Oleh: Abdul Gaffar, S.Th.I & Akram Ali, SE, S.Th.I
PENDAHULUAN
Oleh karena itu, perlu melakukan kajian filsafat Islam dari segala aspek sehingga dapat menemukan apakah filsafat Islam itu jiplakan ataukah tidak?. Karena selama ini, para peneliti melupakan begitu banyak objek yang terkait dengan sejarah Islam., terutama yang terkait dengan tradisi intelektual-filosofis di belahan timur Islam. Ironisnya lagi, kebanyakan kajian itu lebih mengarah pada penonjolan tokoh-tokoh dan pokok-pokok pemikirannya dalam kaitannya dengan tradisi Yunani dan Neo-Platonis, bukannya sebagai suatu system yang utuh dan autentik. Penonjolan semacam ini semakin menenggelamkan ciri khas Islam sebagai sebuah sejarah filsafat yang utuh.
Pada awal Islam atau tepatnya pada masa Rasulullah dan sahabatnya, kata filsafat belum pernah terdengar diucapkan oleh umat Islam, namun tidak menutup kemungkinan praktek dan penggunaannya sudah sering dilakukan oleh umat Islam. Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, akhirnya pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (w. 193 H/809 M), didirikanlah sebuah lembaga, tempat pertemuan para ilmuan yang disebut Bait al-Hikmah, belum lagi akademi ini berkembang, sang Khalifah keburu wafat lalu digantikan oleh putranya Al-Amin, (w. 198 H/813 M) akan tetapi sang pengganti tidak melakukan usaha-usaha untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dirintis oleh ayahnya. Setelah al-Amin wafat, barulah muncul pengganti yang sangat senang terhadap pendidikan yaitu al-Makmun (w.228 H) saudara al-Amin, maka perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat termasuk Bait al-Hikmah yang telah berkembang menjadi tempat mempertemukan ilmu-ilmu Islam dengan ilmu-ilmu asing khususnya dari ilmu-ilmu daratan Yunani.
Dari tempat inilah muncul istilah filsafat dan mulailah umat Islam mempelajarinya serta memunculkan tokoh-tokoh yang mencoba menggabungkan anatara agama dan filsafat dengan berusaha menelaah agama dengan pendekatan filsafat, atau lebih tepatnya, meng-agamakan filsafat agar berjalan sesuai dengan garis-garis besar Islam. Tokoh-tokoh yang muncul sejak saat itu adalah al-Kindi, al-faraby termasuk juga ar-Razy.
Al-Razy yang punya nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria bin Yahya al-Razy mulai suka pada kedokteran dan filsafat karena pengaruh sang guru, Ali bin Rabban al-Thabary yang memang ahli dalam kedua bidang tersebut. Al-Razy dikenal aktif menulis buku-buku bahkan menurut Dr. Mahmud al-Najmabadi[1] jumlah buku yang dikarang oleh al-Razy sebanyak 250 judul namun sebagian besar buku-buku itu tidak diketahui lagi seakan hilang ditelan bumi, bahkan pemikiran-pemikirannya lebih banyak dijumpai dalam buku-buku karya orang lain.
Al-Razy dalam filsafatnya lebih banyak menguraikan masalah lima keabadian yaitu Tuhan, ruh semesta, materi pertama, ruang mutlak dan waktu mutlak. Di samping itu, al-Razy juga banyak menjelaskan permasalahan yang terkait dengan materi, waktu dan ruang, ruh dan dunia. Beberapa buku yang membahas tentang Pemikiran al-Razy menjelaskan beberapa pemikirannya yang sangat kontroversial antara lain kritikannya terhadap al-Qur’an, Allah tidak perlu mengutus para nabi (menolak wahyu dan kenabian). Namun hingga saat ini, belum ada bukti autentik yang dapat mengungkap apa dan bagaimana sebenarnya pemikiran al-Razy tentang wahyu dan kenabian. Kekontroversialan pemikiran al-Razy harus diakui dan dianggap sebagai tambahan khazanah keilmuan Islam yang tak akan pernah kurang apatah lagi habis. Al-Razy adalah salah seorang intelktual muslim yang telah banyak mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan filsafat.
Sebelum takluk di tangan pasukan Islam, Iskandariyah sudah dikenal sebagai lumbung filsafat dan sains menggeser kedudukan Athena yaitu tepatnya pada saat dikuasai oleh Ptolemy I[2]. Filsafat Yunani masuk ke daerah ini saat ditaklukkan oleh Alexander Yang Agung pada abad keempat sebelum masehi bahkan Alexander berhasil mempersatukan berbagai elemen bangsa baik dari India, Persia maupun Yunani.
Dalam rekaman sejarah, cara terjadinya kontak antara umat Islam dan filsafat Yunani melalui daerah Suriah, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Namun sebelum Islam sampai ke daerah tersebut, di sana sudah terjadi kontak peradaban negara-negara besar dengan berbagai cara antara lain adalah orang-orang Yunani diangkat menjadi pembesar dan pembantu penguasa, mendorong perkawinan campuran antarsuku, mendirikan pemukiman yang dihuni bersama oleh orang Yunani dan Persia.
