BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Islam merupakan agama
yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT untuk manusia untuk menjadi aturan
hidup kita. Segala sesuatu yang berasal dari agama Islam adalah merupakan suatu
kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi, karena merupakan ciptaan dari yang menciptakan
manusia. Allah SWT telah menetapkan kebenarannya melalui penyampaiannya melalui
Al-Qur’an yang telah diwahyukan kepadaRasul pilihannya.
Segala sesuatu yang dibutuhkan
oleh manusia telah dituangkan dalam suatu kitab suci yaitu Al-Qur’an dan Hadis
Nabi sebagai penjelas terhadap aturan-aturan yang tertuang dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an dan Hadis
merupakan sumber hukum Islam yang harus ditaati oleh pemeluknya. Sebagai
risalah yang telah diturunkan oleh Allah
SWT melalui perantara Malaikat dan Rasul pilihannya untuk menjadi pegangan
hidup dalam mengarungi kehidupan didunia ini. Al-Qur’an dan Hadis ini
memberikan pengetahuan kita tentang suatu kebenaran yng mesti kita yakini dan
mengamalkan pesan-pesan yang terkandung didalamnya.
Segala seuatu yang datang
dari Allah SWT . adalah merupakan kebenaran yang mutlak serta tidak dapat
diintervensi. Tidak sama dengan produk-produk hasil olah pikiran manusia. Akan
tetapi, manusia tidak dibatasi untuk tidak menggunakan potensi yang ada dalam
dirinya. Islam memerintahkan kepada pemeluknya agar senantiasa mempergunakan
akal pikirannya dalam setiap aktivitasnya. Akal dianugerahkan oleh Allah agar
manusia menggunakannya sebagai ukuran untuk menilai sesuatu. Agar manusia
didalam melakukan sesuatu berada pada koridornya. Namun, disamping
mempergunakan akalnya , harus juga merujuk kepada sumber pokok Islam sebagai
produk yang terlepas dari kesalahan.
Berdasar dari uraian
diatas, muncul suatu pertanyaan, Bagaimana pandangan Islam mengenai kebenaran yang
satu itu, dan bagaimana kebenaran yang beraneka ragam menurut tinjauan Islam. Apakah kebenaran itu hanya satu atau kebenaran
itu majemuk atau plural. Maka dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai
“Monisme kebenaran dan pluralisme kebenaran menurut perspektif Islam ?
B. Rumusan
Masalah
Untuk
menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah penulis merumuskan
beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Pengertian
monoisme dan pluralisme suatu kebenaran ?
2. Pandangan
Islam tentang monoisme dan pluralisme suatu kebenaran ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Monoisme Dan Pluralisme Kebenaran
Agar
dapat memahami masalah yang akan dibahas maka penulis perlu menerangkan maksud
daripada pembahasan agar tidak keliru dalam memahami pokok permasalahan.
Kata
monoisme terdiri dari dua kata yaitu mono dan isme. Monomerupakan awalan dari bahasa
Yunani yang berarti satu, misalnya monofag, monokapin, monolog.[1]
Sedangkan
kata kebenaran berasal dari kata benar dan berimbuhan ke dan an, berarti 1
sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); betul; tidak salah: menempuh jalan
yang --; 2 tidak berat sebelah; adil: keputusan hakim hendaknya --;
3 dapat dipercaya (cocok dengan keadaan yang sesungguhnya); sah; tidak bohong;
sejati;[2]
Sedangkan
kebenaran berarti 1 keadaan (hal dsb) yang cocok dengan keadaan (hal)
yang sesungguhnya;2 keabsahan; kecocokan (keadaan dsb) dengan yang
sesungguhnya; 3 sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada.[3]Dari
beberapa keterangan diatas maka dapat dipahami monoisme kebenaran adalah adanya
sesuatu itu hanya satu, tidak berbilang. Kebenaran itu tidak lebih dari satu.
Contoh, jumlah hari dalam seminggu ada 7 hari, bukan selainnya.
Adapun
kata pluralisme terdiri dari kata plural dan imbuhan isme. Plural menurut kamus
bahasa Indonesia berarti jamak; lebih dari satu, pluralis bersifat jamak (banyak).[4]
Jadi
pluralisme kebenaran adalah adanya sesuatu itu lebih dari satu, atau berbilang.
Contoh semua agama benar.
B. Perspektif
Islam mengenai monoisme dan pluralisme kebenaran
Berfikir merupakan
suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar
bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, kegiatan berfikir
adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau criteria kebenaran.
Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan
watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya
tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki
perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dan bidang pengetahuan.[5]
Secara umum orang
merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun
masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran inilah yang memacu
tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap kebenaran
membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis
kebenaran, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran
semantis.[6]
Kebenaran epistemologis
adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam
arti ontologisme adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat
segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantis adalah
kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.[7]
Sebelum kita membahas
pandangan Islam mengenai monoisme dan pluralisme kebenaran, maka ada baiknya disajikan
teori-teori kebenaran berikut ini.
