oleh : FAUZIAH ACHMAD
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an
sebagai kalam Allah memiliki kemukjizatan dari berbagai aspeknya. Hal ini tidak
lepas dari kedudukan al-Qur’an sebagai risalah Allah bagi seluruh umat manusia.[1]
Untuk mengetahui betapa besarnya rahasia al-Qur’an maka perlu mengkaji makna
dan kandungan ayat-ayatnya, sehingga bentuk daripada pengetahuan terhadap
al-Qur’an adalah bagaimana mengetahui penafsiran al-Qur’an itu sendiri. Penafsiran al-Qur’an membutuhkan perangkat
ilmu untuk membantu memahami makna-maknanya. Salah satu aspek yang menabjukkan
adalah dari sisi kebahasaannya
Tafsir dengan pendekatan kebahasaan sangat diperlukan
dalam memahami al-Qur’an di samping karena al-Qur’an menggunakan bahasa arab
yang penuh dengan sastra, balaghah, fashahah, bayan, tamsil dan retorika,
al-Qur’an juga diturunkan pada masa kejayaan syair dan linguistik. Bahkan pada awal Islam, sebagian orang masuk Islam
hanya karena kekaguman linguistik dan kefasihan al-Qur’an.[2]
Kandungan dan cakupan bahasa arab yang amat
luas tentu akan menimbulkan keragaman tafsir lughawi, mulai dari metode
penyajian, pembahasan hingga jenis-jenisnya. Keragaman tersebut tidak bisa
dilepaskan dari kecenderungan setiap mufassir dalam mengkaji dan menyajikan
al-Qur’an kepada audiensnya. Disamping itu, kapasitas intelektual seorang
mufassir juga sangat berperan dalam menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan
linguistik.
Oleh
karena itu, seorang mufasir membutuhkan kerangka fikir dan kaidah-kaidah
tertentu untuk dijadikan sebagai referensi dan pedoman dalam penafsirannya
sehingga tidak jauh dari bahasa yang digunakan oleh al-Qur’an kaidah-kaidah bahasa
Arab merupakan salah satu jalan selain kaidah qur’ani,
sunnah, us}u>l al-fiqh dan kaidah-kaidah yang lain untuk memahami makna al-Qur’an.[3]
Kedudukan kaidah-kaidah tafsir bagi tafsir
al-Qur’an bagaikan ilmu Nahwu bagi bahasa Arab. Sebagaimana ilmu Nahwu yang
bertugas mengatur dan membetulkan lisan dan tulisan Arab serta mencegahnya dari
kesalahan pengucapan dan penulisan, begitu pun kaidah-kaidah tafsir yang
bertugas sebagai dasar dan timbangan yang membetulkan pemahaman terhadap kalam
Allah dan mencegah kesalahan dan kerancuan dalam penafsiran.[4]
Kemukjizatan
al-Qur’an bukan hanya terletak pada informasi-informasi gaibiyah yang
akurat dan pembuatan hukum-hukum Islam, akan tetapi kemukjizatan al-Qur’an juga
terkait erat dengan bahasanya. Kalimat dan ayat al-Qur’an terkadang terlihat
singkat (i>ja>z) dan terkadang panjang (it}na>b). Panjang
pendeknya kalimat dan ayat al-Qur’an terkait erat dengan maksud dan tujuan
kalimat dan ayat tersebut, sehingga akan terjadi al-ziya>dah (penambahan), al-taqdi>r
(perkiraan lafaz) dan al-h}az\f (penghapusan). Istilah-istilah ini
ketika digunakan untuk al-Qur’an tanpa pemahaman kaidah-kaidah yang benar dapat
menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian al-ziya>dah, al-taqdi>r dan al-haz|f ?
2.
Bagaimana kaidah-kaidah al-ziya>dah, al-taqdi>r dan al-haz|f
?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Ziya>dah
Kata ziya>dah secara
etimologi berakar dari huruf ز-ي-د yang
berarti tambahan, kelebihan.[5]
Secara terminologi, ulama berbeda pendapat tentang definisi al-ziya>dah
yang satu sama lain saling berkaitan, meskipun ada perbedaan yang signifikan.
Perbedaan itu disebabkan tujuan mereka menggunakan al-ziya>dah. Di
antara ulama tersebut adalah:
1.
Ulama Nahwu mengatakan bahwa al-ziya>dah
adalah lafaz yang tidak memiliki posisi dalam i’rab. Artinya al-ziyadah bagi
mereka bukan terletak pada makna, akan tetapi terletak pada lafaz-lafaz
tersebut. Begitupun yang dimaksud oleh ulama tashrif.
2.
Ulama Bahasa berpendapat
bahwa al-ziya>dah adalah penambahan huruf atau lafaz yang tidak
mempenyai arti dan faedah sama sekali, hanya sebagai penghias kata.
3.
