PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
merupakan makhluk yang berpikir yang selalu memiliki dorongan keingin tahuan,
apakah masalah-masalah realitas alam, masalah teologi, dan bahkan manusia
memikirkan potensi dirinya.[1]
Dari dorongan rasa ingin tahu manusia, maka pada perkembangan terkemudian ia
dikenal dengan Filsafat.[2]
Para
ahli logika mengatakan bahwa ketika seseorang menanyakan pengertian (hakikat)
sesuatu, sesungguhnya ia telah bertanya tentang bermacam-macam perkara.
Kadang-kadang seseorang mempertanyakan konseptual sepatah kata. Maksudnya
ketika ia bertanya apakah sesuatu itu, ia sebenarnya sedang menanyakan
pengertian kata itu sendiri.[3]
Dari sinilah manusia mulai merumuskan berbagai teori tentang kebenaran ilmiah terhadap
suatu ilmu atau pengetahuan.
Perkembangan
filsafat sejak zaman Yunani kuno sampai
sekarang, telah banyak aliran filsafat yang memiliki ciri khas masing-masing, sesuai dengan metode
yang dipergunakan dalam rangka memperoleh kebenaran. kecenderungan aliran
filsafat dalam menerapakan metodenya masing dan menganggap bahwa satu-satunya
cara yang paling tepat untuk berfilsafat sehingga terkadang menimbulkan
pertentangan sengit diantara para penganut
aliran filsafat tersebut. Dalam satu aliran terdapat kelemahan-kelemahan
dan ketika muncul aliran sebelumnya dan, bahkan
mengoreksi aliran filsafat tersebut.[4]
Perdebatan
filosofis diantara filosof terjadi sekitar pengetahaun manusia yang menduduki
pusat permasalahan didalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan
manusia adalah titik tolak kemajuan
filsafat,, untuk membina filsafat yang kukuh tentang alam semesta (universe)
dan dunia. Jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan
nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah
mungkin melakukan studi apa pun, bagaimana pun bentuknya.
Salah
satu perdebatan besar itu ialah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan
asal usul ilmu pengetahuan. Hal ini didasari oleh pertanyaan-pertanyaan:
Bagaimana ilmu pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaiman kehidupan
intelektualnya tercipta, termasuk konsep-konsep (nations) yang muncul
sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan manusia arus pemikiran dan
pengetahuan?
Setiap
manusia tentu mengetahui berbagai hal
dalam kehidupan, dan dalam dirinya terdapat bermacam-macam pemikiran dan
pengetahuan. Permasalahannya adalah bagaimana kita “meletakkan tangan kita
diatas garis primer” pemikiran dan atas sumber umum pengetahuan pada umumnya.[5]
Dari
perkembangan selanjutnya, pengetahuan manusia kemudian dirumuskan menjadi
sebuah istilah yang disebut “ilmu”. Istilah ini dalam filsafat menjadi
perdebatan panjang antara istilah pengetahuan yang disebut “ilmu” dan “sains”.
Menurut
Muliadi Kartanegara, pembahasan tentang epistemology[6]
(teori pengetahuan) dimulai dengan penjelasan tentang definisi “sains” yang biasanya dibedakan
dengan pengetahuan (knowledge). Namun, itu dianggap tidak pernah jelas,
misalnya, apakah sains (scince) itu sama atau berbeda dengan ilmu (‘ilm).
Istilah ini dipandang sama dengan sains , tetapi kadang justru disamakan dengan
knowledge atau pengetahuan. Istilah ilmu pengetahuan terkadang dipakai
untuk merujuk sains yang dibedakan dengan pengetahuan (knowledge).[7]
Pada
awalnya ilmu dan sains mempunyai pengertian yang sama, bahkan juga lingkup yang
sama. Namun, kemudian sains membatasi dirinya
pada dunia fisik (dengan segala kompleksitasnya), sedangkan ilmu masih
tetap meliputi tidak hanya bidang fisik, tetapi juga bidang matematika dan
metafisika.[8]
Dari
sekian abad perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu merupakan sesuatu yang paling
penting bagi manusia, karena dengan Ilmu semua kebutuhan atau keperluan manusia
bisa tecapai lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu pengetahuan.
