(Riwayat Hidup,
Teori Emanasi, Filsafat Jiwa, Filsafat Kenabian dan Teori Politik al-Madhinah
al-Fadhillah)
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pembicaraan
tentang filsafat Islam tidak biasa terlepas dari filsaat secara umum. Berfikir
filsafat merupakan hasil usaha manusia yang saling berkesinambungan diseluruh
jagad raya ini. Akan tetapi, dalam berfikir filsafat dalam rti berfikir bebas
dan mendalam radikal yang tidak dipengaruhi oleh dokmatis dan tradisi, disponsori
oleh filosof-filosof Yunani.
Aristoteles
adalah salah satu filosof dan ilmu besar didunia dimasa lampau.dia dilahirkan
diota Stagira, Macedonia, pada tahun 384 M. Dia menelopori penyelidikan
mengenai logika, memperkaya hampir setiap cabang filsafat dan memberi sejumlah
besar sumbangan terhadap ilmu pengetahuan.[1]
Buah pikiran banyak membawa pengaruh
pada filosof Islam dan berabad abad lamanya menguasai cara berpikir
Barat.
Dalam
abad 1X Morang orang arab mengenal baik sejumlah besar warisan ilmu alam,
maupun filsafat alam yunani kuno dan roma kuno. Mereka sangat gemar Akan
filsafat Aristoteles dan pengaruh abadi Aristoteles dalam masalah masalah ilmu
Alam dan logika.
Pada masa pemerintahan Bani
Umayyah, pengaruh kebudayaan yunani dalam dunia Islam belum nampak jelas
walaupun orang orang yang duduk di pemerintahan pusat tidak lagi di dominasi
oleh kalangan bangsa Arab, melainkan juga terdapat orang Persia yang banyak berkecinambungan dengan budaya yunani.
Penerjemahan karya karya
filsafat dari berbagai bahasa kebahasa Arab baru mendapat perhatian yang begitu
besar oleh Dinasti Abbasiyyah.Usaha tersebut dilakukan pertama kali oleh Al-Mansub
dan diteruskan oleh anak cucunya. Sejumlah besar karya logika yunani yang
diarabkan disambut dengan penuh gairah negeri berbaasa arab karena beberapa
alasan. Pertama, penerjemahan kajian-kajian logika dalam bahasa Arab membuat
bahasa ini bias dipakai untuk perbedaan rasional dengan orang-orang non muslm
dalam rangka mengajak mereka menganut islam. Kedua, penggunaan bahasa Arab
sesuai dangan peroyek penerjemahan berbagai manuskrip ilmiah karena logika
dapat menyusun cara berfikir dan ilmu-ilmu alam dengan menyusun penomena alam
secara sistematis.[2]
Filsafat klasik Islam bukan
sekedar filsafat Yunani yang diberi baju Islam. filsafat yunani.mengalami
pengembangan atau Islamisi ditangan para filsuf muslim. Jadi filsafat Islam
merupakan bagian dari berbagai implikasi peralanan (sejarah) Islam itu sendiri.
Akan tetapi, apabila dilihat
dari sejarah peradaban umat Islam, filsafat dalam dunia Islam merupakan gejala
dari perkembangan keilmuan dalam masyarakat Islam itu sendiri. Pengetahuan
mengenai metafisika, Tuhan, Jiwa dan manusia
yang pada mulanya diterima begitu saja, kemudian diperluas dan
dikembangkan dengan memadukan kebenaran wahyu dan akal. berdasarkan realitas tersebut,
maka bermunculan para filosof Islam Arab khususnya dan negeri-negeri Islam pada
umumnya, di antaranya al-kindi, al-farabi, Ibnu Sina dan pemikir Islam lainnya.
Di sini mengemukakan emanasi
ini tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi
Al-Kindi. Allah bukan bukan hanya dinegasikan dalam artian ‘aniah dan mahiah,[3]
tetapi juga lebih jauh lagi. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin
berhubungan dengan yang tidak esa atau yang banyak. Andaikan alam diciptakan
secara langsung oleh Allah, maka mengakibatkan ia berhubungan dengan yang tidak
sempurna dan ini akan menodai keesaannya. Oleh sebaba itu, dari hanya Allah
timbul satu, yakni akal pertama. Akal pertama ini mengandung arti banyak, bukan
banyak jumlah, tetapi merupakan sebab dari pluralitas. Dari itu akal pertama
berfungsi sebagai mediator antara yang Esa dan yang banyak sehingga dapat
dihindarkan hubungan langsung antara yang Esa dan yang banyak.
Jika Aristoteles, peletak dasar
ilmu logika, dikenal sebagai ‘Guru pertama’ (al-Muallim al-Awwal), maka al-farabi
dalam dunia intelektual Islam dinilai sebagai’ Guru Kedua’(al-Muallim al-Tsani).