Ulama Tafsir cenderung
berpendapat sama dengan ulama nahwu, terlebih lagi bahwa al-ziya>dah tidak
mungkin terjadi dalam al-Qur’an jika yang dimaksud al-ziya>dah adalah
penambahan huruf atau lafaz yang tidak berfaiedah atau sia-sia. Hanya ulama
tafsir memperingatkan agar waspada menggunakan istilah al-ziya>dah
karena dapat menimbulkan kesalahpahaman dan kebimbangan dalam masyarakat awam.[6]
Berdasarkan
penjelasan tersebut, dalam makalah ini, yang dimaksud dengan al-ziya>dah adalah
penambahan huruf atau lafaz yang mempunyai tujuan dan faedah tertentu yang
tidak didapatkan ketika lafaz tersebut dibuang. Namun jika lafaz tersebut
dibuang, maka makna dasarnya tidak rusak atau berubah.
B.
Bentuk-Bentuk Kaidah al-Ziya>dah
a.
Kaidah Pertama
لا زائد فى القرآن
Artinya: “Tidak ada (ziya>dah) tambahan dalam
al-Qur’an”
Maksud dari
kaidah ini adalah pada dasarnya tidak ada ziya>dah dalam al-Qur’an
karena al-Qur’an itu sendiri disucikan dari segala bentuk kesia-siaan atau
penambahan-penambahan yang tidak memiliki faedah.[7]
Kaidah ini mencakup dua hal:
1.
Sesuatu yang tidak memiliki
makna atau makna yang tidak dibutuhkan. Bentuk al-ziya>dah ini tidak
mungkin terdapat dalam al-Qur’an karena dianggap sia-sia dan dapat merusak
kemukjizatannya.[8]
2.
Lafaz atau huruf yang tidak merusak makna aslinya
jika dibuang, akan tetapi penambahannya berimplikasi pada penambahan maknanya.[9]
Oleh karena itu,
al-Zarkasyi> menjelaskan bahwa ungkapan ulama “Huruf atau lafaz ini za>idah”
bertujuan bahwa huruf atau lafaz tersebut jika dibuang tidak akan merusak makna
aslinya, akan tetapi ziya>dah tersebut bukan berarti tidak memiliki
faedah.[10]
Terlepas dari polemik tentang pengungkapan
kata al-ziya>dah dalam al-Qur’an, penulis beranggapan bahwa jika yang
dimaksud al-ziya>dah adalah penambahan yang tidak memiliki arti dan
faedah, maka hal itu tidak mungkin terjadi, namun jika yang dimaksud dengan al-ziya>dah
adalah penambahan yang tidak merusak makna aslinya jika dihilangkan, sebagaimana
ungkapan ulama nahwu maka hal itu tidak ada masalah. Sebab kebutuhan terhadap
sesuatu akan berbeda satu sama lain sesuai dengan maksud dan tujuan.
Salah satu contoh tentang
penerapan kaidah tersebut adalah ayat 159 dari Q.S. A>li ‘Imra>n (3):
فبما
رحمة من الله لنت لهم . Huruf ما tidak dapat dikatakan za>idah (tidak
memiliki makna) sama sekali karena pada dasarnya ما tersebut
berfaedah al-tauki>d (penguat/penegas) terhadap kasih sayang dari
Allah kepada rasul-Nya, bahkan huruf ما tersebut
berfungsi juga sebagai penegas terhadap makna al-h{as}r (peringkasan).[11]
Oleh karena itu, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa penambahan huruf atau lafaz
bertujuan untuk penambahan makna, sedangkan kekuatan lafaz karena kekuatan
makna.[12]
b.
Kaidah Kedua
زيادة
المبنى تدل على زيادة المعنى (قوة اللفظ لقوة المعنى)
Artinya: “Penambahan
bina’ (model) menunjukkan adanya penambahan makna (Kekuatan lafaz karena
kuatnya makna)“
Yang dimaksud dengan
kaidah ini adalah setiap kali ada penambahan huruf atau penambahan wazan
(timbangan lafaz) atau penambahan tasydi>d pasti berdampak pada penambahan
makna atau penegasannya.
Di antara contoh
penambahan wazan adalah الرحمن lebih ba>lig (kuat)
dari pada wazan الرحيم di mana kata الرحمن diarahkan
pada kasih sayang Allah di dunia yang mencakup semua makhluk-Nya, baik mukmin
maupun kafir, sedangkan الرحيم dikhususkan pada hamba-hamba-Nya
di akhirat saja.[13] Begitu
juga wazan الرحيم lebih kuat maknanya dari pada wazan الراحم karena الرحيم menunjukkan makna yang berulangkali atau menjadi
sifat, sedangkan الراحم menunjukkan makna kasih sayang
yang terjadi satu kali saja.[14]
c.
Kaidah Ketiga
يحصل
بمجموع المترادفين معنى لا يوجد عند انفرادهما
Artinya:
“Penggabungan dua kata yang serupa maknanya akan menghasilkan makna yang tidak
ditemukan ketika lafaz tersebut terpisah/tersendiri”
Penggunaan dua lafaz
yang pada dasarnya mempunyai makna yang sama (mutara>dif) memberikan
faedah tersendiri dibanding jika lafaz tersebut sendiri-sendiri. Faedah yang
dapat dihasilkan adalah faedah al-tauki>d (penguat/penegas) dengan dasar
bahwa penambahan huruf saja dapat memberikan makna tambahan, apatah lagi
penambahan lafaz.[15]
Di antara contohnya
adalah pengulangan lafaz نداء setelah lafazدعاء dalam QS. al-Baqarah (2): 171:
ومثل الذين كفروا كمثل الذي ينعق بما
لا يسمع إلا دعاء ونداء.
