Pengertian, Sejarah Timbul dan Pokok-pokok Ajaran Syi’ah Imamiyah.
Sekte-sekte Syi’ah lain (Zaidiyah, Isma’iliyah dan Gulat),
serta ajaran-ajarannya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Detik-detik akhir kehidupan Rasulullah saw. Merupakan masa yang paling menegangkan bagi umat Islam. Hal ini dikarenakan umat Islam belum siap untuk mengalami fase kehilangan tokoh sentral yang telah memberikan pencerahan dalam kehidupan mereka. Salah satu indikasinya yaitu ketika berita kematian Rasulullah saw. mulai tersebar, maka seorang tokoh Quraisy sekelas Umar Ibn Khathab ra sekalipun tidak mempercayainya bahkan beliau berkata akan memukul orang dengan pedang yang dihunusnya jika berani menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah wafat.[1]
Berita wafatnya Rasulullah saw. membawa perubahan besar dalam kehidupan keberagamaan dan sosial umat Islam. Seperti anak ayam kehilangan induknya. Lihatlah reaksi para sahabat setelah mendengar kata-kata amanat perpisahan Rasulullah saw. Mereka menjerit, menangis dan kemudian berkata : “Ya Rasul Allah! Engkau adalah Rasul kami, penghimpun Pembina kekuatan kami dan penguasa urusan kami, apabila engkau pergi dari kalangan kami, kepada siapakah gerangan lagi kami pergi kembali?”[2]
Persoalan mendasar yang mengemuka setelah wafatnya Rasulullah saw. bagi umat Islam adalah hilangnya sosok pemimpin. Rasulullah saw. adalah pemimpin yang selalu dapat menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi kaumnya (umat Islam). Maka dengan wafatnya beliau, umat merasa sangat kehilangan. Kepada siapa gerangan mereka akan mengadukan segala masalah yang mereka temukan dalam kehidupan sosial keseharian mereka, khususnya dalam bidang hukum dan peribadatan.
Dinamika keumatan yang terjadi mengindikasikan mulai munculnya wacana perbedaan pola pikir dikalangan umat pasca kematian Rasulullah. Di awali perbedaan konsep tentang sosok pemimpin (khalifah) yang paling tepat menggantikan Rasulullah, yang kemudian berkembang lebih luas menjadi perbedaan teologi di mana antara satu aliran pemikiran saling mengklaim sebagai pihak yang benar. Sehingga berpotensi melahirkan perpecahan dikalangan umat Islam. Berpijak dari hal itu, melalui makalah ini penulis akan membahas tentang “Aliran SYIAH”, yakni salah satu aliran dalam teologi Islam yang memiliki penganut cukup besar yang tersebar di seluruh penjuru dunia termasuk di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Sebagai kerangka acuan dalam pembahasan makalah mengenai permasalahan yang akan dibahas, maka penulis membuat rumusan/batasan masalah sebagai berikut :
1. Pengertian Syiah
2. Sejarah Timbulnya Aliran Syiah
3. Pokok-Pokok Ajaran Syiah Imamiyah
4. Sekte-Sekte Syiah Lain dan Ajaran-ajarannya
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian aliran Syiah dan sejarah kemunculannya.
2. Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran aliran Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah
3. Untuk mengetahui dan memahami sekte-sekte Syiah lainnya serta konsep ajaran-ajarannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syiah
Syiah dari segi bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad saw. atau ahl al-bait.[3]
Syiah berarti pengikut (pendukung faham). Dipakai kalimat ini untuk satu orang, dua orang atau banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian perkataan ini dipakai secara khusus buat orang yang mengangkat Ali dan keluarganya untuk menjadi khalifah dan berpendapat bahwa Ali dan keluarganyalah yang berhak menjadi khalifah.[4]
Syiah adalah kelompok masyarakat yang menjadi pendukung Ali ibn Abi Thalib.[5] Demikian halnya pendapat Mustofa Muhammad asy-Syak’ah, Syiah bermakna pengikut atau penolong.[6]
Sedangkan menurut Jalaluddin Rakhmat pengertian Syiah berfariasi, yaitu pertama; Orang-orang yang meyakini Sayyidina Ali adalah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah, kedua; Orang yang memegang akidah dan juga menjalankan ritus-ritus Syiah, ketiga; Orang-orang yang terpengaruh oleh pemikiran Syiah, baik dalam bidang akidah, filsafat, atau tasawuf.[7] Adapun menurut M. Ali Hasan mengemukakan bahwa, perkataan Syi’ah sudah ada pada masa Nabi, bahkan terdapat dalam al-Quran beberapa kali, yang mengandung arti; golongan atau kalangan pengikut suatu paham tertentu.[8] Sedangkan menurut Sudarsono, Golongan Syiah pada mulanya adalah pengikut sayidina Ali. Kemudian berpindah secara otomatis kepada keluarga Ali.[9]
Dari pengertian-pengertian tersebut diketahui bahwa Syiah merupakan kelompok pendukung ahl al-bait, yang berpandangan bahwa yang paling berhak memegang tampuk kepemimpinan (khalifah) setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. adalah Ali dan keturunannya. Karena merekalah ahli waris Nabi saw. serta kemuliaan kedudukan ahl al-bait, dengan demikian mereka pula yang memiliki wewenang untuk melanjutkan tugas memimpin kaum muslimin.
