oleh : Imam Zarkasyi Mubhar. S. Th. I
Aspek Akal dan Kedudukannya
Aspek Akal dan Kedudukannya
Kemajuan peradaban manusia
pada starata materi telah mencapai puncaknya. Terbentang dari masa lampau akan
sederhananya perangkat pergerakan
manusia sampai mata dapat melihat gemerlapnya dunia di atas kecanggihan
teknologi saat ini. Kesemuanya itu terjadi diakibatkan oleh bingkai ekspresi
dan imajinasi akal yang dimiliki oleh manusia.
Sebagaimana yang
disepakati bahwa fungsi akal adalah mendefenisikan segenap materi yang
ditangkap melalui penginderaan manusia di alam nyata. Dengan sebab itulah pada
saat bersamaan akal pun memiliki desakan untuk mengeksplorasi secara progresif
dan kritis terhadap bentuk dan pola hidupnya.
Walaupun dalam kemajuan
materi yang sangat tinggi dan kehidupan
dengan finansial berada dalam taraf yang mapan, manusia pada akhirnya
tetap lebih banyak yang menemukan kebahagiaan dan ketenangan hidup, padahal
mereka sangat membutuhkan hal tersebut. Kenyataan ini telah menjadi telah
menjadi pemandangan yang sangat nyata bagi sebuah peradaban moderen yang di
ciptakan oleh manusia. Padahal dalam falsafah hidup manusia moderen tingkat
kemajuan materi dalam sebuah garus seiring dan sejalan dengan semakin
sempurnanya kebahagiaan yang mereka peroleh, akan tetapi kenyataannya tidak
demikian.[1]
Memang sangat ironis
ketika kita mempermasalahkan tentang kemajuan dunia materi beserta segenap
implikasinya sebab dalam kaidah akal hal tersebit adalah merupakan kebutuhan
zaman. Namun dengan demikian al-Qur'at telah memngingatkan tentang peringatan
Allah yang bermuara pada permasalahan tentang amanah yang kemudian ditafsirkan
oleh sebahagian ulama sebagai akal, Allah berfirman :
Terjemahannya: "Sesungguhnya
kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh.[2]
Dalam menafsirkan ayat di atas sebahagoian ulama telahj
sepakat bahwa yang dimaksud dengan amanah pada ayat tersebut adalah akal. Ibnu
Katsir dalam tafsirnya telah menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh K.H. M.
Ali Usman dan kawan-kawan bahwa:
Ketika Adam a.s baru saja
diciptakan, maka amanah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung akan
tetapi mereka enggan untuik menerimanya, maka ditawarkannlah amanah tersebut
kepada Adam yang pada saat itu dengan kehendak Allah Swt. amanah yang
ditawarkan tersebut berwujud berupa batu besar, kemudian Adam a.s mendekatinya,
mengoyang-goyangnya dan mencoba untuk mengngkatnya dan ternyata berhasildia
pikul. Setelah itu Adam a.s. ingin menurunkannya akan tetapi Allah Swt.
Berkata: "Pikullah amanah tersebut sampai anak cucumu juga memikulnya
hingga hari kiamat".[3]
Sejak sat itulah amanah yang berupa akal yang meliki oleh
manusia terus menerus dia pikul sebagai sebuah amanah dari Allah Swt. dengan
resiko yang di kandungnya. Akal yang berada dalam diri manusia telah membawanya
pada sebuah kehidupan yang tidak alamiah dan senantiasa berada dalam
ketergesahan, kekacauan, ketidak seimbangan, kegelisahan dan kegalauan hidup.
Hal ini disebabkan karena substansi keberadaan akan adalah membawa kepada
kehancuran. Ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun dari hasil eksplorasi akal
yang dikembangkan dipandang dari sisi kehidupan kecuali memiliki efek yang
sejatinya berifat negatif. Hal ini sesuai dengan apa yang telah digaskan oleh
Allah melalui pernyataan-Nya dengan baha "Sesungguhnya manusia itu amat
zalim lagi bodoh".
Kenyatan ini sangat berbeda dengan keadaan Rasulullah Saw
yang telah diangkat oleh Allah sebagai seorang Rasul, manusia yang paling
sempurna dan merupakan rahmat bagi seluruh alam semesta (Rahnatan lil
'alamin), kedudukan ini memang didukung oleh beberapa lasan yang sangat
mendasar yang memiliki kekhususan pada diri pribadi Rasulullah Saw. Jadi ketika
allah Swt men-generalisir kedudukan manusia sebagai makhluk yang zalim lagi
bodoh, ini diakibatkan oleh karena mereka menerima akal sebagai amanah saat
itu. Akan tetapi berbeda dengan kedudukan Rasulullah Saw yang walaupun secara
lahiriyah beliau adalah termasuk manusia namun beliau diberikan pengecualian
dalamperkara ini, krena Nabi Muhammad Saw adalah seorang yang tidak memiliki
akal atau ummy (buta huruf) dalam hal in Allah Swt berfirman:
Terjemahannya: Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.[4]
Sehingga tidak satupun dari tindakan beliau yang mengakibatkan
pada kerugian bagi alam, alsan ini pula yang menjadikan Rasulullah dan para
sahabatnya menjadi generasi terbaik sepanjang sejarah peradaban manusia.[5]
Aspek Jiwa dan
Kedudukannya
Ketika manusia berada pada
kondisi senang, gembira ata bersuka ria demikian juga sebaliknya ketika ketika
dalam suasan sedih, gelisah, duka dan gundah gulana, semua hal tersebut hanya
mampu diukur dengan dengan keadaan jiwa manusia kendatipun demikian berbeda
dengan manusia yang mengalami disfungsi kejiwaan.
Sesungguhnya suasana
apapun yang dihadapi oleh seorang, maka pada sat yang bersamaan jiwanya pun
mampu menangkap makna yang terkandung dalam suasana tersebut. Jiwa manusia
merupakan mediator sekaligus detektor yang berfungsi untuk membaca segala hal
yang yang terjadi di sekitarnya, baik dari sis internal maupun eksternal.
Fungsi jiwa yang
sesungguhnya sangat bergantung pada dua kondisi kecenderungan yaitu:
Pertama : An-Nafus
al-Muthmainnah (Jiwa yang tenang); jiwa pada kondisi ini memiliki
kecenderungan kepada al-Haq (kebenaran) dan berusaha dengan semaksimal
mungkin untuk menetapinya (Istiqamah) dan menjalankanya. Keadaan jiwa
yang semacam ini memungknkan untuk dapat menerima dengan mudah segala kebenaran
yang datang kepadanya.
Imam al-Gazali mengutip
dari nasehat Lukman kepada anaknya: "Wahai anakku, persoalan utama yang
aku peringatkan kepadamu adalah nafsumu. Karena setiap nafsu itu memiliki
dorongan kesenangan dan keinginan. Jika kamu memberikan keinginan (syahwat)
yang sesuai dengan nafsu, maka hinggaplah dia dan akan meraja lela kepada yang
lainnya karena syahwat itu berdiam dalam hati laksana api yang bersaiam dalam
batu. Seandainya hal itu dipadamkan, maka padamlah. Jika dibiarkan, maka akan
meraja lela di dalam".[6]
Kedua: An-Nafsu
al-Ammarah (nafsu jahat); jiwa pada kondisi ini akan memiliki kecenderungan
pada al-Bathil (kesesatan) sehingga kalau terus menerus larut dalam
kondisi ini, maka akan sangat memungkinkan jiwa mengikuti jalan kesesatan dan
menetapinya serta melaksanakannya.[7]
Kedua kondisi kejiwaan di
atas dapat meghantarkan seseorang pada pilihan yang jelas dalam hidupnya.
Manusia yang memilki jiwa yang tenang (an-Nafsu al-Muthmainnah) akan
senantiasa berada dalam suasana terkontrol pada mizan al-Haq (timbangan
kebenaran), sehingga dalam konsepdi kehidupan yang dijalaninya akan senantiasa
diimbangi dengan padangan keseimbangan dalam kehalusan budi dan kecerdasan
akhlaq.
Sementara manusia yang
memiliki jiwa yang jahat (an-Nafsu al-Ammarah) akan senantiasa berada
dalam kondisi dan suasanan kesesatan (al-Bathil) dan cenderung untuk
menetapinya dan bahkan melaksanakannya, ironisnya pada kondisi kejiwaan semacam
ini manusia terkadanga menganggap kebathilannya yang dijalaninya sebagai sebuah
kebenaran. Diantara seabab yang membuat manusia tertipu atas dirinya sendiri
dalam kondisi ini adalah :
1.
Akibat dari kekotoran jiwa
yang bersumber pada dosa-dosa yang dilakukan secara berulang.
2.
Akibat dari penolakan
terhadap al-Haq (kebenaran)
3.
Akibat dari adanya
intervensi Syaitan.
Aspek Qalbu dan
Kedudukannya
Mengulas tentang qalbu
(hati) sama dengan sulitnya dalam membedakan antara air laut dan air tawar
secara teori, namun ketika harus membedakannya sehingga nampak jelas perbedaan
antara satu dengan yang lainnya, maka harus menggunakan metodologi tes dengan
merasai tawar dan asinnya air tersebut.
Demikian halnya dengan
hakikat qalbu (hati), untuk membedakan antara satu qalbu dengan lainnya,
maka harus dapat dirasakan melalui aspek lain dari dairi manusia, sebab ketika
salah dalam mendudukan qalbu, maka manusia dapat menganggapnya sebagai jiwa
atau akal manusia padahal keduanya meilki hakikat yang berbeda. Dalam hal ini
Rasulullah Saw. bersabda:
اسْتَفْتِ قَلْبَكَ البِرُّ
مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ القَلْبُ وَالِإثْمُ مَا
حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
(حديث حسن رويناه في مسندي الإمامين أحمد بن حنبل والدارمي بإسناد حسن)
Terjemahannya: "Mintalah
fatwa kepada qalbumu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menentramkan jiwa
dan qalbu, sedangkan dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati,
meskipun orang-orang meberi fatwa yang membenarkanmu" (H.R. Ahmad bin
Hambal dan ad-Darimy dengan sanad yang hasan)[8]
Secara khusus sabda bainda
Saw sebagaimana yang tersebut di atas menjelaskan bahwa bahwa dalam qalbu
seorang manusia terdapat kebenaran yang berfungsi sebagai jawaban ata segala
permasalahan yang dihadapi oleh manusia, maka qalbu sebagai penuntun bagi yang
tertuntun, pendidik bagi yang terdidik dan pembimbing bagi yang terbimbing.
Meminta fatwa kepada qalbu
atas sebuah kebaikan dan kebenaran disebabkan karena ia merupakan tempat dimana
ar-Ruh yang telah mengikrarkan perjanjian abadi kepada Allah bersemayam dimana
tidak terjadinya sebuah bentuk pengkhianatan atas perjanjian yang telah
diikrakan oleh qalbu tersebut. Perjanjian yang dimaksudkan adalah firman Allah
dalam Qd. Al-'raf ayat 172:
Terjemahannya: "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?"
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi".[9]
Hikamh yang terkandung
pada ayat di atas adalah : Pertama, bahwa Allah Swt mengambil sumpah
setia dari kesaksian ar-Ruh untuk hany melakukan pengabdian kepada Allah
semata. Kedua, bahwa ar-Ruh adalah benar menyaksikan keberadaan Allah
Swt sebagai tempat pengabdian utamanya. Ketiga, bahwa perjanjian Allah
Swt dengan ar-Ruh merupakan perjanjian fitrah yang tidak bercacat. Berdasarkan
pada empat hikmah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengabdian yang
dipersembahkan oleh ar-Ruh merupakan bentuk pengabdian abadi yang tidak
ternodai oleh sesuatu apapun.
Hakikat pengabdian ar-Ruh
kepada Allah Swt adalah tugasnya sebagai utusan mendampingi manusia bersama
dengan sifat-sifat utama yang dikandungnya yaitu :
1.
الصِّدِّيْقُ artinya : Benar dalam berkata dan tidak pernah berkata
bohong walaupun hanya sekali saja.
2.
الأَمَانَةُ artinya : Lurus dan jujur dalam mengambil keputusan terhadap
perkara apapun tanpa pamrih
3.
الفَطَانَةُ artinya : Cerdas, tegas dan pintar dalam bertindak dan
bersikap dalam keadaan apapun
4.
التَّـبْلِيْغُ artinya : Menyampaikan sesuatu
dengan sebenar-benarnya.
Sifat utama ini pula
merupakan sifat Nabi Muhammad Saw,[10]
sehingga bagi siapapun yang terbuka perkenalannya dengan ruh, maka sifat-sifat
utama tersebut akan tampak secara nayata dalam dirinya.
Dari titik ini gerbang
dunia baru telah tampak dan ibnu 'Arabi pun mengatakan: "Sesungguhnya
apa yang engakau inderai pada alam materi adalah mikrokosmos, dan apa yang ada
dalam dirimu adalah makrokosmos" di dalam sebuah syairnya ia berkata :
"Manusia adalah tempat tajalli Tuhan yang paling sempurna".
Dalam ungkapan syairnya yang lain menyebutkan :
Jika Tuhan tidak ada dan
kita tidak ada,
Maka tidaklah ada semua
yang ada
Saya menyembah Tuhan yang
sebenarnya
Allah-lah Tuhan kami yang
sesungguhnya
Ketahuilah, saya adalah
'ain wujud-Nya
Meskipun saya berkata,
saya adalah manusia.[11]
[2] Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur'an Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahan (Edisi Baru, Jakarta,
PT. Internusa, 1993) Hal. 680.
[3] K.H. M. Ali Usman, HA. A. Dahlan, Dr. HMD. Dahlan, Hadis
Qudsi (Cetakan Ketujuh, Bandung, CV. Diponegoro,
1984), Hal. 74.
[4]Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur'an Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahan
(Edisi Baru, Jakarta, PT. Internusa, 1993) Hal. 680
[5] Abdullah Nashir Ulwan, Rahsia Keummian Rasulullah,
(Cetakan Pertama, Jakarta Timur, Studia Press, 1997). Hal. 119.
[7] K.H. M. Ali Usman, HA. A. Dahlan, Dr. HMD. Dahlan, Hadis
Qudsi (Cetakan Ketujuh, Bandung, CV. Diponegoro,
1984), Hal. 24.
[8] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, Bab; Musnad Wabishah
bin Ma'bad, No: 8035 (Cetakan Pertama, Mesir, Muassah Qurtuba, T.Thn), Jilid
IV, Hal. 228. dan Abdullah bin Abdurrahman Abu Abdullah ad-Darimy, Sunan
ad-Darimy, Bab; Tinggalkan apa yang meragukan kepada apa yang meyakinkan,
No: 2533, (Cetakan Pertama, Beirut,
Dar al-Kutub al-Araby, 1407 H), Jilid II, Hal. 320. Lihat juga Abdurrahman bin
Syihab ad-Din ibnu Rajab al-Hanbaly, Jami' al-Ulum wa al-Hikam, (Cetakan
Pertama, Mesir, Dar al-Aqidah, 1422 H / 2002 M), Hal. 336.
[9] Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur'an Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahan (Edisi Baru, Jakarta, PT. Internusa, 1993) Hal. 250
[10] Syikh H. Datuk Tombak Alam, Kunci Sukses Regenerasi
dalam Dakwah, (Cetakan Kedua, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 1990). Hal.
6.
[11] Dr. Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf,
(Cetakan Kedua, Jakarta:
PT. Raja Garaphindo, 2002), Hal. 355.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....