Ilmu telah banyak merubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit,
kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan
kemajuan iImu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti
transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebaginya. Singkatnya
ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.[9]
Kemudian
timbul pertanyaan, apakah ilmu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia?
Dan memang sudah terbukti dengan kemajuan Ilmu pengetahuan, manusia dapat
menciptakan berbagi macam bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada
awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk
hal-hal yang bersifat negatif. Di sinilah ilmu diletakkan secara proporsional
dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan . Sebab, jika ilmu tidak
berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.[10]
Di pihak lain perkembangan ilmu pengetahuan seiring dengan perkembangan dan
kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya manusialah yang akhirnya
menyesuaikan diri dengan teknologi.[11]
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini, sebagai berikut :
1.
Pengertian
Ilmu?
2.
Sumber
dan cara memperoleh ilmu pengetahuan
3.
Ilmu
dan perimbangan nilai (aksiologi)?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu
Kata
ilmu berasal dari bahasa Arab : ‘alima – ya’lamu – ‘ilman, dengan wazan –
fahima yafhamu yang berarti : mengerti, memahami, memahami benar-benar.
Asmu’i telah memahaminya dengan bahasa filsafat.[12]
Dalam
bahasa Inggris science, dari bahasa latin disebut scientia (Pengetahuan),
scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani
adalah episteme.[13]
Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, pengertian ilmu adalah pengetahuan
tentang bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu,
yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu.[14]
Adapun
menurut para ahli, definisi ilmu, antara lain :
1.
Mulyadi
Kartanegara[15],
ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya.
2.
Mohammad
Hatta : ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan kausal dalam
suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut tampak dari luar,
maupun menurut bagian dari dalam.[16]
Pembahasan
tentang ilmu, sumber (asal) dan cara memperoleh ilmu merupakan pembahasan
panjang dan amat penting dalam filsafat.
Cabang filsafat yang secara khusus membahas masalah ini adalah epistemologi.
Istilah
epistemologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua suku kata, episteme
yang berarti pengetahuan (knowledge)[17], logos
berarti teori[18],
pengetahuan, informasi[19],
uraian atau ulasan[20].
Sehingga dapat dikatakan teori tentang pengetahuan, atau pengetahuan tentang
pengetahuan. Jhon. M. Echols dan Hassan Sadily, mengartikannya sebagai bagian
filsafat yang membahas tentang asal.[21]
Secara
terminology, epistemology menurut :
1.
Langeveld
: Teori pengetahuan yang membicarakan
tentang hakikat pengetahuan, unsur-unsur pengetahuan dan susunan berbagai jenis
pengetahuan, pangkal tumpuannya yang pundamental, metode-metode dan
batasan-batasannya.[22]
2.
Jujun
S. Sumantri : Pembahasan secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam
usaha memperoleh ilmu pengetahuan.[23]
3.
Harun
Nasution, dalam bukunya Filsafat Agama: ilmu yang membahas apa
pengetahuan itu dan bagimana memperolehnya.[24]
4.
Paul
Monroe’s: the theory or doctrine of knowledge, more especially, an account
of the possibility of true or valid knowledge, of its nature and extent or
limits.[25]
Dari
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian epistemology adalah teori pengetahuan tentang bagimana
memperoleh pengetahuan dengan melalui proses tertentu sehingga apa yang telah
didapatkan dapat diterapkan dan diakui bahwa itu adalah suatu ilmu.
B.
Sumber dan Cara pengambilan Ilmu
Dalam
hidup dan kehidupannya, manusia melihat masalah, lalu memikirkannya dan
melakukan observasi dengan cermat kemudian menghubung-hubungkan hasil
pengamatannya itu.
