oleh : M ALI RUSDI, S. Th. I
A. Latar Belakang Masalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam setelah al-Qur’an, akan tetapi hadis sendiri tidak sama dengan al-Qur’an dalam masalah keotentikannya, al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, banyak ditulis pada masa Rasul, banyak yang menghapalnya, diriwayatkan secara lafazd dan sudah dibukukan pada masa yang tidak jauh setelah sang pembawanya telah meninggal, akan tetapi hadis tidak demikian, pada masa Rasul saw hadis bahkan di larang ditulis dan tidak terlalu dipublikasikan, hadis memiliki sejarah panjang untuk bisa sampai pada suatu masa dimana kesadaran besar dan keberanian ummat Islam muncul, -pada saat itu yaitu pada abad ke 2- untuk meneliti dan menyaring dengan ketat hadis hadis mana yang sesungguhnya yang benar benar berasal dari Rasul saw, karena dalam perjalanan penjangnya selama kurang lebih dua ratus tahun, diriwayatkan secara oral sehingga pada saat itu pula, muncul sisipan atau pemalsuan yang di lakukan oleh orang orang yang mempunyai kepentingan dengan menggandeng nama seorang yang telah dijamin apa yang Ia katakana adalah wahyu Ilahi, untuk memanifulasi data bahwa apa yang dikatakan oleh orang tersebut adalah bersumber dari Nabi saw, sehingga berkat kerja keras dari para pemerhati dan pengkaji hadis pada masa itu melahirkan buku buku yang terkhusus menghimpun hadis hadis yang dianggapnya bersumber dari Nabi saw.
Pengumpulan hadis pada saat ini tidak mengkin lagi, tanpa merujuk pada kitab kitab yang telah disusun oleh para ulama, akan tetapi tugas selanjutnya bagaimana membuktikan dan meneliti hadis hadis tersebut bisa dijadikn hujjah atau tidak, tugas selanjutnya tidak cukup dengan membuktikan bahwa hadis tersebut adalah dapat dijadikan hujjah, akan tetapi bagaimana hadis hadis itu dapat dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu dari dua warisan yang ditinggalkan oleh Rasul saw, hadis harus dibumikan sebagaimana al-Qur’an.
Membumikan hadis tidaklah mudah, untuk memudahkan dibutuhkan sebuah metode yang dapat menjadikannya menarik dan dapat menjawab tantangan zaman, metode yang dikembangkan oleh ulama selama ini berupa metode syarh atau secara ijmali atau tahlili, membuat hadis hadis Nabi saw seakan tidak dapat mengikuti tantangan zaman, hadis terkadang terlihat bertentangan satu dengan yang lain dan sering menimbulkan permasalahan, sehingga untuk menuntaskan permasalahan penyajian hadis yang baik, para pemerhati hadis hadis Nabi saw telah menemukan pormulasi baru dan menjadi terobosan untuk menuntaskan bentuk penyajian yang berkembang sebelumnya, terobosan itu dikenal dengan metode maudhu’I, metode ini mulai sangat popular saat ini dan menjadi primadona dikalangan pecinta pengkaji hadis hadis Rasul saw, metode ini menajadikan terhindar dari pemahaman yang parsial terhadap hadis, pemahaman yang komprehensif.
Salah satu hadis yang cukup menumental yang menjadi daya jual Islam itu sendiri, yaitu hadis yang berbicara, bagaimana menghormati orang lain dan senantiasa menjaga perasaannya, karena pada intinya dalam agam Islam tidak memandang seseorang dari segi bentuk fisik dan rupanya, akan tetapi Allah melihat hati dan kelakuannya. Sehingga phenomena yang menarik di benua Amerika dan Eropa, banyak dari kalangan kulit hitan yang menganut atau mengucapkan dua kalimat syahadat disebabkan dalam Islam tidak ada diskriminasi ras, karena semua orang pada dasarnya sama, kecuali pada aspek hati dan perbuatannya.
B. Rumusan Masalah
Setelah melihat latar belakang masalah tadi, maka penulis dalam hal ini merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini:
1. 1. Bagaiman hadis hadis berbicara tentang Allah menilai seseorang hanya dari hati dan perbuatannya?
2. 2. Bagaiman penjelasan mengenai hadis hadis diatas, serta implikasinya?
PEMBAHASAN
A. Penjelasan Metode Takhrij
Takhrij al-hadis tentang Allah tidak membeda bedakan hambanya dalam bentuk fisik, akan tetapi Allah melihat dan menilai hambanya tentang hati dan amal perbuatan orang tersebut dengan penulusuran, pencarian dan pelacakan hadis-hadis tersebut dan yang terkait yang terdapat pada kitab-kitab yang telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis sebagai kitab standar yang juga sering disebut dengan sebutan kutub at-tis'ah, adapun kitab-kitab tersebut sebagai berikut: 1) Muwaththa Malik 2) Sunan Abi Daud 3) shahih Muslim 4) shahih Bukhari 5) sunan an-Nasai 6) sunan Ibnu Majah 7) sunan ad-Darimi 8) Musnad Ahmad 9) Sunan at-Turmuzi. Akan tetapi penulis tidak menyepelehkan pada kitab-kitab yang lain selain dari kitab yang telah disebut diatas, bila dibutuhkan.
Dalam, men-takhrij al-hadis penulis menggunakan beberapa pendekatan metode yang ada[1], untuk mempermudah pada pencarian hadis-hadis yang ingin dikaji, diatara metode itu sebagai berikut: 1) metode takhrij al-hadis bi al-lafzi 2) metode takhrij dengan tematik 3) metode takhrij melalui lafazd pertama matan hadis, adapun penjelasannya sebagai berikut:
1) Metode Takhrij al-Hadis bi al-Lafzi
Menggunakan metode ini, penulis merujuk pada kitab yang dikarang oleh AJ. Wensinck yang berjudul "Corcondace et Indices de la Tradition Musulmane". Diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi dengan judul "al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi".
Menggunakan metode ini, penulis menulusurinya dengan menggunakan lafazd نظر dan terungkap bahwa lafazd itu mengungkap hadis-hadis terdapat di berbagai kitab, sebagai berikut:
إن الله لا ينظر إلي أجسادكم, صوركم .... ولكن ينظر إلي قلوبكم[2]
م بر 32, جه 9, حم 285, 529.
