BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam khasanah pemikiran Islam, al-Ghazali
terkenal sebagai seorang Teolog, Filosof, Sifi dan ulama besar yang dipandang
sanggup menyelesaikan berbagai persoalan besar dihadapi oleh umat Islam pada
zamannya, dan sanggup melakukan kompromi antara syari’at dan hakekat atau
tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan, baik dikalangan ulama
fiqhi, terlebih-lebih dikalangan para sufi.
Diantara persoalan-persoalan yang besar yang
dihadapi oleh al-Ghazali, adalah goncangan kepercayaan umat Islam terhadap
paham filsafat yang cenderung memandang dalil akli, sebagai dalil yang penting
pasti dilalahnya dan paham idiologi kaum Syi’ah Bathiniyah yang
mengharuskan percaya kepada imam-imam yang dipandang ma’sum, dan juga
dalam paham sufisme yang menyimpang dari kaedah-kaedah agama dengan paham ittihat,
hulul,dan wushul, disamping itu masalah yang amat pelik yang
diakibatkan oleh pemahaman dan pengalaman agama yang terlalu rasionalis dan
hukmiah, sehingga terasa kering dari citra spritualitas keagamaan.[1]
Kehadiran filsafat Islam dikalangan Umat
Islam, merupakan karya para filosof muslim yang berhasil mempertemukan antara
filsafat Yunani dengan semangat pada ajaran Islam. Meskipun para filosof muslim
banyak mengutip pemikiran filosof Yunani. Namun mereka tetap mempunyai corak
pemikiran para filosof menggunakan akalnya semata.
Imam al-Ghazali adalah ulama besar yang
sanggup mengkombinasikan antara syari’at dan hakikat atau tasawuf menjadi
bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’i
ataupun lebih-lebih kalangan para sufi. Al-Ghazali sanggup menggiat tasawuf dengan dalil-dalil
wahyu baik ayat al-Quran atau
pun hadis. Dari judul karyanya yang paling monumental adalah Ihya’ulum
al-din (menghidupkan ilmu-ilmu agama), nampak betapa besar jasa al-Ghazali,
yakni maupun menyusun bangunan yang dapat membangunkan kegairahan dan motivasi
umat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama, dan mengamalkan dengan penuh ketekunan,
dengan demikian apa yang dicita-citakan al-Ghazali dapat tercapai, yakni
menghidupkan dan mendalamkan kualitas keimanan umat Islam dan memantapkannya,
sehingga terpancar dalam kegairahan dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran
agama mereka.
Kedalaman spritual yang ditimbulkan tasawuf
bisa didayagunakan untuk mendukung kegairahan dalam mempelajari ilmu-ilmu agama
beserta pengalamannya. Sebaliknya dengan keterikatan yang ketat dan berbagai
pengalaman tasawufnya mulai mendapatkan hati dari pihak ulama ahli syari’at,
dan diterimanya sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang paling kaya raya
kerohanian dan tuntunan moral. Dengan demikian tasawuf berfungsi sebagai obat
yang paling mujarab untuk membebaskan umat Islam dari kekuatan dan kekeringan
rasionalisme fiqhiyah dari penyakit spekulatipisme ilmu kalam. Itulah diantara
unsur-unsur positif pengembangan tasawuf dalam mendukung menghidupkan dan
memantapkan keyakinan agama, serta menyuburkan kegairahan dalam ketekunan
pengalaman agama.
Dalam dunia tasawuf, al-Ghazali sangat
terkenal dan populer dengan konsep al-ma’rifah, walau diakui bahwa faham
al-ma’rifah pertama kalinya dibawa oleh Zunnun al-Misri. Tetapi dalam
pandangan umat Islam secara umum, nampaknya telah terbentuk suatu opini bahwa
tasawuf dalam bentuk al-ma’rifah yang dikembangkan al-Ghazali dapat
diterima dan diakui oleh ahlu sunnah wal jama’ah. Dapat dikatakan bahwa
konsep al-ma’rifah amat berpengaruh pada dunia tasawuf terutama umat
Islam yang menganut faham ahlu sunnah wal Jama’a.[2]
Relevansinya dari beberapa pemaparan di atas,
maka makalah ini mencoba mengemukakan pokok-pokok bahasan antara lain sekilas
riwayat al-Ghazali, corak pemikiran filsafat dan kritiknya terhadap filsafat
termasuk corak pemikiran ajaran tasawufnya serta pengarunhnya dalam dunia
Islam. Disamping makalah ini mempunyai muatan akademis, juga diharapkan dapat
mendatangkan suatu manfaat bagi mereka yang ingin mendalami dunia tasawuf.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Bertolak dari beberapa uraian di atas, maka
penulis dapat mengemukakan masalah pokok yaitu:”Bagaimanakah pemikiran
filsafat al-Ghazali termasuk kritik al-Ghazali terhadap filsafat serta konsep
tasawuf yang diinginkannya dan pengaruhnya terhadap perkembangan dunia Islam”.
Untuk mempermudah pembahasan di atas dijabarkan dalam dua sub pokok masalah
yaitu:
1. Bagaimana pemikiran filsafat al-Ghazali dan sejauhmana kritik al-Ghazali
terhadap filsafat?
2. Bagaimana corak tasawuf al-Ghazali dan pengaruhnya terhadap perkembangan
dunia Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Riwayat Hidup al-Ghazali
Dalam Islam, al-Ghazali dipandang sebagai
pembela tasawuf sunni, yaitu tasawuf yang berdasarkan doktrin Ahlu Sunnah
wal Jama’ah, juga berdasarkan kehidupan askestis (zuhud) sebagaimana
yang diamalkan oleh para sufi yang hidup pada abad-abad kedua, ketiga dan
keempat hijriah, tetapi dari segi keluasan dan pengetahuan dan tasawufnya al-Ghazali
dipandang lebih besar pengaruhnya dibanding dengan para sufi yang
mendahuluinya. Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad ibn al-Tusi al-Syafi’i al-Gazaly.[3]
Lahir di Tus pada tahun 450 H/1058 M, suatu kota kecil di Iran.[4]
Ayahnya seorang penenun yang hidup dalam
kesederhanaan, ia seorang pecinta ilmu yang bercita-cita tinggi, ia selalu
berdoa semoga Tuhan memberinya pengetahuan yang luas. Disamping itu ia adalah
seorang yang taat menjalankan syari’at agama. Tetapi ajalnya tidak memberi
kesempatan untuk menyaksikan segala keinginan dan doanya tercapai, ia meninggal
sewaktu al-Ghazali dan saudaranya Ahmad masih kecil. Al-Ghazali hidup antara
tahun 450-505 H (1085-1111 M) lahir di kota Gazalah, sebuah kota kecil dekat
Tus di Khurazan, ia meninggal dunia di kota Tus. Berasal dari keluarga yang
taat beragama dan sederhana dan seorang pemintal wol di kota Tus.[5]
Semasa kecilnya, al-Ghazali telah belajar ilmu
tasawuf dari Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang terkenal, juga belajar fiqhi
dari Ahmad bin Muhammad al-Zarkany. Selanjutnya petualangannya dalam menuntut ilmu
sampai kepada seorang ulama yang sangat terkenal yakni Abu al-Ma’ali
al-Juwaini, yang bergelar “Imam Haraiman”. Dari ulama inilah ia mendapat ilmu
plus yakni bukan hanya ilmu agama tetapi juga ilmu filsafat. Karena
kecerdasannya, ia diangkat oleh gurunya sebagai asisten pribadi.
