Jumat, 29 April 2011

AL MU'TAZILAH

oleh : Abd. Gaffar. S.Th.I
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Munculnya berbagai macam aliran atau sekte dalam Islam tidak lepas dari berbagai macam persoalan yang menimpa umat Islam sepeninggal Rasulullah saw. (w. 11 H/632 M.). Perdebatan antar sahabat pada saat-saat terakhir Rasulullah saw., perbedaan tempat pemakamannya dan perbedaan seputar pengganti Rasulullah saw. Meskipun peristiwa itu tidak menampakkan perpecahan atau pertikaian yang riil di tengah-tengah masyarakat.[1] Namun perpecahan itu mulai muncul sejak peristiwa terbunuhnya Usman Ibn Affan dan mencapai puncaknya pada saat terjadi perang shiffin[2] yang diakhiri dengan al-tahkim sebagai opsi perdamaian.
Peristiwa al-tahkim kemudian memuncukan pro-kontra di kalangan umat Islam. Sebagian menganggap al-tahkim sebagai sebuah kesalahan dan kesesatan sehingga penganut pendapat keluar dari barisan Ali dan Mu’awiyah dengan bentuk sekte al-Khawarij dan menganggap semua pelaku al-tahkim kafir. Sementara sebagian yang lain bertahan dan membela Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian dikenal dengan nama sekte syiah dengan menganggap Ali sebagai Imam yang terjaga dari dosa (ma’shum). Sedangkan umat Islam yang memposisikan diri netral, meskipun dalam kenyataannya cenderung menguntungkan Mu’awiyah membentuk kelompok dengan nama al-Murjiah dengan mengatakan bahwa pelaku al-tahkim dan pelaku dosa besar tetap mukmin.[3]
Perbedaan yang meruncing antara sekte Khawarij dan Murjiah seputar pengkafiran orang-orang yang ikut dalam al-tahkim dan pelaku dosa besar membuat washil Ibn Atha’ membuat statemen bahwa mereka tidak masuk kategori kafir dan tidak mukmin yang kemudian dikenal dengan istilah al-manzil baina al-manzilatain. Pada akhirnya washil kemudian dicap sebagai al-Mu’tazilah. Sejak itulah ajaran-ajaran washil berkembang dan mengalami penyempurnaan dari para murid-muridnya yang kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh al-Mu’tazilah, baik dari kota Bashrah maupun di Bagdad. kemudian sekte ini berjaya pada masa pemerintahan Abbasiyah khususnya khalifah al-Ma’mun.[4]
Sebagai sebuah aliran atau sekte, para tokoh-tokoh al-Mu’tazilah kemudian membuat pancadasar sebagai pedoman dan ajaran yang harus diakui kebenaran dan diiyakan oleh siapa saja sebagai syarat penyamatan kata al-Mu’tazilah untuknya. Pancadasar itulah yang kemudian dikenal dengan istilah al-ushul al-khamsah.    
Ciri utama yang membedakan aliran atau sekte al-Mu’tazilah dengan sekte-sekte yang lain adalah pandangan theologisnya dan politiknya yang lebih banyak ditunjang oleh dalil aqliyah (rasional) dan bersifat filosofi. Mereka lebih sering disebut aliran rasionalis Islam atau aliran liberal. Ciri itu kemudian yang menyebabkan sekte ini banyak ditentang oleh umat Islam, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menuduhnya golonagn kafir, firqah al-dhalalah (kelompok yang sesat) kelompok bid’ah fadhihah (Kelompok bid’ah yang memalukan) dan masih banyak lagi penyematan-penyematan yang memojokkan mereka.[5]
Kemunculan al-Mu’tazilah, perkembangan dan ajaran-ajaran mereka serta apa yang telah dipersembahkan oleh sekte ini sangat perlu dikaji secara objektif untuk mengetahui kebenaran dan mendalami sekte ini sehingga dapat dinilai dengan fair dari berbagai sudut pandang ulama, bukan hanya oleh ulama ahl al-sunnah wa al-jama’ah semata. Sehingga apa yang berguna dan bermanfaat dari sekte ini, baik ajaran-ajarannya maupun yang metodologinya dapat digunakan demi kepentingan agama Islam dan umatnya.
Fakta sejarah membuktikan bahwa perbedaan di kalangan mereka (Khawarij, al-Syiah, Murjiah dan al-Mu’tazilah, dan semua sekte-sekte yang muncul kemudian)   dalam masalah politik terlebih lagi dalam masalah teologi tidak lepas dari latar belakang kesukuan, cara pandang dan metodologi yang digunakan serta landasan yang digunakan, baik dari wahyu Allah (al-Qur’an dan al-Sunnah) maupun kekuatan akal.[6]