Gelar ini diberikan kepadanya, terutama karena perhatiannya yang sangat besar
terhadap logika, serta pemahaman dan komentar-komentarnya yang sangat baik atas
kitab-kitab Aristoteles.[4]
Al-Farabi
merupakan Filsuf terkemuka pada zamannya. AL-Farabi selalu berpindah tempat
dari waktu ke waktu. Dimasa kecil ia dikenal rajin belajar dan memiliki otak
yang cerdas. Setelah besar beliau berpindah dari farab ke bagdad. Disana ia
memperdalam filsafat, logika, matematika, etika ilmu politik, musik dan lain
sebaainya. Diantara karangannya:
1.Magala fi
aghradhi ma ba’da al-tabiah. Buku ini menjelaskan tujuan dan metafisika
Aristoteles.
2. Ihsha u
al-ulum (statistik ilmu)
3. Aljam’u
baina ra’yai al-hakimain (mempertemukan pendapat kedua filosof)
4. Ara-u
ahl-il madinah al fadlillah (pikiran –pikiran warga Negara kota utama)
5. Uyun
al-masail (pokok-pokok persoalan)
6. Tahsil
as- sa’adah (mencari kebahagian)
Dalam
makalah ini penulis akan menguraikan Tentang riwayat hidup al-Farabi, pemikirannya
tentang emanasi (al-faydh), filsafat
al-Nafs, filsafat kenabian dan teori politik
(al-Madinah al- fadillah).
B. Rumusan Masalah
Adapun
pokok persoalan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana Riwayat
hidup al-farabi?
2. Teori Emanasi?
3. Filsafat Jiwa?
4. Filsafat Kenabian?
5. Teori Politik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup ALfarabi
Nama
lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan bin Auzalgh
al Farabi.[5]
Sebutan AL-Farabi ia dilahirkan di wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun
257 H/870 M. Ayahnya seorang jenderal berkebangsan Turki.Oleh sebab itu,
terkadang ia dikatakan keturunan Persia dan terkadang disebut keturunan Turki
dan diambil dari kota kelahiran beliau,
Farab yang juga disebut kampung urtar, dahulu masuk daerah Iran, akan tetapi
sekarang menjadi bagian dari Republik Uzbekistan.[6]
Dunia Barat mengenal namanya sebagai Alpharabius, dan juga dengan nama
Avennaser.[7]
Kendati
ia dipandang sebagai bintang terkemuka dikalangan filsuf muslim, informasi
tentang dirinya sangat terbatas. Umumnya para penulis menyatakan bahwa al-Farabi
keturunan Turki (Ayah ibunya orang turki). Tapi Ibnu Ushaibiah menyebutkan
bahwa ayah al-Farabi yang seorang jenderal adalah Persia.[8]
Karena itu berbeda dengan al-Kindi, al-Farabi bukanlah keturunan Arab,
melainkan campuran Persia Turki.
Para
sejarawan mengidentifikasikan bahwa masuknya Islam keluarga al-Farabi
diperkirakan pada masa kakeknya, Tarkhan. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan
dengan terjadinya peristiwa penaklukkan dan Islamisasi atas farab oleh dinasti
Samaniah pada tahun 839-840 M.[9]
Pendidikan
dasarnya adalah keagamaan dan bahasa. Dia mempelajari fikih, Hadis dan Tafsir
Alquran. Dia mempelajari Bahasa Arab, Bahasa Turki dan Persia. Setelah besar
al-Farabi pindah ke Bagdad dan tinggal disana sekitar 20 tahun lamanya. Disini
ia memuaskan perhatiannya kepada ilmu logika dan beliau belajar antara lain
pada Abu Bisyr bin Mattius. Nampaknya pada waktu pertama datang di Bagdad hanya
sedikit saja Bahasa Arab yang telah dikuasainya. Ia sendiri mengatakan bahwa ia
belajar antara lain pada Abu Bakar al-Saraj sebagai imbalan pelajaran logika
yang diberikan oleh al-Farabi kepadanya.[10]
Sesudah
itu ia pindah ke Harran (Iran), salah satu pusat kebudayaan yunani di Asia
kecil, untuk berguru logika yunani kepada seorang sarjana keristen, Yuhanna bin
Hailan.[11]
Tidak lama kemudian, al-Farabi meninggalkan Harran kembali ke Bagdad.
Selama
di Bagdad ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan menulis. Al-Farabi
mengarang sejumlah buku tentang logika, Fisik, Ilmu jiwa, metafisika, kimia ilmu politik, musik dan
lain-lain. Tetapi kebanyakan karyanya yang ditulis dalam Bahasa Arab telah
hilang dari peredaran. Sekarang diperkirakan hanya tersisa sekitar 30 buah
saja.[12]
Tidak diketahui apakah al-Farabi sudah mengalami perkembangan pesat dalam
studinya di Farab, tetapi tidak diragukan bahwa di Bagdad dia memperoleh
kematangan maksimal.
