Oleh:
Muh. Zulkarnain Mubhar
Abstrak: Dari berbagai peristiwa yang terjadi pasca wafatnya Rasulullah Saw, peristiwa pemilihan pemimpin kaum muslimin merupakan peristiwa yang mengandung berbagai polemik yang sangat tajam yang ditengarai dengan banyaknya pemikiran politik, dari seluruh rangkaian peristiwa tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan pemikiran politik dari Rasulullah Saw hingga masa dinasti umawwiyah secara dinamis, namun demikian berbagai konflik dan intrik-intrik politik tidak dapat dipungkiri keberadaannya, utamanya pasca terbunuhnya sang khalifah ke-3. Dynasty ‘Abba>siyah merupakan dynasty yang didirikan secara revoluasioner mulai dari Khurasan hingga Magrib. Dynasty ini berdiri diantara dua imperim besar yaitu dynasty Umawiyyah jilid II yang berdiri tegak di Andalusia dan Byzantium. Usaha para penguasa dinasy ‘Abba>siyah untuk mengahbisi seluruh keluarga Umawiyyah tidak pernah berhasil meskipun bekerjasama dengan Eropa, namun usaha untuk menundukkan sikap politik kaum Byzantium selalu berhasil, hanya saja pasca terbunuhnya al-Mutawakkil, para penguasa kemudian harus disibukkan dengan berbagai pemberontakan internal yang tidak dapat diselesaikan bahkan menghasilkan berdirinya dynasty Buwaih, Salju>k dan Fa>t}imiyyah di Mesir.
Kata Kunci: ‘Abba>siyyah, Politik, Luar Negeri, Dalam Negeri.
Pendahuluan
Polemik pemikiran politik ditengah-tengah kaum muslimin telah tamapak pasca wafatnya Rasulullah Saw, dimana Islam secara politik dibawah binaan dan bimbingan sang Rasul Agung Muhammad bin Abdullah Saw berhasil menyatukan pemikiran politik manusia –utamanya kaum Arab yang senang dengan pertikaian dan perpecahan- dalam satu pemikiran dan satu Negara yang dikeandalikan secara internal oleh hukum-hukum syari’at, dan secara ekstral berfungsi untuk meyebarluaskan risalah al-Isla>miyyah. Sejarah mencatat bahwa persoalan yang menjadi polemik pemikiran politik pertama yang terjadi dikalangan kaum muslimin pasca waftanya Rasulullah Saw adalah polemik kekuasaan politik atau Ima>mah[1]. Polemik kekuasaan politik yang terjadi pada masa tersebut melibatkan dua kelompok besar kaum muslimin yaitu Muha>jiri>n dan Ans}a>r yang berakhir dengan dinobatkan Abu> Bakar al-S}iddi>q (w. 23 H/634 M) sebagai khalifah.[2] Setelah peristiwa tersebut proses kepemimpinan terus berlanjut tanpa polemic yang berarti hingga terbunuhnya ‘Uthma>n bin ‘Affa>n (w. 36H/656M) dan terpilihnya ‘Ali> bin Abi> T}a>lib (w. 41H/661M) sebagai khalifah berdasaran usulan Gubernur Mesir Abdullah bin Saba yang kemudian digantikan oleh Qais pada masa pemerintahan ‘Ali> bin Abi> T}a>lib.[3]
Pada masa kepemimpnan ‘Ali bin Abi> T{a>lib keadaan politik tidak menentu dan semakin diperparah dengan pemberontakan beberapa kelompok kaum muslimin diantaranya adalah pemberontakan T{alh}ah} bin ‘Ubaidillah dan Zubair bin ‘Awwam yang tidak mengakui kepemimpinan ‘Ali karena ketidaksediaannya menjatuhkan hukuman kepada para pembunuh ‘Uthma>n, namun dengan demikian untuk perara ini ‘Ali mengusahakan jalan damai, tetapi mereka yang berepentingan tidak menyukai hal ini sehingga peperangan pun tidak dapat dielakkan. Peperanagan ini melibatkan T{alh}ah, Zubair, dan ‘Aisyah yang kemudian dikenal dengan ma’rakah al-Jamal (perang unta) disebabkan ‘Aisyah menunggangi unta.[4] Kondisi politik pada masa ini semakin sangat parah ketika terjadinya polemik pemikiran politik antara ‘Ali bin Abi> T{a>lib dengan Mu’a>wiyah bin Abi> Sufya>n (w. 64H/680M) dimana Mu’a>wiyah sebagai ketua perkumpulan keluarga ‘Umawiyyah membangkitkan kemarahan kaum muslimin dan kekecewaan mereka kepada kepemimpinan khalifah ‘Ali> bin Abi> T{alib yang tidak mampu menuntaskan dan menghukum para pembunuh khlaifah ‘Uthma>n dan bahkan menuduhnya sebagai pembunuh khalifah tersebut, dimana pada akhirnya ‘Ali> pun terbunuh dan Mu’awiyah pun naik tahta sebagai Khalifah yang menunjukkan awal berdirinya dinasti Umawiyyah.[5]
Dari seluruh rangkaian peristiwa di atas menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan pemikiran politik dari Rasulullah Saw hingga masa dinasti Umawwiyah secara dinamis, namun demikian berbagai konflik dan intrik-intrik politik tidak dapat dipungkiri keberadaannya, utamanya pasca terbunuhnya sang khalifah ke-3 ‘Uthma>n bin ‘Affa>n –Rad}iya Alla>hu ‘anhu – dan kekhalifahan deserahkan kepada ‘Aly bin Abi> T{a>lib - Rad}iyallahu ‘anhu – kemudian diambil alih oleh Mu’awiah yang kemudian memproklammirkan Umayyad empire (dinasti bani> Umayyah) yang berhasil berkuasa salama kurang lebih satu abad lamanya yakni antara tahun 40-120 H atau 661-737 M. namun kekuasaan ini harus berkhir ditangan para keturunan al-‘Abba>s atau lebih dikenal dengan ha>shimiyyi>n dengan jalan revolusi yang memandang bahwa para khalifah Umawiyyah tidak berlaku adil pada semua golongan dengan mengutamakan kaum arab sebagai pioneer utama dalam membangun kebudayaan (Arabisasi), ditambah lagi sikap bermegah-megahan yang ditampilkan oleh dinasti menyebabkan tertindasnya kaum mawa>ly dan seluruh elemen non-Arab yang ada dibawah kekuasaannya.
Revolusi Abbasiyah ini dipimpin oleh seseorang yang berdarah Persia dengan nama Arabnya Abu> Muslim di Khurasan, dimana ia merekrut dan melatih kader-kader revolusionernya dari kalangan Mawa>ly dengan doktrin Ha>shimiyyah.[6] Setelah peristiwa ini, pendirian dinasti Abbasiyah pun dimulai dengan mengakat abu> al-‘Abba>s al-S}affah} sebagai khalifah pertamnya (132 -136 H / 750-754 M) dan Al-Mans}u>r putra al-S}affa>h} sebagai pendiri kekhalifahan pertamanya dengan menjadikan kota Bagdad sebagai pusat pemerintahannya yang memerintah selama 22 tahun yaitu antara tahun 136-158 H / 754-775 M.
Perjalanan disnati ini cukup lama yaitu selama kurang lebih lima abad antara tahun 132-656 H / 750-1258 M dimana para khalifahnya terus berganti secara turun temurun, pemerintahan para khalifah ‘Abba>siyah ini berhasil mengangkat Islam berada pada puncak peradaban dunia tingkat tinggi dengan seluruh elemen peradabannya, seperti; tata pemerintahan yang teratur, peningkatan intelektual yang telah diwariskan oleh Dinasti Umawiyyah, peningkatan kesejahteraan rakyat baik dari segi ekonomi, social, politik maupun pendidikan.
