahwa menyamakan pemberian terhadap anak sebagai anjuran saja bukan kewajiban
dan ada yang menilainya sebagai kewajiban,[48]
sehingga haram membeda-bedakan anak dalam pemberian dan kebaikan karena hal itu
dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka atau kepada orang
tua. Namun mayoritas ulama fiqhi sepakat sunnah menyamakan pemberian terhadap
anak dan makruh membeda-bedakannya.[49]
Meskipun demikian, ulama fiqhi tetap berbeda pendapat tentang kualitas dan
kuantitas pemberian terhadap anak sebagai berikut:
1.
Abu Yusuf dari mazhab al-Hanafiyah, al-Ma>likiyah dan
al-Sya>fi’iyah (jumhu>r al-‘ulama>’) berpendapat bahwa
disunnatkan menyamakan pemberian terhadap anak, baik laki-laki maupun perempuan
berdasarkan hadis Rasulullah saw. di atas tanpa menyebutkan perbedaan laki-laki
dan perempuan dengan menganggap perintah dalam hadis tersebut bersifat anjuran,
karena seseorang bebas menafkahkan hartanya, baik kepada keluarga atau orang
lain.[50]
2.
Al-Hana>bilah dan Muhammad dari mazhab al-Hanafiyah berpendapat
bahwa pemberian terhadap anak-anak disesuaikan dengan aturan warisan, sehingga
laki-laki akan mendapatkan dua kali lipat dari perempuan.[51]
4.
Pendapat Penulis
Dengan melihat penjelasan di atas
beserta argumen-argumennya, baik dari segi pemahaman teks dan konteks, dalil ‘aqliah
dan naqliah dan pendapat para ulama, penulis berkesimpulan bahwa penyamaan
pemberian terhadap anak merupakan sunnah muakkad (sangat dianjurkan) karena
beberapa alasan:
a.
Untuk menghindari kecemburuan dan permusuhan dalam internal anak-anak,
sekaligus untuk menghindari pembangkangan anak terhadap orang tua karena merasa
terzalimi atau dibedakan.
b.
Keluar dari perbedaan di kalangan ulama antara ulama yang mewajibkan
menyamakan pemberian dengan ulama yang membolehkan pemberian yang berbeda
dengan berdasar pada kaedah mazhab sya>fi’iyah:
الخروج من الخلاف مستحب.[52]
Di samping itu, penyamaan pemberian
juga bisa menjadi t}ari>q al-khala>s} (solusi penyelesaian) dalam
masalah warisan di mana banyak kalangan menentang terhadap pembagian warisan
yang membedakan antara laki-laki dan perempuan مثل حظ
الأنثيين dengan catatan pemberian
itu diberikan sebelum meninggal. Sebab dalam al-‘at}iyyah atau al-hibah
(pemberian) pada saat masih hidup dapat dibagi adil kepada anak-anak tanpa
membedakan laki-laki dan perempuan.
Meskipun demikian, penyamaan pemberian
tidak harus sama dalam kualitas dan kuantitasnya, akan tetapi pemberian itu memperhatikan
kebutuhan dan lapangan kerja anak-anak, semisal anak yang sudah mapan
penghasilannya tidak mesti sama bagiannya dengan anak yang belum memiliki
pekerjaan yang mapan.
Di samping memperhatikan kebutuhan dan
lapangan kerja, pemberian materi terhadap anak-anak tetap mempertimbangkan
jenis kelamin, yakni perempuan bagiannya tidak lebih banyak dari pada bagian
laki-laki sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
5.
Pesan dan Petunjuk Hadis
Pesan dan petunjuk hadis tersebut di atas, baik yang
tersirat maupun yang tersurat, secara global dapat dibuat poin-poin sebagai
berikut:
1. Hadis di atas sebagai bukti
perhatian Islam terhadap gender atau keadilan, khususnya dalam bidang harta
benda.
2. Al-Isyha>d (membuat persaksian) bukan menjadi syarat sah pemberian
dan sedekah, akan tetapi dianjurkan sebagai bukti pemberian.
3. Pemerintah berhak meluruskan penyimpangan
yang terjadi dalam masyarakat jika mengetahui hal tersebut seperti
ketidakadilan dalam pemberian orang tua terhadap anaknya.[53]
4. Sebelum menjawab pertanyaan atau
memenuhi permintaan agar memperjelas dahulu masalahnya.