B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah pokok “Apa, siapa, bagaimana dan untuk apa al-Mu’tazilah itu?” yang terdiri dari empat sub masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian al-Mu’tazilah dan bagaimana sejarah timbulnya?
2.      Apa saja ajaran-ajaran pokok al-Mu’tazilah?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam al-Mu’tazilah?
4.      Bagimana perkembangan aliran al-Mu’tazilah dan apa saja pengaruhnya dalam dunia Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian al-Mu’tazilah dan Sejarah Timbulnya
Al-Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab إعتزل-يعتزل-إعتزالا yang akar katanya terdiri dari huruf ع-ز-ل yang berarti penyingkiran atau penjauhan dan kecondongan.[7] Hal itu dikuatkan oleh firman Allah swt. “وإن لم تؤمنوا لي فاعتزلون”Dan jika kamu tidak beriman kepadaku Maka biarkanlah Aku (memimpin Bani Israil)".[8] Bahkan Ibnu Manzur menafsirkannya dengan mengatakan “Dan jika kalian tidak beriman kepadaku maka janganlah memusuhiku dan janganlah bersama denganku.”[9] Dari pengertian akar katanya dapat dipahami bahwa kata al-Mu’tazilah berarti orang yang condong, berpisah atau memisahkan diri, menjauh atau menyingkir.[10]
Namun secara termenologi, ada beberapa komentar atau analisa seputar pemberian nama al-Mu’tazilah tersebut. Analisa yang paling dominan adalah peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Atha’ dan sahabat ‘Amr Ibn ‘Ubaid dengan Hasan al-Basri di Basrah.  Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir serta kaum Murjiah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri sementara berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan:
“Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir”.[11]
Kemudian wasil berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi mecari tempat lain di mesjid dan di sana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna).” Dari peristiwa itulah muncul nama al-Mu’tazilah sebagaimana pendapat al-Syahrastani.[12]
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebutkan bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Mesjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr Ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah mengetahui bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak itu, menurut Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.[13]
Di samping pendapat-pendapat klasik tersebut, Ahmad Amin mengajukan teori baru dengan mengatakan bahwa nama al-Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi.[14] Namun penamaan al-Mu’tazilah itu dipakai terhadap golongan orang-orang yang tidak mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi pada zaman ‘Utsman Ibn ‘Affan dan ‘Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menjauhkan diri dari golongan-golongan yang saling bertikai.[15] Dengan demikian, kata i’tazala dan mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.
Mencermati pendapat ulama seputar al-Mu’tazilah, maka dikatakan bahwa secara teknis, istilah al-Mu’tazilah terbagi dalam dua kategori yaitu: Pertama:  Golongan yang muncul murni sebagai respon politik. Golongan ini tumbuh sebagai kaum yang menjunjung politik netral, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara ‘Ali Ibn Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan ‘Abdullah bin Zubair. Menurut Nurcholis Madjid, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[16] Kedua: Golongan yang muncul sebagai respon terhadap persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
C.A. Nallino seorang orientalis Italia mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin, bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti memisahkan diri dari umat Islam lainnya sebagaimana pendapat as-Syahrastani, al-Baghdadi, dan Tasy Qubra Zadah. Nama Mu’tazilah diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral di antara Khawarij dan Murji’ah.[17] Oleh karena itu, golongan kedua Mu’tazilah mempunyai hubungan yang erat dengan golongan mu’tazilah pertama.[18]
B.    Ushul al-Khamsah
Setiap sekte mempunyai pemikiran, pendapat, ajaran dan keyakinan yang berbeda satu sama lain. Al-Mu’tazilah juga memiliki doktrin yang dikenal dalam bentuk lima ajaran dasar yang populer dengan istilah al-ushul al-khamsah.[19] Istilah al-ushul al-khamsah belum tampak pada masa washil Ibn Atha’ dan baru sempurna ketika masa Abu al-Huzail al-‘Allaf.[20] Kelima dasar itu akan dijelaskan sebagai berikut.
1.      Al-Tauhid
Ajaran pertama al-Mu’tazilah adalah al-tauhid yang berarti meyakini sepenuhnya bahwa Allah swt. adalah dzat yang unik dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Al-Tauhid berarti tidak ada sifat yang berdiri di luar dzat Allah swt. yang dikenal dengan nafy al-sifat (penafiyan sifat-sifat Allah swt.). konsekwensinya Allah tidak boleh sama dengan makhluknya seperti memiliki tangan, mempunyai bentuk fisik, dapat dilihat di akhirat.[21] Singkatnya mereka menolak paham antroporfisme. 



