PENDAHULUAN
Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.: “Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang Islam).” HR. Muslim dari Abi Hurairah.
Kaum Sufi bukanlah sekelompok aliran bid’ah yang ajarannya masih saja diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi Saw.: “Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta.” HR. Bukhari & Muslim.
Bagi sufi , khususnya yang belakangan , mereka memiliki metode tersendiri
tentang agama ini dan ibadah yang menyelisihi metode para salaf (umat Islam
terdahulu : Nabi Shallalahu alaihi wa sallam, shahabat , tabiin , tabiit
tabiin dan yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya ikutan). Mereka jauh
dari Al Qur’an dan As-Sunnah. diantra mereka ada yang membangun agama dan
peribadatan mereka berdasarkan rumus-rumus dan istilah-istilah yang made in
mereka.
PEMBAHASAN
Latihan ini amat penting, karena meditasi meminta Anda untuk menghentikan berbagai perasaan dan keinginan. Anda harus menghilangkannya untuk menyiapkan diri, bahkan pada tahap awal meditasi. Diri Anda dipenuhi dengan berbagai hal yang tidak manfaat dan ini harus disucikan, juga belajar untuk mengendalikan berbagai pikiran dan perasaan sebelum pelaksanaan meditasi Sufi Anda berhasil. Meditasi Sufi adalah sebuah ‘koneksi atau hubungan’, dan fisik Anda harus mampu membawa ‘koneksi’ ini. Jika melakukan meditasi namun Anda masih di bawah kontrol nafsu-nafsu, maka meditasi Anda tidak akan berhasil. Mungkin Anda mengira sedang bermeditasi, namun sebenarnya hanya menipu diri sendiri. Anda tidak akan berhasil dalam disiplin ini tanpa mulai dengan penyucian diri dan belajar bagaimana menghentikan gangguan-gangguan tersebut. Dalam meditasi Sufi, Anda harus melepaskan segala keinginan-keinginan selain cinta pada dia yang sedang menjadi tujuan meditasi Anda. Lenyapkan segala nafsu keinginan kecuali cinta pada yang dituju. Jika tersisa keinginan lain, maka meditasi Anda tak membuahkan apapun. Mungkin Anda menyatakan kalau Anda mempraktekkan meditasi namun hal itu tidak berdasar. Laksana sebuah sungai mengalir ke samudra, setelah sampai maka merekapun menyatu, maka demikian pula halnya dengan jalan meditasi Sufi yang mengarahkan para pencari pada kefanaan di dalam apa yang sedang dia cari. Bagaimanapun, para pencari harus mempertahankan pikiran tunggal untuk mencapai tujuan akhirnya. Hanya jika dia berkemauan dan mampu meninggalkan segala hal dan kembali ke dalam dirinya dengan perhatian tak terbagi, maka dia mampu menjelajahi jalur ini sampai akhir. Jika berhasil, baru dia akan menemukan apa yang di carinya.[1]
Sebagaimana yang telah kami paparkan pada pendahuluan bahwa Bagi sufi , khususnya yang belakangan , mereka memiliki metode TERSENDIRI
tentang agama ini dan ibadah yang menyelisihi metode para salaf (umat Islam
terdahulu : Nabi Shallalahu alaihi wa sallam, shahabat , tabiin , tabiit
tabiin dan yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya ikutan). Mereka jauh
dari Al Qur’an dan As-Sunnah. dinatra mereka ada yang membangun agama dan
peribadatan mereka berdasarkan rumus-rumus dan istilah-istilah yang made ini mereka. Adapun ringkasnya sebagi berikut:
1. Mereka beribadah kepada Allah HANYA sebatas RASA MAHABBAH (cinta) saja.
Mereka meremehkan segi lainnya , seperti KHAUF (takut) dan Roja’ (harapan), sebagaimana sebagian mereka yang berkata : “Saya tidak beribadah kepada Allah untuk mengharapkan syurga-Nya dan takut kepada neraka-Nya” Memang tidak diragukan lagi bahwa ibadah harus dibangun diatas dasar cinta (MAHABBAH) pada Allah , akan tetapi ibadah bukan hanya sebatas hal itu saja, seperti yang mereka kira, bahkan ibadah itu memiliki segi-segi dan jenis SELAIN mahabbah, seperti KHAUF (rasa takut pada Allah), AL KHUDHU’ (rasa rendah dihadapan Allah) dan lain-lain. Ibadah itu sebagimana yang
dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taiymiyah :”Ibadah itu adalah sebuah
nama yang didalamnya terkunpul perkara-perkara yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya , apakah bentuk ucapan, amalan yang dhahir atau yang bathin
(AL Ubudiyah :7). Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qoyyim :”Beribadah kepada Allah adalah dengan rasa mahabbah yang paling tinggi kepada-Nya. Bersamaan dengan itu
yang beribadah harus merasa DZULL (merasa hina dihadapan Allah) , dan
keduanya adalah 2 kutub. Diatas keduanyalah poros ibadah itu beredar. Terus beredar hingga 2 kutub itu benar-benar tegak”.[2]
Thoriqul Shufiyah (Jalan Sufistik) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mencapai hakekat pengetahuan melalui pembersihan nafsu dan hati. Jalan Sufistik tidak bisa ditemui di sekolah atau universitas. Begitu pula, Sufistik tidak menekankan pembelajaran teori-teori, postulat, atau aksioma seperti yang dilakukan pelajar di sekolah atau madrasah. Sebagai gantinya, Sufistik menekankan perilaku yang baik di kehidupan. Manusia yang telah berhasil menjalani Thoriqul Shufiyah disebut Sufi. Kita bisa menemui Bimbingan Jalan Sufistik melalui kelompok Thoriqoh dan sejenisnya. Al-Ghazali menyebut ilmu-ilmu dalam Jalan Sufistik melalui sebutan “Ilmu Mukasyafah” dan “Ilmu Tasawwuf”. Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, beliau menyebutnya dengan istilah “Tazkiyat An-nafs”. Menurut jalan sufistik, ukuran pengetahuan yang reliable dan valid adalah pengetahuan yang berasal dari hati yang bersih. Karena itu, pengetahuan lebih berasal dari intuisi dan perasaan yang mencerminkan subyektivitas sufi daripada pengetahuan rasional dan empiris. Intuisi hadir secara tiba-tiba ke dalam hati, kemudian, memecahkan masalah-masalah. Seperti seseorang yang tiba-tiba mendapatkan Mercedez Tiger untuk mengantarnya ke Istana Negara daripada harus memilih Bus Kota.
Sedangkan, Tazkiyat An-nafs merupakan cara bagaimana seseorang membersihkan jiwa dan hati. Beliau menganalogikan bahwa hati manusia seperti cermin. Jika cermin itu bersih maka dia bisa menerima bayangan gambar secara bagus. Sebaliknya, jika cermin itu kotor maka dia tidak bisa menerima gambar secara bagus dan rinci. Cermin yang kotor seperti hijab yang menutupi gambar yang diterima cermin. Manusia hanya bisa membersihkan cermin itu melalui peningkatan perilaku baik dan mengurangi prilaku buruk. Contoh dari perilaku buruk/jahat, misalnya: “marah”, “iri dan dengki”, mengumbar nafsu seks, dan sejenisnya. Sedangkan contoh dari perilaku baik misalnya: ikhlas, sabar, dzikir, dan sejenisnya.
Ketahuilah bahwa ilmu yang ada dalam hati terkadang diperoleh melalui metode belajar dan pengajuan argumentasi, metode ini ditempuh para ilmuwan. Dan terkadang melalui metode mukasyafah (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian), metode ini ditempuh oleh kaum sufi. Metode kaum sufi sendiri ada dua cara :
Pertama, melalui bisikan dalam hati. Hal ini disisyaratkan dalam sabda Nabi saw,”Sesungguhnya Ruh al-Qudus (Jibril as) telah membisikkan kedalam hatiku,’Cintailah siapa saja yang engkau inginkan kerena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Kerjakanlah apa yang engkau inginkan kerena sesungguhnya engkau akan diberi balasan setimpal atas perkerjaan itu. Dan hiduplah sesukamu karena sesungguhnya engkau akan mati” (Ibnu Al-Jauzi, al-‘Ilal al-Mutanahiyah 2/403).