Jika demikian, lalu bagaimana bentuk politik luar negeri yang dilakoni oleh para khalifah Dynast Abbasiyah? Dan bagaimanakah perkembangan politik internal dynasty ini? Seluruh pertanyaan ini akan diuarai dalam makalah ini sesuai dengan kemampuan penulisnya.
Politik Luar Negeri Dinasty ‘Abba>siyyah
Setelah tergulingnya kekuasaan dynasty Umawiyyah dan dibai’atnya Abu al-‘Abba>s al-S{affa>h} pada tanggal 28 Dhulh{ijjah 132 H dirumah al-Wali>d bin Sa’ad al-Azdy. Kemudian pada tahun 134 H al-S{affa>h} meninggalkan Kufa menuju Anba>r kemudian menjadikannya sebagai ibu kota kekuasaannya dengan dama kota Hashimiyyah sebab memandang bahwa Kufah telah terkontaminasi oleh kelompok ‘Alawiyyah.[7] Secara umum khlifah abu al-‘Abba>s al-S}affa>h} tidak memiliki sedikitpun andil dalam perluasan wilayah dakwah, melainkan disibukkan dengan memburu para keturunan Mu’awiyah yang pada waktu lari menuju Damaskus dan mendirikan dinastinya disana. Mahmudunasir dalam salah satu catatannya menjelaskan bahwa setelah al-S{affa>h{ naik tahta sebagai khalifah pertama dynasty ‘Abba>siyah kemudian mengelurkan kebijakan yaitu pemusnahan seluruh anggota keluarga Umayyah, kebijakan ini dijalankan oleh pamannya yang bernama Abdullah bin ‘Aly. Kondisi ini dimanfaatkan oleh orang-orang Byzantium untuk menguasai wilayah-wilayah muslim dibagian utara.[8]
Setelah Abu al-‘Abba>s al-S{affa>h mangkat pada tahun 136 H/754 M kemudian Abu> Ja’far al-Mansu>r naik tahta menggantikan saudaranya. Pasca duduknya al-Mans}u>r pada tampuk kepemimpinan dynasty ‘Abba>siyah, kemudian melakukan perjalanan untuk mencari lahan yang tepat untuk mendirikan pusat pemrintahan, maka pada tahun 141 H/759 M al-Mans}u>r menemukan sebuah wilayah yang terletak antara sungai Najlah dan Efrat kedua sungai ini dapat mejadi benteng pertama dari kepungan musuh, al-Ya’qu>by meriwayatkan bahwa ketika al-Mans}u>r berada di Bagdad pada tahun 144 H / 762 M dia berkata: “Aku tidak menemukan suatu tempat yang layak untuk membangun sebuah kota dari tempat ini, tempat yang terletak diantara dua sungai yaitu suangai Najlah dan Efrat dan menghubungkan antara Bas}rah, Aballah, Persia dan yang mengitarinya, Mosul, Jazirah, Syam, Mesir, Maroko, Madraj (Madras), dan Khurasan,[9] dari situ kemudian pada tahun 145 H / 763 M al-Mans}u>r pun memulai pembangunan kota di Bagda>d dan selesai pada tahun 149 H / 767 M dengan nama Madi>nah al-Sala>m (Negeri Keselamatan).[10] Dari kota inilah al-Mans}u>r dan para khalifah setelahnya memulai peranan mereka sebagai pemimpin kaum muslimin dengan gelar khlifah. Gelar yang tidak jauh berbeda dengan gelar yang digunakan oleh para pemimpin Umawiyyah, hanya saja setiap khalifah dari kalangan Abbasiyah memiliki gelar tersendiri seperti; Al-S{affa>h}, al-Mans}u>r (penolong), al-Mah}dy, al-Rashi>d (intelek), al-Ami>n (yang dipercaya), al-Ma’mu>n (terpercaya) dan sebagainya.
Perluasan wilayah pada masa dynasty ‘Abba>siya mulai tampak pada masa pemerintahan al-Mans}u>r sebagai pendiri peradaban imperium Islam terbesar dimana pada masa pemerintahannya berhasil mengambil kembali wilayah-wilayah yang pernah dicaplok oleh Kosatantinopel IV Raja Byzantium pada tahun 137 H / 755 M, kemudian pada tahun berikutnya (138 H / 758 M) al-Mans}u>r mengambil alih kembali wilayah tersebut dengan menggunakan dua kelompok tentara yaitu al-S{awa>if dan al-Shawat}y[11] dan mendirikan kamp tentara disana. Akibatnya pada 155 H / 772 M Raja Byzantium Kostantinopel IV mengajukan perdamaian dengan dynasty ‘Abbasiyah bahwa mereka siap menyerahkan pajak dari negara mereka ke Bagdad setiap tahunnya.[12] Dan diantara wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai oleh al-Mans}u>r pada masa pemerintahannya adalah T{abrasta>n, Dailam, dan Kashmir, diamana kota-kota ini adalah kota-kota yang telah merusak perjanjian yang telah mereka sepakati sebelumnya.[13]
Perluasan wilayah selanjutnya menuju ke selat India dimana pada masa pemerintahan al-Mahdy (pada tahun 159 H / 776 M) memberangkatkan tentaranya melalui laut dibawah pimpinan seorang panglima bernama ‘Abd al-Malik bin Shiha>b al-Masma’y menuju India kemudian para tentara ini berhasil menaklukkan wilayah Barbad dan mendudukinya dan menghancurkan seluruh patung-patung Budha yang ada di sana pada tahun 160 H / 777 M.[14]
Antara tahun 162-163 H Tentara Romawi berusaha memasuki wilayah Bagdad dengan menghancurkan tembok pertahanan yang terdapat di wilayah al-H{adtha pada tahun 162 H / 779 M, kemudian menyerang dan memberangus perbatasan ‘Abbasiyah yang terdapat Mar’ash dan berhasil mendudukinya pada tahun 163 H / 780 M. setelah khalifah mengetahui hal ini kemudian pada tahun yang sama al-Mahdy mengutus tentaranya dibawah pimpinan al-Hasan bin al-Qah}t}abah, hanya saja para tentara Romawi telah kembali ke daerah mereka.[15] Kemudian pada tahun 165 H / 782 M al-Mahdy didampingi putranya Harun al-Rashi>d menyerang kota romawi, sesampainya di kota Ablastan atau Ablastin yang terletak diwilayah Asia Kecil, al-Mahdy terpaksa harus kembali ke Bagdad dan menyerahkan kepemipnan pasukan kepada Ha>ru>n al-Rashi>d, pasukan yang dipimpinnya menuju perbatasan Asia Kecil dan berhasil meruntuhkan benteng Buzantium yang ada di sana dan memasuki wilayah Basfu>r (wilayah kekuasaan Byzantium). Kondisi ini memaksa Ratu Irene (yang padu waktu memerintah atas nama putranya Kostantine VI) untuk melakukan perundingan, maka kedua pihak bersepakat bahwa kerajaan Byzantium wajib menyerahkan pajak tahunan, dan membiarkan para tentara ‘Abbasiyyah dan mempermudah kebuthan mereka dalam perjalanan.[16] Kemenangan pasukan al-Mahdy atas Byzantium dibawah pimpinan putranya al-Rashi>d ini memudahkan jalannya dalam menguasai wilayah Asia Tengah dimana para raja yang berada diwalayah tersebut tunduk dan patuh atas kepemimpinan al-Mahdy.[17]
