(Meneguhkan Metode Penelitian Tafsir sebagai Metode Ilmiah)
Oleh:
Muhammad Zulkarnain Mubhar*
Abstract
To understanding the Qur'anic text it takes knowledge of the methodology to be able to more easily communicate and practice the purposes of divine revelation to the human being. There are many methods of interpretation of the Koran, but all these methods can not fulfill the needs and demands of the times, so we need a new method that is scientific and can answer the challenges of the times and human problems. The method that is methodologically consistent with the scientific research method and is not contrary to the purpose of the Qur'an and prophetic treatise is a method of Maud}u> 'y or thematic method, where this method can be used in all disciplines of science to find the answers Qur 'any of the various problems of life as a whole and scientifically.
Kata Kunci: Metode, Tafsir, Penelitian, al-Qur’an, Maud}u>’y, Ilmiah.
Pendahuluan
Al-Qur'an merupakan asas peradaban (Asa>s al-H{ad}a>rah) dan sumber pengatahuan (Manaba’ al-‘Ulu>m) bagi umat Islam sekaligus sebagai sumber hukum (Mas}dar al-H{ukm) yang paling utama dalam setiap bentuk dan jenis kehidupan umat manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, ia merupakan faktor utama bangkitnya sebuah peradaban yang membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada makhluk ('Iba>d al- 'Iba>d) kepada penghambaan kepada sang Maha kekal lagi maha mengetahui Dia-lah Allah Swt ('Iba>d al-Kha>liq), disamping itu dapat merangsang bangkitnya sebuah peradaban yang memiliki karakteristik hukum dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kesamaan derajat dihadap Allah Swt (al-Musa>wa>h), nilai-nilai toleransi (al-Tasa>muh}) dan keadilan (al-‘Ada>lah) yang dapat menciptakan sikap persaudaraan antar sesama manusia (al-Ukhuwah al-Insa>niyyah) serta penegakan hukum secara adil dan berimbang (tah}qi>q al-ah{ka>m bi al-qis}t}).
Al-Qur'an ditujukan kepada manusia yang diciptakan dengan kesempurnaan akal yang dapat membedakan antara yang hak dan bathil (al-Furqa>n) sebagai rel kehidupan agar tidak tergelincir ke dalam jurang kesesatan. Al-Qur'an ini diwahyukan kepada Rasulullah SAW melalui perantaraan jibril ke dalam hati beliau SAW yang bertujuan agar Rasulullah SAW dapat menghafalkan teks-teks (baca:ayat) Allah, memahami makna, maksud, tujuan, dan petunjuk dari teks-teks tersebut serta mampu mengaplikasikan dan mengejawantahkannya dalam kehidupan pribadi dan sosial. Berdasarkan konteks ini, maka kita dapat mengetahui bahwa sesunggunya teks-teks Allah yang dibawa oleh Jibril kepada Rasulullah SAW merupakan teks yang secara mutlak hanya Allah yang mengetahui makna dan tujuannya. Kemudian disampaikan kepada Rasulullah Saw melalui Jibril secara tekstual serta menjelaskannya kepada beliau makna, maksud, tujuan, dan petunjuk yang terkandung didalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa yang paling mengetahui tafsiran suatu lafal teks dari Al-Qur'an adalah Allah secara mutlak kemudian Jibril karena beliau harus menjelaskannya kepada Rasulullah Saw, lalu kemudian Rasulullah Saw.
Perhatian umat Islam pada abad XV H terhadap al-Qur’an tampak semakin besar. Hal itu tampak dari berbagai gagasan yang dilontarkan oleh para ulama, baik dalam bentuk seruan untuk kembali melakukan telaah ulang terhadap kitab-kitab klasik termasuk diantaranya kitab-kitab tafsir peninggalan para ulama terdahulu yang bertujuan untuk menggali konsep-konsep Qur’a>niyyah bahkan upaya merumuskan metodologi penggalian kandungan al-Qur’an dalam rangka mewujudkan sebuah metodologi tafsir.[1]
Dalam memahami al-Qur'an dibutuhkan pengetahuan terhadap metodologi dan keragaman tipologi penafsiran al-Qur'an, sebab ia merupakan sebuah keniscayaan dalam membumikan maksud-maksud wahyu Ilahi kepada manusia.
Metode tafsir lebih merupakan sebuah kerangka atau kaidah-kaidah yang digunakan dalam melakukan penafsiran dan penggalian terhadap makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an.[2]
Melakukan rekonstruksi rumusan metodologi tafsir al-Qur’an untuk dapat memenuhi kebutuhan umat baik secara ilmiyah maupun amaliyah menjadi sebuah keniscayaan dimana rumasan-rumasan tafsir terdahulu secara metodologis dalam pandangan sementara pakar masih kurang relevan. Misalnya Shaikh Muh{ammad Al-Ghaza>ly mengeluhkan sikap kebanyakan mufassir yang memfokuskan perhatian mereka dalam menafsirkan al-Qur’an hanya pada ranah fiqih semata dengan mengabaikan dimensi lain dari kandungan al-Qur’an seperti masalah-masalah kehidupan sosial-politik, budaya, pendidikan dan aspek-aspek lainnya yang sudah barang tentu baik secara eksplisit maupun inplisit terkandung dalam teks-teks suci al-Qur’an.[3] Al-Farma>wy sendiri mengeluhkan bahwa karya-karya tafsir para ulama terdahulu lebih banyak memfokuskan pembahsannya pada rincian-rincian diskursus ilmu kalam, mazhab-mazhabnya,dan pendapat aliran-alirannya. Sebahagian lain memfokuskan pembahasan pada wilayah fiqhi, balagah dan bahasa, sementara apa yang kita cari dan kita butuhkan dari al-Qur’an sendiri tidak banyak dijelaskan sehingga karya-karya mereka tidak banyak membantu kita untuk sampai pada tujuan diturunkannya yaitu sebagai hudan li al-Na>si wa Shifa>un lima> fi> al-S{udu>r (petunjuk bagi manusia dan penawar bagi hati yang lara).[4]
Terlepas dari sepakat atau tidaknya kita dari keluhan para pakar di atas terhadap metodologi penafsiran masa lalu, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa karya-karya tafsir para ulama terdahulu lebih banyak menampilkan detil-detil sastra dan tata bahasa, diskursus kalam, diskursus fiqhi, diskursus tasawwuf yang dikemas secara analitik, sementara problematika kehidupan masyarakat kian hari kian meningkat dan semakin kompleks, dan kemampuan analisis bahasa dan sastra, diskursus kalam, diskursus fiqhi, dan diskursus tasawwuf dan ketajamannya semakin terbatas dan tumpul.
Kenyataan di atas menuntut adanya metodologi baru dalam memahami kandungan al-Qur’an untuk dapat menjawab segala bentuk problematika dan kebutuhan hidup manusia saat ini, sehingga para pakar memandang pentingnya penafsiran al-Qur’an secara tematik guna mengungkap berbagai sisi-sisi kandungan al-Qur’an untuk dapat memberikan jawaban atas segala problematika kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya.
Penafsiran al-Qur’an secara tematik ini kemudian disebut dengan istilah metode maud}u>’y yang memiliki acuan dan teknik penerapannya sendiri. Metode ini tidak bersifat parsial namun merupakan pelengkap dari seluruh bentuk metode penafsiran terdahulu dengan menggunakan seluruh bentuk pisau analisis guna menemukan jawaban dari berbagai aspek persoalan kehidupan manusia di alam raya ini dari sumber terpecaya yaitu al-Qur’an.
Jika demikian, lalu apa yang dimaksud dengan metode Maud}u>’y?, Apakah metode ini telah melampau lintasan sejarah dalam metode penafsiran al-Qur’an?, Bagaimanakah metode ini dapat diterapkan dalam menafsirkan dan menguak isi kandungan al-Qur’an yang merupakan petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia?, Apakah penafsiran Al-Qur’an dengan metode ini memiliki bentuknya tersendiri?, dan Apa keistimewaan dan kelemahan yang dimiliki oleh metode ini? Seluruh pertanyaan ini akan diuraikan lebih lanjut dalam artikel ini.
Defenisi Metode Tafsir Maud}u>’y
Kalimat “Metode Tafsir Maud}u>’y” terdiri dari tiga rangkaian kata yaitu “Metode”, “Tafsir” dan “Maud}u>’y”, ketiga kata ini akan didefinisikan secara terpisah dari dua sudut pendefenisian yaitu etimologi dan terminology.