5. Keutamaan para sahabat seperti
Basyi>r yang langsung mengaplikasikan sabda Rasulullah saw.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat dibuat beberapa poin
sebagai hasil kesimpulan pembahasan sebagai berikut:
1.
Takhri>j al-H{adi>s\
tentang adil terhadap anak dalam pemberian dengan menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s ditemukan
bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} Muslim, Sunan Abi> Da>ud, Sunan
al-Nasa>i dan Musnad Ah}mad. Sedangkan
hadis tersebut statusnya adalah s}ah}i>h} dengan beberapa alasan,
yaitu: semua perawinya s\iqah, diperkuat al-muta>bi’, penilaian
s}ah}i>h} oleh al-Alba>ni> dan al-Turmuz\i> meskipun
diriwayatkan secara makna.
2.
Pemahaman hadis dapat dilakukan dengan pendekatan teks dan konteks,
mempertimbangkan dalil ‘aqli dan naqli dan memperhatikan pendapat
ulama, sehingga muncullah sebuah kesimpulan bahwa penyamaan pemberian terhadap
anak merupakan sunnah muakkad (sangat dianjurkan) karena beberapa
alasan, yaitu: menghindari kecemburuan, permusuhan dan pembangkangan, mengambil
jalan tengah dari pendapat para ulama. Akan tetapi penyamaan pemberian tidak
harus sama dalam kuantitas dan kualitasnya, sekaligus al-‘at}iyah
merupakan salah satu solusi dalam menghadapi penentangan terhadap ketidaksamaan
pembagian warisan.
3.
Pesan dan petunjuk tentang hadis adil terhadap anak dalam pemberian di
antaranya dibutuhkan al-isyha>d dalam transaksi, klarifikasi masalah
sebelum menjawab atau menyelesaikan dan petunjuk-petunjuk yang lain.
B.
Implikasi
Hadis di atas merupakan salah satu bukti totalitas
syariat Islam dalam mengatur kehidupan umat manusia, baik yang terkait dengan duniawi
maupun yang terkait dengan ukhrawi>.
Hadis di atas juga bisa menjadi jawaban atau sanggahan
terhadap kecaman tehadap diskriminasi di mana sebagian pelopor gender
menganggap bahwa Islam, khususnya sumber syariat Islam cenderung mengutamakan
laki-laki dibanding perempuan, namun dengan munculnya hadis di atas,
membuktikan bahwa Islam tidak melakukan diskriminasi akan tetapi bisa jadi umat
Islamlah yang belum mengetahui atau kurang memahami dalil-dalil al-Qur’an dan
Hadis.
Hadis di atas juga bisa menjadi solusi jika orang tua
khawatir bila mana hartanya dibagi secara warisan, sebab dalil tentang warisan
dalam al-Qur’an sudah sangat jelas, sehingga sulit untuk dirubah atau
ditafsirkan. Oleh karena itu, orang tua yang melihat bahwa semua anak sama
kebutuhannya terhadap harta bendanya atau jika orang tua khawatir akan muncul
permusuhan, kecemburuan dan pembangkangan anak terhadap orang tua, maka orang
tua dapat menempuh solusi dengan mengamalkan hadis tersebut.
Akhirnya, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik dalam penulisan, metodologi maupun pembahasan sehingga dibutuhkan saran,
kritikan dan pembenaran pelurusan atau penambahan terhadap makalah ini sehingga
bisa menjadi lebih baik dan lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’a>n al-Kari>m
Abu> ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal, Musnad
Ahmad ibn Hambal, Juz. IV. Cet. I; Bairu>t: ‘A<lam al-Kutub, 1419
H./1998 M.
Ahmad,
Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Renaisan. Jakarta. 2005.
AJ. Weinsink, Alihbahasa Muhamamd Fu’ad Abd
al-Ba>qi<,al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadi>s\
al-Nabawi>, Juz. IV. London: Maktabah Brill, 1936 H.
Al-‘Askari>, Abu> Hila>l. Mu’jam
al-Furu>q al-Lugawiyah. Cet. I; t.t., Muassasah al-Nasyr
al-Isla>mi>, 2000 M.
Al-‘Askari>, Abu> Hila>l. Mu’jam
al-Furu>q al-Lugawiyah. Cet. I; t.t.: Muassasah al-Nasyr
al-Isla>mi>, 2000 M.