2.      Al-‘Adl .
Paham keadilan dalam pandangan al-Mu’tazilah membawa pada pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil berbuat zalim. Ajaran ini menimbulkan paham al-shalah wa al-ashlah yang berarti Allah wajib berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia seperti Allah wajib mengirimkan nabi dan rasul, memberikan daya dan keinginan sendiri kepada manusia, memberikan taklif yang sesuai dengan kemampuan mereka, dan lain sebagainya.[22] 
3.      Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Ajaran ini bermaksud menengah-nengahi antara sekte Khawarij yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar termasuk kafir, sedangkan sekte Murjiah berpendapat bahwa pelakunya tetap dikategorikan orang mukmin. Dalam pandangan al-Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak mukmin,[23] akan tetapi dia berada dalam posisi tengah-tengah, sehingga jika tidak taubat maka dia kekal dalam neraka.[24]
4.      Al-Wa’d wa al-Wa’id
Menurut al-Mu’tazilah, Allah wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga dan mencampakkan orang kafir dan orang berdosa besar ke dalam neraka. Konsekwensinya pelaku dosa besar tidak mendapatkan syafaat, tidak mengeluarkan penghuninya dari neraka.[25] Oleh karena itu, manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Jika manusia memilih untuk beriman dan berbuat baik maka dia dijanjikan pahala masuk surga dan jika ingkar dan berbuat dosa maka dimasukkan ke dalam neraka.[26]    
5.      Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
Dalam prinsip al-Mu’tazilah, setiap muslim wajib menegakkan amr ma’ruf nahy munkar. Menyebarkan dakwah Islam, memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Amr ma’ruf nahy munkar dilaksanakan dengan hati jika cukup, dengan seruan jika hati tidak cukup, dengan tangan (kekuasaan) jika belum cukup bahkan dengan pedang (paksaan) atau kekerasan jika memang diperlukan.[27]
Berdasarkan pancadasar (ushul al-khamsah) al-Mu’tazilah tersebut,[28] ada berbagai macam sekte yang dapat dikategorikan sebagai sub-golongan al-Mu’tazilah karena memiliki kesamaan satu sama lain meskipun tidak sepenuhnya sama, antara lain:
1.      Jahmiyah, dinamakan demikian karena Jahmiyah lebih dahulu muncul, juga karena Mu’tazilah sependapat dengan Jahmiyah dalam beberapa hal dan karena di awal kemunculannya Mu’tazilah menghidupkan prinsip-prinsip Jahmiyah.[29]
2.      Qadariyah (kelompok yang menolak iman kepada taqdir), dinamakan demikian karena mereka juga mengingkari taqdir dan berpendapat manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri sebagaimana pendapat Qadariyah.
3.      Mu’thilah (kelompok yang meniadakan), dinamakan demikian karena mereka meniadakan sifat-sifat Allah.[30]
4.      Tsanawiyah dan Qadariyah, dinamakan demikian karena Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan baik itu dari Allah dan perbuatan jelek itu dari manusia. Ini menyerupai Tsanawiyah dan Qadariyah yang meyakini adanya dua tuhan, yaitu tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan.
5.      Wa’idiyah, dinamakan demikian karena mereka berpendapat bahwa Allah harus menyiksa pelaku dosa yang belum bertaubat sebelum matinya.
6.      Ahl ‘Adl Wat Tauhid Wal ‘Adalah (kelompok yang bertauhid dan menegakkan keadilan). Ini nama yang mereka akui berdasar aqidah lima pokok mereka dan senang dijuluki ahl al-tauhid.[31]
7.      Firqah Najiyah (kelompok yang selamat). Ini juga nama yang mereka sematkan untuk mereka sendiri.
8.      Al-Munazihun Lillah (orang-orang yang mensucikan Allah). Ini juga nama yang mereka klaim untuk kelompok mereka sendiri.[32]
9.      Al-Haraqiyah,  mereka berpendapat bahwa orang kafir tidak disiksa dalam api neraka kecuali sekali saja.
10.  Al-Mufaniyah,  mereka berpendapat bahwa neraka dan surga itu tidak kekal.
11.  Al-Lafzhiyah, mereka berpendapat bahwa lafazh-lafazh Al-Qur’an itu adalah makhluk.
12.  Al-Qabriyah,  mereka berpendapat bahwa adzab kubur itu tidak ada.[33]
C.    Tokoh-tokoh al-Mu’tazilah
Aliran al-Mu’tazilah melahirkan banyak pemuka dan tokoh penting. Karena pusat pengembangan al-Mu’tazilah berada di Bashrah dan di Bagdad, maka para pemukanya pun terbagi dalam dua kelompok berdasarkan dua madrasah besar yang menjadi pusat pengkaderan dan penyebaran ide-ide mereka. Bashrah dengan pimpinannya Washil dan Baghdad dengan pimpinannya Bisyr bin Mu’tamar.[34]