Kata “Metode” secara etimologi berasal dari kata Yunani methodos, merupakan sambungan kata meta yang berarti menuju, melalui, atau mengikuti dan kata hodos yang berarti jalan, cara, atau arah. Dengan demikian maka kata methodos berarti: pengkajian, metode ilmiah, uraian ilmiah, yaitu cara bertindak menurut sistem aturan tertentu atau suatu cara dalam mengerjakan sesuatu obyek.[5]
Kata Tafsir secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang seacara morfologis berakar kata dengan huruf-huruf ف, س, dan ر yang bermakna dasar “(بان) keadaan nyata dan jelas”. Dengan penambahan huruf س maka bentuk kata kerjanya adalah فَسَّرَ – يُفَسِّرُ yang bermakna memberikan penjelasan.[6] Al-Zubaydy menyatakan bahwa kata الفَسْرُ artinya الإِباَنة وَكَشْفِ الْمُغَطَّى menyatakan kejelasan sesuatu dan membuka (untuk menjelaskan) sesuatu yang tertutup.[7] Kata tafsir merupakan bentuk mas}dar dari kata kerja tersebut yang secara leksikal bermakna “mengungkapkan masud lafdh yang musykil”[8]. Dari sudut terminologisnya para ulama tidak memiliki kesepadanan pendapat dalam memberika pengertian istilah Tafsir disebabkan karena perbedaan pendekatan yang mereka gunakan.[9] Namun dengan demikian dapat dirumuskan bahwa Tafsir secara terminologis adalah “Ilmu yang didalamnya membahas tentang Al-Qur’an dari sudut dalalahnya yang sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Allah Swt berdasarkan kemampuan manusia dalam memahaminya”.[10]
Berdasarkan defenisi ini dapat diturunkan beberapa hal; 1) Tafsir adalah suatu ilmu yang menjadikan al-Qur’an sebagai obyek dan sumber kajian; 2) Kajian yang menjadi obyek utama dalam tafsir adalah menguak tabir dala>lah (petunjuk) yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an; 3) Tafsir merupakan pengkajian yang dilakukan oleh manusia berdasarkan kemampuannya yang terbatas; 4) Tafsir bertujuan untuk menguak tabir dari maksud, tujuan, dan petunjuk dari perkataan Allah swt yang terdapat di dalam al-Qur’an.
Berdasarkan turunan defenisi terminologis tafsir di atas, maka untuk keperluan oprasional dapat ditarik sebuah istilah bahwa tafsir adalah “Upaya manusia dalam mengkaji atau meneliti kandungan Al-Qur’an”. Dengan defenisi ini, maka tafsir dapat dipandang sebagai metode ilmu, yaitu suatu cara manusia dalam menemukan pengetahuan yang diperlukannya untuk menghadapi lingkungan hidup dan masalahnya.[11]
Kata Maud}u>’y secara etimologi berasal dari kata وَضَعَ yang secara morfologisnya berakar kata dengan huruf-huruf و, ض, dan ع yang bermakna dasar “(الخفض للشيئ وحطه) menurunkan sesuatu dan meletakkannya”.[12] al-Jurja>ny menyatakan bahwa kata وَضَعَ secara leksikal berarti “menjadikan suatu lafadh sesuai dengan pemaknaannya” dan secara terminologis bermakna “Mengkhususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain ketika disebutkan secara mutlak atau diperhatikan”.[13] Kata Maud}u>’y merupakan bentuk isim maf’ul dari kata kerja وَضَعَ yang bermakan: “Judul, tema, topic buatan”.[14]
Berdasarkan defenisi-defenisi leksikal dia atas baik secara etimologi maupun terminologis dari seluruh kata, selanjutnya dirumuskan defenisi terminologis tentang maksud dari “Metode Tafsir Maud}u>’y”. Para pakar memiliki defenisinya masing-masing –sekalipun tidak secara mandiri- tentang maksud dari metode penafsiran ini, diantara defenisi-defenisi tersebut adalah:
Muh}ammada al-Ghaza>ly mengatakan:
“Yang dimaksud dengan dengan tafsi>r maud}u>’y bermuara pada dua bentuk istilah; pertama, menelusuri stiap perkara yang terkandung didalam al-Qur’an kemudian menjelaskannya berdasarkan turunnya wahyu, kedua, melihat secara teliti ayat-ayat dalam satu surat untuk menemukan tema sentral yang terkandung didalmnya, kemudian menarik benang merah yang menghubungkan antar ayat dalam surat tersebut dimana bagian awa sebagai pendahuluan dan bagaian akhir sebagai penegasan atas pendahuluannya.”.[15]
Al-Farma>wy mendefinisikan :
“Tafsir maud}u>’y menurut pengertian istilah para ulama adalah: Menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama, kemudian dilakukan penyusunan berdasarkan asbab nuzulnya – jika memungkinkan – kemudian menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang terkandung didalamnya, ukuran keakuratan hasil ditimbang berdasarkan teori-teori yang akurat pula sehingga tema dapat disajikan secara utuh dan sempurna dengan mengemukakan tujuan-tujuan dengan ungkapan yang mudah dipahami untuk dapat menyelami bagian-bagian terdalam dari ayat-ayat yang dikaji”.[16]
Muh}ammad Ba>qir al-S{adr mendefenisikan:
“Metode tafsir maud}u>’y adalah suatu pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’an dimana seorang Muffasir berusaha mengkaji al-Qur’an dengan menentukan suatu tema dari tema yang ada di dalam al-Qur’an, baik yang berkaitan dengan doctrinal kehidupan, sosiologis atau pun kosmologis”.[17]
Al-Alma>’y mendefenisikan: “Tafsir maud}u>’y adalah suatu usaha dalam mengumpulkan ayat-ayat yang memiki kesamaan topik dan tujuan, dengan cara menyusunnya berdasarkan masa turunnya –jika hal itu mungkin dilakukan – kemudian menjelaskannya dan merincikannya serta menjalaskan hikmah-hikmah ilahiyyah yang terkandung dalam syari’at dan undang-undang-Nya dengan menyelami seluruh sisi topik yang terdapat di dalam al-Qur’an, dan berusaha menguak berbagai sisi yang berhubungan dengan syubhat-syubhat para musuh-musuh Allah Swt”.[18]
Muh}ammad H{usain al-Dhahaby mendefenisikan: “Mengkaji salah satu aspek diantara aspek-aspek yang terkandung didalam al-Qur’an atau mengkaji salah satu diantara tema-tema al-Qur’an yang berhubungan dengan aspek-aspek ilmiyah al-Qur’an”[19]
Sementara itu Must}afa> Muslim dan Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ikk keduanya mengajukan lima defenisi termenilogis[20], dari seluruh defenisi termonologis tersebut, mereka berdua memilih satu defenisi yaitu:
“Suatu ilmu yang mengakaji tentang berbagai aspek topikal ayat-ayat al-Qur’an dari satu surah atau berbagai surah yang sesuai dengan tujuan-tujuan al-Qur’an”.[21]
Quraish Shihab sebagai salah seorang pakar al-Qur’an di Indonesia mengajukan tiga bentuk defenisi terminologis :
Pertama: Metode Tafsir Maud}u>’y adalah penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat dengan berbagai persoalan persoalannya menjadi satu kesatuan yang utuh. Kedua: Metode Tafsir Maud}u>’y adalah penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat dalam al-Qur’an yang dapat diurut sesuai dengan urutannya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut guna menarik petunjuk al-Qur’an tentang masalah yang dibahas secara utuh.[22] Ketiga: metode dimana mufassir berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, kemudian membahas dan menaganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.[23]
Dari seluruh rangkaian defenisi terminologis tafsi>r maud}u>’y di atas dapat ditarunkan beberapa hal; a) Metode maud}u>’y dalam penafsiran al-Qur’an adalah upaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan makna dan tujuan; b) metode ini berupaya untuk menggali solusi-solusi Qur’any dalam berbagai aspek problematika kehidupan baik yang berupa kepercayaan, politik, ekonomi, social, dan budaya; c) metode ini adalah metode yang berupaya menerapkan metode pengkajian ilmiyah dengan menjadikan surah dan atau ayat-ayat al-Qur’an sebagai obyek kajiannya dan memperhadapkannya dengan realitas empirik; d) metode ini berupaya untuk mempermudah dalam menemukan petunjuk-petunjuk Qur’any; e) metode ini menjadikan metode penelitian ilmiah sebagai acuan dalam pengkajiannya.
