PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat Islam pada garis besarnya betujuan untuk mempertemukan antara agama dan filsafat. Semangat ini senantiasa terlihat dalam langkah-langkah para filosof muslim dalam mengemukakan dan menguraikan pendapat-pendapatnya. Akan tetapi muncul pertanyaan, bagaimana agama sebagai wahyu Tuhan, sebagai bahasa langit dan santapan hati serta sebagai sember perintah dan larangan dapat bertemu dengan filsafat, yang notabene sebagai hasil ciptaan manusia dan sebagai bahasa bumi yang masih dibahas dan dipersoalkan?. Bagaimana kebenaran agama yang didasarkan atas ilham dan wahyu dapat dipersatukan dengan kebenaran filsafat yang didasarkan pada alasan-alasan fikiran?. Bagaimana dalil sam’i bisa digabungkan dengan dalil akli?.
Bagi orang yang memahami semangat Islam yang mengajarkan pengambilan jalan tengah, dan mempelajari ilmu-ilmu ke Islaman, maka ia akan mengetahui bahwa semangat pemaduan merupakan salah satu corak pemikiran kaum muslimin pada setiap lapangan ilmu. Setiap kali ada aliran-aliran yang berbeda dan berlawanan akan timbul solusi sebagai jalan tengah, sebagaiman yang telah dicatat oleh sejarah.
Walaupun para filosof Islam banyak mengutip pemikiran filosof Yunani, akan tetapi mereka tetap mempunyai corak pemikiran tersendiri. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan masa dan lingkungan hidup dari para tokoh-tokoh tersebut. Filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkunan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh para filosof Yunani, sehingga sedikit banyaknya tentu berpengaruh terhadap corak pemikiran dan pandangan mereka. Hal ini tidak dapat dipungkiri, bahkan harus diakui bahwa dalam rentang sejarah pekembangan pemikiran Islam, berhasil melahirkan satu konsep filsafat yang sesuai dengan semangat dan ajaran-ajaran Islam.
Salah satu dari sekian banyak filosof Islam yang berusaha mendekatkan jarak antara agama dan filsafat adalah Ibnu Sina. Beliau sangat terkenal dan banyak melahirkan pemikiran dalam ilmu filsafat, diantaranya adalah filsafat al-Faydh/Emanasi, filsafat jiwa, filsafat wujud, dan lain-lain.
B. Rumusan dan batasan masalah
Berdasarkan uraian diatas, agar tidak terjadi pengambangan dalam pembahasannya, penulis membatasi kajian ini diseputar riwayat hidup dan pokok-pokok pikiran Ibnu Sina tentang filsafat emanasi, jiwa, dan filsafat wujud. Adapun yang menjadi pokok permasalahan adalah;
1. Bagaimana pemikiran Ibnu Sina tentang emanasi?
2. Bagaimana pemikiran Ibnu Sina tentang filsafat jiwa?
3. Bagaimana pemikiran Ibnu Sina tentang Filsafat wujud?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina (di Barat dikenal dengan nama Avicenna). Lahir tahun 370 H / 980 M. di Desa Afsanah Belkh (dahulu bagian dari provinsi Bukhara) yang sekarang termasuk daerah Afganistan. Ayahnya berasal dari Belkh, pernah menjadi gubernur luar Bukhara yang berkedudukan di Belkh. Ibunya bernama Astarah yang berasal dari daerah Afsahah.[1]
Ibnu Sina mulai belajar pada usia yang sangat muda yang dimulai dengan membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, sehingga dalam usia 10 tahun, Ibnu sina telah menghapal al-Qur’an dan menguasai ilmu-ilmu agama. Ibnu Sina belajar dibawah pengawasan ayahnya. Salah seorang gurunya adalah Ismail az-Zahid yang mengajarkan ilmu akhlak, tasawuf, dan ilmu fiqh.
