BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara
sosiologis, hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat
sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan hukum selayaknya mampu
menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya yang
bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi
perkembangan sosial, ekonomi dan politik.[1]
Keluarga
merupakan sebuah unit sosial terkecil dalam masyarakat dan nikah adalah institusi dasarnya. Nikah merupakan sebuah media yang akan
mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga dan satu-satunya ritual
pemersatu diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan maupun hukum agama. Nikah adalah akad yang menjadikan halalnya
hubungan seksual antara seorang lelaki
dan seorang wanita, saling tolong-menolong di antara keduanya serta menimbulkan
hak dan kewajiban antara keduanya.[2] Sedangkan dalam
undang-undang R. I No. 1 tahun 1974 tentang nikah disebutkan
bahwa:
“Nikah adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa),”[3]
Dari
kedua pengertian di atas dapat dipahami bahwa nikah berakibat adanya hak dan kewajiban
antara suami isteri serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi
tolong-menolong, di samping itu juga bertujuan sebagai sarana untuk
menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di
permukaan bumi.[4]
Lebih dari itu, ajaran Islam dengan seperangkat aturannya, nikah bertujuan untuk meraih keteraturan
dalam berketurunan dalam rangka menjaga harkat dan martabat kemuliaan manusia
dan hal ini merupakan salah satu dari tujuan islam diturunkan.[5]
Begitu
mulianya lembaga nikah sehingga
diatur sedemikian rupa oleh agama maupun oleh negara, walau sampai hari ini
masih dijumpai pelanggaran-pelanggaran yang secara sadar atau tidak dilakukan
oleh sebagian orang, khususnya umat Islam mengenai nikah siri dan berbagai bentuk penyimpangan
dan pelanggaran lainnya terhadap sistem nikah khususnya
di Indonesia seperti nikah usia
dini dan nikah kontrak.
Nikah siri dalam konteks masyarakat sering
dimaksudkan dalam dua pengertian. Pertama, nikah yang dilaksanakan dengan
sembunyi-sembunyi,
tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak
mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga nikah mereka tidak mempunyai legalitas formal
dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam undang-undang
perkawinan. Kedua, nikah yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang
laki-perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan
benar-benar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan
saksinya.[6]
Pada prinsipnya, selama nikah siri itu memenuhi rukun dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka dapat dipastikan hukum
nikah itu pada dasarnya sudah sah. Hanya saja
bertentangan dengan perintah Nabi saw, yang menganjurkan agar nikah itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar
tidak menjadi fitnah.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas,
maka fokus pembahasan dalam makalah ini, yaitu:
1.
Bagaimana Takhri>j
Hadis tentang Nikah Siri?
2.
Bagaimana
Pandangan Ulama tentang Nikah Siri?
3.
Apa Rukun dan
Syarat Nikah Siri?
4.
Bagaimana Syarah
Hadis tentang Nikah Siri?
BAB
II
NIKAH SIRI
A. Takhri>j Hadis
tentang Nikah Siri
Mengetahui
kedudukan hadis sangat penting, namun untuk mengetahui itu yang pertama yang
dilakukan adalah melalukan takhrij hadits agar supaya diketahui letak
sebuah hadis. Terkait dengan permasalahan tentang nikah siri. Maka penulis
memakai kata اعلنوا dari kata tersebut maka penulis mendapati dengan
menggunakan penjelasan A.J.
Wensinck mengenai letak dari masing-masing hadis tersebut dalam karyanya "al-Mu'jam al-Mufahras li Alfa>z} al-h}Adi>s\ al-Nabawi>": dari kata اعلنوا,
yaitu:
Ø Imam Ahmad
حَدَّثَنَا
هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ قَالَ عَبْد اللَّهِ وَسَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ هَارُونَ
قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ الْأَسْوَدِ الْقُرَشِيُّ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ
عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْلِنُوا النِّكَاحَ.[8]
Ø Imam at-Turmidzi
- حدثنا
أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون أخبرنا عيسى بن ميمون الأنصاري عن القاسم بن
محمد عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أعلنوا هذا النكاح واجعلوه في
المساجد واضربوا عليه بالدفوف.[9]
Ø Imam Ibn Majah
حدثنا نصر بن علي الجهضمي
والخليل بن عمرو . قالا حدثنا عيسى بن يونس عن خالد بن إلياس عن ربيعة بن أبي عبد
الرحمن عن القاسم عن عائشة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال (أعلنوا هذا النكاح واضربوا عليه
بالغربال)[10]
Hadis
di atas dalam penelitian penulis hanya diriwayatkan oleh tiga Imam Hadis, yaitu
imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibn Majah serta Imam at-Turmidzi. Sejauh yang
penulis pahami hadis yang tersebut tidak diriwayatkan oleh Imam-Imam hadis yang
lain, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud maupun yang lain.