Penaklukan Iskandariyah pada tahun 641[3] memperluas kekuasaan bangsa arab atas timur tengah khususnya daerah Persia, Suriah dan Mesir yang telah menjadi taman perpaduan peradaban antara peradaban Yunani, India dan Persia. Saat itulah orang-orang arab bersentuhan langsung dengan peradaban Yunani, India dan Persia. Umat Islam langsung menemukan multi peradaban di sana dan mulai terbawa oleh arus pemikiran-pemikiran yang sedang berkembang pesat, termasuk filsafat dari daratan Yunani.
Hasil utama dari pergelutan dan percampuran itu adalah meriapnya pemikiran-pemikiran filsafat Yunani, India dan Persia ke dalam bangsa arab. Terlebih lagi para khalifah pertama Bani Abbas, Dinasti Barmaki, Bani Syakir dan Bani Musa[4] mendukung dan mempasilitasi perkembangan pemikiran dan kebudayaan berbagai bangsa. Bukan hanya Iskandariyah yang menjadi pusat studi ilmu, bahkan Suriah juga ikut mengembangkan dan menggalakkan studi-studi ilmu itu dengan cara menerjemahkan berbagai referensi kuno ke dalam bahasa arab agar menjadi konsumsi kalangan arab. Namun karena kemahiran para filosof Yunani dan pengikutnya untuk mencoba memadukan aliran-aliran besar dalam pemikiran Yunani klasik dalam wacana keagamaan dan mistis timur sehingga para intektual muslim lebih memusatkan perhatiannya kepada peradaban Yunani ketimbang peradaban India dan Persia bahkan peradaban Romawi juga relatif tertutup bagi kalangan muslim.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa India tidak memberikan masukan yang berarti bagi dunia Islam. Diantara konsep India yang mengilhami para theolog Islam adalah mengenai konsep ruang, waktu dan benda-benda fisik yang lain seperti yang diungkapkan oleh Al-Biruni (w.1048) dalam bukunya Tahqiq ma li al-Hind min Maqulah. Tidak hanya terbatas pada theology saja bahkan ilmu hitung, astronomi, kedokteran dan angka-angka adalah bagian dari kebudayaan India. Begitu juga Persia telah berhasil memperkaya khazanah keilmuan Islam dari berbagai aspek seperti ilmu bumi, logika, filsafat, astronomi, ilmu ukur, kedokteran, dan aspek sastra serta ajaran-ajaran moral seperti yang terdapat dalam buku yang berjudul Kalilah wa Dimnah yang telah diterjemahkan oleh al-Muqaffa’ (w. 759). Sedangkan Romawi ikut andil dalam persoalan-persoalan astronomi, kedokteran dan sedikit tentang ajaran-ajaran keagamaan.
Suatu kebenaran yang tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh peradaban Yunani, Persia dan India ke dalam dunia Islam memang ada. Akan tetapi pengaruh terbesar yang diterima dunia Islam adalah filsafat Yunani. Hal itu disebabkan karena kontak umat Islam dengan kebudayaan Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam. unsur-unsur kebudayaan Yunani masuk ke dalam ilmu-ilmu Islam khususnya dalam bentuk dan isi seperti pengaruh logika, pola dan susunannya mengikuti system Yunani dan ini terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas[5].
Perlu ditegaskan bahwa pengaruh bukan berarti menjiplak karena betapa banyak para filosof baik muslim atau non-muslim terpengaruh oleh pemikiran sebelumnya semisal Filosof Belanda, Burch De Spinoza (1632-1677) dikenal pengikut bapak filosof modern asal Prancis, Rene Deccartes (1596-1650) akan tetapi filsafatnya sangat berbeda dengan sang guru, begitu juga Ibnu Sina (w.1037) yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Penaklukan yang dilakukan umat Islam diberbagai belahan timur tengah sudah pasti mengantarkan pada kondisi yang terbuka, terpengaruh dan terkontaminasi, karena bagaimanapun juga Islam bukan hanya sebuah agama akan tetapi Islam juga adalah peradaban.
Filsafat Islam memang tidak muncul dari kalangan pemikir muslim saja melainkan juga muncul dari berbagai bangsa, suku dan ras yang telah berhasil disatukan oleh umat Islam. Sebab hubungan filsafat dan agama sangat erat kaitannya, bahkan keduanya bersaudara[6]. Filsafatlah yang telah berhasil menyatukan antara akal dan syariat, antara makhluk dengan sang Pencipta, antara Yang Esa dengan yang berbilang, dll.
Untuk membuktikan bahwa filsafat Islam benar-benar ada dan bukan sekedar jiplakan atau pengalihan bahasa saja, berikut akan disebutkan karakter dan ciri filsafat Islam:
Ada beberapa ulama atau tokoh yang juga memiliki nama Al-Razy, antara lain Abu Hatim al-Razy, Fakhruddin al-Razy dan Najmuddin al-Razy meskipun bidang kehaliannya berbeda. Oleh karena itu untuk membedakan al-Razy sang filosof ini dengan al-Razy-al-Razy yang lain, perlu menyebutkan nama kunyah (gelar)nya yaitu Abu Bakar.