Al-Farabi meninggalkan Bagdad
untuk selamanya setelah jenderal Tuzun dari Dailam memasuki Bagdad dan membunuh
khalifah Muttaqi pada tahun 940 M.[13]
Ia bermukim sebentar di Damaskus hingga pada tahun 330H/942M. dan kemudian
beliau pindah ke Halab (Aleppo) karena mendapat undangan dari pemerintah
Dinasti Hamdani yang berkuasa ketika itu, yakni Saifuddaulah. Al-Farabi hidup
sangat sederhana kendati Amir Saifuddaulah sangat baik kepadanya dan mau
menjamin biaya hidupnya dengan uang yang berlimpah.
Dia
mengajar di Aleppo dan berkat permohonannya, murid-muridnya menerima bantuan
beasiswa dari sultan.[14]
Persahabatannya dengan Amir Saifuddaulah demikian baik sehingga ia ikut
mendampingi Amir itu dalam perjalanan ke damaskus pada tahun 950M. Di Damaskus
itulah al-Farabi kemudian wafat dalam usia 80 tahun dan dikuburkan di sana.[15]
Konon ia pernah juga ke Mesir, yang menurut satu impormasi dilakukannya sebelum
ia pergi ke Aleppo. Tetapi menurut impormasi lain dilakukannya lebih kurang
satu tahun sebelum wafat.[16]
Al-Farabi
memahami lima bahasa dan mempelajari filsafat, kedokteran, matematika, kimia
dan musik. Dia adalah pemain kecapi istimewa.[17]
Menurut impormasi Ibnu Khallikan beliau menguasai 70 bahasa. Boleh jadi
impormasi itu terlalu berlebihan.[18]
Ini hanya sekedar menunjukan bahwa bakat bahasanya sangat menonjol.
Al-Farabi
memperlihatkan dirinya sebagai muslim yang teguh memegang agama, penerus Plato
dalam bidang logika, dan fisika dan sebagai pengikut Plotinus dalam bidang
metafisika. Beliau dikenal sebagai eksponen Filsafat Neoplatonisme muslim yang
dimulai oleh Al- kindi dan dilanjutkan oleh Ibnu Sina. Al-farabi boleh
dikatakan sebagai ensiklopedi hidup. George Sarton, seperti yang dikutip oleh
Jamil Ahmad mengatakan bahwa Al-Farabi mengenal segenap pemikiran ilmiah pada
zamannya.[19]
Ibnu
sina pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles empat kali, tetapi
belum juga mengerti maksudnya. Setelah ia membaca karangan Al-Farabi yang berjudul
Maqala fi Aqhradhi maba’da al-Tabi’ah (inti sari buku metafisika), baru ia
mengerti apa yang selama ini sukar.[20]
Brdasarkan
realitas perjalanan hidup beliau maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
beliau adalah sang intelektual pada zamannya. Beliau memiliki sifat zuhud namun
sangat produktif dalam berfikir. Beliau merupakan sosok yang cukup
menginspirasi beberapa kalangan sesudahnya.
B.Pemikiran al arab
1.Filsfat Emansi( )
Emansi
berasal dari bahasa inggris: emanation; dari latin e (dari) dan manare
(mengalir). Emansi adalah doktrin mengenai terjadinya dunia. Dunia terjadi
karena dan oleh proses dimana yang ilahi meleleh.[21]
Teori
ini diperkenalkan oleh plotenus (205-270M), Filosuf yunani. Karena filsafatnya
merupakan pengembang dari filsafat plato. Dalam ajaran plotinus, dari yang esa
memancar akal. Selanjutnya, dari akal memancar jiwa dunia dan dari jiwa dunia
memancar materi dunia.
Di
dunia islam, ajaran emansi ini pertama kali dibawa oleh al-Farabi. Tuhan
diyakini sebagai maha esa, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti
banyak, maha sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Karena itu yang keluar
daarinya juga satu wujud saja, sebab emansi itu timbul karena Ilmu Tuhan
terhadap zatnya yang satu. Seandainya yang keluar dari zat tuhan itu banyak,
berarti zat tuhan itu banyak.[22]
Proses
emanasi yang dimaksudkan al-Farabi adalah bahwa Tuhan sebagai ”akal” Berpikir
tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul wujud lain, yaitu akal pertama
yang sekaligus merupakan wujud kedua karena wujud pertama adalah tuhan itu
sendiri. Seterusnya akal pertama atau wujud kedua ini bertapakkur (berfikir)
tentang tuhan sehingga dari pemikiran itu memancar akal kedua sekaligus wujud
ketiga. Selain bertafakkur tentang tuhan, akal prtama ini juga bertafakkur
tentang dirinya sehingga timbul langit pertama Proses berjalan secara
berturut-turut lalu terciptalah akal ketiga sampai seterusnya akal X (kesepuluh).[23]
Mengapa
jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh? Karena jumlah benda-benda angkasa
menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian al farabi menambah dua lagi yaitu benda
langit yang terjauh (al-falak al-agsha) dan bintang-bintang tetap (al-kawakib
al-tsabitah), yang diambil dari Ptolemy (Caldius Plotemaus)seorang ahli
astronomi dan ahli bumi Mesir. Orang yunani kuno berpendapat bahwa segala yang
bercorak langit suci, dan segala yang bercorak bumi tidak suci. Ajaran Islam menerangkan
bahwa langit merupakan sumber wahyu dan tujuan akhir mikraj. Disini Al- farabi
menyesuaikan ajaran agama dan filsafat.