Hadis yang berbicara
tentang nikah siri secara langsung dalam penelitian penulis tidak mendapati
dalam literatur hadis. Oleh karena itu, dipahami adanya nikah siri oleh karena mafhum
mukha>lafah dari hadis النكا ح اعلنوا bermakna nikah siri. Jadi, nampaknya pada
masa Rasulullah saw itu tidak ada pernikahan siri. Terlebih lagi jika
diperhatikan bahwa hadis tersebut tidak didapati akan adanya Asbab al-Wurud. Nikah siri
dikenal setelah ada negara/pemerintahan yang mengharuskan pencatatan secara
administratif. Sebab pemerintah menganggap orang yang tidak melakukan
pencatatan nikah, maka itu digolongkan sebagai nikah siri. Penulis secara
pribadi memahami bahwa sekiranya tidak adalah aturan negara tentang kewajiban
pencatatan nikah maka mungkin tidak dikenal yang namanya nikah siri.
A’linu> al-Nika>h, berarti tampakkanlah
kepada khalayak ramai akan acara pernikahan yang diselenggarakan, menampakkan
kebahagiaan sekaligus membedakan dengan acara-acara lainnya.[11]
وروى
أحمد وغيره عن ابن حاطب: (فصل مابين الحلال والحرام الضرب بالدف)
Artinya:
“Yang membedakan antara acara pernikahan
yang halal dan yang haram, adalah adanya tabuhan rebana. [12]
Secara mendasar, tidak
dilihat dari tabuhan rebananya, melainkan yang menjadi hal mendasar adalah
upaya untuk menyebarluaskan berita tentang
acara
pernikahan yang diselenggarakan.[13] Kata A’linu> yang dalam bentuk Amar mengandung kemungkinan makna wajib atau
anjuran saja. Jika dimaknai sebagai amar maka itu berarti bahwa
pernikahan harus diumumkan kepada khalayak ramai sebagai sebuah kewajiban,
namun jika dimaknai sebagai anjuran saja berarti itu bukan sebagai kewajiban
ini berarti mengumumkan pernikahan bukanlah sebuah kewajiban oleh agama.
B.
Pandangan
Ulama tentang Nikah Siri.
Istilah
nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal
di kalangan ulama. Hanya saja nikah siri
di kenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri dapat saat ini. Dahulu yang
dimaksud dengan nikah siri
yaitu nikah yang
sesuai dengan rukun-rukun nikah dan
syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan
terjadinya nikah tersebut
kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimah
al-‘Ursy.
Menurut
terminologi fikih Maliki, nikahsiri ialah:
هو الذي يو صي فيه الزوج الشهود مكتمه عن امراته, او عن جما عة ولو
اهل منزل
Artinya:
“Nikah yang
atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya,
sekalipun keluarga setempat.[14]
Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah siri. Perkawinannya
dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dilakukan hukuman had (dera
rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau
dengan kesaksian empat orang saksi. Mazhab Syafi’i dan Hanafi juga tidak
membolehkan nikahsiri. Menurut Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut
ketentuan syariat Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai,
wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh. Menurut suatu riwayat,
Khalifah Umar bin al-Khattab pernah mengancam pelaku
nikahsiri dengan hukuman had.[15]
Nikah siri menurut terminologi fikih tersebut adalah
tidak sah, sebab selain bisa mengundang fitnah juga bertentangan dengan hadis
nabi saw:
عن انس بن ما لك رضي الله عنه: قا ل رسول
الله صليالله عليه و سلم: او لم ولو بشاة. (رواه البخا ري
Artinya:
Adakanlah walimah
sekalipun dengan hidangan seekor kambing.[16]
Di kalangan ulama sendiri, nikahsiri masih diperdebatkan, sehingga susah
untuk menetapkan bahwa nikahsiri itu sah atau tidak. Hal ini dikarenakan masih
banyak ulama dan juga sebagaian masyarakat yang menganggap bahwa nikah siri
lebih baik dari perzinahan. Padahal kalau dilihat dari berbagai kasus yang ada,
nikah siri tampak lebih banyak menimbulkan kemudharatan daripada manfaatnya.