1. Teori
Korespondensi
Teori pertama adalah teori
korespondensi, the correspondence theory of truth yang kadang disebut the
accordance theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu
apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau
pendapat dengan objek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.. dengan demikian, kebenaran epistemologis
adalah kemanunggalan antara sbjek dan objek. Pengetahuan itu dikatakan benar
apabila didalam kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, intensional, dan pasif
–aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada didalam pengetahuan subjek
dengan apa yang ada didalam objek.[8]
Dengan demikian, kebenaran dapat
didefenisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif. Yaitu suatu pernyataan
yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran
ialah persesuaian (agreement) antar pernyataan (statement) mengenai fakta
dengan fakta aktual.[9]
Namun yang menjadi permasaalahan
sekarang adalah apakah realitas itu objektif atau subjektif? Dalam hal ini ada dua
pandangan realism epistemologis dan idealisme epistemologis.
Realisme epistemologis berpabdangan,
bahwa terdapat realitas yang independen (tidak bergantung), yang terlepas dari
pemikiran, dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahaminya.
Itulah sebabnya realisme epistemologis kadangkala disebut objetivitas.
Sedangkan idealisme epistemologis
berpandangan bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir didalam suatu ide, yang
merupakan suatu peristiwa subjektif.[10]
2. Teori
Koherensi Tentang Kebenaran
Teori kedua adalah teori koherensi atau
konsistensi, the consistence theory of truth, sering pula dinamakanthe
coherence tyory of truth. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan dengan sesuatu lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi
atas hubungan antar putusan-putusan itu sendiri. Jadi menurut teori ini,
putusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain.
Karenanya lahirlah rumusan ; kebenaran adalah saling hubungan yang sistematis;
kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan.[11]
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konisiten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[12]
3. Teori
pragmatisme tentang kebenaran
Teori ketiga adalah teori pragmatisme
tentang kebenaran. Menurut filsafat ini benar tidaknya suatu ucapan , dalil,
atau teori semata –mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar
jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan
manfaat. Menurut teori pragmatisme , suatu kebenaran dan suatu pernyataan
diukur dengan krieria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan manusia. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.[13]
4. Agama
Sebagai Teori Kebenaran
Manusia
adalah makhluk pencari kebenaran. Salahsatu cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan
asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun
tentang Tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnyalebih mengedepankan akal,
rasio, dan reason manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang
bersumber dari Tuhan.
Penalaran
dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah melakukan
penyelidikan, pengalaman, dan percobaan sebagai trial and error. Edangkan
manusia mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan
mempertanyakan atau mencari jawaban tentang berbagai masalah asasi dari atau
kepada kitab suci.
Dengan
demikian, suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau
wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.[14]
setelah
dipaparkan beberapa teori kebenaran, maka selanjutnya kita kembali kepada permasalahan
monoisme dan pluralisme suatu kebenaran.
Kalau
kita kembali kepada Al-Qur’an, maka akan kita temukan bahwa monoisme kebenaran
ada dalam agama Islam, begitu pula dengan pluralisme. Kebenaran itu hanya
datang dari Allah Pencipta segala sesuatu. Hal ini disinyalir dalam al-Qur’an
bahwa kebenaran itu hanya datang dari Tuhan Semesta Alam, sebagaimana firman
Allah yang artinya seperti ini :
“Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka
janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang ragu. “ (QS. Al-Baqarah,
ayat 147)
Segala
perintah dan larangan Allah harus senantasa kita taati, sebagaimana firman
Allah SWT. yang artinya “ Ta’atlah kapada Allah dan Rasul (Muhammad) agar kamu
diberikan Rahmat”
Segala
yang datang dari Al-Qur’an adalah merupakan kebenaran mutlak, yang harus
diyakini kebenarannya,ia bukan hasil cipta manusia akan tetapi merupakan wahyu
dari Allah SWT. Pencipta alam semesta termasuk manusia.
Wahyu
adalah kebenaran yang langsung disampaikan Tuhan kepada salah seorang hambaNya,
yang dipilihnya, yang disebut Rasul atau Nabi. Wahyu itu terjadi karena adanya
komunikas antara Tuhan dengan manusia (hamba). Komunikasi itu bisa terjadi
karena Tuhan adalah Pencpta dan Pengatur alam dan segala isinya.[15]
Adanya
wahyu merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan oleh manusia khususnya bagi
mereka yng percaya adanya Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur alam ini. Karena
manusia, menurut Islam adalah Khalifah Allah yang diberi tugas mengatur bumi
dan isinya, maka mereka memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan-bimbingan
dari Tuhan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas itu. Sebab, bila manusia
hanya mengandalkan kebolehan akalnya maka mereka tidak akan mampu mewujudkan
tujuan dalam usaha memakmurkan bumi dan menciptakan kedamaian diatasnya.[16]
Dari
keterangan diatas, serta dalil aqli diatas dapat dipahami bahwa monoisme
kebenaran menurut Islam adalah sesuatu yang datang dari Allah adalah suatu kebenaran mutlak.