Al-Razy adalah salah satu generasi filosof yang meneruskan pemikiran filsafat Islam yang telah dibangun oleh al-Kindi pada generasi sebelumnya. Al-Razy pada masa mudanya pernah mencoba beberapa pekerjaan seperti tukang intan, penukar uang dan pemain kecapi/rebab. Sebenarnya al-Razy sangat senang mendalami ilmu kimia dan melakukan beberapa eksperimen yang menyebabkan penglihatan matanya mulai menurun dan pada akhirnya ia mengalami buta total. Disamping itu juga mendalami ilmu kedokteran kepada seorang ahli filsafat dan kedokteran yang bernama Ali bin Rabban al-Thabari.[9] Berkat bimbingan sang guru, ia mulai ahli di bidang kedokteran dan mulai berminat memperlajari filsafat. Profesi barunya ini sebenarnya bertentangan dengan keinginan ayahnya yang menginginkannya sebagai seorang saudagar. Meskipun gagal menjadikan al-Razy sebagai pedagang, ayahnya tidak pernah menghalangi keinginannya untuk mendalami ilmu apa saja.
Berkat reputasinya di bidang kedokteran, al-Razy pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan gubernur Al-Mansur bin Ishaq. Pada masa pemerintahan Khalifah al-Muktafi, al-Razy pindah ke kota Baghdad akan tetapi sesampanya di sana, tugas telah menantinya, sang Khalifah menunjuk dia untuk menjadi kepala rumah sakit Baghdad. Setelah tugasnya selesai, dia kemudian berpindah dari satu kota ke kota lain dan akhirnya pada tanggal 5 sya’ban 313 H/ 27 oktober 925 M, al-Razy menghadap sang Pencipta dalam usia 60 tahun.
Perlu juga diketahui bahwa latar belakang lingkungan al-Razy yang berdomisili di Iran juga ikut berpengaruh terhadap bakat keintelektualannya karena pada saat itu Iran memang dikenal sebagai kota peradaban terutama peradaban Yunani dan Persia sendiri sehingga disiplin ilmu yang dikuasainya sangat banyak meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran dan filsafat. Meskipun banyak disiplin ilmu yang dikuasainya, al-Razy lebih dikenal sebagai seorang ilmuan di bidang kimia dan kedokteran dari pada seorang filosof.
Mengenai karya-karya yang pernah ditulisnya, Prof. Sirajuddin Zar[10] mengatakan bahwa Al-Razy sendiri dalam sebuah autobiografinya pernah mengungkapkan sekitar 200 buah judul buku yang pernah ditulisnya dalam berbagai ilmu pengetahuan. Dalam bidang kimia misalnya, karyanya yang paling terkenal adalah Kitab al-Asrar yang telah diterjemahkan oleh Geard fo Cremon. Sedangkan dalam bidang medis, karyanya yang paling monumental adalah al-Hawi yang telah menjadi ensiklopedia ilmu kedokteran bahkan buku ini menjadi pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa sampai abad 17 M. begitu juga bukunya yang berjudul Kitab al-Judar wa al-Hasbah telah menjadi buku bacaan wajib ilmu kedokteran barat. Untuk bidang filsafat, karyanya yang paling dikenal al-Sirah al-Falsafah. Dari sekian banyak karya yang telah dibukukan oleh al-Razy, karyanya yang ada saat ini sangat terbatas bahkan lebih banyak yang hilang daripada yang ada sehingga sangat sulit untuk mengungkap al-Razy dan pemikirannya.
Alasan yang dikemukakan al-Razy menolak wahyu dan kenabian mengarah pada tiga hal yaitu:
Sementara buku yang menjelaskan tentang penolakan al-Razy terhadap wahyu dan kenabian adalah Makhariq al-Anbiya’ yang sering dibaca oleh kaum Zindik[12]. Sekali lagi bahwa tidak cukup bukti untuk membenarkan tuduhan terhadap al-Razy meskipun dalam filsafatnya harus diakui bahwa ia memberi keparcayaan yang sangat besar dan dominan terhadap akal.
Pemikiran al-Razy dalam filsafat bertumpu pada lima keabadian yaitu Tuhan, jiwa universal, materi pertama, ruang absolut dan zaman absolut. Dari lima keabadian ini, ada dua yang hidup dan aktif yaitu Tuhan dan jiwa, sementara materi pertama hidup tapi pasif. Sedangkan ruang absolut dan waktu absolut tidak hidup dan tidak bergerak. Untuk lebih jelasnya, berikut akan dijelaskan satu persatu:
Untuk memperkuat pendapatnya, al-Razy mengajukan dua argumen. Pertama, adanya penciptaan mengharuskan adanya pencipta. Materi yang diciptakan oleh pencipta yang kekal tentu akan kekal pula karena secara logika creatio ex nihilio tidak dapat diterima. Kedua, jika Tuhan mampu menciptakan sesuatu dari ketiadaan maka seharusnya segala sesuatu tercipta dari ketiadaan, akan tetapi kenyataannya, segala sesuatu di dunia ini dihasilkan oleh susunan bukan penciptaan. Jika sesuatu yang terbuat dari susunan itu ada di dunia ini berarti alam ini dibuat dari sesuatu yang lain di luar dunia dan itulah yang disebut materi pertama.