Dari analisis di atas – setidaknya – metode tafsir maud}u>’y dapat didefenisikan sebagai: “Upaya manusia dalam meneliti dan menelusuri seluruh aspek makna, tujuan dan petunjuk al-Qur’an[24] dalam satu tema[25] guna menjawab berbagai persoalan dengan menjadikan prosedur metode penelitian ilmiah sebagai acuan”[26]
Pernyataan di atas memberikan beberapa batasan tentang metode tafsir maud}u>’y, batasan-batasan tersebut adalah:
Manusia memiliki kemampuan dalam meaksimalkan daya dan upaya dalam mengungkap kandungan al-Qur’an yang sejatinya adalah petunjuk (hudan), penjelas (bayyina>t), pembeda antara yang haq dan batil (al-Furqa>n), dan penawar bagi hati yang lara (shifa>un lima> fi> al-S}udu>r).
Al-Qur’an merupakan kumpulan perkataan Allah Swt yang mengandung berbagai penjelasan dan solusi atas berbagai aspek kehidupan.
Al-Qur’an tersusun secara sistematis dari surah al-Fa>tih}ah} hingga surah al-Na>s yang didalam setiap surah terdapat ayat-ayat yang tersusun dari kalimat-kalimat, dimana antara ayat dengan ayat yang lain memiliki korelasi (muna>sabah)[27] makna, tujuan, dan petunjuk demikian pula halanya dengan surah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam satu surah al-Qur’an mengandung kekayaan topikal, sehingga penggunaan metode maud}u>’y dengan menggunakan prosedur penelitian ilmiah dapat memudahkan para pengkaji kandungan al-Qur’an dalam mengungkap dan menemukan seluruh aspek hida>yah ila>hiyah (petunjuk Allah Swt) yang terkandung (baik secara eksplisit maupun inplisit) didalamnya untuk kemudian disosialisaasikan dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami agar dapat lebih mudah diamalkan secara baik dan benar.
Sejarah Perkembangan Tafsir Maud}u>’y
Quraish Shihab mencatat bahwa penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode maud}u>’y digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmu>d Syalt}u>t, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsi>r al-Qur’an al-Kari>m yang disusun berdasarkan susunan surah. Sementara tafsir maud}u>‘y berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ah}mad Sayyid al-Kummy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mah}mu>d Syalt}u>t, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun 1960-an.[28]
Beberapa hasil karya Tafsir yang disusun dengan metode ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya ‘Abba>s Mahmu>d al-Aqqa>d, al-Insa>n fi> al-Qur’a>n, al-Mar’ah fi> al-Qur’a>n, dan karya Abu> al-A’la> al-Maudu>di, al-Riba> fi> al-Qur’a>n.[29] Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof. Dr. ‘Abd al-Hayy al-Farma>wy, pada tahun 1977, dalam karyanya yang diberi judul al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Maud{u>‘y; Dira>sah Manhajiyah Maud}u>‘iyah.[30]
Penggunaan metode maud}u>’y dalam menafsirkan al-Qur’an sesungguhnya telah ada jauh lebih awal dari apa yang telah dipaparakan oleh Quraish dalam catatannya dimana al-Zarkashy dalam al-Burha>n telah terlebih dahulu memberikan penekanan akan pentingnya penafsiran surah demi surah secara maud}u>’y.[31] Demikian pula halnya dengan al-Suyu>t}y dalam al-Itqa>n.[32] Sementara itu al-Dhahaby menyebutkan beberapa karya para ulama terdahulu yang disusun secara maud}u’y, dianatara karya-karay tersebut adalah:
Abu Bakar al-Jas}s}a>s} menysun karya tafsirnya secara tematik yang diberi judul Ah}ka>m al-Qur’an.
Abu al-H{asan al-Wa>h}idy menysun karya tersendiri tentang Asba>b al-Nuzu>l. demikian halnya dengan al-Suyu>t}y.
Abu Ja’far al-Nah}h}a>s menysun karya dengan judul al-Na>sikh wa al-Mansu>kh fi> al-Qur’an.
Al-Ra>ghib al-As}faha>ny menysun karya yang diberi judul Mufrada>t al-Qur’an.
Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah mengkhususan pembahasan tentang al-Qasam (sumpah) dalam al-Qur’an yang diberi judul al-Tibya>n fi> Aqsa>m al-Qur’a>n.
Dan banyak lagi yang lainnya[33] yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
Perlu diingat kembali bahwa sesungguhnya al-Qur'an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas dan mereka –para sahabat Rasul Saw- memahami teks-teks Al-Qur'an beserta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, adapun pemahaman mereka –para sahabat Nabi Saw- tentang kedalaman kandungan makna al-Qur'an, maka hal tersebut nanti akan tampak bagi mereka setelah mereka melakukan pengkajian, pencarian dan menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dalam beberapa kesempatan.[34]
Dari pertanyaan-pertanyan para sahabat beliau Shalla> Alla>hu ‘alaihi wa Sallam dapat ditemukan bebagai bentuk penafsiran Rasulullah Shalla> Alla>hu ‘alaihi wa Sallam terhadap al-Qur'an dan tentunya hal ini hanya dapat ditemukan melalui penelitan terhadap riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang bagaimana Rasulullah menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an yang wahyukan kepada beliau. Diantara bentuk-bentuk penafsiran Beliau Shalla> Alla>hu ‘alaihi wa Sallam terhadap al-Qur'an:
Penjelasan beliau Shalla> Alla>hu ‘alaihi wa Sallam tentang ayat-ayat yang bersifat mujaml (global) seperti ayat-ayat tentang shalat dimana di dalam al-Qur'an kita akan mendapatkan kata Shalat dalam banyak ayat yang semuanya itu bersifat global (mujmal), maka kemudian Rasulullah menjelaskan tentang waktu-waktunya, jumlah rakaat pada setiap waktu shalat dan tata cara shalat. selain itu Rasulullah juga menjelaskan ayat-ayat yang umum dan yang mutlak seperti ayat tentang zakat kemudian Rasulullah menafsirkannya dan menjelaskan batasan harta yang wajib untuk dikeluarkan zakatnya serta waktu melaksanakan zakat baik fitrah maupun harta, begitu pula dengan ayat tentang haji dimana Rasulullah, menjelaskan waktu haji dan tata caranya (Kaifiyyatuhu). bentuk yang pertama ini Rasulullah tidak hanya sebatas menerangkan dan menjelaskannya secara lisan akan tetapi dibuktikan lewat perbuatan yang kemudian ditutup dengan perkataan dari beliau sebagaimana perkataan beliau setelah mengajarkan waktu, jumlah rakaat dan kaifiyyah (tata cara) shalat, beliau kemudian bersabda : "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melaihat akau shalat" begitu pula ketika beliau telah melaksanakan haji lalu beliau bersabda: "Kerjakanlah oleh kalian manasik (haji) sebagaiman yang aku lakukan". Adapun contoh penafsiran beliau Shallallahu 'alaihi terhadap ayat yang bersaifat umum adalah pertanyaan shabat tentang maksud dari al-Khait} al-Abyad} dengan khait} al-aswad, kemudian Rasulullah menjawab bahwa yang dimaksud dengan al-Abyad} adalah pagi hari dan al-Aswad adalah malam hari.
Penjelasan Rasalullah Shalla> Alla>hu ‘alaihi wa Sallam tentang makna lafaz}-lafaz} al-Qur'an yang kurang dimengerti dan difahami oleh sahabat atau lafaz}-lafaz} yang tidak terdapat dalam bahasa mereka[35], seperti lafaz} al-Magd}u>b yang beliua tafsirkan dengan makna Yahudi, dan lafaz} al-D{a>lli>n dengan makna Nas}a>ra>.
Penjelasan Rasulullah shallallhu 'alaihi wa Sallam tentang hukum-hukum tambahan yang terdapat di dalam al-Qur'an seperti hukum menikahi wanita dan menikahi tantenya, hukum hak waris bagi nenek dan sebagainya.