Abu Ya’qub
An-Nazzam
Al-Aswary
al-‘Allaf
Hisyam al-Fuwathy
Madrasah Bashrah
Ibrahim al-Madani
‘Amr Ibn Ubaid
Washil Ibn ‘Atha’
Hafsh Ibn Salim
Khalid
Usman al-Thawil
Abu Bakar al-Ashm
Untuk lebih jelasnya, berikut bagan kedua madrasah dengan tokoh-tokohnya:


Muammar Ibn Abbad
(Tokoh Bagdad)
Al-Jahiz
Ubbad Ibn Sulaiman
Bisyr Ibn al-Mu’tamar
Ja’far Ibn Harb
Abu Musa al-Murdar
Ahmad Ibn Abi Daud
Sumamah Ibn al-Asyras
Ja’far Ibn Mubassyir
Madrasah Bagdad
Al-Khayyath
Abu al-Qasim al-Balkhy
Abu Ja’far al-Iskafy
Isa Ibn al-Hutsaim
Muammar Ibn Abbad
Al-Jubba’i
(Guru al-Asy’ary)
Bisyr Ibn al-Mu’tamar
(Tokoh Bagdad)

 

Namun dengan keterbatasan dan berbagai alasan, tokoh-tokoh tersebut diatas tidak dapat dicantumkan seluruhnya dalam makalah ini,[35] penulis hanya menjelaskan biografi tokoh-tokoh al-Mu’tazilah yang berjasa besar mengembangkan dan membidani kelahiran serta kelangsungan hidup sekte ini, antara lain yang terkenal adalah:
1.      Washil bin Atha’ (80-131 H./699-748 M.)
Washil bin ‘Atha’, lahir pada tahun 80 H, di Madinah, belajar pada Imam Hasan al-Bashri di Bashrah, kemudian memisahkan diri dalam kasus hukum bagi pelaku dosa besar. Meninggal pada tahun 131 H. Ajaran-ajarannya antara lain:
a.       Pelaku dosa besar berada di manzilah bain manzilatain (posisi antara dua posisi yang ada).
b.      Paham Kadariyah yang diajarkan oleh Ma’bad dan Ghailan.[36] Paham ini mengajarkan bahwa manusialah yang menciptakan segala perbuatannya, baik maupun buruk dan Allah bersifat adil, tidak mungkin berbuat jahat dan bersifat zalim.
c.       Peniadan sifat-sifat Allah dalam arti bahwa apa yang disebut sifat Allah sebenarnya Esensi Allah itu sendiri.[37]
2.      Al-‘Allaf (135 – 235 H./753-850 M.)
Al-‘Allaf bernama lengkap Abu al-Huzail Muhammad Ibn Huzail al-‘Allaf. Dia termasuk tokoh al-Mu’tazilah yang paling berpengaruh pada Madrasah al-Basharah. Lahir pada tahun 135 H., tepatnya tiga tahun pascaterbentuknya pemerintahan al-abbasiyah dan wafat pada tahun 235 H., yaitu pada awal pemerintahan al-Mutawakkil.[38] ia seorang pemikir dan ahli kalam Mu’tazilah serta banyak mengetahui filsafat Yunani sehingga memudahkannya menyusun ajaran al-Mu’tazilah yang bercorak filsafat. Lahir dan belajar di Bashrah kemudian pindah ke Baghdad. Di antara pemikirannya yang berbeda dengan tokoh-tokoh al-Mu’tazilah adalah:
a.       Allah itu ‘Alim (Maha Mengetahui) dengan dzat-Nya,  Allah itu Qadir (Maha Berkuasa) dan Qudrah Allah adalah dzat-Nya, demikian seterusnya. Singkatnya dia meniadakan seluruh sifat selain dzat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh Wasil akan tetapi dia lebih mendalam.
b.      Alam memiliki cakupan dan batasan karena alam adalah hal yang baru, termasuk surga dan neraka.
c.       Manusia terbebani taklif (kewajiban) yang mampu dibedakan oleh akal antara yang baik dan yang buruk meskipun tanpa syariat atau wahyu.
d.      Ajaran al-shalah wa al-ashlah (Allah wajib berbuat baik dan terbaik).[39]
3.      Al-Nazzam (185-231 H./801-846 M.)
Al-Nazzam nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar Ibn Hani’ al-Nazzam al-Bashry. Dia murid Abu Huzail al-‘Allaf. Keahliannya yang paling dominan adalah sastra dan theologi. Dia tumbuh di Bashrah dan pernah tinggal di Baghdad sampai meninggal pada tahun 231 H. dalam usia yang sangat mudah yaitu 36 tahun. Di antara pendapatnya adalah:
a.       Allah tidak mempunyai sifat qudrah (mampu) atas perbuatan jahat dan  maksiat. Artinya seluruh perbuatan jahat itu berasal dari manusia semata, manusialah yang menciptakannya.
b.      Kemukjizatan al-Qur’an terletak pada informasi tentang alam gaib, sedangkan susunan, aturan dan gaya bahasanya mampu ditiru oleh manusia andaikan Allah berkenan.
c.       Menempatkan akal pada tempat yang paling tinggi. Akibatnya dia menghujat para sahabat Nabi, meletakkan mereka pada level yang sama dengan manusia yang lain serta mengkritisi proses politik sahabat dan pemahaman fiqhi mereka.
4.      Al-Jubbai (w. 303 H./916 M.)
Al-Jubbai bernama lengkap Muhammad Ibn Abd Wahhab Ibn Salam Abu Ali al-Jubbai. Dia salah seorang tokoh al-Mu’tazilah yang terkenal dalam bidang ilmu filsafat dan theologi.[40] Dia merupakan guru Abu Hasan al-Asy’ary, pendiri aliran asy’ariyah. Pendapatnya yang paling masyhur antara lain:
a.       Kalam Allah sebagaimana pendapat an-Nazam
b.      Allah tidak mempunya sifat akan tetapi esensi sebagaimana pendapat al-‘Allaf.
c.       Kewajiban manusia terbagi dua, yaitu: wajibah al-Aqliyah (kewajiban manusia yang diketahui melalui akal) dan wajibah syar’iyah (kewajiban manusia yang dibawa oleh Rasul atau Nabi).