B. Sejarah Timbul dan Pokok-pokok Ajaran Syiah.
Mengenai kemunculan Syiah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Secara historis, akar aliran Syiah mulai muncul ketika Nabi saw. wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Pada masa kepemimpinan al-Khulafa Ar-Rasyidin, kelompok Syiah sudah ada. Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Syiah kepada masyarakat.[10]
Menurut Abu Zahrah, Syiah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.[11] Sedangkan menurut Watt, Syiah baru benar-benar muncul saat terjadinya perang siffin antara Ali dengan muawiyah.[12]
Kalangan Syiah berpendapat bahwa kemunculan Syiah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah). Ketika Nabi wafat dan jasadnya belum dikuburkan, sedangkan anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan dan upacara pemakamannya, teman dan pengikut Ali mendengar ada kelompok lain (sebagian besar dari kaum Muhajirin/Quraisy-Makkah dan Kaum Anshar-penduduk asli Madinah) yang telah pergi ke masjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini, dengan sangat tergesa-gesa memilih pemimpin kaum muslimin, dengan maksud untuk menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu, yang menetapkan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi.
Yang menjadi titik keberatan dalam persoalan penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi saw. adalah karena mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahl al-bait, keluarga, ataupun para sahabat yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak memberitahu mereka. Berdasarkan realitas tersebut, muncul sikap sebagian kaum muslimin yang menentang kekhhalifahan. Termasuk dalam kelompok ini beberapa orang sahabat utama, di antaranya: Sa’ad ibn Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, dan Thalhah. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali dan berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya. Namun seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syiah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu Islam sendiri, sehingga mesti diwujudkan.[13] Ada tiga ayat al-Quran yang diakui oleh kaum Syiah sebagai dalil naqli (legitimasi) aliran ini, satu di antaranya yaitu QS. Ash-Shaffat/37 : 83
وَإِنَّ مِنْ شِيعَتِهِ لَإِبْرَاهِيمَ
Artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).”[14]
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi sebagaimana diyakini oleh para pengikutnya adalah peristiwa Ghadir Khumm.[15] Ketika kembali dari haji terakhir (wada’), di suatu padang pasir (Ghadir Khumm), Nabi menunjuk Ali sebagai pengganti beliau. Pada peristiwa itu, menurut kaum Syiah, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai penggantinya di hadapan masa yang penuh sesak yang menyertai sebagai pemimpin umat (walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikan Ali sebagai sebagai pelindung (wali) mereka. Sabda Rasulullah saw., bersabda :
من كنت مولاه فعلي مولاه )رواه الترميذى (
Artinya : “Barangsiapa yang menjadikanku pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya.” [16]
Kalangan Syiah berpendapat karena kemunculan Syiah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi saw. maka mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Usman bin Affan, karena hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syiah sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi saw. pada masa hidupnya.[17]
Bukti sejarah yang dianalisis sejauh ini menunjukkan bahwa Syiah adalah pengikut dan pendukung ahl-al-bayt Nabi saw. Dan karena Nabi sendiri menyebut pengikut Ali dengan sebutan Syiah, maka dapat dikatakan dengan didukung alasan-alasan kuat dan jelas Nabi saw. sudah mengantisipasi berbagai kemungkinan dengan menjelaskan tentang siapa yang mesti mereka dukung dan ikuti seandainya terjadi perselisihan dan konflik. Fakta ini juga menjelaskan kepada kita bahwa Syiah telah ada sejak zaman Nabi saw. dan berkembang menjadi sebuah kelompok politik dan filosofi yang mendukung Imam Ali setelah kewafatan Nabi saw.[18]