Penjelasan Rasulullah shallallhu 'alaihi wa salllam tentang ayat-ayat yang mansu>kh (terhapus baik secara lafaz}y, hukum tanpa lafaz} atau hukum dengan lafaz}) dengan menyebutkan ayat yang me-nasakh-nya.
Menjelaskan ayat-ayat yang mebutuhkan penguatan baik dari segi hukum maupun lafadz (ta'ki>d).[36]
Penjelasan Rasulullah terhadap ayat-ayat yang mutasha>bih (samar dari segi makna) dengan menggunakan ayat-ayat yang menjelaskannya baik ayat penjelas itu berada setelah ayat yang dimaksud atau ayat penjelas tersebut disebutkan pada ayat atau surat yang terpisah dengannya.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Shalla> Alla>hu ‘alaihi wa Sallam menafsirkan al-Qur'an dengan menggunakan dua pendekatan yaitu :
Penafsiran ayat dengan ayat yang lain, seperti ketika Rasulullah menafsirkan firman Allah Swt:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Terjemahannya:
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.[37]
Kata : بظلم yang terdapat dalam ayat ini ditafsirkan oleh Rasulullah dengan makna Syirik, penafsiran ini mengacu pada surat Luqman ayat 13. Demikian juga ketika beliau menjelaskan ayat-ayat mansu>kh.
Penafsiran ayat dengan as-Sunnah, seperti penjelasan Rasulullah Saw. tentang shalat, zakat dan haji, dimana beliau menjelaskannya dengan wahyu kedua[38] yaitu as-Sunnah sebagaimana yang dijelaskan oleh Jibril kepada beliau tentang waktu-waktu shalat, tata cara dan jumlah rakaatnya. Demikian juga dengan zakat dan haji.
Terdapat satu permasalahan yang dapat timbul tentang bentuk penafsiran Rasulullah Shalla> Alla>hu ‘alaihi wa Sallam yaitu; apakah Rasulullah menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad beliau atau tidak? Dalam hal ini penulis hanya dapat mengatakan bahwa Rasulullah Shalla> Alla>hu ‘alaihi wa Sallam tidak menafsirkan al-Qur'an dengan menggunkan ijtihad beliau, akan tetapi beliau menafsirkan al-Qur'an berdasarkan apa yang difahamkan oleh Allah kepada beliau melalui perantaraan Jibril Alaihi al-Sala>m. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (5)
Terjemahannya:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.[39]
Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa Rasulullah menafsirkan Al-Qur'an dan menjelaskannya kepada para sahabat dengan mengarahkannya penjelasan ayat-ayat yang terkait dengan hukum-hukum tertentu, atau menjelaskan lafzd-lafadz yang jarang ditemukan (gari>b al-alfa>z}), Na>sikh dan mansu>khnya ayat, ayat-ayat yang bersifat global (mujmal), umum, mutlak dan ayat-ayat yang mebutuhkan penguat (ta'ki>d).[40]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jauh sebelum dirumuskannya metode-metode penafsiran, Rasulullah Saw telah terlebih dahulu memberikan contoh aplikatif tentang penafsiran al-Qur’an dengan metode maud}u>’y sekali pun istilah ini belum dikenal pada masa tersebut. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa rumusan metode tafsir ini menjadikan metode Rasulullah Saw sebagai landasannya dengan menjadikan metode pengkajian ilmiah sebagai acuan penelitiannya.
Prosedur Penerapan Metode Tafsir Maud}u>’y[41]
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa metode maud}u>’y adalah metode yang diterapkan sesuai dengan prosedur pengkajian ilmiah. Para pakar ilmu-ilmu al-Qur’an sejak dirumuskan metode ini pada tahun 1960-an menawarkan prosedur penerapan metode ini, diantara prosedur-prosedur penerapan yang ditawarkan oleh para pakar tersebut:
Al-Farma>wy merumuskan prosedur penerapan metode maud}u>’y dalam penafsiran al-Qur’an sebagai berikut:
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik atau tema).
Menghimpun teks-teks (baca: ayat) Qur’any yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas tersebut.
Menysun ayat seara berururan sesuai dengan urutan masa turunnya disertai dengan pengetahuan tentang Asba>b al-Nuzul-nya.
Memahami korelasi (muna>sabah) teks-teks (yang telah dihimpun) tersebut dalam suratnya masing-masing.
Menyusun kerangka pembahasan (out line) topic.
Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang memiliki relevansi dengan pokok bahasan.
Mempelajari secara kesuluruhan ayat-ayat yang telah terhimpun dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang memiliki kesamaan pengertian dan makna, atau mengkompromikan antara yang ‘a>m (umum) dan yang kha>s} (khusus), antara yang mut}laq (mutlak) dan yang muqayyad (terikat), atau yang secara z}a>hir (tampaknya) bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam satu kesatuan atau dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan makna.[42]
Pada tempat lain Al-Ma>’y mengajukan rumusan prosedur penerapan metode maud}u>’y dalam penafsiran al-Qur’an sebagai berikut:
Menghimpun seluruh teks-teks al-Qur’an yang berhubungan dengan topic masalah yang akan dibahas dengan berpedoman pada al-Qur’an dan kitab-kitab himpunan ayat-ayat al-Qur’an seperi kitab Mufrada>t al-Qur’a>n karya al-Ra>ghib al-As}faha>ny (w. 502 H), kitab Mu’jam Alfa>z} al-Qur’a>n yang disusun oleh Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah Tafs}i>l Aya>t al-Qur’a>n karya Joul Labome, Kitab al-Mustadrak karya Edward Monteh, dan al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qur’an al-Kari>m karya Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qy.
Kemudian mesyusun ayat-ayat yang telah terhimpun tersebut sesuai dengan masa turunnya – jika hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan – dengan cara menjadikan ayat-ayat makkiyah pada bagian awal kemudian ayat-ayat madaniyyah.
Mengompromikan ayat-ayat yang tampak bertentangan dengan keyakinan bahwa tidak terdapat pertentangan dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan cara memahami hikmah-hikmah kandungannya, maksud dari syaria’at ilahiyah, tujuan dibalik perintah dan larangan, dengan menjadikan Sunnah Nabawiyyah (hadi>th) dan perkataan para ulama salaf sebagai timbangan penafsiran, menyebutkan Asba>b al-Nuzu>l jika ada, menjelaskan kisah-kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu jika diantara ayat-ayat tersebut terdapat ayat yang berhubungan dengannya, dengan memperhatikan syarat-syarat seorang mufassir dalam menafsirkan topic pembahasan.
Menyusun laporan hasil pengkajian tafsir secara utuh dan sempurna dengan memperhatikan syarat-syarat pengkajian ilmah.[43]
Pada bagian lain Mus}t}afa> Muslim mengajukan dua bentuk rumusan prosedur pengkajian tafsir maud}u>’y dengan rincian langkah-langkahnya masing-masing:
Pertama: Prosedur pengkajian tafsir maud}u>’y dalam satu topik masalah, adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
Menentukan topik pembahasan diantara topik-topik al-Qur’an.
Menghimpun ayat-ayat yang berhubungan dengan topic tersebut atau ayat-ayat yang bersinggungan (baik langsung maupun tidak langsung) dengannya.
Menyusun ayat-ayat yang telah terhimpun tersebut berdasarkan masa turunnya dengan asumsi dasar bahwa mayoritas ayat-ayat makkiyah berbricara tentang landasan umum.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara mendalam dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir klasik (kitab-kitab tafsir yang disusun secara analitik), menyebutkan Asbab al-Nuzu>l – jika ada – meneliti kandungan lafaz}-lafaz}nya serta hubungan anatara setiap lafaz}.
Pengkaji berusaha menarik sebuah ist}imba>t} yang merupakan landasan utama topik pembahasan.
Hendaknya pengkaji kembali kepada metode Ijma>ly dalam menyuguhkan berbagai bentuk pemikiran sehingga tidak terjebak pada pengkajian kandungan lafz} semata.
Hendakanya pengkaji menjadikan metode pengkajian ilmiah sebagai acauan dalam meletakkan out line pembahasan.