Al-‘Asqala>ni, Ah{mad ibn ‘Ali ibn H{ajar. Tahz\i>b
al-Tahz\i>b. Juz. X. Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984
M.
Al-‘Asqala>ni>, Abu> al-Fad}l Ah{mad ibn ‘Ali
ibn H{ajar. Fath} al-Ba>ri>. Bairu>t: Da>r al-Ma’rifah, 1379
H.
Al-Afri>qi>, Muhammad ibn Mukrim ibn
Manz\u>r. Lisa>n al-‘Arab. Bairu>t: Da>r S}a>dir, t.th.
Al-Alba>ni>, Muh{}ammad Na>s{ir al-Di>n. al-Silsilah
al-D{a’i>fah. al-Riya>d{: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
Al-Alba>ni>, Muhammad Na>s}ir al-Di>n. al-Silsilah
al-S}ah}i>h}ah. al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
Al-Andlu>si>, Abu> al-Wali>d Sulaima>n
ibn Khalaf al-Ba>ji>. al-Muntaqa> Syarh{ al-Muwat}t}a’. CD-ROM
al-Maktabah al-Sya>milah.
Al-As}bah{i>, Abu> ‘Abdillah Ma>lik ibn Anas.
Muwat}t}a’ Ma>lik. Mesir: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi,
t.th.
Al-Asqala>ni, Abu> al-Fad}l Ahmad ibn Hajar. Tahzi>b
al-Tahzi>b. Cet. I; Da>r al-Fikr: Beirut, 1404 H/1984 M.
Al-Azdi>, Abu> Da>ud Sulaima>n ibn
al-Asy’as\ al-Sajasta>ni. Sunan Abi> Da>ud, Juz. II. Bairut:
Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Baihaqi>, Abu> Bakr Ah{mad ibn al-H{usain ibn
‘Ali ibn Mu>sa>. Sunan al-Baihaqi> al-Kubra>. Makkah
al-Mukarramah: Maktabah Da>r al-Ba>z, 1414 H./1994 M.
Al-Bukha>ri>, Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn
Isma>’i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz. II. Cet. III;
Bairu>t: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.
Al-Dahlawi>, ‘Abd al-Haq ibn Saif al-Di>n ibn
Sa’adullah al-Bukha>ri. Muqaddimah fi> Us}u>l al-H{adi>s\. Cet.
II; Bairu>t: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miah, 1406 H./1986 M.
Al-Dimasyqi>, Ibnu Hamzah al-Husaini>
al-Hanafi>. al-Baya>n wa al-Ta’ri>f fi> Asba>b Wuru>d
al-Hadi>s\ al-Syari>f, terj. HM. Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, Asbabul
Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya hadits-hadits Rasul. Cet. IX;
Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Al-Jurja>ni>, ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali. al-Ta’ri>fa>t.
Cet. I; Bairu>t: Da>r al-Kita.b al-‘Arabi>, 1405 H.
Al-Khat}i>b, Muhammad ‘Ajja>j. Us}u>l
al-Hadi>s\ ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}uh. Bairu>t: Da>r al-Fikr,
1409 H./1989 M.
Al-Mana>wi>, Muhammad ‘Abd al-Rau>f. al-Tauqi>f
‘ala> Muhimma>t al-Ta’a>ri>f. Cet. I; Bairu>t: Da>r
al-Fikr, 1410 H.
Al-Mizzi, Abu> al-H{ajja>j Yu>suf ibn
al-Zaki>. Tahz\i>b al-Kama>l. Juz. XXIX. Cet. I; Beiru>t:
Muassasah al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.
Al-Mizzi<, Abu> al-Hajja>j Yu>suf ibn
al-Zaki<. Tahz\i<b al-Kama>l. Cet. I; Bairut: Muassasah
al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.
Al-Muba>rakfu>ri>, Abu> al-‘Ala>
Muh{ammad ‘Abd al-Rah{ma>n ibn ‘Abd al-Rah{i>m. Tuh{fah
al-Ah{waz\i>. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, t.th.
Al-Naisabu>ri>, Abu> al-Husain Muslim ibn
al-Hajja>j. S}ah}i>h} Muslim, Juz. III. Bairu>t: Da>r
Ihya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
Al-Nasa>i, Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ahmad ibn
Syu’aib. Sunan al-Nasa>i, Juz. VI. Cet. V; Bairut: Da>r
al-Ma’rifah, 1420 H.