Perperangan melawan Byzantium tidak pernah berhenti disebabkan karena setiap terjadi pergantian kepemimpinan pada kerajaan tersebut, setiap pemimpin senantiasa melanggar perjanjian yang telah mereka sepakati dengan para pemimpin ‘Abbasaiyah dengan mereka, terhitung mulai sejak perdamaian anatara al-Mans}u>r dengan Raja Kostantine IV dan V, kemudian dilanggar oleh raja Kostantine VI yang pada waktu itu pemerintahan dijalankan oleh Ratu Irene (ibu Kostantine VI) dan pada masa pemerintahan al-Mahdy kesepakatan perdamaian pun terjadi antara kedua pihak. Ratu Irene secara continue membayar pajak tahunan sebagaimana kesepakatannya dengan pemerintahan ‘Abbasiyah hingga kemudian ia wafat dan digantikan oleh Nicephorus I. pada waktu yang sama pula pemerintahan dynasty ‘Abbasiyah berada dibawah kepemimpinan Ha>ru>n al-Rashi>d menggantikan saudaranya Mu>sa> al-Ha>dy (W.170 H / 786 M). Telah terjadi proses korespondensi politik antara Nicephorus I dengan al-Rashi>d, dimana Nicephorus I menulis surat atas nama pemerintah Byzantium yang isinya:
“Dari Nicephorus penguasa Romawy kepada Ha>ru>n penguasa bangsa Arab, sesungguhnya penguasa sebelumku telah menempatkanmu pada posisi yang terhormat dan memposisikan dirinya pada posisi tida berdaya, oleh karenanya dia menyerahkan kepadamu hartanya yang bukan merupakan bagian dari hakmu, tetapi itu semata disebabkan karena kelemahan dan kebodohan seorang wanita, jika kamu telah membaca surat ini, maka kembalikanlah seluruh harta yang telah diserahkan –oleh penguasa sebelumku- kepadaku dan penyerahannya harus dilakukan olehmu tanpa utusan, jika tidak maka pertemuan pedang antara kita pasti akan terwujud”
Setelah Ha>ru>n al-Rashi>d membaca surat tersebut, ia pun marah dan memanggil sekretaris Negara untuk menulis surat sebagai balasan atas surat tersebut, adapun isi dari surat balasan kepada Nicephorus I adalah:
“Denagan Nama Allah yang Maha pengasih lagi Penyayang, Dari Ha>ru>n al- Rashi>d pemimpin kaum beriman (Ami>r al-Mu’mini>n) kepada Nicephorus anjing Romawi, aku telah membaca suratmu dan jawaban tidak akan kamu dengar tetapi akan kamu saksikan sendiri, wassala>m.[18]
Setelah mengirim surat tersebut kepada kaisar Byzantium, kemudian al-Rashi>d pun kelur memimpin sekitar 130.000 pasukan menuju kota Hirakl ibu kota Korah Baisina, dan kota tersebut berhasil dilumpuhkan dan diduduki pada tahun 189 H / 806 M dengan hancurnya pasukan dan seluruh benteng perbatasan Byzantium. Akhirnya Nicephorus I harus tunduk dan bersedia untuk kembali membayar pajak tahuna sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para pendahulunya.[19]
Ibnu Khaldu>n mencatat bahwa setelah peristiwa itu Nicephorus I kembali melanggar perjanjian yang mengundang turunnya al-Rashi>d bersama pasukannya kembali memerangi Negara mereka pada masa musim dingin, Nicephorus I beranggapan bahwa pasukan al-Rashi>d tidak akan memasuki wilayah mereka karena kondisi cuaca yang sangat ekstri, namun anggapan ini salah, bahkan pasukan tersebut berhasil merebut kembali wilayah Soan, kemudian mengirim pasukan di bawah pimpinan H{umaid Ma’yu>f melewati sungai Syam menuju Mesir dan pasukan tersebut berhasil melumpuhkan kekuatan Byzantim yang ada di wilayah Qubrus yang pada akhirnya pajak tahunan Byzantium yang harus dibayarkan kepada penguasa ‘Abbasiyah semakin bertambah dimana Uskup Qubrus wajib membayar 2000 Dinar, Nicephorus I harus membaayar pajak atas dirinya sebesar 4 dinar, dan atas putranya 2 dinar setiap tahunnya. Pada peperangan ini Ha>run al-Rashi>d dan pasukannya berhasil membawa pulang banyak tawanan dan harta rampasan perang, diantara tawanan tersebut adalah seorang wanita pelayan istana yang telah dilamar oleh putr Nicephorus I sehingga Nicephorus I terpaksa memintanya kembali melalui utusannya agar perikahan diaantara keduanya dapat berlangsung dengan baik. Dengan penuh kemuraahan hati al-Raashi>d pun mendatangkannya dengan pakaian dan perhiasan dengan menggunakan kemah miliknya.[20]
Secara umum dapat dinyatakan bahwa ‘Abbasiyah di hadapan Byzantium selama berada dibawah kepemimpinan Ha>ru>n al-Rashi>d adalah sebuah Negara yang berdaulat dengan kekuatan tentara dan persenjataan yang sangat lengkap dan terkuat di dunia saat itu, dimana para tentara memiliki panglima-panglima perang yang jenius dalam masalah taktik termasuk sang khalifah sendiri, para tentara dan panglimanya adalah gabungan orang-orang Arab, Mawa>ly, dan Khurasa>n.[21]
Selian hubungan dengan kaum Byzantium yang merupakan hubungan peperangan yang tidak terputus muali dari masa pemerintahan al-Mans}u>r hingga al-Rashi>d, al-Rashi>d juga memiliki hubungan dengan Eropa dibawah kepemimpinan Raja Prancis yang bernama Sharlman sebagaimana yang banyak dikisahkan oleh para sejarawan barat.
Berdasarkan informasi Strzyzewska bahwa telah terjadi kerjasam antara Sharlman dengan Ha>ru>n al-Rashi>d dengan dua tujuan, Pertama, Dapat memudahkan jalan untuk memerangi dynasti Umawiyyah yang berdiri di Andalusia, tetapi hal ini tidak menghasil sesuatu apapun disebabkan karena dynasty Umawiyyah memiliki keuatan yang cukup besar, Kedua, secara politik bilateral Sharlman berhasil mendapatkan beberapa faidah dari Bagda>d utamanya Faidah dalam masalh keilmuan, sebab Eropa dan kaum kristiani pada saat itu tenggelam dalam dunia kegelapan ilmu yang telah dipadamkan oleh kaum Bar-bar,[22] sementara itu Bagdad dan kaum muslimin berada pada puncak kejayaan peradaban dan ilmu. Dari dua bentuk tujuan politis tersebut dapat dilihat bahwa tujuan politis kedua memberikan suntikan yang sangat besar bagi Eropa dalam mengembangkan peradabannya, dimana Sharlman berusaha memperbaiki keadaan pemerintahannya dari segi hukum dan politik dengan mengikuti cara-cara al-Rashi>d.