Penulusuran menggunakan kitab al-Mu'jam al-Mufahras, maka terungkaplah bahwa hadis itu terdapat dalam kitab-kitab sebagai berikut:
1) Shahih Muslim, terdapat di kitab birrun, urutan bab 9.
2) Sunan Ibnu Majah, terdapat dalam kitab zuhud, urutan bab 9.
3) Musnad Ahmad, terdapat dalam juz 2, halaman 285 dan 529.
2) Metode Takhrij al-Hadis bi al-Maudhu'i
Metode Takhrij al-Hadis bi al-Maudhu' yaitu menentukan terlebih dahulu judul atau tema dari hadis lalu mencari dalam kitab-kitab yang telah disusun dengan menggunakan metode maudhu'I, penulis disini menggunakan kitab Kanzu al-'Ummal, karya al-Hindi, disini penulis menggunakan kata لا ينظر sebagai tema dari hadis tersebut, dengan mengunakan kalimat itu, penulis menemukan hadis-hadis tersebut diatas di beberapa kitab, sebagai berikut:
إن الله تعالى لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ، ولكن إنما ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم. (م ه عن أبي هريرة).
إن الله تعالى لا ينظر إلى صوركم ، ولا إلى أموالكم ، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم ، فمن كان له قلب صالح تحنن الله عليه.
(الحكيم عن يحيى بن أبي كثير) مرسلا.
إن الله تعالى لا ينظر إلى أجسامكم ، ولا إلى أحسابكم ، ولا إلى أموالكم ، ولكن ينظر إلى قلوبكم ، فمن كان له قلب صالح تحنن الله عليه ، وأما أنتم بنو آدم فأحبكم إلى أتقاكم. (طب عن أبي مالك الاشعري).
أمّا الزّينة الباطنة ، فقد قال ابن القيّم : الجمال الباطن هو محلّ نظر اللّه من عبده وموضع محبّته ، كما في الحديث : « إنّ اللّه لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم » .
Penulusun melalui kitab Kanzu 'Ummal, penulis menemukan hadis tersebut tercantum dalam kitab kitab sebagai berikut:
1) Shahih Muslim, kitab 5, dari Abu Hurairah.
2 ) Thabrani fi Kabir dari Abi Malik al-Asy'ari.
3) Mustadrak Hakim dari Yahya bin Abi Katsir
3) Metode Takhrij al-Hadis bi Rawi al-A'la
Metode dengan pencarian semacam ini merupakan, metode pencarian dengan mencari terlebih dahulu perawi a'lanya atau perwi pertamanya yang merujuk pada kitab yang berjudul "Tuhfat al-Asyraf bi Ma'rifat al-Atraf", oleh Jamal al-Din Abu Hajjaj Yusuf al-Mizzy. Dengan menulusuri riwayat dari Abi Hurairah, sebagai berikut:
*14823 (م ق) حديث: إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم... الحديث. م في الأدب (10: 3) عن عمرو الناقد ق في الزهد (9: 7) عن أحمد بن سنان كلاهما عن كثير بن هشام، عن جعفر بن برقان، عنه به..
Setelah melakukan penulusuran melalui kitab kitab yang ada tersedia maka hadis yang membahas tentang masalah tersebut, kami khususkan pencarian dan pelacakan hadis yang berkaitan dengan tema yang telah ditentukan maka penulis dengan berpegang pada keempat metode yang telah diungkap diatasmenyimpulkan bahwa hadis yang kami temukan yang berkaitan erat dengan masalah yang ada adalah berjumlah 5 hadis, akan tetapi disini penulis tidak menyertakan semua yang ditemukan dalam metode yang telah digunakan diatas dengan asumsi sebagai berikut: adanya hadis yang diungkapkan diatas tidak ditemukan kitabnya dan keinginan datri penulis untuk menelusurinya dengan kutub al-tis'ah dan adanya kendala dari segi ketersediaan kitab rujukan, jadi adapun rincian hadis yang ditemukan sebagai berikut:
- terdapat dalam kitab Shahih Muslim 2 hadis
- terdapat dalam Sunan Ibnu Majah 1 hadis
- terdapat dalam Musnad Ahmad 2 hadis
B. Hadis hadis tentang Allah tidak menilai seseorang dari bentuk jasmaninya, akan tetapi melihat pada apa yang ada dihatinya.
1. Riwayat Muslim, bab tahrim zhulm al-muslim wa khazluhu, nomor hadis 4751
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ (حديث صحيح)
2. Hadis riwayat Muslim bab tahrim zhulm al-muslim, nomor hadis 4650.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ سَرْحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ أُسَامَةَ وَهُوَ ابْنُ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ نَحْوَ حَدِيثِ دَاوُدَ وَزَادَ وَنَقَصَ وَمِمَّا زَادَ فِيهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ إِلَى صَدْرِهِ (حديث صحيح)
3. Riwayat Ibnu Majah, bab al-Qana'h, nomor hadis 4133
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى أَعْمَالِكُمْ وَقُلُوبِكُمْ (حديث صحيح)
4. Hadis riwayat Ahmad, bab musnad Abi Hurairah, nomor hadis 7493.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ الْبُرْسَانِيُّ حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ يَعْنِي ابْنَ بُرْقَانَ قَالَ سَمِعْتُ يَزِيدَ بْنَ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ (حديث صحيح)
5. Hadis Riwayat Ahmad, bab musnad Ahmad, nomor hadis 10537.
حَدَّثَنَا كَثِيرٌ حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ (حديث صحيح)
C. Makna mufradat Hadis
Hadis hadis diatas agar terlihat makananya lebih jelas, maka penulis menganggap perlu menyertakan makna makna mufradat yang perlu untuk dijelaskan dari hadis yang ada di atas, agar menajadikan makna hadis tidak kabur dalam kesempatan ini penulis menggunakan kamus Arab yang cukup terkenal yaitu Mu'jam maqayis al-lughah, karya Abi Hasan Ahmad bin Faris bin Zakariah, karena penulis anggap dalam akumus ini makna makna mufradat sangat lengkap dan pembahsannya sangat mudah dipahami dari kamus kamus lain.
