Sabtu, 11 Juni 2011

ADIL DALAM HADIS NABI


 
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belang Masalah
Sebagai kitab petunjuk, pedoman dalam segala aktivitas umat manusia, khususnya umat Islam, al-Qur’an dan hadis Rasulullah telah mengatur segala aktivitas mereka, mulai dari masalah yang terkait dengan agama hingga masalah-masalah yang hanya terkait dengan dunia. Di antara masalah–masalah agama yang diatur oleh keduanya adalah masalah pembagian harta. Harta adalah salah satu masalah urgen yang telah diatur ketetapannya dalam Islam.
Selain diatur oleh al-Qur’an, masalah harta, penggunaan dan pembagiannya juga banyak diungkapkan dalam hadis Nabi saw. Salah satu masalah yang terkait adalah mengenai keadilan dalam al-‘at}iyah (pemberian).
Untuk mengetahui penjelasan mengenai keadilan tersebut, maka diperlukan sebuah kajian hadis yang komprehensif tentang al-‘at}iyah itu sendiri karena sebelum menerapkan hadis Nabi saw., terlebih dahulu harus dipahami bagaimana hadis tersebut dari segi sanad dan matannya.[1] Tanpa memahaminya dengan baik hal tersebut akan menimbulkan penerapan yang kurang tepat bahkan dapat terjadi kesalahan. Hal yang paling urgen yang harus diperhatikan adalah ketika melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi hadis serta sejalan dengan petunjuk al-Qur’an dan kondisi masyarakat  pada saat itu sehingga hadis tidak lepas peranannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Takhri>j al-h}adi>s\ sebagai metode pengujian hadis Nabi sangat membantu untuk memahami konsep al’at}iyah, karena pemahaman terhadap teks hadis Nabi tidak dapat dipisahkan dari fungsi Nabi sebagai Rasulullah.[2] Hal ini perlu untuk dilakukan mengingat hadis Nabi sebagai rah}matan li al-‘a>lami>n. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya kajian mengenai hal ini dapat menambah khazanah keilmuan terkait masalah pembagian harta agar aplikasinya dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Berangkat dari keadilan secara umum, salah satu fenomena saat ini adalah pembagian harta warisan. Dalam kenyataannya, tidak satupun orang tua yang tidak ingin menurunkan harta miliknya kepada anak-anaknya sebagai penerus keluarga. Bahkan karena rasa sayang yang besar, setiap anak mendapat pembagian harta yang sama jumlahnya yang terkadang jumlah pemberiannya tidak sesuai dengan aturan agama Islam. Padahal menurut hukum Islam, pembagian harta warisan telah diatur bahwa setiap anak laki-laki akan mendapatkan dua bagian dari apa yang akan didapatkan oleh anak perempuan.[3]
Pembagian harta warisan untuk anak dilakukan dengan rasa keadilan dan sesuai dengan aturan dalam hukum Islam. Akan tetapi jika setelah pembagian harta warisan, orang tua masih ingin menambahkan jumlah pemberiannya kepada anak, maka hal itu terkadang diperbolehkan dengan catatan penambahan itu bukan bagian dari warisan melainkan merupakan pemberian (al-‘at}iyah).[4] Namun pembagian secara warisan, ditentang sebagian orang, khususnya perempuan yang merasa bahwa  hal itu tidak adil karena memberikan harta kepada laki-laki dua kalipat dari bagian perempuan, padahal perempuan terkadang lebih berbakti dan lebih butuh dibanding anak laki-laki.
Akhirnya, sebagian orang menyiratkan bahwa makna adil bukanlah harus memberi dalam jumlah yang sama, namun tentunya berdasarkan kebutuhan dan tanggung jawab. Walaupun demikian, pada dasarnya anak laki-laki dan anak perempuan sama kedudukannya dalam keluarga.
Para ulama sepakat atas disyariatkannya berlaku adil terhadap anak-anak dalam pemberian dengan tidak mengistimewakan yang satu atas yang lain. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum mengistimewakan antara satu dengan lainnya. Masing-masing pendapat ini didukung oleh sejumlah dalil dan argumen.[5]
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana status hadis tentang adil terhadap anak dalam pemberian?
2.      Bagaimana memahami hadis tentang adil terhadap anak dalam pemberian?
3.      Pesan dan kesan apa saja yang tersurat dan tersirat dalam hadis tentang adil terhadap anak dalam pemberian?   


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hadis Tentang al-‘Adl fi al-‘At}iyah
حدثنا حامد بن عمر حدثنا أبو عوانة عن حصين عن عامر قال سمعت النعمان بن بشير رضي الله عنهما وهو على المنبر يقول: أعطاني أبي عطية فقالت عمرة بنت رواحة لا أرضى حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال إني أعطيت ابني من عمرة بنت رواحة عطية فأمرتني أن أشهدك يا رسول الله قال (أعطيت سائر ولدك مثل هذا). قال لا قال (فاتقوا الله واعدلوا بين أولادكم). قال فرجع فرد عطيته.[6]
B.   Artinya
Diceritakan kepada kami H{a>mid ibn ‘Umar, diceritakan kepada kami Abu> ‘Awa>nah dari H{us}ain dari ‘A<mir berkata, saya mendengar al-Nu’ma>n ibn Basyi>r ra. sedang dia di atas mimbar berkata “Ayahku memberikan sesuatu kepadaku”, lalu ‘Amrah binti Rawa>h{ah berkata “Saya tidak rela hingga engkau mempersaksikan hal tersebut kepada Rasulullah saw.”, lalu dia mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata “Saya telah memberikan sesuatu kepada putraku yang dari ‘Amrah binti Rawa>h{ah, lalu ia menyuruhku mempersaksikan kepadamu wahai Rasulullah saw. lalu Rasulullah saw. berkata "Apakah engkau telah memberikan hal yang sama kepada anak-anakmu yang lain?”, lalu Basyi>r menjawab “Tidak” lalu Rasulullah saw. bersabda “Takutlah kalian kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu”. Lalu Basyi>r pulang kemudian mengambil kembali pemberiannya.”      
C.   Takhri>j al-Hadi>s
Setelah melakukan pencarian terhadap kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s, dengan menggunakan salah satu kata hadis tersebut yaitu اعدلوا maka ditemukanlah hadis tersebut terdapat dalam beberapa kitab hadis (al-kutub al-tis’ah) dengam teks sebagai berikut:
اعدلوا بين أولادكم اعدلوا بين أبنائكم: د: بيوع 83، خ: هبة 12، 13، م: هبات 13، ن: نحل 1، حم: 4، 275، 278، 375.[7]
Berdasarkan data yang terdapat dalam kitab al-mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s dapat di ketahui bahwa hadis yang menjelaskan tentang keadilan orang tua terhadap pemberian anaknya terdapat dalam kitab:
1.      S}ah}i>h{ al-Bukha>ri, kitab al-hibah wa fad}liha bab 12 (al-hibah li al-walad…. ) dan 13 (al-isyha>d fi> al-hibah), sebagaimana teks yang tertera di atas.