Al-Nawawi>, Abu> Zakariya> Yah{ya> ibn
Syaraf. Raud{ah al-T{a>libi>n. Bairu>t: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiah, 1421 H./2000 M.
Al-Sa>biq, Al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Bairu>t:
Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, t.th.
Al-Sakha>wi>, Syams al-Di>n Muh{ammad ibn
‘Abd al-Rah{ma>n. Fath} al-Magi>s\. Cet. I; Bairu>t: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiah, 1403 H.
Al-Tami>mi>, Abu> H{a>tim Muh{ammad ibn H{ibba>n
ibn Ah{mad. S{ah{i>h{ Ibn H{ibba>n. Cet. II; Bairu>t: Muassasah
al-Risa>lah, 1414 H./1993 M.
Al-Turmuz\i>, Abu> ‘I<sa> Muhammad ibn
‘I<sa>. al-Ja>mi’ al-S}ah{i>h} Sunan al-Turmuz\i>. Bairu>t:
Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
Al-Zuhaili>, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi>
wa Adillatuh. Cet. IV; Suriah: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1418
H./1997 M.
Az{ami, Muh{ammad Mus{t}afa>. Studies in Hadith
Methodology and Literature, terj. Meth Kieraha, Memahami Ilmu Hadis,
Telaah Metodologi & Literatur Hadis. Cet. III; Jakarta: Lentera, 2003
M.
Ibnu al-Bat}t}a>l. Syarh Ibn Bat}t}a>l. CD-ROM
al-Maktabah al-Sya>milah.
Mus}t}afa>, Ibra>hi>m., dkk., al-Mu’jam al-Wasit}, CD-ROM
al-Maktabah al-Sya>milah.
Zakariya>, Abu> al-Husain Ah{mad ibn Fa>ris
ibn. Maqa>yi>s al-Lugah. Bairu>t: Ittiha>d al-Kita>b
al-‘Arab, 1423 H./2002 M.
IDLO dan
Serambi Indonesia, Bagaimana Berlaku Adil Terhadap Anak Dalam Pembagian
Harta Warisan, www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp, (15 April 2010)
[1]Lihat:
Muh{ammad Mus{t}afa>. Az{ami, Studies in Hadith Methodology and
Literature, terj. Meth Kieraha, Memahami Ilmu Hadis, Telaah Metodologi
& Literatur Hadis (Cet. III; Jakarta: Lentera, 2003 M.), h. 86-92.
[2]Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi, (Cet. I; Renaisan: Jakarta, 2005 M.), h. 177.
[3]IDLO dan Serambi Indonesia, Bagaimana
Berlaku Adil Terhadap Anak Dalam Pembagian Harta Warisan, www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp,
(15 April 2010)
[5]Ibid.
[6]Abu>
‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>, Juz. II (Cet. III; Beiru>t: Da>r Ibn Kas\i>r,
1407 H./1987 M.), h. 914.
[7]AJ.
Weinsink, Alihbahasa Muhamamd Fu’ad Abd al-Ba>qi<,al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadi>s\ al-Nabawi>, Juz. IV (London: Maktabah Brill, 1936 H. ), h.
153.
[8]Abu>
al-Husain Muslim ibn al-Hajja>j al-Naisabu>ri>, S}ah}i>h}
Muslim, Juz. III (Beiru>t: Da>r Ihya>’ al-Tura>s\
al-‘Arabi>, t.th.), h. 1241.
[9]Abu>
Da>ud Sulaima>n ibn al-Asy’as\ al-Sajasta>ni al-Azdi>, Sunan
Abi> Da>ud, Juz. II (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 315.
[10]Abu>
‘Abd al-Rah}ma>n Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa>i, Sunan al-Nasa>i, Juz.
VI (Cet. V; Beiru>t: Da>r al-Ma’rifah, 1420 H.), h. 573.
[11]Abu>
‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal, Juz.
IV (Cet. I; Beiru>t: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.), h. 275.
[12]Ibid.,
Juz. IV, h. 275 dan 278.
[13]Ibid.,
Juz. IV, h. 278.
[14]Ibid.
Juz. IV, h. 375.
[15]Ibid.
h. 275, 278 dan 375.