Peperangan dengan Byzantium tidak berhneti pada masa kekhalifahan al-Rashi>d tetapi kemudian diteruskan oleh al-Ma’mu>n. peperangan ini dimulai pada tahun 215 H / 830 M hingga tahun 217 H / 833. Diantara benteng-benteng Byzantium dan berhasil ditaklulkkan oleh al-Ma’mu>n adalah: Benteng Qurrah, sebnayak 30 benteng yang terdapat disekitar Antakia, dan kota Tawabah yang kemudian didalmnya dibangun kota baru dimana al-Ma’mu>n kemudian wafat.[23]
Pada masa pemerintahan al-Mu’tas}i>m raja Romawi Tyufil bin Mikhael sang penguasa Byzantium enggan membayar pajak tahunan, akhirnya pada tahun 223 H / 839 M al-Mu’tas}i>m mengerahkan pasukan yang sangat besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ibnu Khaldu>n menguraikan bahwa pasukan yang dikerahkan oleh al-Mu’tas}i>m untuk menduduki kota ‘Amwariyyah yaitu kota kelahiran Tyufil Mikhaek adalah pasukan yang belum pernah ada sebelumnya baik dari sisi kelengkapan persenjataan, peralatan, jumlah diamana al-Mu’tas}i>m membagi pasukannya kepada lima sisi; pada sisi depan adalah pasukan Ashna>n, pada bagian belakang adalah pasukan Muh}ammad bin Ibra>hi>m bin Mus’ab, pada sisi kanan pasukan Ikh, pada sisi kiri pasukan Ja’far bin Di>na>r al-Khayya>t}, dan pada bagian tengah adalah pasukan ‘Aji>f bin ‘Anbasah.[24] Formasi pasukan yang dibentuk oleh al-Mu’tas}i>m ini memasuki kota ‘Amwariyyah secara bertahap mulai dari pasukan garda depan, kemudian pasukan kiri, kemudian pasukan kanan, kemudian pasukan tengah, kemudian pasukan belakang dengan demikian kota tersebut terkepung dari berbagai sisi dan berhasil meruntuhkan seluruh infra strutur yang ada didalamnya, hal ini dilakukan oleh al-Mu’tas}i>m karena kemarahannya kepada Byzantium yang telah memporak-porandakan wilayah Meliti dan Zabtar yang keduanya berada dibawah naungan penguasa al-‘Abba>siyah.[25]
Pertempuran antara kaum muslimin yang berada dibawah naungan Dynasty ‘Abba>siyah dengan Byzantium terus berlangsung hingga masa kepemimpinan al-Mutawakkil. Dari seluruh rangkaian peperangan melawan Byzantium dari masa al-Mans}u>r hingga al-Mutawakkil telah terjadi enam kali perdamaian, dimana perdamaian keenam adalah perdamaian yang terjadi anatara al-Mutawakkil denga penguasa Byzantium pada tahun 246 H / 352 M.[26]
Adapun para khalifah setelah al-Mutawakkil merekadisibukkan dengan kondisi internal Negara yang kacau balau. Kondisi ini menyebabkan kehancuran diseluruh wilayah kekuasaan ‘Abba>siyyah dimana rival utama mereka (Byzantium) memanfaatkan ketidak stabilan politik dalam Negara kekuasaan ‘Abba>siyah untuk menduduki kembali wilayah-wilayah mereka yang pernah diduduki oleh kekuasaan ‘Abba>siyah mulai dari masa al-Mans}u>r hingga al-Mutawakkil. Meski demikian diantara para khalifah pasca al-Mutawakkil masih tetap ada yang memiliki usaha untuk mempertahan wilayah-wilayah tersebut seperti al-Musta’i>n, al-Mu’tamad, dan al-Muqtadir tetapi semuanya tidak berhasil memaksa Byzantium untuk melakukan kesepakatan damai sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu mereka, hal ini disebabkan karena melemahnya kekuatan tentara ‘Abba>siyah dimana kaum ‘Ala>wiyyi>n yang merupakan kaum yang terbanyak dan terkuat dalam kesatuan tentara ‘Abba>siyah telah mulai melakukan pemberontakan dan termasuk pula diantaranya kaum Atra>k (orang-orang Turki) yang berakibat pada munculnya berbagai kerajaan-kerajaan kecil diberbagai wilayah kekuasaan ‘Abba>siyah yang terbesar diantaranya adalah Buwaih, Salju>k, dan Fa>thimyyah.
Adapun usaha para penguasa dynasty ‘Abba>siyah dalam melenyapkan kekuasaan Umawiyyah yang berdiri di Andalusia tidak pernah berhasil hingga kemudian lahir dynasty ‘Uthma>niyyah.
Perkembagan Politik Dalam Negeri Dinasty ‘Abba>siyyah
Sebagaimana yang telah diuraiakan pada pembahasan terdahulu bahwa dynasty ‘Abba>siyah didirikan secara revolusioner dengan menggunakan jasa orang-orang khurasan dalam hal ini Abu> Muslim al-Khurasa>ny yang telah berhasil mengumpulkan para pendukungnya dari kaum mawa>ly yang merasa tertekan dan tersisihkan dari keuasaan para penguasa dynasty Umawiyyah yang telah menjadikan kasta Arab sebagai kasta tertinggi dalam daulahnya dan kaum pesia menjadi pembantu-pembantu orang-orang Arab.
Dalam pandangan Ibnu Khaldu>n bahwa dynasty ‘Abba>siyah adalah dynasty yang berhaluan syi’ah yang kelompoknya dikenal dengan al-Ki>sa>niyyah yang berpendapat bahwa tampuk kepemimpinan berhak diberikan kepada Muh}ammad bin ‘Aly bin al-H{anafiyyah pasca wafatnya ‘Aly bin Abi> T{a>lib, kemudia kepada putranya Abu> Hisha>m ‘Abd Alla>h bin Muh}ammad, kemudian kepada Muh}ammad bin ‘Aly bin ‘Abd Alla>h bin ‘Abba>s, kemudian kepada putranya Ibra>hi>m al-Ima>m Ibn Muh}ammad, kemudian kepada saudaranya ‘Abd Alla>h bin al-H{arith Abu> al-‘Abba>s al-Saffa>h} dalam bentuk wasiat. Selain kelompok al-Ki>sa>niyyah atau al-H{arma>qiyyah, Bany ‘Abba>s juga memiliki pendukung lain ditanah Khurasan yang dikenal dengan kelompok al-Ra>wandiyyah yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak menduduki tampuk kepemimpinan setelah Rasulullah – S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam – adalah Al-‘Abba>s karena beliau adalah hali waris utama dari Rasulullah – S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam – sebagaimana firman Allah Swt:
... وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّه....
…orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah…[27]
Hanya saja wasiat ini dihalangi oleh seluruh manusia hingga kemudian kepemimpinan ini dikembalikan kepada keturunannya –yaitu Bany ‘Abba>s-. kelompok ini juga berlepas dari kepemimpinan Abu> Bakar, Umar dan ‘Uthma>n –Rad}iya Alla>hu ‘Anhum-, dan menganggap bahwa pembaiatan ‘Aly sebagai khlaifah yang boleh diangkat dengan landasan bahwa al-‘Abbas pernah berkata: “Kemarilah, Aku akan membai’atmu –sebagai khalifa – dan tidak seorang pun berseberangan denganmu. Landasan yang lain adalah pernyataan Da>wu>d bin ‘Aly – paman Abu> al-‘Abba>s al-Saffa>h – pada saat pembaiatan al-Saffa>h}: “Wahai para penduduk Kufah, tidak lah terdapat seorang pemimpin –yang berhak kalian taati – setelah Rasulullah – S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam – kecuali ‘Aly bin Abi> T{a>lib dan yang berdiri ditengah-tengah kalian hari ini –yaitu al-Saffa>h}-.[28]
Dari pandangan Ibnu Khaldu>n di atas dapat diketahui bahwa terdapat dua kelompok yang menghendaki terjadinya perubahan system pemerintahan dengan mengembalikan hak kepemimpinan kepada mereka yang lebih berhak secara wasiat, kedua kelompok tersebut adalah al-Ki>sa>niyyah dan al-Ra>wandiyyah yang keduanya adalah kelompok dalam syi’ah. Dari padangan tersebut dapat diungkapkan bahwa kedua kelompok syi’ah tersebut berasal dari negeri Persia yang pernah menjadi pembantu-pembantu kasta ‘Arab pada zaman dynasty Umawiyyah berkuasa. Selian itu dapat pula di temukan bahwa beridirinya daulah atau dynasty ‘Abba>siyah berkat kegigihan kedua kelompok tersebut dalam mengumpulkan seluruh mawa>ly untuk melakukan revolusi besar-besaran terhadap pemerintahan dynasty Umawiyyah yang diawali dari Khurasan dan Irak hingga ke Kufah yang pada akhirnya keluarga Bany Umawiyyah[29] lari ke Magrib kemudian ke Andalusia dan kemudian mendirikan kembali dynasty Umawiyyah disana untuk menandingi dynasty ‘Abba>siha di Ku>fah.
Khalifah pertama dynasty ‘Abba>siyyah menghabiskan waktunya bersama dengan para pembantunya dalam memburu dan membersihkan keturunan Uma>wiyyah mulai dari kufah hingga Magrib (Maroko) sebagaimana yang banyak direkam secara baik dalam karya-karya para sejarawan dunia termasuk sejarawan Barat (orinetalis), kesibukan sang khalifah ini dimanfaat oleh raja Kostantine V melumpuhkan dan menghancurkan benteng-benteng perbatasan yang dekat dari wilayah kekuasaannya sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Khalifah pertama ‘Abba>siyah terdapat tiga orang pembantunya yang memiliki kekuasaan setelah khalifah mereka adalah: Abu> Muslim sang pemimpin revolusi ‘Abba>siyah menguasai seluruh wilayah Timur, Abu Ja’far al-Mans}u>r (saudara al-Saffa>h}) menguasai wilayah Jazi>rah, Armenia, dan Irak, dan ‘Abd Alla>h bin ‘Aly (paman al-Saffa>h}) menguasai Sha>m dan H{ims}.[30] Ketiga penguasa ini memiliki dendam antara satu dengan lainnya dimana al-Mans}u>r dendam terhadap Abu> Muslim al-Khurasa>ny sebab seluruh pendapat dan perkataannya disengar dan dilaksanakan oleh al-Saffa>h}, sementara ‘Abd Alla>h bin ‘Aly sangat menginginkan kursi kekhalifahan setelah al-Saffah} dan menggeser posisi al-Mans}u>r sebagai putra mahkota.
Keinginan ‘Abd Allah bin ‘Aly untuk menjadi khalifah menggantikan al-Saffa>h} di ketahui oleh al-Saffa>h sehingga ketika al-Saffa>h dalam masa sakitnya mengirim pamannya tersebut menuju al-S}a>ifah tempat berkumpulnya para tentara ‘Abba>siyah dari kalangan orang-orang Khurasa>n dan Sha>m. sesampainya ‘Abd Alla>h di sana ia tidak mengetahui sesuatu apa pun yang terjadi atas al-Saffa>h} di al-Anba>r hingga sampai kepadanya surat dari ‘I bin Mu>sa> tentang wafatnya al-Saffa>h} dan dibaiatnya al-Mans}u>r sebagai khalifah selanjutnya.[31] Perkara ini kemudian memunculkan pemberontakan ‘Abd Alla>h bin ‘Aly atas kekhalifahan al-Mans}u>r, sehingga al-Mans}ur memerintahkan Abu> Muslim untuk melumpuhkan pemberontakan tersebut hingga pada akhirnya ‘Abd Alla>h bin ‘Aly dipenjarakan didalam sebuah rumah yang lantainya terbuat tumpukan garam yang disekitarnya terdapat air yang mengalir, pada akhirnya garam tersebut meleleh dan ‘Abd Alla>h pun tersunggur dan wafat. Pemberontkan ini tidak hanya membunuh ‘Abd Allah tetapi juga merugikan dua saudaranya yaitu Sulaima>n dan ‘I dimana Sulaima>n di lengserkan dari jabatannya sebagai Gubernur Bas}rah, keduanya diberikan jaminan akan keselamatan ‘Abd Alla>h. ketika mereka menjenguk ‘Abd Alla>h mereka tidak menemukan ditempat yang ditunjukkan oleh al-Mans}u>r keduanya mengetahui bahwa jaminan itu telah dilanggar oleh khalifa, lalu mereka menuju istana bertemu dengan al-Mans}u>r dan keduanya pun harus mendekam didalam penjara.[32]
Dari keterangan di atas tidak dapat dipungkiri bahwa jasa Abu> Muslim al-Khura>sa>ny terhadap keluarga ‘Abba>siyah sangat besar. Tetapi dalam dunia politik tidak dapat diprediksi sebab terkadang kawan yang berjasa dapat menjadi lawan dan lawan kadang menjadi kawan tanpa tanda jasa. Setelah Abu> Muslim menggulingkan dynasty Umawiyyah atas nama Bany Ha>shimiyyah, mengangkat al-Saffa>h} sebagai Khlaifah, menjadi orang terdekat al-Saffa>h} dalam segala bentuk kebijakan politiknya, dan senantiasa setia terhadap al-Saffa>h}, serta berhasil melumpuhkan pemberontakan paman Khalifah dan mengeksekusinya, kemudian harus terbunuh ditangan lima orang tentara terkuuat al-Mans}u>r yang berketurunan Arab di dalam istana khalifah sesuai dengan perintah sang khalifah. Akibat dari terbunuhnya Abu> Muslim al-Khura>sa>ny memunculkan pemberontakan al-Rawandiyyah yang merupakan pengikut setia Abu> Muslim dan memiliki andil yang sangat besar pula dalam menggulingkan dynasty Umawiyyah dan membai’at al-Saffa>h} sebagai khalifah, pemberontakan ini berhasil dilumpuhkan oleh pasukan Ma’an bin Za>idah al-Shaiba>ny yang pada waktu itu merasa perlu untuk membela khalifah sekalipun dahulu dia adalah salah seorang pembesar pada masa dynasti Umawiyyah berkuasa. Dari peristiwa tersebut Ma’an bin Za>idah pun mendapatkan kedudukan sebagai gubernur dan panglima perang di Yaman dan Sijista>n.[33]
Salin dari empat peristiwa tersebut terjadi pula peristiwa pemberontakan dari keturunan al-H{asan bin ‘Aly yaitu Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h, bin Al-H{asan bin al-H{asan bin ‘Aly bin Abi> T{a>lib yang kemudian memproklamirkan diri sebagai Muh}ammad al-Mahdy dimana ayahnya di tempatkan sebagai gubernur Madinah dan saudaranya Ibra>hi>m sebagai gubernut Bas}rah. Pemberontakan yang dilakukan oleh al-Mahdy ini disebabkan karena henda mendirikan dynasty atas nama Ahl al-Bait, keinginaannya tersebut tercium oleh al-Mans}u>r sehingga al-Mans}u>r menangkap dan memenjarakan seluruh keturunan al-H{asan bin ‘Aly. Pada tahun 145 H / 351 M Muh}ammad al-Mahdy berhasil menduduki kota madinah dan memproklamirkan kekhalifahan diri atas nama ahl al-Bait. Peristiwa ini menyebabkan al-Mans}u>r mengirimkan surat kepada Muh}ammad al-Mahdy dengan nyaminan bahwa apabila dia dan seluruh pendukungnya berbaiat dan tunduk kepada pemerintahan al-Mans}u>r, maka seluruh keluarganya yang ditahan akan dibebaskan. Muh}ammad dengan serta merta menjawab surat tersebut dengan berbagai tuntutan dan permintaan, sesampainya surat balasan tersebut ditangan al-Mans}u>r, sang khlaifah pun mengirim pasukan menuju Madinah dibawah pimpinan ‘I bin Mu>sa> hingga akhirnya Muh}ammad pun tewas terbunuh ditangan ‘I. Berita terbunuhnya Muh}ammad sampai kepada suadaranya Ibra>hi>m di Basrah dimana pada saat Muh}ammad menduduki Madi>nah dia tidak dapat ikut membantu karena sakit yang dideritanya, karena kesedihan dan dendam atas terbunuhnya Saudaranya Ibra>hi>m pun melakukan pemberontakan hingga pada bulan Dhu> al-Qa’dah 145 H Ibra>hi>m pun terbunuh ditangan ‘I bin Mu>sa>.[34]