2.      S}ah}i>h} Muslim, kitab al-hiba>t bab 13 (kara>hah tafd}i>l ba’d} al-aula>d fi> al-hibah), dengan menggunakan kalimat:
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا عباد بن العوام عن حصين عن الشعبي قال سمعت النعمان بن بشير ح وحدثنا يحيى بن يحيى ( واللفظ له ) أخبرنا أبو الأحوص عن حصين عن الشعبي عن النعمان بن بشير قال: تصدق علي أبي ببعض ماله فقالت أمي عمرة بنت رواحة لا أرضى حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فانطلق أبي إلى النبي صلى الله عليه و سلم ليشهده على صدقتي فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم (أفعلت بولدك هذا كلهم ؟) قال لا قال (اتقوا الله واعدلوا في أولادكم) فرجع أبي فرد تلك الصدقة.[8]
3.      Sunan Abi> Da>ud, kitab al-buyu’ bab 83 (fi> al-rajul Yufad}d{il Ba’d{a waladih fi> al-Nah}l), dengan menggunakan kalimat:
حدثنا سليمان بن حرب ثنا حماد عن حاجب بن المفضل بن المهلب عن أبيه قال سمعت النعمان بن بشير يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "اعدلوا بين أولادكم اعدلوا بين أبنائكم".[9]
4.      Sunan al-Nasa>i, kitab al-nah}l bab 1 (z\ikr ikhtila>f alfa>z} al-na>qili>n….) dengan menggunakan kalimat:
أخبرنا يعقوب بن سفيان قال حدثنا سليمان بن حرب قال حدثنا حماد بن زيد عن جابر بن المفضل بن المهلب عن أبيه قال سمعت عن النعمان بن بشير يخطب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اعدلوا بين أبنائكم اعدلوا بين أبنائكم.[10]
5.      Musnad Ah}mad, kitab musnad al-Nu’ma>n ibn Basyi>r, Juz. IV, h. 275, 278 dan 375, dengan menggunakan kalimat:
حدثنا سريج بن النعمان قال: حدثنا حماد يعني ابن زيد عن حاجب بن المفضل يعني ابن المهلب بن أبي صفرة عن أبيه عن النعمان بن بشير، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "اعدلوا بين أبنائكم".[11]
حدثنا سليمان بن حرب حدثنا حماد بن زيد عن حاجب بن المفضل بن المهلب عن أبيه قال: سمعت النعمان بن بشير يخطب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "اعدلوا بين أبنائكم، اعدلوا بين أبنائكم."[12]
حدثنا عبد الله حدثنا عبيد الله بن عمر القواريري حدثنا حماد يعني ابن زيد حدثنا حاجب بن المفضل يعني ابن المهلب عن أبيه عن النعمان بن بشير أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "قاربوا بين أبنائكم يعني سووا بينهم".[13]
حدثنا عبد الله حدثنا إبراهيم بن الحسن الباهلي وعبيد الله القواريري ومحمد بن أبي بكر المقدمي قالوا: حدثنا حماد بن زيد عن حاجب بن المفضل بن المهلب عن أبيه أنه سمع النعمان بن بشير يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "اعدلوا بين أبنائكم، اعدلوا بين أبنائكم، اعدلوا بين أبنائكم".[14]
حدثنا عبد الله حدثنا عبيد الله بن عمر هو القواريري حدثنا حماد يعني ابن زيد حدثنا حاجب بن المفضل يعني ابن المهلب عن أبيه عن النعمان بن بشير أن النبي صلى الله عليه وسلم قال "قاربوا بين أبنائكم يعني سووا بينهم".[15]
Namun dalam makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan pada hadis yang terdapat dalam S}ah}i>h{ al-Bukha>ri> dari riwayat ‘A<mir dari al-Nu’ma>n ibn Basyi>r sesuai dengan tugas yang dibebankan, meskipun dalam pembahasan akan melibatkan hadis-hadis tersebut di atas.
Sedangkan perawi al-a’la> dalam hadis riwayat al-Bukha>ri> adalah al-Nu’ma>n ibn Basyi>r bernama lengkap al-Nu’ma>n ibn Basyi>r ibn Sa’ad ibn S|a’labah ibn Jala>s ibn Zaid ibn Ma>lik ibn S|a’labah ibn Ka’ab ibn al-Khazraj al-Ans}a>ri> Abu> Abdillah al-Madani>. Dia lahir 14 bulan pascahijrah Rasulullah saw. dan merupakan sahabat ans}ar pertama yang lahir setelah kedatangan Rasulullah saw. di Madinah. Dia berusia 8 tahun 7 bulan pada saat Rasulullah saw. wafat. pada tahun 63 H atau 65 H. dia menghadap ke hadirat Yang Maha Kuasa.[16]      
Di antara gurunya adalah Rasulullah saw., pamannya Abdullah ibn Rawa>h{ah, ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b dan ‘A<isyah dan lain-lain, sedangkan di antara muridnya adalah Putranya Muh{ammad, Samma>k ibn H{arb, ‘Urwah ibn al-Zubair dan ‘A<mir al-Syi’bi> dan lain-lain.[17]               





D.  Hasil Takhri<j 
Berdasarkan pengkajian terhadap hadis tersebut dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s\ dan langkah-langkah takhri>j dapat diungkapkan bahwa hadis di atas, statusnya s}ah}i>h{ karena beberapa faktor, antara lain: 
1.      Semua perawi hadis tersebut dinilai s\iqah atau s}adu>q oleh para kritikus hadis.[18]
2.      Hadis tersebut diperkuat muta>bi’[19] yaitu ‘A>mir al-Syi’bi> dan al-Mufad}d}al ibn al-Muhallab.
3.      Penilaian Syekh al-Alba>ni bahwa hadis tersebut dianggap s}ah}i>h}.[20]
4.      Penilaian Abu> ‘I<sa> al-Turmuz\i> bahwa hadis tersebut h}asan s{ah}i>h{.[21]
5.      Sedangkan perbedaan pada sebagian matan hadis itu disebabkan karena al-Nu’ma>n ibn Basyi>r meriwayatkan dalam bentuk riwayat bi al-ma’na.[22]  
E.   Asba>b Wuru>d al-H{adi>s\
Sabab wuru>d al-h{adi>s\ ini adalah peristiwa yang menimpa al-Nu’ma>n ibn Basyi>r yaitu ketika ayahnya memberikan sesuatu kepadanya, kemudian ‘Amrah binti Rawa>h}ah, istri Basyi>r komplain dengan mengatakan “Aku tidak rela terhadap pemberian itu hingga disaksikan oleh Rasulullah saw.”, kemudian ayahnya datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata “Aku telah memberi harta kepada anakku ini” Tanya Rasulullah saw. “Apakah seluruh anakmu telah kau telah beri (hal yang sama)?” lalu ayah al-Nu’ma>n menjawab “Tidak” lalu Rasulullah saw. bersabda “Kembalilah kamu, takutlah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu”.