نظر : artinya mengamati sesuatu atau mengamati maknanya, kemudian jabarkan[3], jadi dalam hadis ini bermakna Allah tidak melihat, memperhatikan sesuatu dari manusia itu.
صور : gambar atau keadaan makhluk hidup, kalau masdarnya صورة sedangkan jamaknya adalah صور, jadi demikian makna lafazd di atas mermakna bahwa Allah tidak melihat seseorang, atau memperhatikan seseorang dari bentuk tubuhnya, keadaan tubuh seseorang.
أموال : jamak dari lafazd مال yang berarti bahwa sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, akan tetapi lafazd tersebut dalam hadis berarti sesuatu yang dimiliki oleh seseorang yang dapat terlihat secara nyata, atau dalam arti bahwa sesuatu yang dapat dibanggakan kerena mempunyai harta benda.
قلوب :merupakan bentuk jamak dari kata قلب yang berarti yang menunjukkan pada arti murninya sesuatu, atau mulyanya sesuatu, jadi dalam hadis ini lafazd tersebut bermakna suatu kemulyaan yang dimiliki oleh manusia, jadi kalau dilihat dari sepenggal hadis sampai lafazd ini, maka berarti Allah tidak melihat seseorang dari bentuk tubuhnya, hartanya, akan tetapi hatinya, atau kemulyaan hatinya.
أعمال : jamak dari lafzd عمل yang berarti tiap tiap pekerjaan yang dilakuakan oleh manusia baik itu buruk maupun baik, jadi dalam hadis ini Allah memperhatikan pekerjaan yang kita perbuat.
D. Asbab Wurud al-Hadis
Hadis yang ada di atas tidak memiliki asbab wurud tersendiri, akan tetapi ada dugaan bahwa hadis tersebut di keluarkan oleh Nabi saw, sesuai dengan sosio kultural pada saat itu yaitu melai ada diskriminasi, karena pada saat sekat antara suku sudah mencuat sebagai warisan tradisi jahiliah, pada saat itu ada perbedaan antara suku Quraysy dengan suku yang lain, antara Arab dengan Ajami, antara kaya dan miskin, sehingga Nabi saw mengeluarkan seakan peringatan bahwa Allah tidak melihat seseorang dari segi bentuk fisik, harta, akan tetapi Allah melihat seseorang dari segi hati dan amal perbuatannya, hadis ini dianggap dapat mencegah isu sara dalam dunia Islam saat itu.
Pada dasarnya hadis tidak semuanya memiliki asbab wurud, akan tetapi dengan menggunakan beberapa pendekatan, maka terkadang mencuat bahwa yang melatar belakangi perkataan itu ialah keadaan masyrakat pada saat itu.
E. Analisa Makna Hadis
Setelah melihat makna bahasa dari hadis hadis di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat pada diri manusia dari bentuk tubuhnya dan berapa banyak harta yang ia miliki, akan tetapi Allah melihatnya dari bagaimana kemulyaan hati dan perbuatan seseorang. Jadi dapat dipahami bahwa pada diri manusia ada sesuatu yang senantiasa diintai oleh Allah yaitu berupa hati, begitu pula tidak dapat dilepaskan bahwa dalam diri manusia pula ada sesuatu yang zahir yang juga senantiasa diintai oleh Allah yaitu berupa perbuatan, dalam hadis di atas mengungkapkan dua hal yang merupakan dua alam manusia yaitu berupa alam batin yang diwakili oleh hati dan alam zahir yang diwakili oleh perbuatan.
Ada sebuah kisah yang dapat kita jadikan sebagai gambaran bahwa begitulah Allah memberikan gambaran kepada kita bahwa dalam menjalani hidup sangat dibutuhkan yang namanya hati yang bersih dan disertai dengan perbuatan atau tindakan yang nyata tiga orang yang terkena penyakit itu pun didatangi oleh seorang malaikat. Malaikat tersebut bertanya pada orang pertama "Apakah kamu menginginkan sesuatu?". Orang tersebut menjawab, "Aku menginginkan kesembuhan dari penyakit kustaku ini, aku ingin memiliki kulit yang bagus dan indah" jawabnya. Lalu malaikat tersebut mengusap tubuhnya, maka penyakitnya pun sembuh dan ia diberi kulit yang sehat dan warna yang indah. Malaikat bertanya lagi: "Harta apa yang paling kamu senangi?" Orang itu menjawab, "Unta". Lalu ia diberi unta yang hampir melahirkan lalu malaikat berkata: "Semoga Allah memberkahinya untukmu".
Kemudian malaikat tersebut mendatangi orang kedua dan bertanya: "Apa sesuatu yang paling kamu sukai?" Orang itu menjawab: "Aku ingin penyakitku sembuh.. Aku ingin memiliki rambut yang indah". Lalu malaikat mengusapnya, maka penyakitnya pun sembuh dan ia diberi rambut yang indah. Malaikat bertanya lagi: "Harta apa yang paling kamu senangi?" ia menjawab: "Sapi". Maka ia diberi sapi bunting, "Semoga Allah memberkahinya untukmu"kata malaikat kepadanya
Kemudian malaikat tersebut mendatangi orang kedua dan bertanya: "Apa sesuatu yang paling kamu sukai?" Orang itu menjawab: "Aku ingin penyakitku sembuh.. Aku ingin memiliki rambut yang indah". Lalu malaikat mengusapnya, maka penyakitnya pun sembuh dan ia diberi rambut yang indah. Malaikat bertanya lagi: "Harta apa yang paling kamu senangi?" ia menjawab: "Sapi". Maka ia diberi sapi bunting, "Semoga Allah memberkahinya untukmu"kata malaikat kepadanya
Kemudian malaikat mendatangi seseorang yang buta, lalu bertanya: "Apa kamu menyukai sesuatu?" Ia menjawab: "Aku ingin Allah mengembalikan penglihatanku, sehingga aku dapat melihat manusia". Maka malaikat mengusapnya, sehingga penglihatannya kembali normal. Malaikat itu bertanya lagi: "Harta apa yang paling kamu sukai?" Ia menjawab: "Kambing". Maka ia diberi kambing yang siap beranak
Masa berlalu, hari pun berganti, semua binatang ternak yang telah diberikan kepada mereka berkembang-biak dan beranak-pinak
Suatu hari sang malaikat kembali mendatangi orang yang dahulu berpenyakit kusta dalam bentuk seseorang yang terkena penyakit kusta lalu berkata: "Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal dalam perjalananku, tak ada lagi yang bisa saya harapkan kecuali Allah dan Anda. Demi Tuhan yang telah memberimu karunia berupa kulit yang indah, warna yang bagus, serta harta benda, aku minta seekor unta untuk membantuku dalam perjalanan". Orang itu menjawab: "Masih banyak sekali kewajiban yang harus kubayar". Maka malaikat itu berkata kepadanya: "Sepertinya saya mengenal Anda, bukankah Anda yang dahulu berpenyakit kusta sehingga manusia merasa jijik terhadap Anda, serta yang dahulu fakir lalu diberi harta oleh Allah?" Orang itu berkata: "Hartaku ini adalah warisan orang tuaku". Malaikat berkata: "Kalau kamu berdusta, semoga Allah menjadikan kamu seperti dahulu lagi".