Pengulangan
lafaz نداء tersebut
menguatkan makna yang tidak terdapat pada lafaz نداء. Kedua lafaz
tersebut bermakna pemanggilan. akan tetapi pemanggilan tersebut bisa dengan
jarak jauh dan dekat, orang tertentu dan umum, memenuhi panggilan dengan
perbuatan dan dengan suara. Namun dengan penggabungan kedua kata tersebut, maka
makna-makna tersebut tercakup di dalam keduanya yang tidak didapatkan ketika
sendiri-sendiri.[16]
d.
Kaidah Keempat
كل
حرف زيد فى كلام العرب (للتأكيد) فهو قائم مقام إعادة الجملة مرة أخرى
Artinya:
“Setiap huruf yang ditambahkan dalam kalimat Arab- karena penegasan- maka
statusnya sama dengan pengulangan kalimat tersebut”
Kaidah tersebut hampir sama dengan kaidah nomor dua yang
mengatakan bahwa penambahan bina’ akan berdampak pada penambahan makna. Namun,
kaidah kedua tersebut lebih mengarah pada penambahan atau perubahan bina’, sedangkan
kaidah keempat ini mengarah pada penambahan huruf, fi’il dan isim, namun
penambahan fi’il jarang terjadi atau sedikit sedangkan penambahan isim lebih
jarang lagi.[17]
Di antara contoh penambahan huruf adalah penambahan huruf
ما dalam
ayatفبما نقضهم ميثاقهم . Huruf ما tersebut
berfungsi untuk memperkuat kata نقضهم. Oleh
karena itu, Imam Sibawaih mengatakan bahwa yang dimaksud za>idah
adalah tidak beramalnya huruf ما tersebut, bukan berarti hurufnya
tidak memiliki faedah.[18]
Sedangkan salah satu contoh penambahan fi’il adalah penambahan lafaz كان dalam QS. Maryam: 29 قالوا كيف
نكلم من كان في المهد صبيا ditambahkan
untuk memperkuat fi’il al-ma>d{i> قالوا.[19]
C.
Pengertian al-Taqdi>r dan al-Haz\f
Secara etimologi, kata al-taqdi>r
berasal dari kata ق-د-ر yang
berarti puncak, akhir, ujung sesuatu.[20]
Kata al-taqdi>r berbeda pengertiannya menurut ulama nahwu dan
aqi>dah. Menurut ulama aqi>dah al-taqdi>r bermakna membatasi
setiap makhluk dengan batasan yang telah ditentukan, baik itu berupa kebaikan,
keburukan, manfaat dan mud{arat.[21]
Adapun al-taqdi>r menurut ulama nahwu yaitu “suatu lafaz| yang
diinginkan oleh si pembicara namun tidak diungkapkan dengan jelas”.[22]Jadi,
kata al-taqdi>r secara terminologi menurut pembahasan kaidah ini mengandung pengertian yang sama
dimaksudkan oleh ulama nahwu.
Kata al-haz|f secara etimologi berasal dari kata ح-ذ-فyang berarti sesuatu yang putus ujungnya,[23]
dan dapat diartikan sebagai penghapusan, pengguguran. Secara terminologi kata al-haz|f
dalam ilmu bahasa Arab bermakna
menggugurkan sesuatu. Menurut ahli balagah, al-haz|f yaitu menjatuhkan/menggugurkan harakat atau
kata baik itu banyak ataupun sedikit.[24]
Jadi al-taqdi>r
dalam makalah ini adalah memperkirakan lafaz yang ditidak diungkapkan secara
jelas, akan tetapi lafaz tersebut hanya tersirat melalui qari>nah (indikasi)
kalimat itu sendiri, sedangkan al-haz\f adalah membuang huruf atau lafaz
yang tidak akan merusak makna kalimat tersebut dengan alasan-alasan
tertentu.
D.
Kaidah-Kaidah
al-Taqdi>r dan al-Haz\f
1.
Kaidah Pertama
العرب تحذف ما
كفى منه الظاهر في الكلام إذا لم تَشُك في معرفة السامع مكان الحذف
Artinya: “Orang
Arab akan membuang perkataan atau lafaz yang sudah cukup dengan kata yang sudah
ada/jelas dalam kalimat, jika tidak menimbulkan keraguan terhadap pengetahuan
pendengar terhadap posisi kata yang dibuang”.