Dengan teori lima keabadian ini dan drama keterpikatan jiwa pada materi sehingga pencipta menciptakan alam fisik sebagai wahana pemuasan jiwa, al-Razy sepertinya hendak memadukan platonisme dengan ajaran-ajaran Harran dan Mani’. Kesimpulan al-Razy bahwa alam tercipta dalam waktu yang berasal dari materi azali/kekal. Al-Razy juga menginginkan reinkarnasi jiwa lewat penghayatan filosofis sebagai syarat pembebasan mutlaknya dari kungkungan materi. Alat untuk membebaskan jiwa adalah filsafat yang telah dibentangkan oleh orang-orang Yunani dan diIslamkan oleh para filosof muslim.
Akhirnya al-Razy mengatakan bahwa orang yang menjalani kehidupannya dengan kesalehan tidak akan takut mati. Namun sekiranya mereka dicekam keraguan dan kebenaran agama, mereka wajib mencari keyakinan yang pasti mereka temukan bila berusaha secukupnya. Jika pada akhirnya mereka gagal menemukan keyakinan itu maka Tuhan Yang Mahatinggi tentu akan memaklumi dan memaafkan kesalahan mereka. Sebab, tidak ada pertanggungjawaban atas hal-hal yang berada di luar batas kemampuan manusia[15].
PENUTUP
Referensi
A. Mustofa. Filsafat Islam. Jakarta. CV Pustaka Setia: 2004.
Fakhry, Majid . Sejarah Filsafat Islam. Bandung. Mizan: 2001.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
‘Uwaidhah, Muhammad, Kamil. Al-Falsafah al-Islamiyah. Bairut Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: 1995
Hamdi, Zainul, Ahmad. Tujuh Filosof Muslim. Yogyakara. LKiS Pelangi Aksara: 2004.
[1] A. Mustofa. Filsafat Islam. Jakarta. CV Pustaka Setia: 2004. hal 117 [2] Ptolemy I adalah bapak keluarga penguasa yang memerintah mesir dari tahun 323-30 SM.
[3] Majid Fakhry. Sejarah Filsafat Islam. Bandung. Mizan: 2001. hal. 7
[4] Ibid. hal. 10
[5] Sirajuddin Zar. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. hal. 31
[6] Kamil Muhammad ‘Uwaidhah. Al-Falsafah al-Islamiyah. Bairut Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: 1995 h. 18
[7] Mustofa. Op.Cit. hal. 16
[8] Sirajuddin Zar. Op.Cit.hal. 113
[9] Menurut an-Nadhim, al-Razy sebenarnya berguru kepada al-Balkhi, seorang filosof dan ahli ilmu-ilmu kuno. Menurutnya, Al-Razy tidak pernah belajar kepada Ali al-Thabari karena al-Razy lahir 10 tahun setelah wafatnya al-Thabari.
[10] Sirajuddin Zar Op.Cit hal. 116
[11] Ahmad Zainul Hamdi. Tujuh Filosof Muslim. Yogyakara. LKiS Pelangi Aksara: 2004. hal. 60
[12] Sirajuddin Zar. Op.Cit. hal. 123
[13] Mustofa. Op.Cit. hal. 120
[14] Mustofa. Op.Cit. hal. 123
[15] Majid Fakhry. Op.Cit. hal. 36
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Oleh karena itu, perlu melakukan kajian filsafat Islam dari segala aspek sehingga dapat menemukan apakah filsafat Islam itu jiplakan ataukah tidak?. Karena selama ini, para peneliti melupakan begitu banyak objek yang terkait dengan sejarah Islam., terutama yang terkait dengan tradisi intelektual-filosofis di belahan timur Islam. Ironisnya lagi, kebanyakan kajian itu lebih mengarah pada penonjolan tokoh-tokoh dan pokok-pokok pemikirannya dalam kaitannya dengan tradisi Yunani dan Neo-Platonis, bukannya sebagai suatu system yang utuh dan autentik. Penonjolan semacam ini semakin menenggelamkan ciri khas Islam sebagai sebuah sejarah filsafat yang utuh.
Pada awal Islam atau tepatnya pada masa Rasulullah dan sahabatnya, kata filsafat belum pernah terdengar diucapkan oleh umat Islam, namun tidak menutup kemungkinan praktek dan penggunaannya sudah sering dilakukan oleh umat Islam. Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, akhirnya pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (w. 193 H/809 M), didirikanlah sebuah lembaga, tempat pertemuan para ilmuan yang disebut Bait al-Hikmah, belum lagi akademi ini berkembang, sang Khalifah keburu wafat lalu digantikan oleh putranya Al-Amin, (w. 198 H/813 M) akan tetapi sang pengganti tidak melakukan usaha-usaha untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dirintis oleh ayahnya. Setelah al-Amin wafat, barulah muncul pengganti yang sangat senang terhadap pendidikan yaitu al-Makmun (w.228 H) saudara al-Amin, maka perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat termasuk Bait al-Hikmah yang telah berkembang menjadi tempat mempertemukan ilmu-ilmu Islam dengan ilmu-ilmu asing khususnya dari ilmu-ilmu daratan Yunani.