Kedua, melalui ilham yang baik, yaitu denan cara disingkapkan kepadanya hakekat segala sesuatu dan diperlihatkan kepada malaikat yang ditugaskan untuk mengurus segala sesuatu, yang darinya engkau mendapatkan manfaat. Hati itu laksana cermin jernih yang memancarkan sinar terang, maka ketahuilah bahwa hakekat segala sesuatu telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Jadi walaupun penghalang (hijab) yang ada begitu tinggi, namun karena posisi cermin sejajar dengan Lauh al-Mahfudz, maka hakekat segala ilmu tetap dapat tersingkap.
Terangkatnya hijab kadang terjadi pada sat tidur dan kadang pada saat terjaga, suatu hal yang biasa terjadi pada kamum sufi, dan terkadang pula bersamaan dengan tiupan semilir angin yang terjadi tanpa campur tangan dan persiapan dari pihak manusia. Ketika ini terjadi, dari balik tabir kegaiban, rahasia-rahasia ilmu memancarkan sinar berkilau ke dalam hati.
Puncak dari penyikapan tabir ini terjadi dengan datangnya kematian kerena pada saat itu semua hijab dibuka. Hal ini diisyaratkan oleh sabda Rasulullah saw,”Manusia itu dalam keadaan tidur, ketika mereka mati barulah mereka terbangun.” (HR. Al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa; al-Qari, al-Asrar al-Marfu’ah (386); al-Albani, adh-Dha’ifah (102).
Metode penyucian jiwa yang dilakukan oleh kaum sufi hampir sama dengan kondisi manusia yang akan menjemput kematian. Oleh karena itu, mereka tidak menyibukkan diri dengan kegiatan mencari ilmu, tapi lebih menyibukkan diri dengan menyucikan hati dan memutuskan hubungan dengan makhluk lain supaya hal ini menjadi sebab dapat menghadap Allah swt secara total, lalu menyerahkan segala urusan-Nya, dimana Ia Maha Mengetahui segala cahaya dan bisikan halus yang tersingkap dalam hati mereka. Inilah metode yang dialami para nabi dan wali. Mereka mendapatkan berbagai macam ilmu dan hakekat melalui proses belajar, namun mereka mendapatkan secara langsung melalui sumbernya sehingga tidak lagi perlu belajar dan berusaha.
- A. Latar Belakang
Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.: “Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang Islam).” HR. Muslim dari Abi Hurairah.
Kaum Sufi bukanlah sekelompok aliran bid’ah yang ajarannya masih saja diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi Saw.: “Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta.” HR. Bukhari & Muslim.
Bagi sufi , khususnya yang belakangan , mereka memiliki metode tersendiri
tentang agama ini dan ibadah yang menyelisihi metode para salaf (umat Islam
terdahulu : Nabi Shallalahu alaihi wa sallam, shahabat , tabiin , tabiit
tabiin dan yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya ikutan). Mereka jauh
dari Al Qur’an dan As-Sunnah. diantra mereka ada yang membangun agama dan
peribadatan mereka berdasarkan rumus-rumus dan istilah-istilah yang made in
mereka.
PEMBAHASAN
- A. Metode Sufistik
Latihan ini amat penting, karena meditasi meminta Anda untuk menghentikan berbagai perasaan dan keinginan. Anda harus menghilangkannya untuk menyiapkan diri, bahkan pada tahap awal meditasi. Diri Anda dipenuhi dengan berbagai hal yang tidak manfaat dan ini harus disucikan, juga belajar untuk mengendalikan berbagai pikiran dan perasaan sebelum pelaksanaan meditasi Sufi Anda berhasil. Meditasi Sufi adalah sebuah ‘koneksi atau hubungan’, dan fisik Anda harus mampu membawa ‘koneksi’ ini. Jika melakukan meditasi namun Anda masih di bawah kontrol nafsu-nafsu, maka meditasi Anda tidak akan berhasil. Mungkin Anda mengira sedang bermeditasi, namun sebenarnya hanya menipu diri sendiri. Anda tidak akan berhasil dalam disiplin ini tanpa mulai dengan penyucian diri dan belajar bagaimana menghentikan gangguan-gangguan tersebut. Dalam meditasi Sufi, Anda harus melepaskan segala keinginan-keinginan selain cinta pada dia yang sedang menjadi tujuan meditasi Anda. Lenyapkan segala nafsu keinginan