Maksud dari kaidah ini bahwasanya orang Arab itu sejak
dahulu terkenal dengan ahli balagah dan fas}a>hah. Salah satu bentuk
kafas}ihannya yaitu dengan menganggap cukup sebagian kalam/perkataan. Dikatakan
pula bahwa orang Arab tidak menggunakan atau menyebut sebuah kalimat jika
susunan kalimat itu telah menunjukkan maksud dari sebuah pembicaraan dan orang
yang mendengar itu paham terhadap lafaz| yang tidak disebutkan.[25] Adapun contoh kaidah ini seperti dalam Q.S. Yusuf
(12): 82:
واسأل القرية التي
كنا فيها والعير التي أقبلنا فيها
Berdasarkan ayat diatas terdapat lafaz yang tidak
disebutkan pada kalimat واسأل القرية yaitu kata “أهل”. Tanpa
penyebutan lafaz\ tersebut maka cukuplah dipahami oleh si pendengar bahwa yang
dimaksud adalah kata “penduduk”,[26]
karena secara logis tidak mungkin
seseorang bertanya pada sebuah negeri akan tetapi kepada penduduknya.
2.
Kaidah Kedua
الغالب في
القرآن وفي كلام العرب أن الجواب المحذوف يذكر قبله ما يدل عليه
Artinya: “Mayoritas
dalam al-Qur’an dan dalam perkataan orang-orang Arab bahwa jawaban yang dibuang
akan disebutkan sebelumnya indikasi yang menunjukan pada jawaban tersebut”.
Contoh
kaidah ini dapat dilihat pada Q.S. al-Ra’d: 31:
ولو أن قرآنا سيرت
به الجبال أو قطعت به الأرض أو كلم به الموتى بل لله الأمر جميعا
Terjemahnya: “Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab suci) yang
dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau
oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al Quran
Itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah
Sebagian ulama berpendapat bahwa jawaban yang
dihilangkan/tidak disebutkan pada teks ayat diatas yaitu al-Qur’an. Sebagian
lagi mengatakan bahwa yang dimaksud adalah لكفرتم
بالرحمن, hal ini sesuai dengan petunjuk ayat sebelumnya وهم
يكفرون بالرحمن. Mereka mengatakan bahwa ayat tersebut diakhirkan yang mana
maknanya didahulukan, sehingga ulama berpendapat bahwa jawaban لو telah
disebutkan sebelumnya sehingga maknanya menjadi “ولو
أنّ هذا القرآن سُيَرت به الجبال أو قطعت به الأرض، لكفروا بالرحمن”.[27]
3.
Kaidah Ketiga
متى جاءت
"بلى" أو "نعم" بعد كلام يتعلق بها تعلق الجواب وليس قبلها ما
يصلح أن يكون جوابا له, فاعلم أن هناك سؤالا مقدرا, لفظه لفظ الجواب
Artinya:
“Jika ada lafaz “بلى” atau “نعم” terletak setelah
perkataan yang berhubungan dengan keduanya sebagai jawaban dan sebelumnya tidak
ditemukan lafaz yang layak menjadi jawabannya, maka terdapat pertanyaan yang
tersimpan dengan menggunakan lafaz jawaban”.
Kaidah ini mengindikasikan bahwa lafaz tersebut
diringkas karena telah diketahui maknanya, contohnya pada QS. al-Baqarah: 112:
بلى من أسلم وجهه
لله وهو محسن فله أجره عند ربه
Artinya:
Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang
ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya
Pertanyaan atas kata بلى pada ayat
diatas kembali pada jawabannya, sehingga maksudnya adalah أليس من أسلم وجهه لله وهو محسن فله أجره عند ربه ?
4.
Kaidah Keempat
إذا
كان ثبوت شئ أو نفيه يدل على ثبوت آخر أو نفيه, فالأولى الاقتصار على الدال منهما,
فإن ذكرا فالأولى تأخير الدال.
Artinya: “Jika
penetapan sesuatu atau penafiyannya menunjukkan pada penetapan atau penafiyan yang
lain, maka prioritasnya adalah membatasi penyebutannya hanya pada indikator keduanya,
namun jika keduanya disebutkan, maka diprioritaskan pengakhiran indikatornya”.
Maksud kaidah ini adalah jika suatu lafaz memiliki dua
sifat yang saling berkaitan, maka yang lebih utama adalah menyebutkan salah
satunya. karena jika keduanya diulangi maka akan terjadi pengulangan yang dapat
menimbulkan kebosanan. Akan tetapi jika keduanya disebutkan, maka lafaz penjelas
diletakkan setalah lafaz yang dijelaskan.
Salah satu contohnya adalah penyebutan lafaz عرضها (lebar) dalam QS. A<li ‘Imra>n: 133. وسارعوا إلى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموات والأرض tidak
membutuhkan lagi penyebutan lafaz طول (panjang)
karena pada dasarnya setiap sesuatu yang memiliki lebar pasti memiliki panjang.
Namun terkadang lafaz yang saling berkaitan tersebut disebutkan
kedua-duanya karena ada alasan tertentu, semisal karena keduanya dianggap
penting, seperti penyebutan lafaz ولا تنهرهما setelah lafaz فلا تقل لهما أف yang sebenarnya tidak dibutuhkan, akan tetapi
supaya larangan tersebut kuat dan agar mencakup dua aspek, yaitu mafhum
(gerak-gerik) atau mantuq (ucapan).[28]
5.
Kaidah Kelima
حذف جواب
الشرط يدل على تعظيم الأمر وشدته فى مقامات الوعيد
Artinya: “Penghapusan
jawa>b al-syart} menunjukkan pengagungan terhadap perkara tersebut
dan dahsyatnya hal tersebut dalam konteks ancaman.”