Dari peristiwa-peristiwa internal tersebut tidak menyurutkan proses pembentukan Negara dan lembaga-lembaga kenegeraan secara profesional. Adapun lembaga-lembaga yang dibentuk pada masa pemerintahan al-Mans}u>r dimana Bagda>d sebagai ibu kotanya adalah: a) Wazi>r, b) H{a>jib, c) al-Ka>tib, d) S{a>h}ib al-Shurt}ah, dan e) Al-Qa>d}y. kelima lembaga ini merupakan lembaga yang ada pada masa al-Mans}u>r yang memiliki wewenang masing-masing. Dinatara istilah kelembagaan tersebut hanya istilah wazi>r yang tidak dikenal pada masa dynasty Umawiyyah, sebab istilah ini adalah istilah yang digunakan oleh penguasa Persia keluarga Sasania dimana orang yang pertama diangkat sebagai wazi>r dalam dynasty ‘Abba>siyah adalah seorang tokoh propogandis Kufah yang bernama Abu> Salma> al-Khalla>l yang merupakan keturunan para penguasa Persia.[35]
Dari keterangan-keterangan tersebut dapat dinyatakan bahwa system pemerintahan ‘Abba>siyah memilikii perbedaan yang sangat tajam dengan sitem pemerintahan yang dilakukan oleh dynasty Umawiyyah dimana dynasty Umawiyyah melakukan system Arabisasi sehingga seluruh wilayah kekuasaan politik berada ditanngan kaum Arab sementara kaum non-Arab hanyalah sebagai pemmbantu-pembantu mereka, sementara dynasty ‘Abbasiyah menjalankan system integritas social diaman seluruh wilayah kekuasan politik dapat dijalankan oleh kasta Arab dan non-Arab secara bersama-sama.
Perkembangan politik dynasty ‘Abbasiyah terus berlanjut dengan tetap menjalanan system integrasi social. Tetapi pada masa dynasty ‘Abbasiya jilid pertama pengaruh Persia cukup besar sehingga system pemerintahan pun bercorak Persia, sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu bahwa istilah “Wazi>r” merupakan istilah yang disematkan kepada Abu> Salma> al-Khalla>l, selain kepadanya terdapat satu keluarga yang turut mendaptkan posisi yang sangat strategis mulai dari masa pemerintahan al-Saffa>h} hingga berakhir pada masa pemerintahan al-Rashi>d, keluarga tersebut adalah keluarga Barmak yang merupakan keurunan Maju>si dari wilayah Balkha Persia, dan masuk Islam dengan haluan Syi’ah dan keturunan pertamanya yang mengambil bagian dalam revolusi ‘Abbasiah adalah Kha>lid bin Barmak bahkan menjadi salah seorang tokoh propogandis revolusi dan menjadi Wazi>r kedua menggantikan posisi Abu Salma> al-Khalla>l pada masa al-Saffa>h}. Penghapusan keluarga Barmak dalam pemerintahan dynasty ‘Abbasiyah oleh al-Rashi>d disebabkan karena mereka merasaa bahwa mereka telah memiliki keuatan yang cukup, kemudian berusaha untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarga mereka dan memprovoasi mereka untuk keluar dari pemerintahan al-Rashi>d dan mendirikan dynasty Barmakiyyah, akhirnya Kha>lid bin Yah}ya> al-Barmaky terbunuh pada 197 H dan kemudian seluruh keluarganya di penjara dan seluruh hartanya disita.[36]
Pada masa pemerintahan al-Ma’mu>n pengaruh Persia cukup besar diamana hamper seluruh wilayah diduduki oleh para gubernur dan panglima yang berketurunan Persia sehingga panglima perang dari kalam Arab tenggelam. Pada masa al-Ma’mu>n pula para tentara dan pengawal kerajaan lebih banyak dari kaum Turki. Strzyzewska dalam catatannya menginformasikan bahwa bahwa para tentara sebelum masa al-Ma’mu>n seluruhnya berketurunan Arab termasuk para panglimanya, ketika al-Ma’mu>n menjadi khalifah para tentaranya mayoritas berasal dari Khurasa>n sehingga posisi orang Arab semakin berkurang dan tidak terdapat seorang panglimapun yang berketurunan Arab sebagaimana yang pernah ada pada masa pemerintahan al-Mans}u>r, al-Mahdy dan al-Rashi>d. Pemerintahan al-Ma’mu>n lebih banyak bertumpu pada kekuatan non-Arab sehingga unsure-unsur Turki masuk kedalam pemerintahannya.[37]
Informasi tersebut memberikan gambaran bahwa awal masuknya unsur-unsur Turki ke dalam dynasty ‘Abbasiah adalah pada periode kekhalifahan al-Ma’mu>n dimana sebahagian besar –untuk tidak mengetakan seluruhnya- para tentara yang menjadi penjaga perbatasan wilayah kekuasaan baik teritorial maupun politik dipenuhi oleh unsure-unsur non-Arab yaitu Persia dan Turki.
Pemikiran politik pada maasa dynasty ‘Abba>siyah mulai terlihat pada masa pemerintahan al-Mans}u>r dimana beliau mengumpulkan seluruh ulama dan penuntut ilmu dari berbagai kalangan didalam istananya untuk menterjemahkan sebahagian kecil dari karya-karya peninggalan para ilmuan terdahulu, kemudian didiskusikan, diantara karya yang diterjemahkan pada masa ini adalah karya Aristoteles, dan Plato yang berbicara tentang politik, adapun karya tentang politik yang paling pertama disusun oleh ulama Islam pada ini adalah karay Ibn al-Muqaffa’. Proses penterjemahan dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan al-Rashi>d disebabkan karena kecintaan al-Rashi>d terhadap Ilmu dan mendirikan sebuah lembaga terjemah dan perpustakaan yang berisi kerya-karya para ulama dari berbagai latarbelakang ilmu dan bahasa. Proses penterjemahan semakin besar dan tampak pada masa pemerintahan al-Ma’mu>n bahkan al-Ma’mu>n mendirikan sebuah lembaga penterjemahan yang menghimpun seluruh buku dan para penterjemah dari bergai kalangan dan bahasa sekaligus menjadi lembaga pendidikan yang disebut dengan “Bait al-H{ikmah”.[38]
Dalam pandangan Jhon L. Esposito bahwa “Bait al-H{ikmah” atau “Da>r al-H{ikmah” milik khalifah al-Ma’mu>n ini adalah merupakan upaya “lintas-iman” dimana pusat penterjemahan ini dipimpin oleh Hunain Ibn Ish}a>q seorang Kristen Nestorian, sumbangan-sumbangan utama diberikan kepada banyak bidang: Sastra dan filsafat, al-jabar dan geometri, ilmu pengetahuan dan kesehatan, seni dan arsitektur. Raksasa-raksasa intelektual papan atas mendominasi zaman ini[39] seperti: Abu H{ani>fah, Ma>lik, al-Sha>fi’y, Ahmad bin H{anbal (dari Ulama Fiqhi), Ibn Shiha>b al-Zuhry (dari kalangan ahli H{adi>th), al-Kindy, al-Fara>by, Ibnu Si>na>, al-Khawarizmy, Ibn Muqaffa’ dan banyak lagi lainnya yang merupakan produk-produk emas zaman ini. Jadi Islam pada zaman ini tidak hanya menantang dunia sejara politik praktis tetapi juga menantang dunia secara cultural dan keilmuan, dimana dia adala “Renaisans” dari priode klasik Islam pada saat Kristen Eropa berada pada dunia kegelapan tanpa ilmu.