Setelah berumur sepuluh tahun dan ilmu-ilmu agama telah dikuasai, ayahnya menyuruh belajar filsafat dengan segala cabang-cabangnya. Mula-mula Ibnu Sina belajar ilmu hitung pada seorang saudagar India (kawan ayahnya). Karena tidak puas dengan satu ilmu saja, ia pun belajar pada sahabat ayahnya yang lain yakni Abdullah Natili, yang kebetulan berkunjung ke Bukhara dan menginap di rumahnya. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam bidang kedokteran sudah dikenal orang.[2]
Kemampuannya dalam memecahkan masalah pengobatan dengan mempergunakan metode eksprimen sangat mengagumkan dan dikagumi banyak orang, sehingga banyak yang datang untuk berguru kepadanya. Selanjutnya selama satu setengah tahun ia memperdalam ilmu mantik dengan segala seluk beluknya dan juga memperdalam filsafat. Dalam masa satu setengah tahun itu, hari-harinya hampir tersita habis untuk mendalami pengetahuan tersebut.
Bahkan disebutkan bahwa pada masa itu telah menghapal buku metafisika Arisoteles di luar kepala, tetapi ia belum memahaminya.[3] Setelah menemukan dan membaca buku al-Farabi “Magala Fi Aghradhi Ma Ba’da al-Tabiah” yang mengomentari tulisan Aristoteles, barulah ia memahaminya dengan baik sehingga ia sendiri mengakui kedudukan al- Farabi sebagai guru ke dua (Muallimu Tsani).
Pada usia dua puluh tahun, ayah Ibnu Sina meninggal dunia. Ia kemudian meninggalkan Bukhara menuju Jurjan lalu ke Khawarazm. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi itu tidak berlangsung lama karena kekacauan politik. Setelah itu ia pun berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain, dan akhirnya sampai di Hamadzan. Oleh penguasa negeri Hamadzan, ia diangkat menjadi menteri beberapa kali, sesudah ia dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya, meskipun pada masa tersebut ia pernah dipenjarakan.[4]
Hidup Ibnu Sina penuh dengan aktifitas dan kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis hingga ia ditimpa sakit perut yang tidak sanggup ia mengobatinya. Pada bulan-bulan akhir hayatnya ia menanggalkan pakaiannya untuk diganti dengan pakaian putih, memerdekakan semua budaknya dan menyedekahkan harta kekayaannya untuk para fakir miskin serta menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah SWT. Pada tahun 428 H. (1037 M) Ibnu Sina meninggal dunia pada hari Jum’at, bulan Ramadhan pada usia 58 tahun dan dikuburkan di Hamadzan.
Adapun karya-karya Ibnu Sina antara lain adalah;
1. Asy-Syifa, buku filsafat ini merupakan karyanya yang terpenting dan terbesar. Buku ini terdiri atas empat bagian yaitu, logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). Beberapa naskah dari buku ini tersebar diberbagai perpustakaan Timur dan Barat. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak di Teheran. Tahun 1956 lembaga keilmuwan Cekoslawakia di Praha, menerbitkan bagian metafisika yang khusus mengenai ilmu jiwa dan juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Prancis.[5]
2. Al-Isyarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan paling baik yang juga pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1982 M. dan sebagian diterjemahkan kedalam bahasa Perancis.[6]
3. Al-Qanun fi ath-Thibb, pernah diterjemahkan kedalam bahasa latin dan pernah menjadi buku standar untuk Universitas-universitas di Eropa sampai akhir abad ke 17 M. Buku ini pernah diterbitkan di Roma pada tahun 1593 M. dan di India pada tahun 1323 H.[7]
4. An-Najah, merupakan ringkasan dari buku asy-Syifa. Karya tulis ini ditujukan khususnya untuk kelompok-kelompok terpelajar yang ingin megetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
B. Pemikiran-pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1. Emanasi (filsafat al-Faydh)
Al-Faydh atau emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam mahluk) dari zat yang wajibul wujud (zat yang mesti adanya yakni Tuhan). Teori ini biasa juga disebut dengan teori urut-urutan wujud. Teori al-Faydh/emanasi telah dibahas oleh aliran Neo Platonisme, kemudian dilanjutkan oleh al-Kindi dan al-Farabi selanjutnya dikembangkan oleh Ibnu Sina dengan mencoba menyesuaikannya dengan ilmu kalam. Ibnu Sina sebagai seorang Ulama dan Filosof berusaha mendekatkan jarak antara filsafat dengan agama.
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam semesta melainkan penggerak pertama (prima cause) seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles.[8] Sementara dalam doktrin ortodoks Islam (mutakallimin), Tuhan adalah pencipta, yakni pencipta alam ini dari tidak ada menjadi ada.
Untuk mempertahankan kedua pendapat tersebut diatas, al-Farabi dan Ibnu Sina menawarkan konsep teori emanasi, yang pada dasarnya teori ini telah dirintis oleh aliran Neo Platonisme, walaupun dalam bentuk kata-kata simbolis.[9] Dengan demikian Tuhan sebagai penggerak menurut Aristoteles menjadi Tuhan pencipta. Namun penciptaan yang dimaksudkan oleh para filosof Islam itu ialah pancaran (emanasi).
Kata Khalaq atau Khalaqa dalam al-Qur’an yang berarti pencipta, kemudian ditakwilkan oleh filosof Islam sebagai emanasi.[10] Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan ke Esaan Tuhan karena Tuhan mengetahui zatNya, serta mengetahui pula bahwa Ia menjadi dasar dari segala yang ada, sekaligus merupakan susunan wujud yang sebaik-baiknya.
Teori Emanasi Ibnu Sina mengikuti pendahulunya yakni al-Farabi. Ia mengakui bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi. Adapun proses terjadinya emanasi tersebut ialah ketika Allah wujud (bukan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (berta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiranNya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancar akal kedua, jiwa pertama, dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok; air, udara, api, dan tanah.[11]
Berlainan dengan al-Farabi, bagi Ibnu Sina akal pertama mempunyai dua sifat,[12] sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina membagai objek pemikiran akal-akal menjadi tiga; Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib wujud li ghairihi) sebagai pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud) ditinjau dari hakikat dirinya.
Emanasi Ibnu Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan Sembilan planet. Berbeda dengan al-Farabi , bagi Ibnu Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, Karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakkan planet yang sifatnya materi. Akal-akal adalah para malaikat, akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya.
Menyimak keterangan dari teori emanasi Ibnu Sina diatas, difahami bahwa alam ini kadim karena diciptakan oleh Allah sejak kidam dan azali. Namun demikian, menurut Ibnu Sina kadimnya Allah berbeda dengan kadimnya alam. Perbedaan mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamany). Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan Allah secara pancaran, alam ini baharu (hudus zaty).Sementara itu, Allah adalah taqaddum zaty, karena Ia sebab semua yang ada dan Ia pencipta alam. Jadi alam ini baharu dan kadim, baharu dari segi esensi dan kadim dari segi zaman.
2. Filsafat Jiwa (al-Nafs)
Kata jiwa dalam al-Qur’an dan Hadis diistilahkan dengan an-nafs atau al-ruh. Sebagimana yang terekam dalam surat Shad; 71-72, al-Isra; 85 dan al-Fajr; 27-30. Menurut Ibnu Sina, ada tiga kualitas jiwa; jiwa tumbuhan, hewan dan manusia. Jiwa-jiwa tersebut, kemudian Ibnu Sina membahasnya pada dua bagian sebagai berikut;
A. Fisika, membicarakan jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.
1) Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya; makan, tumbuh, dan berkembang biak.[13] Kekuatan nutrisi (makan) ketika ada dalam satu tubuh mengubah zat yg dimakannya agar sesuai dengan tubuh. Kekuatan tumbuh adalah kekuatan yang dengan kekuatannya tubuh terus berkembang tanpa mengubah bentuknya sampai ia berada dalam kondisi yang matang. Kekuatan berkembang (reproduksi) memilki potensi untuk melahirkan sebagian dari tubuh sehingga memungkinkan untuk melahirkan tubuh lain yang sama secara actual.[14]
2) Jiwa binatang mempunyai dua daya; gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudrikat).[15] Daya gerak termasuk didalamnya kekuatan appetitive (hasrat) dan kekuatan efesien. Kekuatan appetitive bisa berupa sifat ketertarikan dan sifat marah. Sedang kekuatan efesien adalah kekuatan yang mampu menggerakkan tubuh dan otot-otot.[16] Daya menangkap terbagi dalam dua bagian;
a. Menangkap dari luar dengan menggunakan pancaindra;
b. Menangkap dari dalam dengan indra-indra batin, yang terdiri atas lima indra yakni;
· Indra bersama, yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh indra luar.
· Indra representasi (al-khayyal) , yang menyimpan segala apa yang diterima indra bersama.
· Imajinasi yang menyusun apa yang disimpan dalam khayal
· Indra estimasi (wahmiyah) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak dari materinya, seperti keharusan lari Tikus kalau melihat Kucing.
· Indra pemeliharaan yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh indra estimasi.[17]
Dengan demikian,dapat difahami bahwa jiwa binatang lebih tinggi fungsinya dari jiwa tumbuh-tumbuhan, karena bukan hanya sekedar makan, tetapi telah dapat bekerja dan bertindak serta telah merasakan sakit dan senang seperti manusia.
3) Jiwa manusia (al-nafs al-natiqat). Menurut Ibnu Sina hanya jiwa manusa yang memilki fikiran (reason). Pikiran (reason) atau intelligence dalam pandangan Ibnu Sina terdiri atas dua macam; akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis (active intelligence) berhubugan degan moralitas. Sedang akal teoritis (speculative intelligence) adalah akal yang memungkinkan kita berfikir abstrak.[18]
Daya teoritis ini mempunyai empat tingkatan;
a. Akal materil (al-aql al-hayulany) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih Waupun sedikit.
b. Akal malakat (al-aql bi al-malakat) yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
c. Akal actual (al-aql bi al-fil) yang telah dapat berikir tentang hal-hal abstrak.
d. Akal mustafad (al-aql al-mustafad) yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu adanya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.[19]
Tiga jiwa yang disebutkan Ibnu Sina sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, mempunyai peluang untuk mempegaruhi tingkah laku manusia. Sekiranya jiwa hewan yang menonjol, maka manusia cendrung bersikap seperti binatang. Jika yang menonjol adalah sifat kemanusiaan, maka hampir ia menyerupai Malaikat dan dekat dengan kesempurnaan.[20] Hal inilah yang membedakan antara manusia dengan mahluk lain.
B. Metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Dalam kehidupan ini, ada hal-hal yang diyakini wujudnya tanpa diragukan, tetapi bila diminta untuk membuktikannya akan sangat sulit untuk dilakukan. Diantaranya adalah jiwa manusia. Oleh karena itu, untuk membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil, yaitu; 1. Dalil alam kejiwaan.
Pada diri manusia ada peristiwa yang tidak mungkin ditafsirkan, kecuali setelah mengakui adanya jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak pengetahuan). Gerak itu terbagi kepada dua macam, yaitu;
a. Gerak paksaan (harakag kahriah), yaitu gerak yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda, kemudian menggerakkannya.
b. Gerak bukan paksaan. Gerak ini terbagi kepada dua macam yaitu;
o Gerak yang sesuai dengan ketentuan hukum alam. Seperti jatuhnya batu dari atas kebawah.
o Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam. Seperti manusia yang berjalan di bumi, seharusnya ia diam karena adanya berat badannya. Atau burung yang terbang di udara, seharusnya ia jatuh kebumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut, karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut tidak lain adalah jiwa.[21]
2. Dalil ‘aku’ dan kesatuan gejala kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina, apabila seseorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan adalah jiwanya, bukan badannya. Jadi, Ketika dikatakan bahwa saya belajar atau saya kuliah, maka yang dimaksudkan disitu bukan aktivitas badan yang sedang membaca atau menulis atau mendengarkan ceramah tetapi hakikatnya adalah jiwa.
Begitu pula dalam peristiwa-peristiwa kejiwaan, Ibnu Sina berpendapat bahwa terdapat keserasian dan koordinasi yang mengesankan adanya suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Meskipun peristiwa itu berbeda dan berlainan, bahkan saling berlawanan, namun semuanya berada pada satu fokus yang tetap dan berhubungan dengan suatu dasar yang tidak berubah-ubah. Seolah-olah semuanya diikat oleh suatu ikatan yang kuat yang dapat menghimpun bagian-bagiannya yang berjauhan.[22] Kekuatan yang menguasai dan mengatur tersebut adalah jiwa.
3. Dalil kelangsungan (kontinuitas)
Dalil ini dikemukakan Ibnu Sina atas dasar perbandingan jasad dengan jiwa. Jasad manusia selalu mengalami perubahan, pergantian dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena jasad terdiri dari bagian-bagian yang mengalami hal serupa. Sedangkan jiwa tidak mengalami pergantian dan perubahan seperti itu.[23] Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit pada saat kita dilahirkan. Sudah mengalami perubahan, seperti kasar atau berkerut. Sementara jiwa tidak pernah mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa yang ada sejak lahir dan tetap berlangsung sepanjang hayat, tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu jasad berbeda dengan jiwa.
4. Dalil orang terbang atau melayang di udara.
Dalil lain yang sangat menarik yang dibentangkan oleh Ibnu Sina tentang adanya jiwa adalah dalil “manusia terbang” seperti yang diistilahkan oleh Gilson. Dalil ini menunjukkan adanya daya kreasi yang luar biasa dimiliki oleh Ibnu Sina. Meskipun dalil tersebut hanya didasarkan atas khayalan dan perkiraan, akan tetapi tidak mengurangi kemampuan Ibnu Sina dalam memberikan keyakinan. Kesimpulan dalil ini adalah “ Andaikan seseorang ada yang mempunyai kekuatan penuh baik akal maupun jasmani, kemudian diletakkan di udara dalam keadaan tertutup matanya, sehingga tidak dapat mengetahui apa-apa yang ada disekitarnya, kemudian anggota jasadnya dipisah-pisahkan. Dalam kondisi demikian dia tetap yakin bahwa dirinya ada. Disaat itu ia menghayalkan adanya tangan, kaki dan organ tubuh lainnya, tetapi semua organ tubuh yang ia khayalkan bukan bagian dari diriya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indra atau melalui badan seluruhya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badannya, yaitu jiwa”[24]
Dalil Ibnu Sina tersebut, seperti halnya Descartes didasarkan atas suatu hipotesa bahwa, pengenalan yang berbeda-beda menghasilkan perkara yang berbeda-beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala Sesuatu, kecuali dari dirinya yang menjadi dasar kepribadian dari zatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini diketahui dengan adanya perantara, maka satu kebenaran saja yang diketahui dengan langsung, yaitu jiwa. Jiwa tidak bisa diragukan tentang wujudnya meskipun sebentar saja, karena pekerjaan-pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang berdiri sendiri dan mempunyai wujud, tetapi terpisah dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada yang lahir di dunia ini. Jadi antara badan dan roh/jiwa manusia saling terpisah, tetapi roh manusia tidak hancur seperti hancurnya badan.
Untuk mencapai kesempurnaan, roh berhajat kepada badan, karena menolong roh untuk berfikir. Panca indra dan indra-indra batiniyah yang menolong roh untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika roh manusia telah mencapai kesempurnaannya, dan telah memperoleh konsep-konsep dasar yang perlu baginya, maka ia tidak lagi berhajat pada pertolongan badan. Karena roh satu unit maka roh tidak hancur.[25] Lain halnya dengan jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang ada dalam diri manusia, karena hanya mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat fisik, sehingga jiwa binatang dan jiwa tumbuh-tumbuhan tersebut akan mati seperti matinya badan.
Dari uraian tersebut diatas, dapat difahami bahwa terdapat hubungan yang erat antara roh/jiwa dengan badan. Roh/jiwa membutuhkan badan guna memperoleh kesempurnaannya, sementara tubuh membutuhkan roh dalam rangka kelangsungan hidupnya.
3. Filsafat Wujud
Bagi Ibnu Sina, wujud merupakan hal penting dan mempunyai kedudukan di atas sifat yang lain, walaupun esensi itu sendiri menurut Ibnu Sina terdapat dalam akal, tetapi wujudlah yang membuat tiap esensi yang ada dalam akal menjadi kenyataan di luar akal.[26] Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi. Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Allah dengan dalil wajib al-wujud dengan mumkin al-wujud , mengesankan duplikat al-Farabi. Akan tetapi bila ditelusuri lebih jauh, Ibnu Sina membagi kepada segala yang ada pada tiga tingkatan yang merupakan suatu kreasi tersendiri bagi Ibnu Sina. Yang dimaksudkan Ibnu Sina dengan tiga tingkatan tersebut adalah;
a. Wajib al-Wujud, yaitu esensi yang boleh tidak mesti mempunyai wujud. Dalam hal ini, esensi tidak dapat dipisahkan dengan wujud, karena esensi dan wujud adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia mesti berwujud selama-lamanya (wajib al-wujud).[27] Dialah Tuhan.