Kaidah ini menjelaskan tentang jawa>b al-syart}
yang tidak disebutkan dalam beberapa ayat dengan alasan bahwa penghilangan jawaban lebih
menunjukkan pada keagungan, kedahsyatan atau kengerian yang tidak bisa
diungkapkan dengan sebuah ungkapan atau dengan sifat-sifat tertentu, khususnya
jika hal tersebut terkait dengan larangan atau peringatan.[29]
Salah satu contohnya adalah QS. al-Taka>s\ur:
5: كلا لو تعلمون
علم اليقين dimana jawaban dari huruf لو tidak
disebutkan supaya lebih menakutkan dan mencengangkan, di banding jika
disebutkan jawabannya seperti jika ada pertanyaan “ingatlah, andaikan kalian
mengetahui secara detail”?, kemudian jawabannya “Niscaya kalian tidak akan
melakukan kesembronoan, kelalaian kepada Allah dan kesia-siaan”. maka hal ini
tidak akan membuat seseorang takut, galau dan tercengang.[30]
6.
Kaidah Keenam
قد يقتضي
الكلام ذكر شيئين فيقتصر على أحدهما لأنه المقصود
Artinya: “Sebuah
kalimat terkadang menuntut penyebutan dua hal, akan tetapi dicukupkan
penyebutannya pada satu hal saja karena hal tersebutlah yang menjadi tujuan”.
Terkadang di dalam
suatu perkataan yang disebutkan hanya satu dari dua yang harus disebutkan
dikarenakan yang menjadi tujuan utama
adalah yang disebutkan
saja. Misalnya dalam QS. T}a>ha>/20:
49.
قال فمن ربكما يا موسى
Artinya: “Berkata Fir’aun: “Maka
siapakah Tuhanmu berdua, wahai Musa”?
Seharusnya dalam ayat ini dijelaskan kedua Nabi tersebut berdasarkan d}ami>r
al-tas\niyah pada lafaz ربكما yaitu Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. Hal
itu terjadi karena Nabi Musalah yang menjadi target utama karena dialah yang dimaksud dalam ayat tersebut sebagai pengemban tanggungjawab misi kenabian.[31]
7.
Kaidah Ketujuh
قد يقتضي
المقام ذكر شيئين بينهما تلازم وارتباط فيكتفى بأحدهما عن الآخر
Artinya:
“Konteks kalimat terkadang menuntut penyebutan dua hal yang saling berkaitan
dan berhubungan, maka cukup menyebutkan salah satunya saja”.
Kaidah ini
tidak jauh beda dengan kaidah keenam. Perbedaannya hanya terletak pada hubungan
antara kedua lafaz yang sangat erat pada kaidah ini,[32]
sedangkan kaidah sebelumnya ditekankan pada mana yang paling penting, bukan
pada hubungannya. Oleh karena hubungannya yang begitu erat, maka cukup
menyebutkan salah satunya saja.
Semisal
lafaz بيدك
الخير yang tidak
menyebutkan الشر lagi karena penyebutan الخير otomatis lawan katanya tercakup di dalamnya dengan beberapa
alasan: 1) karena Allah-lah yang menguasi semua makhluk-Nya, 2) karena yang
dituntut dan yang disenangi adalah kebaikan, 3) karena kebaikanlah yang paling
banyak terjadi di dunia, 4) dan karena etika kepada Allah dengan tidak
menyandarkan kejelekan kepada-Nya.[33]
8.
Kaidah Kedelapan
لا يقدَّر من
المحذوفات إلاّ أفصحها وأشدها موافقة للغرض
Artinya:
“lafaz yang dibuang tidak bisa diprediksi/diperkirakan kecuali dengan sesuatu
yang paling fasih dan yang paling sesuai dengan tujuan”.
Di antara kebiasaan berbahasa orang
Arab, mereka tidak menilai/memperkirakan maksud dari sesuatu yang mah}z|u>f (yang
tidak disebutkan) kecuali dengan penilaian yang paling sesuai dan paling tepat
dengan maksud yang diinginkan. Misalnya
dalam QS.
al-Ma>’idah (5): 97.
جعل الله الكعبة البيت الحرام قياما للناس...
Artinya: “Allah telah menjadikan
Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi
manusia”.
Ayat "جعل الله الكعبة"
terdapat taqdi>r (perkiraan
lafaz) di
dalamnya, ada yang mengatakan taqdi>r-nya adalah nas}b al-ka’bah
(sesuatu yang ditegakkan/dipasang) pada Ka’bah, sebagian yang lain mengatakan yang dimaksud
adalah h}urmah al-ka‘bah (kesucian Ka’bah), dan yang
paling utama adalah yang kedua, karena taqdi>r al-hurmah} (kesucian) dalam hal yang berkaitan dengan al-hadya,[34]
al-qala>’id [35]dan
al-syahr al-h}ara>m tidak diragukan lagi
kefasihannya. Sedangkan taqdi>r nas}b jauh dari sifat kefasihan al-Qur’an.[36]
9.