Untuk
memahami pemahaman tentang fungsi masing-masing akal, maka dilihat.melalui
bagian berikut ini:
Tuhan (akal murni),
Memikirkan dirinya : akal pertama
Akal 1, memikirkan
tuhan : akal kedua
Memikirkan dirinya : langit pertama
Akal 11,memikirkan tuhan : akal III
Memikirkan
dirinya : lingkaran langit 11
(bintang-bintang)
Akal 111,memikirkan tuhan : akal 1V.
Memikirkan
dirinya : lingkaran langit 111
(Saturnus)
Akal 1V, memikirkan tuhan : akal V
Memikirkan
dirinya : lingkaran langit 1V
(Yupiter)
Akal V, memikirkan tuhan : akal V1
Memikirkan
dirinya : lingkaran langit V (Mars)
Akal V1, memikirkan tuhan : akal V11
Memikirkan
dirinya : lingkaran langit V1 (Matahari)
Akal V11, memikirkan tuhan : akal V111
Memikirkan
dirinya : lingkaran langit V11(Venus)
Akal V111, memikirkan tuhan : akal 1X
Memikirkan
dirinya : lingkaran langit
V111(Merkurius)
Akal 1X, memikirkan tuhan : akal X
Memikirkan
dirinya : lingkaran langit 1X(Bulan)
Akal X, memikirkan tuhan dan dirinya memancarkan
Bumi dan jiwa-jiwa yang berada di lingkungan bumi.
Akal 1-X disebut juga al-asyya al-mufarrigah
(Sesuatu yang terpisah dari materi atau sesuatu yang immaterial/rohani, yang
pada hakekatnya adalah akal-akal dan sekaligus objek-objek pemikiran). Bagi
al-farabi, para malaikat itu tidak lain dari akal yang sepuluh itu, sedangkan
akal X disebutnya juga akal aktif adalah jibril.[24]
2. Filsafat jiwa
Jiwa
merupakan akhir alam akal menjadi permulaan makhluk-makhluk yang terdapat dalam
alam indrawi. Karena itu, ia mempunyai pertalian dengan kedua alam tersebut.
Plotinus menganggap setiap kekuatan yang bekerja dalam alam ini adalah
jiwa-jiwa menjadi kekuatan pengatur pada bagiannya yang terendah (alam materi)
karena ia adalah kekuatan kontemplasi dan perenungan pada bagiannya yang
tertinggi (alam rohani).[25]
Al-farabi
tampil sebagai salah satu filosof Islam yang banyak membincangkan tentang jiwa.
Al-farabi menerangkan setiap spesies tumbuhnya memiliki jiwa. demikian pula binatang dan manusia. Jiwa manusia
memiliki potensi yang dapat mengaktual menjadi daya-daya mewujudkan perbuatan-perbuatan
melalui alat-alat tubuh, seperti yang dimiliki jiwa tumbuhan dan binatang dan
mempunyai kelebihan dari jiwa binatang dan tumbuhan yaitu memiliki potensi yang
dapat mengaktual menjadi daya untuk berbuat, tapi tidak dengan alat tubuh.dan
itulah potensi akal.[26]
Jiwa
sebagai salah satu unsur penting dalam diri manusia, mempunyai banyak daya dan
potensi yang berbeda-beda:
a. Daya gerak :
Daya makan, memelihara, mengembangkan jenis.
b. Daya mengetahui :Daya
merasa dan bermajinasi.
c. Daya berfikir :
Akal peraktis dan akal teoritis.
Daya
berfikir yang terdapat pada jiwa, erat kaitannya dengan eksistensi akal bagi
manusia. Secara teoritis akal dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:
a. Akal potensial, mempunyai potensi berfikir
dalam arti melepaskan bentuk-bentuk dari materinya.
b. Akal actual, yang telah dapat melepaskan arti-arti
dari materinya dan arti-arti yang dimaksud telah mempunyai wujud dalam akal dengan
sebenarnya,bukan lagi dalam bentuk potensi tetapi bentuk actual.