Menurut
para ahli ilmu pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan didasarkan pada:
1.
Empiric/Indrawi
Empirik
berasal dari bahasa Yunani empiria, yang berarti pengalaman[26].
Dari sini memunculkan istilah empirisme yaitu faham yang mengatakan
bahwa penginderaan adalah pengetahuan manusia berasal dari pengalaman manusia
itu sendiri, melalui dunia luar yang ditangkap oleh panca indera.[27]
Menurut
M. Baqir Al-shadr, teori empirical/empirisme berpendapat bahwa satu-satunya
yang membekali akal manusia dengan
konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan, dan (bahwa potensi akal budi) adalah
potensi yang tercerminkan dari berbagai persepsi inderawi.[28]
Jadi, ketika menginderawi sesuatu, kita dapat memiliki suatu konsepsi
tentangnya, yakni from dari sesuatu itu dalam akal budi. Adapun
gagasan-gagasan yang tidak terjangkau oleh indera, tidak dapat diciptakan oleh
jiwa, tidak pula dapat dibangun secara esensial dan dalam bentuk berdiri
sendiri.
Bagi
teori empirisme, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber penjamin
kepastian kebenaran pengetahuan. Adapun metode yang digunakan adalah metode
verifikasi-induktif.[29]
Tokoh-tokoh utama empirisme yang paling berpengaruh
diantaranya adalah David Hume, Jhon Lucke, dan Bishop Barkeley. Jhon Lucke
misalnya adalah penentang utama teori rasionalisme dan merupakan lawan dari
Descartes dengan mengatakan bahwa ide bawaan adalah omong kosong.[30]
2.
Rasio/Akal
Rasio
atau akal adalah sumber pengetahuan. Oleh sebab itu, dari pahaman ini
menimbulkan pemahaman rasionalisme, yaitu paham yang mengemukakan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah
pikiran, rasio/akal, dan jiwa.[31]
Rasionalisme menekankan akal sebagai sumber utama pengetahuan manusia dan
pemegang otoritas terakhir bagi penentuan kebenaran. Manusia dengan akalnya
memiliki kemampuan untuk memiliki struktur dasar alam dunia ini secara apriori.
Pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi.[32] Singkatnya,
kaum rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengatahuan manusia adalah akal atau
ide. Mereka tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dan persepsi
dari indera, karena memang ilmu bukan konsepsi-konsepsi inderawi maka ia harus
digali secara esensial dari libuk jiwa.[33]
Tokoh
utama dari teori ini adalah Rene Descartes (1596-1650) dan Immanuel Kant (1724-1804).[34]
Kedua tokoh ini sangat mendewakan akal budi, sehingga melahirkan paham
intelektualisme dalam dunia pendidikan.[35]
Rasionalisme
menekankan bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rasionya.
Bagi paham ini, rasio mampu mengetahui kebenaran alam semesta yang tidak
mungkin dapat diketahui dengan melalui observasi. Paham ini membantah paham
empirisme, yakni pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran “hukum sebab
akibat”, sebab peristiwa yang banyak tak terhingga itu tidak mungkin dapat
diobservasi. Pengalaman hanya sampai menggambarkan, tetapi tidak dapat
dibuktikan.[36]
3.
Intuisi/hati
Kata
intuisi berasal dari bahasa inggris intuition yang berarti gerak hati[37],
langsung melihat.[38]
Pentingnya pengetahuan yang diperoleh dengan intuisi adalah bahwa pengetahua
itu bukanlah pengetahuan yang berasal dari luar diri kita yang bersifat
dangkal, melainkan dari dalam diri kita.[39]
Dari sini melahirkan paham
intuisionisme, yaitu paham yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan khusus,
yaitu cara khusus untuk mengetahui yang tidak terikat kepada kemampuan indera
maupun penalaran.[40]
Pengetahuan intuitif adalah jenis pengetahuan yang memuat
pemahaman secara cepat. Menurut Archie Bahm adalah nama yang kita berikan pada
cara pemahaman kesadaran ketika pemahaman itu berwujud penampakan langsung.[41]
Ia menegaskan bahwa tidak ada pengintuisian tanpa melibatkan kesadaran, begitu
juga sebaliknya. Sedangkan Murtadha Muthahhari mempersamakan intuisi dengan
fislsafat akhlak/etika.[42]
4.
Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang
disampaikan oleh Tuhan (Allah) kepada manusia lewat para Nabi dan Rasul-rasul-Nya.
Wahyu ini dikondifikasikan dalam tiga buah kitab suci yaitu; Taurat, Injil, dan
Al-qur’an.
Wahyu Tuhan (agama) berisikan
pengetahuan baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh empirik maupun yang mencakup permasalahan yang
transcendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia dan
segenap isinya serta kehidupan diakhirat nanti. Pengetahuan ini berdasarkan
kepercayaan atau keimanan kepada Tuhan sebagai sumber pengetahuan.[43]
Menurut Murtadha Muthahhari, semua
sumber ilmu pengetahuan telah disampaikan oleh Al-qur’an sebagai wahyun dari
Tuhan, baik itu yang empiris, rasio/akal, maupun sesuatu yang melampaui
keduanya. Hal ini digambarkan dalam Al-qur’an
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ
بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Terjemahannya:
Dan
Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
apapun, dan Dia member kamu pendengaran, pengelihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Q.S. an-Nahl: 78)
Dalam
ayat ini Allah SWT telah menganugerahi manusia untuk mengkaji alam dan telah
member hati nurani/akal dan daya analisis agar manusia dapat meneliti
realitas-realitas segala sesuatu untuk mengetahui segala hukum-hukum yang
segala sesuatu itu.[44]
Dalam ayat ini, masih menurutnya, pendengaran dan pendengaran adalah dua alat
indera yang sangat penting untuk mendapatkan pengetahuan primer yang tidak
mendalam. Sedangkan hati/akal secara teknis digambarkan sebagai alat untuk
memperoleh pengetahuan yang mendalam dan logis. Dan juga Al-qur’an mengakui
ketakwaan dan kesucian jiwa sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan.[45]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Terjemahannya:
Hai
orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberiakan
kepadamu Furqan. Dan akan kami jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu dan
mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah mempunyai karunia besar. (QS:
al-Anfal: 29)
C.
Ilmu dan Pertimbangan Nilai (Aksiologi)
Pembahasan tentang nilai sebuah ilmu
filsafat dibahas dalam cabang filsafat yang disebut aksiologi. Aksiologi
berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti layak, pantas. Dan logos
berarti ilmu, teori.[46]
Dalam bahasa inggris axsiology artinya teori umum tentang nilai, norma,
martabat.[47]
Adapun beberapa defenisi
aksiologi secara terminilogy sebagai berikut:
Ø Jujun S. Sumantri: teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh.[48]
Ø Loren’s Bagus, mencatat beberapa pengertian dalam bukunya Kamus
Filsafat sebagai berikut:
·
Aksiologi
merupakan analisis nilai-nilai. Maksudnya ialah membatasi arti, ciri-ciri,
asal, tipe, criteria dan status epistemologis dari nilai-nilai itu.
·
Aksiologi
merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang
menyangkut segala yang bernilai.
·
Aksiologi
adalah studi filsofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat
nilai ini dapat dijawab dengan tiga cara: 1) nilai sepenuhnya berhakikat
subjektif. Dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang
diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subyektif
(positivisme logis, emotivisme analisis linguistic dan etika) menganggap nilai
sebagai pengungkap perasaan psikologis, sikap subyektif manusia kepada objek
yang dinilainya. 2) nilai-nilai merupakan kenyataan namun tidak terdapat dalam
ruang dan waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui
akal. 3) nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.[49]
·
Aksiologi:
teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari
nilai dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini mengedepankan
dalam pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan atau lebih dikenal summum
Bonum.[50]
Lapie dalam
bukunya Logique de La Volonte dan F. Von Hartman dalam bukunya Grundrider
Axiologie.[51]
Teori tentang nilai dibagi menjadi: a) nilai etika, b) nilai estetika.
a.