Kaidah Kesembilan
ينبغي تقليل
المقدر مهما أمكن لتقل مخالفة الأصل
Artinya:
“Selayaknya meminimalisir al-muqaddar (sesuatu yang tersirat) jika hal
itu memungkinkan untuk meminimalisir perbedaan dengan aslinya”.
Kaidah ini menunjukkan bahwa seharusnya
menghindari/meminimalisir taqdi>r, karena pada dasarnya taqdi>r
itu tidak ada. Contohnya pada Q.S. al-Tala>q:
4:
واللائي يئسن من
المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر واللائى لم يحضن.
Artinya:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan dan perempuan yang tidak
haid.
Kalimat
واللائى
لم يحضن belum memiliki jawaban (khabar) sehingga dibutuhkan al-muqaddar
(lafaz yang dikira-kirakan) yaitu فعدتهن ثلاثة أشهر karena itulah yang dominan disamping hal itu telah
disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa iddah
perempuan yang tidak haid adalah tiga bulan dan memang demikian adanya, karena
kebanyakan petunjuk/dalil yang menyebutkan hal tersebut.[37]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan pembahasan di atas, dapat
dibuat beberapa poin kesimpulan sebagai berikut:
1.
Al-Ziya>dah, al-taqdi>r
dan al-haz\f merupakan bagian dari kaidah-kaidah yang terkait dengan
kebahasaan atau bala>gah, khususnya ilm al-ma’a>ni>, yang
bertujuan untuk memperkuat atau menegaskan sebuah kalimat sesuai dengan
kebutuhan dalam arti tidak mengambang dan tidak membingungkan. al-ziyad>ah
merupakan penambahan huruf atau lafaz dengan tujuan tertentu, al-taqdi>r
adalah perkiraan kata yang tidak diungkap secara jelas, akan tetapi tersirat
pada suatu kalimat sedangkan al-haz\f adalah menggugurkan lafaz tertentu
karena beberapa tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, al-taqdi>r
merupakan konsekwensi dari al-haz\f, yakni keberadaan al-taqdi>r
karena keberadaan al-haz\f.
2.
Kaidah-kaidah yang terkait dengan al-ziya>dah ada empat yang pada
intinya adalah setiap ada penambahan dalam kalimat al-Qur’an, apakah penambahan
huruf atau penambahan lafaz memiliki dampak tertentu dan tujuan tertentu.
Sedangkan kaidah yang terkait dengan al-haz\f dan al-taqdi>r
ada sembilan dimana kaidah yang terkait langsung dengan al-haz\f ada enam,
sedangkan kaidah yang terkait dengan al-taqdi>r ada tiga. Penulis
tidak mencantumkan kaidah kesepuluh dalam makalah ini karena penulis
menganggapnya tidak relevan dengan pembahasan al-haz\f dan al-taqdi>r.
Semua kaidah al-haz\f dan al-taqdi>r memiliki tujuan dan
faedah masing-masing.
B.
Implikasi
Kaidah al-ziya>dah, al-taqdi>r dan al-haz\f
ternyata sanagt penting dalam memahami maksud dan tujuan al-Qur’an. Penefian
terhadap kaidah-kaidah tersebut sering kali menjerumuskan mufasir pada situasi
yang tidak tepat dengan suasana dan keinginan al-Qur’a>n.
Penambahan, pengguguran dan perkiraan lafaz dalam
al-Qur’a>n memiliki dampak yang signifikan terhadap kalimat dan ayat-ayat
al-Qur’a>n, hanya saja penambahan, pengguguran dan perkiraan lafaz tidak serta
merta terjadi begitu saja tanpa ada maksud dan tujuan yang ingin dicapai.
Akhirnya, apa pun yang terjadi dalam al-Qur’an tidak
akan lepas dari maksud dan tujuan tertentu yang terkadang hanya dipahami oleh
mufasir yang menguasai dan memahami kaidah-kaidah yang terkait dengan
kabahasaan, khususnya ilmu bala>gah.
Kata terakhir penulis, apa pun dalam al-Qur’an tidak
pernah sia-sia dan tidak pernah tidak memiliki makna, sehingga al-Qur’an dapat
dibuktikan sebagai kalam Yang Maha segala-galanya yaitu Allah swt., bukan kalam
manusia yang penuh dengan kesalahan dan kesia-siaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hayya>n Muhamad ibn Yu>suf
al-Andalu>si<, al-Bah{r al-Muh{i>t} fi al-Tafsi>r. Juz. II.
Baerut: Da>r al-Fikr, 1412 H./1992 M.
Al-‘Adawi>, Abu> Abdillah Must}afa ibn. Silsalah
al-Tafsi>r Li Mus}tafa al-‘Adawi>, http://www.islamweb.net.
Al-Alu>si>, Abu> al-Fad{l Mah{mu>d. Ru>h{
al-Ma’a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’
al-Mas\a>ni>. Juz. I. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\
al-‘Arabi>, t.th.
Al-H{ara>ni>, Abu> al-‘Abba>s Taqy
al-Di>n Ah{mad ibn ‘Abd al-H{ali>m ibn Taimiyah. Majmu>’
al-Fata>wa>. Juz. VI. Cet. III; t.t., Da>r al-Wafa>’, 1426
H/2005 M.