Dari nikah siri yang mereka lakukan,
tidak sedikit yang akhirnya bermasalah terutama bagi pihak wanita, seperti yang
dihadapi oleh pedangdut Machica Muchtar beberapa waktu silam yang meributkan
hak asuh Iqbal, putra dari hubungan antara Machica Muchtar dan Moediono. Saat
itu Machica dan putranya Iqbal 16 tahun tak pernah lagi bertemu dengan Mordiono
dan tidak mendapatkan haknya sebagai anak kandung baik materi maupun kasih
sayang. Begitu juga Annisa Bahar mengaku saat ditanya soal fenomena pernikahan
siri yang dilakukan beberapa artis di tanah air, menurutnya pernikahan siri
merugikan, Annisa berujar:
“Jangan mau dinikahi siri deh, menyakitkan banget.
Kalau mau ya nikah secara sah sekalian dari agama dan negara, jangan mau diajak
nikah siri meskipun diiming-iming harta, semua itu palsu”.[17]
Ulama terkemuka yang membolehkan nikah dengan cara siri itu adalah Dr.
Yusuf Qardawi salah seorang pakar muslim kontemporer terkemuka di Islam. Ia
berpendapat bahwa nikah siri itu sah selama ada ijab kabul dan saksi.[18]
Nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah nikah
yang dilakukan oleh wali dan wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi
tidak dilakukan dihadapan petugas pencatat nikah sebagai aparat resmi
pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urasan Agama bagi yang beragama
Islam atau Kantor Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. Bahkan,
terdapat pula nikahsiri yang juga tidak diketahui yang menjadi wali dan
saksinya.
Dadang Hawari, mengharamkan nikahsiri, KH. Tochri Tohir berpendapat lain.
Ia menilai nikahsiri sah dan halal, karena islam tidak pernah mewajibkan sebuah
nikahharus dicatatkan secara negara. Menurut Tohir, nikahsiri harus dilihat
dari sisi positifnya, yaitu upaya untuk menghindari Zina. Namun ia juga setuju
dengan pernyataan Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan
nikahsiri hanya demi memuaskan hawa
nafsu. Menurutnya, nikahsiri semacam itu, tetap sah secara agama, namun
perkawinannya menjadi tidak berkah.[19]
Menurut Prof. Wasit Aulawi seorang
pakar hukum Islam Indonesia, mantan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama
yang juga mantan Dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta, menyatakan bahwa ajaran
Islam, nikahtidak hanya merupakan hubungan perdata, tetapi lebih dari itu
nikahharus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak menurutnya ada tiga aspek
yang mendasari perkawinan, yaitu: agama, hukum dan sosial, nikahyang
disyariatkan Islam mengandung ketiga aspek tersebut, sebab jika melihat dari
satu aspek saja maka pincang.[20]
Quraish Shihab mengemukakan bahwa
betapa pentingnya pencatatan nikahyang ditetapkan melalui undang-undang di sisi
lain nikahyang tidak tercatat-selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh
hukum agama, walaupun nikahtersebut dinilai sah, namun nikahdibawah tangan
dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan setiap muslim untuk taat
pada u>lul amri selama tidak bertentangan dengan hukum Allah. Dalam
hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan,tetapi justru sangat
sejalan dengan semangat al-Qur’an.[21]
C.
Rukun
dan Syarat Nikah
Kehidupan bersuami istri yang dibangun melalui lembaga
perkawinan, sesungguhnya bukanlah semanta-mata dalam rangka penyaluran hasrat
biologis. Maksud dan tujuan nikahjauh lebih luas dibandingkan sekedar hubungan
seksual. Bahkan apibila dipandang dari aspek religius,pada hakekatnya
nikahadalah salah satu bentuk pengabdian kepada Allah. Karena itu, nikahyang
sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah wa rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar
tujuan disyariatkannya nikahtercapai.