Lalu al-Nu’man berkata “Akhirnya ayahku pulang dan dia membatalkan pemberiannya itu”.[23]
Dalam riwayat yang lain, al-Nu’ma>n berkata “Ibuku ‘Amrah binti Rawa>h}ah meminta kepada ayahku pemberian harta untukku yaitu seorang budak (al-gula>m), kemudian permintaan itu dipenuhi setelah hampir dua tahun, kemudian ibuku tidak rela kalau tidak disaksikan oleh Rasulullah saw., Akhirnya ayahku membawaku kepada Rasulullah saw. lalu menjelaskan pemberian itu, kemudian dijawab oleh Rasulullah seperti jawaban yang telah dijelaskan sebelumnya.[24]
Dalam kisah yang lain, yaitu pada saat al-Nu’ma>n khutbah di kota Kufah, dia berkata sesungguhnya ayahku datang kepada Nabi saw. dan berkata bahwa ‘Amrah binti Rawa>h}ah melahirkan seorang putra yang kuberi nama al-Nu’ma>n dan ‘Amrah tidak mau mengasuhnya hingga anak tersebut diberi kebun yang paling baik dari kebunku, lalu Rasulullah saw. bertanya seperti pertanyaan di atas.[25]
Perbedaan riwayat tentang asba>b al-wuru>d hadis ini, dapat dikompromikan bahwa kasus pemberian Basyi>r terhadap anaknya al-Nu’ma>n terjadi dua kali, yaitu pemberian kebun pada saat lahir dan pemberian budak pada saat ia anak-anak.
Kebun yang telah diberikan kepada al-Nu’ma>n diambil kembali oleh ayahnya karena dia tidak memberikan kebun kepada anaknya yang lain. Oleh karena itu, ‘Amrah (ibu al-Nu’ma>n) meminta kembali pemberian sebagai ganti kebun tersebut, kemudian Basyi>r memenuhi permintaan istrinya lalu dia memberikan budak kepada anaknya, akan tetapi ‘Amrah meminta agar pemberian itu disaksikan oleh Rasulullah saw, agar pemberian itu tidak diambil kembali oleh ayahnya.[26]
F.   Makna Mufrada>t
أشهد     : Kata ini merupakan fi’l al-mud}a>ri’ dari أشهد yang akar katanya terdiri dari huruf ش- ه-د yang menunjukkan makna hadir, pengetahuan dan informasi.[27] Kemudian diikutkan wazan أشهد (menambah huruf hamzah diawalnya) sehingga maknanya menjadi mempersaksikan atau membuat saksi.[28] 
عطية     : Kata عطية merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata ع- ط- و memiliki makna mengambil atau memperoleh sesuatu dengan tangan.[29] Sehingga yang dimaksud dengan عطية adalah pemberian yang diberikan kepada orang lain, baik karena memulyakan atau tidak, baik ikhlas atau tidak, baik karena ingin mendapatkan pahala atau tidak.[30]   
سائر      : Kata ini adalah kata yang biasa digunakan pada makna sesuatu yang lain yang masih tersisa, hampir sama maknanya dengan باقى (sisa). Namun makna aslinya adalah berlalu atau mengalir, sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan سائر dalam hadis ini adalah anak yang terlewati yang tidak mendapatkan pemberian seperti apa yang didapatkan saudaranya.  
فاتقوا     : Kata ini berasal dari وقى yang berarti menghindarkan sesuatu dari sesuatu yang lain dengan yang lain.[31] Sehingga al-wiqa>yah adalah menjaga sesuatu dari hal-hal yang dapat menyakiti atau membahayakannya.[32] Jadi, kata al-taqwa> secara etimologi adalah membuat al-wiqa>yah (penjagaan atau perlindungan), sedangkan secara termonologi dapat diartikan sebagai menjaga diri dari kemurkaan Allah dengan taat kepada Allah swt. Oleh karena itu al-taqwa> mencakup ketaatan yang berarti keikhlasan dan mencakup kemaksiatan yang berarti peninggalan atau pewaspadaan.[33]    
واعدلوا   : Kata ini pada dasarnya memiliki dua makna yang bertentangan, yaitu lurus dan bengkok.[34] Jadi al-‘adl adalah ungkapan tentang sesuatu yang tengah-tengah antara semborono dan berlebih-lebihan. Sedangkan secara termonologi, para ulama berbeda pendapat. Ulama Nahwu mendefinisikan adil sebagai keluarnya isim dari sigat aslinya kepada sigat yang lain. Ulama Fiqhi mendefinisikan bahwa orang yang menjauhi dosa-dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa kecil, sering benar dan menjauhi pekerjaan-pekerjaan yang merendahkan diri seperti makan di jalan.[35] Sedangkan lama Hadis mendefenisikannya sebagai sebuah sifat yang tertanam dalam hati yang dapat mendorong seseorang untuk senantiasa bertaqwa dan menjaga muru>ah (harga diri).[36] Namun dalam hadis ini, yang dimaksud al-‘adl adalah salah satu makna etimologinya yaitu lurus atau tengah-tengah.
أولادكم   : Kata ini merupakan bentuk plural (al-jam’) dari ولد yang berarti setiap anak yang dilahirkan, baik laki-laki maupun perempuan.[37] Kata al-walad meskipun memiliki persamaan dengan al-ibn, al-sibt} dan al-‘aqab juga memiliki perbedaan.[38]   
G.  Pernyataan Penting
فأمرتني أن أشهدك Kalimat ini dianggap penting karena dari kalimat ini dapat dipahami dua aspek, yaitu:
1.      Klarifikasi hukum terhadap orang yang berkompoten atau yang berwenang untuk mengetahui status hukum sebuah masalah, apa benar tindakan tersebut atau salah sehingga tidak berlarut dalam kesalahan jika hal tersebut salah dan pengetahuan yang bertambah jika hal itu benar. Oleh karena itu, ‘Amrah binti Rawa>h{ah meminta kepada suaminya yaitu Basyi>r supaya menanyakan masalah tersebut kepada Rasulullah saw.