Dari tempat inilah muncul istilah filsafat dan mulailah umat Islam mempelajarinya serta memunculkan tokoh-tokoh yang mencoba menggabungkan anatara agama dan filsafat dengan berusaha menelaah agama dengan pendekatan filsafat, atau lebih tepatnya, meng-agamakan filsafat agar berjalan sesuai dengan garis-garis besar Islam. Tokoh-tokoh yang muncul sejak saat itu adalah al-Kindi, al-faraby termasuk juga ar-Razy.
Al-Razy yang punya nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria bin Yahya al-Razy mulai suka pada kedokteran dan filsafat karena pengaruh sang guru, Ali bin Rabban al-Thabary yang memang ahli dalam kedua bidang tersebut. Al-Razy dikenal aktif menulis buku-buku bahkan menurut Dr. Mahmud al-Najmabadi[1] jumlah buku yang dikarang oleh al-Razy sebanyak 250 judul namun sebagian besar buku-buku itu tidak diketahui lagi seakan hilang ditelan bumi, bahkan pemikiran-pemikirannya lebih banyak dijumpai dalam buku-buku karya orang lain.
Al-Razy dalam filsafatnya lebih banyak menguraikan masalah lima keabadian yaitu Tuhan, ruh semesta, materi pertama, ruang mutlak dan waktu mutlak. Di samping itu, al-Razy juga banyak menjelaskan permasalahan yang terkait dengan materi, waktu dan ruang, ruh dan dunia. Beberapa buku yang membahas tentang Pemikiran al-Razy menjelaskan beberapa pemikirannya yang sangat kontroversial antara lain kritikannya terhadap al-Qur’an, Allah tidak perlu mengutus para nabi (menolak wahyu dan kenabian). Namun hingga saat ini, belum ada bukti autentik yang dapat mengungkap apa dan bagaimana sebenarnya pemikiran al-Razy tentang wahyu dan kenabian. Kekontroversialan pemikiran al-Razy harus diakui dan dianggap sebagai tambahan khazanah keilmuan Islam yang tak akan pernah kurang apatah lagi habis. Al-Razy adalah salah seorang intelktual muslim yang telah banyak mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan filsafat.
- Rumusan Masalah
- Apa dan bagaimana pengertian filasafat Islam itu dan bagaimana sejarah perkembangannya?
- Siapa sebenarnya sosok al-Razy itu?
- Bagaimana pemikiran al-Razy tentang filsafat khususnya yang terkait dengan lima keabadian?
- Pengertian Filsafat dan Sejarah Perkembangannya
Sebelum takluk di tangan pasukan Islam, Iskandariyah sudah dikenal sebagai lumbung filsafat dan sains menggeser kedudukan Athena yaitu tepatnya pada saat dikuasai oleh Ptolemy I[2]. Filsafat Yunani masuk ke daerah ini saat ditaklukkan oleh Alexander Yang Agung pada abad keempat sebelum masehi bahkan Alexander berhasil mempersatukan berbagai elemen bangsa baik dari India, Persia maupun Yunani.
Dalam rekaman sejarah, cara terjadinya kontak antara umat Islam dan filsafat Yunani melalui daerah Suriah, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Namun sebelum Islam sampai ke daerah tersebut, di sana sudah terjadi kontak peradaban negara-negara besar dengan berbagai cara antara lain adalah orang-orang Yunani diangkat menjadi pembesar dan pembantu penguasa, mendorong perkawinan campuran antarsuku, mendirikan pemukiman yang dihuni bersama oleh orang Yunani dan Persia.
Penaklukan Iskandariyah pada tahun 641[3] memperluas kekuasaan bangsa arab atas timur tengah khususnya daerah Persia, Suriah dan Mesir yang telah menjadi taman perpaduan peradaban antara peradaban Yunani, India dan Persia. Saat itulah orang-orang arab bersentuhan langsung dengan peradaban Yunani, India dan Persia. Umat Islam langsung menemukan multi peradaban di sana dan mulai terbawa oleh arus pemikiran-pemikiran yang sedang berkembang pesat, termasuk filsafat dari daratan Yunani.
Hasil utama dari pergelutan dan percampuran itu adalah meriapnya pemikiran-pemikiran filsafat Yunani, India dan Persia ke dalam bangsa arab. Terlebih lagi para khalifah pertama Bani Abbas, Dinasti Barmaki, Bani Syakir dan Bani Musa[4] mendukung dan mempasilitasi perkembangan pemikiran dan kebudayaan berbagai bangsa. Bukan hanya Iskandariyah yang menjadi pusat studi ilmu, bahkan Suriah juga ikut mengembangkan dan menggalakkan studi-studi ilmu itu dengan cara menerjemahkan berbagai referensi kuno ke dalam bahasa arab agar menjadi konsumsi kalangan arab. Namun karena kemahiran para filosof Yunani dan pengikutnya untuk mencoba memadukan aliran-aliran besar dalam pemikiran Yunani klasik dalam wacana keagamaan dan mistis timur sehingga para intektual muslim lebih memusatkan perhatiannya kepada peradaban Yunani ketimbang peradaban India dan Persia bahkan peradaban Romawi juga relatif tertutup bagi kalangan muslim.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa India tidak memberikan masukan yang berarti bagi dunia Islam. Diantara konsep India yang mengilhami para theolog Islam adalah mengenai konsep ruang, waktu dan benda-benda fisik yang lain seperti yang diungkapkan oleh Al-Biruni (w.1048) dalam bukunya Tahqiq ma li al-Hind min Maqulah. Tidak hanya terbatas pada theology saja bahkan ilmu hitung, astronomi, kedokteran dan angka-angka adalah bagian dari kebudayaan India. Begitu juga Persia telah berhasil memperkaya khazanah keilmuan Islam dari berbagai aspek seperti ilmu bumi, logika, filsafat, astronomi, ilmu ukur, kedokteran, dan aspek sastra serta ajaran-ajaran moral seperti yang terdapat dalam buku yang berjudul Kalilah wa Dimnah yang telah diterjemahkan oleh al-Muqaffa’ (w. 759). Sedangkan Romawi ikut andil dalam persoalan-persoalan astronomi, kedokteran dan sedikit tentang ajaran-ajaran keagamaan.