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum,
terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi
hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan.[22]
Sahnya suatu nikah dalam Islam adalah dengan terlaksananya akad nikah yang
memenuhi rukun[23]
dan syarat-syaratnya[24]. Untuk sahnya perkawinan, para ulama telah
merumuskan sekian banyak rukun dan syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat
al-Qur’an maupun hadis Nabi Swa. Adanya calon suami isteri, wali, dua orang
saksi, mahar serta terlaksananya ijab kabul merupakan rukun atau syarat
yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab lain.
Imam Malik berpendapat bahwa Rukun nikah itu ada lima
macam, yaitu:
a.
Wali dari pihak perempuan
b.
Mahar (mas kawin)
c.
Calon pengantin laki-laki
d.
Calon pengantin perempuan
Menurut Imam Syafi’i bahwa rukun nikah itu lima:
a.
Calon pengantin laki-laki
b.
Calon pengantin perempuan
c.
Dua orang saksi
Menurut Imam Hanafi bahwa rukun nikah itu hanya ijab
kabul saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon
pengantin laki-laki).[27]
Selanjutnya rukun dan syarat sahnya nikahsecara umum
dapat dirinci sebagai berikut:
1.
Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
perkawinan. Syarat Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
calon suami berdasarkan ijtihad ulama, syarat-syarat calon suami meliputi:
a.
Calon suami beragama Islam
b.
Terang bahwa calon suami itu betul-betul laki-laki
c.
Orangnya diketahui dan tertentu
d.
Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan
calon istri.
e.
Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calo istri serta
tahu betul calon istrinya halal baginya.
f.
Calon suami rela untuk melakukan nikahitu.
g.
Tidak sedang melakukan ihram
h.
Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon
istri.
i.
Tidak sedang mempunyai istri empat.
Syarat-syarat calon istri perempuan:
a.
Beragama Islam atau ahli kitab
b.
Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa
c.
Wanita itu tentu orangnya
d.
Halal bagi calon suami
e.
Wanita itu tidak dalam ikatan nikahdan tidak masih dalam iddah
f.
Tidak dipaksa/Ikhtiyar
g.
Tidak dalam keadaan ihram hati atau Umrah.
2.
Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Syarat-syarat
wali sebagai berikut:
a.
Laki-laki
b.
Muslim
c.
Baligh
d.
Berakal sehat
e.
Adil
f.
Tidak dipaksa
g.
Tidak sedang menunaikan ihram haji
3.
Adanya dua orang saksi
Syarat-syarat
saksi adalah:
a.
Laki-laki
b.
Muslim
c.
Baligh
d.
Berakal sehat
e.
Merdeka
f.
Adil
g.
Tidak dipaksa
h.
Dapat mendengar dan melihat
i.
Memahami bahasa yang dipergunakan dalam ijab kabul
j.
Tidak sedang menunaikan ihram haji
4.
Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul.
Syarat-syarat
ijab kabul meliputi:
a.
Ada ungkapan penyerahan nikah dari wali (ijab)
b.
Ada ungkapan penerimaan nikah dari mempelai laki-laki (kabul)
c.
Menggunakan kata-kata/lafaz atau tazwij
d.
Diungkapkan dalam satu majelis, dan tidak boleh ada jarak
yang lama antara ijab kabul yang merusak kesatuan akad
e.
Ijab kabul harus tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa
berlangsungnya perkawinan, karena nikahitu ditujukan untuk seumur hidup.
f.
Pelaku ijab kabul tidak sedang melakukan ihram
haji.[28]
Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan harus ada dalam
suatu nikah adalah: akad nikah, laki-laki dan perempuan yang akan kawin, wali
dari mempelai perempuan, saksi menyaksikan akad perkawinan, mahar atau mas
kawin.[29] Ini berarti bahwa nikah
siri menjadi bahan perbedaan ulama tentang status sah tidaknya bagi yang
melakukannya.