kecuali cinta pada yang dituju. Jika tersisa keinginan lain, maka meditasi Anda tak membuahkan apapun. Mungkin Anda menyatakan kalau Anda mempraktekkan meditasi namun hal itu tidak berdasar. Laksana sebuah sungai mengalir ke samudra, setelah sampai maka merekapun menyatu, maka demikian pula halnya dengan jalan meditasi Sufi yang mengarahkan para pencari pada kefanaan di dalam apa yang sedang dia cari. Bagaimanapun, para pencari harus mempertahankan pikiran tunggal untuk mencapai tujuan akhirnya. Hanya jika dia berkemauan dan mampu meninggalkan segala hal dan kembali ke dalam dirinya dengan perhatian tak terbagi, maka dia mampu menjelajahi jalur ini sampai akhir. Jika berhasil, baru dia akan menemukan apa yang di carinya.[1]
Sebagaimana yang telah kami paparkan pada pendahuluan bahwa Bagi sufi , khususnya yang belakangan , mereka memiliki metode TERSENDIRI
tentang agama ini dan ibadah yang menyelisihi metode para salaf (umat Islam
terdahulu : Nabi Shallalahu alaihi wa sallam, shahabat , tabiin , tabiit
tabiin dan yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya ikutan). Mereka jauh
dari Al Qur’an dan As-Sunnah. dinatra mereka ada yang membangun agama dan
peribadatan mereka berdasarkan rumus-rumus dan istilah-istilah yang made ini mereka. Adapun ringkasnya sebagi berikut:
1. Mereka beribadah kepada Allah HANYA sebatas RASA MAHABBAH (cinta) saja.
Mereka meremehkan segi lainnya , seperti KHAUF (takut) dan Roja’ (harapan), sebagaimana sebagian mereka yang berkata : “Saya tidak beribadah kepada Allah untuk mengharapkan syurga-Nya dan takut kepada neraka-Nya” Memang tidak diragukan lagi bahwa ibadah harus dibangun diatas dasar cinta (MAHABBAH) pada Allah , akan tetapi ibadah bukan hanya sebatas hal itu saja, seperti yang mereka kira, bahkan ibadah itu memiliki segi-segi dan jenis SELAIN mahabbah, seperti KHAUF (rasa takut pada Allah), AL KHUDHU’ (rasa rendah dihadapan Allah) dan lain-lain. Ibadah itu sebagimana yang
dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taiymiyah :”Ibadah itu adalah sebuah
nama yang didalamnya terkunpul perkara-perkara yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya , apakah bentuk ucapan, amalan yang dhahir atau yang bathin
(AL Ubudiyah :7). Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qoyyim :”Beribadah kepada Allah adalah dengan rasa mahabbah yang paling tinggi kepada-Nya. Bersamaan dengan itu
yang beribadah harus merasa DZULL (merasa hina dihadapan Allah) , dan
keduanya adalah 2 kutub. Diatas keduanyalah poros ibadah itu beredar. Terus beredar hingga 2 kutub itu benar-benar tegak”.[2]
Thoriqul Shufiyah (Jalan Sufistik) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mencapai hakekat pengetahuan melalui pembersihan nafsu dan hati. Jalan Sufistik tidak bisa ditemui di sekolah atau universitas. Begitu pula, Sufistik tidak menekankan pembelajaran teori-teori, postulat, atau aksioma seperti yang dilakukan pelajar di sekolah atau madrasah. Sebagai gantinya, Sufistik menekankan perilaku yang baik di kehidupan. Manusia yang telah berhasil menjalani Thoriqul Shufiyah disebut Sufi. Kita bisa menemui Bimbingan Jalan Sufistik melalui kelompok Thoriqoh dan sejenisnya. Al-Ghazali menyebut ilmu-ilmu dalam Jalan Sufistik melalui sebutan “Ilmu Mukasyafah” dan “Ilmu Tasawwuf”. Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, beliau menyebutnya dengan istilah “Tazkiyat An-nafs”. Menurut jalan sufistik, ukuran pengetahuan yang reliable dan valid adalah pengetahuan yang berasal dari hati yang bersih. Karena itu, pengetahuan lebih berasal dari intuisi dan perasaan yang mencerminkan subyektivitas sufi daripada pengetahuan rasional dan empiris. Intuisi hadir secara tiba-tiba ke dalam hati, kemudian, memecahkan masalah-masalah. Seperti seseorang yang tiba-tiba mendapatkan Mercedez Tiger untuk mengantarnya ke Istana Negara daripada harus memilih Bus Kota.