Al-Jurja>ni>, ‘Ali Ibn Muhammad Ibn ‘Ali. al-Ta’ri>fa>t.
Juz I. Cet. I; Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1405 H.
Al-Muba>rakfu>ri<,
S}afiy al-Rah{ma>n. al-Rahi>q al-Makhtu>m. al-Riya>d{: Maktabah
Dar al-Salam, 1994.
Al-Nuh{h{a>s, Abu> Ja’far. Ma’a>n
al-Qur’a>n al-Kari>m. Juz. I. Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah
al-Sa’u>diyah, Ja>mi’ah Umm al-Qura>, 1408 H/1988 M.
Al-Qat}t}a>n, Manna>’.
Maba>his| Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Cet. XIX; Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 1406 H/1983 M.
Al-Qurt}ubi>, Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn
Ah{mad ibn Abi> Bakr. al-Ja>mi’ li Ah{ka>m al-Qur’a>n. Juz.
II. Cet. II; al-Qa>hirah: Da>r al-Kutub al-Mis}riyah, 1384 H/1964 M.
Al-Sa’di>, Abd al-Rahma>n ibn Na>s}ir. al-Qawa>’id
al-Hisa>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n. CD-ROM al-Maktabah
al-Sya>milah.
Al-Sabt, Kha>lid ibn ‘Us\ma>n. Qawa>’id
al-Tafsi>r; Jam’an wa Dira>sah. Juz I. Cet. I; Saudi Arabia: Da>r
Ibnu ‘Affa>n, 1997 M.
Al-Suyu>t}i>, Abu> Bakr Abd al-Rahma>n ibn
al-Kama>l Jalal al-Di>n. al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Juz.
II. CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Al-T{abari>, Abu> Ja’far Muhammad ibn Jari>r.
Ja>mi’ul Baya>n Fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n. Juz XI. Cet. I;
Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1420 H/2000 M.
Al-Tu>nisi>, Muhammad al-T{a>hir ibn Muhammad
ibn ‘A<syu>r. al-Tah{ri>r wa al-Tanwi>r, Juz. IV. Tu>nis:
al-Da>r al-Tu>nisiyah, 1984 M.
Al-Zarkasyi>, Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Baha>dir
ibn ‘Abdillah. al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Juz. I. Beirut:
Da>r al-Ma’rifah, 1391 H.
Fa>ris, Abu> al-Husain Ahmad Ibn. Mu’jam
Maqa>yis al-Lugah. Juz III. Beirut: Da>r al-Fikr,t. th.
Ibra>him Mus{tafa dkk, al-Mu’jam al-Wasit}.
Juz I. Majma’ al-Lugah al-‘Arabiah, CD Rom Maktabah al-Sya>milah.
Mardan. Al-Qur’an;
Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh. Cet. I; Makassar: CV.
Berkah Utami, 2009 M.
[1]Manna>’
al-Qat}t}a>n, Maba>his| Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Cet. XIX;
Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1406 H/1983 M), h. 2.
[2]Salah satu contohnya adalah Umar bin
Khattab yang kagum terhadap al-Qur’an ketika dia mendengar Rasulullah membaca
surah al-Haqqah. (untuk lebih lengkapnya baca: S}afiy al-Rah{ma>n
al-Muba>rakfu>ri<, al-Rahi>q al-Makhtu>m, (al-Riya>d{:
Maktabah Da>r al-Sala>m, 1994) hal. 101.
[3]Mardan, Al-Qur’an; Sebuah Pengantar
Memahami Al-Qur’an Secara Utuh (Cet. I; Makassar:
CV. Berkah Utami, 2009), h. 254.
[4]Kha>lid
ibn ‘Us\ma>n al-Sabt, Qawa>’id
al-Tafsi>r; Jam’an wa Dira>sah, juz I (Cet. I; Saudi Arabia: Da>r
Ibnu ‘Affa>n, 1997), h. 33.
[5]Abu>
al-Husain Ahmad Ibn Fa>ris, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah, Juz III
(Beirut: Da>r al-Fikr,t. th.), h. 29.
[7]Ibid.
Juz. I, h. 350.
[8]Abu>
‘Abdillah Muhammad ibn Baha>dir ibn ‘Abdillah al-Zarkasyi>, al-Burha>n
fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz. I (Beirut: Da>r al-Ma’rifah,
1391 H), h. 305. Selanjutnya disebut al-Zarkasyi>.
[9]Kha>lid
Ibn Us\man al-Sabt, op.cit., Juz. I, h. 351. Namun demikian, ungkapan ulama nahwu tetang al-ziya>dah
bukan pada aspek maknanya, akan tetapi pada aspek I’rabnya.
[10]al-Zarkasyi>,
op.cit., Juz. I, h. 305.
[11]Muhammad
al-T{a>hir ibn Muhammad ibn ‘A<syu>r al-Tu>nisi>, al-Tah{ri>r
wa al-Tanwi>r, Juz. IV (Tu>nis: al-Da>r al-Tu>nisiyah, 1984 M),
h. 144. Selanjutnya disebut Ibn ‘A<syu>r
[12]Abu>
al-‘Abba>s Taqy al-Di>n Ah{mad ibn ‘Abd al-H{ali>m ibn Taimiyah
al-H{ara>ni>, Majmu>’ al-Fata>wa>, Juz. VI (Cet. III;
t.t., Da>r al-Wafa>’, 1426 H/2005 M), h. 199.