Orang-orang Syiah sepakat bahwa Ali adalah khalifah pilihan Nabi Muhammad dan ia orang yang paling utama (afdhal) di antara para sahabat Nabi. Dia natara sahabat yang mengakui keutamaan Ali atas sahabat yang lain sebagaimana disebutkan Ibn Abi al-Hadid yaitu: Ammar ibn Yasir, al-Miqdad ibn al-Aswad, Abu Dzar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Jabir ibn Abdullah, Ubay ibn Kaab, Hudzaifah, Buraidah, Abu Ayyub al-Anshari, Sahl dan Utsman ibn Hanif, Abu al-Haitsam ibn at-Taihan, Abu al-0Thufail ‘Amar ibn Wa’ilah, al-Abbas ibn Abdul Muthalib dan anak-anaknya serta seluruh Bani Hasyim.[19]
Syiah mengalami perkembangan yang pesat secara signifikan sehingga mempunyai pengikut yang banyak, terutama pada masa bani Umayyah. Hal ini dilatar belakangi oleh kebijakan para penguasa Umayyah yang memperlakukan kalangan ahl al-bayt secara zalim. Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah yang memerintahkan pasukannya di bawah pimpinan Ibn Ziyad untuk menghancurkan rombongan sayyidina Husein di padang Karbala sekaligus memenggal kepala cucu Rasulullah saw. tersebut dan membawanya di hadapan Yazid. Kekejaman seperti ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti mazhab Syiah, atau setidak-tidaknya menaruh simpati mendalam terhadap tragedi yang menimpa ahl al-bayt.
Kekejaman-kekejaman yang dilakukan penguasa Umayyah terhadap keluarga ahl al-bayt, kemudian melahirkan pemberontakan-pemberontakan. Selanjutnya kelompok Syiah ini juga memiliki andil dalam proses peralihan kekuasaan kepada Bani Abbasiyah.
Dalam seratus tahun pertama kekhalifahan Abbasiyah, faham Syiah tidak pernah dikaji secara mendalam. Oleh karena itu sedikit sekali kemajuan yang dicapai. Beberapa anggota ahl al-bayt yang ingin mengendalikan kekuasaan seperti Ja’far as-Sadiq, dan Musa Kadzim, kemudian mengurungkan niatnya karena melihat jelasnya bahaya dalam kegiatan politik.[20]
C. Pokok-Pokok Ajaran Syiah Imamiyah.
Dinamakan Syiah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik, yakni Ali bin Abi Thalib yang berhak menjadi pemimpin bukan hanya karena kecakapannya atau karena akhlak beliau, akan tetapi karena beliau telah ditunjuk oleh nash sehingga pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad saw.[21]
Dalam perkembangannya, selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl al-bayt, Syiah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkaitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni Tauhid (kepercayaan kepada keesaan Allah); nubuwwah (kepercayaan kepada kenabian); ma’ad (kepercayaan akan adanya hidup di akhirat); imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan hak ahl al-bayt); dan adl (keadilan Ilahi).[22] Lebih khusus dalam sekte Syiah Imamiyah dikenal konsep Usul al-Din, yang menjadi akar atau pondasi pragmatism agama yang berakar pada lima hal yaitu :
1. Tauhid (Keesaan Allah).
Syiah berpendapat bahwa Tuhan adalah Esa, baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan Tuhan adalah mutlak. Ia bereksistensi dengan diri-Nya sendiri. Ia qadim, berdiri sendiri tidak membutuhkan sesuatu, tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya. Dalam pandangan Syiah Imamiyah, sifat-sifat Allah seperti ilmu, kehendak, hidup, dan lain-lain, kesemuanya adalah zat-Nya, buka sifat di luar zat-Nya. Misalnya Tuhan mengetahui tetapi bukan dengan sifat-Nya melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan itu adalah zat-Nya.[23]
Atas prinsip tersebut, maka Syiah Imamiyah berpendapat bahwa Allah tidak apat dilihat pada hari kiamat. Karena hal itu menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai jasad.
2. ’Adalah (Keadilan Ilahi).