Sedangkan, Tazkiyat An-nafs merupakan cara bagaimana seseorang membersihkan jiwa dan hati. Beliau menganalogikan bahwa hati manusia seperti cermin. Jika cermin itu bersih maka dia bisa menerima bayangan gambar secara bagus. Sebaliknya, jika cermin itu kotor maka dia tidak bisa menerima gambar secara bagus dan rinci. Cermin yang kotor seperti hijab yang menutupi gambar yang diterima cermin. Manusia hanya bisa membersihkan cermin itu melalui peningkatan perilaku baik dan mengurangi prilaku buruk. Contoh dari perilaku buruk/jahat, misalnya: “marah”, “iri dan dengki”, mengumbar nafsu seks, dan sejenisnya. Sedangkan contoh dari perilaku baik misalnya: ikhlas, sabar, dzikir, dan sejenisnya.
Ketahuilah bahwa ilmu yang ada dalam hati terkadang diperoleh melalui metode belajar dan pengajuan argumentasi, metode ini ditempuh para ilmuwan. Dan terkadang melalui metode mukasyafah (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian), metode ini ditempuh oleh kaum sufi. Metode kaum sufi sendiri ada dua cara :
Pertama, melalui bisikan dalam hati. Hal ini disisyaratkan dalam sabda Nabi saw,”Sesungguhnya Ruh al-Qudus (Jibril as) telah membisikkan kedalam hatiku,’Cintailah siapa saja yang engkau inginkan kerena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Kerjakanlah apa yang engkau inginkan kerena sesungguhnya engkau akan diberi balasan setimpal atas perkerjaan itu. Dan hiduplah sesukamu karena sesungguhnya engkau akan mati” (Ibnu Al-Jauzi, al-‘Ilal al-Mutanahiyah 2/403).
Kedua, melalui ilham yang baik, yaitu denan cara disingkapkan kepadanya hakekat segala sesuatu dan diperlihatkan kepada malaikat yang ditugaskan untuk mengurus segala sesuatu, yang darinya engkau mendapatkan manfaat. Hati itu laksana cermin jernih yang memancarkan sinar terang, maka ketahuilah bahwa hakekat segala sesuatu telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Jadi walaupun penghalang (hijab) yang ada begitu tinggi, namun karena posisi cermin sejajar dengan Lauh al-Mahfudz, maka hakekat segala ilmu tetap dapat tersingkap.
Terangkatnya hijab kadang terjadi pada sat tidur dan kadang pada saat terjaga, suatu hal yang biasa terjadi pada kamum sufi, dan terkadang pula bersamaan dengan tiupan semilir angin yang terjadi tanpa campur tangan dan persiapan dari pihak manusia. Ketika ini terjadi, dari balik tabir kegaiban, rahasia-rahasia ilmu memancarkan sinar berkilau ke dalam hati.
Puncak dari penyikapan tabir ini terjadi dengan datangnya kematian kerena pada saat itu semua hijab dibuka. Hal ini diisyaratkan oleh sabda Rasulullah saw,”Manusia itu dalam keadaan tidur, ketika mereka mati barulah mereka terbangun.” (HR. Al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa; al-Qari, al-Asrar al-Marfu’ah (386); al-Albani, adh-Dha’ifah (102).
Metode penyucian jiwa yang dilakukan oleh kaum sufi hampir sama dengan kondisi manusia yang akan menjemput kematian. Oleh karena itu, mereka tidak menyibukkan diri dengan kegiatan mencari ilmu, tapi lebih menyibukkan diri dengan menyucikan hati dan memutuskan hubungan dengan makhluk lain supaya hal ini menjadi sebab dapat menghadap Allah swt secara total, lalu menyerahkan segala urusan-Nya, dimana Ia Maha Mengetahui segala cahaya dan bisikan halus yang tersingkap dalam hati mereka. Inilah metode yang dialami para nabi dan wali. Mereka mendapatkan berbagai macam ilmu dan hakekat melalui proses belajar, namun mereka mendapatkan secara langsung melalui sumbernya sehingga tidak lagi perlu belajar dan berusaha.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....