Suatu kebenaran yang tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh peradaban Yunani, Persia dan India ke dalam dunia Islam memang ada. Akan tetapi pengaruh terbesar yang diterima dunia Islam adalah filsafat Yunani. Hal itu disebabkan karena kontak umat Islam dengan kebudayaan Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam. unsur-unsur kebudayaan Yunani masuk ke dalam ilmu-ilmu Islam khususnya dalam bentuk dan isi seperti pengaruh logika, pola dan susunannya mengikuti system Yunani dan ini terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas[5].
Perlu ditegaskan bahwa pengaruh bukan berarti menjiplak karena betapa banyak para filosof baik muslim atau non-muslim terpengaruh oleh pemikiran sebelumnya semisal Filosof Belanda, Burch De Spinoza (1632-1677) dikenal pengikut bapak filosof modern asal Prancis, Rene Deccartes (1596-1650) akan tetapi filsafatnya sangat berbeda dengan sang guru, begitu juga Ibnu Sina (w.1037) yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Penaklukan yang dilakukan umat Islam diberbagai belahan timur tengah sudah pasti mengantarkan pada kondisi yang terbuka, terpengaruh dan terkontaminasi, karena bagaimanapun juga Islam bukan hanya sebuah agama akan tetapi Islam juga adalah peradaban.
Filsafat Islam memang tidak muncul dari kalangan pemikir muslim saja melainkan juga muncul dari berbagai bangsa, suku dan ras yang telah berhasil disatukan oleh umat Islam. Sebab hubungan filsafat dan agama sangat erat kaitannya, bahkan keduanya bersaudara[6]. Filsafatlah yang telah berhasil menyatukan antara akal dan syariat, antara makhluk dengan sang Pencipta, antara Yang Esa dengan yang berbilang, dll.
Untuk membuktikan bahwa filsafat Islam benar-benar ada dan bukan sekedar jiplakan atau pengalihan bahasa saja, berikut akan disebutkan karakter dan ciri filsafat Islam:
- filsafat Islam membahas yang sudah pernah di bahas oleh filsafat Yunani namun lebih dikembangkan dan dicocokkan dengan ajaran-ajaran Islam.
- Filsafat Islam membahas masalah kenabian yang belum pernah dibahas oleh filsafat Yunani.
- Filsafat Islam memadukan antara akidah dan hikmah, wahyu dan akal. Karena para filosof melakukan perenungan, penyucian jiwa, dan praktik keagamaan.
- Filsafat Islam menggunakan sumber pokok Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Sebab dalam al-Qur’an banyak kata atau lafal yang mendorong umat Islam memobilisasi akalnya dalam memikirkan ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa dan pada akhirnya nanti akan bermuara pada filsafat seperti kata عقل، نظر، تدبر، تفكر، فقه، تذكر، فهم، اولوا الألباب، اولوا الأبصار، اولوا العلم، اولوا النهي. .
- al-Farabi berkata bahwa filsafat Islam yang searti dengan al-hikmah adalah kesungguhan dalam mencari hikmah yaitu ma’rifat terhadap keabadian.[7]
- Ibnu Sina berpendapat bahwa filsafat Islam adalah mencari kesempurnaan diri baik secara teori maupun praktek menurut kadar kemampuan manusia.
- Muhammad Abduh mengatakan bahwa hikmah yang menjadi dasar filsafat Islam adalah ilmu yang berhubungan dengan rahasia-rahasia yang kokoh dan bermanfaat dalam menggerakkan amal pekerjaan.
- Ibrahim Madkur berkomentar bahwa filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman yang meliputi Allah, alam semesta, wahyu, akal, agama dan filsafat.
- Dan masih ada beberapa definisi yang tidak mungkin disebutkan semua dalam makalah ini.
- Biografi Al-Razy
Ada beberapa ulama atau tokoh yang juga memiliki nama Al-Razy, antara lain Abu Hatim al-Razy, Fakhruddin al-Razy dan Najmuddin al-Razy meskipun bidang kehaliannya berbeda. Oleh karena itu untuk membedakan al-Razy sang filosof ini dengan al-Razy-al-Razy yang lain, perlu menyebutkan nama kunyah (gelar)nya yaitu Abu Bakar.
