BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring
dengan perkembangan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama
berangsur-angsur bergeser bahkan bersebrangan dengan ilmu. Bagi kalangan
ilmuwan Barat, agama adalah penghalang kemajuan karena beranggapan jika ingin
maju agama tidak boleh lagi mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia seperti politik dan sains.
Revolusi
industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada paruh ke-dua
abad ke-18, merupakan titik awal
pencerahan (renaissance) di Eropa menuju peradaban modern. Hal inilah yang mengantarkan Barat mencapai sukses luar biasa
dalam pengembangan teknologi masa depan.
Sedangkan ummat Islam malah mengalami kemunduran-kemunduran sistematik dalam
alur peradabannya. Praktis dunia Islam dewasa ini merupakan kawasan bumi yang
paling terbelakang di antara penganut-penganut agama besar di dunia dikarenakan
begitu rendahnya kemajuan yang diraih dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bahkan ummat Islam menjadi penonton bahkan terbuai oleh kenikmatan
semu yang disuguhkan oleh Barat dengan kecanggihan teknologinya.
Sejak
terjadinya pencerahan di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua bidang
kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oleh ahli sains dan
cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan
pemikiran filsafah Barat yang dipengaruhi oleh sekularisme dan materialisme.
Sehingga konsep, penafsiran dan makna ilmu itu sendiri tidak bias terhindarkan
dari pengaruh pemikirannya. Ummat Islam mempelajari sains barat tanpa menyadari
kaitan temali historis Barat dan ilmu-ilmu Barat, sehingga ummat Islam pun
terjatuh dalam hegemoni Barat dan proses ini mengakibatkan esensi peradaban
Islam semakin tidak berdaya di tengah kemajuan peradaban Barat yang sekuler.
Menghadapi
keadaan yang demikian itu, ummat Islam mencari sebab-sebabnya. Sebab-sebab
tersebut yang utama di antaranya karena ummat Islam tertinggal dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya perpecahan. Di kalangan ummat Islam
paling kurang timbul sikap menghadapi keterbelakangan dalam bidang ilmu
pengetahuan tersebut sebagai berikut:
1.
Sikap yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari Barat sebagai ilmu pengetahuan yang sekuler.
Karena itu ilmu tersebut harus ditolak.
2.
Sikap yang
didasarkan pada asumsi bahw ailmu pengetahuan Barat sebagai ilmu yang bersifat
netral. Karenanya ilmu tersebut harus diterima apa adanya tanpa disertai rasa
curiga dan sebagainya.
3.
Sikap yang
diadasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat sebagai
ilmu yang bersifat sekuler dan materialisme. Namun diterima oleh ummat Islam
dengan terlebih dahulu dilakukan proses Islamisasi.[1]
Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi tema dan term
popular di kalangan intelektual Islam, di Indonesia maupun di negara-negara
lain. Hal tersebut tidak lepas dari kesadaran ber-Islam di tengah pergumulan
dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di
Ameriaka istilah ini telah menjadi simbol dari sebuah keinginan besar untuk
member warna Islam pada berbagai disiplin ilmu. Dengan
sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat mana kala
mampu mentransformasiakan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu atau memahami
wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[2]
Hal inilah yang memunculkan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan
di antara keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat
relegius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah
Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
paparan dari latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1.
Apa yang melatar
belakangi adanya Islamisasi Ilmu
Pengetahuan?
2.
Bagaimana telaah
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
3.
Bagaimana
tantangan ilmu-ilmu keIslaman di tengah perkembangan ilmu pengetahuan modern?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Pandangan
Islam terhadap ilmu menjadi landasan bagi pengembangan ilmu disepanjang sejarah
kehidupan ummat Islam, sejak dari zaman klasik sampai sekarang. Sejak
kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap
ilmu dan menawarkan cahaya untuk mengubah jahiliyah menuju masyarakat yang
berilmu dan beradab.
Proses
Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan
Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi saw
secara jelas menegaskan semangat Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu ketika
Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.
Pada
sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, proses
Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran dengan dilakukannya
penerjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani. Salah satu karya
besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali
Tahafut al-Falasifah. Hal yang demikian walaupun tidak menggunakan pelabelan
Islamisasi, tetapi aktivitas yang sudah mereka lakukan semisal dengan makna
Islamisasi.