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan keadilan dan tidak pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Allah terlalu baik hati kepada makhluk-Nya, sehingga tak mungkin Dia memaksa mereka untuk melanggar dan kemudian Allah menghukumnya. Dan Allah sedemikian agung, sehingga tak mungkin Dia menginginkan sesuatu dan kemudian hal itu tak terwujud. Allah tak pernah ditatati karena pemaksaan, dan Dia tak pernah didurhakai karena Dia berada di atas kekuatan si pendurhaka. Kesimpulannya, Imamiyah menyatakan bahwa perbuatan manusia bukunlah produk dari kondisi dipaksa dan diberi kekuatan penuh, melainkan manusia merupakan pelaku yang bisa memilih perbuatannya yang menjadi tanggung jawabnya dan kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban.
3. Nubuwwah (Kenabian Muhammad).
Setiap makhluk sekalipun telah diberi insting, tetap membutuhkan petunjuk. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus untuk memberikan acuan dalam membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Mereka percaya tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw. dan tidak nabi dan Rasul setelah Muhammad, percaya adanya kiamat, kemurnian dan keaslian al-Quran jauh dari tahrif, perubahan atau tambahan.
4. Ma’ad (Hari Kebangkitan).
Ma’ad adalah hari akhir (kiamat). Syiah Imamiyah berpandangan bahwa setiap muslim harus yakin akan keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan bersih dan lurus dalam pengadilan Tuhan. Semua makhluk termasuk manusia akan dibangkitkan untuk dihisab dan diberi pembalasan sesuai amal perbuatannya. Kebangkitan manusia itu adalah kebangkitan ruh dan jasad sekaligus. Mereka juga meyakini tentang keterangan yang ada dalam al-Quran dan Sunnah tentang surga, neraka, alam barzakh, shirat, al-A’raf, dan al-Kitab.[24]
5. Imamah (Kepemimpinan).
Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk kepada manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan kemudian didelegasikan kepada keturunan Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. Sehubungan dengan kekuasaan seorang imam, Imamiyah menetapkan bahwa seorang imam memiliki kekuatan penuh dalam membentuk undang-undang, dan segala ucapannya adalah syariat. Mereka menetapkan bahwa kemaksuman seorang imam bersifat lahir dan batin, sebelum dan sesudah ia menjadi imam.[25]
Selanjutnya dalam sisi yang bersifat mahdah, Syiah Imamiyah berpijak kepada delapan cabang agama yang disebut dengan furu al-din, yang terdiri atas salat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlima dari penghasilan, jihad, al-amr bi al-ma’ruf, dan an-nahyu an al-munkar.[26] Syiah Imamiyah juga melegalkan pernikahan Mut’ah dan memandangnya sebagai pengorbanan yang paling afdhal.[27]
Syiah Imamiyah, juga dikenal dengan sebutan Syiah Itsna Asyariyah dan Syiah Ja’fariyah. Disebut Imamiyah, karena mereka beranggapan bahwa persoalan imamah merupakan persoalan yang sangat urgen/prinsipil. Tidak sempurna iman seseorang kecuali dengan meyakini Imamah.[28] Kemudian disebut pula Syiah Itsna Asyariyah, karena keyakinan mereka akan adanya duabelas imam.[29] Sedangkan disebut Syiah Ja’fariyah, karena penisbatannya kepada imam keenam yakni Abu Abdillah Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir.
Orang-orang Syiah Imamiyah pada mulanya melaksanakan ajaran imamnya dalam masalah akidah, akan tetapi kemudian lahirlah imam-imam yang membawa ajaran yang simpang siur sehingga kemudian lahirlah kelompok-kelompok baru.
Diantara firqah-firqah yang muncul di dalam sekte Syiah Imamiyah adalah; 1) Al-Baqiriyyah dan Al-Ja’fariyyah al-Waqifah, 2) An-Nawusiyyah, 3) Al-Afthahiyyah, 4) Asy-Syumaithiyyah, 5) Al-‘Isma’iliyyah Al-Waqifah, 6) Al-Musawiyyah dan Al-Mufadhaiyah, dan 7) Al-Itsna ‘Asyariyyah.[30]
D. Sekte-Sekte Syiah Lain Serta Ajaran-ajarannya.
Secara prinsip ajaran sekte-sekte Syiah adalah sama. Mereka bersepakat tentang konsepsi Tauhid, Nubuwah, al-‘Adalah (keadilan), dan Ma’ad (hari akhir). Tetapi dalam hal konsep Imamah, mereka sedikit berbeda. Untuk itu, berikut ini dikemukakan beberapa sekte-sekte Syiah yang berpengaruh.