Al-Razy adalah salah satu generasi filosof yang meneruskan pemikiran filsafat Islam yang telah dibangun oleh al-Kindi pada generasi sebelumnya. Al-Razy pada masa mudanya pernah mencoba beberapa pekerjaan seperti tukang intan, penukar uang dan pemain kecapi/rebab. Sebenarnya al-Razy sangat senang mendalami ilmu kimia dan melakukan beberapa eksperimen yang menyebabkan penglihatan matanya mulai menurun dan pada akhirnya ia mengalami buta total. Disamping itu juga mendalami ilmu kedokteran kepada seorang ahli filsafat dan kedokteran yang bernama Ali bin Rabban al-Thabari.[9] Berkat bimbingan sang guru, ia mulai ahli di bidang kedokteran dan mulai berminat memperlajari filsafat. Profesi barunya ini sebenarnya bertentangan dengan keinginan ayahnya yang menginginkannya sebagai seorang saudagar. Meskipun gagal menjadikan al-Razy sebagai pedagang, ayahnya tidak pernah menghalangi keinginannya untuk mendalami ilmu apa saja.
Berkat reputasinya di bidang kedokteran, al-Razy pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan gubernur Al-Mansur bin Ishaq. Pada masa pemerintahan Khalifah al-Muktafi, al-Razy pindah ke kota Baghdad akan tetapi sesampanya di sana, tugas telah menantinya, sang Khalifah menunjuk dia untuk menjadi kepala rumah sakit Baghdad. Setelah tugasnya selesai, dia kemudian berpindah dari satu kota ke kota lain dan akhirnya pada tanggal 5 sya’ban 313 H/ 27 oktober 925 M, al-Razy menghadap sang Pencipta dalam usia 60 tahun.
Perlu juga diketahui bahwa latar belakang lingkungan al-Razy yang berdomisili di Iran juga ikut berpengaruh terhadap bakat keintelektualannya karena pada saat itu Iran memang dikenal sebagai kota peradaban terutama peradaban Yunani dan Persia sendiri sehingga disiplin ilmu yang dikuasainya sangat banyak meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran dan filsafat. Meskipun banyak disiplin ilmu yang dikuasainya, al-Razy lebih dikenal sebagai seorang ilmuan di bidang kimia dan kedokteran dari pada seorang filosof.
Mengenai karya-karya yang pernah ditulisnya, Prof. Sirajuddin Zar[10] mengatakan bahwa Al-Razy sendiri dalam sebuah autobiografinya pernah mengungkapkan sekitar 200 buah judul buku yang pernah ditulisnya dalam berbagai ilmu pengetahuan. Dalam bidang kimia misalnya, karyanya yang paling terkenal adalah Kitab al-Asrar yang telah diterjemahkan oleh Geard fo Cremon. Sedangkan dalam bidang medis, karyanya yang paling monumental adalah al-Hawi yang telah menjadi ensiklopedia ilmu kedokteran bahkan buku ini menjadi pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa sampai abad 17 M. begitu juga bukunya yang berjudul Kitab al-Judar wa al-Hasbah telah menjadi buku bacaan wajib ilmu kedokteran barat. Untuk bidang filsafat, karyanya yang paling dikenal al-Sirah al-Falsafah. Dari sekian banyak karya yang telah dibukukan oleh al-Razy, karyanya yang ada saat ini sangat terbatas bahkan lebih banyak yang hilang daripada yang ada sehingga sangat sulit untuk mengungkap al-Razy dan pemikirannya.
- Filsafat Al-Razy
Alasan yang dikemukakan al-Razy menolak wahyu dan kenabian mengarah pada tiga hal yaitu:
- Dengan akal manusia sudah dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, mengatur dirinya sendiri dan dapat mengetahui Tuhan.
- Manusia satu dengan yang lain sama kedudukannya tanpa ada keistimewaan untuk menjadi pengatur orang lain, meskipun dalam perjalanannya ada yang mampu menggunakan akalnya dengan baik.
- Ajaran para nabi saling bertentangan dan pemeluknya sudah saling menyalahkan.
Sementara buku yang menjelaskan tentang penolakan al-Razy terhadap wahyu dan kenabian adalah Makhariq al-Anbiya’ yang sering dibaca oleh kaum Zindik[12]. Sekali lagi bahwa tidak cukup bukti untuk membenarkan tuduhan terhadap al-Razy meskipun dalam filsafatnya harus diakui bahwa ia memberi keparcayaan yang sangat besar dan dominan terhadap akal.
Pemikiran al-Razy dalam filsafat bertumpu pada lima keabadian yaitu Tuhan, jiwa universal, materi pertama, ruang absolut dan zaman absolut. Dari lima keabadian ini, ada dua yang hidup dan aktif yaitu Tuhan dan jiwa, sementara materi pertama hidup tapi pasif. Sedangkan ruang absolut dan waktu absolut tidak hidup dan tidak bergerak. Untuk lebih jelasnya, berikut akan dijelaskan satu persatu:
- Tuhan
- Jiwa
- Materi Pertama
Untuk memperkuat pendapatnya, al-Razy mengajukan dua argumen. Pertama, adanya penciptaan mengharuskan adanya pencipta. Materi yang diciptakan oleh pencipta yang kekal tentu akan kekal pula karena secara logika creatio ex nihilio tidak dapat diterima. Kedua, jika Tuhan mampu menciptakan sesuatu dari ketiadaan maka seharusnya segala sesuatu tercipta dari ketiadaan, akan tetapi kenyataannya, segala sesuatu di dunia ini dihasilkan oleh susunan bukan penciptaan. Jika sesuatu yang terbuat dari susunan itu ada di dunia ini berarti alam ini dibuat dari sesuatu yang lain di luar dunia dan itulah yang disebut materi pertama.