2.      Membuat bukti jika terjadi transaksi apa pun sehingga ada bukti materil yang dapat dijadikan acuan atau bukti kepemilikan.      
3.      Meminta bukti jika merasa bahwa terjadi penyimpangan atau kesalahan dalam sebuah urusan untuk memastikan akan status tindakan tersebut, apakah memiliki dasar atau tidak.         
أعطيت سائر ولدك مثل هذا (Apakah engkau telah memberikan pada anak-anakmu yang lain seperti ini?), kalimat ini merupakan pertanyaan Rasulullah saw. yang dimaksudkan untuk memperjelas masalah yang ditanyakan atau diminta oleh Basyi>r, sehingga nantinya Rasulullah saw. tidak salah dalam memberi jawaban, apakah boleh atau tidak, sebab tidak semua pemberian dilarang atau diperbolehkan oleh syariat.
واعدلوا بين أولادكم Kalimat ini merupakan hukum yang diberikan oleh Rasulullah saw. yang menandakan bahwa perintah Rasulullah saw. kepada Basyir agar berbuat adil kepada anak-anaknya. Penggunaan d}ami>r al-jam’i (plural) dalam kalimat ini padahal yang menjadi objeknya satu yaitu Basyi>r dapat memunculkan pemahaman bahwa Rasulullah saw. bermaksud memberlakukan hukum tersebut kepada semua umatnya atau bisa jadi Rasulullah saw. menggunakan bentuk plural sebagai penghormatan kepada Basyi>r.   
فرجع فرد عطيته Kalimat ini dianggap penting sebagai bukti keutamaan sahabat di mana mereka langsung mengamalkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. Disamping itu, kalimat ini juga menjelaskan bagaimana aplikasi[39] dari perintah tersebut, di mana sahabat Basyi>r mengambil kembali pemberiannya, padahal bisa juga dengan cara memberikan hal yang sama kepada saudara-saudaranya, sebab Rasulullah saw. hanya menyuruhnya untuk berbuat adil kepada anak-anaknya.  
H.  Pemahaman Hadis (Teks dan Konteks,  Dalil Aqli dan Naqli, Pendapat Ulama)
1.    Pemahaman Teks dan Konteks
Teks atau matan hadis tersebut secara umum menyampaikan tentang kewajiban berbuat adil terhadap anak dalam masalah pemberian, sehingga jika terjadi penyimpangan harus diluruskan oleh pihak yang berwenang.    
Di samping itu, teks hadis tersebut juga dapat menimbulkan interpretasi yang beragam dikarenakan matan hadisnya memang beraneka ragam. Sebagian hadis ada yang menceritakan secara singkat dan sebagian yang lain ada yang panjang lebar menceritakan kisah al-Nu’ma>n tersebut. Oleh karena itu, secara teks hadis tersebut dapat menimbulkan pemahaman yang beragam.
Namun secara konteks, hadis tersebut berlaku secara umum, bukan pada al-Nu’ma>n dan ayahnya yaitu Basyi>r saja karena indikator bahwa Rasulullah saw. memberlakukan hadis tersebut secara umum yaitu d{ami>r plural. Di samping itu, kaedah العبرة بعموم الألفاظ لا بخصوص الأسباب (penilaian itu pada keumuman lafaz, bukan pada kekhususan sebab)[40] lebih tepat diamalkan dalam hadis di atas, sehingga meskipun sabab wuru>d al-hadis tersebut ada dan khusus berlaku untuk al-Nu’ma>n dan keluarganya, akan tetapi matan hadis tersebut tetap berlaku umum, yakni mencakup semua umat Islam.         
2.    Dalil ‘Aqli dan Naqli
Secara aqliyah, pemberian terhadap anak seharusnya sama dengan beberapa alasan:
a.       Pembedaan terhadap anak akan menimbulkan permusuhan dan kecemburuan di antara anak-anak.
b.      Ketidakpercayaan anak terhadap orang tua, bahkan dapat menimbulkan pembangkangan anak terhadap orang tua.
c.       Kesamaan hak anak terhadap warisan orang tua.
d.      Ketidaktahuan orang tua tentang siapa di antara anak mereka yang paling berjasa dan paling mengabdi dalam hidupnya.
Nam un secara aqliyah pula, perbedaan pemberian orang tua terhadap anak dapat terjadi dengan alasan:
a.       Harta tersebut adalah milik mutlak orang tua sehingga mereka berhak memberikan hartanya kepada siapa pun dalam jumlah yang diinginkannya.  
b.      Kebutuhan anak tidak sama satu sama lain sehingga pemberian kepada anak juga tidak sama sesuai dengan kebutuhannya.  
Sedangkan secara naqliyah, penyamaan pemberian orang tua terhadap anak juga dapat diklasifikasi dalam dua bagian, yaitu:
a.       Dalil naqli yang mendukung penyamaan pemberian terhadap anak yaitu keumuman ayat al-Qur’an yang menyuruh untuk berbuat adil, seperti dalam surah al-Nisa>’: 135.
يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين.
b.      Hadis riwayat riwayat Ibnu H{ibba>n:
إعدلوا بين أولادكم في النحل كما تحبون ان يعدلوا بينكم في البر واللطف.[41]
(Berlaku adillah terhadap anak-anak kalian dalam pemberian sebagaimana kalian senang mereka berbuat adil terhadap kalian dalam kebaikan dan kelembutan).
c.       Hadis riwayat al-Baihaqi> dari ‘Abdullah ibn ‘Abba>s:
سووا بين أولادكم في العطية فلو كنت مفضلا أحدا لفضلت النساء.[42]     
(Berbuat samalah terhadap anak-anak kalian dalam pemberian, andaikan saya mengutamakan/mengunggulkan seseorang maka aku menggunggulkan perempuan).
Sedangkan dalil naqliyah yang menunjukkan pemberian tidak harus sama adalah sebagai berikut:
a.       Hadis riwayat Malik dari ‘A<isyah tentang pemberian Abu> Bakar terhadap putrinya ‘A<isyah dengan mengatakan:
والله يا بنية ما من الناس أحد أحب إلي غنى بعدي منك ولا أعز علي فقرا بعدي منك وإني كنت نحلتك جاد عشرين وسقا.[43]
b.      Hadis al-Bukha>ri> dari Sa’ad ibn Abi> Waqqa>s} tentang kebolehan berwasiat memberikan 1/3 harta benda kepada orang lain, apatahlagi kepada anak sendiri:
يا رسول الله أوصي بمالي كله؟ قال (لا). قلت فالشطر؟ قال (لا). قلت الثلث؟ قال (فالثلث والثلث كثير إنك إن تدع ورثتك أغنياء خير من أن تدعهم عالة يتكففون الناس في أيديهم...).[44]
c.       Penulis tidak menemukan dalil naqli qat}’i yang menunjukkan keharaman mengutamakan sebagian anak.