1. Zaidiyah.
Az-Zaidiyah dinisbatkan kepada Zaid ibn Ali ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, dan menganggap beliau sebagai imam kelima. Pandangan ini yang membedakan kelompok ini dengan sekte Syiah lainnya yang menempatkan Muhammad al-Baqir dalam posisi tersebut. Menurut Abu Zahrah, Syiah Zaidiyah merupakan sekte Syiah yang moderat, serta kelompok ini merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni.[31]
Berkaitan dengan masalah Imamah, Syiah Zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Menurut mereka, Nabi saw. tidak mewariskan kepemimpinan dengan menunjuk pengganti, tetapi hanya menentukan sifat–sifatnya. Mereka berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab adalah sah. Mereka juga tidak mengafirkan seorangpun sahabat. Mengenai hal ini, Zaid sebagaimana dikutip Abu Zahrah mengatakan :
“Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling utama. Kekhalifahannya diserahkan kepada Abu Bakar karena mempertimbangkan
kemaslahatan dan kaidah agama yang mereka pelihara, yaitu untuk meredam
timbulnya fitnah dan memenangkan rakyat. Era peperangan yang terjadi pada masa kenabian baru saja berlalu. Pedang Amir Al-Mukminin Ali belumlah kering dari darah orang-orang kafir. Begitu pula kedengkian suku tertentu untuk membalas dendam belumlah surut. Sedikitpun hati kita tidak pantas untuk cenderung ke situ. Inilah yang dinamakan kemaslahatan bagi orang yang mengenal dengan kelemahlembutan dan kasih saying, juga bagi orang yang lebih tua dan lebih dahulu memeluk Islam, serta yang dekat dengan Rasulullah.[32]
Berkaitan dengan pelaku dosa besar, Syiah Zaidiyah berpendapat sama dengan Mu’tazilah, yakni mereka akan kekal dalam neraka jika belum bertobat dengan tobat yang sesungguhnya. Berbeda dengan Syiah lainnya, Zaidiyah menolak nikah Mut’ah (temporer).[33] Tetapi dalam bidang ibadah, Zaidiyah tetap cenderung menunjukkan symbol dan amalan Syiah pada umumnya.
2. Isma’iliyyah.
Kelompok ini juga dikenal dengan sebutan Syiah Sab’iyah (Syiah Tujuh). Karena mereka hanya mengakui tujuh imam Syiah, yakni; Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, dan Ismail bin Ja’far.
Karena dinisbatkan kepada imam ke tujuh yakni Isma’il ibn Ja’far ash-Shadiq, maka disebut Isma’iliyyah. Perbedaan utama yang membedakan sekte ini dari sekte-sekte Syiah lainnya, terletak pada konsep kemaksuman imam. Adanya aspek batin dari setiap yang lahir, dan penolakannya terhadap Al-Mahdi Al-Muntadzar.[34] Mereka sedikit lebih ekstrim dalam menjelaskan kemaksuman imam.
Aliran Isma’iliyah muncul di Irak. Karena itu, mereka sering diburu sehingga melarikan diri ke Persia, Khurasan, India dan Pakistan. Asimilasi paham mereka dengan kepercayaan Persia kuno dan pemikiran filsafat India, menyebabkan paham ini kemudian banyak mengalami penyimpangan. Mereka juga mempunyai kecenderungan untuk menyembunyikan diri dan pahamnya dari orang lain, sehingan aliran Isma’iliyyah inipun dinamai juga dengan al-Bathiniyyah atau al-Bathiniyyun.[35]
3. Ghulat
Istilah ghulat berasal dari kata غلا – يغلو – غلو artinya bertambah dan naik. غلا بالدين artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas.[36] Syiah Ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan. Lebih jauh Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syiah ekstrim (Ghulat) adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Muhammad.[37]
Selain itu, mereka juga mengembangkan doktrin-doktri ekstrim lainnya, seperti: (1) tanasukh, (2) bada’, (3) raj’ah, dan (4) tasbih.[38] Moojan Momen menambahkannya dengan hulul dan ghayba.[39] Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad orang lain. Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya. Raj’ah adalah paham yang berkaitan dengan kemunculan imam Mahdi al-Muntadzar. Tasbih artinya menyerupakan atau mempersamakan. Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa, dan ada pada setiap individu manusia. Ghayba(occultation) artinya menghilangnya imam Mahdi. Konsep ini diperkenalkan oleh Mukhtar ats-Tsaqafi di Kufah ketika mempropagandakan Muhammad bin hanafiyah sebagai imam Mahdi.