- Ruang
- Waktu
Dengan teori lima keabadian ini dan drama keterpikatan jiwa pada materi sehingga pencipta menciptakan alam fisik sebagai wahana pemuasan jiwa, al-Razy sepertinya hendak memadukan platonisme dengan ajaran-ajaran Harran dan Mani’. Kesimpulan al-Razy bahwa alam tercipta dalam waktu yang berasal dari materi azali/kekal. Al-Razy juga menginginkan reinkarnasi jiwa lewat penghayatan filosofis sebagai syarat pembebasan mutlaknya dari kungkungan materi. Alat untuk membebaskan jiwa adalah filsafat yang telah dibentangkan oleh orang-orang Yunani dan diIslamkan oleh para filosof muslim.
Akhirnya al-Razy mengatakan bahwa orang yang menjalani kehidupannya dengan kesalehan tidak akan takut mati. Namun sekiranya mereka dicekam keraguan dan kebenaran agama, mereka wajib mencari keyakinan yang pasti mereka temukan bila berusaha secukupnya. Jika pada akhirnya mereka gagal menemukan keyakinan itu maka Tuhan Yang Mahatinggi tentu akan memaklumi dan memaafkan kesalahan mereka. Sebab, tidak ada pertanggungjawaban atas hal-hal yang berada di luar batas kemampuan manusia[15].
PENUTUP
- Kesimpulan
- Filsafat Islam mengalami pengaruh yang besar dari filsafat Yunani akan tetapi bukan berarti filsafat Islam jiplakan atau pengalihan bahasa.
- Islam bersentuhan dengan filsafat Yunani sejak Iskandariyah takluk di tangan pasukan Islam.
- Pembahasan filsafat Islam lebih luas dan lebih kompleks karena membahas hal-hal yang belum dibahas oleh filsafat Yunani seperti kenabian dan wahyu.
- al-Razy adalah seorang filosof muslim rasionalis sejati dan konsep al-Razy tentang wahyu dan kenabian masih kontroversial hingga saat ini dan masih membutuhkan pembuktian kebenarannya.
- Filsafat al-Razy yang paling populer adalah lima kebadian yaitu Tuhan, ruh, materi pertama, ruang absolut, waktu absolut.
- Saran dan Kritik
- Untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang al-Razy, sebaiknya para pemerhati filsafat khususnya filsafat Islam untuk membaca langsung karya-karyanya.
- Perbedaan pendapat dengan orang lain harus disikapi dengan bijak bukannya menuduh orang lain sesat atau menyyimpang.
- 3. kesalahan dalam makalah ini masih terdapat di sana-sini, harap luruskan sendiri.
Referensi
A. Mustofa. Filsafat Islam. Jakarta. CV Pustaka Setia: 2004.
Fakhry, Majid . Sejarah Filsafat Islam. Bandung. Mizan: 2001.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
‘Uwaidhah, Muhammad, Kamil. Al-Falsafah al-Islamiyah. Bairut Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: 1995
Hamdi, Zainul, Ahmad. Tujuh Filosof Muslim. Yogyakara. LKiS Pelangi Aksara: 2004.
[1] A. Mustofa. Filsafat Islam. Jakarta. CV Pustaka Setia: 2004. hal 117 [2] Ptolemy I adalah bapak keluarga penguasa yang memerintah mesir dari tahun 323-30 SM.
[3] Majid Fakhry. Sejarah Filsafat Islam. Bandung. Mizan: 2001. hal. 7
[4] Ibid. hal. 10
[5] Sirajuddin Zar. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. hal. 31
[6] Kamil Muhammad ‘Uwaidhah. Al-Falsafah al-Islamiyah. Bairut Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: 1995 h. 18
[7] Mustofa. Op.Cit. hal. 16
[8] Sirajuddin Zar. Op.Cit.hal. 113
[9] Menurut an-Nadhim, al-Razy sebenarnya berguru kepada al-Balkhi, seorang filosof dan ahli ilmu-ilmu kuno. Menurutnya, Al-Razy tidak pernah belajar kepada Ali al-Thabari karena al-Razy lahir 10 tahun setelah wafatnya al-Thabari.
[10] Sirajuddin Zar Op.Cit hal. 116
[11] Ahmad Zainul Hamdi. Tujuh Filosof Muslim. Yogyakara. LKiS Pelangi Aksara: 2004. hal. 60
[12] Sirajuddin Zar. Op.Cit. hal. 123
[13] Mustofa. Op.Cit. hal. 120
[14] Mustofa. Op.Cit. hal. 123
[15] Majid Fakhry. Op.Cit. hal. 36
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....