BAB
I
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadis yang berbicara tentang nikah siri pada dasar tidak
ada, namun itu hanya dipahami dari hadis yang menganjurkan untuk diumumkan bila
melakukan pernikahan. Tujuan dari itu agar terhindar fitnah dari lingkungan
masyarakat khususnya di Indonesia yang masih menekankan untuk diumumkannya
sebuah pesta pernikahan. Namun bila ada yang melakukan nikah siri itu tidak sampai pada tidak sahnya pernikahan
sebab itu tidak masuk pada bagian rukun atau syarat pernikahan menurut
kesepakatan ulama. Tetapi, Islam sangat menekankan kontekstualisasi suatu hukum
oleh karena itu nikah siri lebih baik dihindari dari pada melakukannya karena
itu menimbulkan image yang kurang baik di mata masyarakat terlebih lagi
masyarakat bugis makassar yang menganut paham siri’.
B.
Implikasi Penelitian
Sebagai sebuah tulis ilmiah kiranya tulisan ini menjadi salah satu konstribusi
pemikiran dalam perkembangan khasanah keilmuan keagamaan yang menjawab realitas
sosial yang semakin hari semakin memerlukan respon dari para ahli, termasuk
soal nikah siri yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang hangat untuk
dibicarakan, oleh karena itu sebagai tanggung jawab ilmiah penulis mengharapkan
kritik saran dari pembaca agar menjadi lebih sempurnanya permasalah tentang
nikah siri.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Amrullah et.al., dimensi hukum islam dalam sistem hukum nasional: mengenang
65 tahun prof Dr. Bustanul Arifin, S. H, Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Aulawi, Wasit. Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat, Mimbar Hukum, No. 28, 1996.
al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Mughirah
bin Bardazbah. Shahih al-Bukha>ri, Juz IV, Beirut: Da>r Muthabi’i,
t.th.
Dahlan,
Abdul Azis et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV,
Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama, Himpunan peraturan perundang-undangan dalam
lingkungan peradilan agama (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2003.
Hakim, Abdul Hamid. Mabadi Awwaliyah, t.tc;
Jakarta: Bulan Bintang,1976
Hawari, Dadang. Nikah Siri Tidak Barakah, http://malangraya.web.id.
Hidayatullah, Konroversi Nikah Siri, http://www.hidayatullah.com
al-Jaziri, Abdul Rahman. al-Fikh ‘Ala al-Madza>hib
al-‘Arba’a, Juz V, Kairo: al-Maktabah al-Qayyimah, t.th.
Majah, Muhammad bin Yazi>d bin al-Qazwini ibn. Sunan
Ibn Majah, Cet. I; ar-Riya>d: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
al-Muna>wi, Imam al-Hafidz Zain ad-Di>n Abd
ar-Rau>f. at-Taisi>r Bisyarh
al-Ja>mi’ as-Shaghi>r, Juz II, Cet. III; ar-Riya>d:
Maktabah al-Ima>m asy-Sya>fi’i, 1408 H/1988 M (Program Maktabah Syamilah
Rusyd, Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn. Bidayah
al-Mujtahid, Juz II, Cairo: Mustafa al-Bab al-Halab wa Auladuh, 1339.
Skamania, Tragedi Kawin Siri Pedandut, http//dangdutplus.co.id
Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i
Atas Perbagai Persoalan Umat, Cet.
VIII; Jakarta: Mizan, 1998
asy-Syabihiy, Muhammad al-Fadhil bin Muhammad al-Fathimiy.
al-Fajr al-Sa>thi’ ‘Ala Shahih al-Ja>mi’ (Program Maktabah
Syamilah)
asy-Syaiba>ni, Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah. Musnad
Ahmad bin Hanbal, Juz VI (Program Maktabah Syamilah).
Syarifuddin, Amir. Hukum NikahIslam di Indonesia:
Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Nikah, Cet. II; Jakarta: Kencana,
2007
al-Sya>tibi, Abu Ishaq. al-Muwa>faka>t
Ushu>l al-Ahkam, Juz II, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 2003
at-Turmudzi, Muhammad bin ‘Isa bin Surah. Sunan
at-Turmudzi, Cet. I; ar-Riya>d: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
Wensinck,
A.J. al-Mu'jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s\ al-Nabawi>, Juz V, London:
Maktabah Barel, 1936.
Zahrah,
Muhammad. al-Ahwa>l al-Syakhsiyah, Cet. III; al-Qahirah: Da>r
al-Fikr al-‘Arabi, 1957
al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuh, Juz
VIII, Cet. III; Beirut: Da>r al-Fikr, 1989.