d.      Daya akal manusia yang sangat besar karena dapat mengetahui Tuhan dan bersyukur kepada-Nya dan mengetahui baik dan buruk.[41]
D.    Perkembangan Aliran al-Mu’tazilah dan Pengaruhnya dalam Dunia Islam
Al-Mu’tazilah lahir pertama kali di kota Bashrah, namun berkembang dengan cepat di Baghdad. Sekte ini dianut oleh khalifah Yazid bin al-Walid dan Marwan bin Muhammad dari pemerintahan Umawiyah. Sekte ini semakin berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah dan mencapai puncaknya keemasannya pada rentang waktu 100-255 H. Sekte al-Mu’tazilah berkembang menjadi sebuah gerakan pemikiran yang menyibukkan dunia Islam dalam rentang waktu yang panjang pada masa pemerintahan Abbasiyah.[42]
Sekte Mu’tazilah lahir pada akhir masa pemerintahan Umawiyah, sebab antara al-Mu’tazilah dengan pemerintahan Umawiyah tidak terjalin hubungan yang harmonis, bahkan cenderung saling membenci satu sama lain.[43]  
Al-Mu’tazilah tumbuh sebagai sebuah sekte dengan keluarnya Washil bin ‘Atha’ dari pengajian Imam Hasan al-Basri. Ia hidup pada masa Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik. Namun diawal kemunculannya, aliran tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya di kalangan masyarakat awam karena ajaran mereka yang bersifat rasional dan filosofis. 
Pada masa pemerintahan al-Makmun (198-218 H./813-833 M.) di masa khilafah Abbasiyah, al-Mu’tazilah menjadi sekte yang memegang peranan penting dalam pemerintahan dan mendapatkan dukungan yang luas, karena khalifah menganut sekte ini. Pada masa itu para pemimpin al-Mu’tazilah seperti Bisyr al-Muraisy, Tsumamah bin Asyras dan Ibnu Abi Du’at menjadi penasehat-penasehat al-Makmun karena ajaran al-Mu’tazilah menjadi madzhab yang resmi.[44] Pada masa inilah timbul fitnah yang terkenal dengan nama mihnah khalq al-Qur’an (pengujian kemakhlukan al-Qur’an) di mana para ulama Ahl al-Sunnah yang menolak mengakui al-Qur’an itu makhluk akan dipenjarakan dan disiksa, semisal imam Ahmad. Hal ini berlangsung sampai pada pemerintahan al-Mu’tashim dan al-Watsiq.
Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil pada tahun 232 H, keadaan kembali normal dengan sikap khalifah yang menganut aqidah Ahlus Sunnah dan dibebaskannya para Ulama setelah selama 14 tahun berjuang keras melawan al-Mu’tazilah yang memaksakan aqidahnya melalui strukrur Negara.
Pada masa pemerintahan bani Buwaih di Persia, tahun 334 H, terjalin hubungan yang erat antara al-Mu’tazilah dengan pemerintah yang berkuasa yang menganut ideologi Rafidhah. Pemimpin Mu’tazilah, Abdul Jabbar, diangkat menjadi qadhi di daerah Ra’i sejak tahun 360 H, atas perintah Shahib bin ‘Ibad menteri Muayyid Daulah. Shahib ini menurut Imam adz-Dzahabi adalah seorang Syi’i Mu’tazili Mubtadi’. Menurut Imam al-Mu’tazi, di bawah perlindungan daulah Buwaihiyah inilah Mu’tazilah bisa berkembang di Iraq, Khurasan dan negeri-negeri di belakang sungai atau Biladu ma wara-a nahr (Uzbekistan saat ini).[45]
Selama berabad-abad kemudian, al-Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Yang mempercepat hilangnya aliran atau sekte ini antara lain adalah karya-karya mereka tidak dibaca lagi dan dipelajari di perguruan Islam. Kaum al-Mu’tazilah telah tak berwujud kecuali dalam sejarah.[46] Kemudian pada awal abad ke-20 berbagai karya al-Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari di perguruan-perguruan tinggi.[47]   
Diakui atau tidak, kaum al-Mu’tazilah adalah peletak pertama atau paling tidak mempunyai peran yang sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar ilmu kalam, ilmu balaghah, ilmu debat dan diskusi. Sekte ini pulalah yang pertama kali menghubungkan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani, sebab tokoh-tokoh merekalah yang pertama kali menjadikan filsafat Yunani dalam mengkaji dan mendalam berbagai aspek dalam Islam.[48] Al-Mu’tazilah telah memberikan pengabdiannya yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Islam. Sekte ini telah mempertahankan Islam dari berbagai rongrongan theologi dan politik, bahkan kemunculan ilmu kalam yang dipelopori Abu al-Hasan al-Asy’ari merupakan anak dari sekte ini.  
Diantara metode peninggalan al-Mu’tazilah yang paling berkesan adalah keraguan dan pengujian. Sehingga dapat melahirkan keyakinan akan kemampuan akal, kebebasan bertindak tetapi bertanggung jawab, kebebasan penelitian dan perdebatan, tidak membawa qadar sebagai penanggung jawab, dll, bahkan Ahmad Amin berpendapat bahwa musibah terbesar yang menimpa umat Islam adalah kematian al-Mu’tazilah.[49]    