Setelah itu malaikat tadi mendatangi orang yang dahulu botak dalam bentuknya seperti dahulu lalu berkata kepadanya seperti apa yang dikatakannya kepada orang yang pertama, dan orang itu pun memberikan jawaban sama dengan orang yang pertama. Maka malaikat berkata: "Jika kamu berdusta, semoga Allah menjadikan kamu seperti dahulu lagi".
Kemudian malaikat mendatangi orang yang dahulu buta dalam bentuk seorang yang buta lalu berkata: "Saya adalah orang miskin yang mengembara dan kehabisan bekal dalam perjalananku, tak ada yang bisa saya harapkan kepada Allah dan Anda. Demi Tuhan yang telah memulihkan penglihatanmu, aku minta seekor kambing untuk membantuku dalam perjalanan". Orang itu berkata: "Dahulu aku buta sepertimu, lalu Allah memulihkan penglihatanku, maka ambillah seberapa banyak yang kamu butuhkan. Demi Allah, aku tidak akan membebanimu untuk mengembalikan sesuatu yang telah kamu ambil untuk Allah". Maka malaikat berkata: "Ambillah hartamu itu semua, karena kalian sebenarnya hanya sekedar diuji, kamu telah diridhai Tuhan, sedangkan kedua sahabatmu telah dimurkai Allah". HR. Bukhari
Di dunia ini setiap orang boleh jadi berangan-angan setinggi langit dan membangun mimpi di alam khayalan sekuat daya imajinasinya, angan-angan memiliki harta yang melimpah, istri yang cantik, tubuh yang ideal, wajah yang tampan, kulit yang bersih, rambut yang indah dan sejuta impian lainnya. Namun pernahkah seseorang menyadari bahwa ketika Allah menetapkan bagi setiap hamba-Nya bagiannya masing-masing sesuai dengan porsinya, Allah menyimpan jutaan hikmah yang tersembunyi. Siapakah yang dapat menjamin bahwa ketika seseorang diberikan karunia harta yang melimpah ia masih mau mengeluarkan zakat dan infak.. Siapakah yang tahu bahwa ketika ia dikaruniakan keindahan jasad ia bisa terlepas dari sifat sombong. Siapa yang menjamin ketika dihadiahkan kepadanya istri yang cantik ataupun kenikmatan materi lainnya ia masih bisa bersyukur dan tidak lupa diri. Oleh karena itu Rasulullah saw memperingatkan umatnya, "Lihatlah mereka yang keadaannya di bawah kalian, dan jangan kalian lihat mereka yang keadaannya di atas kalian, karena hal itu hanya akan membuatmu tidak bersyukur atas nikmat Allah". Sebuah nasehat yang singkat, padat, namun penuh makna. Memang, mendongakkan kepala ke atas hanya akan menambah sakit di leher. Bermimpi dan berangan-angan tidak akan merubah ketentuan Allah. Rasulullah juga mengajarkan agar kita tidak tertipu oleh keindahan fisik ataupun kekayaan materi. Andaikan yang dinilai oleh Allah adalah keindahan fisik setiap manusia, tentu orang yang paling merugi di akhirat adalah orang-orang yang cacat atau tidak memiliki fisik yang sempurna. Andaikan yang menjadi ukuran keberuntungan manusia adalah terletak pada harta tentu orang paling merugi di dunia dan akhirat adalah orang miskin. Padahal tak ada seorang pun yang menginginkan dirinya terlahir dalam keadaan tidak sempurna. Sekedar meminjam istilah Aa Gym, bahwa setiap orang terlahir ke dunia adalah tanpa pesanan. Andaikan setiap orang dapat memesan tentu ia akan memesan fisik yang sempurna seperti nabi Yusuf, atau memesan kekayaan sebanyak yang dimiliki oleh Qarun, atau kerajaan yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman. Namun Allah lebih tahu maslahat bagi setiap hamba-Nya.
Sesuatu yang dinilai oleh Allah bukanlah sesuatu yang sudah ditetapkan dari "sana" yang sifatnya permanen atau konstanta. Akan tetapi yang menjadi ukuran di sisi Allah adalah sesuatu yang bersifat universal yang dapat dicapai oleh setiap orang. Ya, memang sebuah ukuran yang standar harus bersifat universal dan dapat dicapai oleh setiap orang. Seburuk apapun fisik seseorang, ia masih memiliki hati, semiskin apapun seseorang, ia masih diberikan kesempatan untuk beramal. Hati dan amal, itulah yang menjadi standar keberuntungan atau kerugian seseorang. "Allah tidak melihat fisik dan wajah kalian, akan tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian".