Menguak hakikat kandungan al-Qur’an menjadi tujuan utama pengkaji dengan mengangkatnnya kepermukaan secara tegas, lugas, dan mudah dipahami
Hendaknya pengkaji semaksimal mungkin menghindari riwayat-riwayat yang lemah, dan isra>i>liyya>t.[44]
Kedua: prosedur pengkajian tafsir maud}u>’y dalam satu surat dengan langkah-langkahnya sebagai berikut[45]:
Sebelum melakukan kajian lebih lanjut terhadap ayat-ayat dalam satu surah, pengkaji terlebih dahulu menyebutkan Asba>b al-Nuzu>l surat tersebut demikian pula dengan kelompok-kelompok ayat yang terdapat didalamnya, sebab dengan pengetahuan terhadap Asba>b al-Nuzu>l dapat membantu pengkaji dalam menjabarkan maksud, tujuan dan petunjuk-petunjuk ayat yang terkandung didalam surat tersebut. Kemudian menyebutkan ide-ide pokok yang terkandung seputar surat yang dikaji seperti nama dari surat dan ide-ide pokok dari ayat-ayat yang terkandung didalamnya secara umum.
Pengkaji berusaha sedapat mungkin menyebutkan tema-tema pokok yang terkandung dalam surat yang dikaji atau mencari ide-ide pokok berdasarkan Asba>b al-Nuzu>l baik dari surat itu sendiri atau dari ayat-ayat yang terdapat didalamnya.
Membagi ayat-ayat dalam surat tersebut ke dalam tema-tema pokok – utamanya surat yang panjang – dengan menyebutkan unsur-unsur pokok pembahasan dan tujuannya, menerangkan petunjuk-petunjuk yang terkandung didalamnya, serta menerangkan korelasi (Muna>sabah) antara surat yang dikaji dengan surat sebelum dan setelahnya serta korelasi antar ayat yang terkandung dalam surat tersebut.
Menyatukan hasil penafsiran dari pembagian ayat-ayat tersebut berikut dengan keterangan petunjuk-petunjuk yang terkandung didalamnya dalam satu ide utama dan petunujuk inti dari keseluruhan ayat dalam surat tersebut.[46]
Dalam salah satu catatan Quraish Shihab, mengajukan prosedur penerapan tafsir maud}u>’y sebagai berikut:
Penetapan masalah yang akan dikaji, dimana seorang pengkaji maud}u>’y dalam penafsiran al-Qur’an diharapkan agar terlebih dahulu mempelajari berbagai problematika yang dihadapi oleh masyarakat atau keganjilan pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban-jawaban Qur’a>ny.
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, poin ini hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk al-Qur’an yang berhubungan dengan persoalan yang sedang dikaji. Sementara bagi mereka yang hendak mengurai satu kisah, atau kejadian, maka runtutan susunan yang dibutuhkan dalam mengkajinya adalah runtutan krinologis peristiwa.
Kesempurnaan penggunaan metode ini dapat dicapai apabila seorang pengkaji maud}u>’y dalam penafsiran al-Qur’an berusaha memahami arti kosa-kata dengan merujuk kepada penggunaan al-Qur’an sendiri.
Seorang pengkaji maud}u>’y dalam tafsir al-Qur’an seyogyanya tidak mengabaikan Asba>b al-Nuzu>l, karena Asba>b al-Nuzu>l memiliki peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Demikian pula halnya denga muna>sabah (korelasi antara satu surat dengan surat lainnya dan antara ayat dengan ayat lainnya).[47]
Sementara itu Abd Muin Salim menyebutkan beberapa langkah prosedural penerapan tafsir dengan metode maud}u>’y sebagai berikut:
Menentukan masalah yang akan dikaji.
Mengadakan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan gambaran mengenai konsep dan kerangka teori yang akan dijadikan sebagai acuan pembahasan yang akan dikaji.
Menyusun hipotesis (jika diperlukan)[48]
Menghimpun data yang relevan dengan masalah yang akan dikaji, baik berupa ayat-ayat al-Qur’an ataupun hadis-hadis Nabi saw, serta data lain yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang akan dikaji.[49]
Menyusun ayat-ayat menurut tertib turunya surat, diaman surat-surat makkiyah kemusian madaniyyah, yang betujuan untuk mendapatkan gambaran perkembangan gagasan Qur’a>ny yang diteliti.[50]
Menafsirkan kosa-kata, frase, kalusa dan ayat-ayat dengan menggunakan teknik-teknik interpretasi (tafsir).[51]
Membahas seluruh konsep yang telah diperoleh dan mengaitkannya dengan kerangka acuan yang dipergunakan.
Menyusun hasil penelitian menurut kerangka yang telah dipersiapkan dalam bentuk laporan hasil penelitian (karya tafsir).[52]
Dari seluruh prosedur penerapan metode tafsir maud}u>’y yang telah dirumuskan oleh para pakar sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat dinyatakan bahwa telah terjadi proses perkembangan pemikiran dalam merumuskan prosedur penerapan metode ini, dimana antara satu rumusan dengan rumusan lainnya saling menyempurnakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prosedur penerapan metode maud}u>’y dalam menafsirkan al-Qur’an harus memiliki ciri khas metode dengan menjadikan metode penelitian ilmiah sebagai acuan, sehingga dari seluruh rumusan dapat dikatakan bahwa rumusan langkah-langkah penerapan prosedural metode tafsir maud}u>’y yang sejalan dengan rumusan metode penelitian ilmiah, dan dapat dijadikan sebagai acuan – utamanya – oleh para akademisi dalam melakukan penelitian dibidang tafsir adalah rumusan langkah-langkah penerapan metode yang telah disempurnakan oleh Abd Muin Salim dengan dasar bahwa metode tafsir maud}u>’y adalah “Upaya manusia dalam meneliti dan menelusuri seluruh aspek makna, tujuan dan petunjuk al-Qur’an dalam satu tema guna menjawab berbagai persoalan dengan menjadikan prosedur metode penelitian ilmiah sebagai acuan”[53]
Bentuk-Bentuk Tafsir Maud}u>’y
Memperhatikan defenisi dan langkah-langkah prosedural penerapan metode maud}u>’y dalam penafsiran al-Qur’an pada uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa bentuk penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode maud}u>’y ; pertama, ialah Penafsiran satu surat[54] dalam al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus atau tema sentral yang terkandung dalam surat tersebut, kemudian mengorelasikan ayat-ayat yang beraneka ragam tersebut antara satu dengan lainnya dengan tema sentral tersebut, sehingga keseluruhan persoalan berkaitan bagaikan satu persoalan, sebagaimana yang diaplikasikan oleh Mah}mu>d Syalt}u>t} dalam karya tafsirnya, demikian pula dengan yang diaplikasikan oleh Wahbah al-Zuh}aily dalam karyanya al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari>’ah wa al-Manahj.
Kedua, Menghimpun ayat-ayat al-Quran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat al-Quran (sedapat mungkin diurut sesuai dengan masa turunnya, apalagi jika yang dibahas adalah masalah hukum) sambil memperhatikan sebab nuzul, dan munasabah masing-masing ayat, kemudian menjelaskan pengertian ayat-ayat tersebut yang mempunyai kaitan dengan tema atau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penafsiran dalam satu kesatuan pembahasan sampai ditemukan jawaban-jawaban al-Quran menyangkut tema (persoalan) yang dibahas.[55]
Sementara itu Kha<lid al-‘Ikk menambahkan satu bentuk lain dari bentuk penfsiran dengan menggunakan metode maud}u>’y yaitu; Penafsiran Al-Qur’an berdasarkan lafaz}-lafaz} semantiknya dengan cara mengumpulkan lafaz}-lafaz} ayat dan yang secara semantik morfologis sama dengannya (al-Tafsi>r al-Maud}u>’y bi al-Lafz}i), kemudian menafsirkannya dan menarik kesimpulan dala>lah yang terkandung dalam lafaz}-lafaz} tersebut sebagaimana penggunaan al-Qur’an itu sendiri, seperti lafaz} al-Ummah, al-S}adaqah, al-Jiha>d, al-Kita>b, al-Muna>fiq dan banyak lagi lafaz}-lafaz} lainnya yang berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an, sehingga penafsir menggunakan petunjuk-petunjuk lafaz} Qur’a>ny sebagai obyek penelitian tafsir.[56]
Secara umum, penelitian tafsir dengan metode maud}u>’y lebih banyak mengambil dua bentuk pertama, adapun bentuk ketiga labih banyak digunakan oleh para akademisi yang terjun dibidang Bahasa (baik adab maupun sastranya), meski demikian tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah karya para ulama tafsir terdahulu telah banyak menggunakan bentuk ketiga dari bentuk-bentuk penafsiran maud}u>’y, diantara karya-karya tersebut; al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n karya Al-Ra>ghib al-As}faha>ny (w. 502 H), al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur’a>n al-Kari>m karya Muqa>til al-Balkhy (w. 150 H), Nuzhah al-‘Ain fi> ‘Ilm al-Wuju>h wal-Naz}a>ir karya Ibn al-Jauzy (w. 597), dan banyak lagi lainnya.[57]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga bentuk tafsir dengan menggunakan metode maud}u>’y yaitu; pertama, menafsirkan al-Qur’an dalam satu tema tertentu berdasarkan tema-tema pokok dalam al-Qur’an dengan menghimpun seluruh ayat dari berbagai surat; kedua, menafsirkan salah satu surat al-Qur’an dengan cara mengungkapkan tema sentral dari surat tersebut dan menghubungkannya dengan ayat-ayat yang terdapat didalamnya sehingga bagian awal sebagai pendahuluan, bagian tengah sebagai penjelas dan bagian akhir dari surat tersebut sebagai pengukuh (tas}di>q); ketiga, menafsirkan al-Qur’an berdasarkan lafaz} (tafsi>r al-Qur’a>n bi dala>lah al-Lafz}i) dengan cara mengumpulkan seluruh lafaz} yang memiliki kesamaan semantik morfologis, kemudian menafsirkannya berdasarkan makna yang digunakan oleh al-Qur’an itu sendiri.