Dalam perkembangannya, Ghullat kemudian terpecah yang menurut asy-Syahrastani menjadi beberapa kelompok yaitu: Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah, Yunusiyah, dan Nasyisiyah wa Ishaqiyah.[40]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Golongan Syiah adalah golongan pendukung/pengikut ahl al-bayt yang kemudian berkamuflase menjadi pendukung Ali, yang menganggap bahwa kekhalifahan merupakan hak ahl al-bayt (Ali dan keturunannya) karena keutamaan dan kemuliaan mereka.
2. Golongan Syiah pada awalnya mulai muncul sejak wafatnya Rasulullah saw. dan tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi. Tetapi menurut sejarawan, bahwa kelompok ini secara politik muncul ketika terjadinya perang siffin antara Ali dan Mu’awiyah.
3. Sekte Syiah Imamiyah atau Ja’fariyah atau Itsna Asyariayah merupakan sekte Syiah terbesar dan dianggap paling dekat dengan kaum Sunni, memiliki konsep Usul al-Din yang berorientasi pada lima aspek, yakni: (1) Tauhid, (2) Al-Adl, (3) Nubuwwah, (4) Ma’ad, dan (5) Imamah.
4. Terdapat perbedaan pendapat dikalangan beberapa tokoh tentang jumlah sekte golongan Syiah. Tetapi dalam makalah ini penulis menyebutkan sekte-sekte yang cukup berpengaruh dan memiliki cirri tersendiri dalam pandangan mereka tentang konsep imamah. Sekte-sekte tersebut adalah (1) Zaidiyah, (2) Isma’iliyah, dan (3) Ghullat (ekstrim) selain kelompok Itsna Asyariyah yang telah disebutkan terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2006
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahnya. Surabaya: Al-Hidayah, t.th.
Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Ed. I. Cet. 3; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998
Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY. Al-Mausu’ah al-Mirah fi al-Adyan wa al-Mazaahib al-Mu’ashirah (Gerakan Keagamaan dan Pemikiran: Akar Ideologis dan Penyebarannya), terj. A. Nadjiullah, Cet. 3; Jakarta: Al-I’tishom, 2002
Al-Musawi, Hashim. The Shia; Their Origin and Beliefs (Mazhab Syiah; Asal-Usul dan Keyakinannya), terj. Ilyas Hasan. Cet. I; Jakarta: Lentera, 2008
Rakhmat, Jalaluddin. Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan. Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997
Rasyidi, M. Apa Itu Syiah. Jakarta: Pelita, 1984
As Salus, Ali Ahmad, Aqidah al-Imamah ‘Inda as-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariyah (Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i), terj. Asmuni Solihan Zamaksyari. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997
Asy-Syak’ah, Mustofa Muhammad. Islam Bi Laa Madzaahib (Islam Tidak Bermazhab), terj. A.M. Basalamah. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1994
Ash-Shieddieqy, Moh. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: Bintang Bulan, 1973
Sudarsono. Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997
Asy-Syahrastani, Muhamad Ibn Abd al-Karim. Al-Milal Wa Al-Nihal (Aliran-Aliran Teologi Dalam Sejarah Umat Manusia), terj. Asywadie Syukur, Surabaya: Bina Ilmu, t.th.
Syari’ati, Ali. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi. Terj. M. S. Nasrullah. Cet. II; Bandung: Mizan, 1995
at-Tirmidzy, Imam. Sunan at-Tirmidzy. al-Maktabah asy-Syamilah (CD-ROM).