Suci Allah. Allah adalah Maha Adil. Dia tak pernah menzalimi hamba-Nya sedikitpun. Sekecil apapun perbuatan yang dilakukan oleh hamba-Nya, Dia sudah menjanjikan balasannya. Baik itu berupa kebaikan maupun keburukan semuanya sudah ada tempat kembalinya Dunia sudah dibagi. Ketentuan materi telah terhenti. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering. Tak ada lagi yang bisa menjadi harapan kecuali sesuatu yang sifatnya dapat diperbarui. Setiap orang diberi kesempatan dan pilihan yang sama, antara menjadi orang beriman atau tidak, antara orang bersyukur atau kufur, antara taat atau maksiat, antara orang memilih jalan petunjuk atau mengikuti hawa nafsu. Semuanya sudah tersedia sekaligus tempat kembali dan balasannya. Tak ada paksaan dalam memilih semua itu
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." "Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya"
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." "Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya"
Di dunia ini tak ada yang kekal selamanya. Semua yang bernyawa akan mati. Semua yang muda akan tua. Setiap yang kuat akan menjadi lemah. Setiap yang memiliki keindahan tubuh akan rusak, yang cantik akan pudar kecantikannya seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, yang tampan dan gagah perkasa akan menjadi renta tak berdaya di waktu tua. Kita semua hanya menunggu giliran menjadi santapan cacing-cacing kuburan. Tak ada yang dapat menyelamatkan kita setelah nyawa terlepas dari tubuh melainkan dua hal: hati dan amalan. Di dunia hanya mampir, sedangkan kampung akhirat itulah kehidupan sesungguhnya.
Dalam hadis yang di ungkapkan diatas oleh penulis, sebenarnya hadis itu memberikan makna yang cukup luas kepada kita bahwa dalam kehidupan yang telah ditentukan oleh Allah semuanya sedah sempurna, akan tetapi bagaimana kita bisa menggunakan kesempurnan itu utuk mendapatkan keridaan Ilahi, dalam hadis di atas dapat di tarik kesipulan bahwa hadis itu mengandung beberapa tema, diantaranya: masalah keadilan Allah, keharusan berbuat Ikhas dan senantisa memperbaiki niat, toleransi dan sebagainya.
Penulis akan mengungkapkan makna tema yang terkandung dalam hadis di atas karena dalam fikiran penulis bahwa hadis ini sangat menghargai keberagaman masyarakat yang dapat mempersatukan ummat manusia, senantiasa saling menghina dan terjadi tindakan rasisme, olehnya itu penulis akan memaparkannya:
1. Toleransi
Man is born as social being (manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial). sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa melepaskan komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap sesama. Pada tataran ini akan terjadi proses pembauran yang tidak mungkin dihindari lagi, artinya seseorang yang beragama islam (muslim) sudah pasti bergaul dan berkomunikasi dengan teman-temannya yang beragama nonmuslim bahkan tidak hanya perbedaan agama tetapi juga suku, ras, budaya dan lain-lain. Proses ini merupakan hal yang wajar dan alami, dan konsekuensi keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Interaksi dan interelasi pluralistik terjadi dan hal itu diakui oleh agama islam (" Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". Q.S.Al-Hujurat : 13)
Agar proses kelangsungan komunikasi melalui sarana bergaul dapat terjadi secara sehat, maka masing-masing manusia memiliki rasa tasamu atau toleran yaitu tenggang rasa dan lapang dada dalam memahami perbedaan dan menyadari perbedaan tersebut sebagai sesuatu yang wajar atau dalam bahasa Prof. Dr. Mukti Ali disebutkan sebagai "Agree in disagreement" (setuju dalam perbedaan). Rasa toleran ini tidak diartikan untuk meyakini kebenaran orang lain, padahal menurut kita hal itu adalah sesuatu yang tidak benar. Rasanya hal ini hanya mengakomodir persoalan-persoalan masyarakat dalam tataran hubungan horisontal sesama manusia saja. Adapun soal hubungan vertikal kita sesuaikan dengan ketentuan agama masing-masing.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa kita perlu hidup secara toleran?
v Pertama, meneguhkan fitrah sosial sebagai makhluk yang bermasyarakat, fitrah sosial seperti ini mempunyai ketentuan hokum normatif keagamaan.
v Wujud dari asal ciptaan yang satu dan dari asal turunan yang satu yaitu Adam.
v Mempersempit ruang gerak permusuhan dan konflik, kejahatan, menjamin kelangsungan hidup saling menghormati, menghargai kelangsungan perilaku kemanusian diantara sesama kita.
v Menyadari sesungguhnya bahwa antara sesama manusia terdapat saling ketergantungan yang tidak mungkin terpisahkan, apakah ketergantungan dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya ataupun pendidikan dan iptek. Dengan demikian akan timbul rasa solidaritas untuk mendorong, membantu, atau setidak-tidaknya ikut memberi jaminan keamanan terhadap sesama manusia.
Kehidupan pluralistik harus diakui bahwa konflik bahkan konfrontasi fisik yang marak dimana-mana salah satu penyebabnya adalah kehidupan masyarakat yang majemuk yang tidak dijalani dengan prinsip toleransi, kerukunan antarsesama anggota masyarakat. Seperti kasus pembantaian etnik Madura yang dinobatkan (muslim) di Sampit, etnik Dayak (nonmuslim) di Kalimantan Tengah bisa menjadi gambaran, walaupun konflik tersebut masih diperselisihkan motifnya. Ada yang mengatakan bahwa itu disebabkan karena perbedaan etnik ada sebagian mengatakan bahwa itu adalah konflik agama, belum lagi yang terjadi di Ambon, Poso, dan berbagai tempat dibelahan bumi ini. Hal ini hanya dapat memuaskan hawa nafsu tetapi sangat memerihkan nurani kemanusiaan kita. Betapa tidak bahwa ajaran semua agama di dunia ini justru tidak membenarkan pembantaian terhadap sesama manusia. Oleh karena itu ada beberapa hal yang bias dilakukan untuk menghindari konflik :
1. Ikut mengambil bagian dalam aktifitas sosial untuk kepentingan bersama di lingkungan setempat kendatipun berada dalam kelompok minoritas dari komunitas ras, budaya, dan agama.
2. Menghindari konflik antarumat beragama, antaretnis, ras dengan mengedepankan musyawarah untuk mencari solusi terpuji sebagai upaya untuk membudayakan hidup damai dan tenteram dalam kehidupan plural.
3. Terus memelihara dan menggalang kerjasama sosial dengan mengedepankan persahabatan dan persaudaraan sesama dan saling mendorong dalam kebaikan.
4. Bila ada pejabat yang memegang kekuasaan, maka jangan menggunakan kekuasaan untuk menindas kelompok suku dan agama lain. Artinya, dalam kekuasaan jangan sampai ada diktator masyarakat dan tirani minoritas, sebab hal tersebut akan sama dengan menimbu api dalam selokan, hanya menghitung waktu saja ia akan meledak dan membakar.