Keistimewaan dan Kelemahan Metode Tafsir Maud}u>’y
Perkembangan kebutuhan masyarakat, munculnya berbagai bentuk pemikiran ditengah berkembangnya peradaban manusia, dan terbukanya secara luas lapangan penelitian ilmiah secara modern tidak dapat terbendung, sehingga untuk dapat melihat fenomena tersebut secara benar dan sesuai dengan kaca mata Qur’any hanya dapat dilakukan dengan metode maud}u>’y dalam menafsirkan al-Qur’an.
Mengkhususkan satu tema tertentu dan menguhimpun seluruh sisinya untuk diteliti dan dikaji, menelusuri asba>b al-nuzul dari setiap ayat yang berhubungan dengan tema tersebut, menuysun ayat-ayat tersebut berdasarkan masa turunya, serta mengkompromikan ayat-ayat yang tampak bertentangan dan sebagainya, kesemuanya memberikan nuanasa kajian ilmiah terhadap tema yang dikaji secara mendalam dan menyeluruh yang kaya dengan informasi baru yang berhubungan dengannya. Kajian mendalam dan luas dalam menyuguhkan berbagai informasi keilmuan semacaam ini tidak dapat dilakukan secara baik dengan menggunakan metode-metode tafsir lainnya baik itu tahli>ly, ijma>li, muqa>ran atau yang lainnya, tetapi maud}u>’y merupakan metode yang tepat-guna dalam menjalankan kajian semacam ini.
Dengan metode maud}u>’y seorang pengkaji dapat mengemukakan sisi lain dari kemu’jizatan al-Qur’an yang keajaibannya tidak terputus hingga hancurnya dunia dan seluruh apa yang ada dilamnya.[58]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa keistimewaan dari metode tafsir maud}u>’y diantaranya:
Metode maud}u>’y merupakan terobosan yang efektif dan inovatif untuk menggali pesan-pesan al-Qur’an secara utuh.[59]
Metode ini membuka peluang bagi para spesialis dari seluruh bidang ilmu untuk mengkaji al-Qur’an berdasarkan spesialisasi mereka secara mendalam.[60]
Metode ini dapat menangkap makna, petunjuk, keindahan (kemu’jizatan), dan kefasihan al-Qur’an.[61]
Metode ini dapat menghilangkan kesan kontradiktif atar ayat dalam al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut dapat dikompromikan dalam satu kesatuan yang harmonis.[62]
Metode ini disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan berbagai persoalan yang timbul. Kondisi semacam ini sangat sesuai dengan kehidupan umat hari ini yang semakin modern dengan mobilitas tinggi.
Metode ini menjadikan al-Qur’an senantiasa dinamis sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga menimbulkan image bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial.[63]
Metode ini dapat memenuhi apa yang tidak dapat dipenuhi oleh metode-metode tafsir yang lain dalam menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan al-Qur’an.
Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami, karena ia membawa para pembaca kepada petunjuk al-Qur’an tanpa harus mengemukakan pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.[64]
Metode ini membantu memahami ayat-ayat al-Qur’an secara utuh.
Metode ini menjadikan prinsip-prinsip metode penelitian ilmiah modern sebagai acauan penerapannya yang tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip Qur’a>niyyah dan al-Risa>lah al-Nabawiyyah.
Dari keistimewaan-keistimewaan metode taffsir maud}u>’y tidak berarti bahwa metode ini tidak memiliki kelemahan, diantara kelemahan yang mungkin terjadi dalam metode ini adalah:
Penafsiran al-Qur’an dengan menggunkan metode ini, adalah bentuk penafsiran parsial dimana tidak mengungkapkan seluruh isi kandungan al-Qur’an, sebab pembahasan yang diuraikannya hanya sesuai dengan judul yang telah ditetapkan oleh penfsir.
Mudah terjerumus dalam keslahan penafsiran utamanya dalam bidang hokum, dan perincian-perincian khusus, jika penafsir yang menggunakan metode ini tidak memperhatikan urutan-urutan ayat dari segi masa turunnya atau perincian khususnya.
Penafsiran dengan metode ini akan mengemukakan jawaban-jawaban al-Qur’an tentang sebuah problematika secara terbatas. Hal ini dapat terjadi jika sang penafsir tidak memperhatikan secara menyeluruh seluruh ayat yang berkaitan dengan pokok bahasan yang diuraikannya.[65]
Penutup
Metodologi penelitian tafsir sebagaiamana metodologi penelitian disiplin ilmu lainnya akan terus berkembang seiring perkembangan zaman dan kebutuhan umat manusia dalam menemukan berbagai jawaban-jawaban Qur’a>ny atas berbagai persoalan kehidupan.
Untuk saat ini metode maud}u>’y dipandang sangat relevan dari metode-metode tafsir lainnya dalam menemukan petunjuk-petunjuk Ila>hiyyah (al-Hida>yah al-Ila>hiyyah) diantara teks-teks al-Qur’an tentang berbagai problematika kontemporer, apalagi metode maud}u>’y ditopang dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip penelitian ilmiah modern yang tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip Qur’a>niyyah dan Risa>lah al-Nabawiyyah.
Wa al-Ha>s}il, siapapun yang hendak menemukan berbagai jawaban atas problematika yang dihadapinya dari teks-teks al-Qur’an seyogyanya dapat memahami dan menjalankan secara amanah dan ilmiah metode maud}u’y sebab metode ini tidak hanya dapat dijalankan oleh para peneliti tafsir yang mendedikasikan dirinya pada studi al-Qur’an secara akademis, tetapi juga dapat dijalankan dengan mudah oleh para peneliti muslim yang berkecimpung dalam bidang studi lainnya.
Daftar Pustaka
Al-Qur’a>n al-Kari>m
Ayyu>b, Hasan, al-H{adi>th fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n wa al-H{adi>th. Kairo: Da>r al-Sala>m, 1425 H / 2004 M.
‘Abba>s, ‘Abba>s ‘Aud} al-Allah, Muh}ad}ara>t fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’y. Damaskus, Da>r al-Fikr, 2007.
A<lu Ja'far, Musaid Muslim Abd al-Alla>h, Athar al-Tat}awwur al-Fikry fi> at-Tafsi>r fi> al-'As}ri al-'Abba>sy. Cet. I; Beirut: Muassah ar-Risalah, 1984.
al-Alma>’y, Za>hir bin ‘Awa>d}, Dira>sa>t fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’y. Riyadh: Ttp, Tth.
Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Abu> al-Husain, Ahmad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu’jam Maqa>yis al-Lughah. Beirut: Da>r al-Fikr, Tth.
Al-Dhahaby, Muah}mmad Husain, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Beirut: Maktabah Mus'ab bin ‘Umair al-Isla>miyyah, 1424 H / 2004 M.