Penutup
Dari seluruh uraian tentang perkembangan politik dynasty ‘Abbasiyah baik luar maupun dalam negeri, baik dari segi praktik maupun pemikiran dapat disederhanakan bahawa secara politik luar negeri dynasty ‘Abbasiyah memiliki rival abdi dalam hal ini kaum Byzantium Romawi yang senantiasa berusaha mengambil wilayah-wilayah kekuasan dynasty ‘Abbasiah, dan terus melanggar perjanjian mulai dari masa pemerintahan Kostantin V hingga berakhirnya masa pemerintahan dynasty ‘Abba>siyah sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara dynasy ‘Abba>siyah dengan Byzantium adalah hubungan peperangan abadi hingga munculnya dynasty ‘Uthma>niyyah. Meski demikian hubungan antara penguasa ‘Abba>siyah dengan Eropa adalah hubungan dagang dan pertukaran hadiah untuk mengamankan posisi dari Andalusia yang dikuasai oleh dynasty Umawiyyah jilid II.
Adapun secara internal politik lebih banyak menghabiskan tenaga dalam menghadapi kaum pemberontak yang berusaha untuk keluar dari pemerintahan yang sah, dan secara pemikiran proses diskusi tentang pemerintahan ideal senantiasa terjadi antar khalifah dan para pembantunya didalam istana seperti antara al-Saffa>h} dengan abu> Muslim al-Khurasa>ny, Abu> Salma> al-Khalla>l, dan Kha>lid al-Barmaky. Demikian pula antara al-Mans}u>r dengan keluarga Barmak. Perkembangan pemikiran politik selanjutnya tampak pada masa terjadinya proses penterjemahan karya-karya intelektual masa lalu dari berbagai bahasa ke dalam bahasa Arab, yang secara rutin didiskusikan oleh para ulama bersama dengan para khalifah dynasty ‘Abba>siyah.
Akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa perjalanan politik dynasty ‘Abba>siyah tidak terlepas dari berbagai konflik berdarah baik kepentingan politik maupun mazhab-mazhab keagamaan yang secara bersamaan tumbuh pada zaman ini, seperti munculnya khawa>rij, Shi>’ah, dijadikannya Mu’tazilah sebagai faham keagamaan Negara dan pada akhirnya melahirkan dynasty Buwaih sebagai dynasty yang berhaluan Shi>’ah dimana Khalifah ‘Abbasiyah hany sebagai boneka, kemudian melahirkan dynasty Saljuk yang berhaluan Sunni, dan Fat}imiyyah di Mesir yang berhaluan Shi’ah Isma>’iliyyah. Wa Alla>hu A’lam bi al-S}awa>b.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Kari>m
Ansary, Tamim, Dari Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam. Diterj. Yuliani Liputo. Jakarta: Zaman, 2010.
al-‘Aba>dy, Ahmad Mukhta>r. Fi> al-Ta>ri>kh al-‘Abba>sy wa al-Fat}imy. Beirut: Da>r al-Nahd}ah al-‘Arabiyyah, Tth.
al-‘Asi>ry, Ah}man Ma’mu>r. Mu>jaz al-Ta>ri>kh al-Isla>my; Mundhu ‘Ahdi Am ila> ‘As}rina al-H{a>d}ir. Saudi Arabiyah: Matabah Malik Fahd al-Wat}aniyyah, 1996.
Bek, Muhammad al-Khad}ary. Muh}a>d}ara>t Ta>ri>kh al-Umam al-Isla>miyyah; Daulah al-‘Abba>siyyah. Mesir: Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1970.
H{asan, ‘Aly Ibra>hi>m. al-Ta>ri>kh al-Isla>my al-‘A. Kairo: Matabah al-Nahd}ah al-Mis}riyyah, Tth.
H{asan, H{asan Ibra>hi>m. Ta>rim: al-Siya>sy wa al-Di>ny wa al-Thaqa>fy wa al-Ijtima>’y. vol. 2. Beirut : Da>r al-Ji>l, 1996.
--------------------. Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterj. H.A. Bahauddin. Vol. 1. Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Ibnu al-Athi>r, ‘Aly bin Abi al-Karam (w. 630 H), al-Ka>mil fi> al-Ta>ri>kh. Vol. 5. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407 H / 1987 M.
Ibnu Khaldu>n, ‘Abd al-Rah}ma>n. Kita>b al-‘Ibar wa Di>wa>n al-Mubtada> wa al-Khabar yang dikenal dengan Ta>rikh Ibn Khaldu>n. Vol.3. Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
K. Hitti, Philip. History of The Arabs. London: The Macmillan Press Ltd, 1970.
L. Esposito, Jhon. Islam The Stight Path. Diterj. Arif Maftuhin. Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2010.
Mahmuddunnasir, Syed. Islam; Konsepsi dan Sejarahnya. Diterj. Adang Affandi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Vol. 1. Jakarta: UI Press, 1978.
Sala>mah, Jala>l H{asany. al-Tarjamah fi> al-‘As}ri al-‘Abba>sy. Nables: Ja>mi’ah al-Quds al-Maftu>h}ah, Tth.
Salim, Abdul Muin. Fiqhi Siayasah; Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. Jakart: RajaGrafindo Press, 2002.
Strzyzewska, Bozena Gajane. Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>my; Ta>ri>kh al-Daulah al-Isla>miyyah wa Tashri>’iha>. Beirut: Da>r al-Aq al-Jadi>dah, 1980.
al-S{alla>by, ‘Aly Muh}ammad Muh}ammad. ‘As}r al-Daulatain: al-Umawiyyah wa al-‘Abba>siyyah wa Z{uhu>r Fikr al-Khawa>rij. Oman: Da>r al-Baya>riq, 1998.
al-Shahrasta>ni>y, Muhammad bin Abd al-Kari>m bin Abu> Bakr Ahmad. Al-Milal wa al-Nih}al. Vol. 1. Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>b al-H{alibi>y wa Awala>duhu>, 1387 H.
al-Shari>f, H{asan Ah}mad Ma}mu>d dan Ah}mad Ibra>hi>m. al-‘Amy fi> al-‘As}ri al-‘Abba>sy. Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Araby, Tth.