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan penjelasan di atas, dapat ditarik poin-poin penting sebagai kesimpulan makalah ini sebagai berikut:
1.      Al-Mutazilah adalah golongan yang memposisikan diri sebagai kaum yang netral dalam menyelesaikan masalah theologis maupun politik dengan berlandaskan wahyu,  rasionalitas dan bersifat filosofis. Sedangkan sejarah kemunculan al-Mu’tazilah dapat dikalompokkan dalam dua bagian yaitu al-Mu’tazilah beraliran politik muncul pada masa pemerintahan Usman Ibn ‘Affan pada tahun 23-35 H. dan Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 36-40 H. sedangkan al-Mu’tazilah aliran theologis muncul pada abad ke–2 Hijriyah, antara tahun 105–110 H di Bashrah (Iraq), yaitu pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Ibn Abdul Malik dengan pelopornya Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghazzal.
2.      Ajaran-ajaran pokok al-Mu’tazilah yang dikenal dengan istilah al-ushul al-khamsah adalah: al-tauhid (keesaan Allah), al-‘adl (Keadilan Allah), al-wa’d wa al-wa’id (janji dan acaman Allah), al-mazil bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (Amar ma’ruf nahi munkar). Kelima ajaran inilah yang disepakati para tokoh al-Mu’tazilah dan menjadi syarat keanggotaan.
3.      Tokoh-tokoh al-Mu’tazilah terbagi dalam dua bagian, yaitu tokoh al-Mu’tazilah Bashrah yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha’ dan ‘Amr Ibn Ubaid, sedangkan di Bagdad dipimpin oleh Bisyr Ibn al-Mu’tamir dan  Muammar Ibn Abbad. Namun dari sekian banyak tokoh-tokoh al-Mu’tazilah, yang paling berpengaruh dan memiliki peranan yang penting dalam pendirian, perkembangan dan penguatan pilar-pilarnya antara lain: Washil Ibn Atha’, Abu al-Huzail al-‘Allaf, An-Nazzam dan al-Jubba’i.
4.      Sekte Mu’tazilah lahir pada akhir masa pemerintahan Umawiyah dan berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah yaitu sekitar tahun 100-255 H., kejayaan al-Mu’tazilah dicapai pada masa khalifah al-Ma’mun karena ajarannya menjadi dasar Negara. Namun pada masa khalifah al-Mutawakkil, al-Mu’tazilah berangsur-angsur merosot dan bahkan tak berwujud setelah itu kecuali dalam sejarah. Namun pada abad ke-20, sekte al-Mu’tazilah mendapatkan perhatian dari para intelektual di perguruan-perguruan tinggi dengan dimulainya mempelajari karya-karya dan ajaran-ajaran mereka. Pengaruh al-Mu’tazilah dapat dilukiskan dengan ungkapan Ahmad Amin “Musibah terbesar yang menimpa umat Islam adalah kematian al-Mu’tazilah”.
B.    Implikasi
Semua aliran teologi dalam Islam, termasuk al-Mu’tazilah sama-sama bertujuan bagaimana mengeesakan Allah seesa mungkin dan memposisikan-Nya sebagai Dzat yang tak terjangkau dan tak diserupai dalam segala aspek. Perbedaan sekte-sekte tersebut terletak pada latar belakang, metodologi dan landasan yang digunakan, baik aqliyah maupun naqliyah. Perbedaan itu perlu dianggap sebagai khazanah keilmuan dan keberagaman dalam beragama Islam.
Oleh karena itu, sepatutnya umat Islam, khususnya para kaum terpelajar dan intelektual tidak memposisikan diri membela dan menyalahkan yang lain, akan tetapi semestinya melakukakan pengkajian dan penilitian seefesien dan seobjektif mungkin dengan mengungkap semua fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa silam serta segala hal yang melatarbelakanginya demi menghasilkan kajian yang proporsional dan profesional.
Pada akhirnya kajian dan hasil penelitian para kaum terpelajar dan intelektual akan menjadi warisan dan khazanah yang dapat digunakan dan dinikmati sekarang, besok dan seterusnya dan siap untuk dikaji dan diuji kembali oleh generasi-generasi berikutnya.      


DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Hasan Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Bairut: Dar al-Fikr, 1423 H./2002 M.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Cet. VIII, 1973 M.
___________, Fajr al-Islam, Cet. XI, 1975 M.
Ahmad Ibn Abd Halim Ibn Taimiyah al-Harani, Majmu’ al-Fatawa, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah.
Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm al-Kalam, Kairo, 1969. M.
Ali Muhammad al-Shallaby, al-Daulah al-Umawiyah ‘Awamil al-Izdihar wa Tada’iyat al-Inhiyar, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Nasysyar, Nisy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, Kairo: tp, 1966 M.
Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998 M.
Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005 M.
Dirasatul Firaq; Kajian tentang Aliran-Aliran Sesat dalam Islam, Solo: Tin Ulin Nuha Ma’had ‘Aly an Nur, t. thn.
Galib Ibn Ali ‘Awaji, Firaq Mu’asharah al-Tsalitsah, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah.
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, Cet. I, 2002 M.
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Bairut: Dar al-Jail, 1416 H./1996 M.
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Mus’ab Ibn Umar al-Islamiyah, 1424 H./2004 M.
Muhammad Ibn Abd Karim al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1404 H.
Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Mishri, Lisan al-‘Arab, Bairut: Dar Sadir, t. th.
Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Waqaf Paramadina, Jakarta, cet. II, 1995.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1983 M.