Lebih lanjut, Ibnu Sina membagi wajib al-wujud ke dalam wajib al-wujud bi zatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Wajib al-wujud bi zatihi adalah yang wujudnya dengan zatnya mustahil jika diandaikan tidak ada. Sedangkan wajib wujud bi ghairihi adalah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk dalam kategori wajib wujud bi zatihi.
a. Mumkin al-wujud, yaitu esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud.[28]Atau dengan istilah yang lain, jika diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, karena ia boleh ada dan boleh tidak ada.
b. Mumtani’ al-wujud, yaitu esensi yang tidak mungkin mempunyai wujud (imposibble being).
Dalam membuktikan adanya Tuhan, menurut Ibnu Sina tidak perlu mencari dalil dengan salah satu mahluknya. tetapi cukup dengan dalil adanya wujud pertama, yakni wajib al-wujud.[29] Alam semesta ini mumkin al-wujud, yang berarti membutuhkan sesuatu sebab (illat) untuk mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan yang pertama (Tuhan) kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu mahluknya.
Dari pemaparan tersebut, difahami bahwa Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan, menempuh jalan yang berbeda dengan ahli kalam pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari dalil ontology yang disodorkannya. Sementara dikalangan ahli kalam dalam membuktikan adanya Tuhan mengemukakan dalil kosmologi dengan berpijak pada konsep alam baharu sebagaimana yang kita ketahui. Namun demikian, bukan berarti pendapat Ibnu Sina dan ahli kalam saling bertentangan dan tidak dapat dipertemukan, lebih dari itu adalah merupakan suatu bentuk kekayaan khasahah pemikiran dari para tokoh dalam mencari kebenaran.
Apa yang hendak dikatakan oleh Ibnu Sina dari pendapatnya tersebut adalah, bahwa kita memiliki pemahaman intuitif tentang realitas yang wajib wujud. Ia menyinari kita secara langsung sehingga memungkinkan kita untuk menyadari fakta keberadaan objektifnya. Memikirkan ketiadaan yang wajib wujud adalah tidak mungkin sebagaimana ketidakmugkinan memikirkan bentuk lingkaran dalam bentuk persegi atau bujangan dan pada saat yang sama ia telah menikah.[30] Yang terpenting untuk dicatat adalah bahwa Ibnu Sina tidak mengafirmasi keberadaan yang wajib wujud semata-mata sebagai batas akhir argumen kosmologis. Dia tidak semata-mata mengatakan bahwa keberadaan sang wajib wujud dibutuhkan sebagai postulat untuk menghindari regresi tanpa akhir atau rangkaian sebab akibat yang tanpa batas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut;
1. Ibnu Sina sebagai filosof berkesimpulan bahwa alam semesta ini diciptakan Allah melalui dengan jalan emanasi (pancaran). Adapun proses penciptaan tersebut, ketika Allah wujud (bukan dari tiada) sebagai akal langsung memikirkan (bertaaqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini, memancar akal kedua, jiwa pertama dan langit pertama. Demikian seterusnya samapai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya dapat menghasilkan jiwa ke sepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi ke empat unsur pokok yaitu, air, udara, api, dan tanah. Akal ke sepuluh ini dinamakan juga dengan aktif intelligence, yang langsung berkaitan dengan kejadian di bumi. Ia memproduksi materi pertama (bayula) yang pasif dan tidak berbentuk, tetapi ia menjadi basis dari empat elemen dari mana semua mahluk diciptakan. Sehingga Ibnu Sina berkesimpulan bahwa alam ini qadim dari segi zaman, namun baharu dari segi esensi.
2. Menurut Ibnu Sina, antara jiwa/roh berbeda dengan jasad dan masing-masing mempunyai unit yang berdiri sendiri. Namun demikian, keduanya saling membutuhkan. Jiwa/roh berhajat kepada jasad dalam rangka mencapai kesempurnaannya, sementara jasad membutuhkan jiwa/roh untuk kelangsungan hidupnya. Jiwa menurut Ibnu Sina, terdiri atas tiga bagian yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan atau binatang, dan jiwa manusia. Jiwa manusia merupakan jiwa tertinggi dibanding dengan jiwa-jiwa yang lainnya, karena apabila jiwa ini yang mengotrol atau mengendalikan jasad, maka manusia menjadi mulia. Sebaliknya apabila jasad dikontrol atau dikendalikan oleh jiwa hewan atau tumbuh-tumbuhan, manusia akan menjadi hina layaknya seperti binatang.
3. Ibnu Sina membagi wujud segala yang ada menjadi tiga tingkatan yaitu; wajib al-wujud, mumkin al-wujud, dan mumtani’ al-wujud. Dengan dasar ini, Ibnu Sina dalam membuktikan tentang adanya wujud Tuhan tidak membutuhkan dalil dengan salah satu mahluk, tetapi cukup dengan dalil wajib al-wujud saja. Menurut Ibnu Sina, semua wujud yang ada kecuali tuhan (Allah SWT) adalah mumkin al-wujud dan mumtani’ al-wujud.
B. Saran-saran
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, baik dari segi teknik penulisannya atau dari segi yang lainnya. Dengan lapang dada penulis memohon masukan dan kritikan yang membangun sehingga pada penulisan makalah selanjutnya dapat lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafat Dalam Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1991
Amin, Husayn Ahmad, Al-Mi’ah Al-Azham fi Tarikh Al-Islam, diterjemahkan oleh Baharuddin Fannani, Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999
Daudi, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid II, Cet. III; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve
Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim, Pembuka Pintu Gebang Filsafat Barat Modern, Cet. I; Ygyakarta: Pustaka Pesantren 2004.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Cet.III; Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Haque, M. Atiqul. Oeslim Heros of The World, diterjemahkan oleh Budi Rahmat, dkk, dengan judul Wajah Peradaban Menyusuri Jejak Pribadi-Pribadi Besar Islam, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Cet. X; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1999.
------------------,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
-----------------, Islam Rasional Gagasan dalam Pemikiran , Cet IV; Bandung: Mizan, 1996.
Nasution, Hasyim Syah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Purwantana,dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Cet.IV; Bandung: PT. Remaja Rosdikarya, 1999.
Shadily, Hasan, Ensiklopedia Indonesia, Jilid II, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1980.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1997.
Syarif, M, Para Filosof Muslim, Cet VI; Bandung: Mizan, 1994
Zar, H. Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
[1] M. Yusran Asmuni, Pertumbuhan dan Perkembangan Berpikir dalam Islam(Surabaya; Al-Ikhlas.1994),h. 41
[2] Akmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta; Bulan Bintang; 1991),h. 115
[3] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta; Bumi Aksara; 1991), h. 59.
[4] Ahmad Hanafi.op.cit.,h. 116
[5] Puruanta, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Cet. IV; Bandung: PT. Remaja Rosdikarya, 1999), h. 146
[6] Sudarsono. Filsafat Islam, (Jakarta; PT Bhineka Cipta. 1990),h. 44
[7] Ibid., h. 45
[8] Ahmad Hanafi, op.Cit., h. 31
[9] Ibid., h. 32
[10] Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dalam Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 95
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filofof dan Filsafatnya ( Jakata; PT. Rajawali Press, 2009), h. 100
[12] Ibid., h. 101
[13] Ibid., h. 104
[14] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filusuf Muslim; Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Moderen,(Cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pesantren,2004), h. 98
[15] Sirajuddin Zar, op. Cit., h. 104
[16] Ahmad Sainul Hamdi. Op. Cit., h. 98
[17] Sirajuddin Zar, op. Cit., h. 105
[18] Ahmad Sainul Hamdi, op. Cit., h. 100
[19] Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 106
[20] M. M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1994), h. 117
[21] Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 106
[22] Ibid
[23] M. Yusran Asmuni, op. Cit., h. 69
[24] Sirajuddin Zar, op. Cit., h. 108
[25] Harun Nasution, op. Cit., h. 33
[26]Sirajuddin Zar, op. Cit., h. 96
[27] Ibid., h. 97
[28] Ibid.
[29] Ibid., h. 97
[30] Ahmad Sainul Hamdi, op. Cit., h. 110
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....