Selanjutnya
kita membahas mengenai pluralisme kebenaran menurut Islam. Islam merupakan
agama yang universal, ia dianut hampir seisi dunia. Islam merupakan rahmat bagi
semua pengikutnya, bukan menjadi suatu beban baginya. Dalam Islam, pluralisme
kebenaran juga berlaku bagi penganutnya disamping berlaku kebenaran mutlak. Hal
ini berlaku karena penganut agama islam ini mempunyai keaneka ragaman baik dari
segi fisik, kulit, postur tubuh, kebiasaan sampai kebudayaan mereka. Penerapan
hukum Islam tentu saja tidak mungkin sama. Akan tetapi Al-Qur’an sebagai
kebenaran mutlak dari Allah SWT. dalam penerapannya berdasarkan situasi dan
kondisi suatu daerah, tetapi tidak mengubah substansi wahyu Allah SWT.
Syara’
tidak menghendaki musyaqqah (pemberatan). Pemberatan yang biasa itu pun tidak
menjad tujuan syara’. Namun untuk kemaslahatan yang kembali kepa mukallaf
sendiri.[17]
Pluralisme
dalam Islam dicontohkan pada perbedaan ulama dalam masalah furu’. Kemestian ini
disebabkan oleh tabiat agama (Islam), tabiat bahasa (syari’at), tabiat manusia,
tabiat alam dan kehidupan.[18]
Diantara
faktor yang akan mendukung lahirnya sikap toleran dalam masalah khilafiah dan
menghormati pendapat orang lain ialah meyakini kemungkinan beragamnya
kebenaran. Para ahli ushul berpendapat bahwa dalam satu masalahhukum furu’,
kebenaran itu bisa lebih dari satu. Setiap hukum yang disimpulkan oleh seorang mujtahid adalah
benar sekalipun kesimpulan hukum dan hasil ijtihadnya saling berlawanan.
Misalnya, yang satu mengharamkan, sedangkan yang lain menghalalkan atau yang
satu mengatakan wajib, tetapi yang lainnya tidak.[19]
Dari
keterangan ini dapat diketahui bahwa pluralisme kebenaran berlaku dalam Islam
serta monoisme kebenaran.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang
telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Monoisme
kebenaran adalah sesuatu yang satu, tidak berbilang, hanya ada satu esensi.
Sedangkan pluralisme kebenaran adalah beragamnya sesuatu lebih dari satu.
2. Dalam
perspektif Islam monoisme dan pluralisme kebenaran adalah adanya sesuatu itu
lebih dari satu, atau berbilang. Contoh semua agama benar.
B.
Saran
Makalah ini masih perlu penyemprnaan, olehnya itu
saran dan kritik terbuka demi sempurnanya tulisan ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi yang membacanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar,Amsal,
2009. Filsafat Ilmu. edisi VII.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009
Departemen Agama
RI.2002. Al-Qur’an Dan Terjemahannya.
Semarang: PT Karya Toha Putra.
Departemen Agama
RI.1988. Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, cet. I. Jakarta: PT
Bulan Bintang,
Departemen
Nasional. 2008. Kamus bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ash-Shiddieqy, M.
Hasbi. 2001. Falsafah Hukum Islam. cet. I. Semarang: PT Pustaka Rizqi
Putra.
Suriassumantri, Jujun S..2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. cet.
XVIII. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Yusuf Qardhawi, 1990.
Terjem. Fiqh perbedaan pendapat, cet I. Jakarta: Robbani Press.
[1] Departemen
Nasional, Kamus bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1039
[2] Ibid., h. 170.
[3] Ibid., h. 171.
[5] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, edisi VII, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2009), h. 111.
[6] Ibid.
[7] Amsal, op.
cit., h. 111.
[8] Ibid., h.112.
[9] Amsal, op.
cit., 113
[10] Amsal, op.
cit., h. 114
[11] Ibid.,, h.
115-116
[12] Jujun S.
Suriassumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar, cet. XVIII, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 55.
[13] Ibid., h.
118-119
[14] Amsal,
op.cit., h. 131.
[15] Departemen
Agama RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, cet. I, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1988), h. 157
[16] Ibid., h. 158.
[17] M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Falsafah Hukum Islam, cet. I, (Semarang:
PT Pustaka Rizqi Putra, 2001, H. 207
[18] Yusuf Qardhawi,
Terjem. Fiqh perbedaan pendapat, cet I, (Jakarta: Robbani Press, 1990),
h. 69.
[19] Ash-Shiddieqy, op. cit., h. 178
1 komentar:
Hakekat kebenaran yang saya pahami hanya ada satu jika kebenaran banyak maka bertentangan dengan hakekat realitas, bedakan antara teknis menilai dengan substansi dari nilai dikarenakan jika kita memasukan hal yang teknis maka dapat dipastikan kita dalam memhami hakekat realitas tidak utuh
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....