3.    Pendapat Ulama
Al-Muhaddis\u>n (ulama hadis) dalam memahami hadis tersebut beragam dalam menginterpretasikannya sebagai berikut:
1.      Sebagian ulama, di antaranya al-Bukha>ri>, T{aw>us, al-S|auri>, Ah{mad ibn H{ambal dan Ish{a>q memberlakukan hadis tersebut secara tekstual yakni wajib menyamakan pemberian terhadap anak, baik laki-laki maupun perempuan. Alasan mereka adalah teks hadis tersebut dan sebuah kaidah ما يؤدى إلى التحريم حرام (sesuatu yang menimbulkan keharaman menjadi haram) di mana ketidaksamaan pemberian terhadap anak dapat memutus silaturrahmi, persuhan dan pembangkangan terhadap orang tua.[45] Akan tetapi ulama beragam tentang kualitas dan kuantitas penyamaan pemberian:
a.       Muh{ammad ibn al-H{asan, Ah{mad, Ish{a>q dan ulama yang lain menilai penyamaan tersebut harus mengikuti pembagian warisan, karena itulah hak anak pascawafatnya orang tua.
b.      Ulama yang lain mengatakan bahwa penyamaan pemberian tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dengan melihat teks hadis tersebut, di samping itu ada hadis dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas: سووا بين أولادكم في العطية فلو كنت مفضلا أحدا لفضلت النساء.[46] (Berlaku samalah kepada anak-anak kalian dalam pemberian, Andaikan aku mengunggulkan seseorang maka aku akan unggulkan perempuan)     
2.      Mayoritas ulama hadis menilai bahwa penyamaan pemberian itu bersifat sunat, bukan wajib sehingga jika seseorang membedakan pemberian terhadap anaknya maka hukumnya makruh, sehingga perintah dalam hadis tersebut bersifat sunnah dan larangan membedakan pemberian terhadap anak bersifat makruh.[47]   
Sedangkan ulama fiqhi dalam menanggapi hadis tersebut di atas, beragam dalam memberikan pendapat, ada yang menganggap bahwa menyamakan pemberian terhadap anak sebagai anjuran saja bukan kewajiban dan ada yang menilainya sebagai kewajiban,[48] sehingga haram membeda-bedakan anak dalam pemberian dan kebaikan karena hal itu dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka atau kepada orang tua. Namun mayoritas ulama fiqhi sepakat sunnah menyamakan pemberian terhadap anak dan makruh membeda-bedakannya.[49] Meskipun demikian, ulama fiqhi tetap berbeda pendapat tentang kualitas dan kuantitas pemberian terhadap anak sebagai berikut:
1.      Abu Yusuf dari mazhab al-Hanafiyah, al-Ma>likiyah dan al-Sya>fi’iyah (jumhu>r al-‘ulama>’) berpendapat bahwa disunnatkan menyamakan pemberian terhadap anak, baik laki-laki maupun perempuan berdasarkan hadis Rasulullah saw. di atas tanpa menyebutkan perbedaan laki-laki dan perempuan dengan menganggap perintah dalam hadis tersebut bersifat anjuran, karena seseorang bebas menafkahkan hartanya, baik kepada keluarga atau orang lain.[50]    
2.      Al-Hana>bilah dan Muhammad dari mazhab al-Hanafiyah berpendapat bahwa pemberian terhadap anak-anak disesuaikan dengan aturan warisan, sehingga laki-laki akan mendapatkan dua kali lipat dari perempuan.[51]
4.    Pendapat Penulis
Dengan melihat penjelasan di atas beserta argumen-argumennya, baik dari segi pemahaman teks dan konteks, dalil ‘aqliah dan naqliah dan pendapat para ulama, penulis berkesimpulan bahwa penyamaan pemberian terhadap anak merupakan sunnah muakkad (sangat dianjurkan) karena beberapa alasan:
a.       Untuk menghindari kecemburuan dan permusuhan dalam internal anak-anak, sekaligus untuk menghindari pembangkangan anak terhadap orang tua karena merasa terzalimi atau dibedakan.
b.      Keluar dari perbedaan di kalangan ulama antara ulama yang mewajibkan menyamakan pemberian dengan ulama yang membolehkan pemberian yang berbeda dengan berdasar pada kaedah mazhab sya>fi’iyah:
الخروج من الخلاف مستحب.[52]
Di samping itu, penyamaan pemberian juga bisa menjadi t}ari>q al-khala>s} (solusi penyelesaian) dalam masalah warisan di mana banyak kalangan menentang terhadap pembagian warisan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan مثل حظ الأنثيين dengan catatan pemberian itu diberikan sebelum meninggal. Sebab dalam al-‘at}iyyah atau al-hibah (pemberian) pada saat masih hidup dapat dibagi adil kepada anak-anak tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.
Meskipun demikian, penyamaan pemberian tidak harus sama dalam kualitas dan kuantitasnya, akan tetapi pemberian itu memperhatikan kebutuhan dan lapangan kerja anak-anak, semisal anak yang sudah mapan penghasilannya tidak mesti sama bagiannya dengan anak yang belum memiliki pekerjaan yang mapan.
Di samping memperhatikan kebutuhan dan lapangan kerja, pemberian materi terhadap anak-anak tetap mempertimbangkan jenis kelamin, yakni perempuan bagiannya tidak lebih banyak dari pada bagian laki-laki sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.                 
5.    Pesan dan Petunjuk Hadis
Pesan dan petunjuk hadis tersebut di atas, baik yang tersirat maupun yang tersurat, secara global dapat dibuat poin-poin sebagai berikut:
1.      Hadis di atas sebagai bukti perhatian Islam terhadap gender atau keadilan, khususnya dalam bidang harta benda.
2.      Al-Isyha>d (membuat persaksian) bukan menjadi syarat sah pemberian dan sedekah, akan tetapi dianjurkan sebagai bukti pemberian.