Sikap-sikap seperti inilah yang menjadi pilar keutuhan dan kebersamaan dalam masyarakat yang pluralitis, agar tidak ada rasa saling meremehkan, dan inilah terjadi di Eropa adanya perbedaan dalam jenis kulit hitam dan kulit putih, sehingga tertanam rasa kebencian yang sangat mendalam antara dua kelompok tersebut bahkan dalam pertarungan politik sekalipun issu tersebut sering mencuat kepermukaan, sehingga yang monoritas sering tersingkirkan, sinilah indahnya dasar ajaran Islam yaitu hadis untuk mengjak kita atau memeringati agar jangan terpropokasi atau tertipu dengan bentuk fisik seseorang akan tetapi lihat pada hatinya.
Ayat dan hadis menjelaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan, manusia tidak ada perbedaan, mereka semua sama dari asal kejadian yang sama yaitu tanah, dari diri yang satu yakni Adam yang diciptakan dari tanah dan dari padanya diciptakan istrinya.
Oleh karenanya tidak ada kelebihan seorang individu dari individu yang lain, satu ras dengan ras yang lain warna kulit dengan warna kulit yang lain, jadi tidak layak seseorang membanggakan diri terhadap yang lain atau menghinanya.
Misi utama al-Qur'an dalam kehidupan bermasyarakat adalah untuk menegakkan prinsip persamaan dan mengikis habis segala bentuk fanatisme golongan maupun kelompok, dengan persamaan tersebut semua anggota masyarakat dapat melakukan kerja sama sekalipun di antara warganya terdapat perbedaan prinsip yaitu aqidah.
2. Konsep Keadilan
Dalam bukunya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, kaitannya dengan firman Allah SWT surat at-Tin : 4, al-Qurthuby (600-671 H/1204-1273 M) menyebutkan perkataan Ibnu Arabi yang mengatakan :
ليس لله تعالى خلق أحسن من الإنسان فإن الله خلقه حيا عالما قادرا مريدا متكلما سميعا بصيرا مدبرا حكيما
“Allah tidak mnciptakan yang lebih baik dari pada manusia. Sebab Allah menciptakannya sebagai makhluk yang hidup, berpengetahuan, memiliki kemampuan, berkeinginan, berbicara, mendengar, melihat, mendidik, dan memberi keputusan”[4].
Dari ungkapan di atas, dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah penuh dengan keistimewaan yang membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lain. Bahkan dengan membuka lembaran-lembaran al-Qur’an di sana terlihat ada satu atau dua ayat yang menunjukkan keistimewaan manusia. Misalnya, Surat al-Syams : 8. Di dalam ayat tersebut, Allah SWT memberikan informasi bahwa manusia diciptakan dengan memiliki potensi fujur dan taqwa atau potensi untuk melakukan kebaikan dan keburukan, atau dalam istilah yang dipergunakan oleh Sayyid Quthub (1324-1387 H/1906-1967 M), bahwa manusia adalah makhluk dwidimensi dalam tabiatnya, potensinya dan kecenderungan arahnya.[5] Hal ini disebabkan oleh unsur penciptaan manusia (tanah dan hembusan ruh ilahi) yang menjadikannya berada dalam dua potensi tersebut serta kemampuan menbedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Dengan adanya potensi tersebut, manusia mendapatkan tugas dari Sang Penciptanya –bahkan menjadi sebuah kebutuhan baginya- untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya dan meninggalkan segala sesuatu yang memberi mudarat kepadanya. Inilah makna yang terkandung dalam sabda Nabi Muhammad SAW :
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ماستطعتم...
“Apa pun yang telah aku larang maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuanmu”.[6]
Di samping kewajiban manusia di atas, ia juga memiliki hak untuk mendapatkan balasan atas segala perbuatannya. Karena itu, menjadi kewajiban bagi Tuhan Yang Maha Adil untuk memberikan ganjaran yang sesuai dengan gerak-gerik dan usaha manusia. Jika mereka melakukan kebaikan maka Allah pun membalas dengan kebaikan. Namun, bila keburukan yang mereka kerjakan maka tidak ada yang dapat mereka nantikan kecuali balasan yang setimpal atas keburukannya. Dengan kata lain, Allah tidak mungkin menganiaya hamba-Nya dengan memberi balasan yang tidak sesuai dengan perbuatannya.
Hanya saja dalam menilai kualitas amal manusia, paling tidak ada dua sisi perlu dilihat. Pertama, bentuk amal tersebut, yang biasanya terlihat di alam nyata. Di sinilah orang lain dapat memberikan penilaian terhadap perbuatan seseorang. apakah baik atau buruk, apakah menghasilkan manfaat atau mendatangkan mudarat. Kedua, motif pekerjaan tersebut. Mengenai sisi ini hanya Allah yang dapat menilainya. Sebab sisi kedua ini sangat terkait dengan keimanan dan keikhlasan seseorang. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa nilai suatu pekerjaan bukan semata-mata dari bentuk lahiriah saja, namun lebih dari itu bahkan lebih penting adalah niat dan keimanan pelakunya. Karena itu dapat dimengerti, penyebutan kalimat amal saleh banyak sekali disertakan dengan iman. Sebab iman inilah yang menentukan arah dan niat seseorang ketika melakukan sesuatu dan perbuatan.
Dengan dibangunnya dua potensi dasar manusia yaitu dapat berbuat baik dan begitu pula dapat berbuat buruk, maka dengan demikian walaupun dalam bentuk fisik semua masyrakat itu berbeda, ada yang kelihatan enak dikala dipandang dan ada pula yang kurang sempurna bentuk kejadiannya, begitu pula ada orang yang diberikan kelebihan dari segi harta bendanya, akan tetapi esensi yang dilihat oleh Allah adalah apa yang ada dihati lalu diaplikasikan dalam praktek kehidupan sehari hari.