[1]Amrullah Ahmad, et.al.,
dimensi hukum islam dalam sistem hukum nasional: mengenang 65 tahun prof Dr.
Bustanul Arifin, S. H (Cet. I;
Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 11
[2]Muh. Zahrah, al-Ahwa>l
al-Syakhsiyah (Cet. III; al-Qahirah: Da>r al-Fikr al-‘Arabi, 1957), h.
18.
[3]Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama, Himpunan peraturan perundang-undangan dalam lingkungan peradilan
agama (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2003), h. 131
[4]Abdul Azis Dahlan, et.al.,
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 1329
[5]Abu Ishaq
al-Sya>tibi, al-Muwa>faka>t Ushu>l al-Ahkam, Juz II (Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 2003), h. 2-3.
[7]A.J. Wensinck, al-Mu'jam al-Mufahras
li Alfa>z} al-H{adi>s\ al-Nabawi>, Juz V (London: Maktabah Barel, 1936), h. 335. \
[8]Ahmad bin
Hanbal Abu Abdullah asy-syaiba>ni, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz VI
(Program Maktabah Syamilah).
[9]Muhammad
bin ‘Isa bin Surah at-Turmudzi, Sunan at-Turmidzi (Cet. I; ar-Riya>d:
Maktabah al-Ma’a>rif, t.th), h. 257.
[10]Muhammad
bin Yazi>d bin al-Qazwini ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Cet. I;
ar-Riya>d: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th), h. 330.
[11]Imam
al-Hafidz Zain ad-Di>n Abd ar-Rau>f al-Muna>wi, at-Taisi>r Bisyarh al-Ja>mi’ as-Shaghi>r, Juz
II (Cet. III; ar-Riya>d: Maktabah al-Ima>m asy-Sya>fi’i, 1408
H/1988 M), (Program Maktabah Syamilah
[12]Lihat Ahmad
bin Hanbal, Musnad Ahmad, hadis no 14904, 17563, Imam Turmidzi, Sunan at-Turmudzi pada bab nikah
hadis no. 1008, Imam an-Nasa>i, Sunan an-Nasa>i pada bab nikah hadis no.
3316, Imam Ibn Majah pada bab Nikah hadis no. 1887
[13]Muhammad
al-Fadhil bin Muhammad al-Fathimiy asy-Syabihiy, al-Fajr al-Sa>thi’ ‘Ala
Shahih al-Ja>mi’ (Program Maktabah Syamilah).
[14] Wahbah
al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuh, Juz VIII (Cet. III; Beirut:
Da>r al-Fikr, 1989), h. 71
[15]Ibid., Lihat
pula Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz
II (Cairo: Mustafa al-Bab al-Halab wa Auladuh, 1339), h. 15.
[16]Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim al-Mughirah bin Bardazbah al-Bukhari, Shahih
al-Bukha>ri, Juz IV (Beirut: Da>r Muthabi’i, t.th), h. 27
[17]Skamania,
Tragedi Kawin Siri Pedandut, http//dangdutplus.co.id
[18]Hidayatullah,
Konroversi Nikah Siri, http://www.hidayatullah.com
[19]Dadang
Hawari, Nikah Siri Tidak Barakah, http://malangraya.web.id.
[20]Wasit
Aulawi, Pernikahan Harus Melibatkan
Masyarakat, Mimbar Hukum, No. 28, 1996, h. 20.
[21]Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Perbagai Persoalan Umat
(Cet. VIII; Jakarta: Mizan, 1998), h. 204.
[22]Amir
Syarifuddin, Hukum NikahIslam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Nikah(Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007), h. 59
[23]Rukun
adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan.
Lihat Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah (t.tc; Jakarta: Bulan
Bintang,1976), h. 9
[24]Syarat
yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan,
tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu. Lihat Wahbah Zuhaili, Juz VIII op.cit., h. 36.
[25]Abdul
Rahman al-Jaziri, al-Fikh ‘Ala al-Madza>hib al-‘Arba’a, Juz V (Kairo:
al-Maktabah al-Qayyimah, t.th), h. 95
4 komentar:
ijin copas. :)
IZIN COPAS
nice share gan, lengkap penjelasannya, mantap
Souvenir Murah Kediri
izin COpas ... makasih
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....