c. Akal mustafad,akal yang telah terlatih sehingga
mampu mengetahui. Dan mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan akal
X.[27]
Bila akal potensial telah ada
secara actual pada jiwa seseorang. Maka berarti ia sudah memiliki kesempurnaan
tingkat pertama sebagai manusia. Kesempurnaan tingkat kedua atau tertinggi
tercapai bila jiwanya memperoleh akal mustafad.siapa yang berkeinginan
mengaktualkan akal mustafad pada jiwanya, haruslah lebih dahulu berupaya keras
menjalani hidup zuhud dan berupaya keras menguasai sebanyak mungkin
bentuk-bentuk atau arti-arti yang dilepaskan dari materi (ide-ide yang bersifat
keilmuan). Bila ini tercapai maka berarti jiwanya sudah berada dalam taraf siap
menerima bentuk-bentuk murni (ide-ide yang bersifat keilmuan) atau akal
mustafad yang dilimpahkan oleh akal aktif. Mereka yang memperoleh akal mustafad
itu disebut dengan filsuf
3. Filsafat kenabian
Pada masa-masa pertama islam
kaum muslimin mempercayai sepenuhnya apa yang datang dari tuhan, tanpa
membahasnya atau mencari-cari alasannya. Namun keadaan ini tidak lama kemudian
dikeruhkan oleh berbagai keraguan, setelah golongan-golongan luar islam dapat
memasukkan fikirannya dikalangan kaum muslimin, seperti golongan Mazdak dan
manu dari iran, golongan sumniah dari agama Mrahma, orang-orang yahudi dan
masehi sebagainya. Sejak saat itu, setiap dasar-dasar agama islam dibahas dan
dikeritik.dalam menghadapi mereka, orang-orang muktazilah telah memberikan
bagian yang suka dicari bandingannya.Dalam hubungannya ini, serangan Ibnu
Rawandi (W.111H) dan Abu Bakar Al-Razi (W. 250H) terhaap kenabian perlu
dicatat.[28]
Argument Al-farbi tentang
adanya nabi dan rasul adalah kenyataan bahwa pada akal dan potensi-potensi jiwa
manusia, terhadap perbedaan keunggulan dalam aktualitas. Dengan demikian tidak
mustahil bahwa pada umat manusia terdapat seseorang yang hatinya mampu menerima
wahyu, sedangkan orang lain tidak sanggup. Dan dengan keunggulannya itu ia memikul
tugas untuk menyampaikan ajaran tuhan yang diwahyukan kepadanya.
Al-farabi menyatakan bahwa
kenabian itu suatu yang diperoleh manusia utama, yang disebut nabi, bukan
melalui upaya mereka. Nabi adalah manusia yang memiliki daya imajinasi
(menerima impormasi mengolahnya kemudian menyampaikan kepada daya pikir) yang
luar biasa kemampuannya meskipun tetap menjalankan fungsinya yang lazim, daya
luar biasa itu masih memiliki banyak daya untuk berhubungan dengan akal aktif.
Al-farabi menyatakan bahwa tidak mustahil bagi seseorang (nabi) bila daya
imajinasinya mencapai puncak kesempurnaan aktualitas. Untuk menerima di kala
sadar (bukan tidur) dari akal aktif, ide-ide tentang peristiwa-peristiwa yang
terjadi sekarang atau pada masa mendatang, dan menerima ide-ide tentang
wujud-wujud immateri dan wujud mulia lainnya, serta melihatnya, dan jadilah
ide-ide yang diterimanya sebagai nubuat (berita ilahi) tentang hal-hal yang
bersifat ilahi. Al-farabi juga menyatakan bahwa nabi memiliki jiwa dengan daya
yang kudus (suci) sehingga kepada jiwanya yang kudus itu tunduk daya alam makro
seperti tunduknya daya alam mikro (raga seseorang) kepada jiwanya. Dengan daya
yang kudus itu, jiwa nabi dapat melakukan peristiwa luar biasa atau mukjizat.
Dengan mengajukan materi
tentang nabi dan filsuf yang sama-sama berkomunikasi dngan akal aktif, dapat
dipahami bahwa al-farabi telah menunjukkan bahwa sumber ajaran agama yang dibawa
nabi dan sumber filsafat yang dihasilkan filsuf adalah sama (akal aktif),
karena itu kebenaran keduanya pastilah tidak bertentangan. Dengan menyatakan
bahwa nabi memiliki jiwa dengan daya kudus (kendati dengan daya imajinasi)
sehingga tidak perlu berlatih atau berupaya keras untuk menguasai ide-ide yang
bersifat keilmuan (seperti yang dilakukan calon filsuf) ia juga menunjukkan
keistimewaan dan kelebihan nabidaripada filsuf.
4. Teori Politik al-Madinah al-Fadilla
Al-Farabi lebih berhasil dalam teori
sosialnya, dimana dia menggabungkan wawasan menarik Plato dengan persyaratan
Islam. Seperti Plato, Al-farabi juga mengatakan bahwa bagian-bagian suatu
negeri sangat erat hubungannya satu sama lain dan saling bekerja sama, laksana
anggota badan dimana apabila salah satu menderita maka lain-lainnya anggota pun
ikut merasakan pula. Al-farabi merasa bahwa persaudaraan Islam menghendaki agar
warga menjadi seperti anggota tubuh organic, agar pekerjaan sesuai dengan
kecakapan sedangkan imbalan sesuai dengan prestasi.
Ia juga menghindari apa yang
bertentangan dengannya. Dia menghindari kemuni Plato mengenai suami istri
menyadari bahwa pandangan seperti itu akan menimbulkan kutukan kaum muslimin
terhadap dirinya.[29]
Walaupun demikian, ada juga
beberapa contoh tulisannya meunjukkan bahwa dia mengenal pemikiran aristoteles.