3. Ikhlas dalam beramal
Al A’malu shuwarun qaimatun wa arwahuhah wujudu sirri al ikhlash fiha “amal perbuatan merupakan kerangka yang tegak sedangkan ruhnya adalah adanya rahasia ikhlas dalam perbuatan tersebut”[7]. Demikian tulis Syekh Ahmad bin ‘Athaillah dalam kitabnya al Hikam. Dari ungkapan di atas seakan menjelaskan bahwa untuk mencapai sebuah amal yang bernilai tinggi maka perlu memperbaiki jiwa atau ruhnya yaitu ketulusan dan keikhlasan. Hal ini pun menunjukkan bahwa keikhlasan merupakan barometer untuk mengukur kualitas sebuah perbuatan.
Dan memang setiap perbuatan manusia pasti dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada faktor dari dalam, ada pula yang dari luar. Faktor dari dalam bisa berupa motivasi yang lahir dalam diri seseorang yang dapat menggerakkannya melakukan sesuatu. Sedangkan faktor dari dari luar bisa berupa dorongan dari orang-orang yang ada disekitarnya atau bisa juga berupa sasaran atau tujuan yang hendak dicapai. Namun dari kedua hal tersebut tampaknya faktor dari luar merupakan “panglima perang” atau penentu awal suatu kegiatan. Sebab motivasi dan semangat kerja seseorang terkadang membara jika ada dorongan dari luar, khususnya yang terkait dengan tujuan yang diinginkan. Sehingga dari tujuan itulah maka perbuatan seseorang akan berbeda dengan perbuatan orang lain. Ada orang yang melakukan suatu pekerjaan hanya berorientasi jangka pendek –mengejar kenikmatan sementara- dan ada pula yang pekerjaannya diprioritaskan pada kenikmatan abadi. Akan tetapi diakui atau tidak, tampaknya seluruh umat manusia sepakat bahwa tujuan dari segala kegiatan dan perbuatan adalah mencapai kebahagiaan, atau dalam bahasa Ibnu Khazm, seorang pemikir, psikolog dan sosiolog Islam bahwa tujuan yang dikejar-kejar manusia adalah lepas dari penderitaan.[8] Dan tentunya kebahagiaan abadi hanya milik Allah semata[9]. Sehingga setiap pekerjaan manusia hendaknya ditujukan kepada Allah semata. Apatah lagi orientasi kegiatannya –khususnya seorang muslim- adalah ibadah. Sementara syarat diterimanya ibadah adalah keikhlasan semata-mata kepada-Nya[10].
Akan tetapi, ibadah atau pekerjaan yang murni tertuju kepada Allah tampaknya sangat sulit untuk diwujudkan sebab dalam diri manusia terdapat dorongan naluri untuk mencari kenikmatan yang terkadang mengarah kepada kenikmatan sementara. Atau dengan kata lain, tujuan atau unsur selain Allah masih sering –jika tidak berani mengatakan selalu- menghiasi benak manusia itu sendiri. Dari kenyataan seperti ini, maka terkadang muncul ungkapan yang mengatakan bahwa betapa sulitnya masuk ke dalam syurga, karena persyaratannya sangat sulit dipenuhi. Atau pertanyaan yang berbunyi bagaimana posisi amal seseorang yang dilakukan karena ingin membahagiakan orang tuanya, atau ingin menghidupi keluarganya atau karena perbuatan tersebut memberi kontribusi yang berarti bagi kehidupan masyarakat luas?. Atau bahkan ada yang mengatakan bahwa jika seseorang tidak mampu memurnikan niatnya kepada Allah lebih baik ia tinggalkan amal tersebut karena akhirnya akan tetap sia-sia.
Betapa pun seorang manusia menyembunyikan apa yang ada dihatinya Allah tetap akan mengetahui yang terdetak dalam hati manusia.
4. Syukur
Hadis diatas dapat pula dijadikan sebagai rujukan bagai mana kita mensyukuri nikmat hidup ini, walaupun dalam hati terkadang bertanya bahwa mengapa orang itu kelihatan dari bentuk zhahirnya terlihat sempurna, akan tetapi Allah tidak melihat hal demikian yang dilihat adalah bagaimana kita mensyukuri nikmat hidup ini, karena dengan melakukan syukur berarti kita sudah memiliki sebuah pegangan yang nantinya akan di teropong oleh Allah sebagai nilai yang terbaik dalam kehidupan karena dengan keterbatasan kita dapat bersyukur, sdangkanorang yang terlihat dari bentuk fisiknya sempurna belum tentu mereka bersyukur atas nikmat yang limpahkan kepadanya.
Bukankah Allah telah berfirman dalam al-Qur'an yang mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur,karena dengan bersyukur kita akan mendapatkan tambahan atau nikmat kita diterima. Seperti dalam Q.S Ibrahim ayat 7
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (7)
Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa syukur merupakan kunci intuk mendekatkan diri kepada Allah, kerena dengan bersyukur Allah akan senantiasa menambahkan rezki kita
Apa yang telah diberikan oleh Allah terhadap manusia adalah yang terbaik, karena terkadang ada sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia, akan tetapi menusia belum tentu apakah hal tersebut baik baginya, hal itu ditekankan dalam Q.S al-Baqarah ayat 216:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ………
…………….Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Dalam ayat di atas cukup jelas bahwa apa yang kita inginkan seperti memiliki wajah yang tampan dan sebagainya akan tetapi hal itu belum tentu menjadi kebaikan bagi kita, olehnya itu manusia seharusnya senantiasa bersyukur pada Allah walaupun dengan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia.
Dalam ayat di atas cukup jelas bahwa apa yang kita inginkan seperti memiliki wajah yang tampan dan sebagainya akan tetapi hal itu belum tentu menjadi kebaikan bagi kita, olehnya itu manusia seharusnya senantiasa bersyukur pada Allah walaupun dengan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak diragukan lagi bahwa menghargai seseorang, bagaimanapun bentuk fisiknya dan keadaan ekonominya, menjadi kunci untuk membuka pintu hatinya, ia balas menghargaimu, kerena secara naluri, manusia suka dihargai, dan setiap orang pantas memperoleh penghargaan dari orang alin berupa tidak adanya perbedaan status sosial dalam masyarakat.
Hadis di atas memberikan gambaran dengan jelas bahwa agama Islam tidak membedakan seseorang dari bentuk atau postur tubuhnya akan tetapi melihat seseorang dari hati dan amal perbuatanya, karena ada orang yang hatinya baik akan tetapi dia tidak mengamalkan ajaran agama sehingga hal itu dianggap tidak baik, ada pula orang yang kelihatan dari amal ibadahnya baik, akan tetapi hatinya tidak baik maka perbuatannya pun dianggap kurang baik, begitu pula seterusnya.