Etika
Istilah etika berasal dari kata ethos (Yunani) yang artinya
adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli istilah menyebutnya dengan moral.
Walaupun antara kedua istilah itu ada perbedaannya, namun para ahli tidak
membedakannya secara tegas, bahkan cenderung untuk memberi arti yang sama
secara praktis. [52]
b.
Estetika
Estetika
merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni, dengan
pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan seni dan kesenian. Kadang-kadang
estetika diartikan sebagai filsafat seni, dan kadang-kadang dinyatakan sebagai
hakikat keindahan. Tetapi sesungguhnya konsep keindahan hanya satu saja dari
sejumlah konsep dalam filsafat seni.[53]
Problem utama aksiologi berkaitan
dengan empat factor penting sebagai berikut:
1.
Kodrat
nilai berupa problem mengenai; apakah nilai itu berasal dari keinginan
(Voluntarisme: Spinoza), kesenangan (Hedonisme: Epicurus, Bentham, Meinong),
kepentingan (Terry), pereferensi (Martniea), keinginan rasio murni (Kant),
pemahaman kualitas tersiar (Santanaya), pengalaman sineptik kesatuan
kepribadian (Personalisme: Green), berbagai pengalamman yang mendorong semangat
(Nieztche), relasi benda-benda sebagai sarana untuk mencapai tujuan, atau
konsekuensi yang sungguh amat dijangkau (Pragmatisme: Deway).
2.
Jenis-jenis
nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai intrinsik, ukuran untuk
kebijaksanaan nilai itu sendiri. Nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab
(baik barang-barang ekonomis atau peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai nilai
intrinsik.
3.
Kriteria
nilai, artinya ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori
psikologi atau logika. Penganut hedonisme menemukan ukuran bahwa ukuran nilai
terletak pada kenikmatan yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat.
Penganut institusionis menonjolkan suatu wawasan yang paling akhir dalam
keutamaan. Beberapa penganut idealis mengakui system obyektiif norma-norma
rasional atau norma-norma ideal sebagai kriteria. Penganut naturalis menemukan
keunggulan biologis seukuran standar.
4.
Status metafisika nilai mempersoalkan tentang
bagaimana hubungan terhadap fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu
kealaman, kenyataan terhadap keharusan pengalaman manusia tentang nilai pada
realitas kebebasan manusia.[54]
Dari problem-problem di atas melahirkan tiga
jawaban penting yaitu:
Ø Subyektifitas menganggap bahwa nilai merupakan suatu yang terkait
pada pengalaman manusia seperti halnya hedonisme, naturalisme, dan positivisme.
Ø Obyektifitas logis menganggap bahwa nilai merupakan hakikat atau
subsistensi logis yang bebas dari keberadaan yang diketahui. Tanpa status
eksistensi atau tindakan dalam realitas
Ø Subyektifitas metafisik menganggap bahwa nilai norma adalah
integral, obyektif dan unsur-unsur aktif kenyataan metafisik seperti yang
dianut oleh theisme, absolutism, realisme.[55]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu.
Oleh karena itu, memahami ilmu maka secara bertahap akan dikaji
melalui permasalahan dari mana sumber dan cara memperoleh ilmu (epistemologi)
serta bagaimana pertimbangan nilai suatu ilmu (aksiologi).