Ya’qu>by. Ta>ri>kh al-Ya’qu>by. Maktabah Sha>milah 2.8, Tth
[1] Abdul Muin Salim. Fiqhi Siayasah; Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. (Jakart: RajaGrafindo Press, 2002), 1; Bandingkan: Muhammad bin Abd al-Kari>m bin Abu> Bakr Ahmad al-Shahrasta>ni>y. Al-Milal wa al-Nih}al. Vol. 1 (Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>b al-H{alibi>y wa Awala>duhu>, 1387 H), 24. Philip K Hitti. History of The Arabs (London: The Macmillan Press Ltd, 1970), 139. Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Vol. 1 (Jakarta: UI Press, 1978), 92.
[2] Muin Salim. Fiqhi Siyasah….., 1. Bandingkan : Hasan Ibrahim Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterj. H.A. Bahauddin. Vol. 1 (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), 396-398.
[3] Syed Mahmuddunnasir. Islam; Konsepsi dan Sejarahnya. Diterj. Adang Affandi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), 165.
[4] Ibid., 166-167.
[5] Lebih lanjut lihat. Hitti, The History…, 180-184.
[6] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam. Diterj. Yuliani Liputo (Jakarta: Zaman, 2010), 153.
[7] Ya’qu>by, Ta>ri>kh al-Ya’qu>by (Maktabah Sha>milah 2.8, Tth), 251,255. Bandingkan: ‘Aly Muh}ammad Muh}ammad al-S{alla>by, ‘As}r al-Daulatain: al-Umawiyyah wa al-‘Abba>siyyah wa Z{uhu>r Fikr al-Khawa>rij (Oman: Da>r al-Baya>riq, 1998), 88.
[8] Syed Mahmuddunnasir. Islam; Konsepsi dan Sejarahnya, 212-213.
[9] Ya’qu>by, Ta>ri>kh al-Ya’qu>by, 262.
[10] ‘Aly Muh}ammad Muh}ammad al-S{alla>by, ‘As}r al-Daulatain: al-Umawiyyah wa al-‘Abba>siyyah wa Z{uhu>r Fikr al-Khawa>rij, 88-89.
[11] Al-S}awa>if adalah kelompok tentara al-Mans}u>r yang bertugas menjaga perbatasan setiap musim panas, dan al-Shawa>ty adalah pasukan yang bertugas menjaga perbatasan setiap musim dingin. Lihat. H{asan Ah}mad Ma}mu>d dan Ah}mad Ibra>hi>m al-Shari>f, al-‘Amy fi> al-‘As}ri al-‘Abba>sy (Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Araby, Tth), 164.
[12] ‘Aly Ibra>hi>m H{asan, al-Ta>ri>kh al-Isla>my al-‘A(Kairo: Matabah al-Nahd}ah al-Mis}riyyah, Tth), 358. Bandingkan. H{asan Ibra>hi>m H{asan, Ta>rim: al-Siya>sy wa al-Di>ny wa al-Thaqa>fy wa al-Ijtima>’y (Beirut : Da>r al-Ji>l, 1996), 198.
[13] Ah}man Ma’mu>r al-‘Asi>ry, Mu>jaz al-Ta>ri>kh al-Isla>my; Mundhu ‘Ahdi Am ila> ‘As}rina al-H{a>d}ir (Saudi Arabiyah: Matabah Malik Fahd al-Wat}aniyyah, 1996), 183.
[14] ‘Aly bin Abi al-Karam Ibnu al-Athi>r (w. 630 H), al-Ka>mil fi> al-Ta>ri>kh. Vol. 5 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407 H / 1987 M), 235.
[15] H{asan Ibra>hi>m, Ta>rim, 198.
[16] Ahmad Mukhta>r al-‘Aba>dy, Fi> al-Ta>ri>kh al-‘Abba>sy wa al-Fat}imy (Beirut: Da>r al-Nahd}ah al-‘Arabiyyah), 71. Bandingkan. Ibra>hi>m al-Shari>f, al-‘Amy fi> al-‘As}ri al-‘Abba>sy , 165-166.
[17] Ibra>hi>m al-Shari>f, Ibid., 166.
[18] Muhammad al-Khad}ary Bek, Muh}a>d}ara>t Ta>ri>kh al-Umam al-Isla>miyyah; Daulah al-‘Abba>siyyah (Mesir: Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1970), 130. Bandingkan. Bozena Gajane Strzyzewska, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>my; Ta>ri>kh al-Daulah al-Isla>miyyah wa Tashri>’iha> (Beirut: Da>r al-Aq al-Jadi>dah, 1980), 235.
[19] al-‘Aba>dy, Fi> al-Ta>ri>kh al-‘Abba>sy wa al-Fat}imy, 92.
[20] ‘Abd al-Rah}ma>n Ibnu Khaldu>n, Kita>b al-‘Ibar wa Di>wa>n al-Mubtada> wa al-Khabar yang dikenal dengan Ta>rikh Ibn Khaldu>n. Vol.3 (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 276-277. Bandingkan. Strzyzewska, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>my…, 235.
[21] al-Khad}ary Bek, Muh}a>d}ara>t Ta>ri>kh al-Umam al-Isla>miyyah, 133.
[22] Strzyzewska, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>my…, 236.
[23] al-Khad}ary Bek, Muh}a>d}ara>t Ta>ri>kh al-Umam al-Isla>miyyah, 223-224.
[24] Ibn Khaldu>n, Ta>rikh Ibn Khaldu>n, 323.
[25] al-Khad}ary Bek, Muh}a>d}ara>t Ta>ri>kh al-Umam al-Isla>miyyah, 223-224. Bandingkan. Strzyzewska, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>my…, 259.
[26] al-Khad}ary Bek, Ibid., 265.
[27] QS. Al-Anfa>l (08) : 75.
[28] Ibn Khaldu>n, Ta>rikh Ibn Khaldu>n, 212.
[29] Keluarga Bany Umayyah tersebut lari setelah terbunuhnya Marwa>n II, diantara mereka adalah sang putra mahkota ‘Abd al-Rah}ma>n bin Mu’a>wiyah dan Hisha>m bin ‘Abd al-Malik yang kemudian mendirikan Dinsty Umawiyyah Jilid II di Andalusia, akhirnya kepemimpinan dalam Islam terbagi dua; di Barat berdiri dynasty Umawiyyah dan di Timur berdiri dynasty ‘Abba>siyah. Lihat. Ibn Khaldu>n, Ibid., 208. Strzyzewska, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>my…, 203-204.
[30] Strzyzewska, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>my…, 203-204.
[31] Ibn Khaldu>n, Ta>rikh Ibn Khaldu>n. vol.3, 221.
[32] Ibid. vol.3, 221-227.
[33] al-Khad}ary Bek, Muh}a>d}ara>t Ta>ri>kh al-Umam al-Isla>miyyah, 74-76.
[34] Strzyzewska, Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Isla>my…, 207-210.
[35] Ibid., 211-212.
[36] al-Khad}ary Bek, Muh}a>d}ara>t Ta>ri>kh al-Umam al-Isla>miyyah, 119-126. Ibn Khaldu>n, Ta>rikh Ibn Khaldu>n. vol.3, 273-275. Strzyzewska, Ibid, 228-231.
[37] Strzyzewska, Ibid, 205.
[38] Jala>l H{asany Sala>mah, al-Tarjamah fi> al-‘As}ri al-‘Abba>sy (Nables: Ja>mi’ah al-Quds al-Maftu>h}ah, Tth), 4-7.
[39] Jhon L. Esposito, Islam The Stight Path. Diterj. Arif Maftuhin (Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2010), 73-74.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....