Watt, W. Montgomery. Islamic Philosophy and Theology. Cet. III; Edinnburgh: University Press, 1974
Zahrah, Imam Muhammad Abu. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam), terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Cet. I; Jakarta: Logos, 1996
al-Ghitha’, Muhammad Husein Kasyif. Ashl Asy-Syiah wa Usuliha. Iran: Maktab ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th
[1]Firdaus AN, Detik-Detik Terakhir Kehidupan Rasulullah (Cet. 11; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001), h. 22
[3] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Cet.II: Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.89
[4] Moh. Hasbi Ash Shieddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Bintang Bulan, 1973), h. 139
[5]Asy-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal (Aliran-Aliran Teologi Dalam Sejarah Umat Manusia), terj. Asywadie Syukur, (Surabaya: Bina Ilmu, t.th.), h. 124
[6] Mustofa Muhammad Asy-Syak’ah, Islam Bi Laa Maszaahib (Islam Tidak Bermazhab), terj. A. M. Basalamah, (Cet. I: Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 133
[7]Jalaluddin Rakhmat, Catatan Kang Jalal; Visi Media, Politik, dan Pendidikan (Cet.I: Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), h. 440-441
[8]M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab. Ed. I, (Cet. 3: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 239
[10]Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Op. Cit., h. 92
[11]Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al Madzaahib al-Islamiyah (Aliran Poltik dan Aqidah dalam Islam), terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib (Cet. I: Jakarta: Logos, 1996), h. 34. Lihat juga Sudarsono, Op. Cit., h. 17
[12]Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Op. Cit., h. 90
[14] Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Surabaya: Al-Hidayah, tth.), h. 723
[15]Ghadir Khumm adalah sebuah hari besar bagi Syi’ah yang dianggap lebih Agung dari pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Hari itu jatuh pada tanggal 18 Zulhijjah. Berpuasa pada hari itu menurut mereka adalah sunnah muakkad. Lihat WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Cet. 3: Jakarta: Al-I’tishom, 2002), h. 223
[16] Imam at-Tirmidzy, Sunan at-Tirmidzy, al-Maktabah asy-Syamilah CD-ROM. Hadits ke-3713 bab Manaqib Ali ibn Abi Thalib ra.
[18]Hashim Al-Musawi, The Shia; Their Origin and Beliefs (Mazhab Syiah; Asal-Usul dan Keyakinannya), terj. Ilyas Hasan (Cet. I: Jakarta: Lentera, 2008), h. 23-24
[20]W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Cet. III: Edinburgh: University Press, 1974), h. 50-51
[21]M. Rasyidi, Apa Itu Syiah (Jakarta: Pelita, 1984), h. 11
[22]Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi (Cet.II: Bandung: Mizan, 1995), h. 100. Ulasan lebih lengkap, lihat Hashim Al-Musawi, The Shia … , h. 53-205
[23]M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Cet. III: Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 93 Lihat juga Muhammad Hasein Kasyif al-Ghitha’, Ashl Asy-Syiah wa Ushuliha (Iran: Maktab ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), h. 93
[24]Muhammad Husein Kasyif al-Ghitha’, Ashl Asy-Syiah wa Usuliha, (Iran: Maktab ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), h. 96
[25]Imam Muhammad Abu Zahrah, op. cit., h. 54
[26]Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Op. Cit., h. 96
[27]Wamy, Gerakan Keagamaan …, Op. Cit., h. 222
[28]Ali Ahmad As Salus, Aqidah al-Imamah ‘Inda as-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariyah (Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i), terj. Asmuni Solihan Zamaksyari (Cet. I: Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 36
[29]Duabelas Imam tersebut yaitu; Imam Ali, al-Hasan dan al-Husain, Ali bin al-Husain, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash Shadiq, Musa bin Ja’far, Ali bin Musa ar-Ridha, Muhammad bin Ali al-Jawwad, Ali bin Muhammad al-Hadi, al-Hasan bin Ali al-Askari, dan akhirnya Muhammad bin al-Hasan al-Mahdi.
[30]Asy-Syahrastani, Op. Cit., h. 144-148
[31]Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 45
[33]Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Op. Cit., h. 104. Penjelasan lebih rinci, C. lihat W.J. Hamblin dan Daniel C. Petterson, “Zaidiyah”, dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, jilid IV, (Oxford University Press, Oxford, 1995), h. 374
[34]Rosihan Anwar, Ibid., h. 100
[35]Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h 58
[36]Luwis Ma’luf, Al-Munjid Mu’jam Masrasiyyu Li al-Lugah al-Arabiyah, (Beirut: Al-Maktabah al-Katsulikiyah Lil Abi al-Yasuiin, 1935), h. 586
[39]Moojan Momen, An Introduction to Shi’i Islam, (London: Yale University Press, 1976), h. 66
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....