Sepeninggal gurunya (Imam Haramain) ia pindah
ke Ma’askar atas undangan Perdana Menteri Nizam al-Mulk. Ia
diminta untuk memberi pengajian dihadapan para pakar dan kaum intelektual, di
samping kedudukannya sebagai penasehat Perdana menteri. Dari sinilah karier al-Ghazali
semakain memuncak ditandai dengan diangkatnya oleh Nizam al-Mulk menjadi guru
besar Universitas Nizamiyah di Bagdad. Keharuman namanya mulai semerbak di
seantero penjuru lewat karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu, baik dalam
bidang ilmu fiqh, filsafat, teologi dan sebagainya. Ketenaran al-Ghazali
ternyata tidak mengantarkannya kepada ketenangan batin. Selama periode Bagdad. Ia
malah menderita kegoncangan jiwa akibat sifat keraguan yang menghimpit dirinya.
Dalam puncak keraguannya, pertanyaan yang selalu membentur hatinya ialah apakah
pengetahuan hakiki diperoleh melalui indera atau akal, atau jalan lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah memaksanya untuk menyelidiki kebenaran
pengetahuan yang telah dicapai manusia pada masanya.
Keraguan tersebut dituangkan dalam kitab al-munqis
Min al-Dhalal, selama kurang lebih dua bulan lamanya al-Ghazali mengalami
kegoncangan yang sangat tinggi, ia hampir seperti kaum ”Saifsafah” untunglah
nur Allah segera memancar ke dalam kalbunya menjadikannya sembuh dari penyakit
keraguan.[6]
Ketika nama dan posisi al-Ghazali semakin tinggi, di mata para pejabat menteri dan tokoh serta keluarga kerajaan, ia merubah segala gaya hidupnya.
Kemudian ia meninggalkan Bagdad dan seluruh sisa kehidupan yang diwarnai
popularitas, pangkat dan segala yang berbau duniawi melangkah pasti menuju
jalan ketaqwaan.
Langkah al-Ghazali selanjutnya, ia menuju ke
tanah Syam, lalu berkhalwat di Mesjid Jami’ (di puncak Menara). Namun karena
tidak puas berkhalwat apada akhir tahun 1098 M. Ia menuju Palestina dan
mengembara di Padang Sahara, akhirnya menuju Kairo. Dari sinilah ia menuju kota
pelabuhan Iskandaria. Dari Iskandaria ia memutar haluan menuju tanah suci
Mekkah guna menunaikan ibadah haji sekaligus menziarahi makam Rasulullah saw.[7]
Pada tahun 499 H. Ia pulang kembali ke Naisabur dan ditunjuk oleh Fakhr al-Mulk
(putra al-Mulk) untuk mengajar dan memimpin Universitas Nizamiyyah. Namun
kedudukannya tersebut hanya dijabatnya kurang lebih dua tahun, kemudian ia
kembali ke kampung halamannya, di Tus. Kemudian di Tus lah ia mengasuh sebuah khalaqah (pesantren sufi) untuk para mutasawwif.
Demikian derap langkah al-Ghazali dalam
liku-liku kehidupannya. Semua profesi yang digelutinya mulai dari seorang
mutakallimin sampai kepada seorang filosof tidak mampu mengantar batinnya
kepada klimaks kepuasan. Hanya jalan tasawuf profesi terakhir yang
mengantar ia ke dunia ketenangan batin yang tak terlukiskan. Setelah
mengabdikan dirinya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, ia lalu menghadap ke
hadirat Tuhan dalam usia 50 tahun (14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M)
dalam pengakuan saudaranya Ahmad al-Ghazali.
[8]
B. Al-Ghazali dan Pemikiran Filsafatnya serta Kritiknya terhadap Filsafat
1. Pemikiran Filsafat al-Ghazali
Dilihat dari latar belakang pendidikan al-Ghazali
yang dimulai dengan belajar Alquran pada ayahnya sendiri, ketika ayahnya
meninggal, al-Ghazali tinggal dengan seorang sufi besar yakni Ahmad bin
Muhammad al-Razikany yang merupakan teman ayahnya. Disinilah al-Ghazali
mempelajari ilmu fiqhi disamping itu juga ia mempelajari dan menghafal
syair-syair tentang mahabbah (cinta) kepada Tuhan, al-Quran dan Sunnah.
Di Nizabur al-Ghazali banyak menulis buku dan
begitu berkembang pesat. Ia menulis buku hampir 100 judul, sebagian
diantaranya; Ilmu kalam, fiqh, tasawuf, akhlak, Maqasid al-Falasifah,
Tahafut al-Falasifah, al-Munqiz Min al-Dhalal dan lain-lain, dan bukumya
yang terkenal dalam bidang agama adalah “Ihya’ ‘Ulum al-Din”.
Adapun mengenai pemikiran filsafat al-Ghazali
dapat dilihat melalui tulisan-tulisannya di dalam buku-buku yang merupakan
karyanya yang sangat gemilang, sehingga menjadi tanggapan positif bahkan
mendapat pujian dari gurunya, dan bahkan buku-bukunya itu berhasil menarik
perhatian kaum intelektual dan para ulama di zamannya. Kemasyhuran al-Ghazali
kemudian semakin terkenal ketika pindah ke Mu’askar dan menjadi guru besar pada
Madrasah Nizamiyah di Bagdad, ini merupakan prestatsi puncak yang menjadikannya
semakin populer. Namun hanya beberapa tahun dijabatnya kemudian ia mengundurkan
diri.
Hal ini dilakukan karena hidupnya dan
diselimuti keraguan, apakah jalan yang ditempuh selama ini sudah benar atau
tidak. Masalah ini timbul, karena setelah al-Ghazali mempelajari teologi dari
al-Juwaini yang membahas berbagai aliran ditemukan saling kontradiksi antara
satu dengan lainnya. Dalam situasi seperti ini al-Ghazali mencari kebenaran
yang sebenarnya. Pada waktu itu al-Ghazali tidak percaya lagi kepada pengetahuan
yang diperolehnya melalui panca indera, karena menurutnya panca indera itu
sering kali berdusta. Kemudian ia meletakkan kepercayaannya kepada pengetahuan
akal, namun tidak juga membuat ia puas. Setelah mendapat pengetahuan yang benar
yang telah dicari selama ini.[9]
Untuk mengetahui penyebab utama mengapa al-Ghazali
memilih jalan tasawuf sebagai jalan kebenaran dan kebahagiaan, maka terlebih
dahulu memahami empat hal yang ditentang oleh al-Ghazali, yaitu; unsur
pemikiran kaum Mutakallimin, kaum Filsafat, kaum Batiniyah, dan kaum Sufi.
Seperti telah disebutkan bahwa mula-mula al-Ghazali
pada masa kanak-kanaknya telah dididik dan diperihara oleh seorang sufi. Kemudian
mendalami pemikiran Mutakallimin beserta semua alirannya, dan mendapati banyak
perbedaan menurut pandangannya masing-masing, karena itulah ia puas dengan
dalil-dalil Mutakallimin saja.[10]
Untuk memenuhi keinginannya, al-Ghazali kemudian mendalami filsafat khususnya
karangan Ibnu Sina.
Kesimpulannya adalah filsafat hanya
berlandaskan pada akal semata sehingga tidak dapat menyentuh soal ketuhanan
bahkan filsafat cenderung bertentangan dengan ajaran-ajran Islam. Karena itulah
ia beralih mendalami aliran batiniyah. Akan tetapi pengembaraannya dalam aliran
ini semakin membingunkannya karena penganut aliran ini berpendirian bahwa ilmu
yang sejati hanya dapat diturunkan dari “imam yang ma’shum”, yang suci
dari kesalahan dan dosa. Maslahnya adalah tidak ada satupun dari pengikut
aliran batiniyah ini yang mengetahui tempat imam ma’shum itu dan kapan
ditemui. Menurut al-Ghazali, imam yang ma’shum itu hanyalah tokoh yang ideal saja, hanya ada dalam anggapan, dan tidak ada
dalam kenyataan.[11]
Sebagai implikasi dari penelitian yang
mendalam tersebut, maka al-Ghazali memasuki dunia tasawuf. Disinilah al-Ghazali
menemukan hakekat kebenaran yakni merasa dengan cara ini pikirannya menjadi
sangat jernih dan merasakan telah dibukakan oleh Tuhan suatu pengetahuan ajaib
yang belum pernah dialaminya. Pengetahuan inilah yang disebutnya sebagai
rahasia hakekat kebenaran. Mengenai hal ini al-Ghazali mengatakan sebagai
berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan ilmu pengetahuan dan siapa yang
menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen,
sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang sedemikian luas...cahaya-cahaya
yang dimaksud adalah yang disinarkan Tuhan ke dalam hati sanubari seseorang”.[12]
Dari pernyataan ini tampak dengan jelas bahwa al-Ghazali
benar-benar puas dengan pengetahuan yang diperolehnya melalui tasawuf. Hal ini
disebabkan karena tasawuf mengajarkan cara memperoleh kebenaran secara langsung
dari Tuhan. Untuk itu ia menganggap para sufi telah pada rel-rel kebenaran,
berakhlak mulia dan mampu mencapai hakekat kebenaran.
Juga menurut pemikiran al-Ghazali bahwa dalam
mempelajari filsafat, ia menemukan argumen-argumen filosofis yang begitu
menyalahi ajaran Islam. Itulah sebabnya al-Ghazali memunculkan sebuah karya
pemikirannya yang berjudul al-Munqis Min al-Dilalah (Penyelamat dari
kesesatan), sehingga secara jelas al-Ghazali memilah-milah filsafat menjadi
empat aspek, yakni: Ilmu Pasti, Metafisika, Logika dan Ilmu Alam. Ilmu pasti
seperti matematika dan ilmu teknik, bagi al-Ghazali kebenaran yang wajib
diterima dan tidak bisa diingkari. Logika pun demikian, hampir seluruh teori di
dalamnya merupakan kebenaran mutlak. Jika terdapat kesalahan biasanya hanya
pada aspek penggunaan terminologi dan bukan pada subtansinya. Selanjutnya dalam
ilmu alam, al-Ghazali menjelaskan bahwa sulit untuk digeneralisasikan karena
sudah bercampur dengan nilai-nilaiu kebenaran dan kesalahan. Sedangkan dalam
hal metafisika, ia secara jelas mengatakan bahwa sebagian besar teori mereka
tidak sesuai dengan agama.
2. Kritik al-Ghazali terhadap Filsafat
Kritik al-Ghazali tehadap hasil pemikiran
filsafat dibahas di dalam buku karangannya”Tahafut al-Falasifah”, al-Ghazali
mengkritik 20 pendapat filosof yang mengatakan bahwa:
1. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah)
Alam, masa dan ruang.
Disini
al-Ghazzali menyanggah teori emanasi Ibnu Sina. Bagi al-Ghazali Alam adalah
sesuatu yang baru (hudust) dan bermula dan yang qodim hanyalah satu
yaitu Allah.
2. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah)
Alam, masa dan ruang.
Seperti yang kita tahu dalam filsafat; benda(materi),
masa(waktu) dan ruang adalah timbul pada saat bersamaan dengan materi, masa
adalah ukuran jarak waktu dari materi dan ruang adalah dimana materi berada.
Bagi filsuf benda (materi) itu abadi (mungkin sama dengan keabadian energy
dalam fisika). al-Ghazali membantah keniscayaan tersebut, baginya jika Allah
berkehendak untuk menghancurkan Alam dan meniadakannya (I’dam) maka
hancurlah Alam ini dan tiada pulalah ia.
3. Kerancuan para
filsuf dalam menjelaskan bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah
ciptaannya, dan keterangan bahawa hal tersebut adalah majaz (perumpamaan) dan
bukan hakikatnya.
Disini kritik al-Ghazzali lebih pada pendapat filsuf yang
mengatakan bahwa Allah tidak bersifat. Dan jika Allah adalah pencipta seperti
apa yang kita ketahui selama ini, maka pencipta haruslah berkehendak terlebih (murid)
dahulu, yang memilih (mukhtar), dan mengetahui dengan apa yang
dikehendakinya. Sehingga Tuhan menjadi Fa’il (Pelaku) akan apa yang
dikehendakiNya. Dan bagi para Filsuf Tuhan tiadalah dzat yang berkehendak (murid)
karena kehendak adalah sifat sedangkan Tuhan adalah dzat yang suci dari segala
sifat. Dan sesuatu yang timbul dari-Nya adalah sesuatu kosekwensi yang mesti (luzum
dlaruri).
Hal kedua bagi filsuf yang tidak mungkin terjadi karena
alam adalah qodim adapun fi’il (perbuatan) adalah baru (hadist).
Ketiga, Tuhan satu dan tidak timbul darinya kecuali yang
satu dan alam murakkab (berjumlah/bersusun) dari banyak segi. Maka menurut para
filsuf bagaimana mungkin sesuatu yang murakkab dapat timbul dari sesuatu
yang satu? Dan
al-Ghazzali menolak ketiga hal di atas.
4. Ketidakmampuan Filsuf untuk
membuktikan ada(wujud)nya pencipta alam.
Disini al-Ghazzali mempertanyakan tesa yang menyatakan
bahwa Alam qodim, tapi ia diciptakan. Dan bagi al-Ghazzali ini adalah perpaduan
pendapat antara ahlu al-haq yang menyatakan alam adalah hadist, dan yang
hadist pasti ada penciptanya dan kaum Atheis (Dahriyah) yang menyatakan
bahwa Alam adalah qodim maka ia tidak membutuhkan pencipta. Bagi al-Ghazzali pendapat para
filsuf tersebut secara otomatis batal.
5. Kelemahan para filsuf dalam
mengemukakan dalil (rasional) bahwa Tuhan adalah satu dan kemustahilan adanya
dua Tuhan, wajib al-wujud, yang masing-masing tiada illah (sebab).
Al-Ghazzali menantang segala hal dalam pembuktian para
filsuf tersebut. Bagi al-Ghazzali yang ditolak adalah logika-logika yang
dipakai dan bukan pada subtansi persoalan.
6. Sanggahan
tentang tiadanya sifat bagi Tuhan.
Bagi para filsuf, Tuhan harus dibersihkan dari segala
berkehitungan (muta’addidah), termasuk segala sifat yang oleh kaum
asy-‘Ariyah selama ini dilekatkan pada Tuhan. Jika sifat ada bersamaan dengan
Tuhan maka ada saling ketergantungan antar keduanya, dualisme Tuhan adalah hal
yang mustahil, apalagi jika ditambah dengan dengan af’al.
Al-Ghazzali menolak argument ini, dan menyatakan
kelemahan pendapat para filsuf tentang ketiadaan sifat Tuhan. Bagi al-Ghazzali
hal ini ditolak karena sifat adalah hal yang niscaya ada pada dzat tapi bukan
berarti ia menjadi sesuatu yang lain dari dzat.
7. Sanggahan
terhadap teori bahwa dzat Tuhan mustahil didefinisikan.
Para Filsuf berpendapat definisi itu mengandung dua aspek;
jins (genus) dan fashl (diferensia), dan Tuhan adalah dzat yang tidak
mungkin ber-musyarakah dalam jins dan ia tidak dibagi dalam fashl.
Keduanya adalh komposisi dan Tuhan mustahil berkomposisi.
Bagi al-Ghazzali bisa saja komposisi “bagian-bagian” itu
terjadi dari segi definitive. Hal
ini karena al-Ghazzali menerima adanya sifat-sifat bagi Tuhan.
8. Batalnya
pendapat Filsuf: Wujud Tuhan sederhana, maksudnya wujud Tuhan adalah wujud yang
murni, bukan mahiyah(hakikat sesuatu-al-kautsar) dan bukan hakikat yang wujud
Tuhan disandarkan padanya. Tapi wujud al-wajib seprti mahiyah bagi yang
lainnya.
Al-Ghazzali menyangkal semua analogi folosuf baik tentang
mahiyah, hakikat, dan wujud al-wajib yang menurut al-Ghazzali mengulangi
kerancuan yang sama. Al-Ghazli mempertanyakan segala metode yang dipakai dalam
menelurkan pemikiran tersebut dan menganggapnya sebagisuatu kesalahan para
filsuf.
9. Ketidakmampuan
filsuf untuk membuktikan, dengan arumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism).
Hal ini berangkat dari adanya tubuh eternal (jism
qodim) yang diterima oleh kalangan Filsuf. Hal ini bagi al-Ghazali adalh
hal yang rancu karena jism adalah hadist karena ia tersusun dari diferensia (fashl-fashl).
Jika Filsuf mengelak dengan mengatakan bahwa wajib al-Wujud adalah satu jadi ia
tidak dapat dibagi-bagi seperti yang lainnya. Hal ini pun menurut al-Ghazzali
adalah logika yang dipaksakan karena hal iu berangkat dari persepsi tentang
kemustahilan komposisi (tarkib), dan penolakan terhadap komposisi
didasarkan pada penolakan terhadap mahiyah (kuiditas-terj).
10. Ketidakmampuan
Filsuf untuk membuktikan , melalui dalil rasional, adanya sebab atau pencipta
alam.
Hal ini bagi al-Ghazzali masih berupa kerancuan para
Filsuf yang mempertahankan pendapat tentang ke qodim an Alam tapi ia
diciptakan. Menurut al-Ghazzali mengapa mereka tidak berkata seperti kaum
Atheis saja yang mengatakan Alam itu qodim dan tiada memerlukan pencipta,
karena suatu sebab hanya diperlukan bagi hal yang bermula di dalam waktu (hadist).
11. Kelemahan
pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa Tuhan mengetahui yang lainnya dan
bahwa Dia mengetahui Species (al-anwa) dan Genera (jins) secara
universal (bi naui kulliat).
Para filsuf mengatakan bahwa Tuhan mengetahui al-Anwa dan
al-Jins secara kulliat karena emanasi yang terjadi padanya hanya
secara universal bukan individu-individu atau pribadi-pribadi.
Akan tetapi al-Ghazali memberikan sanggahan bahwa Tuhan
menciptakan alam dengan Kehendaknya, maka alam menjadi objek kehendak, sangat
mustahil objek kehendak tidak diketahui oleh yang berkehendak.
12. Ketidakmampuan
para filsuf untuk membuktikan bahwa Tuhan juga mengetahui Dirinya sendiri.
Persoalan ini berpangkal pada pendapat para filsuf yang
mengatakan bahwa alam beremanasi secara alami, bukan atas kehendak, seperti
emanasi sinar matahari dari matahari.
Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali adalah apabila
sesuatu yang beremanasi dari Tuhan mengetahui dirinya sendiri bagaimana mungkin
Tuhan sebagai asal emanasi tidak mengetahui diri-Nya sendiri, karena Tuhan
menyadari akan adanya emanasi tersebut, sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
13. Gugurnya
pendapat para Filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui Partikularia-partikularia
yang dapat dibagi-bagi sesuai dengan pembagian waktu ke dalam “telah”, “sedang”
dan “akan”.
Pendapat para filsuf bahwa Pengetahuan mengikuti objek
pengetahuan, apabila objek berubah, maka pengetahuan juga berubah, apabila
pengetahuan berubah maka subjek pun juga berubah. Perubahan yang terjadi pada
suatu benda akan menyebabkan pengetahuan atas benda itu juga berubah demikian
juga subjek yang mengetahui perubahan itu. Akan tetapi, mustahil Tuhan berubah
karenanya Ia tidak mengetahui perubahan-perubahan sesuatu yang terjadi dalam
waktu.
Tak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya,
tetapi pengetahuan-Nya tentang hal tersebut tetap sama, baik sebelum terjadinya
suatu perubahan, sedang terjadi maupun setelah terjadinya. Inilah argumen
al-Ghazali mengenai hal itu.
Ditambahkan oleh al-Ghazali bahwa pendapat para filsuf
mengenai hal ini bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya yang mengatakan
bahwa alam qadim, sesuatu yang qadim tidak dapat berubah. Mengapa ia
berubah? Maka para filsuf harus mengubah pendapatnya mengenai keqadiman
alam.
14. Ketidakmampuan
para filsuf untuk membuktikan bahwa langit adalah makhluk hidup (hayawan),
dan mematuhi Tuhan melalui geraknya.
Langit adalah makhluk hidup dan mempunyai suatu jiwa yang
berhubungan dengan tubuh langit sebagaimana jiwa kita berhubungan dengan tubuh
kita. Ini dibuktikan dengan adanya gerak langit. Gerak langit bukanlah gerakan
alami (at-tabi’iyyah), bukan pula
gerakan terpaksa (digerakkan oleh “yang lain”) akan tetapi gerakan volisional
(irady wa nafsany)
Mengenai ungkapan ini, al-Ghazali menyatakan bahwa langit
bukanlah makhluk hidup, karena Gerakan langit adalah gerakan “paksaan” dan kehendak
tuhan sebagai prinsipnya.
15. Sanggahan
terhadap yang filsuf sebut tujuan yang menggerakkan langit.
Gerakan langit menurut para filsuf bertujuan untuk taqarrub
(mendekatkan diri) pada Allah. Pengertian yang dimaksud adalah mendekatkan diri
dalam hal sifat-sifat bukan dalam hal ruang, sebagaimana kedekatan malaikat
pada-Nya, karena ada-Nya sebagai wujud yang sempurna berbeda dengan
bertentangan dengan segala sesuatu yang tidak sempurna. Dan malaikat-malaikat
yang dekat (al-muqarrabun) adalah sesuatu yang mendekati
kesempurnaan-Nya. Kesempurnaan langit didapat melalui penyerupaan (tasyabbuh)
dengan Prinsip Pertama melalui ; penempatan yang sempurna dalam semua posisi
yang mungkin baginya.
Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali seperti yang
diungkapkannya pada persoalan sebelumnya (14). Ia menambahkan, bahwa gerakan
langit tidak menunjukkan bahwa mereka (langit) bertujuan untuk mendekati
kesempurnaan dalam artian kesempurnaan Tuhan, karena tidak ada bedanya antara
posisi mereka di suatu tempat dan ditempat yang lain yang menunjukkan
kesempurnaan. Semuanya hanya perpindahan posisi saja.
16. Kelemahan teori
para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua partikularia-partikularia
yang bermula (al-juziyyat al-haditsah) didalam alam ini.
Persoalan ini bermula ketika para filsuf mengatakan bahwa
malaikat langit adalah jiwa-jiwa langit, yang menjadi perantara Tuhan dalam
mengisi al-lawh al mahfudl. Sanggahan yang diungkapkan oleh al-Ghazali
kemudian adalah bagaimana mungkin sebuah makhluk dapat mempunyai pengetahuan
tentang partikularia-partikularia (juz’iyyat) yang tak terbatas.
Ditambahkan oleh al-Ghazali hal yang paling kacau adalah
pernyataan para filsuf bahwa apabila falak mempunyai gerakan-gerakan
partikular, maka ia juga mempunyai representasi subordinat-subordinat dan
konsekuensi-konsekuensi dari gerakan partikular itu.
Seperti seorang manusia yang bergerak mesti mengetahui
gerakan-gerakannya dan konsekuensi atas gerakannya dalam hubungannya dengan
tubuh-tubuh yang lain atau makhluk-makhluk yang lain dan itu tidak mungkin.
17. Sanggahan
terhadap para Filsuf akan kemustahilan Perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
Menurut al-Ghazali, hubungan yang dipeercaya sebagai
sebab dan akibat adalah tidak wajib. Semua hubungan sebab dan akibat terjadi
karena memang Tuhan telah menciptakannya demikian adanya. Seperti, Dia kuasa
menciptakan kekenyangan tanpa makan, seperti contoh ketika Ibrahim tidak
terbakar api. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali meniadakan panas dari api
atau Tuhan telah menciptakan suatu sifat tertentu yang dapat mencegah timbulnya
sebuah akibat dari suatu sebab.
18. Tentang ketidakmampuan
para Filsuf untuk memberikan demonstrasi rasional tentang teori mereka bahwa
jiwa manusia adalah Substansi spiritual yang ada dengan sendirinya; tidak
menempati ruang; bukan tubuh; dan tidak terpateri dalam tubuh; dan ia pun tidak
berhubungan dengan tubuh dan tidak pula terpisahkan darinya sebagaimana tuhan
tidak di luar alam dan tidak didalam alam dan demikianlah malaikat-malaikat.
Yang menjadi dasar para filsuf dalam hal ini adalah
ketidakmungkinan pengetahuan yang ‘satu’ yang rasional terpateri dalam tubuh,
karena jika hal itu maka substratum fisik harus juga membagi pengetahuan itu.
Begitu juga jiwa sebagai sesuatu yang tunggal tidak dapat menempati tubuh yang
merupakan sesuatu yang dapat dibagi-bagi.
Pendapat
para filsuf tentang pengetahuan seperti tampak pada silogisme berikut :
a.
Apabila substratum pengetahuan
adalah suatu tubuh yang dapat dibagi-bagi, maka pengetahuan didalamnya akan
terbagi-bagi.
b. Tetapi
pengetahuan yang ada didalamnya tidak dapat terbagi-bagi
c. Karenanya
substratum itu adalah bukan tubuh.
Menurut al-Ghazali yang menjadi kesalahan para filsuf
adalah pemahaman mereka tentang pengetahuan yang akan terbagi oleh pembagian
substratumnya. Seperti contoh persepsi indrawi (pengetahuan inderawi) sebagai tampilan
atas apa yang dipersepsi dalam jiwa orang yang melakukan persepsi dimana jiwa
tetap membutuhkan organ-organ badan sebagai penginderanya.
19. Kelemahan tesis
para filsuf bahwa setelah terwujud jiwa manusia tidak dapat hancur; dan bahwa
watak keabadiannya mambuatnya mustahil bagi kita untuk membayangkan
kehancurannya.
Al-Ghazzali memberikan sanggahan mengenai hal ini dalam
dua segi ;
Pertama, dalam persoalan yang ke 18 telah
disebutkan oleh para filsuf bahwa jiwa tidak terdapat dalam tubuh, hal ini telah
terbantahkan.
Kedua, meskipun mereka tidaka menganggap bahwa
jiwa ada dalam tubuh akan tetapi terbukti ada suatu hubungan antara jiwa dengan
tubuh, sehingga suatu jiwa bergantung pada wujudnya tubuh. Hubungan antara jiwa dan tubuh suatu
syarat bagi eksistensi jiwa.
20. Sanggahan terhadap penolakan para Filsuf akan kebangkitan
tubuh-tubuh.
Menurut al-Ghazzali, agama telah mengajarkan kita untuk
mempercayai kebangkitan kembali (ba’ts wa nusyur) yang akan dibarengi
dengan kemunculan kembali kehidupan dan dengan kebangkitan dimaksudkan kembali
kebangkitan tubuh-tubuh, dan ini mungkin dengan mengembalikan jiwa kedalam
tubuh, karena jiwalah yang membentuk diri kita ini meskipun tubuh selalu
mengalami perubahan.[13]
Dari 20 pendapat filosof di atas, ada 3 pendapat yang
bahkan sampai membawa kepada kekufuran, dan inilah yang merupakan isi pokok
kecaman al-Ghazali terhadap filosof, yaitu:
a. Bahwa alam kekal (tidak bermula).
b. Bahwa Tuhan tidak mengetahui rincian-rincian dari apa yang terjadi di alam.
c. Bahwa pembangkitan jasmani tidak ada.[14]
Ketiga hal tersebut di atas akan dikemukakan
secara jelas sebagai berikut:
a. Alam kekal (tidak bemula)
Pendapat filosof bahwa alam ini qadim,
mengandung arti tidak bermula, tidak pernah tidak ada tidak ada pada masa
lampau, itulah sebabnya bisa membawa kepada pengertian tidak diciptakan.[15]
Pendukung ini berpendapat bahwa alam ini merupakan sebab akibat, karena sebab
itu tidak dapat berubah,maka akibat pun tidak berubah, karena itu alam ini qadim.[16]sedangkan
menurut al-Ghazali bahwa pendapat tersebut di atas, membawa kepada keyakinan
akan adanya yang qadim selain Tuhan atau berarti banyak yang qadim,
sedang dalam keyakinan Islam yang qadim itu hanya satu, yaitu Tuhan,
sehingga pendapat selain itu syirik. Oleh karena qadim adalah sesuatu
yang sudah ada sejak azali yang berwujud tanpa sebab dan mengakui alam ini qadim
berarti mengingkari Tuhan sebagai pencipta dan ini sama dengan kufur.[17]
b. Tuhan tidak Mengetahui Perincian Alam (Juz’Iyyat)
Pendapat tentang Tuhan tidak mengetahui
perincian yang ada dialam ini. Menurut Al-Ghazali pendapat ini akan menyesatkan
umat Islam karena paham ini pengingkari sifat Kemahatahuan Tuhan. Tuhan Maha
Kuasa dan Maha Tahu. Tuhan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam
sampai kepada perincian yang sekecil-kecilnya, tak satupun yang luput dari
pengetahuan Tuhan.[18]
Kemudian
alasan mereka mengenai pengetahuan didasarkan kepada obyek pengetahuan.
Sedangkan obyek pengetahuan itu dapat saja mengalami perubahan yang terjadi
atas obyek pengetahuan itu menyebabkan pihak yang mengetahui akan mengalami
perubahan pengetahuan pula. Itulah sebabnya menurut meraka, perubahan atas
pengetahuanbagi zat Tuhan adalah mustahil terjadi.[19]
Menurut
Al-Ghazali, ilmu bagi Tuhan adalah rangkaian dari keberadaan
Tuhan. Menurutya, bahwa seorang yang berada
disebelah kanan anda, lalu ia
berpindah disebelah kiri anda, selanjutnya ia berpindah ke depan
anda, maka yang mengalami perubahan atau pemindahan adalah orang yang dimaksud
sama sekali bukan anda. Perpindahan seseorang ke kiri, ke kanan dan ke depan,
pada dasarnya tidak mengurangi esensi pengetahuan anda mengenai obyek
pengetahuan tersebut, walaupun obyek pengetahuan tersebut mengalami perubahan.[20]
Dengan demikian perubahan sesuatu merupakan peristiwa-peristiwa sebagai obyek
pengetahuan, peristiwa-peristiwa itu adalah bahagian dari Juz’iyyat
secara esensial sekali tidak mempengaruhi esensi pengetahuan Tuhan.
c. Pengingkaran terhadap Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Para filosof
menyatakan bahwa alam
akhirat bukanlah bersifat materil, sebab
kelezatan non materil lebih tinggi
nilainya dibandingkan dengan kelezatan
material. Al-Qur’an mengungkapkan kelezatan dan siksaan serta surga dan neraka,
yang semuanya itu menggambarkan suasana di akhirat, namun informasi itu hanya
ditujukan kepada orang awam.[21]
Selanjutnya dikemukan alasan lain yang
menyatakan bahwa Tuhan mempunyai kemampuan untuk menyusun kembali yang lebih
berserakan sebagaimana Tuhan mampu menciptakan manusia melalui proses sperma
sampai mencapai puncak kesempurnaannya. Argumentasi al-Ghazali dalam melihat
kebangkitan jasmani adalah ia
menggunakan konsep kemahakuasaan Tuhan,
bahwa Tuhan mampu menciptakan segala sesuatu dari tiada. Itulah sebabnya ia pun
mampu membangkitkan kembali tubuh dan tulang-tulang manusia yang telah hancur menjadi tanah dalam bentuk
semula.[22] Al-Ghazali
juga melandasi fikirannya pada firman Allah Swt dalam surat Yasin (36): 78-79.
z>uŽŸÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur ¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷ÕムzN»sàÏèø9$# }‘Édur ÒOŠÏBu‘ ÇÐÑÈ ö@è% $pkŽÍ‹ósムü“Ï%©!$# !$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§tB ( uqèdur Èe@ä3Î/ @,ù=yz íOŠÎ=tæ ÇÐÒÈ
Terjemahnya:
“Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan
dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: “siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang, yang telah hancur luluh?” katakanlah: “ia akan dihidupkan oleh
Tuhan yang menciptakannya kali pertama. Dan dia Maha mengetahui tentang segala
makhluk”
Ketiga pendapat diatas menurut al-Ghazali
menyimpang dari dalih-dalil al-Quran,
al-Ghazali juga sangat kritis terhadap
orang-orang sufi yang melampaui batas yang mempercayai teori inkarnasi dan
penyatuan diri dengan Allah. Dan dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya, al-Ghazali
dapat menjadikan Sunnah, filsafat dan sufisme menjadi satu aturan yang harmonis
dan seimbang. Dia juga dapat menempatkan ilmu agama, sufisme dan filsafat pada
satu pemikiran yang logis dan teratur, sehingga dia dapat mengembalikan
pengikut sufi kepada syari’at lahir, dan
mengembalikan para filosof yang mengandalkan akal semata kepada jalan yang
benar.[23]
Adapun mengenai kritik al-Ghazali terhadap
filsafat bersumber pada kritik al-Ghazali terhadap filosof Islam, utamanya al-Farabi dan
Ibn Sina. Namun bertentangan yang terjadi diantara mereka, hanyalah pada perbedaan
pendapat atau ijtihad, dan hal ini lumrah di kalangan ulama Islam, sehingga
pengkafiran al-Ghazali terhadap al-Farabi dan Ibn Sina itu tidak bersifat
mutlak, sehingga anggapan yang mengatakan bahwa serangan al-Ghazali itulah yang
membuat filasafat tidak berkembang, di dunia Islam, itu tidak benar.
Adapun pendapat al-Farabi dan Ibn Sina yang
memang juga pantas diserang adalah:
1. Ia mencukupkan diri dengan teori penciptaan, yang ini tidak lain sekedar
pancaran atau emanasi alat plotenius, dan pendapat ini tidak bisa merealisir
penciptaan yang dimaksudkan oleh al-Quran, maupun penciptaan yang berlandaskan
pada kemampuan dan kehendak al-Ba’ari (Allah)
2. Bahwa membatasi pengetahuan Allah (ilmu Ilahi) hanya pada
universalia-universalianya saja. Teori ini sama sekali tidak bisa merealisir
apa yang dikukuhkan oleh al-Quran, bahwa Allah menyatakan sesuatu.
Pertentangan antara al-Ghazali dengan para
filosof berkisar pada interpretasi tentang ajaran Islam, bukan tentang diterima
atau tidaknya ajaran dasar itu. Baik kaum filosof maupun al-Ghazali mengakui
Tuhan sebagai pencipta dan alam diciptakan.
C. Corak Tasawuf al-Ghazali dan Pengaruhnya terhadap Dunia Islam
1. Corak tasawuf al-Ghazali
Ketika al-Ghazali telah meninggalkan pendapat
para mutakallimin, filsafat dan aliran kebatinan, maka paham sufilah yang
membuatnya hidup tenang. Menurut pengamatannya perdebatan kaum teolog dan para
filosof pada masanya sudah menjadi perang mulut belaka tanpa isi karena tidak
disertai perasaan keagamaan tentang masalah yang diperdebatkan. Al-Ghazali
menampilkan konsep dan sekaligus sebagai corak tasawufnya yaitu ma’rifatullah.[24]
Ia pada awalnya mencontohkan kehidupan yang penuh zuhud. Dalam
stasion ini, al-Ghazali mempraktekkan cara bertaqarrub kepada Allah
dengan jalan al-muraqabah yakni merasa terus diawasi oleh Allah, dan al-muhasabah
yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri. Dengan cara ini seorang sufi akan
mencapai kepuasan spritual yang tertinggi. Inilah yang dinamakan dengan ma’rifatullah,
yaitu penampakan yang jelas rahasia-rahasia Ketuhanan tanpa ragu sedikitpun dan
dengan penyaksian hati yang sangat yakin (musyahadahtul-qalbi). Apabila
seorang sufi telah mencapai tingkat ini, maka ia akan merasakan suatu kebahagiaan
yang begitu memuaskan sehingga sangat sukar untuk dilukiskan.
Dengan demikian seorang sufi yang telah
mencapai tingkat ma’rifatullah akan dengan mudah mengetahui tabir
rahasia-rahasia Tuhan yang diberlakukan-Nya di muka bumi ini. Untuk itu,
pintu-pintu sunnatullah akan terus terkuak yang mengantar seorang sufi
akan semakin kagum dengan eksistensi Allah sebagai pencipta segala sesuatu.
Oleh karena itu, sikap hidup yang ditempuh
oleh al-Ghazali di atas sesungguhnya sangat mulia sehingga adanya tanggapan
yang menyatakan bahwa tasawuf al-Ghazali sebagai salah satu penyebab kemunduran
dunia Islam adalah sangat tidak mempunyai dasar yang kuat. Menurut hemat
penulis, pengasingan diri yang dicontohkan al-Ghazali hanya sebatas digunakan
untuk merenung (tadabbur), berfikir(tafakkur) dan mawas diri (ihtisab)
yakni sebagai suatu latihan untuk memahami lebih baik keadaan sekitar melalui “disengagement”
(untuk memperoleh penilaian yang obyektif dan jujur). Semua ini harus menuju
kepada penemuan jawaban yang sebaik-baiknya atas persoalan bagaimana melibatkan
diri secara positif dalam hidup ini, sejalan dengan tujuan hidup itu sendiri.
Untuk mengenal lebih jauh corak tasawuf al-Ghazali
dapat ditelusuri melalui teori tasawufnya dalam buku Ihya ;Ulumuddin. Ia
menguraikan semboyang tasawuf yang terkenal. “al-takhalluq bi-akhlaqillahi
‘ala thaqatil basyariyah”, atau pada semboyangnya yang lain, “al-isyafu
bi-shifatir-rahman ala thaqatil-basyariyah”. Maksud dari kedua semboyang
ini adalah agar setiap manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai
ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang
disukai Tuhan seperti sabar, jujur, taqwa, zuhud, ikhlas, dan sebagainya.[25]
Dalam Ihya ‘Ulumuddin pun al-Ghazali
mengupas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya
dalam mengupas soal thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan
lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang
lebar tentang shalat, puasa, dan haji, maka dapat disimpulkan bahwa bagi al-Ghazali
semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan
pembersihan rohani.[26]
Berasumsi dari perilaku kezuhudan al-Ghazali
di atas, tampak bahwa tasawufnya bercorak Syafi’i dan Asy-‘Ariyah serta
tasawufnya mampu menghubungkan antara syari’ah dengan tasawuf. Dari sinilah
dapat ditarik kesimpulan tentang keinginan seorang al-Ghazali yaitu hendak
menyatukan itu semua dalam suatu disiplin ilmu keagamaan yang menyeluruh dan
terpadu. Hal ini disebabkan ilmu fiqhi menunjukkan kekurangan yaitu titik
beratnya yang terlalu banyak kepada segi-segi lahiriyah (eksoterisme). Demikian
halnya kaum sufi dengan kedalaman esoteris-nya juga sering merisaukan, karena
tidak jarang ke dalam intuisisme pribadi yang sangat subyektif.
2. Pengaruh Tasawuf al-Ghazali dalam Islam
Sukar didapati seorang ahli pikir yang
meninggalkan pengaruh yang besar dan memberikan wajah baru dalam dunia Islam
seperti al-Ghazali. Sebagai bukti dari kemasyhurannya itu, ia melihat adanya
dua golongan:
a. Tasawuf sebagai cabang ilmu agama (din), yang tetap membedakan antara
hakikat Allah dan hakikat manusia. Kehadiran Allah tetap dirasakan oleh manusia
selaku subyek sendiri, berbeda dengan subyek Allah. Jadi manusia “menyaksikan” Allah
dalam dirinya (syuhud)
b. Tasawuf yang menyamakan wujud yang Ilahi dengan wujud manusia dan berbicara
tentang “kesatuan wujud” (wahdat al-wujud dan wujudiyyah) denga dalil:
wujud adalah sifat Ilahi, demikian satu saja dan tidak mungkin ada lain wujud.
Jika ada yang membedakan antara wujud Ilahi dan wujud manusia, dia berbicara
tentang dua wujud dan itu sama dengan syirik.[27]
Pemahaman yang kedua ini ditolak oleh al-Ghazali
dengan berpegang pada definisi kaum teolog yang lama, bahwa Allah adalah yang “wajib
al-wujud”, sedangkan manusia adalah “mumkin al-wujud”, dan karena
itu dua-duanya tidak sama.
Pemikiran al-Ghazali tersebut tampaknya untuk
memperkuat aspek syari’at pada dimensi tasawuf. Dengan demikian tasawuf
dilakukan untuk menghidupkan syariat dan sebaliknya, syariat dilakukan untuk
menghidupkan tasawuf. Dengan cara seperti inilah tasawuf menjadi konstriktif
dan tidak meracuni manusia. Misalnya membebaskan tasawuf dari setiap tindakan
yang dapat menjauhkan dari Islam. Seperti al-hulul (bertempatnya Tuhan
pada manusia), ittihad (manunggalnya manusia dengan Tuhan), dan widatul
wujud (kesatuan wujud-wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan). Ia juga dengan
jelas menentang pemikiran tasawuf yang mengatakan bahwa seorang sufi apabila
telah mencapai tingkat ma’rifatullah, tidak lagi mengenal batas
larangan, dan menjadi bebas dari ikatan-ikatan syara’.[28]
Salah satu ajaran tasawuf al-Ghazali yang cukup
populer dalam dunia Islam adalah al-Ma’rifah. Al-Ghazali memandang bahwa
ma’rifah itu datang sebelum mahabbah sebagaimana yang diucapkan
oleh Rabia’atul Adawiyah (w.184 H/801 M), tetapi mahabbah dalam bentuk cinta
seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan
rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan
lain sebagainya. al-Ghazali mengatakn bahwa ma’rifah dan mahabah
merupakan tingkatan yang paling tertinggi yang dapat dicapai oleh sufi. Dan
pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi kualitasnya dari pengetahuan yang
diperoleh dengan akal.[29]
Untuk mencapai tingkatan tertinggi tersebut, al-Ghazali
setuju dengan penggunaan tiga alat dalam tubuh manusia sebagaimana yang
diungkapkan al-Qusyairi. Yang pertama adalah qalb, untuk mengetahui
sifat-sifat Tuhan. Kedua adalah ruh, untuk mencintai Tuhan dan sir,
untuk melihat Tuhan, Sir lebih halus dari ruh dan ruh lebih halus dari qalb. Ketiga potensi
inilah yang dapat mengantar seorang sufi mencapai tingkat ma’rifah
karena ia telah dilimpahi cahaya Tuhan sehingga bisa mengetahui rahsia-rahasia
Tuhan. Semakin banyak sufi memperoleh ma’rifah makin banyak hal yang
diketahuinya tentang rahsia-rahasia Tuhan, sehingga ia pun semakin dekat dengan Tuhan.[30]
Menelusuri lebih jauh pengaruh tasawuf al-Ghazali dalam dunia Islam, penulis hanya dapat
mencontohkan beberapa tarekat di Indonesia. Hal disebabkan karena banyak ulama
Indonesia belajar tasawuf langsung dari Timur Tengah khususnya di Mekkah dan
Madinah. Diantaranya adalah tarekat Khawatiyah Samman ( Tarekat Sammaniyah)[31]
Salah seorang murid dari tarekat ini adalah
Abd. Al-Shamad al-Palimbani (1704-1789 M) yang telah belajar selama lima tahun
di Madinah. Melalui al-Palimbanilah tarekat Sammaniyah berkembang
di Palembang dan wilayah nusantara. Dengan demikian, al-Palimbani dapat
dinyatakan sebagai ulama paling bertanggung jawab terhadap penyebaran lebih
jauh dari neo-zufisme di nusantara khususnya mengenai tasawuf al-Ghazali.
Popularitas al-Ghazali yang begitu luas di nusantara tidak dapat dilepaskan
dari upaya al-Palimbani. Maha karya al-Palimbani yang beredar di nusantara
adalah dua kitab yang erat kaitannya dengan tulisan al-Ghazali, seperti Hidayat
al-salikin fi Suluk Maslak al-muttaqin dan ayar al-Salikin ila ‘ibadah
Rabbal-‘alamin. Kitab yang pertama kali diselesaikan di Mekkah sebagai
terjemahan dari karya al-Ghazali, bidayat al Hidayah yang berisikan
aturan-aturan syariat yang ditafsirkan secara mistis.
Demikian halnya dengan Syar al-Salikin, yakni
merupakan penjelasan lebih lanjut dari ajara-ajaran yang terdapat dalam Hidayah
al-salikin sekaligus sebagai terjemahan dari Lubab Ihya ‘Ulum al-Din, suatu
versi ringkas Ihya ‘Ulummuddin.[32]
Dari kedua kitab inilah dapat dipastikan bahwa sangat banyak pengaruh ajaran tasawuf
al-Ghazali mempengaruhi al-Palimbani. Bahkan ketika menulis tentang
prinsip-prinsip keyakinan Islam dan kewajiban-kewajiban agama yang harus
dipatuhi para calon sufi, al-Palimbani menafsirkan pendapat-pendapat dari
Ibn Arabi atau al-Jilli tentang ”al-Insan
al-Kamil” dari sudut pandang ajaran-ajaran al-Ghazali.[33]
Selain al-Palimbani, Muhammad Yusuf al-Makassari
(1627-1699) atau yang lebih dikenal dengan Syech Yusuf adalah juga merupakan
orang yang banyak dipengaruhi oleh ajaran tasawuf al-Ghazali. Dalam tulisannya
serta yang ia ajarkan kepada murid-muridnya dalam Tarekat Khalwatiyah Yusuf, ia
menolak konsep wahdat al-wujud (kesatuan wujud atau monisme ontologis)
dan al-hulul (inkarnasi Ilahi). Menurut pendapatnya bahwa Tuhan tidak
dapat diperbandingkan dengan apapun (QS. 42:11).[34]
Dari pandangan al-Makassari tersebut tampak dengan jelas pengaruh tasawuf al-Ghazali
yakni pemurnian kepercayaan (aqidah) pada keesaan Tuhan. Ini merupakan usahanya
menjelaskan transedensi Tuhan atas ciptaann-Nya. Ini jelas merupakan suatu hal
yang telah dikritik al-Ghazali terhadap wahdat al-wujud karena mengantar kepada kemusyrikan.
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Pertentangan antara al-Ghazali dengan para
filosof berkisar pada interpretasi tentang ajaran Islam, bukan tentang diterima
atau tidaknya ajaran dasar itu. Baik kaum filosof maupun al-Ghazali menagakui
Tuhan sebagai pencipta dan alam diciptakan. Di antara pendapat filosof yang
dikritik al-Ghazali tentang teori penciptaan, yang ini tidak lain sekedar
pancaran atau emanasi dari konsep filsafat plotenius, dan pendapat ini tidak
bisa merealisir penciptaan yang dimaksudkan oleh al-Quran, dan juga membatasi
pengethauan Allah (ilmu Ilahi) hanya pada universalia-universalianya saja.
Teori ini sama sekali tidak bisa merealisir apa yang dikukuhkan oleh al-Quran, bahwa Allah pencipta segala sesuatu.
2.
Dari ke 10 hasil pendapat filosof, ada 3
pendapat yang merupakan isi pokok kecama al-Ghazali terhadap filosof, yaitu;
bahwa alam kekal (tidak bermula, Tuhan tidak mengetahui rincian-rincian dari
apa yang terjadi di alam, dan pembangkitan jasmani tidak ada, yang dipersoalkan
menurut penulis dari ketiga masalah di atas, pertama apakah pencipta alam
semenjak azali, sehingga alam bersifat qadim, atau tidak semenjak azali
sehingga bersifat baru. Kedua, dalam kaitannya dengan Tuhan mengenai juz’iyyat
melalui ruh. Dan ketiga yang dipersoalkan hal kebangkitan, apakah hanya ruh
saja atau jasmani saja.
3.
Corak tasawuf al-Ghazali adalah ma’rifatullah.
Hal ini dimulai dari upaya mengasingkan diri dari kemegahan duniawi (uzlah).
Berdasarkan pada konsep yang pada gilirannya setiap calon sufi mengembangkan
konsep ma’rifatullah sebagai salah satu station yang dapat mengantar
seseorang mengenal dan memahami eksistensi Allah SWT. Pengaruh taswuf al-Ghazali
dealam dunia Islam adalah sangat besar khususnya melalui karya monumentalnya Ihya
Ulmuddin. Dalam kitab ini, al-Ghazali berhasil memadukan syariat (fiqhi)
dengan tasawuf. Pengaruh ini mengental dalam berbagai tarekat dalam dunia
Islam.hal ini tampak pada beberapa tarekat di nusantara sangat memahami
pendirian dan ajaran al-Ghazali yang cenderung kepada pemurnian keesaan Allah
SWT.
DAFTAR PUSTAKA
A. Ahmadi, Poerwantana dan MA. Rosali. Seluk
Beluk Filsafat Islam, Bandung: Rosda Karya,1997
Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat
Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan VIII: Melacak Akar-akar Pembaruan
Pemikiran Islam di Indonesia, Cet.I; jakarta:Mizan, 1994.
Dua puluh sangahan Al-Ghazali terhadap para filosof
yang tertuang dalam bukunya “At-Tahafut Falasifah”
diambil dari; http://ihsanmaulana. wordpress.com
/2007/11/28/reviuw-tahafut-al-falasifah/
waktu mengunduh: Senin, 26 Mei 2008 pkl 11.20 Review Tahafut aL-Falasifah,
oleh:Ihsan Maulana dan Arif Hidayat
Ensiklopedia Islam Jilid 2, Cet. III, Jakarta: PT Inter Masa, 1994.
Al-Ghazali, al-Munqiz Min al-Dhalala,
Beirut: Syabyah,t.th.
______,
Tahafut al-al-falasifah, edisi Sulaiman Dunya, Cet IV; Mesir:Dar
al-Ma’rifah, 1996.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam,
Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Mahmoud, Abdul Hakim, Hal Ihwal Tasawuf,
Jakarta: Darul Ihya, t.th.
Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrim dan
Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemodernan, Cet. I; Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 1994.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme
dalam Islam, Cet. VII;Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
______,
Islam Ditinjau dari dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press, 1986.
______,
Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Cet.V;Bandung: Mizan, 1998.
Nasution, Hasyimsya, Filsafat Islam,
Cet.I, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999.
Schuman, Olaf, Pemikiran Keagamaan dalam
Tantangan, Cet. I; Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam
Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Perasada, 1996
Syihab, M. Quraisy, Wawasan Alquran, Tafsir
Maudhuiy atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet.I; Bandung: Mizan, 1996.
[1]Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 164.
[2]Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I,
(Jakarta: UI Press, 1986).
[4]Abdul Hakim Mahmoud, Hal Ihwal Tasawuf, (Jakarta: Darul
Ihya,t.th.,), h. 39.
[6]Al-Gazali, al-Munqis Min al-Dhalalah, (Beirut: Syabyah,t.th.,), h.
31
[8]Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Gazal. op,cit., h. 44, lihat juga Hasyimsya Nasution, Filsafat Islam, (cet.I,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.79
[9]Ensiclopedia Islam Jilid 2,h. 26
[10]Poerwantana A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam,
(Bandung: Rosda Karya, 1997), h. 186
[12]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalm Islam, (cet. VII;
Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 44
[13]Dua puluh sangahan
Al-Ghazali terhadap para filosof yang tertuang dalam bukunya “At-Tahafut
Falasifah” diambil dari; http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/11/28/reviuw-tahafut-al-falasifah/ waktu mengunduh: Senin,
26 Mei 2008 pkl 11.20 Review Tahafut aL-Falasifah, oleh:Ihsan Maulana dan
Arif Hidayat
[14]Ensiklopedia Islam, op.cit., h. 26
[16]Al-Gazali, Tahafut al-al-Falasifah, edisi Sulaiman Dunya, (cet. IV;
Mesir: dar al-Ma’rifah, 1996), h. 100
[19]Ahmad Hanafy, Pengantar Filsafat Islam, (Cet. I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), h. 149
[23]Harun Nasution, Ismali Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Cet. V:
Bandung: Mizan, 1998), h. 377.
[24]Nurcholis Madjid, Islam, Doktrim dan Perdaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 1994), h. 288
[25]Poerwantana A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam., op,cit.,
h. 172
[26]Prinsip dasar tasawuf adalah bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Jasmani bersifat
materi sedangkan rohani bersifat
immateri. Karena Tuhan bersifat inmateri maka yang bisa dekat atau bertemu
dengan Tuhan hanya aspek manusia yang bersifat inmateri pula, jasmani yang
bersifat materi bukan saja tidak dapat dekat dengan Tuhan, bahkan menjadi
penghambat bagi rohani untuk sampai kepada Tuhan. Oleh karena itu untuk sampai
pada Tuhan seorang sufi harus mensucikan rohaninya melalui olah rohani yang
intens seperti shalat, puasa, tobat, zikir dan semacamnya.
[27]Olaf schuman, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, (cet, I; Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993), h. 276
[28]Poerwantana A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam, op,cit.,
h. 185
[29]Harun Nasution, op.cit., h. 76
[30]Ibid. h.78 dan 77
[31]M. Quraisy Syihab, Wawasan Alquran, Tafsir Maudhuiy atas Pelbagai
Persoalan Umat, (cet.I; Bandung: Mizan, 1996), h. 291
[32]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tenganh dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan VIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islami di Indonesia,
(Cet I; Jakarta: Mizan, 1994), h. 271-272
[33]Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....