----------------, ‘Ilm al-Tafsi>r. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1119 M.
al-Farma>wy, Abd Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, diterj. Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
al-Ghaza>ly, Muh}ammad, Kaifa Nata’a>malu Ma’a al-Qur’an. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, Tth.
H{umaid, ‘Afa>f ‘Abd Al-Ghafu>r, al-Tafsi>r al-Mud}u>’y fi> Muallafa>t al-Syaikh Muh}ammad al-Ghaza>ly. Ja>mi’ah al-Syarq, Makalah yang diajukan pada Muktamar tafsir maud}u>’y anatara teori dan praktek, 2010.
al-‘Ikk, Kha>lid ‘Abd al-Rahma>n, Al-Furqa>n wa al-Qur’a>n; Qira>ah Isla>miyyah Mu’a>s}irah D{imna al-Thawabit al-‘Ilmiyyah wa al-D{awa>bit} al-Manhajiyyah wa Hiya Muqaddima>t li al-Tafsi>r al-‘Ilmy li al-Qur’an al-Kari>m. Damaskus: Al-H{ikmah, 1416 H / 1996 M.
Juned, Daniel, Ilmu Hadis; Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.
al-Jurja>ny, ‘Aly bin Muhammad al-Syari>f, Kita>b al-Ta’ri>fa>t. Beirut: Maktabah al-Banna>n, 1985 M.
Ma’lu>f, Lois, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A’la>m. Beirut; Da>r al-Masyriq, 1973.
Mardan, Al-Qur’an; Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an Secara Utuh. Jakarta: Pustaka Mapan, 2009.
Mubhar, Muhammad Zulkarnain, Bentuk Penafsiran Rasulullah Saw. Makassar: Makalah (S1), UIN Alauddin, 2007-2008.
--------------, Metode Memperoleh Pengetahuan Ilmiah; Sebuah Tinjauan Filosofis Surabaya: Makalah S2, IAIN Sunan Ampel, 2010.
Muslim, Mus}t}afa>, Maba>hith fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’y. Damaskus: Da>r al-Qalam, 1421 H / 2000 M.
al-Qa>dir, Jam’ah ‘Aly ‘Abd, Za>d al-Ra>ghibi>na fi> Mana>hij al-Mufassiri>n. Kairo: Ja>mi’ah al-Azhar, 1407 H / 1986 M.
al-Qat}t}a>n, Manna>' bin Khali>l, Maba>h{ith fi> ‘Ulu>lm al-Qur'a>n. Mesir: Mansyu>ra>t al-'As}ru al-Hadi>ts, Tth.
Rawi, Roem, Ragam Penafsiran Al-Qur’an. Surabaya: Lembaga Pendidikan Ilmu Al-Qur’an, 2001.
Salim, Abd. Muin, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistemologis; Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu. Orasi Pengukuhan Guru Besar dihadapan Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujungpandang, pada tanggal 28 April 1999.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung: Mizan, 1999.
al-S{adr, Muhammad Baqir, Madrasah al-Qur’aniyah, Terj. Hidayaturrahman. Jakarta: Risalah Masa, 1992.
al-Suyu>t}y, Jala>l al-Di>n, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur`a>n. Kairo: Da>r al-Tura>th, 1405/1985.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Taliziduhu, Reseach. Jakarta: Bina Aksara, 1985.
al-Zarkashy, Badr al-Di>n Muh}ammad, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur`a>n. Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1408/1988.
al-Zubaidy, Muh}ammad Murt}ad}a> al-Husainy, Ta>j al-‘Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mu>s. Kuwait: Matba’ah Huku>mah, 1394 H/1973 M.
[1] Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistemologis; Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu (Orasi Pengukuhan Guru Besar dihadapan Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujungpandang, pada tanggal 28 April 1999), 2.
[4] Abd Hayy al-Farma>wy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, diterj. Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 6.
[7] Muh}ammad Murt}ad}a> al-Husainy al-Zubaidy, Ta>j al-‘Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mu>s. Vol. 13 (Kuwait: Matba’ah Hukumah, 1394 H/1973 M), 323.
[10] Jam’ah ‘Aly ‘Abd al-Qa>dir, Za>d al-Ra>ghibi>na fi> Mana>hij al-Mufassiri>n (Kairo: Ja>mi’ah al-Azhar, 1407 H / 1986 M), 1. Lihat juga: Hasan Ayyu>b, al-H{adi>th fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n wa al-H{adi>th (Kairo: Da>r al-Sala>m, 1425 H / 2004 M ), 132. Bandingkan dengan: Za>hir bin ‘Awa>d} al-Alma>’y, Dira>sa>t fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’y (Riya>d}: Ttp, Tth), 7. Bandingkan pula dengan: Muhammad H{usain al-Dhahaby, ‘Ilm al-Tafsi>r (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1119 M), 6. Lihat pula. Mus}t}afa> Muslim, Maba>hith fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’y (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1421 H / 2000 M), 15.
[11] Abd. Muin, Metodologi……, 8. Masudnya adalah bahwa tafsir merupakan bentuk dan cara dalam upaya manusia mendapatkan pengetahuan yang bersumber dari pengkajian ayat qauliyyah berhadapan dengan metode pengkajian lainnya yang mengaji fenomena-fenomena kauniyyah. Dalam hal ini seseorang yang menemukan masalah dalam kehidupannya dapan mencari solusinya dari al-Qur’an dengan menempuh prosedur pengkajian yaitu; a) Adanya Masalah; b) Berfikir; c) mengajukan hipotesis; d) mengemukakan data; e) melakukan onfirmasi data; f) menyimpulkan hasil. Lihat: Ibid., 17.
[12] Ahmad bin Fa>ris bin Zakariya>, Abu> al-Husain, Mu’jam Maqa>yis al-Lughah. Vol. 6 (Beirut: Da>r al-Fikr, Tth), 117.
[13] Aly bin Muhammad al-Syari>f al-Jurja>ny, Kita>b al-Ta’ri>fa>t (Beirut: Maktabah al-Banna>n, 1985 M), 273.
[15]Muh}ammad al-Ghaza>ly, Tura>thuna> al-Fikry fi> Mi>za>n al-Syar’ wa al-‘Aql, dalam ‘Afa>f Abd. Al-Ghafu>r H{umaid, al-Tafsi>r al-Mud}u>’y fi> Muallafa>t al-Syaikh Muh}ammad al-Ghaza>ly (Ja>mi’ah al-Syarq, Makalah yang diajukan pada Muktamar tafsir maud}u>’y anatara teori dan praktek, 2010), 11.
[17] Muhammad Baqir al-S{adr, Madrasah al-Qur’aniyah, Terj. Hidayaturrahman (Jakarta: Risalah Masa, 1992), 14.
[20] Defenisi-defenisi yang di ajukan oleh kedua pakar tersebut adalah: 1) menjelaskan segala yang berhubungan dengan salah satu diantara topik-topik al-Qur’an seperi; kehidupan, pemikira, sosiologis, atau pun kauniyyah; 2) Menghimpun ayat-ayat yang memiliki hubungan dengan satu topic baik secara lafadh maupun hukum dari berbagai surah dalam al-Qur’an, kemudian menafsirkan sesuai dengan maksud-maksud al-Qur’an; 3) Menjelaskan topic apapun dari satu surah atau surah-surah yang berbeda yang terdapat di dalam al-Qur’an; 4) Ilmu yang membahas tentang berbagai perkara yang terdapat di dalam al-Qur’an yang memiliki kesatuan makna dan tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayat yang terpisah, melakukan analisis secara khusus dan menyeluruh dengan menggunakan syarat-syarat tertentu dalam mmenjelaskan makna yang terkandung di dalamnya, melakukan kesimpulan dari berbagai unsure-unsur maknanya dalam satu kesatuan yang utuh; 5) Suatu ilmu yang mengakaji tentang berbagai aspek topical dari satu surah atau berbagai surah yang sesuai dengan tujuan-tujuan al-Qur’an. Lihat: Kha>lid ‘Abd al-Rahma>n al-‘Ikk, Al-Furqa>n wa al-Qur’a>n; Qira>ah Isla>miyyah Mu’a>s}irah D{imna al-Thawabit al-‘Ilmiyyah wa al-D{awa>bit} al-Manhajiyyah wa Hiya Muqaddima>t li al-Tafsi>r al-‘Ilmy li al-Qur’an al-Kari>m (Damaskus: Al-H{ikmah, 1416 H / 1996 M), 528. Bandingkan: Mus}t}fa>, Maba>hith…, 16.