[13]Abu>
al-Fad{l Mah{mu>d al-Alu>si>, Ru>h{ al-Ma’a>ni> fi
Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’ al-Mas\a>ni>, Juz.
I (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), h. 59.
[14]Abu>
Ja’far al-Nuh{h{a>s, Ma’a>n al-Qur’a>n al-Kari>m, Juz. I
(Cet. I; al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Sa’u>diyah, Ja>mi’ah Umm
al-Qura>, 1408 H/1988 M), h. 55.
[15]Abu>
Bakr Abd al-Rahma>n ibn al-Kama>l Jalal al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n
fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz. II (CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah),
h. 191. Walau demikian, sebagian ulama menentang terjadinya pengulangan lafaz
yang mutara>dif dalam al-Qur’a>n dengan alasan bahwa masing-masing
lafaz memiliki fungsi dan makna sendiri-sendiri sehingga jika terjadi
pengulangan maka maknanya pasti berbeda. Oleh karena itu, Kha>lid mengatakan
bahwa al-tara>duf yang dimaksud adalah al-tara>duf pada
makna aslinya, bukan maka makna takmi>liyah (penyempurnaan)nya.
Lihat: Kha>lid ibn ‘Us\ma>n al-Sabt, op.cit., Juz. I, h. 459.
[16]Abu>
Hayya>n Muhammad ibn Yu>suf al-Andalu>si<, al-Bah{r
al-Muh{i>t}, Juz. II (Beirut: Da>r al-Fikr, 1412 H./1992 M),
h. 135. dan Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn Ah{mad ibn Abi> Bakr
al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ li Ah{ka>m al-Qur’a>n, Juz. II (Cet.
II; al-Qa>hirah: Da>r al-Kutub al-Mis}riyah, 1384 H/1964 M), h. 215.
[17]Al-Zarkasyi>,
op.cit., Juz. III, h. 71. Lihat juga penjelasan: Jalal al-Di>n
al-Suyu>t}i>, op.cit., Juz. II, h. 176.
[18]al-Qurt}ubi>,
op.cit., Juz. IV, h. 248.
[19]Jika
lafaz كان tidak memiliki arti, maka kalimat tersebut
tidak menimbulkan keistimewaan karena pada dasarnya semua orang pernah menjadi
bayi, padahal yang dimaksud ayat tersebut adalah betul-betul bayi. Lihat: Ibid.
Juz. III, h. 71.
[20]Abu>
al-Husain Ahmad Ibn Fa>ris, op.cit., Juz V, h. 51.
[21]‘Ali Ibn
Muhammad Ibn ‘Ali al-Jurja>ni>, al-Ta’ri>fa>t, Juz I (Cet.
I; Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1405 H), h. 89.
[22]Kha>lid
Ibn Us\man al-Sabt, op.cit., Juz I, h. 361.
[23]Ibra>him
Mus{tafa dkk, al-Mu’jam al-Wasit}, Juz I (Majma’ al-Lugah al-‘Arabiah,
CD Rom Maktabah al-Sya>milah), h. 339.
[24]Kha>lid
Ibn Us\man al-Sabt, op.cit., Juz. I, h. 361.
[25]Abu>
Abdillah Must}afa ibn al-‘Adawi>, Silsalah al-Tafsi>r Li Mus}tafa
al-‘Adawi>, http://www.islamweb.net.
[26]Ibn
Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ul Baya>n Fi> Ta’wi>l
al-Qur’a>n, Juz XI (Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1420
H/2000 M), h. 578.
[27]Ibid, Juz XVI, h. 446.
[28]Al-Zarkasyi>,
op.cit., Juz. III, h. 404.
[29]Abd
al-Rahma>n ibn Na>s}ir al-Sa’di>, al-Qawa>’id al-Hisa>n
fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah, h. 36.
[30]Kha>lid
ibn ‘Us\ma>n al-Sabt, op.cit., Juz. I, h. 373.
[31]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, op.
cit., h. 373.
[32]Hubungan
yang erat itu tergambar dari perlawanan, semisal panas dan dingin, baik dan
buruk dan sejenisnya karena beberapa faktor yang sangat penting.
[33]Kha>lid
ibnu ‘Us\ma>n al-Sabt, op.
cit., h. 375.
[34]Al-hady ialah binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke Ka’bah
untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih di tanah haram dan
dagingnya dihadiahkan kepada fakir
miskin dalam rangka ibadah haji. Departemen Agama RI, op. cit.,
h. 156.
[35]Al-qala>’id ialah binatang hadya yang diberi
kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk
dibawa ke Ka’bah. Ibid.
[36]Kha>lid ibnu ‘Uthma>n al-Sabt, op.
cit., h. 375.
[37]Ibid.
Juz. I, h. 376.
3 komentar:
Sangat membantu....
Jazakillah Khair...
^_^
Keren pembahasan ini ,sdh lama sy cari
Belum faham
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....