Epistemology merupakan cabang filsafat yang membahas tentang teori
pengetahuan tentang bagaimana memperoleh pengetahuan dengan melalui proses
tertentu sehingga apa yang telah didapatkan dapat diterapkan dan dapat diakui
bahwa itu adalah suatu ilmu. Sedangkan aksiologi adalah cabang filsafat yang
membahas tentang nilai, baik dan buruk, serta tujuan dan kegunaan dari suatu
ilmu. Didalamnya dihubungkan pada etika dan estetika.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad W. Munawwir, Al-Munawwir: Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
PP. Al-Munawwir Krapyak, 1994)
Amsal Bahtiar, Filasafat Ilmu, (Cet. I; Jakarta: P.T. Raja
Grafindo Persada, 2006)
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Cet.
I; Jakarta: Press, 2002)
Burhanuddin Salam, Logika Material; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Cet.
I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997)
Darmawati Hanafi, Teori-Teori Epistemologi; Rasionalisme Kritik,
Fenomenologi, dan Intutionisme, dalam jurnal Wawasan Keislaman fakultas ushuluddin;
Sulasena, Vol. I, 2006
Donny Gahral Adian, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari
David Hume sampai Thomas Khan, (Cet. I; Jakarta: teraju, 2002)
Jaques Ellul, The Technologica
l Society, (New York: Afired Knof, 1964)
Jhon M. Echols, Hassan Sadliy, Kamus Inggris-Indonesia, (Cet.
VIII; Jakarta: Gramedia, 1996)
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika, (Cet. II;
Jakarta: Kencana, 2005)
Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Cet.
I; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998)
, ilmu dalam prespektif, (Cet.
IX; Jakarta: Yayasan Otor Indonesia, 1991)
Loren’s Bagus, Kamus Filsafat, (Cet. III; Jakarta: Gramedia,
2002)
Mochtar Efendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid I
(Cet. I; Palembang: Universitas Sriwijaya, 2000)
[1]Lihat Darmawati
Hanafi, Teori-Teori Epistemology; Rasionalisme Kritik, Fenomenologi,
dan Intutionisme, dalam Jurnal Wawasan Keislaman Fakultas Ushuluddin;
Sulasena, Vol.I, 2006, h. 17.
[2]Filsafat dalam
arti umum bukan merupakan cabang ilmu, yaitu segalla keingintahuan manusia atau
pertanyaan-pertabyaan mendasar yang muncul dan pikiran-pikiran tentang segala
yang ada, baik berupa materi maupun non-materi, dunia fisik maupun metafisik.
[3]Murthadha
Muthahhari, Filsafat Hikmah; Pengantar
Pemikiran Syadra,diterjemahkan dari beberapa sumber karyanya oleh
Tim Penerjemah Mizan, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002), h. 43
[4] Lihat Rizal
muntasyir, Filsafat Analistik (Cet. I; Jakarta: Rajawali, 1987), h. 1.
[5] Muhammad Baqir
al-Syadr, Falsafatuna; dirasah maudhu’iyah fi Mu’tarak al-Shira’ al-Fiqh
al-Qaim baina Mukhtalaf al-Thayaratal-Falsyafiyahwa al-Falsyafah al-Islamiyyah
wa al-Maddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah), diterjemahkan oleh M.
nur Mufid bin Ali dengan Falsafatuna: Pandangan M. Baqir al-Shadr Terhadap
Berbagai Aliran Filsafat Dunia, (Cet. V; Bandung: Mizan, 1998), h. 25
[6]Salah satu
cabang filsafat yang secara khusus membahas tentang pengetahuan dan hal yang
berkaitan dengannya. Episteme berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“pengetahuan” sedangkan logos berarti ilmu, teori. Lihat Subari Yanto, Azaz
Filsafat Ilmu, (Universitas Negeri Makassar, t.th), h. 10.
[7]Lihat Mulyadi
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam,
(Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 1.
[9]Lihat Amsal
Bahtiar, Filsafat Ilmu, (Cet. I; Jakarta: P.T. Raja Garfindo Persada,
2006), h. 162
[10]Ibid.
[11] Jaques Ellul, The
Technological Society, (New York: Afired Knof, 1964), h.2.