[16]Abu>
al-Fad}l Ahmad ibn Hajar al-Asqala>ni, Tahzi>b al-Tahzi>b, Juz
X (Cet. I; Da>r al-Fikr: Beirut, 1404 H/1984 M), h. 399-400.
[17]Abu>
al-Hajja>j Yu>suf ibn al-Zaki< al-Mizzi<, Tahz\i<b
al-Kama>l, Juz. XXIX (Cet.
I; Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.), h. 411.
[18]Lihat:
Ah{mad ibn ‘Ali ibn H{ajar
al-‘Asqala>ni, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, Juz. X (Cet. I;
Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984 M. ), h. 399., Juz. V, h. 57. Dan
Juz. XI h. 103. Abu> al-H{ajja>j Yu>suf ibn al-Zaki> al-Mizzi>, Tahz\i>b
al-Kama>l, Juz. XXIX (Cet. I; Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1400
H./1980 M.), h. 411., Juz.VI h. 5`17. dan Juz. V h. 324.
[19]Al-Muta>bi’ adalah dua sanad hadis yang sama perawinya
pada tingkat sahabat akan tetapi berbeda perawi pada perawi setelahnya. Lihat:
‘Abd al-Haq ibn Saif al-Di>n ibn Sa’adullah al-Bukha>ri al-Dahlawi>, Muqaddimah
fi> Us}u>l al-H{adi>s\ (Cet. II; Beiru>t: Da>r
al-Basya>ir al-Isla>miah, 1406 H./1986 M.), h. 56-57.
[20]Muhammad
Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>, al-Silsilah al-S}ah}i>h}ah, Juz.
X (al-Riya>d}: Maktabah
al-Ma’a>rif, t.th.), h. 183.
[21]Abu>
‘I<sa> Muhammad ibn ‘I<sa> al-Turmuz\i>, al-Ja>mi’
al-S}ah{i>h} Sunan al-Turmuz\i>, Juz. III (Beiru>t: Da>r
Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 649.
[22]Hal itu
dapat dilihat dari beberapa teks yang berbeda satu sama lain, padahal makna dan
esensinya tetap sama.
[23]Ibnu
Hamzah al-Husaini> al-Hanafi> al-DImasyqi>, al-Baya>n wa
al-Ta’ri>f fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>s\ al-Syari>f, terj.
HM. Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, Asbabul Wurud Latar Belakang
Historis Timbulnya hadits-hadits Rasul, Juz. I (Cet. IX; Jakarta: Kalam
Mulia, 2006), h. 32.
[24]Abu>
al-Fad}l Ah{mad ibn ‘Ali ibn H{ajar
al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>, Juz. V (Beiru>t:
Da>r al-Ma’rifah, 1379 H.), h. 212.
[25]Ibid. Juz. V, h. 212.
[26]Ibid.
Juz. V, h. 212.
[27]Abu>
al-Husain Ah{mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Maqa>yi>s al-Lugah, Juz.
III (Beiru>t: Ittiha>d al-Kita>b al-‘Arab, 1423 H./2002 M.), h. 172.
[28]Ibra>hi>m Mus}t}afa>, dkk., al-Mu’jam al-Wasit}, CD-ROM
al-Maktabah al-Sya>milah,, Juz. I, h. 1032.
[29]Abu>
al-H{usain Ah{mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, op.cit., Juz. IV, h.
287.
[30]Abu>
Hila>l al-‘Askari>, Mu’jam al-Furu>q al-Lugawiyah, (Cet. I;
t.t., Muassasah al-Nasyr al-Isla>mi>, 2000 M.), h. 153.
[31]Abu>
al-Husain Ah{mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, op.cit., Juz. VI, h.
99.
[32]Muhammad
‘Abd al-Rau>f al-Mana>wi>, al-Tauqi>f ‘ala> Muhimma>t
al-Ta’a>ri>f, (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1410 H.), h. 730.
[33]‘Ali ibn
Muhammad ibn ‘Ali al-Jurja>ni>, al-Ta’ri>fa>t (Cet. I;
Beiru>t: Da>r al-Kita.b al-‘Arabi>, 1405 H.), h. 90.
[34]Abu>
al-Husain Ah{mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, op.cit., Juz. IV, h.
200.
[35]‘Ali ibn
Muhammad ibn ‘Ali al-Jurja>ni. op.cit., h. 191.
[36]Muhammad
‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-Hadi>s\ ‘Ulu>muh wa
Mus}t}alah}uh (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1409 H./1989 M.), h. 231.
[37]Muhammad
ibn Mukrim ibn Manz\u>r al-Afri>qi>, Lisa>n al-‘Arab, Juz.
III (Beiru>t: Da>r S}a>dir, t.th.), h. 467.
[38]Untuk
lebih jelasnya, lihat: Abu> Hila>l al-‘Askari>, Mu’jam al-Furu>q
al-Lugawiyah (Cet. I; t.t.: Muassasah al-Nasyr al-Isla>mi>, 2000
M>), h. 12, 271 dan 365.
[39]Pemahaman
aplikasi merupakan salah satu bagian pemahaman karena pada dasarnya dalil dapat
dipahami dari dua aspek yaitu fahm al-nas{ (pemahaman teks) dan fahm
al-tat}bi>q (pemahaman aplikatif). Pemahaman aplikatif mengikuti kondisi
dan hal-hal yang mengitari peristiwa. Oleh karena itu, Basyir karena melihat
bahwa tidak ada benda yang sama atau tidak barang lain yang dapat diberikan
kepada anak-anaknya, maka dia kemudian mengambil kembali pemberiannya.
[40]Syams
al-Di>n Muh{ammad ibn ‘Abd al-Rah{ma>n al-Sakha>wi>, Fath}
al-Magi>s\, Juz. I (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah,
1403 H.), h. 262.
[41]Abu>
H{a>tim Muh{ammad ibn H{ibba>n ibn Ah{mad al-Tami>mi>, S{ah{i>h{
Ibn H{ibba>n, Juz. XI (Cet. II; Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah,
1414 H./1993 M.), h. 503. Hadis ini dianggap s{ah{i>h{ oleh Ibn
H{ibba>n dan al-Alba>ni>.
[42]Abu>
Bakr Ah{mad ibn al-H{usain ibn ‘Ali ibn Mu>sa> al-Baihaqi>, Sunan
al-Baihaqi> al-Kubra>, Juz. VI (Makkah al-Mukarramah: Maktabah
Da>r al-Ba>z, 1414 H./1994 M.), h. 177.
Hadis tersebut dianggap d{a’i>f oleh al-Alba>ni>. Lihat:
Muh{}ammad Na>s{ir al-Di>n al-Alba>ni>, al-Silsilah
al-D{a’i>fah, Juz.I (al-Riya>d{: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.), h.
514. Akan tetapi dianggap h{asan oleh Subul al-Sala>m. Juz.
IV, h. 355.
[43]Abu>
‘Abdillah Ma>lik ibn Anas al-As}bah{i>, Muwat}t}a’ Ma>lik, Juz.
II (Mesir: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi, t.th.), h. 752. Hadis
tersebut dianggap s{ah{i>h{ oleh Imam Ma>lik.
[44]Abu>
‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, op.cit., Juz.
III, h. 1006.
[46]Ah{mad
ibn al-H{usain ibn ‘Ali ibn Mu>sa> al-Baihaqi>, op.cit., Juz.
VI, h. 177.
[47]Abu>
al-‘Ala> Muh{ammad ‘Abd al-Rah{ma>n ibn ‘Abd al-Rah{i>m
al-Muba>rakfu>ri>, Tuh{fah al-Ah{waz\i>, Juz. IV
(Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, t.th.), h. 507-508.
[48]Abu>
al-Wali>d Sulaima>n ibn Khalaf al-Ba>ji> al-Andlu>si>, al-Muntaqa> Syarh{ al-Muwat}t}a’,
(CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah), Juz. V, h. 651.
[49]Al-Sayyid
al-Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Juz. III (Beiru>t: Da>r al-Kita>b
al-‘Arabi, t.th.), h. 544.
[50]Wahbah
al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Juz. V (Cet. IV;
Suriah: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1418 H./1997 M.), h. 651-652.
[51]Ibid.
, Juz. V, h. 652.
[52]Abu>
Zakariya> Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawi>, Raud{ah
al-T{a>libi>n, Juz. I (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 1421
H./2000 M.) h. 376.
[53]Ibnu
al-Bat}t}a>l, Syarh Ibn Bat}t}a>l (CD-ROM al-Maktabah
al-Sya>milah), Juz. XIII, h. 102.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....