Ada
dua tokoh yang dianggap sebagai pencetus gagasan Islamisasi Pengetahuan yaitu
Ismail Raji al-Faruqi (seorang sarjana yang mendirikan lembaga International
Institute of Islam Thought di Amerika Serikat) serta Syed M. Naquib al-
Attas (seorang sarjana Budaya Melayu yang membentuk lembaga International
Institute of Islam Thought and Civilization di Kuala Lumpur).[3]Gagasan
ini timbul sejak dasawarsa 1970-an.
Munculnya
ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan disebabkan adanya premis bahwa ilmu pengetahuan
tidak bebas nilai. Ilmu-ilmu yang terkontaminasi oleh premis demikian dan telah
melalui proses sekularisasi dan westernisasi yang tidak lagi sesuai dengan kepercayaan,
justru ini akan membahayakan ummat Islam. Naquib al-Attas menegaskan bahwa ilmu
itu tidaklah bebas nilai tapi sarat akan nilai. Sedangkan al Faruqi menjelaskan
bahwa akibat kemunduran ummat Islam, karena adanya system pendidikan yang
berusaha menjauhkan ummat Islam dari agamanya sendiri dan dari sejarah
kegemilangan yang seharusnya dijadikan kebanggaan tersendiri atas agama Islam.
Oleh sebab itu ia memberikan solusi, yaitu perlunya perbaikan system pendidikan
yang memadukan antara ilmu-ilmu umum dan agama sebagai langkah membentuk
peradaban Islam yang sempurna.[4]
Pada
akhir abad 20-an, konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat kritikan dari
kalangan pemikir Muslim sendiri, seperti Fazlul Rahman, Muhsin Muhdi, Abdus
Salam Soroush, Bassam Taibi dan lainnya. Fazlul Rahman misalnya mengemukakan
bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat di Islamkan karena tidak ada yang salah
dalam ilmu pengetahuan.[5]
Walaupun
dalam perkembangannya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dikritik, tetapi gagasan
Islamisasi ini merupakan suatu revolusi epistemologis yang merupakan jawaban
terhadap krisis epistemology yangh bukan hanya melanda dunia Islam tapi juga
budaya dan peradaban Barat Sekuler.
B.
Telaah
Islamisasi Pengetahuan
1.
Telaah Ontologis
Islamisasi
berasal dari kata Islamization yang berarti peng-Islaman.[6]Islamisasi
merupakan salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks
integrasi ilmu-ilmun agama dan ilmu-ilmu umum.
Islamisasi
Ilmu Pengetahuan menurut al-Attas adalah pembebasan manusia dari tradisi magis,
mitologis, animistis, kultur nasional( yang bertentangan dengan Islam) dan
belenggu paham sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwayanya,
sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang
sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya. Sedangkan al-Faruqi berpendapat
bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah usaha untuk mendefenisi kembali,
menyusun ulang data, memikirkan kembali argument dan rasionalisasi yang berkaitan
dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan
kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga
disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita.[7]
Secara
ontologis, Islamisasi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa dalam relitas alam semesta, sosial dan
historis ada hukum-hukum yang mengatur. Pandangan akan adanya hukum alam
tersebut sama dengan kaum sekuler tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut
adalah ciptaan Allah.
Al-Qur’an
berisi petunjuk tentang obyek studi (ontologis) yang lengkap dengan perintah
mempelajari segala apa yang ada di langit dan di bumi dan di antara keduanya. Allah
telah menunjukkan obyek ilmu itu tidaklah berarti pembatasan bagi manusia untuk
membatasi diri hanya mempelajari obyek yang ada, namun bagi manusia untuk
mengembangkan lebih maju lagi pencarian ilmunya. Yang perlu diperhatinkan bahwa
petunjuk ontologis dari al-Qur’an boleh jadi sederhana tapi mempunyai makna
konotasi yang luas dan mendalam.[8]Sebagaimana contoh QS Abasaa (80): 24 Allah berfirman:
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ
Artinya: Maka hendaklah manusia itu memperhatikan
makanannya.
Dengan
perintah yang sangat singkat ini, manusia dapat menentukan objek ilmu untuk dipelajari
yang tiada akhirnya. Dalam konteks ini untuk memahami nilai-nilai kewahyuan,
ummat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realitasnya saat ini,
ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan ummat
manusia. Dengan demikian dapat dipahami untuk mengulang kembali kesuksesan yang
pernah diraih di masa silam, Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus tetap
digalakkan.
2.
Telaah
Epistemologis
Epistemologi
adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana cara memperolehnya.
Sehingga dapat dipahami bahwa epistemology mempersoalkan metodologi penerapan
ilmu pengetahuan, dalam hal ini proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Al-Qur’an
merupakan kitab yang sangat sempurna dalam menjelaskan metode pengembangan
ilmu. Misalnya perlu mengingat dan menghafal tersirat dalam QS al-Baqarah (2) :
31
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya:
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.
Di
samping perlu mengingat dan menghafal di atas, diperlukan juga metode observasi,
eksperimen, demonstrative dan metode intuitif.[9]Hal
ini misalnya ketika Allah Swt memperlihatkan kepada Qabil dengan mengirimkan
burung gagak menggali tanah untuk menguburkan burung yang mati. Dalam
pengembangan ilmu dan teknologi, observasi dan meniru kerja ciptaan-Nya
merupakan yang lazim misalnya meniru konsep fungsi sayap dan ekor dalam pesawat
terbang. Selain observasi yang merupakan landasan pengkajian ilmu pengetahuan
semata juga dibutuhkan kemampuan imajinasi, analisa dan sintesa terutama untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang susah untuk dijawab melalui observasi
laboratorium.
Sebagai
contoh QS al-Ghasyiyah (88): 17-20:
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
Artinya:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan?.
Untuk
menjawab pertanyaan di atas tidak bisa dengan observasi atau eksperimen saja, melainkan
diperlukan hipotesa yang membutuhkan proses berfikir dan berimajinasi yang
intens. Dalam al-Qur’an disampaikan bahwa masih ada proses pengembangan ilmu
dan teknologi yang lebih hakiki yaitu ilham yang diberikan kepada beberapa
orang.[10]
Dari
keterangan di atas memberikan gambaran kepada ummat Islam untuk melihat sisi
lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan. Dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengalami proses yang
panjang tentang transformasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke dunia Barat
dalam hubungan timbal balik, baik itu dalam bentuk kajian, penafsiran maupun
dalam bentuk penerjemahan.
Kondisi
tersebut di atas dapat memungkinkan terjadi karena di dalam al-qur’an sendiri
terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang berbagai macam disiplin ilmu,
diantaranya:
a.
Yang berhubungan
dengan pengetahuan alam terdapat dalam QS Saba’(34) : 10 dan QS al-Hadid (57) :
25.
b.
Yang berhubungan
dengan geografi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 22 dan QS ar-Rad (13) :3’.
c.
Yang berhubungan
dengan kesehatan terdapat dalam QS al-Baqarah (2) :184 dan
222, al Mudatsir (74) : 74, al-Maidah (5) : 6, an-Nisa (4) : 43 dan al-A’raf
(7) : 31.
d.
Yang berhubungan
dengan sejarah terdapat dalam QS Yusuf (12) : 109, al-Ashr (103) : 2, Maryam
(19) : 2-15, al-Maidah (5) : 110-120 dan al-Baqarah (2) : 30-39.
e.
Yang berhubungan
dengan matematika terdapat dalam QS al-Isra’ (17) : 12 dan 14 serta al-Muzammil
(73) : 20
f.
Yang berhubungan
dengan ekonomi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 29, al-Mulk (67) : 15,
an-Naba’ (78) : 9-11 dan ad-Dhuha (93) : 6-8.[11]
Dari
keaneka ragaman disiplin ilmu di masing-masing bidang dapat diperlihatkan di
dunia Barat, maka dalam hal ini Juhaya S Praja mengemukakan pendapatnya bahwa
upaya Islammisasi telah menunjukkan hasilnya di Barat. Menurutnya ini adalah
gejala aneh, mengapa tidak lahir di dunia Islam?. Alasannya mungkin karena
sarjana Muslim yang hidup di dunia Barat menghadapi langsung tantangan dunia
nyata terhadap Islam dan ummatnya.[12]
Hal
tersebut menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang terjadinya proses
Islamisasi Ilmu Pengetahuan , meskipun tidak dimulai dari tanah kelahirannya.
Sehingga dengan epistemology dapat dijelaskan bagaimana sebuah ilmu pengetahuan
disusun menggunakan kajian ijtihadiyah dengan langkah-langkah yang telah teruji
seperti mengingat, menghafal, observasi, eksperimen, demonstrative, metode
intuitif, mengkaji, imajinasi, analisa dan sintesa serta adanya ilham.
3.
Telaah
Aksiologis
Istilah
Islamisasi Ilmu Pengetahuan sering dipandang sekelompok pemikir hanya sebagai
proses penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria
suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkan. Konsekuensi dari
epistemology Islamisasi Ilmu Pengetahuan,
maka aksiologinya yaitu mengandung nilai rohaniah atau moral yang bersumber
dari agama (Islam) sifatnya adalah absolute dan kebenarannya bersifat permanen.
Hal ini karena bersumber dari Dzat yang absolute (mutlak) yaitu Allah Swt.
Telaah
aksiologi sasarannya adalah manfaat dari hasil kajian yang dijadikan bahasan
materi, dengan artian bahwa aksiologidiartikan nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh.[13]Dalam
hubungannya dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dapat dikatakan bahwa dengan
Islamisasi dapat diketahui dengan jelas kalau Islam bukan hanya mengatur
segi-segi ritualitas dalam arti shalat, puasa, zakat dan haji saja, melainkan
sebuah ajaran yang mengintegrasikan segi-segi kehidupan duniawi termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Selain
beberapa hal di atas, juga muncul para filosof dan cendikiawan muslim tidak
lain oleh karena mereka bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam saja tetapi juga
menguasai ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dengan ilmu, mereka dapat
mempelajari gejala alam dan menciptakan peralatan untuk mengontrol
gejala-gejala alam sesuai dengan hukumnya.
C.
Tantangan
Ilmu-ilmu Islam di Tengah Perkembangan Ilmu Pengetahuan Moderen
Ketergantungan
ummat Islam dalam pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting dalam membina
ummat hampir tidak dapat dihindari dari
pengaruh Barat.Ujung-ujungnya krisis identitas pun tidak terhindarkan oleh
ummat Islam. Menurut AM. Syaefuddinj, ketidak berdayaan ummat Islam itu
membuatnya bersifat ntaqiyyah. Artinya kaum muslimin telah menyembunyikan
identitas Islamnya, karena rasa takut dan malu.[14]
Melemahnya orientasi social ummat Islam ini
secara tidak sadar telah memilah-milah pengertian Islam yang kaffah ke dalam
pengertian parsial dalam hakikat hidup bermasyarakat. Islam hanya dipandang
dari arti ritual semata, sementara urusan lain banyak didomionasi dan
dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, ummat Islam lebih mengenal
budaya Barat dari pada budayanya sendiri.
Beberapa faktor yang menjadi tantangan ilmu-
ilmu keIslaman di tengah perkembangan sains modern, di antaranya:
1. Ambivalensi Teknologi.
Teknologi bagaimanapun bentuknya
akan selalu bersifat ambivalen, yaitu ada untung ruginya.yang dalam bahasa
Fiqhinya disebut manfaat dan mudharat bagi manusia dan alam lingkungannya.[15]Dalam
lingkungan hidup misalnya dengan muncul istilah pengikisan lapisan ozon,
radiasi nuklir, limbah industry, rekayasa genetika dan lainnya. Hal ini penting
mengingat teknologi pada kenyataannya merupakan alat bagi manusia, sementara
dalam kehidupan manusia memiliki tujuan dan cara pencapaiaan yang tentunya
harus mengandung nilai agama. Oleh karena itu, seorang ilmuan Muslimharus menyadari
ia harus memulai sesuatu, kemanapun ia beranjak, ia harus melangkah dari tradisi
ke-Islaman yang merupakan identitasnya.
2. Di kalangan Islam masih banyak yang menekankan
studi pustaka dari pada studi atas realitas sosio-kultur.
Hal ini mengakibatkan kurang
berkembangnya literature-literatur tentang ilmu-ilmu empiris Islam seperti Sosiologi
Islam, Antropologi Islam, Psikologi Islam, ekonomi Islam dan sebagainya. Hal
ini sangat berbeda dengan tokoh ilmuan Muslim di abad renaisans Islam, di mana
hasil karyanya dijadikan sumber rujukan dalam studi pustaka. Ini dapat dilihat
dari karya Ibn Ya’qub an-Nadim yang berisi tentang ensiklopedia (al-Fihrist), bidang
Astronomi oleh Mahani, bidang Zologi oleh ad-Dinawari dan lain sebagainya.[16]
3. Belum adanya paradigma yang jelas tentang posisi nilai normative,
eksistensi dan struktur keilmuan Islam.
Sebagai misal dalam mensikapi problematika tantangan
modernisasi yang ditandai oleh pesatnya perkembangan industrialisasi,
transformasi, canggihnya alat-alat informasi, dan kuatnya paham rasionalisme
yang apabila dihadapkan kepada agama, di kalangan muslim belum mampu
menyelesaikan dengan cara dialektis tetapi masih bersifat normative. Dan para
peneliti Muslim masih kurang siap menghadapi atau menolak gagasan-gagasan
asing, karena tidak adanya persiapan secara memadai untuk melawan mereka
melalui telaah mendalam dan penolakan terhadap promis-promis palsu. Akibat yang
ditimbulkan tentang posisi nilai normatif, eksistensi dan struktur keilmuan
Islam menjadi tidak jelas. Ada yang datang dari Barat, seperti westernisasi,
rasionalisme, sekularisme, gagasan filsafat Barat dan semua yang berbau ke
Barat-Baratan semua ditolak bahkan dikafirkannya.[17]
Adapun upaya untuk
mengatasi hal tersebut di atas, Ismail Razi al-faruqi melakukan langkah-langkah
berikut:
1.
Memadukan system pendidikan Islam, dikotomi pendidikan umum
dan islam harus dihilangkan.
2.
Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas
Islam melalui dua tahap, yaitu mewajibkan bidang studi sejarah Peradaban Islam
dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
3.
Untuk mengatasi persoalan metodologi, ditempuh
langkah-langkah berupa penegasan prinsip-prinsip pengetahuan Islam.
4.
Menyusun langkah kerja sebagai berikut:
a.
Menguasai disiplin modern.
b.
Menguasai warisan khasanah Islam.
c.
Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian
atau wilayah penelitian pengetahuan modern.
d.
Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif
antara warisan Islam dengan pengetahuan modern.
e.
Mengarahkan pemikiran Islam pada arah yang tepat yaitu
sunnatullah.[18]
Sementara al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa
kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui
pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan
peradaban Barat yang saling berkaitan. Kelima prinsip itu adalah:
a. Mengandalkan akal semata untuk
membimbing manusia mengarungi kehidupan.
b. Mengikuti dengan setia validitas
pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran.
c. Membenarkan aspek temporal untuk
memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler.
d. Pembelaan terhadap doktrin humanism.
e. Peniruan terhadap drama dan tragedy
yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau
transedental atau kehidupan batin manusia.[19]
Kelima hal tersebut di atas, merupakan prinsip-prinsip utama
dalam pengembangan keilmuan Barat, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai
Islam dan harus dihindari oleh ummat Islam.
Demikianlah pembahasan tentang Islamiasasi Ilmu pengetahuan serta berbagai
tantangannya, yang pada intinya bertujuan untuk memperoleh kesepakatan baru
bagi ummat Islam dalam berbagai bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah
tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Di samping itu, Islamisasi Ilmu
pengetahuan juga bertujuan untuk
meluruskan pandangan hidup modern Barat sekuler yang ingin memisahkan antara
urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan. Islamisasi ilomu
merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu untuk diteruskan oleh ummat
Islam dari generasi-ke generasi untuk menjawab krisis epistimologis yang
melanda dunia saat ini.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan
makalah di atas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa
proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak
permulaan Islam yaitu pada Rasulullah sampai sekarang. Adapun orang yang
diangap sebagai pencetus Islamisasi Ilmi Pengetahuan adalah Syeikh Naquib al-
Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
2. Telaah
Islamisasi Ilmu Pengetahuan dapat
dilihat dari segi:
a.
Ontologi, yaitu
Islamisasi Ilmu Penegtahuan merupakan upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari
makna, idiologi dan prinsip-prinsip sekuler sehingga terbentuk ilmu pengetahuan
baru yang sesuai dengan fitrah Islam.
b.
Epistemologi,
yaitu Islamisasi Ilmu Pengetahuan disusun dengan menggunakan kajian ijtihadiyah
dengan langkah-langkah yang telah teruji seperti mengingat, menghafal,
observasi, eksperimen, demonstrative, metode intuitif, mengkaji, imajinasi,
analisa dan sintesa serta adanya ilham.
c.