[12]Ahmad W.
Munawwir , Al-Munawwir: Arab Indonesia, (Yogyakarta: PP.
Al-Munawwir Krapyak, 1994), h. 1036.
[13]Jujun S.
Sumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Cet. I; Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 324.
[14]Wihadi Atmojo,
et.al. Kamus Bahasa Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1998),
h. 324.
[15]Mulyadi
merumuskan definisi ilmu setelah mengkaji berbagai perdebatan istilah science
dan knowledge. Lihat Muliadi Kartanegara, Loc. Cit.
[16]Lihat Subari
Yanto, Loc. Cit., Burhanuddin Salam , Logika Material; Filsafat Ilmu
Pengetahuan, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 97. Armai Arief, Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Cet. I: Jakarta: Ciputat Press,
2002), h. 4.
[17]Armai Arif, Loc.
Cit., Burhanuddin Salam, Loc. Cit., Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat dan Etika, (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2005), h. 87.
[18]Lihat Loren’s
Bagus, Kamus Filsafat, (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 2002), h. 212.
[19]Lihat Armai
Arief, Loc. Cit.
[20]Jhon M. Echols,
Hassan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Cet. XIII; Jakarta: Gramedia,
1996), h. 217.
[21]Burhanuddin
Salam, Loc. Cit.
[22]Lihat jujun S.
Sumantri, Ilmu dan Perspektif, (Cet. IX; Jakarta: Yayasan Otor
Indonesia, 1991), h. 217.
[23]Armai Arief, Op.
Cit.
[24]Lihat Paul
Monroe’s, Encyclopedia of Philosophy of Education, Vol. I (New Delhi:
Cosmo Publication, 2001), h. 250.
[25]Lihat Donny
Gahral Adian, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume Sampai
Thomas Khan, (Cet. I: Jakarta: Teraju, 2002), h. 48.
[26]Lihat Armie
Arief, Op. Cit. h. 5.
[27]Lihat M. Baqir
al-shadr, Op. Cit., h. 31-32.
[28]Donny Gahral
Adian, Op. Cit.
[29]Lihat ibid.
[30]Armai Arief, Loc.
Cit.
[31]Donny G. Adian,
Op. Cit., h. 43-44.
[32]M. Baqir
al-shadr, Op. Cit., h. 29-30.
[33]Lihat ibid.
[34]Burhanuddin
Salam, Op. Cit., h. 101
[36]Lihat
Darmawati, Op. Cit., h. 25.
[37]Burhanuddin
Salam,Op. Cit., h. 102.
[38]Lihat Ibid.
[39]Lihat Ibid.
[40]Subri Yanto, Op.
Cit., h. 19.
[41]Burhanuddin
Salman, Op. Cit., h. 103.
[42]Murtadha
Muthahhari, Falsafah Ahklak, diterjemahkan oleh Faruq bin Dhiya’ dengan
filsafat ahklak; Kritik atas konsep Moralitas Barat, (Cet. I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 1995), h. 89.
[43]Lihat ibid.
[44] Lihat Murtadha
Muthahhari, Man and Universe, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan
judul Manusia dan Alam semesta; Konsepsi Islam tentang Jagad Raya, (Cet.
IV; Jakarta: 2006), h. 183-185.
[45]Lihat ibid.
[46] Loreng Bagus, Kamus
Filsafat, Op. Cit, h. 33.
[47] Lihat Mochtar
Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid I (Cet. I; Palembang:
Universitas Sriwijaya, 2000), h. 145.
[48] Lihat Jujun S.
Sumantri, Filsafat Ilmu…, Op. Cit., h. 234
[49] Lihat Loreng
Bagus, OP. Cit., h. 33-34.
[50] Lihat Subari
Yanto, Op, Cit., h. 20.
[51] Lihat ibid
[52] Ibid
[53] Ibid
[54] Subari Yanto, Op.
Cit., h. 20-22
[55] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....