Allah adil dalam menciptakan manusia, karena penilainnya tidak dilihat dari asal kita diciptakan atau bawaan dari lahir berupa warna kulit, bentuk fisik, derajat keluarga, dan lain lain walaupun hal demikian berbeda, akan tetapi Allah memberikan potensi yang sama bagi seseorang untuk menjadi baik dan buruk, tergantung bagaimana mengendalikannya, sedangkan yang dapa mengendalikan adalah hati yang telah diberikan oleh Allah dengan kosong ketika kita lahir.
Mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah terhadap manusia adalah merupakan hal terbaik, walaupun kita terkadang merasa melihat diri kita terkucilkan atau seakan tidak sempurna dalam kacamata kita akan tetapi, kita tidak mengetahui hikmah yang tersirat dalam makna kecajadian tersebut.
B. Implikasi
Hadis di atas banyak dipuji oleh orang orang yang mencintai kesamaan hak, antara golongan dimasyarakat, Islam muncul menjadi sebuah agama yang besar dengan salah satu modalnya, karena agama Islam diturunkan kepada semua orang yang ada di dunia ini, tanpa ada khususan pada suku atau golongan tertentu, hadis yang telah dipaparkan di atas, mengungkapkan betapa mulyanya agama Islam yang menjungjung tinggi kesamaan hak dalam statusnya di sisi Allah. Hadis di atas dapat dijadikan sebagai pemersatu ummat Islam yang terpecah ke dalam golongan kefanatikan suku, yang mengorbankan saudaranya sendiri dari kalang muslim, hal itu dapat dilihat dari kasus sampit, sebagian suku Dayak yang beragama Islam membantai suku Madura yang mayoritas beragama Islam, sangat disayangkan kejadian itu dapat terjadi.
Seluruh ummat Islam seharusnya bersatu dalam bingkai keragaman dengan kalimat yang satu yaitu Islam agamaku, hal itu harus disosialisasikan kepada semua masyarakat agar tidak ada lagi fanatisme yang berlebihan terhadap suku dan daerah, karena pada dasarnya Ummat Islam adalah satu.
Daftar Pustaka
Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin , Jakarta: PT. RajaGrafindo, cet 2002.
AJ. Wensinck A. "Corcondace et Indices de la Tradition Musulmane", Diterjemahkan oleh Muhammad Fuad al-Baqi dengan judul "al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi", Juz 6 (Leiden: E.J Brill, 1931)
Abi al-Husain, Mu'jam Maqaiyis al-Lughah, Bairut: Dar al-Fikr.
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: dar al-Kitab al-Arabiah, 2003).
Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (terjemahan : di bawah naungan al-Qur’an, As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil) cet. I, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001).
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim : Kitab al-Fadhail (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1996).
Muhammad bin Ibrahim, Syarh al Hikam (Semarang; Usaha Keluarga, tt)
Umar sulayman al Asyqar, Ikhlas; Memurnikan Niat Meraih Rahmat (al Ikhlash). terj. Abad Badruzzama (Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2006).
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Dalam Memahami Hadis Nabi (sebuah refleksi pemikiran pembaharuan M.Syuhudi Ismail. Ciputat : Intimedia cipta nusantara, 2005 M.
Asqalani, Syihab al-Din Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bary Syarh Shahih Bukhary, cet I : Beirut : Daar al-Fikr, 1993 M.
Ahmad bin Hanbal, Abu 'Abdillah. Musnad Ahmad bin Hanbal, disertai dengan catatan pinggir (hamisy) dari Ali bin Hisam al-Din al-Mutqi, Muntaqab Kanz al-'Ummal fi sunan al-Aqwal wa al-Af'al (Beirut : al-Maktabah al-Islami, 1398 H/1978 M.
Al-Nasa'I, Abu 'Abd al-Rahman Ahmad bin Syu'aib. Sunan Nasa'I , diberi syarah oleh suyuthi dan diberikan catatan kaki oleh al-Sindi (Beirut : Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, 1382 H/1962 M.
al-Nawawi, Abu Zakariyah Yahya bin Syaraf. Shahih Muslim bisyarh al-Nawawi(Mesir : al-Mathba'ah al-Mishriyah), 1924 M.
------------, Muqaddimah Syarh Shahih Muslim. Beirut : Daar al-Fikr, tth.
Abu Daud. Sunan Abi Daud.Mesir : Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1950
[1] Lihat Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin , h. 28, Jakarta: PT. RajaGrafindo, cet 2002.
[2] Lihat AJ. Wensinck A. "Corcondace et Indices de la Tradition Musulmane", Diterjemahkan oleh Muhammad Fuad al-Baqi dengan judul "al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi", Juz 6 (Leiden: E.J Brill, 1931) h. 376.
[3] Abi al-Husain, Mu'jam Maqaiyis al-Lughah, Bairut: Dar al-Fikr, juz 5, h. 356.
[4] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: dar al-Kitab al-Arabiah, 2003), cet. V, jil. XX, hal. 105.
[5]lihat Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (terjemahan : di bawah naungan al-Qur’an, As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil) cet. I, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001), hal. 281
[6] Diriwayatkan oleh Muslim dalam sahihnya, lihat Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim : Kitab al-Fadhail (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1996), jil. V, hal 236.
[7] Muhammad bin Ibrahim, Syarh al Hikam (Semarang; Usaha Keluarga, tt), hal. 11
[8] Umar sulayman al Asyqar, Ikhlas; Memurnikan Niat Meraih Rahmat (al Ikhlash). terj. Abad Badruzzama (Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 14
[9] Hal ini dapat dilihat pada doa Nabi setiap selesai melaksanakan shalat sebagai mana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت ذا الجلال والإكرام , Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim; Bab Istihbab al Zikri Ba’da al Shalah (Riyadh: Dar Alam al Kutub, 1996), Jil. III, hal. 254.
[10] Lihat QS. Al Bayyinah : 5 dan lihat Abdurrahman Ahmad bin Syuaib al Nasa’I, Sunan al Nasa’I ; bab man Gaza Yaltamisu al Ajra wa al Dzikra (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1991), Jil. 10, hal. 204.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....