Aksiologi, yaitu
Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengandung makna nilai rohaniah atau moral yang
bersumber dari agama Islam untuk
mencapai ridha Allah Swt serta untuk membantu tugas manusia sebagai khalifah di
muka bumi ini.
3. Beberapa faktor yang menjadi tantangan ilmu-
ilmu keIslaman di tengah perkembangan sains modern, di antaranya:
a.
Ambivalensi Teknologi.
b.
Di kalangan Islam masih banyak yang menekankan
studi pustaka dari pada studi atas realitas sosio-kultur.
c.
Belum adanya
paradigma yang jelas tentang posisi
nilai normative, eksistensi dan struktur keilmuan Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi
Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Cet. VI ; Bandung : Mizan, 1996
Arief,
Armai, Reformulasi Pendidikan Islam,
Cet. I; Jakarta: CRSD Press, 2005.
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Ilmu, (Cet.II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Echols,
John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet; XXVI: Jakarta:
PT Gramedia, 2005
Ibrahim, Marwah
Daud, “Etika, Strategi Ilmu dan Teknologi Masa Depan” (ed.)
Moeflich
Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
Pustaka mCidesendo,2000.
Ismail,
Muhammad Ismail, Tiga Fase Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer,
www.
Hidayatullah.com, 06 Desember 2009.
Karim, Ahmad, al-Gazwu
al-Fikr, Kairo: al-Azhar, 1414 H.
Kartanegara,
Mulyadi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,
Cet.I;Bandung:
Mizan, 2003, Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka
Cidesendo,2000
Nata, Abuddin,
Metodologi Studi Islam, Cet. IX; Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Nakosteen, Mehdi, History of Islamic Origins of Western
Education A. D. 800-1350
with an Introduction
to Medieval Muslim Education, diterjemahkan Joko S. Kahhar dan
Supriyanto Abdullah, Kontribusi Islam atas dunia Intelektual Barat: Deskripsi
Analisis abad kemasan Islam , Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Raharjo, M.
Dawan, Strategi Islamisasi Pengetahuan, (ed.) Moeflich Hasbullah,
\
Gagasan dan
Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka, Cidesendo,2000.
Syaefuddin, AM.,
Desekularisasi Pemikiran,
Bandung: Mizan, 1991.
[1] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Cet. IX; Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 405-406.
[2] Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: CRSD
Press, 2005), h. 124.
[3] M. Dawan
Raharjo, Strategi Islamisasi Pengetahuan, (ed.) Moeflich
Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:
Pustaka Cidesendo,2000), h. xii.
[4]
Muhammad Ismail, Tiga Fase Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer,(www.
Hidayatullah.com, 06 Desember 2009), h. 1.
[5]
Moh. Suef, Islamisasi Ilmu: Sejarah, Dasar, Pola dan Strategi, (Ululalbab.com,
07 Mei 2009), h. 2.
[6]
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Cet; XXVI:
Jakarta: PT Gramedia, 2005), h. 332.
[7]
Moh. Suef, op. cit, h.5.
[8]
Marwah Daud Ibrahim, “Etika, Strategi Ilmu dan Teknologi Masa Depan” (ed.)
Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisdasi Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta: Pustaka Cidesendo,2000), h. 100-101.
[9]
Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,
(Cet.I;Bandung: Mizan, 2003), h. 52.
[10]
Marwah Daud Ibrahim, op. cit, h. 103-105.
[11]
Miska Muhammad Samin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan
Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006), h. 17-19.
[12]
Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu Dalam Islam dan Penerapannya
di Indonesia, Jakarta: Teraju,2002), h. 222.
[13]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Cet.II; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h,533.
[14]
AM. Syaefuddin, Desekularisasi Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1991), h. 97.
[15]
Dr. Ahmad Karim, al-Gazwu al-Fikr, (Kairo: al-Azhar, 1414 H), h. 35.
[16]
Mehdi Nakosteen, History
of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-1350 with an Introduction
to Medieval Muslim Education, diterjemahkan Joko S. Kahhar dan
Supriyanto Abdullah, Kontribusi Islam atas dunia Intelektual Barat:
Deskripsi Analisis abad kemasan Islam (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti,
1996), h. 213-217.
[17] Taufik
Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman (Cet. VI; Bandung: Mizan, 1996), h. 38.
[18]
Juhaya S. Praja, op. cit, h. 72-73.
[19]
Moh. Suef, op. cit, h. 8.
1 komentar:
Keren sob
www.kiostiket.com
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....