[1] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Maktabah Mus’ab Ibn Umar al-Islamiyah, 1424 H./2004 M.) Jilid 1 h. 259.
[2] Perang shiffin terjadai antara Ali Ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan pada masa pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib tahun 36-40 H.  
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, (Bairut: Dar al-Jail, 1416 H./1996 M.) Jilid 1 h. 341-342.
[4] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Cet. VIII, 1973 M.) Jilid 3 h. 99-130. Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005 M.) Jilid 5 h. 95.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986 M.) h. 58.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam, h. 150-152.
[7] Abū al-Hasan Ahmad Ibn Fāris Ibn Zakariyā, Mu’jam Maqāyis al-Lugah, (Bairut: Dār al-Fikr, 1423 H./2002 M.) Jilid 4 h. 251.
[8] Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1983) h. 810.   
[9] Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzūr al-Mișrī, Lisān al-‘Arab, (Bairut: Dār Șādir, t. th.) Jilid 11 h. 440.
[10] Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998 M.) h. 214 dan 589.
[11] Alasan Washil adalah “Iman itu ungkapan terhadap berbagai macam kebaikan sehingga iman itu pada dasarnya adalah pujian, sementara orang fasik (orang yang melakukan dosa besar) tidak bisa diberikan pujian dan hak iman akan tetapi tidak bisa juga dikatakan kafir sebab dia telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan masih banyak juga kebaikan yang ada padanya, sehingga jika meninggal tanpa taubat dia akan masuk neraka meskipun siksaannya tidak seberat orang kafir. Lihat Muhammad Ibn Abd Karim al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dār al-Ma’rifah, 1404 H.) Jilid 1 h. 45. 
[12] Harun Nasution, Teologi Islam, h. 40.
[13] Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm al-Kalam, Kairo, 1969 h. 75.
[14] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Cet. XI, 1975 M.) h. 290.
[15] Golongan yang menjauhkan diri dalam peristiwa tersebut memang dijumpai dalam buku-buku sejarah. Al-Thabari misalnya menyebutkan bahwa sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur dari ‘Ali Ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan ikut padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila Kharbita). Harun Nasution, Teologi Islam, h. 41.
[16] Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Waqaf Paramadina, Jakarta, 1995. cet. II, hlm. 17.
[17] Dalam masalah theologi, terjadi persamaan yang sangat sulit untuk dibedakan antara al-Mu’tazilah dengan Syiah kecuali pada persoalan imamah dan keterpeliharaannya, sedangkan  dalam masalah politik, al-Mu’tazilah cenderung sama yakni siapa saja berhak menjadi imam atau penguasa. Untuk lebih jelasnya antara hubungan al-Mu’tazilah, Syiah dan Khawarij lihat: Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid 1 h. 343-347. 
[18] Pendapat ini dibantah oleh Ali Sami al-Nasysyar yang mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah kedua timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah pertama yang disebut kaum netral politik. Lihat: Al-Nasysyar, Nisy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Kairo; tp. 1966). Jilid I, hlm. 429-430. (dikutip dari: Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2003 M.) h. 79.).
[19] Seseorang tidak bias dikatakan seorang yang beraliran al-Mu’tazilah kecuali jika dia sudah mengakui lima ajaran pokok tersebut dan meyakini kebenarannya sebagaimana yang diungkakan Abu al-Hasan al-Khayyat, tokoh al-Mu’tazilah abad ke-3 Hijriyah. Lihat: Galib Ibn Ali ‘Awaji, Firaq Mu’asharah al-Tsalitsah, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah, Jilid 1 h. 206. dan Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h. 263.
[20] Ali Muhammad al-Shallaby, al-Daulah al-Umawiyah ‘Awamil al-Izdihar wa Tada’iyat al-Inhiyar, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah, Jilid 3 h. 385.
[21] Oleh karena itu, menurut al-Mu’tazilah, ayat-ayat yang mengarah pada penyamaan khaliq dengan makhluq-Nya harus dita’wil. 
[22] Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 96.
[23] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid 1 h. 342.
[24] Ahmad Ibn Abd Halim Ibn Taimiyah al-Harani, Majmu’ al-Fatawa, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah, Jilid 13 h. 386.
[25] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid 1 h. 342, Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h. 263.
[26] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 96.
[27] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h. 263, Harun Nasution, Teologi Islam, h. 57.
[28] Pada dasarnya, masih banyak ajaran-ajaran furu’ (cabang) al-Mu’tazilah yang terkait dengan theologis dan politik yang berbeda satu sama lain. Untuk lebih jelasnya, lihat: Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 100-197 dan Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h. 263.
[29] Galib Ibn Ali ‘Awaji, Firaqun Mu’ashirah 3, Jilid 2 h. 823.
[30] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h. 262.
[31] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 96.
[32] Dirasatul Firaq; Kajian tentang Aliran-Aliran Sesat dalam Islam, (Solo: Tin Ulin Nuha Ma’had ‘Aly an Nur, t. thn.) Jilid 2 h. 824-825.
[33] Ibid. h. 128).
[34] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h.100-197. Dan Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 97.
[35] Untuk mengetahui biografi tokoh-tokoh tersebut dan ajaran-ajarannya, lihat: Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 90-170, dan Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 97-98.
[36] Paham itu diperoleh Washil melalui Abu Hasyim Abdullah Ibn Muhammad al-Hanafiyah, bahkan konon Washil pernah bertemu langsung dengan Ghailan. Lihat: Harun Nasution, Teologi Islam, h. 45.
[37] Ibid. h. 45. 
[38] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 98.
[39] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 97.
[40] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h. 275.
[41] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 97.
[42] Muhammad Husain al-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h. 241-242.
[43] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 90
[44] Muhammad Husain al-Dzahabi, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 95.
[45] Dirasatul Firaq, h. 131. 
[46] Harun Nasution, Teologi Islam, h. 57.
[47] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 5 h. 96.
[48] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 95.
[49] Ibid, h. 207.

1 komentar:

Noerma mengatakan...

Syukron jiddan sangat membantu sekali dalam menyelesaikan tugas kuliah :)

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates