oleh : Muhammad Irham. S. Th. I
BAB I
PENDAHULUA
- Latar Belakang
Setelah Nabi Muhammad
saw., di Madinah pada tahun 11 H atau 632 M, tugas-tugas keagamaan
dan pemerintahan diteruskan para penggantinya (khulafa>). Diantara
empat khalifah itu, dua diantaranya merupakan mertua Nabi Muhammad saw.,
dan dua lainnya merupakan menantu Nabi Muhammad
saw. Keempat khali>fah tersebut dalam sejarah
Islam lebih dikenal dengan sebutan al-Khulafa> al-Ra>syidu>n,
yang berarti para khali>fah yang terpercaya atau yang mendapat
petunjuk, sesuatu gelar yang berkaitan dengan kepemimpinan dan kapasitas mereka
sebagai kepala pemerintahan dan kepala agama dalam mempertahankan kemurnian
agama Islam dalam berbagai aspek kehidupan sebagaimana telah dicontohkan Nabi
Muhammad saw. dalam mewujudkan kemashlahatan umat.
Keempat khali>fah tersebut memerintah selama kurang lebih tiga
puluh tahun, mulai dari 11-40 H (632-661 M). Khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq memerintah dari tahun 11-13 H, khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b dari tahun 13-23 H, khali>fah 'Usma>n dari tahun 23-35 H dan khali>fah
'Ali> dari tahun 35 sampai 40 H.
Dalam makalah ini, penulis akan membatasi pokok pembahasan seputar dua dari
empat khali>fah tersebut, yaitu khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq dan 'Umar Ibn Khaţţa>b, yang menjadi tugas dari pemakalah ini.
Pembahasan mengenai kedua tokoh ini berkisar seputar biografi; yang
mencakup nama lengkap, nasab, sifat, sikap dan kedudukannya, dan peranan kedua
tokoh tersebut sebagai khali>fah; mengungkapkan seputar masa suksesi,
pidato perdana, terobosan khalifah baik internal maupun eksternal.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pembahasan ini akan menyingkap
dua hal:
1.
Bagaimana biografi
Abū Bakar al-Şiddīq
dan 'Umar Ibn Khaţţa>b?
2.
Bagaimana peranan Abū Bakar al-Şiddīq
dan 'Umar Ibn Khaţţa>b
sebagai
khali>fah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Abū
Bakar al-Şiddīq
1.
Nama Lengkap Abū
Bakar al-Şiddīq dan Nasabnya
Nama Lengkapnya Abdulla>h Ibn Quhafa at-Taimi> dilahirkan pada tahun 573
M (dua tahun setelah kelahiran Rasulullah). Di zaman pra Islam bernama Abdul
Ka'bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah.[1]
Ia termasuk salah satu sahabat yang utama. Julukannya adalah Abū Bakar (Bapak pemagi) karena
dari pagi-pagi betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. Gelarnya al-Şiddi>q diperolehnya karena ia
dengan segera membenarkan Nabi Muhammad saw. dalam berbagai peristiwa terutama
Isra>' dan Mi'ra>j.[2]
2. Sikap, Sifat Abū Bakar al-Şiddīq
dan kedudukannya
Sebelum masuk
Islam, Abū
Bakar al-Şiddīq memulai karirnya sebagai
pedagang. Setelah masuk Islam, Abū
Bakar al-Şiddīq begitu cepat menjadi anggota
yang paling menonjol dalam jamaah Islam setelah Nabi Muhammad saw. Abū Bakar aş-Şiddiq terkenal karena keteguhan pendirian, kekuatan
iman, kesetiaan, dan kebijakan pendapatnya. Kalaupun Abū Bakar al-Şiddīq
hanya satu atau dua kali diangkat sebagai panglima perang oleh Nabi – tidak
seperti Ali yang sangat lincah dalam memimpin peperangan- hal itu karena setiap
sahabat Nabi memiliki karakter yang menonjol khusus yang berbeda dengan lainnya
dan (barangkali) disebabkan Nabi Muhammad saw., menghendaki agar Abū Bakar al-Şiddīq
mendampinginya untuk bertukar pendapat atau berunding.[3]
Diantara bentuk penghargaan
Nabi kepada Abū
Bakar al-Şiddīq adalah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا
لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ رواه البخاري[4]
Artinya:
"Dari Ibn Abbas ra. Bahwa Nabi Muhammad saw.,
bersabda sekiranya saya akan mengangkat (menjadikan) sahabat karib seseorang
dari umatku maka saya akan menjadikan Abū Bakar (al-Şiddīq) sebagai sahabat karibku".[5]
Hadis diatas dapat
menunjukkan betapa senangnya Nabi Muhammad saw., kepada Abū Bakar al-Şiddīq
dan betapa besarnya kedudukan Abū
Bakar al-Şiddīq di sisi Rasul maupun Islam.
Nabi Muhammad saw.,
seringkali menunjuknya untuk mendampinginya di saat-saat penting atau jika
berhalangan, Nabi Muhammad saw., mempercayainya sebagai pengganti untuk
menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusui persoalan-persoalan aktual
di Madinah.[6]
Diantaranya, Nabi Muhammad saw., pernah mengutus Abū Bakar al-Şiddīq
memimpin muslimin melakukan haji sebagai penggantinya pada tahun 9 H. Selain
itu, Abū
Bakar al-Şiddīq juga pernah mengganti kedudukan
Nabi menjadi Imam Shalat ketika Nabi sakit.[7]
Sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibn Hisya>m dalam kitabnya Sirah Ibn
Hisya>m sebagai berikut:
قَالَ الزّهْرِيّ : وَحَدّثَنِي حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ اللّهِ
بْنِ عُمَرَ ، أَنّ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمّا اُسْتُعِزّ بِرَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلّ بِالنّاسِ . قَالَتْ قُلْت
: يَا نَبِيّ اللّهِ إنّ أَبَا بَكْر ٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ ضَعِيفُ الصّوْتِ كَثِيرُ الْبُكَاءِ
إذَا قَرَأَ الْقُرْآنَ . قَالَ مُرُوهُ فَلْيُصَلّ بِالنّاسِ . قَالَتْ فَعُدْت بِمِثْلِ
قَوْلِي ، فَقَالَ إنّكُنّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ ، فَمُرُوهُ فَلْيُصَلّ بِالنّاسِ قَالَتْ
فَوَاَللّهِ مَا أَقُولُ ذَلِكَ إلّا أَنّي كُنْت أُحِبّ أَنْ يُصْرَفَ ذَلِكَ عَنْ
أَبِي بَكْرٍ وَعَرَفْت أَنّ النّاسَ لَا يُحِبّونَ رَجُلًا قَامَ مَقَامَهُ أَبَدًا
، وَأَنّ النّاسَ سَيَتَشَاءَمُونَ بِهِ[8]
Artinya:
"Imam az-Zuhri berkata
bahwa Hamzah Ibn Abdillah Ibn Umar memberitahukanku bahwa 'Aisyah ra. berkata ketika
Nabi sedang sakit berat Rasul bersabda bahwa Perintahkanlah Abū Bakar (al-Şiddīq) untuk memimpin shalat jamaah,
maka saya ('Aisyah) berkata wahai Nabi Allah! Sesungguhnya Abū Bakar al-Şiddiq itu seorang pria yang
perangai lembut, suaranya kecil, dan senantiasa menangis ketika membaca
al-Qur'an, maka Rasul tetap bertitah : Perintahkanlah Abū Bakar al-Şiddiq untuk mengimami shalat
manusia (muslimin). Saya ('Aisyah) kembali berkata sembari mengulang perkataan
saya sebagaimana sebelumnya, maka Nabi Muhammad saw., berkata sesungguhnya
kalian (seakan-akan seperti) para saudara nabi Yusuf a.s. –yang tidak suka
kepada nabi Yusuf a.s. dan mendengki kepadanya- dan Nabi Muhammad saw., kembali
mengakatan Perintahkanlah Abū
Bakar al-Şiddiq
untuk mengimami shalat manusia (muslimin). Demi Allah saya ('Aisyah) tidak
mengatakan yang demikian kecuali saya (lebih) suka untuk mengganti Abu> Bakar (sebagai Imam shalat) dan saya tahu bahwa kaum muslimin tidak
menyukai seseorang (selain nabi) yang berdiri di depannya dalam kurun waktu yang
lama. Dan mereka meramalkan akan terjadi sesuatu yang (kurang) baik. [9]
Kemudian,
untuk lebih menegaskan pernyataan di atas, Ibn Ish}aq dan Ibn Hisya>m
sepakat dalam meriwayatkan sebagai berikut:
قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : وَقَالَ ابْنُ شِهَابٍ : حَدّثَنِي
عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ
، عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ زَمَعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ بْنِ الْمُطّلِبِ
بْنِ أَسَدٍ ، قَالَ لَمّا اُسْتُعِزّ بِرَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ
وَأَنَا عِنْدَهُ فِي نَفَرٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ دَعَاهُ بَلَالٌ إلَى الصّلَاةِ
فَقَالَ مُرُوا مَنْ يُصَلّي بِالنّاسِ . قَالَ فَخَرَجْت فَإِذَا عُمَرُ فِي النّاسِ
. وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ غَائِبًا ؛ فَقُلْت : قُمْ يَا عُمَرُ فَصَلّ بِالنّاسِ قَالَ
فَقَامَ فَلَمّا كَبّرَ سَمِعَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ صَوْتَهُ
وَكَانَ عُمَرُ رَجُلًا مِجْهَرًا ، قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ فَأَيْنَ أَبُو بَكْرٍ ؟ يَأْبَى اللّهُ ذَلِكَ وَالْمُسْلِمُونَ يَأْبَى
اللّهُ ذَلِكَ وَالْمُسْلِمُونَ . قَالَ فَبُعِثَ إلَى أَبِي بَكْرٍ ، فَجَاءَ بَعْدَ
أَنْ صَلّى عُمَرُ تِلْكَ الصّلَاةَ فَصَلّى بِالنّاس. [10]
Artinya:
"Ibn Ish}aq berkata, Ibn Hisya>m berkata bahwa
'Abd al-Malik berkata kepadaku dari bapaknya 'Abdullah Ibn Za'amah berkata ketika Nabi sedang sakit
berat Rasul saya berada disisinya bersama sekelompok manusia (sahabat lainnya)
maka Nabi Muhammad saw., meminta air untuk shalat seraya bersabda
perintahkanlah seseorang untuk memimpin shalat, saya ('Abdullah Ibn Za'amah) berkata bahwa saya pun keluar
dan menjumpai 'Umar bersama sahabat blainnya dan Abu> Bakar tidak hadir,
maka saya pun ('Abdullah Ibn Za'amah) berkata berdirilah 'Umar (untuk menjadi
Imam shalat) dan 'Umar pun berdir, dan ketika 'Umar bertakbir Nabi Muhammad
saw., mendengarnya karena –sebagaimana yang diketahui- 'Umar adalah sesosok
pria bersuara nyaring/keras. Kemudian Nabi Muhammad saw., bertanya dimana
Abu> Bakar. Allah dan Umat Islam pun menolaknya, diutuslah seseorang untuk
mencari Abu> Bakar maka Abu> Bakar pun datang setelah 'Umar selesai
shalat dan Abu> Bakar pun shalat".[11]
Hemat penulis,
kedua pernyataan di atas belum menegaskan secara ilmiah karena kedua pernyataan
tersebut belum memiliki standar ilmiah. Yang dimaksud dengan belum berstandar
ilmiah adalah sanad hadis/sunnah di atas belum ditakhrij dan sanad dan matannya
belum dikritik sesuai kriteria hadis s}ah}ih} yaitu tersanbungnya sanad,
perawinya adil dan d}abit}, tidak sya>z\ dan tidak 'illah.
Mengambil
data dari riwayat yang ternukil dari kitab hadis yang standar sangatlah valid
dan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hal ini penulis menulusuri sembilan
kitab hadis al-Mu'tabarah, dan mendapat bahwa semuanya meriwayatkan
hadis di atas –baik secara lafal maupun makna- kecuali kitab al-Muwat}t}a'
dan Sunan al-Da>rimi>. Ini adalah makalah tentang sejarah
peradaban islam bukan makalah tentang ilmu hadis sehingga cukuplah riwayat
al-Bukha>ri> yang mewakili sebagai bukti ilmiah kebenaran kedua
pernyataan tersebut. Adapun riwayat al-Bukhari dalam kitab s}ah}ih nya
adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنِي
أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ قَالَ كُنَّا
عِنْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ
فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ
فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ
فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ
فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ.[12]
Artinya:
"Umar Ibn Hafs} Ibn Giya>s\ menceritakan
kepada kami, lalu ia berkata diceritakan kepadaku ayahku, lalu ia berkata
al-A'masy menceritakan kepada kami, dari Ibra>hi>m, dari al-Aswad berkata
dulu kami bersama 'A<isyah r.a. yang berkata bahwa ketika nabi Muhammad
saw., sakit dengan sakitnya yang membuatnya wafat, Nabi Muhammad saw. Bersabda
perintahkanlah Abu> Bakar untuk memimpin shalat (dihadapan Umat Islam)
manusia. Maka dikatakan kepadanya bahwa sesungguhnya Abu> Bakar adalah seorang pria yang muda
menangis/bersedih jikalau ia berdiri di tempatmu berdiri (sebagai imam) dia di
tidak mampu (layak) mengimami kami maka Nabi Muhammad saw., mengulangi
perkataannya dan mereka pun mengulangi perkataannya sampia tiga kali lalu Nabi
Muhammad saw., kembali bersabda sesungguhnya kalian (seakan-akan seperti) para saudara nabi Yusuf a.s.
–yang tidak suka kepada nabi Yusuf a.s. dan mendengki kepadanya- dan Nabi
Muhammad saw., kembali mengakatan Perintahkanlah Abū Bakar al-Şiddiq untuk mengimami shalat
manusia (muslimin)."[13]
Jadi, pernyataan tentang مروه فليصل بالناس yang berada dalam kitab Sirah
Ibn Hisya>m dapat dibenarkan karena dikuatkan oleh kitab-kitab hadis
yang standar –termasuk kitab s}ah}ih al-Bukha>ri>-, Sehingga dalil ini
cukup kuat sebagai alasan penunjukan Abū
Bakar al-Şiddiq
sebagai khali>fah
pertama terlepas dari hadis nabi tentang 'Ali> pada haji wada' nya dan
keutamaan lain Abū
Bakar al-Şiddiq
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.
B. Abū Bakar al-Şiddīq Sebagai Khalifah
1. Masa
Genting Sepeninggalan Rasul
a) Keraguan umat
Islam akan
kewafatan Nabi Muhammad saw.
Ketika sebagian
muslimin –antara lain 'Umar
Ibn Khaţţa>b- tidak percaya atau ragu bahwa
Nabi telah wafat.[14] Untuk lebih komperensifnya kita merujuk ke
sumber primer yang cenderung lebih valid karena telah disusun dengan jarak yang
agak dekat dengan tahun wafatnya Nabi Muhammad saw., yaitu kitab Sirah Ibn
Hisy>am sebagai berikut:
قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : قَالَ الزّهْرِيّ ، وَحَدّثَنِي
سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيّبِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمّا تُوُفّيَ رَسُولُ اللّهِ
صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَامَ عُمْرُ بْنُ الْخَطّابِ ، فَقَالَ إنّ رِجَالًا
مِنْ الْمُنَافِقِينَ يَزْعُمُونَ أَنّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ
قَدْ تُوُفّيَ وَإِنّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَا مَاتَ وَلَكِنّهُ
ذَهَبَ إلَى رَبّهِ كَمَا ذَهَبَ مُوسَى بْنُ عِمْرَانَ فَقَدْ غَابَ عَنْ قَوْمِهِ
أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمّ رَجَعَ إلَيْهِمْ بَعْدَ أَنْ قِيلَ قَدْ مَاتَ وَوَاللّهِ لَيَرْجِعَنّ رَسُولُ اللّهِ صَلّى
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كَمَا رَجَعَ مُوسَى ، فَلَيَقْطَعَنّ أَيْدِي رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ
زَعَمُوا أَنّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَاتَ [15]
Artinya:
"Ibn Ish}aq berkata:
Zuhri> berkata bahwa diceritakan kepadaku oleh Sa'i>d Ibn al-Musayyab,
Abu Hurairah berkata bahwa ketika Nabi Muhammad saw., wafat, berdirilah 'Umar
Ibn Khaţţa>b
seraya berkata bahwa sesungguhnya orang-orang munafik lah yang mengira bahwa Nabi Muhammad saw., telah
meninggal padahal Nabi Muhammad saw., belum meninggal akan tetapi pergi
Tuhannya sebagaimana Nabi Musa a.s. pergi ketuhannya empat puluh hari dan
kembali lagi ke kaumnya kemudian 'Umar Ibn Khaţţa>b
menambahkan bahwa sunggah Nabi
Muhammad saw., akan kembali sebagaimana nabi Musa a.s. telah kembali (dulu),
dan saya akan memotong tangan orang yang mengira Nabi Muhammad saw., telah
wafat." [16]
Maka Abū Bakar al-Şiddīq
langsung
membenarkan kewafatan Nabi Muhammad saw., seraya meyampaikan khotbahnya:
أَيّهَا النّاسُ إنّهُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمّدًا
فَإِنّ مُحَمّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللّهَ فَإِنّ اللّهَ حَيّ لَا
يَمُوتُ. قَالَ ثُمّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ– سورة آل عمران الآية 144- " وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ
أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ
عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ". [17]
Artinya:
"Wahai sekalian manusia, siapa yang menyembah
Muhammad, maka (menyesallah ia) karena Muhammad telah meninggal, dan barang
siapa yang menyembah Allah (bahagialah ia) karena Allah lah Yang Maha Hidup
Tiada Kematian baginya. Kemudian Abū Bakar al-Şiddīq membacanya sebuah ayat: Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat
mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.[18]
قَالَ –أبو هريرة- فَوَاَللّهِ لَكَأَنّ النّاسُ
لَمْ يَعْلَمُوا أَنّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ حَتّى تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ يَوْمئِذٍ. [19]
Artinya:
"Abu Hurairah (melanjutkan) bahwa demi Allah,
sungguh seakan-akan manusia (para sahabat) tidak mengetahui ayat ini telah
turun (sebelumnya) sampai Abu> baker membacakannya ketika itu".[20]
Dan 'Umar Ibn
Khaţţa>b pun mengakui dan membenarkan perkataan Abu> Bakar
sembari berkata:
Artinya:
"Demi Allah, tidaklah (saya mengetahui ayat
itu) kecuali setelah mendengar Abu> Bakar membacakannya.
[22]
b) Saqīfah Banī Sā'adah
Sejumlah tokoh Muhajirin
dan Anshar berkumpul di Saqīfah (balai kota) Banī Sā'adah tidak lama setelah
wafatnya Nabi Muhammad saw., [23]
kecuali 'Ali> Ibn Abi> T{a>lib, al-Zubair Ibn al-'Awwa>m dan
T{alh}ah Ibn 'Ubaidillah.[24]
Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu
berjalan cukup alot karena masing-masing
pihak, baik Muhajirin
dan Anshar, sama-sama merasa
berhak menjadi pemimpin umat Islam,[25]
kaum anshar mencalonkan Sa'ad Ibn 'Uba>dah dan dari pihak Muhajirin
menawarkan nama Abū
Bakar al-Şiddiq.[26]
Namun dengan semangat ukhuwah yang tinggi, akhirnya, Abū Bakar al-Şiddīq
terpilih.[27]
Rupanya, semangat keagamaan Abū Bakar al-Şiddīq
mendapat penghargaan yang
tinggi dari umat Islam.[28]
Sehingga masing-masing pihak menerima
dan membaiatnya mungkin mempertimbangkan sikap, sifat dan kedudukannya
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.
Setelah moment
tersebut perlu juga dicermati dan diketahui tentang bai'at umum yang terjadi
setelah Saqīfah
Banī Sā'adah. Hal ini dapat dijumpai pada
perkata 'Umar Ibn Khaţţa>b sebagai berikut:
وَإِنّ
اللّهَ قَدْ جَمَعَ أَمْرَكُمْ عَلَى خَيْرِكُمْ صَاحِبِ رَسُولِ اللّهِ صَلّى
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ ثَانِي اثْنَيْنِ إذْ هُمَا فِي الْغَارِ فَقُومُوا
فَبَايِعُوهُ. [29]
Artinya:
"sesungguhnya
Allah telah menghimpun urusan kalian kepada yang terbaik di antara kalian,
sesorang sahabat Nabi Muhammad saw., yang menemani Nabi Muhammad saw., di gua
hira (mereka berdua saja di dalamnya), maka kalian baiatlah Abū Bakar al-Şiddiq". [30]
2. Pidato
Perdana Abū
Bakar al-Şiddīq
Sebagai Khali>fah
Pidato Inaugurasi
yang diucapkan sehari setelah pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian
dan komitmen Abū
Bakar al-Şiddīq terhadap nilai-nilai Islam dan
strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat sepeninggal Nabi. Inilah
sebagaian kutipan khutbah Abū
Bakar al-Şiddīq yang terkenal itu:
أَيّهَا النّاسُ فَإِنّي قَدْ وُلّيت عَلَيْكُمْ
وَلَسْت بِخَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْت فَأَعِينُونِي ؛ وَإِنْ أَسَأْت فَقَوّمُونِي
؛ الصّدْقُ أَمَانَةٌ وَالْكَذِبُ خِيَانَةٌ وَالضّعِيفُ فِيكُمْ قَوِيّ عِنْدِي حَتّى
أُرِيحَ عَلَيْهِ حَقّهُ إنْ شَاءَ اللّهُ وَالْقَوِيّ فِيكُمْ ضَعِيفٌ عِنْدِي حَتّى
آخُذَ الْحَقّ مِنْهُ إنْ شَاءَ اللّهُ لَا يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللّهِ
إلّا ضَرَبَهُمْ اللّهُ بِالذّلّ وَلَا تَشِيعُ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطّ إلّا
عَمّهُمْ اللّهُ بِالْبَلَاءِ أَطِيعُونِي مَا أَطَعْت اللّهَ وَرَسُولَهُ فَإِذَا
عَصَيْتُ اللّهَ وَرَسُولَهُ فَلَا طَاعَةَ لِي عَلَيْكُمْ . قُومُوا إلَى صَلَاتِكُمْ
يَرْحَمُكُمْ[31]
Artinya:
"Wahai manusia! Aku telah
diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik
di antara kalian. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik,
bantulah (ikutilah) aku, tapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah!
Kejujuran itu amanah dan kebohongan itu Khianat. Orang yang kamu anggap kuat,
aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak darinya. Sedangkan orang yang
kamu anggap lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya
kepadanya.(maksudnya: walaupun orang itu kuat tapi Abū Bakar al-Şiddīq menganggapnya enteng sampai
orang itu mengembalikan hak orang yang tertindas-<penulis>-) Maka
hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat pada Allah dan Rasul-Nya, namun
bilamana aku tidak mematuhi keduanya, kalian tidak perlu mantaatinya.
Dirikanlah shalat niscaya Allah Akan merahmati kalian">. [32]
3.
Terobasan Abū Bakar al-Şiddīq
Abū Bakar al-Şiddīq
memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya
terutama untuk mengatasi berbagai masalah internal yang muncul akibat wafatnya
Nabi. Terpilihnya Abū
Bakar al-Şiddīq telah membangun kembali
kesadaran dan tekad umat untuk bersatu melanjutkan tugas mulia Nabi Muhammad
saw.. Menyadari bahwa kekuatan kepemimpinannya bertumpu pada komunitas yang
bersatu ini, yang pertama kali menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan
keinginan Nabi Muhammad saw., yang hampir tidak terlaksana yaitu mengirimkan
ekspansi ke perbatasan Suriah di bawah pimpinan Usamah untuk menindak lanjuti
terzhaliminya Zaid Abu Usamah dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam
perang Mut'ah. Sebagian sahabat menentang keras rencana ini, tapi khalifah tak
peduli. Nyatanya ekspansi itu sukses dan membawa pengaruh positif bagi umat
Islam, khususnya dalam membangkitkan kepercayaan dirir mereka yang nyaris pudar[33]
akibat telah ditinggal Nabi Muhammad saw., suri tauladan mereka.
a) Internal
1) Perang
Riddah
Akibat lain
wafatnya Nabi Muhammad saw., ialah hengkangnya beberapa orang Arab dari ikatan/jamaah
Islam. Mereka melepaskan kesetian dengan menolak memberikan baiat kepada khali>fah yang baru bahkan menentang
agama Islam, karena mereka menganggap bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat
bersama Muhammad dengan sendirinya batal (kadaluarsa) disebabkan kematian Nabi
Muhammad saw.[34]
Sesungguhnya tidaklah mengherankan dengan bayaknya suku
Arab yang melepaskan diri dari ikatan agama Islam. Mereka adalah orang-oarang
yang baru memasuki Islam. Belum cukup waktu bagi Nabi Muhammad saw., dan para
sahabatnya untuk mengajari mereka prinsip-prinsip keimanan dan ajaran Islam. Memang,
suku-suku Arab dari padang
pasir yang jauh itu telah datang kepada Nabi Muhammad saw., dan mendapat kesan
mendalam tentang Islam., tapi mereka
hanyalah setitik air di samudera. Di dalam waktu beberapa bulan tidaklah
mungkin bagi Nabi dapat mengatur pendidikan
atau latihan yang efektif untuk masyarakat yang terpencar di
wilayah-wilayah yang amat luas dengan sarana komunikasi yang sangat minim saat
itu.[35]
Gerakan melepas kesetiaan
itu disebut "Riddah". Riddah bermakna pemurtadan,
beralih agama dari Islam ke agama semula, secara politis merupakan
pembangkangan terhadap lembaga khalifah.[36]
Sikap mereka adalah perbuatan makar (menipudaya) yang melawan agama dan
pemerintahan sekaligus.
Oleh karena itu,
Khalifah Abū
Bakar al-Şiddīq dengan tegas melancarkan
operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal itu dimaksudkan sebagai
tekanan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, lalu berkembang
menjadi perang merebut kemenangan. Perang itu dipimpin oleh Jenderal Khālid Ibn Wālid.[37]
Tindakan pembersihan itu juga dilakukan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan orang
yang enggan menunaikan zakat.[38]
Bukan rahasia lagi
selama tahun-tahun terakhir kehidupan Nabi Muhammad saw., telah muncul
nabi-nabi palsu di kawasan Arab bagian selatan dan tengah. Yang pertama muncul
sebagai nabi palsu di Yaman, yang bernama Aswad Ansi, kemudian Musailamah Si
Tukang Dusta (al-Kaz\z\a>b), Tulaihah dan Sajjah Ibn Haris dari Arab
bagian tengah.[39]
Adapun orang-orang
yang enggan membayar zakat, di antarnya karena mereka mengira bahwa zakat
adalah serupa pajak yang dipaksakan dan penyerahannya ke perbendaharaan pusat
di Madinah sama artinya dengan 'penurunan kekuasaan'; suatu sikap yang tidak
disukai oleh suku-suku Arab karena bertentangan dengan karakter mereka yang
independent.[40]
Alasan lainnya
ialah –mungkin inilah menjadi faktor utamanya- disebabkan kekeliruan memahami
ayat al-Qur`an yang menerangkan mekanisme pemungutan zakat,[41]
sebagaimana yang ternukil di dalam Q.S. al-Taubah/9 : 103.
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
)103(
Terjemahnya:
"Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka,
dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".[42]
Mereka menduga
bahwa hanya Nabi saja yang berhak memungut zakat.[43]
Padahal dalam islam dikenal amilin, amilin ini anggotanya bukan hanya hanya
satu orang atau hanya satu saja. Kata 'a>mili>n
mengandung makna kelompok atau
jamak.
Penumpasan terhadap
oaring-orang murtad dan para pembangkang tersebut terutama setelah mendapat
dukungan dari suku Gatafan yang kuat ternyata banyak menyita konsentrasi khali>fah, baik secara moral maupun poliitik.
Situasi keamanan Madinah menjadi kacau, sehingga banyak sahabat tidak terkecuali 'Umar
Ibn Khaţţa>b yang dikenal keras menganjurkan
bahwa dalam keadaan yang begitu kritis lebih baik kalau mengikuti kebijakan
yang lunak. Terhadap ini khali>fah Abū
Bakar al-Şiddīq menjawab dengan marah:
"Kalian begitu keras di
masa Jahiliyah, tapi sekarang setelah Islam, kamu menjadi lemah. Walau wahyu
Allah telah berhenti dan agama kita telah sempurna. Kimi haruskah Islam
dibiarkan rusak dalam masa hidupku? Demi Allah, seandainya mereka menahan
sehelai benang pun (dari zakat) – karena mereka misahkan antara shalat dan
zakat -, saya akan memerintahkan untuk memerangi mereka.".[44]
2) Pengumpulan
Muşhaf
Selama peperangan riddah,
banyak qa>ri' (penghafal al-Qur`an) yang tewas. Karena orang-orang
ini merupakan penghafal bagian-bagian al-Qur`an, 'Umar Ibn
Khaţţa>b cemas jika bertambah lagi angka
kematian itu, yang berarti beberapa bagian lagi dari al-Qur`an akan musnah.
Karena itu ia menasehati Abū
Bakar al-Şiddīq untuk membuat suatu
"kumpulan" al-Qur`an. Mulanya khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq
agak ragu untuk melakukan tugas itu karena tidak menerima otoritas dari Nabi,
tapi kemudian ia memberikan persetujuan dan menugaskan Zaid Ibn S|a>bit. Para pencatat sejarah menyebutkan hal itu sebagai salah
satu jasa besar dari Abū
Bakar al-Şiddīq.[45]
Peperangan melawan
para pengacau tersebut meneguhkan kembali khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq
sebagai "Penyelamat Islam", yang berhasil menyelamatkan Islam dari
kekacauan dan kehancuran dan membuat agama itu memperoleh lagi kesetian dari
seluruh Jazirah Arab.[46]
b) Eksternal
Sesudah memulihkan
ketertiban di dalam negeri, Abū
Bakar al-Şiddīq lalu mengalihkan
perhatiannya untuk memperkuat perbatasan
dengan Persia dan Byzantium, yang akhirnya
menjurus kepada serangkaian peperangan
melawan kedua kekaisaran tersebut.
Tentara Islam di
bawah pimpinan Muşanna
dan Khālid Ibn Wālid dikirim ke Irak dan
menaklukan Hirah; sebuah kerajaan setengah Arab yang menyatakan kesiataannya
kepada Kisrah Persia,
yang secara strategis sangat penting bagi umat Islam dalam meneruskan
penyebaran agama ke wilayah-wilayah di belahan utara dan timur. Sedangkan ke
Suriah, suatu Negara di utara Arab yang dikuasai Romawi Timur (Byzantium), Abū Bakar al-Şiddīq
mengutus empat panglima, yaitu Abū
Ubaidah, Yazīd Ibn
Abī Sufyanbm 'Amr
Ibn 'As} dsan Syurahbil.[47]
Ekspansi ke Suriah ini memang sangat besar artinya dalam konstalasi politik
umat Islam, karena daerah protetorat itu merupakan front terdepan wilayah kekuasaan Islam dengan Romawi
Timur. Dengan bergolaknya tanah Arab pada saat menjelang dan sesudah wafatnya Nabi
Muhammad saw., impian bangsa Romawi untuk menghancurkan dan menguasai agama
Islam hidup kembali. Mereka menyokong sepenuhnya pergolakan itu serta
melindungi orang-orang yang berani berbuat maker terhadap pemerintahan Madinah.[48]
Dalam peristiwa
Mut'ah, bangsa Romawi bersekongkol dengan suku-suku Arab pedalaman (Badui) dan orang Persia memberikan dukungan yang
aktif kepada mereka untuk melawan kaum muslimin.[49]
Faktor penting
lainnya dari panglima pasukan besar-besaran ke Suriah ini sehingga dipimpin
oleh empat panglima sekaligus adalah karena umat Islam Arab memandang Suriah
sebagai bagian integral dari semenjaung Arab. Negeri itu didiami oleh suku
bangsa Arab yang berbicara menggunakan bahasa Arab. Dengan demikian, baik untuk
keamanan umat Islam (Arab) maupun untuk pertalian rasional dengan orang-orang
Suriah adalah sangat penting bagi kaum Muslimin (Arab).[50]
4.
Selamat Jalan Sang Khali>fah
Ketika pasukan
Islam sedang mengancam Palestina dan Irak, dan telah meraih beberapa kemenangan
yang dapat memberikan kepada mereka kemungkinan-kemungkinan besar bagi
keberhasilan selanjutnya, khali>fah Abū
Bakar al-Şiddīq meninggal dunia, Senin, 23
Agustus 624 M setelah lebih kurang selama 15 hari di tempat tidur. Beliau
berusia 63 tahun dan kekhalifaannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari.[51]
C. Biografi 'Umar Ibn Khaţţa>b
1. Nama
lengkap 'Umar Ibn Khaţţa>b
dan Nasabnya
Beliau bernama
lengkap 'Umar Ibn Khaţţa>b
Ibn Nufail keturunan Abdul 'Uzza> Ibn Riya Ibn Abdullah Ibn Qarth Ibn Razah
Ibn ‘Adiy Ibn Ka’ab Ibn Lu’ay Ibn Ghalib al-‘Adawi al-Quraisyi. Nasab Umar
bertemu dengan nasab Nabi Muhammad saw. pada Ka’ab. Sementara itu, ibunda 'Umar
Ibn Khaţţa>b adalah Hantamah binti Hasyim
Ibn al-Mugirah al-Makhzumiyah.[52]
'Umar Ibn Khaţţa>b dari suku 'Adi; salah satu suku
terpandang mulia. Ia dilahirkan di Mekkah empat tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw. Dia adalah seorang yang
berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Ia ikut memelihara ternak
ayahnya, dan berdagang hingga Ke Syiria. Beliau juga dipercaya oleh suku
bangsanya, Quraisy, untuk berunding dan mewakilinya bila ada persoalan dengan
suku-suku yang lain. 'Umar Ibn Khaţţa>b
masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi salah satu sahabat
terdekat Nabi Muhammad saw. Beliau berkorban untuk melindungi Nabi Muhammad
saw., dan agama Islam, dan ikut berperang dalam peperangan yang besar di masa
Nabi Muhammad saw., serta dijadikan sebagai tempat rujukan oleh Nabi Muhammad
saw., mengenai hal-hal yang penting. Ia dapat memecahkan masalah yang rumit
tentang siapa yang berhak mengganti Nabi Muhammad saw., dalam memimpin umat
setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., dengan memilih dan membaiat Abu Bakar sebagai
khali>fah
(pengganti) Nabi Muhammad saw., sehingga beliau mendapat kehormatan yang tinggi
dan dimintai nasehatnya serta menjadi tangan kanan khali>fah yang baru itu.[53]
2. Sikap,
Sifat 'Umar Ibn Khaţţa>b
dan kedudukannya
Masuk islamnya 'Umar
Ibn Khaţţa>b mendapat sambutan dari Nabi
Muhammad saw. dan para sahabatnya[54]
karena mereka mengetahui kapasitasnya. 'Umar Ibn Khaţţa>b kuat, mempunyai keahlian dalam menentukan hukum
sangat jenius dalam menata lembaga pemerintahan, cendikia dalam mengatur
wilayah yang sedemikian luas lihai dalam menghadapi masalah baru yang belum
terjadi sebelumnya.[55]
Nabi Muhammad saw.,
pun mengakui "kreatifisan baik" 'Umar Ibn
Khaţţa>b dalam beragama:
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ
فَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ. [56]
Artinya:
"Dari
Aisyah, dari Nabi saw., bersabda sungguh pada bangsa-bangsa terdahulu terdapat
pembaharu-pembaharu, jika sekiranya terdapat pembaharu di Umatku maka dialah 'Umar
Ibn Khaţţa>b".[57]
Dan di sisi lain, 'Umar
Ibn Khaţţa>b juga merupakan Khalifah yang
Adil[58]
dan tergolong dalam sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga bahkan Nabi
Muhammad saw., telah bermimpi dengan mimpi yang benar dari Allah swt., tentang
sebuah istana di surga yang disedikan untuknya, sebagaimana ternukil dalam
kitab s}ah}ih} zal-Bukha>ri> sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَالَ بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِي
فِي الْجَنَّةِ فَإِذَا امْرَأَةٌ تَتَوَضَّأُ إِلَى جَانِبِ قَصْرٍ فَقُلْتُ
لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ قَالُوا لِعُمَرَ. [59]
Artinya:
"Sa'i>d
Ibn Abi> Maryam menceritakan kepada kami, al-Lais\ mengabari kami, lalu
berkata 'Uqail menceritakan aku dari Ibn Syiha>b, lalu berkata Sa'i>d Ibn
al-Musayyab mengabariku bahwasanya Abu> Hurairah r.a. berkata diantara kami
duduk Nabi Muhammad saw. Yang bersabda saya bermimpi melihat diriku di surga
dan seorang wanita berwudhu' disamping sebuah istana kemudian saya bertanya
untuk siapa istana ini maka penghuni surga menjawab (istana ini) untuk 'Umar
(Ibn al-Khat}t}a>b).[60]
Secara tekstual, hadis tersebut
menerangkan istana milik 'Umar Ibn Khaţţa>b di surga tetapi jika penulis
melihat hadis tersebut dari aspek teknik interpretasi kontekstual maka penulis
berpandangan bahwa tindakan, sikap dan karakter 'Umar Ibn
Khaţţa>b dapat menjadi contoh dan panutun
–setelah Nabi
Muhammad saw.- yang patut diikuti
jejak-jejaknya oleh umat Islam dikarenakan ketakwaan, kepekaan sosial yang
tinggi, kreatifitas dan perhatiaannya kepada maslahat umat manusia secara umum
dan umat Islam secara spesifik.
D. Umar Ibn Khaţţab Sebagai Khalifah
1.Proses Suksesi
Sebelum meninggal
dunia, Abū
Bakar al-Şiddīq telah menunjuk 'Umar
Ibn Khaţţa>b menjadi penerusnya. Rupanya
masa dua tahun bagi Khalifah Abū
Bakar al-Şiddīq belumlah cukup menjamin stabilitas keamanan
terkendali, maka penunjukkan ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan
terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam.
Meskipun peristiwa
diangkatnya 'Umar Ibn Khaţţa>b
sebagai khali>fah
itu merupakan fenomena yang baru, tapi haruslah dicatat bahwa proses peralihan
kepemimpinan tetap dalam bentuk musyarawah, yaitu berupa usulan atau
rekomendasi dari Abū
Bakar al-Şiddīq yang diserahkan kepada
persetujuan umat Islam. Untuk menjajagi pendapat umum, Khalifah Abū Bakar al-Şiddīq
melakukan serangkaian konsultasi terlebih dahulu dengan beberapa orang sahabat,
antara lain ialah Abd al-Rahmān
Ibn 'Auf dan 'Utsmān
Ibn 'Affān.[61]
Pada awalnya
terdapat berbagai keberatan mengenai rencana pengangkatan 'Umar Ibn
Khaţţa>b ini, sahabat T{alh}ah misalnya
segera menemui Abū
Bakar al-Şiddīq untuk menyampaikan rasa
kecewanya. [62]
Namun oleh karena 'Umar
Ibn Khaţţa>b adalah orang yang paling tepat
untuk menduduki kursi kekhalifan, maka pengangkatan 'Umar Ibn
Khaţţa>b mendapat persetujuan dan baiat
dari semua anggota masyarakat Islam.[63]
2. Pidato Perdana 'Umar
Ibn Khaţţa>b Sebagai khalifah
Adapun Pidato
perdana 'Umar Ibn Khaţţa>b
sebagai Khalifah ialah:
"Orang-orang Arab sepeti
halnya seekor unta yang keras kepala dan ini akan bertalian dengan pengendara
di mana jalan yang akan dilalui, dengan nama Allah, begitulah aku akan
menunjukkan kepada kamu ke jalan yang harus engkau lalui."[64]
3. Terobosan 'Umar Ibn
Khaţţa>b Sebagai Khali>fah
'Umar Ibn Khaţţa>b menyebut dirinya "khali>fati khali>fati Rasulillah" (Pengganti dari Pengganti
Rasul). Beliau juga mendapat gelar "Amīr al-Mu'mīnin" (Komandan orang-orang
beriman) sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa
pemerintahannya.[65]
Hemat penulis, 'Umar Ibn Khaţţa>b
berpikiran kedepan dalam menggunakan istilah khali>fah, dalam artian khalifah-khalifah
setelah jika menggunakan kata khalifah maka kata khali>fahnya banyak berulang, misalkan
Ali dengan khali>fati khali>fati khali>fati khali>fati al-Rasu>l.
a) Eksternal
Ketika para
pembangkang di dalam negeri telah dikikis (hampir) habis oleh khali>fah Abū Bakar al-Şiddīq,
dan era penaklukan militer telah dimulai, maka khali>fah menganggap bahwa tugasnya yang
pertama ialah mensukseskan ekpansi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi
genap satu tahun memerintah. 'Umar Ibn Khaţţa>b
telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasan ini. Pada
tahun 635 M, Damaskus, Ibu kota Suriah ditundukkan, setahun kemudian seluruh
wilayah Suriah jatuh ke tangan Kaum Muslimin, setelah pertempuran hebat di
lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania, pasukan Romawi yang
terkenal kuat itu runtuh.[66]
Keberhasilan
pasukan Islam dalam penaklukan atas Suriah di masa Khalifah 'Umar
Ibn Khaţţa>b itu tidak lepas dari rentetan
penaklukan pada masa sebelumya. Khalifah Abū Bakar al-Şiddīq telah mengirim pasukan besar di
bawah Abū 'Ubaidah
Ibn al-Jarrah ke front Suriah. Ketika pasukan
itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khālid Ibn Wālid
yang sedang dikirim untuk memimpin pasukan ke front Irak, untuk membantu
pasukan di Suriah.
Dengan gerakan
secepat kilat Khālid
menyeberangi gurun pasir luas kearah Suriah. Ia bersama Abu 'Ubaidah mendesak
pasukan Romawi. Dalam keadaan genting itu wafatlah Khalifah Abū Bakar al-Şiddīq
, dan diganti dengan Abū
Bakar al-Şiddīq. Khalifah yang baru itu mempunyai kebijaksanaan yang lain. Khālid yang dipercaya untuk memimpin
pasukan di masa Abū
Bakar al-Şiddīq diberhentikan oleh 'Umar Ibn Khaţţa>b dan diganti oleh Abu 'Ubaidah.
Hal itu tidak diberitahukankepada pasukan hingga selesai perang, dengan maksud
agar tidak merusak konsentrasi dalam menghadapi musuh. Damaskus jatuh ke
tangan Kaum Muslimin setelah dikepung
selama tujuh hari. Pasukan Muslim yang dipimpin oleh Abu 'Ubaidah itu
melanjutkan penaklukan ke Hamah, Qinnisrin, Laziqiyah dan Aleppo. Surahbil dan 'Amr bersama pasukannya
meneruskan penaklukan atas Baysan dan Jerussalaem di Palestina. Kota suci ketiga itu dan
kiblat pertama bagi Umat Islam itu dikepung oleh pasukan muslimin selama empat
bulan. Akhirnya kota suci itu dapat ditaklukkan
dengan syarat harus khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b
sendiri yang menerima 'kunci' kota
itu. Karena kekhawatiran mereka terhadap pasukan Muslim yang akan menghancurkan
gereja-gereja.[67]
Dari Suriah, laskar
Muslimin melanjutkan langkah ke bumi Mesir dan membuat kemenangan-kemenangan di
wilayah Afrika bagian utara. Bangsa Romawi telah menguasai Mesir sejak tahun 30
sebelum Masehi, dan menjadikan wilayah subur itu sebagai sumber pemasok gandum
terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik sehingga menimbulkan
kekacauan di negeri yang pernah diperintah oleh Raja Fir'aun itu. 'Amr Ibn 'Aş meminta izin khali>fah 'Umar Ibn
Khaţţa>b untuk menyerang wilayah itu,
tapi Khalifah Umar Ibn Khaţţab
masih ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar di beberapa front
pertempuran. Akhirnya permintaan itu dikabulkan juga oleh khali>fah dengan pasukan 400 tentara ke
Mesir untuk membantu ekspansi tersebut. Tahun 18 H, pasukan muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya
tanpa perlawanan. Kemudian menundukkan Pelusium (al-Farama), pelabuhan di pantai Laut Tengah yang
merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu bulan kota itu dikepung oleh pasukan muslimin dan
dapat ditaklukkan tahun 19 H. satu demi satu kota-kota di Mesir ditaklukkan
oleh pasukan muslimin. Kota Babylon juga dapat ditundukkan pada tahun 20 H
setelah 7 bulan terkepung. Cyrus, pemimpin Romawi di Mesir mengajak damai
dengan pasukan muslimin pimpinan 'Amr setelah melihat kebesaran dan kesungguhan
pasukan muslimin untuk menguasai Mesir.[68]
(akhlaqul karimahnya –penulis-).
Iskandariah sebagai
ibu kota Mesir ketika
itu dikepung selama empat bulan sebelum ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Ubadah Ibn as-Samit yang
dikirimnya oleh khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b
sebagai bantuan pasukan yang sudah ada berada di front peperangan Mesir. Cyrus
menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin yang berisi:[69]
1).
Setiap warga negara diminta untuk membayar pajak perorangan sebanyak 2 dinar setiap tahun.
2). Gencatan senjata akan berlangsug selama 7
bulan.
3).
Bangsa Arab akan tinggal di markasnya selama gencatan senjata dan pasukan
Yunani tidak akan menyerang Iskandariah dan harus menjauhkan diri dari
permusuhan.
4.)
Umat Islam tidak akan menhancurkan gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri
urusan umat Kristen.
5).
Pasukan tetap Yunani harus meninggalkan Iskandariah dengan membawa harta benda
dan uang, mereka akan membayar pajak perseorangan selama satu tahun.
6). Umat Yahudi harus tetap tinggal di
Iskandariah.
7).
Umat Islam harusn menjaga 150 tentara Yunani dan 50 orang sebagai sandera
sampai batas waktu dari perjanjian ini dilaksanakan.
Dengan jatuhnya
Iskandariah maka sempurnalah penaklukan atas Mesir. Ibu kota
itu dipindahkan ke kota baru yang bernama Fusţaţ yang
dibangun oleh 'Amr Ibn Aş
tahun 20 H. Masjid 'Amr masih berdiri tegak di pinggiran kota Kairo hingga kini sebagai saksi sejarah
yang tidak dapat dihilangkan.[70]
Dengan Suriah
sebagai basis, gerak maju pasukan ke Armenia, Mesopotamia Utara. Geogria
dan Azerbaijan
menjadi terbuka. Demikian juga serangan-serangan kilat terhadap Asia kecil dilakukan selama bertahun-tahun setelah itu.
Seperti halnya Yarmuk yang menentukan nasib Suriah, perang Qadisiah tahun 637 M
menentukan masa depan Persia.
Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b
mengirim pasukan di bawah Sa'ad Ibn Abā
Waqqaş untuk mendudukkan
kota itu. Kemenangan yang diraih di daerah itu membuka jalan lempang bagi gerak
maju tentara Muslim ke daratan Euphrat dan Tigris.
Ibu kota Persia,
Ctesiphon (Madain) yang letaknya di tepi sungai Tigris pada tahun
itu juga direbut. Setelah dikepung 2 bulan, Yazdagrid III, Raja Persia
itu melarikan diri. Pasukan Islam kemudian mengepung Nahawan dan menundukkan
Ahwaz tahun 22 H. Tahun 641 M/22 H seluruh wilayah Persia sempurna bertekuk di bawah
Islam, sesudah pertempuran sengit di Nahawan. Isphahan juga ditaklukkan,
demikian pula Jurjan/Geogria dan Tabristan. Azarbaijan tidak luput dari
kepungan pasukan muslimin. Orang-orang
Persia yang
jumlahnya jauh lebih besar pada tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1 dikalahkan
dengan menderita kerugian besar.[71]
Kaum Muslimin menyebut sukses itu dengan "kemenangan dari segala kemenangan"
(Fath al-Futūh).
Begitu cepatnya
perebutan atas kekuatan yang strategies tersebut memberi prestise di mata
dunia. Suatu tenaga yang tidak diperkirakan seakan-akan digerakkan oleh
kekuatan gaib telah meluluh-lantakkan Kerajaan Persia dan Romawi. Tindakan-tindakan
militer yang dilakukan Khālid,
'Amr dan lainnya di Irak., Suriah dan Mesir termasuk yang paling gilang
gemilang dalam sejarah ilmu siasat perang dan tidak kalah jika dibandingkan
dengan Napoleon, Hanibal atau Iskandar Zulkarnain.[72]
b) Internal
Bersamaan dengan
keberhasilan ekspansi di atas, pusat kekuasan Islam di Madinah mengalami
perkembangan yang amat pesat. Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b
telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk
melayani tuntutan masyarakat baru yang terus berkembang. 'Umar Ibn
Khaţţa>b mendirikan dewan-dewan
(jawatan), bait al-Māl,
mencetak uang, membentuk kesatuan tentara untuk melindungi daerah tapal, batas, mengatur ngaji, mengangkat hakim,hakim
dan menyelanggarakan 'hisbah' (pengawasan pasar, mengontrol timbangan dan
takaran, menjaga tata tertib dan kesusilaan dan sebagainya).[73]
Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b
meletakkan prinsip-prinsip musyawarah dalam pemerintahannya dengan membangun
jaringan pemerintahan sipil yang paripurna.[74]
Kekuatan 'Umar Ibn Khaţţa>b
menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara. Kekhalifaan bagi 'Umar
Ibn Khaţţa>b tidak memberikan hak istimewa.
Tiada istana atau pakaian kebesaran, baik untuk 'Umar Ibn
Khaţţa>b maupun apalagi untuk
bawahannya, sehingga tidak ada perbedaann antara penguasa dan rakyat, dan
mereka setiap waktu dapat dihubungi oleh rakyat. Kehidupan khali>fah
'Umar Ibn Khaţţa>b memang merupakan penjelmaan
yang hidup dari prinsip-prinsip
musyawarah yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara.[75]
1).
Menetapkan hukum tentang masalah yang baru
'Umar Ibn Khaţţa>b dikenal bukan saja pandai
menciptakan peraturan-peraturan baru, dia juga memperbaiki dan mengkaji ulang
terhadap kebijaksanaan yang telah ada, jika itu diperlukan oleh panggilan zaman
demi tercapainya kemashlahatan uamat Islam. Misalnya mengenai kepemilikian
tanah-tanah yang diperoleh dari
peperangan (ganimah). Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b
membiarkan tanah digarap oleh pemiliknya sendiri di negeri taklukan dan
melarang kaum muslimin memilikinya karena mereka menerima uang tunjangan dari
bait al-Māl dan sebagai gantinya tanah itu dikenakan
pajak (al-Kharaj)[76] Begitu pula khali>fah 'Umar Ibn
Khaţţa>b meninjau kembali bagian-bagian
zakat yang diperuntukkan kepada muallaf .[77]
2).
Memperbaharui organisasi Negara[78]
a)) Organisasi politik terdiri:
1)) al-Khilafat,
Kepala Negara. Dalam memilih kepala Negara berlaku sistem baiat dan musyawarah.
Allah berfirman dalam Q.S. 'Ali> 'Imra>n/3 : 159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ
فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي
الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
Terjemahnya:
"Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya"..
2)) Al-Wizarat, sama dengan kementerian. Umar menunjuk Usman
sebagai pembantunya mengurus pemerintahan umum dan kesejahteraan rakyat,
sedangkan Ali untuk mengurus kehakiman,
surat-menyurat dan tawanan perang.
3)) Al-Kitabat,
Sekretaris Negara. Umar menunjuk Zaid Ibn Tsabit dan Abdullah Ibn Arqam.
b))
Administrasi Negara
1))
Departemen-Departemen
a))) Diwan
al-Jundiy, Badan pertahanan. Pada masa Rasul dan Abu Bakar, muslimin semuanya
prajurit. Ketika rasul atau Abu Bakar menyeru untuk berperang siaplah semua
mengikuti perintah Nabi. Kemudian ketika perang telah selesai kembalilah mereka
menjadi penduduk sipil setelah menerima ghanimah. Masa Umar keadaan telah
berubah, disusunlah satu badan yang mengurusi kemiliteran. Disusunlah angkatan
bersenjata khusus, asrama, latihan, militer, kepangkatan, gaji, persenjataan
,dll. Mulai juga angkatan laut oleh Muawiyah, Gubernur Syam dan oleh Ala Ibn
Hadharami, Gubernur Bahrain.
b))) Diwan
al-Kharaj, Departemen Keuangan. Yang mengurusi pemasukan dan pengeluaran
anggaran belanja Negara. Sumber keuangan Negara antara lain; al-Kharaj,
al-Usyur, Zakat,dll.
c))) Diwan al-Qadha,
Departemen Kehakiman. Umar mengangkat Hakim di setiap wilayahnya.
2))
Al-Imarah 'ala al-Buldan, Administrasi pemerintahan dalam negeri.
a))) Negara bagian
menjadi propinsi dipimpin oleh gubernur, Yaitu: Ahwaz dan Bahrain, Sijistan,
Makran dan Karman, Iraq, Syam Paletina, Mesir, Padang Sahara Libya.
b))) Al-Barid, Pos.
perhubungan kuda pos memakai kuda pos.
c))) Al-Syurthah,
Polisi dalam negeri.[79]
3))
Mengembangkan Ilmu
Kota-kota ekspansi
kaum muslimin diantara merupakan wilayah peradaban seperti Iskandariah, dll,
yang merupakan produk peradaban Yunani sehingga kaum muslimin juga mengambil
ilmu dari wilayah tersebut. Dan sebagai umpan balik ilmu tentang kesusasteraan
bahasa Arab dikembangkan karena wilayah-wilayah tersebut bukan negeri Arab sehingga
pengembangan ilmu bahasa Arab sebagai media mempelajari kitab Suci sekaligus
sebagai bahasa nasionalis.
4. Selamat Jalan Ami>rul Mu'mini>n
Khali>fah 'Umar Ibn Khaţţa>b
memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari. Kematiannya sangat tragis,
seorang budak bangsa Persia,
Feroz atau Abu> Lu'luah secara
tiba-tiba menyerang dengan tikaman pedang ke arah khali>fah yang akan mendirikan shalat
subuh yang telah ditunggu jamaahnya di masjid an-Nabawi. Khalifah yang terluka parah itu, dari
pembaringannya mengangkat "syura" (komisi pemilih) yang akan memilih
penerus tongkat kekhalifaannya. Khali>fah 'Umar Ibn
Khaţţa>b wafat tiga hari setelah
peristiwa penikaman atas dirinya, yakni pada 1 Muharram 23 H/644 M.[80]
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
- Abū Bakar al-Şiddīq bernama lengkap Abdullah Ibn Quhafa at-Taimi> dilahirkan pada tahun 573 M. (dua tahun setelah kelahiran Rasulullah) meninggal dunia, Senin, 23 Agustus 624 M/3 H. Beliau berusia 63 tahun dan kekhalifaannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari. Sedangkan 'Umar Ibn Khaţţa>b Ibn Nufail keturunan Abdul 'Uzza al-Quraisy dari suku 'Adi Ia dilahirkan di Mekkah empat tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw. (567 M) dan wafat 1 Muharram 23 H/644 M memerintah sebagai khalifah 10 tahun.
- Peranan Abū Bakar al-Şiddīq sebagai khali>fah diantaranya memerangi murtaddi>n, yang tidak bayar zakat, pengumpulan al-Qur`an melanjutkan dakwah ekpansi Rasul ke negeri-negeri lainnya. Sementara peranan 'Umar Ibn Khaţţa>b sebagai khalifah diantaranya pembentukan kemiliteran, bait al-Ma>l, dewan kehakiman dan luasnya ekpansi hingga ke Mesir.
- Implikasi
Kedua
tokoh dari kalangan sahabat ini memiliki karakter yang berbeda tapi saling
melengkapi ibarat dua sisi koin yang berbeda. Namun, perbedaan di antara mereka
berdua dilengkapi sikap toleransi, musyrawah dan saling menghargai sehingga keharmonisan
kedua mereka berdua semasa hidupnya dapat kita nikmati. Kedua tokoh itu pun
merupakan diantara sepuluh sahabat yang dijamin Nabi Muhammad saw., masuk surga
tapi keduanya tidak hanya mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya hanya ke
masjid melainkan untuk kemashlahan umat dan agama. Maka, penulis dapat
mengambil pelajaran bahwa kedua tokoh tersebut memiliki pola pikir keislaman
yang luas dan luwes, dalam artian agama tidak diartikan hanya sekedar ibadah di
masjid melainkan ada unsur muamalah dan interaksi social didalamnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Husain
Amin. Al-Mi'ah al-'Azham fi Tārikh al-Islām
diterj. Bahruddin
Fannani dengan judul Seratus
Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung:
Remaja
Rosdakarya, 1999)
Al-Akkad, Abbas Mahmud, Kecemerlangan Umar Ibn Khaţţab, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978)
Al-Bukha>ri>, Abu>
'Abdillah Abu> Husain. al-Ja>mi' al-S{ah}ih}, juz 1 (Kairo:
al-Maktabah
al-Salafiyah, 1980)
As-Suyuti,
Jalaluddin, Tarikh al-Khulafah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979)
Al-Tabariy,
Tārikh
at-Tabariy (Kairo:
Dār al-Ma'ārif, 1962)
Husain,
Muhammad Haekal, Abu BAkar As-Shiddiq, (Kairo: Dar al-Ma'arif, t.th)
Ibrahim, Hassan. Tārǐkh al-Islam as-Siyasiy wa al-Dǐn wa Śaqafi wa al-Ijma'I (Kairo:
Maktabah an-Nahdah al-Mishriyah,
1979)
Ibn Hisyam, Al-Sirat al-Nabawiyah li Ibn Hisyam,
(Kairo: Syirkah Maktabat
wamathba'ah Mushtafa, 1955)
Lewis Bernard, Bangsa Arab Dalam
Lintasan Sejarah, (Jakarta: Pedoman Ilmu,
1988)
Mahmudunnasir,
Islam: Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung:
Roasda Karya, 1991)
Majīd, Mun'im, Tārikh al-Hadārat al-Islamiyat (Kairo: Angelo, 1965)
Mufrodi,
Ali, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997)
Muhammad,
Khalid Khalid, Khulafa' ar-Rasul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988)
Murad, Musthafa, Umar ibn al-Khattab, terj.
Ahmad Ginanjar Sya’ban dan Lulu
M.Sunman, Kisah Hidup Umar Bin Khattab (Jakarta:
Zaman, 2009)
Said,
Amin, Nasy'at al-Daulat al-Islamiyah, (Kairo: Isa al-Halabi, t.th)
Suranto,
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta:
Prenada Media, 2003)
Syalabi,
Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta:
Jayamurni, t.th).
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo, 1994).
[1]Muhammad
Husain Haekal, Abu Bakar As-Shiddiq (Kairo: Dar al-Ma'arif, t.th), h.
27.
[2]Hassan Ibra>hi>m, Tārǐkh al-Isla>m
as-Siya>si> wa al-Dǐ>n wa Śaqafi> wa al-Ijma>'I (Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Mis}riyah, 1979), h. 205.
[3]Husain
Ahmad Ami>n, Al-Mi'ah al-'Az}am fi Tāri>kh al-Islām
diterj. Bahruddin Fannani dengan judul Seratus Tokoh
dalam Sejarah Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), h. 7.
[4]Abu> 'Abdillah Abu> Husain al-Bukha>ri>, al-Ja>mi'
al-S{ah}ih}, juz 1 (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1980), h. 167.
[5]Terjemah
oleh penulis.
[6]Ali
Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), h. 47.
[7]Husain
Ahmad Amin, op.cit., h. 7.
[8]Ibn
Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hisyam (Kairo: Syirkah Maktabat wa
Mathba'ah Mushtafa, 1955), h. 652.
[9]Terjemah
oleh penulis.
[10]Ibn
Hisya>m, op.cit., h. 653.
[11]Terjemah
oleh penulis.
[12]Al-Bukha>ri>,
op.cit., juz 1, h. 221.
[13]Terjemah
oleh penulis.
[14]Husain
Ahmad Amin, op.cit., h. 8.
[15]Ibn
Hisya>m, op.cit., h. 655.
[16]Terjemah oleh penulis.
[17]Ibn
Hisyam, op.cit., h. 656.
[18]Terjemah
oleh penulis.
[19]Ibn
Hisyam, op.cit., h. 656.
[20]Terjemah
oleh penulis.
[21]Ibn
Hisyam, op.cit., h. 657.
[22]Terjemah
oleh penulis.
[23]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Grafindo, 1994), h. 35.
[24]Ibn
Hisyam, op.cit., h. 658.
[25]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Grafindo, 1994), h. 35.
[26]Ibn
Hisyam, op.cit., h. 658.
[27]Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Grafindo, 1994), h. 35.
[28]Hassan,
op.cit., h. 134.
[30]Terjemah
oleh penulis.
[31]Ibn
Hisya>m, op.cit., h. 660.
[32]Ibn
Hisyam, op.cit., h. 661.
[33]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 48.
[34]Badri
Yatim, op.cit., h. 36.
[35]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 48.
[36]Bernard
Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: Pedoman Ilmu, 1988),
h. 39.
[37]Badri
Yatim, loc.cit.,.
[38]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 49.
[39]Amin
Said, Nasy'at al-Daulat al-Islamiyah (Kairo: Isa al-Halabi, t.th), h.
210-211.
[40]Syed
Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Roasda Karya, 1991), h. 163.
[41]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 49.
[42]Departemen Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahnya (Mekkah: Mujamma'
al-Malik Fahd li Tiba'āt
al-Mus}h}af al-Syarīf,
t.th), h. 297-298.
[43]Ahmad
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam
(Jakarta:
Jayamurni, t.th), h. 232.
[44]Ibn
Atsir, sebagaiman dalalm Ali Mufrodi, h.
49.
[45]Jalaluddin
As-Suyuti, Tarikh al-Khulafah (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 67.
[46]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 50.
[47]Badri
Yatim, loc.cit.,.
[48]Ahmad
Syalabi, op. cit., h. 234.
[49]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 5.
[50]Syed
Mahmudunnasir, op.cit., h. 168.
[51]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 52.
[52]Mustafa
Murad, 'Umar Ibn al-Khattab,
terj. Ahmad Ginanjar Syaban dan Lulu
M.Sunman, Kisah Hidup Umar Bin Khattab Jakarta: Zaman, 2009),
h.15
[53]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 52.
[54]Khalid
Muhammad Khalid, Khulafa' ar-Rasul (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 136.
[55]Musyrifah
Suranto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta:
Prenada Media 2003), h. 21.
[57]Terjemah oleh penulis.
[58]Asma
Abu Bakar Muhammad, Syakhsyiyyah Umar Ibn Khaththab (Beirut: Dar
al-Kutub al-'Ilmiah, 1992), h.41
[60]Terjemah oleh penulis.
[61]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 53.
[63]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 53.
[64]Hassan,
op.cit., h. 37-38.
[66]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 54.
[67]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 54.
[69]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 55.
[71]Hassan,
op.cit., h. 45-53
[72]Hitti,
Dunia Arab, Usuluddin Hutangaldi
(pentj.) (Bandung:
Media Press, t.th), h. 59.
[73]Syalabi,
op.cit., h. 263.
[74]Syed
Mahmudunnasir, op.cit., h. 184.
[75]Ali
Mufrodi, op.cit., h. 57.
[77]Mas'udi,
h. 154-155
[78]Musyrifah
Susanto, op.cit., h. 26-30.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....