3.      Pemerintah berhak meluruskan penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat jika mengetahui hal tersebut seperti ketidakadilan dalam pemberian orang tua terhadap anaknya.[53]
4.      Sebelum menjawab pertanyaan atau memenuhi permintaan agar memperjelas dahulu masalahnya.
5.      Keutamaan para sahabat seperti Basyi>r yang langsung mengaplikasikan sabda Rasulullah saw.
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat dibuat beberapa poin sebagai hasil kesimpulan pembahasan sebagai berikut:
1.      Takhri>j al-H{adi>s\ tentang adil terhadap anak dalam pemberian dengan menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s ditemukan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} Muslim, Sunan Abi> Da>ud, Sunan al-Nasa>i dan Musnad Ah}mad. Sedangkan hadis tersebut statusnya adalah s}ah}i>h} dengan beberapa alasan, yaitu: semua perawinya s\iqah, diperkuat al-muta>bi’, penilaian s}ah}i>h} oleh al-Alba>ni> dan al-Turmuz\i> meskipun diriwayatkan secara makna.
2.      Pemahaman hadis dapat dilakukan dengan pendekatan teks dan konteks, mempertimbangkan dalil ‘aqli dan naqli dan memperhatikan pendapat ulama, sehingga muncullah sebuah kesimpulan bahwa penyamaan pemberian terhadap anak merupakan sunnah muakkad (sangat dianjurkan) karena beberapa alasan, yaitu: menghindari kecemburuan, permusuhan dan pembangkangan, mengambil jalan tengah dari pendapat para ulama. Akan tetapi penyamaan pemberian tidak harus sama dalam kuantitas dan kualitasnya, sekaligus al-‘at}iyah merupakan salah satu solusi dalam menghadapi penentangan terhadap ketidaksamaan pembagian warisan.
3.      Pesan dan petunjuk tentang hadis adil terhadap anak dalam pemberian di antaranya dibutuhkan al-isyha>d dalam transaksi, klarifikasi masalah sebelum menjawab atau menyelesaikan dan petunjuk-petunjuk yang lain.
B.   Implikasi
Hadis di atas merupakan salah satu bukti totalitas syariat Islam dalam mengatur kehidupan umat manusia, baik yang terkait dengan duniawi maupun yang terkait dengan ukhrawi>.
Hadis di atas juga bisa menjadi jawaban atau sanggahan terhadap kecaman tehadap diskriminasi di mana sebagian pelopor gender menganggap bahwa Islam, khususnya sumber syariat Islam cenderung mengutamakan laki-laki dibanding perempuan, namun dengan munculnya hadis di atas, membuktikan bahwa Islam tidak melakukan diskriminasi akan tetapi bisa jadi umat Islamlah yang belum mengetahui atau kurang memahami dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis.
Hadis di atas juga bisa menjadi solusi jika orang tua khawatir bila mana hartanya dibagi secara warisan, sebab dalil tentang warisan dalam al-Qur’an sudah sangat jelas, sehingga sulit untuk dirubah atau ditafsirkan. Oleh karena itu, orang tua yang melihat bahwa semua anak sama kebutuhannya terhadap harta bendanya atau jika orang tua khawatir akan muncul permusuhan, kecemburuan dan pembangkangan anak terhadap orang tua, maka orang tua dapat menempuh solusi dengan mengamalkan hadis tersebut.
Akhirnya, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dalam penulisan, metodologi maupun pembahasan sehingga dibutuhkan saran, kritikan dan pembenaran pelurusan atau penambahan terhadap makalah ini sehingga bisa menjadi lebih baik dan lebih sempurna.  
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’a>n al-Kari>m
Abu> ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal, Juz. IV. Cet. I; Bairu>t: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Renaisan. Jakarta. 2005.
AJ. Weinsink, Alihbahasa Muhamamd Fu’ad Abd al-Ba>qi<,al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadi>s\ al-Nabawi>, Juz. IV. London: Maktabah Brill, 1936 H.
Al-‘Askari>, Abu> Hila>l. Mu’jam al-Furu>q al-Lugawiyah. Cet. I; t.t., Muassasah al-Nasyr al-Isla>mi>, 2000 M.
Al-‘Askari>, Abu> Hila>l. Mu’jam al-Furu>q al-Lugawiyah. Cet. I; t.t.: Muassasah al-Nasyr al-Isla>mi>, 2000 M.
Al-‘Asqala>ni, Ah{mad ibn ‘Ali ibn H{ajar. Tahz\i>b al-Tahz\i>b. Juz. X. Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984 M.  
Al-‘Asqala>ni>, Abu> al-Fad}l Ah{mad ibn ‘Ali ibn H{ajar. Fath} al-Ba>ri>. Bairu>t: Da>r al-Ma’rifah, 1379 H.
Al-Afri>qi>, Muhammad ibn Mukrim ibn Manz\u>r. Lisa>n al-‘Arab. Bairu>t: Da>r S}a>dir, t.th.
Al-Alba>ni>, Muh{}ammad Na>s{ir al-Di>n. al-Silsilah al-D{a’i>fah. al-Riya>d{: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
Al-Alba>ni>, Muhammad Na>s}ir al-Di>n. al-Silsilah al-S}ah}i>h}ah. al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
Al-Andlu>si>, Abu> al-Wali>d Sulaima>n ibn Khalaf al-Ba>ji>. al-Muntaqa> Syarh{ al-Muwat}t}a’. CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Al-As}bah{i>, Abu> ‘Abdillah Ma>lik ibn Anas. Muwat}t}a’ Ma>lik. Mesir: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi, t.th.
Al-Asqala>ni, Abu> al-Fad}l Ahmad ibn Hajar. Tahzi>b al-Tahzi>b. Cet. I; Da>r al-Fikr: Beirut, 1404 H/1984 M.
Al-Azdi>, Abu> Da>ud Sulaima>n ibn al-Asy’as\ al-Sajasta>ni. Sunan Abi> Da>ud, Juz. II. Bairut: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Baihaqi>, Abu> Bakr Ah{mad ibn al-H{usain ibn ‘Ali ibn Mu>sa>. Sunan al-Baihaqi> al-Kubra>. Makkah al-Mukarramah: Maktabah Da>r al-Ba>z, 1414 H./1994 M.
Al-Bukha>ri>, Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l. S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz. II. Cet. III; Bairu>t: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.
Al-Dahlawi>, ‘Abd al-Haq ibn Saif al-Di>n ibn Sa’adullah al-Bukha>ri. Muqaddimah fi> Us}u>l al-H{adi>s\. Cet. II; Bairu>t: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miah, 1406 H./1986 M.
Al-Dimasyqi>, Ibnu Hamzah al-Husaini> al-Hanafi>. al-Baya>n wa al-Ta’ri>f fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>s\ al-Syari>f, terj. HM. Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya hadits-hadits Rasul. Cet. IX; Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Al-Jurja>ni>, ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali. al-Ta’ri>fa>t. Cet. I; Bairu>t: Da>r al-Kita.b al-‘Arabi>, 1405 H.
Al-Khat}i>b, Muhammad ‘Ajja>j. Us}u>l al-Hadi>s\ ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}uh. Bairu>t: Da>r al-Fikr, 1409 H./1989 M.