[21] al-‘Ikk, Al-Furqa>n… Ibid,. Bandingkan: Mus}t}fa>, Maba>hith…, Ibid,. Kedua pakar ini memandang bahwa defenisi ini merupakan defenisi yang akurat karena didalamnya tidak terdapat pengulangan dan mencakup dua asas utama dari sebuah bentuk metode penafsiran. Kedua asas yang dimaksud adalah; 1) himpunan ayat dalam satu surah atau dari berbagai surah dalam satu topic; 2) keutuhan pembahasan dalam satu kesatuan tujuan dan petunjuk Qur’a>ny. Adapun pendefenisian yang lain lebih kepada penjelasan tentang prosedur dan teknik penerapan dari metode tafsi>r maud}u>’y. Lihat: Ibid.
[22] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 74.
[24] Maksdunya adalah seluruh aspek kesamaan makna dan tujuan dari ayat-ayat al-Qur’an baik yang terdapat dalam satu surah maupun yang terdapat dalam berbagai surah yang terpisah.
[25] Tema yang dimaksudkan dalam pernyataan ini bersifat fleksibel, artinya bahwa tema tersebut bisa dalam bentuk tema dalam satu surat tertentu dari surat-surat dalam al-Qur’an, atau tema dalam permasalahan tertentu.
[26] Metode Ilmiah yang dimaksdukan adalah metode penelitain dan pengkajian dengan menggunakan kata kunci: (a) Logis, (b) Empirik, (c) kejelasan teori, (d) oprasional dan spesifik, (e) hypotethik, (e) verivikative, (f) sistematis, (g) memperhatikan validitas dan realibilitas, (h) obyektif, (i) skeptik, (j) kritis, (k) analitik, dan (l) kontemplatif. Lihat: Muhammad Zulkarnain Mubhar, Metode Memperoleh Pengetahuan Ilmiah; Sebuah Tinjauan Filosofis (Surabaya: Makalah S2, IAIN Sunan Ampel, 2010.), 15. Dengan demikian bahwa metode ilmiah harus melalui langkah yang disebut logico-hypothetico-verivicartive. Lihat. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), 32-33.
[27] Muna>sabah secara etimologis berarti muqa>rabah (kedekatan atau kemiripan) juga dapat dinamai ra>baith (penghubung anatara satu dengan lainnya). Dalam ilmu tafsir munasabah diartikan sebagai “kemiripan yang terdapat dalam hal-hal tertentu dalam al-Qur’an baik surah maupun ayat-ayatnya, yang menghubungkan uraian makna antara satu dengan lainnya”. Lihat lebih lanjut: Mardan, Al-Qur’an; Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an Secara Utuh (Jakarta: Pustaka Mapan, 2009), 93-101.
[30] Karaya al-Farma>wy ini telah banyak diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, diantara terejemahan-terjemahan tersebut adalah apa yang diterjemahan oleh Drs. Rosihon Anwar, M.Ag. dengan judul : Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya yang dicetak pertama kali oleh Pustaka Setia Bandung pada mei 2002 – Safar 1423 H.
[31] Badr al-Di>n Muh}ammad al-Zarkashy, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur`a>n. Vol. 1 (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1408/1988), 61-72.
[32] Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}y, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur`a>n. Vol. 2 (Kairo: Da>r al-Tura>th, 1405/1985), 159-161.
[33] al-Dhahaby, ‘Ilm al-Tafsi>r…, 69-70. Dari seluruh bentuk karya para ulama yang mengindikasikan bahwa penerapan metode maud}u>’y dalam penafsiran al-Qur’an, dapat dikatakan bahwa karaya ‘Aly al-S}a>bu>ny, Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m tergolong diantara karya-karya tafsir yang disusun secara ilmiah dengan metode maud}u>’y.
[35] Musaid Muslim Abd al-Alla>h A<lu Ja'far, Athar al-Tat}awwur al-Fikry fi> at-Tafsi>r fi> al-'As}ri al-'Abba>sy (Cet. I; Beirut: Muassah ar-Risalah, 1984). 57.
[38] Lihat secara rinci pembahasan tentang kewahyuan sunnah dalam: Daniel Juned, Ilmu Hadis; Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), 63-75.
[40] Muhammad Zulkarnain Mubhar, Bentuk Penafsiran Rasulullah Saw (Makassar: Makalah S1, UIN Alauddin, 2007-2008), 8.
[45] Al-Ma>’y dalam karyanya sesungguhnya juga menjelaskan bentuk penafsiran maud}u>’y ini hanya saja beliau tidak menyebutkan rincian prosedur penerapannya kecuali sekedar mengatakan : “Dalam penafsiran maud}u>’y berdasarkan satu surah secara utuh, memiliki satu tujuan tersendiri sekalipun didalamnya (surah) mengandung berbagai topic pembahasan”. Lihat. Al-Alma>’y, Dirasa>t…..21.
[48] Hipotesis adalah kesimpulan yang diperoleh dari penyusunan kerangka pikiran, berupa preposisi deduksi, yaitu membentu preposisi yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan serta tingkat-tingkat kebenarannya. Lihat. Soetriono dan Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007), 159.
[49] Tafsir dalam pandangan Abd Muin Salim termasuk penelitian kualitatif, karenanya data yang dibutuhkan pun adalah data kualitatif yang dapat berbentuk Nas} al-Qur’an, Nas} al-Sunnah dan Hadith, Athar sahabat, data sejarah semasa turunnya al-Qur’an, pengertian-pengertian bahasa dan lafaz} al-Qur’an, kaidah-kaidah bahasa, kaidah-kaidah istimba>t}, kaidah-kaidah berfikir dan teori-teori ilmu yang relevan. Sebelum menggunakan data-data yang berhubungan dengan sejarah, maka diperlukan proses pemeriksaan terlebih dahulu dengan menggunakan metode kritik sejarah. Lihat. Abd Muin, Metodologi….(Footnote 72), 32.
[50] Menurutnya, pendekatan ini adalah pendekatan kornologis. Adapun untuk pendekatan sistematis, maka urutan yang digunakan adalah berdasarkan urutan surat-surat dalam mus}h}af al-Qur’an untuk dipelajari agar mengahsilkan pengetahuan sistematis rasional terhadap gagasan qur’a>ny. Lihat. Ibid.
[51] Teknik-teknik interpretasi yang dirumuskan oleh Abd Muin Salim ada delapan teknik yaitu; 1) Tekstual, yaitu obyek yang diteliti ditafsirkan dengan menggunakan teks-teks al-Qur’an atau dengan teks-teks hadis Nabi Saw; 2) Linguistik, yaitu ayat al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan yang meliputi: semantik etimologis, semantik morfologis, semantik leksikal, semantik gramatikal, dan semantik retorikal; 3) Sistematik, pengambilan makna kandungan ayat (termasuk klausa dan frase) berdasarkan kedudukan dalam ayat, diantara ayat-ayat, atau pun di dalam surah; 4) Sosio-Historis, yaitu ayat ditafsirkan dengan menggunkan sebab turunnya ayat; 5) Teologis, menafsrikan ayat dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqhi; 6) Kultural, yaitu data yang dihadapi ditafsirkan dengan pengetahuan yang mapan yang mengacu pada sebuah asumsi bahwa pengetahuan yang benar tidak bertentangan dengan Al-Qur’an; 7) Logis, yaitu penggunaan prinsip-prinsip logika dalam memahami kandungan al-Qur’an; dan 8) Interpretasi Ganda, yaitu menggunakan dua atau lebih teknik interpretasi terhadap sebuah obyek dengan tujuan untuk pengayaan, dan sebagai kontrol dan verifikasi hasil interpretasi, sehingga metode ini memiliki ciri koreksi internal. Lihat. Ibid., 33-36.
[54] Prosedur langkah-langkah penerapan bentuk penafsiran satu surat diatara surat-suarat dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode maud}u>’y telah dijelaskan lebih detail dengan memberikan contoh aplikatifnya oleh Mus}t}afa> Muslim dalam karyanya Maba>h}ith fi> al-Tafi>r al-Maud}u>’y. Lihat. Mus}t}afa>, Maba>h}ith…., 40-46.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....