Al-farabi berpendapat bahwa “alamiah” bagi manusia untuk hidup berdampingan
dengan orang lain. Alasannya, menurut
istilah aristoteles, manusia adalah “Binatang Berpolitik”.[30]
Bahasan tentang politik tidak
bisa lepas dan teorinya tentang jiwa manusia karena politik itu haruslah
bertujuan terwujudnya jiwa-jiwa yang utama, yang berbahagia baik dalam
kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang.
Dalam tulisannya tentang
politik al-farabi menjelaskan bahwamanusia adalah makhluk social, tidak bias
hidup sendiri-sendiri. Manusia butuh hidup bermasyarakat dan perlu bekerja sama
untuk mencapai kebahagian itu disebut masyarakat utama.
“Kesempurnaan manusia”, tilis
al-farabi dalam mabadi para Ahl Al-Madhinah sebagaimana yang dikutib oleh majid
pakhry, sesuai watak oleh alamiah manusia itu sendiri, tidak akan tercapai tanpa
berhubungan dengan manusia-manusia yang lain. Kerja sama itu mempunyai tiga
bentuk yaitu kerja sama antar penduduk dunia pada umumnya, kerja sama antar
kemunitas (ummah), kerja sama antar sesama penduduk kota.
Menurut al-farabi, “kota”
adalah tempat yang terbaik bagi manusia untuk mencapai kesempurnaannya. Kota di
dalamnya kebahagian menjadi mudah dicapai karena usaha kooperatif para
penduduknya, tak lain adalah “kota utama” yang dicanangkan oleh Al-farabi.
Selain “kota utama” ini, yang ada hanya “lawan-lawannya”.[31]
Masyarakat kota sebagai,
sebagai satu masyarakat sempurnah dapat diibaratkan seperti satu tubuh manusia
dengan anggota-anggota yang lengkap kepala masyarakat menjadi sumber peraturan
dan keserasian hidup dalam masyarakat. Ia haruslah bertubuh sehat, kuat,
berani, pintar, serta cinta kepada pengetahuan dan keadilan.
Yang paling ideal sebagai
kepala adalah orang yang mampu berkomunikasi dengan akal aktif. Itulah nabiatau
filsuf. Orang demikianlah mampu menadi
pengajar dan pendidik tehadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Bila tidak
ada orang yang paling ideal itu, maka tugas pimpinan diserahkan kepada
seseorang yang memiliki sifat-sifat yang dimiliki kepada masyarakat ideal. Jika
sifat-sifat itu tidak lengkap tekecuali terdapat pada beberapa orang maka
mereka secara bersama haruslah bersatu sebagai kepala masyarakat. Masyarakat
kota utama yang dipimpin oleh oleh nabi dan filsuf, daklam pandangan al-farabi,
menyerupai segenap alam semesta yang dipinpin dan diatur oleh Tuhan yang maha
sempurna.[32]
Al-farabi mnembedakan Negara
menadi 5 macam :
a. Negara utama, yaitu
Negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurut al-farabi, Negara
terbaik adalah Negara yang dipimpin oleh rasul dan kemudian oleh para filsuf.
b. Negara orang-orang
bodoh, yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
c. Negara orang-orang
fasik, yakni negara penduduknya mengenal kebahagia, Tuhan dan akal fa’al
seperti prenduduk utama, akan tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk Negeri yang bodoh.
d. Negara yang
berubah-rubah, ialah penduduknya semula mempunyai pikiran dan pendapat seperti
yang dimiliki negara utama, tetapi
mengalami kerusakan.
e. Negara sesat, yaitu negara
penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal
fa’al, tetapi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan
kemudian menipu orang banyak kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan
perbuatannya.[33]
6. Akal
Telah
disebutkan bahwa akal menurut Al-Farabi, ada tiga jenis. Pertama, Allah sebagai
akal; kedua, akal-akal dalam filsafat emanasi: satu sampai sepuluh; dan ketiga,
akal yang terdapat pada diri mausia. Akal jenis pertama dan kedua tidak
berfisik (imateri/rohani) dan tidak menempati fisik, namun diantara keduanya
terdapat perbedaan yang sangat tajam. Allah sebagai akal adalah pencipta dan
Esa semutlak-mutlaknya, maha sempurna dan tidak mengandung pluralitas. Sebagai
zat yang Esa, maka objek ta’aqqul
Allah hanya satu, yakni zatnya. Jika diandaikan objek ta’aqqul Allah lebih dari satu, maka pada diri Allah terjadi
pluralitas. Hal ini bertentangan dengan perinsip tauhid. Demikian juga Allah
maha sempurna tidak berhubungan dengan selain dirinya. Jika dikatakan Allah
berhubungan selain dirinya, berarti dia berhubungan dengan yang tidak
sempurna.al ini juga merusak citra tauhid. Atas dasar inila Al-Farabi
menelaskan bahwa materi asal diciptakan Allah dan sesuatu yang sudah ada dan diciptakan secara emanasi seak azali,
karena sifat khalik Allah ada sejak wujud (bukan berarti Allah didahului dari
tiada) dan semenak itu pula ia langsung mencpta.
Adapun
jenis akal kedua, yakni akal-akal pada filsafat emanasi, akal pertama esa pada
zatnya, tetapi dalam dirinya mengandung keanekaan potensial. Ia diciptakan oleh
Allah sebagai Akal, maka objek ta’aqqul-nya
(jua akal-akal lainnya) tidaklah lagi satu,tetapi sudah dua: Allah sebagai wajib al-wujud dan dirinya sebagai mukmin al-wujud. Talah ditemukan ada sepuluh akal dan sembilan pelanet,
masing-masing akal mengurus satu planet. Akal sepuluh (akal faal), disamping
melimpahkan kebenaran kepada para nabi dan filosof, juga berfungsi mengurusi
bumi dan segala isinya. Juga telah disebutkan bahwa pendapat Al-Farabi tentang
sembilan planet terpengaruh oleh pendapat astronomi yunani saat itu yang
mengatakan sembilan planet.[34]
Akal ketiga ialah akal sebagai daya
berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal jenis ini juga tidak berfisik,
tetapi bertemopat pada materi.akal ini bertingkat-tingkat, yang terdiri dari
akal potensial, akal aktual, dan akal mutafad. Akal yang tersebut terakhir ini
yang dimiliki para filosof yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah
kealam materi melalui akal kesepuluh (akal faal).
Demikian
uraian tentang Al-Farabi, kendati ia terpengaruh oleh filsafat Aristoteles, Plato,
dan Plotinus, namun ia telah berhasil mengembangkan dan memperdalam-nya
sehingga dapat dikatakan hasil filsafat sendiri. Selain itu, juga menciptakan
filsafat sendiri yang belum dibicarakan oleh filosof yunani. Dengan demikian,
ia telah berhasil menciptakan filsaat Islam yang mempunyai watak dan ciri khas
tersendiri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Al-Farabi (870-950 M) adalah filosof muslim
cerdas yang digelari sebagai guru kedua setelah aristoteles karena penguasaannya
logika.
2. Al-Farabi dengan
teori emanasinya mengemukakan bahwa alam ini terjadi karena limpahan yang esa
dan wujud pertama, akal pertama pun melimpah sehingga muncul akal kedua, begitu
seterusnya sampai pada akal kesepuluh.
3.
Al-Farabi memandang setiap
spesies tumbuhan, binatang dan manusia memiliki jiwa dan dapat mengaktual
menjadi daya-daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan melalui alat-alat tubuh
dan jiwa manusia memiliki kelebihan yaitu potensi yang dapat mengaktual menjadi
daya untuk berbuat tapi tidak dengan alat tubuh dan itulah akal.bila akal
potensial telah ada secara actual pada jiwa seseorang maka ia berarti sudah
memiliki kesempurnaan pertama sebagai manusia.
4. Teori kenabian
al-farabi mengemukakan bahwa pengetahuan filosof tidak bertentangan dengan
pengetahuan nabi karena keduanya bersumber dari akal fa’al yang sama berbeda dengan caranya. Kalau nabi
berkomunikasi dengan akal fa’al dengan menggunakan kekuatan imajinasi sedangkan
filosof dengan akal mustafad.
5. Al-Madhibah
al-fadhilah bagi al-farabi ibarat tubuh manusia yang sehat semua anggota
badannya bekerja sama sesuai dengan tugasnya masng-masing yang berkordinasi
secara rapi demi kesempurnaan hidup tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Abu rayyan, Muhammad Ali. Tarikh al-fikr
al-falsafy fi al- Islam. Iskandariah: Darr al- Maarif al-Jamiah, 1980
Ahmad, Jamil. Hundred
Great Muslim diterjemahkan oleh tim penerjemah pustaka firdaus dengan judul seratus muslim Terkemuka. Cet. 1V;
Jakarta: Pustaka firdaus, 1996
Amin, Miska Muhammad. Epistemologi Islam.Cet.111; Jakarta: UIP Press, 2006
Bagus, Lorens.
Kamus filsafat. Cet. 111; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2002
Dasuki, Thawil Akhyar. Sebuah kompilasi filsafat Islam. Cet. 1; Semarang: Toha Putra,1993
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi IslamCet. V1; Jakarta
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Fakhry, Majid. A
Short Introduction To Islamic Philosophy Theology And Mysticism diterjemahkan
oleh Zaimul Am dengan Judul Sejarah
Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis. Cet. 11; Bandung: Mizan, 2002
Glasse, Cyril.
The Concise Encyclpedia Of Islam diterjemahkan oleh Ghufran Mas’adi dengan
judul Ensklopedi Islam Ringkas.
Cet.11; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1999
Hanafi, Ahmad. Filsafat
Skolastik.Cet.XI; Jakarta: Pustaka Alhusna, 1998.
………………Pengantar
Filsafat Islam. Cet.V; Jakarta: PT Bulan Bintang,1991.
Hart, Michael H. The 100 diterjemahkan oleh tim Penerbit Karismadengan judul 100 Tokoh Palinhg berpengaruh Sepanjang masa. Batam: Karisma Publishing Group,
2005
Hasyin, Musthafa. Tarikh al-fikr al-falsafy FIal-Islam. Darr al Tsagafah.
Larry, Lois. The
Cultural Atlas of Islam diterjemahkan oleh ilyas Hasan dengan Judul Atlas Budaya Islam. Cet. 111; Bandung:
Mizan,2001.
Leaman, Oliver. A Blief Introduktioon To Islamic Philosofhy. Cambridge:Polity
Perss,1999.
[1] Michael
H Hart, The 100 diterjemahkan oleh
tim penerbit Karisma dengan judul 100
tokoh paling berpengaruh sepanjang masa (Batam: Karisma Publishing Group,
2005), h. 83
[2] Oliver
leaman, A Brief Introduction To Islamic
Philisiphy (Cambridge: Polity Prees, 1999), h. 6
[3] Harun
Nasution, Filsafat dan misticisme dalam
Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. I, hlm. 13
[4] Muhammad
Ali Abu Rayan, Tarihk al-Fikr al-Falsafy Fi al-Islam (Iskandariah: Dar
al-Maarif al-Jamiah, 1980), h. 356
[5] Mustafa
Hasyin, Tarikh al-fikr al-falsafy fi al-Islam (Dar al-0Tsagafah), h. 131
[6] Thawil
Akhyar Dasuki, Sebuah Kompilasi filsafat Islam (Cet.1; Semarang: Toha
Putra,1993), h. 26
[7] Miska
Muhammad Amin, Epistemologi Islam (Cet.
111; Jakarta:
UIP Press, 2006), h. 44
[8] Tim
Ensiklopedi, Ensiklopedi Temati Dunia Islam Pemikiran Dan Peradaban
(Ichtiar Baru Van Hoeve), h.185
[9] Muhsin
Mahdi, “Alfarabi” Dictionary of Scienctic Biography, ed. C.C. Oillispie (New
York: 1971), h. 523
[10]
Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. 1;
Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 30
[11] Ahmad
Hanafi, pengantar filsafat Islam (
Cet. V; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), h. 81
[12] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam ( Cet. V1; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 331
[13] Ensiklopedi Tematis…,op. cit.
[14] Cyril
Glasse, The Concise Encyclopedia OF Islam
diterjemahkan oleh Ghufran Mas’adi dngan judul Ensiklopedi Islam Ringkas ( Cet. 11; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 31
[15] EnsiklopediTematis...,op cit.
[16] Ibid
[17] Lois
Larri, The cultural Atlas of Islam diterjemahkan
oleh Ilyas Hasan dengan judul Atlas
Budaya Islam (Cet. 111; Bandung:
Mizan, 2001), h. 340
[18] Lan
Richard Netton, Alfarabi and His School
(Routledge: London, 1992), h.4
[19] Jamil
Ahmad,Hundred Great Muslim
diterjemahkan oleh tim penerjemah Pustaka Firdaus dengan judul Seratus Muslim Terkemuka ( Cet. 1V;
Jakarta: Pustaka Firdaus,1996), h. 230
[20]
Sirajuddin Zar, FilsafaiIslam:Filosof dan
Filsafatnya ( Cet. 1;Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 67
[21] Lorens
Bagus, Kamus Filsafat (Cet. 11; Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2002), h. 193
[22] Ali
Mudhafir, Kamus Teori Dan Aliran Dalam
Filsafat Dan Tekhnologi (Cet.1; Jakarta: Gadjah Mada University Press,
1996), h. 75
[23] Yamani, Alfarabi Filosof Politik Muslim (Cet. ;
Bandung; Mizan,
2005), h. 28
[24] Ensiklopedi Tematis…,op cit.,h. 187
[25] Ahmad
Hanafi, Filsafat Skolastik ( Cet.X1; Jakarta: Pustaka Alhusna, 1998), h. 63
[26] Ensiklopedi Tematis…,op cit., h. 189
[27] Harun
Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1973), h. 74
[28] Ahmad
Hanafi, Pengantar….op cit., h. 103
[29] Lois
Larry, The Cultural….op cit.
[30] Lois
Marlow, Herarchy And Egalitarianisme In
Islamic Thoght diterjemahkan oleh Nana Nurmila dengan judul Masyaraka Egaliter Visi Islam Cet. 1; Bandung: Mizan, 1999), h.
60
[31] Majid
Fakhry, A short Intruktion To Islamic
Philosophy Theology And Mysticism diterjemahkan oleh Zaimul Am dengan judul Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta
Kronologis (Cet. 11; Bandung:
Mizan 2002), h. 53
[32] Ensiklopedi Tematis….op. cit.,h. 192
[33] Ensiklooedi Islam….op.cit., h. 333
[34]
Sirajuddin zar Filsafa Islam, Ed, I;Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, h. 88-90.
1 komentar:
mantap... puas dengan tampilannya...
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....