Al-Mana>wi>, Muhammad ‘Abd al-Rau>f. al-Tauqi>f ‘ala> Muhimma>t al-Ta’a>ri>f. Cet. I; Bairu>t: Da>r al-Fikr, 1410 H.
Al-Mizzi, Abu> al-H{ajja>j Yu>suf ibn al-Zaki>. Tahz\i>b al-Kama>l. Juz. XXIX. Cet. I; Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.
Al-Mizzi<, Abu> al-Hajja>j Yu>suf ibn al-Zaki<. Tahz\i<b al-Kama>l. Cet. I; Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.
Al-Muba>rakfu>ri>, Abu> al-‘Ala> Muh{ammad ‘Abd al-Rah{ma>n ibn ‘Abd al-Rah{i>m. Tuh{fah al-Ah{waz\i>. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, t.th.
Al-Naisabu>ri>, Abu> al-Husain Muslim ibn al-Hajja>j. S}ah}i>h} Muslim, Juz. III. Bairu>t: Da>r Ihya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
Al-Nasa>i, Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ahmad ibn Syu’aib. Sunan al-Nasa>i, Juz. VI. Cet. V; Bairut: Da>r al-Ma’rifah, 1420 H.
Al-Nawawi>, Abu> Zakariya> Yah{ya> ibn Syaraf. Raud{ah al-T{a>libi>n. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 1421 H./2000 M.
Al-Sa>biq, Al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Bairu>t: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, t.th.
Al-Sakha>wi>, Syams al-Di>n Muh{ammad ibn ‘Abd al-Rah{ma>n. Fath} al-Magi>s\. Cet. I; Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 1403 H.
Al-Tami>mi>, Abu> H{a>tim Muh{ammad ibn H{ibba>n ibn Ah{mad. S{ah{i>h{ Ibn H{ibba>n. Cet. II; Bairu>t: Muassasah al-Risa>lah, 1414 H./1993 M.
Al-Turmuz\i>, Abu> ‘I<sa> Muhammad ibn ‘I<sa>. al-Ja>mi’ al-S}ah{i>h} Sunan al-Turmuz\i>. Bairu>t: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
Al-Zuhaili>, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh. Cet. IV; Suriah: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1418 H./1997 M.
Az{ami, Muh{ammad Mus{t}afa>. Studies in Hadith Methodology and Literature, terj. Meth Kieraha, Memahami Ilmu Hadis, Telaah Metodologi & Literatur Hadis. Cet. III; Jakarta: Lentera, 2003 M.
Ibnu al-Bat}t}a>l. Syarh Ibn Bat}t}a>l. CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Mus}t}afa>, Ibra>hi>m.,  dkk., al-Mu’jam al-Wasit}, CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah.  
Zakariya>, Abu> al-Husain Ah{mad ibn Fa>ris ibn. Maqa>yi>s al-Lugah. Bairu>t: Ittiha>d al-Kita>b al-‘Arab, 1423 H./2002 M.
IDLO dan Serambi Indonesia, Bagaimana Berlaku Adil Terhadap Anak Dalam Pembagian Harta Warisan, www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp, (15 April 2010) 
Multiply, Adil terhadap Anak dalam Pemberian,  www.efriassumbayak.multiply.com  (15 April 2010). 


[1]Lihat: Muh{ammad Mus{t}afa>. Az{ami, Studies in Hadith Methodology and Literature, terj. Meth Kieraha, Memahami Ilmu Hadis, Telaah Metodologi & Literatur Hadis (Cet. III; Jakarta: Lentera, 2003 M.), h. 86-92.       
[2]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Cet. I; Renaisan: Jakarta,  2005 M.), h. 177.  
[3]IDLO dan Serambi Indonesia, Bagaimana Berlaku Adil Terhadap Anak Dalam Pembagian Harta Warisan, www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp, (15 April 2010) 
[4]Multiply, Adil terhadap Anak dalam Pemberian,  www.efriassumbayak.multiply.com  (15 April 2010). 
[5]Ibid.  
[6]Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz. II (Cet. III; Beiru>t: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 914.  
[7]AJ. Weinsink, Alihbahasa Muhamamd Fu’ad Abd al-Ba>qi<,al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Hadi>s\ al-Nabawi>, Juz. IV  (London: Maktabah Brill, 1936 H. ), h. 153.
[8]Abu> al-Husain Muslim ibn al-Hajja>j al-Naisabu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Juz. III (Beiru>t: Da>r Ihya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 1241.
[9]Abu> Da>ud Sulaima>n ibn al-Asy’as\ al-Sajasta>ni al-Azdi>, Sunan Abi> Da>ud, Juz. II (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 315.
[10]Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ahmad ibn Syu’aib al-Nasa>i, Sunan al-Nasa>i, Juz. VI (Cet. V; Beiru>t: Da>r al-Ma’rifah, 1420 H.), h. 573.
[11]Abu> ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal, Juz. IV (Cet. I; Beiru>t: ‘A<lam al-Kutub, 1419 H./1998 M.), h. 275.
[12]Ibid., Juz. IV, h. 275 dan 278.
[13]Ibid., Juz. IV, h. 278.
[14]Ibid. Juz. IV, h. 375.
[15]Ibid. h. 275, 278 dan 375.
[16]Abu> al-Fad}l Ahmad ibn Hajar al-Asqala>ni, Tahzi>b al-Tahzi>b, Juz X (Cet. I; Da>r al-Fikr: Beirut, 1404 H/1984 M), h. 399-400.
[17]Abu> al-Hajja>j Yu>suf ibn al-Zaki< al-Mizzi<, Tahz\i<b al-Kama>l, Juz. XXIX  (Cet. I; Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.), h. 411.
[18]Lihat:  Ah{mad ibn ‘Ali ibn H{ajar al-‘Asqala>ni, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, Juz. X (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1404 H./1984 M. ), h. 399., Juz. V, h. 57. Dan Juz. XI h. 103. Abu> al-H{ajja>j Yu>suf ibn al-Zaki> al-Mizzi>, Tahz\i>b al-Kama>l, Juz. XXIX (Cet. I; Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H./1980 M.), h. 411., Juz.VI h. 5`17. dan  Juz. V h. 324.  
[19]Al-Muta>bi’  adalah dua sanad hadis yang sama perawinya pada tingkat sahabat akan tetapi berbeda perawi pada perawi setelahnya. Lihat: ‘Abd al-Haq ibn Saif al-Di>n ibn Sa’adullah al-Bukha>ri al-Dahlawi>, Muqaddimah fi> Us}u>l al-H{adi>s\ (Cet. II; Beiru>t: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miah, 1406 H./1986 M.), h. 56-57.
[20]Muhammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>, al-Silsilah al-S}ah}i>h}ah, Juz. X  (al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.), h. 183.
[21]Abu> ‘I<sa> Muhammad ibn ‘I<sa> al-Turmuz\i>, al-Ja>mi’ al-S}ah{i>h} Sunan al-Turmuz\i>, Juz. III (Beiru>t: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 649. 
[22]Hal itu dapat dilihat dari beberapa teks yang berbeda satu sama lain, padahal makna dan esensinya  tetap sama.  
[23]Ibnu Hamzah al-Husaini> al-Hanafi> al-DImasyqi>, al-Baya>n wa al-Ta’ri>f fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>s\ al-Syari>f, terj. HM. Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya hadits-hadits Rasul, Juz. I (Cet. IX; Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 32.
[24]Abu> al-Fad}l Ah{mad ibn ‘Ali ibn H{ajar  al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>, Juz. V (Beiru>t: Da>r al-Ma’rifah, 1379 H.), h. 212.  
[25]Ibid.  Juz. V, h. 212.
[26]Ibid. Juz. V, h. 212.
[27]Abu> al-Husain Ah{mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, Maqa>yi>s al-Lugah, Juz. III (Beiru>t: Ittiha>d al-Kita>b al-‘Arab, 1423 H./2002 M.), h. 172.
[28]Ibra>hi>m  Mus}t}afa>, dkk., al-Mu’jam al-Wasit}, CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah,, Juz. I, h. 1032.  
[29]Abu> al-H{usain Ah{mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, op.cit., Juz. IV, h. 287.     
[30]Abu> Hila>l al-‘Askari>, Mu’jam al-Furu>q al-Lugawiyah, (Cet. I; t.t., Muassasah al-Nasyr al-Isla>mi>, 2000 M.), h. 153.
[31]Abu> al-Husain Ah{mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, op.cit., Juz. VI, h. 99.
[32]Muhammad ‘Abd al-Rau>f al-Mana>wi>, al-Tauqi>f ‘ala> Muhimma>t al-Ta’a>ri>f, (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1410 H.), h. 730.
[33]‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Jurja>ni>, al-Ta’ri>fa>t (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Kita.b al-‘Arabi>, 1405 H.), h. 90.  
[34]Abu> al-Husain Ah{mad ibn Fa>ris ibn Zakariya>, op.cit., Juz. IV, h. 200.
[35]‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Jurja>ni. op.cit., h. 191.
[36]Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-Hadi>s\ ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}uh (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1409 H./1989 M.),  h. 231.
[37]Muhammad ibn Mukrim ibn Manz\u>r al-Afri>qi>, Lisa>n al-‘Arab, Juz. III (Beiru>t: Da>r S}a>dir, t.th.), h. 467.
[38]Untuk lebih jelasnya, lihat: Abu> Hila>l al-‘Askari>, Mu’jam al-Furu>q al-Lugawiyah (Cet. I; t.t.: Muassasah al-Nasyr al-Isla>mi>, 2000 M>), h. 12, 271 dan 365. 
[39]Pemahaman aplikasi merupakan salah satu bagian pemahaman karena pada dasarnya dalil dapat dipahami dari dua aspek yaitu fahm al-nas{ (pemahaman teks) dan fahm al-tat}bi>q (pemahaman aplikatif). Pemahaman aplikatif mengikuti kondisi dan hal-hal yang mengitari peristiwa. Oleh karena itu, Basyir karena melihat bahwa tidak ada benda yang sama atau tidak barang lain yang dapat diberikan kepada anak-anaknya, maka dia kemudian mengambil kembali pemberiannya.   
[40]Syams al-Di>n Muh{ammad ibn ‘Abd al-Rah{ma>n al-Sakha>wi>, Fath} al-Magi>s\, Juz. I (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 1403 H.), h. 262.
[41]Abu> H{a>tim Muh{ammad ibn H{ibba>n ibn Ah{mad al-Tami>mi>, S{ah{i>h{ Ibn H{ibba>n, Juz. XI (Cet. II; Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1414 H./1993 M.), h. 503. Hadis ini dianggap s{ah{i>h{ oleh Ibn H{ibba>n dan al-Alba>ni>.
[42]Abu> Bakr Ah{mad ibn al-H{usain ibn ‘Ali ibn Mu>sa> al-Baihaqi>, Sunan al-Baihaqi> al-Kubra>, Juz. VI (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Da>r al-Ba>z, 1414 H./1994 M.), h. 177.  Hadis tersebut dianggap d{a’i>f oleh al-Alba>ni>. Lihat: Muh{}ammad Na>s{ir al-Di>n al-Alba>ni>, al-Silsilah al-D{a’i>fah, Juz.I (al-Riya>d{: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.), h. 514. Akan tetapi dianggap h{asan oleh Subul al-Sala>m. Juz. IV, h. 355.       
[43]Abu> ‘Abdillah Ma>lik ibn Anas al-As}bah{i>, Muwat}t}a’ Ma>lik, Juz. II (Mesir: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi, t.th.), h. 752. Hadis tersebut dianggap s{ah{i>h{ oleh Imam Ma>lik.
[44]Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, op.cit., Juz. III, h. 1006.
[45]Abu> al-Fad}l Ah{mad ibn ‘Ali ibn H{ajar  al-‘Asqala>ni>, op.cit., Juz. V, h. 214. 
[46]Ah{mad ibn al-H{usain ibn ‘Ali ibn Mu>sa> al-Baihaqi>, op.cit., Juz. VI, h. 177.
[47]Abu> al-‘Ala> Muh{ammad ‘Abd al-Rah{ma>n ibn ‘Abd al-Rah{i>m al-Muba>rakfu>ri>, Tuh{fah al-Ah{waz\i>, Juz. IV (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, t.th.), h. 507-508.
[48]Abu> al-Wali>d Sulaima>n ibn Khalaf al-Ba>ji> al-Andlu>si>,  al-Muntaqa> Syarh{ al-Muwat}t}a’, (CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah), Juz. V, h. 651. 
[49]Al-Sayyid al-Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Juz. III (Beiru>t: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, t.th.), h. 544.
[50]Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Juz. V (Cet. IV; Suriah: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1418 H./1997 M.), h. 651-652.
[51]Ibid. , Juz. V, h. 652.
[52]Abu> Zakariya> Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawi>, Raud{ah al-T{a>libi>n, Juz. I (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 1421 H./2000 M.) h. 376.
[53]Ibnu al-Bat}t}a>l, Syarh Ibn Bat}t}a>l (CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah), Juz. XIII, h. 102.

0 komentar:

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates